Anda di halaman 1dari 14

JAKSA AGUNG

REPUBLIK INDONESIA

KULIAH UMUM
JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA
PADA ACARA DIES NATALIS KE-71
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN1

Makassar, 17 Mei 2023

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,


Shaloom,
Salam Sejahtera bagi kita sekalian,
Om Swastiastu,
Namo Budhaya,
Salam Kebajikan.

Yang saya hormati:


- Rektor Universitas Hasanuddin;
- Seluruh Dekan Fakultas Universitas Hasanuddin;
- Sivitas Akademika Universitas Hasanuddin;
- Seluruh peserta seminar yang berbahagia.

1
Disampaikan dalam Seminar Nasional Dies Natalis Ke-71 Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin dengan Tema: ““Penegakan Hukum Dengan Pendekatan
Keadilan Restoratif”.
-2-

Pertama-tama dan yang paling utama marilah kita panjatkan puji


syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih, yang
senantiasa melimpahkan segala rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada
kita sekalian sehingga kita dapat berkesempatan bertatap muka
meskipun secara virtual namun hendaknya tidak mengurangi khidmatnya
penyelenggaraan acara ini.
Saya atas nama pribadi dan pimpinan Kejaksaan menyampaikan
apresiasi kepada pihak penyelenggara yang tidak kenal lelah dalam
mempersiapkan dan melaksanakan rangkaian kegiatan Dies Natalis
Universitas Hasanudin ke-71 dengan tema Berintegritas, Unggul, dan
Kolaboratif yang terselenggara dengan baik dan lancar hingga saat ini.
Semoga Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin diusianya yang
ke-71 semakin maju dan berkembang serta mampu menciptakan lulusan-
lulusan terbaik yang nantinya dapat bermanfaat bagi masyarakat
Indonesia maupun masyarakat global sehingga Universitas Hasanuddin
dapat melakukan lompatan besar dan bersaing di kancah Nasional
maupun Global menjadi salah satu Universitas terbaik di negeri ini.
Kegiatan ini merupakan perwujudan langkah nyata sinergi dan
kolaborasi yang baik antara dunia akademik dan dunia praktik. Semoga
kuliah umum yang akan disampaikan dengan tema Penegakan Hukum
Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif ini dapat memberikan sedikit
khazanah baru dalam perkembangan penegakan hukum di Indonesia.

Peserta Kuliah Umum yang saya banggakan,


Dalam konstitusi, Indonesia menegaskan jati dirinya sebagai negara
hukum2 yang mengedepankan hukum positif. Dalam perspektif ini, hukum

2
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
-3-

hanya diposisikan sebagai instrumen yang berupa aturan-aturan tertulis


sehingga terkesan statis dan kaku, hal ini tentu berbanding terbalik
dengan perkembangan masyarakat yang dinamis dan fleksibel.
Padahal, hukum yang baik idealnya memberikan sesuatu yang lebih
daripada sekedar prosedural belaka, sehingga pemberlakuan hukum
yang ideal tidak hanya sekadar hukum tertulis, namun juga dalam artian
yang lebih luas, termasuk hukum tidak tertulis yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
Hukum positif terkadang bersimpangan dengan hukum yang hidup
di masyarakat, dikarenakan hukum yang tumbuh di masyarakat terus
mengalami perkembangan dan berbanding terbalik dengan hukum
tertulis yang bersifat statis, sehingga hal tersebut memungkinkan adanya
perbedaan substansi antara nilai-nilai hukum yang berkembang dalam
masyarakat dengan hukum tertulis.
Hal tersebut berbanding lurus dengan pernyataan Prof Satjipto
Rahardjo yang menyebut hukum itu berkualitas sebagai ilmu yang
senantiasa mengalami pembentukan (legal science is always in the
making). Hukum progresif adalah gerakan pembebasan karena ia bersifat
cair dan senantiasa gelisah melakukan pencarian dari satu kebenaran ke
kebenaran selanjutnya.3
Hukum idealnya harus mampu mengenali keinginan publik yang
tergambar dalam hukum yang hidup (living law) di masyarakat, serta
adanya komitmen untuk mencapai nilai-nilai keadilan substantif, untuk itu
diperlukan hukum yang responsif yang kita kenal dengan istilah

3
www.hukumonline.com. Menggali Karakter Hukum Progresif. Semarang. 2
Desember 2013. Diakses pada 4 Mei 2023.
https://www.hukumonline.com/berita/a/menggali-karakter-hukum-progresif-
lt529c62a965ce3?page=all.
-4-

sociological jurisprudence.4 Karena sejatinya hukum itu lahir untuk


melayani manusia, bukan sebaliknya sebagaimana slogan yang sering
didengungkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo semasa hidupnya dalam
berbagai kegiatan ilmiah yakni “hukum untuk manusia bukan manusia
untuk hukum”.

Para Peserta Kuliah Umum yang berbahagia,


Dalam penegakan hukum, dimana negara harus hadir di dalamnya
untuk dapat mencapai penegakan hukum yang efektif dan efisien, harus
memperhatikan dan mengakomodir hukum yang telah hidup dan tumbuh
dalam kehidupan masyarakat, begitu pula sistem peradilan pidana dapat
dikatakan efektif apabila sesuai dengan hukum yang berlaku di
masyarakat.
Sistem peradilan pidana yang efektif sejatinya tidak hanya
melibatkan aparat penegak hukum, namun juga melibatkan peranan
elemen masyarakat karena pada prinsipnya hukum pidana merupakan
relasi antara warga negara dengan negara, yang mana negara menjadi
institusi yang otoritatif dalam memberikan sanksi pidana bagi masyarakat
yang melanggar.5
Di tengah perkembangan tersebut lahirlah istilah keadilan restoratif
(restorative justice), suatu terminologi yang pertama kali diperkenalkan
oleh Albert Eglash6 dalam tulisannya mengidentifikasi tiga tipe sistem
peradilan pidana, yaitu retributif, distributif, dan restoratif.

4
Rafael Don Bosco, Hukum Responsif: Pilihan di Masa Transisi, Jakarta, Huma,
2003, halaman 59.
5
R. Marbun, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Suatu Pengantar, 1st ed. Malang:
Setara Press, 2015.
6
Jianhong Liu, PhD, The Roots Of Restorative Justice: Universal Process Or From
The west To The East?. Acta Criminologiae Et Medicinae Legalis Japonica 81:2 (2015).
-5-

Konsep keadilan restoratif yang ditawarkan oleh Albert Eglash pada


tahun 1977 menyatakan bahwa keadilan restoratif mengedepankan
prinsip restitusi dengan melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang
bertujuan reparasi bagi korban dan rehabilitasi pelaku. Sehingga
penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif berorientasi
perbaikan keadaan tiga arah (triple angle), yaitu korban, pelaku dan
masyarakat yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem
kemasyarakatan.

Sivitas Akademika Universitas Hasanudin yang budiman,


Arah peradilan pidana di Indonesia pada saat ini juga telah
mengalami pergeseran dari retributif ke restoratif-rehabilitatif atau model
keseimbangan kepentingan7 yang sejalan dengan pendapat Eglash
dalam tulisannya tentang ganti rugi atau pampasan (reparation).
Penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi bukan hal
baru bagi Indonesia. Pelaksanaan prinsip keadilan restoratif juga sudah
dilakukan sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), melalui upaya diversi dalam
tiap tahapan penanganan perkara anak.
Sebenarnya jika kita tarik jauh ke belakang, Indonesia yang masih
mengakui hukum adat dapat menjadi contoh penerapan dari sistem
keadilan restoratif. Beberapa masyarakat adat di Indonesia seperti di
Papua, Bali, Toraja, Minangkabau, dan komunitas tradisional lain yang
masih kuat memegang kebudayaan apabila terjadi suatu dugaan tindak

7
Hariman Satria, “Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana” dalam
Jurnal Media Hukum Vol.25/ Juni 2016, hlm. 111.
-6-

pidana oleh seseorang, sering kali menggunakan penyelesaian sengketa


yang di komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat Negara. 8
Hakikat keadilan yang hendak dicapai adalah hasil gagasan dan
nilai-nilai luhur bangsa yang terkandung di dalam falsafah Pancasila,
yang ditegaskan pada Sila ke-4 yang berbunyi “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”.
Dalam menerapkan pendekatan keadilan restoratif penting untuk
melibatkan semua pihak yang terlibat dalam tindakan kriminal, termasuk
korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat. Hal ini dapat membantu
memperbaiki hubungan antara mereka dan mencegah tindakan kriminal
yang sama terulang di masa depan.
Pada prinsipnya, keadilan restoratif adalah suatu cara untuk
merespon penyelesaian perkara tindak pidana ringan yang selama ini
hanya dilakukan dalam jalur pengadilan (small claim court). Menarik
proses penanganan perkara tersebut ke luar pengadilan bukanlah tanpa
sebab, survei membuktikan banyak korban yang mengeluhkan peradilan
pidana yang tidak dapat mengembalikan kerugian, bahkan
perbandingannya seperti “melapor hilang kambing, malah hilang
sapi”. Sementara peradilan pidana hanya dapat memberikan keadilan
formal berupa penghukuman kepada pelaku yang bersalah. Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) sebagai terobosan hukum (rule breaking)
dalam penanganan perkara pidana diharapkan mampu menjawab kritik
terbengkalainya hak-hak korban. Dengan kata lain, Keadilan Restoratif
ditujukan untuk membumikan sebenar-benarnya keadilan (substantive
justice).

8
Ds. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative
Justice di Pengadilan Anak Indonesia, halaman 4.
-7-

Hadirin yang saya hormati,


Secara normatif, hingga saat ini masih belum terdapat payung
hukum yang secara khusus mengatur mengenai penyelesaian perkara
dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, sehingga saat ini
aturan-aturan mengenai penyelesaian perkara dengan pendekatan
keadilan restoratif masih secara parsial diatur masing-masing lembaga
penegak hukum yang memiliki tolok ukur, jenis tindak pidana, dan
mekanisme pelaksanaan yang berbeda-beda, antara lain diatur oleh:
a. Mahkamah Agung dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum No. 1691/ DJU/ SK/ PS.00/ 12/ 2020 tanggal 22
Desember 2020, yang menitikberatkan pelaksanaan konsep
restorative justice dapat diterapkan dalam kasus-kasus tindak
pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama tiga
bulan dan denda Rp2.500.000 (Pasal 364, 373, 379, 384, 407, dan
482).
b. Kejaksaan dalam Peraturan Jaksa Agung (PERJA) Nomor 15
Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif, yang menitikberatkan pelaksanaan
penyelesaian perkara dengan pendekatan keadilan restoratif
berdasarkan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas,
pidana sebagai jalan terakhir, dan asas cepat, sederhana, dan biaya
ringan.
c. Kepolisian dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang
Penyidikan Tindak Pidana, dan Peraturan Kepolisian Nomor 8
Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan
Keadilan Restoratif, yang menitikberatkan pada prinsip bahwa
hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum
-8-

dan mengedepankan keadilan restoratif dalam penyelesaian


perkara.

Hadirin yang berbahagia,


PERJA Keadilan Restoratif merupakan sebuah pedoman untuk
para Jaksa di seluruh Indonesia dalam menerapkan keadilan restoratif
terhadap perkara-perkara yang nilai kerugiannya kecil, sehingga
diharapkan tidak ada lagi seorang nenek yang mengambil buah kakao
atau mencuri getah karet serta merta diadili dengan instrumen
pemidanaan penal. Keadilan restoratif memang memiliki makna yang
lebih luas, namun yang menjadi prioritas penyelesaian penuntutan
dengan keadilan restoratif adalah yang kerugiannya kecil, para pihak
telah saling memaafkan (damai), serta manfaat di tengah masyarakat itu
sendiri.
Keadilan restoratif hadir sebagai terobosan hukum untuk
memperbaiki citra dan mindset negatif penegakan hukum yang selama
ini berkembang di masyarakat bahwa hukum tajam ke bawah namun
tumpul ke atas akan tetapi kita ubah mindset tersebut dengan hukum itu
harus tajam ke atas dan harus humanis ke bawah.
Jadi perlu dipahami filosofi Keadilan Restoratif secara sederhana
dibangun untuk mewujudkan pemulihan penderitaan yang dialami oleh
korban akibat terjadinya tindak pidana dan membangun kembali
hubungan dalam masyarakat. Tentu hal ini tidak mungkin dapat
dipulihkan dalam tindak pidana yang memerlukan penanganan extra
ordinary dan merajalela yang justru membahayakan negara sebagai
korban.
-9-

Hadirin sekalian yang saya banggakan,


Dalam konstitusi Indonesia memang tidak menyebutkan Kejaksaan
secara eksplisit, hanya disebutkan dengan frasa, “badan-badan yang lain
yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman”9 berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman. Lebih lanjut berdasarkan ketentuan Pasal
38 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Kejaksaan memiliki kewenangan menjalankan fungsinya
yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang dilaksanakan secara
merdeka, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Kejaksaan mendapatkan posisi yang sangat strategis dalam sistem
peradilan pidana, karena Jaksalah yang mengendalikan suatu perkara
pidana dari tahap awal yaitu proses penyelidikan sampai dengan tahap
akhir yaitu eksekusi sebagai satu kesatuan proses penuntutan, bahkan
merujuk ketentuan Pasal 139 KUHAP, Jaksa memiliki kewenangan untuk
mempertimbangkan suatu perkara tersebut dapat dilimpahkan ke
pengadilan untuk disidangkan atau tidak.
Oleh karena itu, Jaksa memegang peranan penting dalam
menentukan keberhasilan proses penegakan hukum di Indonesia.
Kewenangan Kejaksaan ini berdasarkan asas sistem penuntutan tunggal,
dominus litis, oportunitas, dan independensi penuntutan.

Bapak, Ibu, dan adik mahasiswa yang saya banggakan,


Penyelesaian perkara di luar proses peradilan dalam tahapan
ajudikasi sejatinya juga diatur dalam Pasal 30C huruf d Undang-Undang

9
Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
- 10 -

Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor


16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia khususnya yang
terkait dengan tugas dan wewenang Kejaksaan untuk melakukan mediasi
penal. Hal tersebut telah kembali dilegitimasi dalam Pasal 132 huruf g
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP Nasional) sebagai dasar penyelesaian perkara
melalui pendekatan keadilan restoratif.
Keadilan Restoratif di Kejaksaan dilaksanakan sebagai bentuk
pendelegasian kewenangan yang dimiliki oleh Jaksa Agung, yaitu untuk
menghentikan perkara demi kepentingan umum yang berdasarkan asas
oportunitas10 dan dominus litis11, hal demikian sebagai dasar Kejaksaan
menerbitkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Beleid ini sebagai panduan untuk para Jaksa menerapkan
keadilan restoratif dalam tataran praktis. Hal tersebut senada dengan
amanat undang-undang dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia yang menyebutkan salah satu tugas dan wewenang Jaksa
Agung adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Penjelasan Umum Undang-Undang Kejaksaan menyebutkan
bahwa keberhasilan tugas Kejaksaan dalam melaksanakan Penuntutan
tidak hanya diukur dari banyaknya perkara yang dilimpahkan ke

10
Hendro Dewanto, S.H.,M.Hum, Bahan Ajar Seminar Penerapan Restorative
Justice Sebagai Penyelesaian Suatu Perkara, Jakarta, 2021, hlm.15.
11
Perwujudan asas dominus litis ini dilaksanakan melalui kewenangan Jaksa Agung
dalam mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (seponering) yang dalam
tataran teknis diberikan kepada Jaksa (quasi-seponering) bertujuan untuk pemulihan
kembali pada keadaan semula dan memberikan keseimbangan, perlindungan serta
kepentingan korban.
- 11 -

pengadilan, namun termasuk juga penyelesaian perkara di luar


pengadilan melalui mediasi penal sebagai implementasi dari keadilan
restoratif yang menyeimbangkan antara kepastian hukum yang adil dan
kemanfaatan, sehingga penyelesaian perkara yang berorientasi pada
pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan
keseimbangan, perlindungan serta kepentingan korban dapat menjadi
solusi.

Bapak Ibu dan Mahasiswa Peserta Kuliah Umum,


Perlu kita pahami dalam setiap upaya penyelesaian perkara dengan
pendekatan keadilan restoratif tidak selalu berujung perdamaian antar
pihak, kegagalan tersebut tentunya tidak mengurangi kewajiban Penuntut
Umum untuk melakukan penyelesaian perkara secara proporsional,
dalam rangka pencapaian keadilan yang maksimal.
Penuntut Umum juga dapat menuntut pelaku dengan ancaman
pidana bersyarat maupun penuntutan ganti kerugian bagi korban tindak
pidana yang bertujuan untuk mengembalikan hak-hak yang telah
direnggut oleh Terdakwa dari korban tindak pidana. Dengan kata lain,
upaya untuk penerapan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana
tentunya harus diterapkan secara hati-hati dan cermat dengan
memperhatikan nilai-nilai kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di
masyarakat.
Penerapan keadilan restoratif tidak boleh dimaknai secara sempit
hanya sekedar untuk menghentikan suatu perkara, karena justru dapat
berpotensi tidak memberikan kepastian hukum, multi interpretasi, dan
diskriminatif. Penerapan keadilan restoratif harus dimaknai lebih luas
sebagai langkah untuk mengembalikan keadaan semula pada
keseimbangan hukum antara hak dan kewajiban pelaku maupun korban
- 12 -

tindak pidana sehingga dapat mengembalikan harmoni di masyarakat


dan dapat mengembalikan kepada kondisi sebelum terjadinya kerusakan
yang timbul akibat adanya suatu tindak pidana.
Hingga saat ini, sejak penerapan keadilan restoratif diregulasi dalam
Peraturan Kejaksaan, jumlah perkara 2.653 (dua ribu enam ratus lima
puluh tiga) perkara12 telah berhasil dihentikan penuntutannya
berdasarkan pendekatan keadilan restoratif.
Di samping itu, sebagai ikhtiar Kejaksaan untuk hadir secara
langsung di tengah masyarakat dan sebagai jembatan yang
menghubungkan antara hukum positif nasional dengan hukum yang
hidup dalam masyarakat, maka Kejaksaan juga membentuk 3.411 (tiga
ribu empat ratus sebelas) Rumah Restorative Justice dan 92 (sembilan
puluh dua) unit Balai Rehab yang tersebar di seluruh Indonesia13.

Hadirin Stadium General yang berbahagia,


Pergeseran paradigma keadilan retributif menjadi restoratif dapat
disikapi oleh Sivitas Akademika untuk memberikan masukan kepada
aparatur penegak hukum mengenai apa yang senyatanya (das sein)
terjadi di masyarakat maupun apa yang seharusnya (das sollen)
dilakukan oleh penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan
fungsinya menegakkan hukum, hal ini agar regulasi yang telah dibentuk
atau yang akan dibentuk lebih efektif dalam penerapannya baik secara
filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Dalam forum intelektual ini saya mengajak kepada seluruh
Akademisi Sivitas Universitas Hasanuddin untuk terus mengawal
penerapan keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana. Mari

12
Data Sunproglapnil Sesjampidum per 2 Mei 2023.
13
Ibid.
- 13 -

kita jadikan hal ini sebagai sebuah momentum awal yang akan
menentukan arah sistem pemidanaan dimasa yang akan datang, terlebih
lagi dengan telah disahkannya KUHP Nasional yang telah menyerap nilai
permusyawaratan dalam penyelesaian suatu perkara pidana sebagai
norma hukum baru yang menggantikan hukum pidana peninggalan
kolonial.

Hadirin yang saya hormati,


Sebelum saya mengakhiri pemaparan ini, saya ingin mendorong agar
sinergitas, kerja sama dan kolaborasi yang baik antara lembaga penegak
hukum dan perguruan tinggi semakin ditingkatkan, mengingat Perguruan
Tinggi sebagai pencetak Sumber Daya Manusia unggul dan pengembang
inovasi yang menjadi bagian dari penerapan Tri Dharma Perguruan
Tinggi.
Di samping peranan dalam mendidik baik dalam pendidikan bergelar
maupun pendidikan tambahan (non gelar), fakultas hukum dapat
berperan dengan melakukan riset yang berkaitan dengan permasalahan
penegakan hukum di Indonesia. Banyaknya masalah hukum memerlukan
riset-riset yang hasilnya diperlukan bagi lembaga penegak hukum untuk
pengambilan keputusan. Peningkatan kapasitas penegak hukum juga
bisa dilakukan melalui continuing legal education maupun in house
training untuk berbagai bidang yang dibutuhkan oleh masing-masing
institusi penegak hukum.
Oleh karena itu, sangatlah penting membangun titian dan jembatan
antara praktisi penegak hukum dengan perguruan tinggi sebagai kawah
candradimuka pendidikan. Karena sesungguhnya tiada sebuah kebijakan
yang adil melainkan didasarkan pada ilmu pengetahuan,
- 14 -

Demikianlah beberapa hal yang dapat saya sampaikan, semoga


Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa, senantiasa memberikan kekuatan,
bimbingan, dan perlindungan kepada kita semua untuk senantiasa dapat
memberikan kontribusi yang terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan
negara.

Sekian dan terima kasih.


Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Shaloom,
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua,
Om Shanti Shanti Shanti Om,
Namo Budhaya,
Salam Kebajikan.

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BURHANUDDIN

Anda mungkin juga menyukai