Anda di halaman 1dari 236

RAJAWALI PERS

Divisi Buku Perguruan Tinggi


PT RajaGrafindo Persada
DEPOK
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam terbitan (KDT)
Jean Calvijn Simanjuntak.
Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia/
Jean Calvijn Simanjuntak.—Ed. 1, Cet. 1.—Depok: Rajawali Pers, 2023.
xxiv, 212 hlm., 23 cm.
Bibliografi: hlm. 201
ISBN 978-623-08-0275-1

Hak cipta 2023, pada penulis


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
01.2023.00620.00.001
2023.4159 RAJ
Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H.
RESTORATIVE JUSTICE
Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia
Cetakan ke-1, November 2023
Hak penerbitan pada PT RajaGrafindo Persada, Depok
Editor : Tim RGP
Copy Editor : Dhea Aprilyani
Setter : Feni Erfiana
Desain cover : Tim Kreatif RGP
Dicetak di Kharisma Putra Utama Offset

PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16456
Telepon : (021) 84311162
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id

Perwakilan:
Jakarta-16456 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243,
Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819.
Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294,
Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka
Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin
Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-
3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Perum. Bilabong Jaya
Block B8 No. 3 Susunan Baru, Langkapura, Hp. 081299047094.
KATA SAMBUTAN
Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Salam sejahtera bagi kita sekalian.
Dengan memanjatkan puji syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, saya menyambut baik
atas terbitnya buku Restorative Justice:
Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia yang
disusun oleh Komisaris Besar Pol. Dr. Jean
Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H.
Restorative justice merupakan sebuah
konsep penyelesaian perkara yang menjunjung
tinggi keseimbangan antara pemulihan korban
dan perlakuan secara proposional terhadap pelaku kejahatan, serta
bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang solutif di antara kedua belah
pihak. Konsep ini telah diterapkan Polri dalam proses penyidikan melalui

v
mekanisme mediasi penal, khususnya terkait tindak pidana ringan dan
tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan pendekatan kearifan lokal.
Kearifan lokal yang berlaku sejak lama dan telah disepakati di
beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Makassar, dan
Kalimantan, memiliki tata cara tersendiri dalam penyelesaian masalah
guna menjaga keteraturan masyarakatnya. Nilai kearifan lokal juga
menjadi fondasi kultural dalam penerapan restorative justice pada sistem
peradilan pidana, karena sejalan dengan asas peradilan, yaitu cepat,
sederhana, dan biaya ringan. Ke depan, pelaksanaan restorative justice
diharapkan dapat terwujud dalam setiap penahapan, baik penyidikan,
penuntutan, maupun persidangan. Terlebih saat ini UU No. 1 Tahun
2023 tentang KUHP telah mengakomodir living law dan mengusung
paradigma restorative justice, sehingga mampu menjadi payung hukum
untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan restorative pada setiap institusi
penegak hukum.
Melalui buku ini, penulis telah menuangkan pemikiran berdasarkan
penelitian disertasinya yang telah dipertanggungjawabkan dalam ujian
doktoral. Semoga buku ini dapat menjadi referensi bagi kalangan
aparat penegak hukum, akademisi, dan praktisi hukum untuk menjaga
harmonisasi kehidupan bersama, serta memajukan bangsa berdasarkan
hukum yang berkeadilan, berkepastian, serta bermanfaat bagi harkat
dan martabat masyarakat.
Demikian sambutan saya, semoga Allah Swt., Tuhan Yang Maha
Kuasa, senantiasa memberikan perlindungan, bimbingan, dan kekuatan
kepada kita dalam melanjutkan pengabdian terbaik kepada masyarakat,
bangsa, dan negara.
Sekian dan terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, September 2023

vi Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


KATA SAMBUTAN
Komjen Pol. Wahyu Widada, M.Phil.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal
Kepolisian Republik Indonesia

Pertama-tama saya mengucapkan selamat


kepada Kombes Pol. Dr. Jean Calvijn
Simanjuntak, S.I.K., M.H., atas diterbitkannya
buku perdana yang berjudul Restorative Justice:
Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia.
Saya menyambut baik buku ini karena
substansinya semakin memperkuat landasan
kebijakan filosofis dan sosiologis dalam norma
pelaksanaan restorative justice. Sebagai konsepsi
hukum, restorative justice telah menjadi salah satu alternatif solusi yang
humanis dalam menyelesaikan perkara pidana di Indonesia. Secara
konseptual, restorative justice sesungguhnya bukan merupakan hal yang
baru. Nilai-nilainya telah lama hidup dalam sanubari bangsa Indonesia,
bahkan telah memberi landasan pranata di berbagai aspek kehidupan
masyarakat.

vii
Dalam perkembangannya, pada tahun 2018, Kapolri menetapkan
kebijakan untuk mengarahkan proses penanganan dan penyelesaian
perkara pidana dengan menggunakan mekanisme keadilan restoratif.
Kebijakan itu diatur dalam Surat Edaran Nomor: SE/8/VII/2018 tentang
Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Penerapan konsepsi restorative justice di kepolisian semakin melembaga
dengan diberlakukannya Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021
tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam melaksanakan tugasnya, Polri memiliki peran yang strategis di
bidang penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan, sehingga
semakin dipercaya dan dicintai masyarakat. Hal itu telah ditegaskan
dalam visi dan misi Kapolri, yaitu mewujudkan transformasi Polri yang
Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan).
Harus diakui, pelaksanaan restorative justice oleh kepolisian telah
menjadi salah satu alternatif solusi dalam mengatasi over kapasitas
pada lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan. Selain itu, telah
membantu menghemat anggaran negara, serta mempercepat proses
penegakan hukum. Bagi institusi Polri sendiri, penerapan restorative justice
telah berkontribusi dalam meningkatkan kinerja secara keseluruhan.
Lebih dari itu, juga dapat membantu masyarakat menyelesaikan konflik
dan memperoleh keadilan yang diharapkan tanpa membutuhkan waktu
lama dan biaya yang mahal. Ini berarti, keharmonisan kehidupan
yang sempat rusak dan berbagai kerugian yang diderita korban dapat
dipulihkan berdasarkan kesepakatan.
Akhir kata, saya berharap semoga buku ini menjadi langkah awal
bagi lahirnya karya-karya lainnya oleh Dr. Calvijn yang akan memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan serta memberi sumbangan pemikiran yang
berharga bagi pengembangan dan penegakan hukum di Indonesia.
Salam Presisi!

Jakarta, 28 Agustus 2023

viii Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


KATA SAMBUTAN
Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc.
Rektor Universitas Pelita Harapan

Menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya


untuk menuliskan kata sambutan guna
mengantarkan penerbitan buku hukum yang
substansinya sangat aktual dan humanis ini,
Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal
Indonesia. Dengan padanan kata keadilan
restoratif, kata restorative justice lebih mudah
diingat, dipahami, dan dimengerti hakikat
tujuannya yang sangat arif serta mulia dalam
menyelesaikan permasalahan hukum tertentu secara berkeadilan bagi
para pihak terkait.
Dari segi konsepsi, restorative justice mengandung makna hukum
yang lebih mengedepankan nilai keadilan dan sekaligus kemanusiaan
karena mengesampingkan prosedur penyelesaian perkara hukum secara
konvensional, berikut norma-norma hukum formal yang cenderung

ix
mekanis dan progresif. Konsepsi restorative justice juga menawarkan nilai
keadilan dengan pendekatan baru yang lebih menempatkan harkat dan
martabat kemanusiaan, ketimbang penghukuman yang menyakitkan
dan menghilangkan kemerdekaan.
Ketika saya memimpin Sidang Promosi Doktor bagi Sdr. Calvijn,
saya menyimpan suatu harapan dan sekaligus keinginan untuk sekiranya
disertasi yang luar biasa ini dapat diformat menjadi buku ilmiah dan
disosialisasikan substansinya ke tengah-tengah masyarakat, termasuk
aparat penegak hukum. Harapan itu terjawab dalam waktu yang tidak
terlalu lama. Puji Tuhan atas berkat dan tuntunan-Nya, sehingga Sdr.
Dr. Calvijn dapat menyelesaikan penulisan buku ini dalam momen yang
sangat tepat, yaitu ketika di tengah-tengah masyarakat banyak terjadi
perkara hukum atau tindak pidana yang berpotensi untuk diselesaikan
melalui keadilan restoratif. Ini berarti, semakin mendorong penyelesaian
hukum yang disepakati dengan kondisi serta persyaratan tertentu yang
bernilai kemanusiaan dan keadilan bagi semua pihak.
Dalam pemahaman saya, ketika hukum mengonsepsikan nilai
keadilan dalam penyelesaian suatu perkara, maka pada saat itu
sesungguhnya cinta kasih Tuhan yang bekerja mengatasi segala perasaan
marah, meredam dendam dan keinginan untuk membalas luka-luka
batin maupun fisik yang mungkin dialami. Restorative justice hadir dengan
roh cinta kasih, pengampunan, dan damai sejahtera dari Tuhan.
Singkatnya, dalam konsep restorative justice, teramat lekat di dalamnya
nilai-nilai keadilan, baik dalam wujud kedamaian sejati, kerukunan,
keikhlasan, maupun ikatan persaudaraan sejati yang menjadi inspirasi
bagi penyelesaian masalah-masalah hukum yang lebih manusiawi.
Bagi Indonesia, konsepsi restorative justice memiliki napas yang sama
dengan kearifan lokal (local wisdom) yang penuh toleran dan pemaaf,
serta mencintai perdamaian dalam harmoni kehidupan yang sejalan
dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Semoga kehadiran buku ini dapat menginspirasi banyak pihak,
terutama mendorong aparat penegak hukum menerapkan restorative
justice di lingkup kewenangannya masing-masing.

Jakarta, 2 September 2023

x Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


PRAKATA

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah


menganugerahkan rahmat dan kesehatan dalam menyelesaikan buku
ini. Buku ini merupakan penjelmaan disertasi Penulis yang substansinya
telah dipertahankan dalam ujian doktoral pada Program Doktor Ilmu
Hukum Universitas Pelita Harapan Jakarta.
Sejauh ini, sistem pemidanaan terhadap pelaku kejahatan di
Indonesia sedang dan telah mengalami perubahan ke arah yang lebih
manusiawi. Artinya, tidak lagi mengedepankan penghukuman, tetapi
lebih berorientasi pada pemulihan terhadap korban dan pelaku pidana
melalui pendekatan restorative justice (keadilan restoratif). Masalahnya,
saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang
melandasi penerapannya. Kalaupun dianggap ada, hanya berupa
peraturan teknis yang berlaku di lingkungan institusi Kepolisian,
Kejaksaan, dan Mahkamah Agung yang secara substantif serta
prosedural tidak seragam.
Bagi Indonesia, penerapan restorative justice tidak akan mengalami
banyak hambatan karena memiliki dukungan landasan filosofis, yuridis,
dan sosiologis yang kuat. Secara filosofis, restorative justice dipandang
sebagai pendekatan berbasis nilai-nilai kemanusiaan. Tujuannya, untuk
mengembalikan keharmonisan hubungan, memulihkan hak korban
serta memperbaiki kepribadian pelaku. Dalam hal ini, konsepsi dan

xi
nilai-nilai dasarnya sejalan dengan falsafah Pancasila. Restorative justice
bahkan dapat dianggap sebagai metamorfosa kearifan lokal yang
eksistensinya diakui secara konstitusional. Menurut Clifford Geertz,
substansi kearifan lokal adalah norma-norma yang berlaku di suatu
masyarakat yang diyakini kebenarannya serta menjadi acuan dalam
tindakan maupun perilaku sehari-hari. Secara yuridis, UUD 1945 telah
memberi landasan pengakuan mengenai kesatuan masyarakat hukum
adat, sebagai pengemban nilai-nilai local wisdom dan merawatnya sebagai
tatanan hidup. Sementara itu, secara sosiologis, nilai-nilai restorative
justice telah lama diterapkan dalam kehidupan komunitas adat di
Indonesia. Di antaranya, dalam adat Batak yang mengenal istilah Hula-
hula, Dongan Tubu, dan Boru untuk menyelesaikan permasalahan hukum
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan digerakkan oleh Lembaga
Dalihan Na Tolu. Demikian pula dalam hukum adat Jawa yang tidak
mengedepankan penghukuman terhadap kesalahan, melainkan merawat
tradisi saling kunjung, empati daya dinayanan (saling memberi kekuatan),
guyub, rukun, gotong royong, samad-sinamadan (saling memperhatikan
dan simpati), sikap hormat menghormati, tepo seliro, mawas diri, dan
toleransi yang merupakan nilai aslinya. Kearifan lokal yang terpelihara
dengan baik di komunitas adat di Lombok juga mengonfirmasi nilai-
nilai persaudaraan, perdamaian, dan harmoni dalam tatanan kehidupan
masyarakat melalui berugaq sekepat, yang dilembagakan menjadi Bale
Mediasi. Perlu pula dicatat nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di
kalangan masyarakat adat Dayak di Kalimantan, mengedepankan
prinsip adil ka’talino, bacuramin ka’saruga, dan basengat ka’jabuta dalam
menyelesaikan perkara. Sementara itu, masyarakat adat Bali memiliki
awig-awig untuk mengatur kehidupan bersama, demikian juga daerah-
daerah lainnya. Berbagai bentuk kearifan lokal tersebut merupakan
entitas yang menentukan harkat dan martabat manusia dalam
komunitasnya, serta mewakili keberadaan nilai-nilai kearifan lokal
dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menjadi rahim sekaligus
roh restorative justice.
Menurut Eddy Hiariej, restorative justice adalah bentuk pendekatan
penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga korban dan pelaku, serta pihak lain yang terkait
untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan

xii Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Sementara itu,
Indriyanto Seno Adji menyarankan agar regulasi yang tidak efisien dan
tumpang tindih saat ini perlu dikaji kembali dengan lebih diarahkan
pada pendekatan restorative justice yang lebih bermanfaat bagi masyarakat
(social welfare maximization). Dengan demikian, dapat menjadi fondasi
bagi sistem pemidanaan yang lebih humanis dan menjaga keadaban,
keselarasan, serta kedamaian dalam kehidupan sosial.
Sebagai “gerbang utama” penanganan tindak pidana, kepolisian
memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam menerapkan
restorative justice. Polri wajib menegakkan hukum secara transparan dan
berkeadilan, agar Polri semakin dipercaya dan dicintai masyarakat. Hal
ini sesuai dengan kebijakan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dalam program
transformasi menuju Polri yang PRESISI (Prediktif, Responsibilitas,
Transparansi Berkeadilan).
Menurut catatan, pelaksanaan restorative justice oleh kepolisian telah
memberikan kontribusi dalam penghematan anggaran dan percepatan
proses penegakan hukum, serta mengurangi angka penambahan warga
binaan sehingga tidak memperburuk kondisi over kapasitas lembaga
pemasyarakatan. Lebih dari itu, juga telah membantu meningkatkan
kinerja Polri secara keseluruhan. Korban tidak lagi memerlukan waktu
yang lama dan biaya yang mahal untuk mendapatkan keadilan, serta
mendapatkan pemulihan haknya ketika perkaranya diselesaikan di
tingkat penyidikan. Pelaku juga mendapatkan kepastian mengenai
waktu penyelesaian perkaranya yang lebih singkat karena tidak perlu
dibawa ke pengadilan. Perhitungannya adalah dalam hal tersangka atau
terdakwa ditahan, maka waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
satu perkara tindak pidana, mulai dari tingkat penyidikan sampai
dengan adanya putusan kasasi adalah ± 400 hari. Sementara itu, apabila
penyidikan dihentikan berdasarkan mekanisme restorative justice, akan
menghemat waktu ± 340 hari, ini berarti juga menghemat anggaran
penegakan hukum secara keseluruhan.
Sejak berlakunya Perpol No. 8 Tahun 2021 sampai dengan akhir
Desember 2022, Polri telah menyelesaikan penanganan sebanyak
32.759 perkara melalui restorative justice, baik di tingkat penyelidikan
maupun penyidikan yang berasal dari 594.669 Laporan Polisi. Hal ini
berarti, Polri telah berkontribusi dalam mengurangi angka penambahan

Prakata xiii
warga binaan pemasyarakatan sekurangnya 32.759 orang yang apabila
prosesnya diteruskan dapat memperburuk kondisi over kapasitas Lapas/
Rutan, serta menghemat anggaran negara, terutama untuk biaya makan
warga binaan sebesar ± Rp504.981.615.295,00.
Harus diakui, penerapan restorative justice oleh kepolisian juga
mengalami hambatan dan kendala, baik dari aspek instrumental
maupun institusional. Secara instrumental, kendalanya karena belum
ada undang-undang yang secara tegas mengatur kriteria maupun tata
cara pelaksanaan restorative justice. Selain itu, penghentian penyidikan
berdasarkan restorative justice di kepolisian dianggap (berpotensi)
bertentangan dengan undang-undang. Sebab, ketentuan mengenai
penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum, telah diatur secara
tegas dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 KUHP. Lebih dari itu,
belum ada pengaturan mengenai sanksi dalam hal pelaku atau korban
tidak menjalankan kesepakatan perdamaian. Sementara itu, hambatan
institusional menyangkut potensi penyalahgunaan restorative justice
oleh penyidik dan pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab.
Di samping itu, masih terdapat ketidaksamaan pemahaman di antara
para penyidik terkait jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan, juga
belum tersedia fasilitator dan mediator yang terlatih untuk menerapkan
restorative justice.
Dalam perspektif law making, saat ini merupakan momentum yang
tepat untuk mengadopsi konsepsi restorative justice dalam revisi KUHAP.
Hal ini penting untuk memberikan landasan norma dan kepastian
hukum dalam penerapannya. Adapun untuk operasionalisasinya, perlu
ditegaskan bahwa restorative justice dapat diterapkan pada semua tahap
sistem peradilan pidana, baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pengadilan, maupun lembaga pemasyarakatan. Hal ini
sejalan dengan pandangan ECOSOC Res. 2000/14 yang menegaskan
bahwa “restorative justice programmes should be generally available at all stages
of the criminal justice process”, yaitu restorative justice seharusnya dapat
diterapkan pada setiap tahap sistem peradilan pidana.
Bagi Indonesia, terdapat beberapa alasan penting untuk membangun
payung hukum bagi penerapan restorative justice, di antaranya
menyangkut desakan masyarakat agar terhadap perkara pidana tertentu
dapat diselesaikan melalui restorative justice, serta potensi restorative

xiv Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


justice sebagai salah satu solusi untuk mengatasi over capacity di lembaga
pemasyarakatan. Selain itu, diperlukan untuk mengatasi tunggakan
perkara yang semakin meningkat ketika jumlah aparat penegak hukum
tidak seimbang dengan banyaknya perkara. Selebihnya, keterbatasan
anggaran negara yang tidak mampu mendukung pembiayaan untuk
penanganan perkara yang terus meningkat.
Dengan mempertimbangkan kondisi dan permasalahan di atas,
serta berpijak pada economic analysis of law, dipertimbangkan perlunya
menerapkan kebijakan terkait pengaturan yang tepat untuk mendasari
penerapan restorative justice di Indonesia. Untuk kebijakan operasional,
perlu disusun Surat Keputusan Bersama (SKB) antara institusi
Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung. SKB ini hanya bersifat
sementara, sambil mendorong perlunya segera dibentuk peraturan
perundang-undangan yang mengikat semua lembaga penegak hukum.
Instrumen SKB tersebut menjadi solusi untuk mengatasi disharmoni
regulasi teknis yang berlaku saat ini, termasuk koordinasi dalam
penanganan perkara sesuai kewenangan masing-masing institusi
penegak hukum.
Sementara itu, untuk kebijakan strategis, perlu disusun Peraturan
Pemerintah (PP) tentang restorative justice sebagai peraturan pelaksana
KUHAP dan KUHP. Materi yang perlu diatur antara lain mengenai
pengertian konseptual dan tujuan restorative justice, jenis tindak pidana
yang dapat ditangani dengan pendekatan restorative justice, berikut
mekanisme penerapannya. PP ini juga perlu mengatur bahwa restorative
justice hanya dapat diselenggarakan dengan persetujuan bersama para
pihak. Apabila tidak tercapai kesepakatan, perkaranya dilanjutkan
dengan pemeriksaan berdasarkan hukum acara pidana. Sebaliknya,
apabila tercapai kesepakatan, mendapatkan penetapan pengadilan.
Adapun untuk kebijakan permanen, DPR dan pemerintah perlu
menetapkan norma-norma pengaturan restorative justice dalam revisi
KUHAP. Selain beberapa substansi yang perlu diatur dalam PP di atas,
dalam KUHAP perlu ditegaskan pengecualian penerapan restorative
justice bagi pelaku residivis. Hal yang pasti, mekanisme restorative
justice dapat diberlakukan pada setiap tahap sistem peradilan pidana,
berdasarkan kesepakatan para pihak. Lebih dari itu, perlu ditegaskan
bahwa institusi Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung diberi

Prakata xv
kewenangan sebagai mediator dan fasilitator. Kesemuanya itu menjadi
metamorfosa kearifan lokal dalam konsepsi restorative justice, sebagai
alternatif penyelesaian perkara pidana yang lebih arif, manusiawi, dan
bermanfaat bagi masyarakat.
Penulis menyadari, buku ini masih memiliki banyak kekurangan.
Penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun, serta
masukan dan saran untuk perbaikan buku ini ke depan. Terima kasih
atas kesediaannya untuk memiliki dan membaca buku ini. Tuhan
memberkati!

21 September 2023

Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H.

xvi Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN
Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia v
KATA SAMBUTAN
Komjen Pol. Wahyu Widada, M.Phil.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal
Kepolisian Republik Indonesia vii
KATA SAMBUTAN
Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc.
Rektor Universitas Pelita Harapan ix
PRAKATA xi
DAFTAR ISI xvii
DAFTAR GAMBAR xxi
DAFTAR TABEL xxiii
BAB 1 KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE DALAM
HUKUM INDONESIA 1
A. Hukum sebagai Pranata Sosial 1
1. Norma Hukum 3
2. Pelanggaran Hukum: Perdata dan Pidana 8
3. Sanksi Hukum 9

xvii
B. Konsepsi Restorative Justice 13
1. Restorative Justice sebagai Konsep Penyelesaian
Perkara Pidana 17
2. Restorative Justice sebagai Proses Penyelesaian
Perkara Pidana 28
C. Perkembangan Konsepsi Restorative Justice 34
D. Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal
dalam Hukum Adat di Indonesia 43
1. Hukum Adat Batak Toba 52
2. Hukum Adat Jawa 54
3. Hukum Adat Bali 56
4. Hukum Adat Sasak (Lombok) 58
5. Hukum Adat Dayak (Kalimantan) 60

BAB 2 SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 63


A. Konsepsi Pidana dan Pemidanaan 63
B. Tujuan Hukum Pidana 69
C. Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana 71
1. Teori Retributif (Pembalasan) 73
2. Teori Relatif (Tujuan) 75
3. Teori Gabungan 76
D. Sistem Peradilan Pidana 77
1. Kepolisian 78
2. Kejaksaan 79
3. Pengadilan 81
4. Lembaga Pemasyarakatan 81
5. Advokat 82
E. Kepolisian sebagai Prime Mover dalam Sistem
Peradilan Pidana 83
1. Penyelidikan 84
2. Penyidikan 85

xviii Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


BAB 3 URGENSI PENGATURAN RESTORATIVE JUSTICE
DI INDONESIA 95
A. KUHAP dan KUHP 95
1. Restorative Justice pada Tingkat Penyidikan 95
2. Restorative Justice pada Tingkat Penuntutan 96
3. Restorative Justice pada Tingkat Persidangan 97
B. Perundang-undangan di Luar KUHAP dan KUHP 98
C. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia 100
D. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia 105
E. Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan
Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia 108

BAB 4 PENERAPAN KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE


DI INDONESIA 115
A. Penerapan Konsepsi Restorative Justice di
Kepolisian 115
1. Bentuk Penerapan Restorative Justice 125
2. Hambatan dan Kendala Penerapan
Restorative Juctice 131
3. Manfaat Penerapan Restorative Justice 144
B. Penerapan Konsepsi Restorative Justice pada
Instansi di Luar Kepolisian 149
1. Penerapan Restorative Justice di Kejaksaan 149
2. Penerapan Restorative Justice di Pengadilan 153
3. Pembelajaran dari Penerapan Konsepsi
Restorative Justice 159

BAB 5 PENERAPAN KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE


BERDASARKAN KEARIFAN LOKAL
DALAM HUKUM ADAT DI INDONESIA 163
A. Penelitian di Sumatera Utara 163
B. Penelitian di Bali 166
C. Penelitian di Yogyakarta dan Solo 168
1. Yogyakarta 168
2. Solo 169

Daftar Isi xix


D. Penelitian di Jakarta 171
E. Penelitian di Nusa Tenggara Barat 173
F. Pembelajaran dari Hasil Verifikasi Empiris 176

BAB 6 MODEL PENGATURAN RESTORATIVE JUSTICE


DI INDONESIA 183
A. Konsepsi Pengaturan Restorative Justice pada
Semua Tahap Sistem Peradilan Pidana 183
B. Rasionalitas Landasan Pengaturan 186
1. KUHAP sebagai Payung Hukum 189
2. Regulasi Teknis Setiap Instansi Penegak Hukum 191

BAB 7 REKOMENDASI KEBIJAKAN RESTORATIVE JUSTICE


DI INDONESIA 195
A. Langkah Kebijakan Permanen 195
B. Langkah Kebijakan Strategis 197
C. Langkah Kebijakan Operasional 198

DAFTAR PUSTAKA 201


BIODATA PENULIS 211

xx Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Segitiga Restorative Justice 23


Gambar 4.1 Alur Penyelesaian Tindak Pidana Melalui
Restorative Justice 119
Gambar 4.2 Alur Penyelesaian Tindak Pidana Secara
Konvensional 121
Gambar 4.3 Alur Sistem Peradilan Pidana 122
Gambar 4.4 Survei Kepolisian Q-10 137
Gambar 4.5 Survei Kepolisian Q-7 138
Gambar 4.6 Survei Kepolisian Q-8 139
Gambar 4.7 Survei Kepolisian Q-6 141
Gambar 4.8 Survei Kepolisian Q-5 144
Gambar 4.9 Survei Kejaksaan Q-4 151
Gambar 4.10 Survei Kejaksaan Q-5 151
Gambar 4.11 Survei Kejaksaan Q-6 152
Gambar 4.12 Survei Kejaksaan Q-10 153
Gambar 4.13 Survei Pengadilan Q-2 156
Gambar 4.14 Survei Pengadilan Q-4 157
Gambar 4.15 Survei Pengadilan Q-3 157
Gambar 4.16 Survei Pengadilan Q-5 158

xxi
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Data Penghentian Tindak Pidana Melalui


Restorative Justice di Kepolisian Republik Indonesia 124
Tabel 4.2 Data Kriteria dan Jenis Tindak Pidana
Restorative Justice 132
Tabel 4.3 Data Penghuni dan Kapasitas Lapas/Rutan di
Indonesia Tahun 2019–2021 147
Tabel 5.1 Data Restorative Justice Polresta Mataram 179

xxiii
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB
1
KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE
DALAM HUKUM INDONESIA

A. Hukum sebagai Pranata Sosial


Pada hakikatnya, manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup
sendiri dan cenderung berada dalam kelompok atau komunitas, serta
memiliki nilai-nilai yang dipelihara sebagai pranata hidup bersama.
Dalam Alkitab dinyatakan bahwa sejak awal penciptaan, manusia hidup
bersama dengan manusia lainnya. Allah menciptakan laki-laki dan
perempuan untuk hidup saling berdampingan dan saling melengkapi.1
Manusia yang satu akan menjadi penolong bagi manusia lainnya, dan
secara kodrati mereka tergabung dalam komunitas kecil, yakni keluarga.2
Dalam komunitas keluarga, manusia telah diajarkan tentang nilai-nilai

1
Alkitab, Kejadian 1: 27-28: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman
kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
2
Alkitab, Kejadian 2:18: “Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia
itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
dengan dia.” Kitab Kejadian 2: 21-24 yang berbunyi: “Lalu Tuhan Allah membuat
manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu
rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang
diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu
dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia
diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”

1
dan etika berperilaku, baik mengenai hal-hal yang dibolehkan maupun
dilarang. Dalam perkembangannya, lingkup pergaulan manusia dengan
sesamanya menjadi semakin luas, terstruktur, dan saling bergantung.
Dalam pergaulan hidup yang semakin luas seperti itu, diperlukan adanya
nilai dan kaidah untuk menjaga secara tertib, teratur, dan harmoni.
Kaidah-kaidah tersebut memiliki beragam bentuk, antara lain,
kaidah agama, kesusilaan, kesopanan, dan kaidah hukum. Menurut
Soerjono Soekanto, kaidah hukum dapat berwujud peraturan tertulis,
keputusan lembaga pemerintahan, maupun putusan pengadilan.3
Dalam perspektif sosiologis, hukum merupakan pranata sosial,
atau dalam istilah Soekanto, lembaga kemasyarakatan (social institution),
yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola
perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia. Sebagai
suatu lembaga kemasyarakatan, hukum hidup berdampingan dengan
lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling memengaruhi.4 Dalam
pandangan Soekanto, hukum merupakan lembaga kemasyarakatan yang
primer di dalam suatu masyarakat apabila memenuhi syarat-syarat atau
prakondisi sebagai berikut.5
1. Sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority)
dan berwibawa (prestigeful).
2. Hukum tersebut harus jelas dan sah secara yuridis, filosofis,
maupun sosiologis.
3. Penegak hukum harus dapat dijadikan teladan bagi terbentuknya
kepatuhan terhadap hukum.
4. Diperhatikannya faktor pengendapan hukum di dalam jiwa para
warga masyarakat.
5. Para penegak dan pelaksana hukum harus merasa terikat pada
hukum yang diterapkan dan membuktikan hal itu di dalam pola
perilakunya.

3
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1988), hlm. 2.
4
Ibid., hlm. 4. Soekanto juga menjelaskan, lembaga kemasyarakatan memiliki
banyak ragam bentuk, seperti: keluarga batih, pelamaran, perkawinan, perceraian,
koperasi, industri, pertanian, peternakan, taman kanan-kanak, pesantren, sekolah-
sekolah dasar, sekolah-sekolah menengah, perguruan tinggi, olahraga, kesusastraan,
seni rupa, seni suara, dan lain sebagainya.
5
Ibid., hlm. 82.

2 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


6. Sanksi yang positif maupun negatif dapat digunakan untuk
menunjang pelaksanaan hukum.
7. Perlindungan yang efektif terhadap mereka yang terkena aturan-
aturan hukum.

Sebagai suatu sistem, apabila syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka


hukum akan berpengaruh terhadap lembaga-lembaga kemasyarakatan
lainnya. 6 Sebagaimana diulas di atas bahwa lembaga-lembaga
kemasyarakatan diatur oleh berbagai norma, yaitu norma agama,
kesusilaan, kesopanan, dan norma hukum. Khusus mengenai norma
hukum, perlu dibahas lebih lanjut, berikut bentuk pelanggaran norma
hukum serta sanksi bagi pelanggar.

1. Norma Hukum
Sejauh ini, para ahli memiliki pandangan yang beragam tentang
norma hukum. Dworkin mencatat bahwa norma hukum tumbuh dan
berkembang di penalaran yang problematis, sebagai berikut.7
a. Hukum dianggap sebagai tipe institusi sosial yang berbeda dalam
dirinya sendiri dan kompleks. Oleh karena itu, muncul sejumlah
pernyataan bahwa “hukum merupakan salah satu pencapaian manusia
yang paling dibanggakan”, atau “hukum merupakan instrumen bagi
pihak yang kuat untuk ‘menindas’ pihak yang lemah”, atau “hukum
merupakan instrumen yang lebih primitif pada sejumlah kelompok
masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat lain.”
b. Hukum merupakan jenis aturan yang berbeda dari aturan sosial
lainnya, atau mengandung standar aturan berbeda yang memiliki
jenis silsilah tertentu. Sejalan dengan pandangan itu, terdapat
pernyataan yang mengatakan bahwa “parlemen meloloskan sebuah
hukum yang boleh memungut pajak dari pencapaian kapital
tertentu”, atau “kongres telah menindaklanjuti serangkaian ‘hukum’
untuk melawan polusi”. Kedua pernyataan itu menggambarkan
penilaian tentang hukum yang berbeda perspektif dan maknanya.

Ibid.
6

R.M. Dworkin, Filsafat Hukum, Suatu Pengantar (Diterjemahkan oleh Yudi


7

Santoso), Yogyakarta: Merkid Press, 2013, hlm. 2.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 3


c. Hukum yang menjadi sumber khusus bagi hak dan kewajiban
tertentu, kekuasaan tertentu, dan hubungan tertentu di antara
masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat selalu mengatakan: “sesuai
dengan hukumlah jika seorang dokter bertanggung jawab atas
kelalaiannya”, atau “sudah menjadi prinsip hukum jika tak seorang
pun boleh meraih keuntungan dari kesalahannya sendiri”.

Sebagai penganut paham positivisme hukum, John Austin


berpendapat bahwa hukum adalah seperangkat aturan yang dipilih
secara khusus untuk mengatur tatanan publik. Dalam konteks
pemahaman ini, hukum adalah apa yang tertulis dalam aturan atau
undang-undang. Austin juga menegaskan bahwa aturan tersebut
merupakan jenis perintah umum.8 Pemikiran Austin tersebut ditolak
oleh ahli positivisme hukum lain, H.L.A. Hart. Menurut Hart, jika
hukum dipahami sebagai perintah umum, dan orang diwajibkan di
bawah hukum, apabila orang itu sanggup menahan sakit, bisa saja ia
tidak mematuhi hukum tersebut. Dalam kaitan ini, Hart menunjukkan
bahwa pandangan ini telah meniadakan perbedaan antara ‘diwajibkan’
melakukan sesuatu dan ‘berkewajiban’ melakukan (being obliged to do
something atau being obliged to do it).9
Definisi tentang hukum dapat pula mengacu pada pandangan
E. Utrecht. Menurut Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk
hidup (perintah atau larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat dan jika
dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari
masyarakat itu.10 Sementara itu, menurut Immanuel Kant,11 hukum
adalah keseluruhan syarat berkehendak bebas dari orang untuk
dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain, dengan
mengikuti peraturan tentang kemerdekaan.

8
Ibid., hlm. 63.
9
Ibid.
10
Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
hlm. 21.
11
Wawan Muhwan Hairi, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia,
2012), hlm. 22.

4 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Dalam pandangan Thomas Hobbes,12 hukum adalah sekumpulan
perintah dari orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah dan
memaksakan perintahnya kepada orang lain. Adapun menurut J.C.T.
Simorangkir dan Woerjono Sastro Pranoto,13 hukum adalah sekumpulan
peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan resmi, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat,
pelanggaran terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan
hukuman.
Berdasarkan penjelasan dan pendapat para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa hukum memiliki unsur-unsur sebagai berikut.14
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia.
b. Peraturan itu dibuat oleh badan berwenang.
c. Peraturan tersebut bersifat memaksa, walaupun tidak dapat
dipaksakan.
d. Peraturan itu disertai sanksi yang tegas dan dapat dirasakan oleh
yang bersangkutan.

Norma hukum menurut Soekanto bertujuan untuk mencapai


kedamaian dalam pergaulan manusia. Kedamaian dapat tercapai dengan
menciptakan keserasian antara ketertiban (yang bersifat lahiriah) dan
ketenteraman (yang bersifat batiniah).15 Tujuan hukum ini akan tercapai
apabila didukung oleh tugas hukum, yakni keserasian antara kepastian
hukum dengan kesebandingan hukum, sehingga akan menghasilkan suatu
keadilan.16 Sejalan dengan tujuan hukum tersebut, Gustav Radbruch
merinci dalam tiga nilai dasar tujuan hukum, yaitu kemanfaatan,
kepastian, dan keadilan. Dalam perjalanannya, ketiga nilai dasar tersebut
sulit dilaksanakan secara bersamaan, karena antara kepastian hukum

12
H. Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
hlm. 10.
13
Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
hlm. 21.
14
H.A. Hafizh Dasuki, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997), hlm. 9.
15
Soekanto, Op. Cit., hlm. 68.
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, dalam Teguh Prasetyo dan
Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2022), hlm. 39.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 5


dapat terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan
kepastian hukum, dan antara keadilan dengan kemanfaatan hukum.17
Untuk mengonstruksikannya, Radbruch menggunakan “asas prioritas”,
dan nilai keadilan harus menempati posisi yang pertama dan utama
daripada nilai kemanfaatan dan kepastian hukum.
Menurut Hayyan Ul Haq, “asas prioritas” dalam menerapkan
tujuan hukum di atas perlu dilakukan review, karena terjadi kekeliruan
epistemologis dalam memahami teori Radbruch. Berdasarkan asas
prioritas, apabila ingin menegakkan kepastian hukum, akan mengorbankan
keadilan dan kemanfaatan, atau sebaliknya, kalau menegakkan
kemanfaatan, yang akan diabaikan adalah keadilan dan kepastian. Ul
Haq menjelaskan bahwa pandangan klasik seperti ini harus ditinggalkan,
karena seharusnya putusan yang dibuat harus mengandung kemanfaatan,
dan tidak boleh bertentangan dengan kepastian dan keadilan. Keadilan
yang dikehendaki adalah keadilan yang bersifat substantif sebagaimana
dimaksud dalam konsepsi restorative justice.18
Gustav Radbruch juga mengembangkan pemikiran geldings theorie,
yang mengemukakan bahwa berlakunya hukum secara sempurna harus
memenuhi tiga nilai dasar, meliputi hal berikut.19
a. Nilai filosofis (philosophical doctrine), artinya aturan hukum mengikat
masyarakat karena sesuai dengan cita hukum yang mendasarinya.
Dalam konsepsi ini keadilan merupakan sebagai nilai positif yang
tertinggi dalam hukum.
b. Nilai kepastian hukum (juridical doctrine), yang berarti bahwa
kekuatan mengikatnya suatu hukum didasarkan pada aturan hukum
yang lebih tinggi. Penganut aliran positivis menganggap hukum
merupakan serangkaian peraturan yang dibuat oleh manusia atau
badan berwenang yang harus ditaati dan jika tidak ditaati akan
dikenakan sanksi.20

17
Eva Achjani Zulva dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,
(Bandung: Lubuk Agung, 2011), hlm. 74.
18
Hayyan Ul Haq, Konsep Restorative Justice dalam Perspektif Teori Hukum dan
Konstitusi, Makalah Seminar Nasional UPH, Jumat 28 Januari 2022.
19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996),
hlm. 19.
20
Henry Sulistyo Budi, Catatan Hukum atas Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pelanggaran Hak Siar, Jurnal Diktum, Vol. 13, Edisi April 2019, hlm. 4–23.

6 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


c. Nilai sosiologis (sociological doctrine), artinya aturan hukum mengikat
karena diakui dan diterima dalam masyarakat (teori pengakuan)
atau dapat dipaksakan sekalipun masyarakat menolaknya (teori
paksaan).

Lebih lanjut, perlu dikutip pendapat Van Apeldoorn, yang


menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup
secara damai.21 Menyangkut tujuan hukum ini, perlu pula dikutip
beberapa teori lain, sebagai berikut.22
a. Teori etis, yang berpendapat bahwa tujuan hukum semata-mata
untuk mewujudkan keadilan. Dalam kaitan ini, Aristoteles
mengajarkan dua makna keadilan, yaitu keadilan distributif dan
keadilan komulatif. Keadilan distributif adalah keadilan yang
memberikan kepada tiap orang jatah menurut jasanya, sedangkan
keadilan komulatif adalah keadilan yang memberikan jatah kepada
tiap orang yang sama banyaknya tanpa harus mempertimbangkan
jasa masing-masing orang.
b. Teori utilitas, menurut Bentham bahwa tujuan hukum adalah
untuk mewujudkan apa yang berfaedah atau yang sesuai dengan
daya guna (efektif). Adagium Bentham yang terkenal dalam hal
ini adalah the greatest happiness for the greatest number, yang artinya
kebahagiaan yang terbesar untuk jumlah yang terbanyak.
c. Teori pengayoman, mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah
untuk mengayomi manusia, baik secara aktif maupun secara
pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya menciptakan
suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses
yang berlangsung secara wajar. Sementara itu, secara pasif adalah
mengupayakan pencegahan atas tindakan yang sewenang-wenang
dan penyalahgunaan hak. Upaya dalam mewujudkan pengayoman
tersebut adalah mewujudkan ketertiban dan keteraturan,
mewujudkan kedamaian sejati, mewujudkan keadilan, dan
mewujudkan kesejahteraan serta keadilan sosial.

21
Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 2000),
hlm. 10.
22
Dudu Duswara Macmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, (Bandung:
Refika Aditama, 2003), hlm. 24–28.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 7


2. Pelanggaran Hukum: Perdata dan Pidana
Secara harafiah, pelanggaran artinya perbuatan melanggar. Melanggar
berarti menubruk, menabrak, menumbuk, menyalahi, melawan,
melewati, melalui (secara tidak sah), dan menyerang.23 Adapun
pelanggaran hukum yang disebut juga sebagai perbuatan melawan
hukum, adalah tindakan seseorang yang tidak sesuai atau bertentangan
dengan aturan yang berlaku. Dengan kata lain, pelanggaran hukum
merupakan pengingkaran terhadap kewajiban yang telah ditetapkan oleh
peraturan atau hukum yang berlaku. Pelanggaran hukum merupakan
bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum.24
Pelanggaran hukum tidak hanya didefinisikan sebagai sekadar
melanggar peraturan tertulis. Dalam konsep hukum, pelanggaran
hukum juga meliputi perbuatan yang bertentangan dengan hak orang
lain, perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri,
dan perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan
dalam pergaulan masyarakat yang baik.25
Dalam konteks hukum pidana, pelanggaran dibedakan dengan
kejahatan. Pelanggaran merupakan tindak pidana yang lebih ringan
daripada kejahatan. Secara normatif, pelanggaran yang dimaksud adalah
perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Pelanggaran hukum terbagi
dalam pelanggaran hukum perdata dan perlanggaran hukum pidana.

a. Pelanggaran Hukum Perdata


Pelanggaran hukum perdata merupakan pelanggaran yang dilakukan
oleh orang terhadap orang lain dalam lingkup hubungan perdata.
Hukum perdata adalah aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap
orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban
yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga.26

23
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/melanggar.
24
Seri Sudiwito, Modul Ajar Pendidikan Pancasila, Universitas Ahmad Dahlan,
hlm. 4.
25
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 6.
26
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Prenhallido, 2001),
hlm. 103.

8 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Hukum perdata pada umumnya meliputi hukum tentang orang atau
hukum perorangan, hukum keluarga, hukum harta kekayaan, dan
hukum waris. Proses penyelesaian perkara pelanggaran hukum perdata
dapat dilakukan di luar pengadilan (non-litigasi) maupun melalui
pengadilan (litigasi).
Penyelesaian sengketa perdata secara non-litigasi lazimnya juga
disebut dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) atau penyelesaian
sengketa alternatif. ADR adalah penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang dikehendaki para pihak.27 Penyelesaian
perkara melalui ADR ini lebih diarahkan pada win-win solution. Adapun
model ADR dapat berupa konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,
penilaian para ahli, dan arbitrase.28

b. Pelanggaran Hukum Pidana


Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran dan kejahatan
terhadap kepentingan umum. Pelanggaran dan kejahatan tersebut
diancam dengan hukuman yang merupakan penderitaan bagi pelanggar
hukum yang bersangkutan. Dalam konsep hukum pidana, pelanggaran
merupakan perbuatan pidana yang relatif ringan dengan ancaman
hukuman berupa denda atau kurungan.
Terminologi lain dalam hukum pidana adalah kejahatan yang berarti
perbuatan pidana yang berat ancaman hukumannya, dapat berupa
hukuman denda, hukuman penjara, dan hukuman mati. Dalam tindak
pidana tertentu, berlaku hukuman tambahan yang berupa penyitaan
barang-barang tertentu, pencabutan hak tertentu, serta pengumuman
keputusan hakim.29 Penyelesaian pelanggaran hukum pidana ditempuh
melalui proses peradilan pidana.

3. Sanksi Hukum
Sesuai dengan fungsinya, hukum memiliki sifat mengatur dan memaksa.
Dalam hukum, diatur tentang larangan yang disertai dengan ancaman
sanksi bagi orang yang melanggarnya. Hampir semua undang-undang

Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta:


27

PT RajaGrafindo Persada, 2016), hlm. 310–311.


28
Ibid.
29
J.B. Daliyo, Op. Cit., hlm. 89.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 9


di Indonesia mengatur mengenai sanksi yang menjadi bagian penting
dalam merumuskan peraturan. Hal ini sejalan dengan pandangan Hans
Kelsen yang mengatakan bahwa setiap sistem norma selalu bersandar
pada sanksi.30 Dalam kehidupan sehari-hari, keberadaan hukum
biasanya baru disadari setelah seseorang diberi sanksi karena telah
melakukan pelanggaran terhadap hukum tersebut.
Menurut Hans Kelsen, sanksi merupakan bentuk reaksi masyarakat
atas tingkah laku manusia (fakta sosial) yang mengganggu masyarakat.31
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menjelaskan sanksi sebagai
tanggungan (tindakan, hukuman) untuk memaksa orang menepati
perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang (anggaran dasar,
perkumpulan, dan sebagainya). Dalam bidang hukum, sanksi juga
diartikan sebagai imbalan negatif, berupa pembebanan atau penderitaan
yang ditentukan dalam hukum.32 Menurut Black’s Law Dictionary, sanction
(sanksi) adalah “a penalty or coercive measure that results from failure to comply
with a law, rule, or order (a sanction for discovery abuse)”.33 Artinya, hukuman
atau tindakan memaksa yang diberlakukan sebagai akibat dari kegagalan
seseorang untuk mematuhi hukum, undang-undang, atau perintah.
Dalam sistem hukum Indonesia, sanksi hukum meliputi: sanksi
pidana, perdata, dan administratif. Pertama, sanksi pidana diatur
dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)34, yang
membagi sanksi pidana ke dalam dua kategori, yakni pidana pokok
dan pidana tambahan. Pidana pokok meliputi hukuman mati, penjara,
kurungan, dan denda. Pidana tambahan meliputi pencabutan beberapa
hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman keputusan
hakim.

30
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 84.
31
Ibid.
32
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sanksi.
33
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/
Jasa, (Jakarta: Visimedia Pustaka, 2014), hlm. 191.
34
KUHP yang dimaksud dalam buku ini adalah merujuk pada Wetboek van
Strafrecht (WvS) yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, sedangkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
akan ditulis KUHP baru.

10 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Pembagian jenis pidana ini mengalami perubahan setelah lahirnya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP baru). Berdasarkan Pasal 64 KUHP baru, jenis
sanksi pidana ditambahkan dengan ‘pidana yang bersifat khusus untuk
tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-undang’, selain
pidana pokok dan pidana tambahan. Selain itu, pidana pokok juga
mengalami perubahan, menjadi pidana penjara, pidana tutupan, pidana
pengawasan, pidana denda, dan pidana kerja sosial.35 Urutan pidana
tersebut diberlakukan sesuai dengan berat atau ringannya tindak pidana
yang dilakukan.36
Pidana tambahan juga mengalami perubahan. Berdasarkan Pasal
66 ayat (1) KUHP baru, pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti rugi;
e. pencabutan izin tertentu; dan
f. pemenuhan kewajiban adat setempat.

Pidana tambahan dapat dikenakan bersama dengan penjatuhan


pidana pokok untuk mencapai tujuan pemidanaan.37 Dalam hal terdakwa
dijatuhi pidana tambahan, hakim dapat menjatuhkan lebih dari satu
jenis pidana tambahan.38 Pidana tambahan untuk percobaan dan
pembantuan sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidananya.39
Dalam Pasal 67 KUHP baru, pidana mati tidak diatur sebagai pidana
utama atau primer, tetapi hanya menjadi pidana yang bersifat khusus
yang selalu diancamkan secara alternatif.
Kedua, sanksi perdata dapat berupa penghukuman untuk
melaksanakan atau memenuhi prestasi dalam hal terjadi sengketa
pelanggaran atas perjanjian (wanprestasi), atau hukuman ganti rugi
dalam hal sengketa perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur

35
Pasal 65 ayat (1) KUHP Baru.
36
Pasal 65 ayat (2) KUHP Baru.
37
Pasal 66 ayat (2) KUHP Baru.
38
Pasal 66 ayat (3) KUHP Baru.
39
Pasal 66 ayat (4) KUHP Baru.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 11


dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sanksi
perdata juga dapat berupa menghilangkan suatu keadaan hukum dan
menciptakan keadaan hukum baru, yang biasanya dalam jenis putusan
disebut dengan putusan konstitutif. Putusan pengadilan dalam perkara
perdata juga dapat bersifat declaratoir, yaitu amar putusan menciptakan
suatu keadaan yang sah menurut hukum. Putusan ini hanya bersifat
menerangkan dan menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata,
yang biasanya dibuat dalam kasus ‘permohonan’.
Ketiga, sanksi administratif dapat berupa peringatan atau teguran
lisan, peringatan atau teguran tertulis, tindakan paksa pemerintahan
(bestuursdwang/politie dwang), penarikan kembali keputusan yang
menguntungkan, denda administratif, dan pengenaan uang paksa
(dwangsom).40 Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan
berarti sanksi pencabutan terhadap keputusan-keputusan (beschikking)
yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
Hukum Indonesia juga mengenal jenis sanksi selain yang dijelaskan
di atas, khususnya yang terkait dengan delik adat. Sanksi terhadap delik
adat, biasanya ditentukan dalam hukum tidak tertulis, yang diakui serta
diterapkan di masing-masing wilayah sesuai dengan adat istiadat yang
berlaku. Menurut Hilman Hadikusuma, sanksi atas pelanggaran delik
adat antara lain berupa:41
a. pengganti kerugian “immateril” dalam pelbagai rupa, seperti paksaan
menikahi gadis yang telah tercemarkan;
b. bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena dampak
pelanggaran, berupa benda sakti sebagai pengganti kerugian rohani;
c. selamatan untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
gaib;
d. penutup malu dan permintaan maaf;
e. pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;

40
Wicipto Setiadi, “Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrumen
Penegakan Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan”, Legislasi Indonesia, Vol.
6, No. 4, (Desember 2009), hlm. 608.
41
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni Bandung,
1979), hlm. 13.

12 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


f. pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata
hukum.

B. Konsepsi Restorative Justice


Aristoteles (384 SM–322 SM), seorang filsuf Yunani, pernah mengatakan
bahwa manusia pada dasarnya merupakan makhluk sosial (zoon politicon),
yang dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan berinteraksi satu
sama lainnya. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan bahkan
bergantung pada manusia lain, sebab ia tidak dapat memenuhi semua
kebutuhannya dengan hanya mengandalkan dirinya sendiri.42
Interaksi sosial yang baik membutuhkan hubungan yang harmonis,
saling menghargai, dan menghormati. Sejalan dengan itu, manusia
cenderung menghindari timbulnya konflik. Meski demikian, manusia
tidak akan mungkin terhindar dari konflik, sehingga dibutuhkan suatu
aturan atau norma yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk ditaati
bersama. Pelanggaran terhadap norma tersebut, dapat mendatangkan
sanksi bagi pelanggarnya. Namun demikian, penyelesaian konflik yang
paling tepat adalah model penanganan yang mampu mengembalikan
kehidupan harmonis yang sempat rusak, sehingga tercipta kembali
kehidupan yang harmoni dan berkelanjutan.
Hubungan yang harmonis akan terwujud kalau ada hukum yang
mengatur. Dalam hukum, terdapat sanksi bagi orang yang melanggar.
Sanksi bagi pelanggar hukum terus berkembang. Pada zaman klasik,
hukum sering menjatuhkan pidana yang berat bagi pelanggarnya agar
menimbulkan efek jera, bahkan pelanggar dapat dijatuhi hukuman
mati. Sanksi berat dijatuhkan bukan karena ada tujuan kepentingan
pelaku maupun korban, melainkan karena si pelaku telah melakukan
kesalahan. Dalam konsep klasik, penghukuman hanya dipandang sebagai
pembalasan atas kejahatan pelaku, “eye for an eye” (lex talionis).43 Dalam

42
Muhamad Amirulloh, “Zoon Politicon Menjadi Zoom Politicon?”, dalam
Jurnal Rechtsvinding online, https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/
ZOON%20 POLITICON%20 MENJADI%20ZOOM%20POLITICON.pdf, diakses
tanggal 28 Desember 2022.
43
T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi: Menuju Sistem
Hukum Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya Deteren dan Mengikuti
Perkembangan Ekonomi, (Yogyakarta: Genta Press, 2015), hlm. 71–72.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 13


teori pemidanaan, pandangan ini sering disebut dengan pemidanaan
retributif.
Sistem pemidanaan retributif mendapat kritik ahli hukum, yang
pada intinya berpendapat, tujuan pemidanaan bukan untuk balas
dendam, tetapi seharusnya memberikan manfaat baik bagi si pelaku dan
masyarakat. Pemidanaan berdasarkan teori retributif, ternyata belum
dirasakan adil, bahkan cenderung tidak menyelesaikan permasalahan
secara keseluruhan. Sebab, penindakan kejahatan lebih difokuskan
kepada pelaku kejahatan dengan cara menjatuhkan hukuman seberat-
beratnya setimpal dengan perbuatannya, agar mendapatkan efek jera.
Kejahatan dipandang sebagai suatu perbuatan yang dilakukan terhadap
negara, sehingga negara dianggap sebagai korban utama. Korban yang
sebenarnya, sangat jarang bahkan tidak dilibatkan secara penuh, padahal
kejahatan seharusnya merupakan bagian dari proses sistem peradilan
pidana itu sendiri.
Berdasarkan kritikan tersebut, perkembangan hukuman bagi pelanggar
beralih dari cara berpikir pembalasan menuju kemanfaatan (utilitarian).
Dalam pandangan utilitarian, penegakan hukum dimaksudkan untuk
mencapai “the greatest happiness for the greatest number”.44 Jeremy Bentham
berpendapat, tujuan dari pemidanaan adalah untuk mencegah semua
pelanggaran, mencegah pelanggaran yang paling jahat, menekan kejahatan,
dan menekan kerugian atau biaya sekecil-kecilnya.45 Pemidanaan dalam
konsep utilitarian, dijatuhkan dengan tujuan mencegah terjadinya tindak
pidana di masa mendatang (forward looking).46
Menurut Plato, keadilan merupakan emansipasi dan partisipasi
warga negara dalam memberikan gagasan tentang kebaikan untuk
negara.47 Konsep keadilan Plato tersebut kemudian dikembangkan oleh
Aristoteles yang memaknai keadilan sebagai keseimbangan. Menurut
Aristoteles, keseimbangan dapat diukur melalui kesamaan numerik

44
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, [s.l.:
s.n., 1823], hlm. 7.
45
Ibid.
46
Eva Achjani Zulva dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,
Op. Cit., hlm. 47–48.
47
Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2011), hlm. 240–241.

14 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


dan kesamaan proporsional. Dalam kesamaan numerik, setiap manusia
disamakan dalam satu unit, misalnya setiap orang sama di hadapan
hukum. Kesamaan proporsional adalah memberikan setiap orang apa
yang menjadi haknya, sesuai kemampuan dan prestasinya.48
Aristoteles membagi keadilan dalam dua bentuk: (1) keadilan
distributif, yaitu keadilan yang berlaku dalam ranah hukum publik,
berfokus pada distribusi kekayaan dan barang lain yang diperoleh
masyarakat; (2) keadilan korektif, yaitu berhubungan dengan
membetulkan atau membenarkan sesuatu yang salah, memberikan
kompensasi bagi pihak yang dirugikan atau memberikan hukuman yang
pantas bagi pelaku kejahatan.
Pemikiran kedua filsuf di atas, sejalan dengan konsep restorative
justice, yaitu memulihkan keadaan seperti semula, serta memberi
ganti kerugian kepada korban. Tujuan dari restorative justice adalah
mengembalikan keharmonisan, memperbaiki hubungan, dan
memulihkan hak korban serta memperbaiki pelaku. Konsep tersebut
sangat sejalan dengan falsafah kehidupan bangsa Indonesia.
Perkembangan selanjutnya, pemidanaan bagi pelanggar atau
penjahat tidak hanya untuk mencapai kemanfaatan, atau sekadar
pencegahan atas suatu tindak pidana di masa mendatang, tetapi juga
harus ada pemulihan keadaan. Dalam pandangan ini, keadaan yang
rusak akibat terjadinya kejahatan harus dipulihkan agar kembali seperti
semula. Kerugian yang dialami korban harus diganti, sedangkan pelaku
sendiri harus disadarkan bahwa perbuatannya merupakan kesalahan
yang berdampak kerugian pada orang lain dan masyarakat. Konsep
pemulihan keadaan ini, juga disebut dengan restorative justice.
Dalam restorative justice, kejahatan dipandang sebagai pelanggaran
terhadap individu, bukan negara. Berdasarkan cara berpikir demikian,
Mark S. Umbreit berpendapat, mereka yang paling terpengaruh oleh
kejahatan harus memiliki kesempatan untuk aktif terlibat dalam
menyelesaikan konflik.49 Upaya yang dilakukan adalah berusaha
memperbaiki kerusakan dan memulihkan kerugian, memungkinkan

Ibid.
48

Mark S. Umbreit, dkk., Restorative Justice in the Twenty first Century: A Social
49

Movement Full of Opportunities and Pitfalls, (89 Marq. L. Rev., 2005), hlm. 255.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 15


pelaku untuk mengambil tanggung jawab langsung atas tindakan
mereka, dan membantu memulihkan korban.50
Restorative justice merupakan suatu proses penyelesaian perkara di
luar peradilan formal yang mempunyai cara berpikir dan paradigma
baru dalam memandang sebuah tindak kejahatan yang dilakukan tanpa
semata-mata memberikan hukuman pidana. Penanganannya dapat
dilakukan dengan memperhitungkan pengaruh yang lebih luas terhadap
korban, pelaku, dan masyarakat. Konsep restorative justice berawal dari
pengertian bahwa kejahatan adalah sebuah tindakan melawan orang atau
masyarakat dan berhubungan dengan pelanggaran/perusakan terhadap
suatu norma hukum yang berlaku.51 Pelanggaran yang dilakukan tidak
hanya merupakan perbuatan merusak tatanan hukum (law breaking)
yang telah dibuat negara, tapi juga merusak tatanan masyarakat (society
value), karena tindak kejahatan yang terjadi menyangkut kepentingan
korban, lingkungan, masyarakat luas, dan negara. Pendapat tersebut
dikemukakan oleh Howard Zehr pada tahun 1990, yang menerangkan
bahwa kepentingan semua pihak yang bersentuhan dengan pelanggaran
tersebut harus dilibatkan secara aktif dalam proses penyelesaian.52
Penanganan kejahatan berdasarkan restorative justice, bukan hanya
menjadi tanggung jawab negara, tetapi juga merupakan tanggung jawab
masyarakat. Dalam restorative justice, kerugian akibat kejahatan harus
dipulihkan kembali, baik kerugian yang diderita oleh korban maupun
yang ditanggung oleh masyarakat. Dengan demikian, konsep restorative
justice menjadi suatu kerangka berpikir dalam upaya mencari suatu
alternatif penyelesaian kasus tindak pidana yang terjadi. Alternatif
penyelesaian yang dilakukan sebagai sebuah upaya penyelesaian yang
menciptakan keadilan yang berperikemanusiaan.53
Pandangan “pro” dan “kontra” tentang restorative justice telah
menjadi kendala bagi upaya pemenuhan rasa keadilan masyarakat.
Rasa keadilan dan kebenaran hati nurani dikorbankan demi kepastian
hukum dalam upaya penyelesaian beberapa kasus pidana. Oleh karena
itu, penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi hukum yang

50
Ibid.
51
Ibid., hlm. 182.
52
Ibid.
53
Ibid., hlm. 183.

16 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


rasional selalu diperlukan untuk memperjuangkan tegaknya kepastian
hukum, keadilan, dan kebenaran demi terselenggaranya penerapan
hukum yang demokratis dalam kehidupan bernegara, berbangsa
dan bermasyarakat, yang diagendakan dalam pembangunan hukum
nasional.54
Paradigma restorative justice ini sebenarnya bukan hal yang baru.
Terdapat dua pendekatan untuk memahami restorative justice, yaitu
sebagai konsep dan sebagai proses penyelesaian perkara pidana.

1. Restorative Justice sebagai Konsep Penyelesaian Perkara


Pidana
Restorative justice didefinisikan secara berbeda-beda, tergantung
pendekatan yang dilakukan pada masing-masing negara. Beberapa
definisi menekankan pada aspek partisipasi melalui dialog, sedangkan
lainnya menekankan hasil restoratif, seperti reparasi, pemulihan korban,
dan reintegrasi pelaku.
Restorative justice dipahami sebagai bentuk pendekatan penyelesaian
perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku kejahatan,
korban, keluarga korban, atau pelaku dan pihak lain yang terkait untuk
mencari penyelesaian yang adil, dengan menekankan pada pemulihan
kembali keadaan dan bukan pembalasan. Dengan kata lain, fokus
restorative justice adalah untuk memperbaiki kerugian yang disebabkan
oleh kejahatan dengan melibatkan korban, melihat pertanggungjawaban
pelaku dan mencegah terjadinya kerugian serupa di masa depan.
Restorative justice merupakan istilah sebagai upaya penegakan hukum
pidana melalui pemulihan keadaan yang berkeadilan, bermartabat, dan
memanusiakan manusia dengan berbasis pada nilai pendidikan serta
kekeluargaan sebagai subsistem dari cultural universal.55 Restorative justice

54
Tommy Hendra Purwaka, Penafsiran, Penalaran dan Argumentasi Hukum
yang Rasional, Jurnal MMH, Jilid 40, No. 2, April 2011, hlm. 1.
55
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi
Revisi, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2015), hlm. 152. Menurut Soerjono Soekanto
dan Budi Sulistyowati, ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai
cultural universals, yaitu: (1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian,
perumahan, alat rumah tangga, senjata, alat produksi, transpor, dan lain-lain);
(2) mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 17


hadir untuk melengkapi mekanisme penyelesaian perkara pidana yang
selama ini diterapkan, namun tidak memberi ruang cara penyelesaian
yang non-formalistik. Penegakan hukum positif yang menjunjung tinggi
rule of law hanya mampu mewujudkan keadilan formal (formal justice),
tetapi belum mampu mewujudkan keadilan substantif (substantial justice).56
Pengaturan dan penerapan restorative justice di beberapa negara
memiliki konsep yang berbeda berdasarkan sistem hukum di
negaranya. Konsep di negara yang menganut sistem hukum common
law, mengutamakan pada teori keadilan yang tumbuh dan berkembang
dari pengalaman pelaksanaan pemidanaan di berbagai negara dan akar
budaya masyarakat dalam menangani permasalahan kriminal sebelum
dilaksanakannya sistem peradilan pidana tradisional. Konsep tersebut
berkembang bersamaan dengan perkembangan zaman dari waktu ke
waktu. Hal ini dikemukakan oleh para pemerhati tentang restorative
justice, seperti Braithwaite (Australia), Elmar G. M. Weitekamp (Belgia),
Howard Zehr (USA), Kathleen Daly (Australia), Mark S. Umbreit
(USA), dan Robert Coates (USA).57
Berbeda dengan konsep restorative justice yang diberlakukan di
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem hukum civil law,
merupakan wujud dari politik hukum sebagai pemeran utama adalah
pemerintah dengan kepolisian sebagai prime mover, yang mengawal proses
penegakan hukum didasarkan pada criminal justice system. Restorative justice
merupakan wujud justifikasi dan legitimasi berupa kesesuaian hasil
penafsiran dengan kehendak hukum (cita hukum/rechts idee), kehendak
masyarakat (cita masyarakat), dan kehendak moral (cita moral). Kehendak
hukum merupakan kehendak peraturan perundang-undangan yang
secara nyata tertulis secara “hitam-putih” di dalam ketentuan-ketentuan
hukumnya. Penekanan pada hukum tertulis tersebut dikarenakan

produksi, sistem distribusi, dan lain-lain); (3) sistem kemasyarakatan (sistem


kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, dan sistem perkawinan); (4) bahasa
(lisan dan tertulis); (5) kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan lain-lain);
(6) sistem pengetahuan; dan (7) religi (sistem kepercayaan).
56
FX. Aji Samekto, Justice Not for All, Kritik terhadap Hukum Modern dalam
Perspektif Hukum Kritis, (Yogyakarta: Genta Press, 2008), hlm. 33.
57
Elmar G. M. Weitekamp & Hans-Jűrgen Kerner, Restorative Justice in Context
International Practices and Directions, First Edition (UK: Willan Publishing, 2003).

18 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pengaruh dari aliran legisme terhadap sistem hukum Eropa Kontinental
(civil law system) yang berlaku di Indonesia, dengan menyatakan bahwa
hanya hukum tertulis saja yang merupakan hukum.
Ketentuan hukum tertulis yang dipahami oleh orang awam sebagai
apa yang tertera secara “hitam-putih” di dalam peraturan perundang-
undangan, menunjukkan bahwa kehendak hukum tersebut adalah
tegaknya kepastian hukum. Kesesuaian hasil penafsiran hukum dengan
kehendak masyarakat, maksudnya adalah bahwa hasil penafsiran
tersebut harus sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena
rasa keadilan dari berbagai masyarakat itu bermacam-macam, maka
penyelarasan rasa keadilan tersebut perlu mengacu kepada kepastian
hukum yang secara “hitam-putih” tertera di dalam peraturan perundang-
undangan. Di samping itu, hasil penafsiran juga harus selaras dengan
kehendak moral, yaitu kebenaran. Jadi, hasil penafsiran hukum yang
masuk akal atau sesuai dengan “nalar” adalah hasil penafsiran hukum
yang dapat menegakkan kepastian hukum, memenuhi rasa keadilan
masyarakat, dan mencerminkan kebenaran.58
Menurut Howard Zehr, restorative justice adalah proses untuk
melibatkan, sejauh mungkin, mereka yang memiliki kepentingan
dalam pelanggaran tertentu dan untuk secara kolektif mengidentifikasi
dan mengatasi bahaya, kebutuhan, dan kewajiban, dalam rangka
untuk menyembuhkan dan memperbaiki segala sesuatunya sebaik
mungkin.59 Menurut Mark S. Umbreit, restorative justice tidak berfokus
pada kelemahan atau kekurangan pelaku dan korban kejahatan, serta
bukan mencela perilaku kriminal,60 namun mencoba memanfaatkan
kekuatan pelaku dan korban, untuk secara terbuka mengatasi kebutuhan
untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan,61 dan menekankan
kebutuhan untuk memperlakukan pelaku dengan hormat dan untuk
mengintegrasikan kembali mereka ke dalam masyarakat yang lebih
besar.62

58
Tommy Hendra Purwaka, Op. Cit., hlm. 119.
59
Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, dalam Mark
S. Umbreit, dkk., Loc. Cit.
60
Ibid.
61
Ibid.
62
Ibid.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 19


Pemangku kepentingan (stakeholders) utama dalam restorative justice
adalah korban beserta keluarganya, komunitas atau masyarakat, dan
pelaku kejahatan beserta keluarganya. Negara dan sistem peradilan
hukumnya juga jelas memiliki kepentingan sebagai pemangku
kepentingan, tetapi tidak memiliki dampak langsung.63 Jadi, kebutuhan
mereka yang terkena dampak langsung dari suatu kejahatan lebih
diutamakan dibandingkan dengan negara yang tidak berdampak secara
langsung. Proses restorative justice sedapat mungkin memberi ruang
kepada stakeholders utama untuk terlibat secara langsung dalam proses
seperti dialog atau mediasi,64 didasarkan pada keyakinan bahwa pihak
yang terlibat atau terkena dampak kejahatan harus berpartisipasi secara
aktif dalam memperbaiki kerugian, mengurangi penderitaan yang
ditimbulkannya, dan mengambil langkah untuk mencegah terulangnya
kerugian tersebut.65
Menurut Howard Zehr, dalam pradigma restorative justice, hal yang
menyembuhkan dan membersihkan orang dari tindak pidana adalah
bukan pada penghukuman pelaku, tetapi terletak pada pengakuan atas
kerugian dan pemulihan kebutuhan korban, serta digabungkan dengan
upaya aktif untuk mendorong pelaku agar bertanggung jawab terhadap
perbuatannya, memperbaiki kesalahan, dan mengatasi penyebab utama
adanya perilaku jahat mereka.66 Zehr menjelaskan kriteria restorative
justice, sebagai berikut.67
a. Fokus pada kerusakan akibat kejahatan daripada aturan yang telah
dilanggar.
b. Menunjukkan perhatian dan komitmen yang sama kepada para
korban dan pelaku, dengan melibatkan keduanya dalam proses
peradilan.
c. Bertujuan untuk pemulihan, pemberdayaan, dan menanggapi
kerugian korban.

63
Ibid.
64
Ibid.
65
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes, Second Edition, 2020,
hlm. 3.
66
Ibid.
67
Ibid.

20 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


d. Mendorong dan mendukung pelaku agar memahami, menerima,
serta melaksanakan kewajibannya.
e. Menyadarkan pelaku bahwa meskipun kewajiban yang dipikul
mungkin sulit, pelaku tidak merasa sebagai kerugian, melainkan
sebagai sebuah prestasi yang harus dijalankan.
f. Memberikan kesempatan kepada korban dan pelaku, termasuk
keluarga masing-masing untuk berdialog, baik langsung maupun
tidak langsung.
g. Melibatkan dan memberdayakan masyarakat yang terkena dampak
melalui proses peradilan, serta meningkatkan kemampuannya
untuk mengenal dan menanggapi kejahatan berbasis masyarakat.
h. Mendorong kolaborasi dan reintegrasi daripada paksaan dan isolasi.
i. Memberikan perhatian pada konsekuensi yang tidak diinginkan.
j. Menghormati semua pihak termasuk korban, pelaku, dan aparat
penegak hukum.

Restorative justice merupakan salah satu bentuk alternatif


penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penyelesaian perkara melalui
restorative justice mementingkan nilai hormat pada setiap orang (respect).68
Sikap hormat itu ditunjukkan dengan adanya pertemuan dan dialog
antara pihak-pihak yang terkait. Berbeda dengan proses pengadilan
yang melakukan interogasi dan penuduhan pada pelanggar hukum,
di dalam keadilan restoratif terjadi dialog dan saling mendengarkan.69
Menurut Andriene Lindsay, restorative justice adalah sebuah
proses di mana semua pihak yang berkepentingan terlibat dalam
menangani perkara pidana terutama mengatasi akibat tindak pidana
serta implikasinya di masa depan.70 Barda Nawawi Arief menjelaskan,
restorative justice diartikan sebagai mediasi penal (penal mediation).

68
Asep Iwan Iriawan, “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem
Peradilan Pidana Guna Terwujudnya Model Pemasyarakatan yang Ideal”, Makalah
disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia, tanggal 11 Juli 2022, hlm. 13.
69
Ibid.
70
Andriene Lindsay, Koordinator Lembaga Restorative Justice Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jamaika, disampaikan dalam
Seminar Nasional “Kontekstualisasi Implementasi Keadilan Restorative Justice
di Indonesia”, Jakarta, 6 Juli 2022.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 21


Mediasi ini sering disebut dengan “mediation in criminal cases” atau
“mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut
“Starfbemiddeling”.71 Mediasi penal digunakan untuk mempertemukan
antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini
sering juga dikenal dengan istilah “victim offender mediation” atau “offender
victim arrangement”.72 Praktik mediasi penal muncul sebagai salah satu
pemikiran alternatif dalam pemecahan masalah sistem peradilan pidana.
Wacana restorative justice berupaya untuk mengakomodasi kepentingan
korban dan pelaku tindak pidana, serta mencari solusi yang lebih baik
untuk kedua belah pihak, mengatasi berbagai persoalan sistem peradilan
pidana. Mediasi penal yang merupakan bagian dari konsep restorative
justice menempatkan sistem peradilan pidana pada posisi mediator.
Ahli kriminologi berkebangsaan Inggris, Tony F. Marshall, dalam
tulisannya mengemukakan bahwa definisi restorative justice:73
“Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a
particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implications for the future” (Keadilan
restoratif adalah proses di mana semua pihak yang terlibat
dan berkepentingan dalam suatu tindak pidana bertemu dan
menyelesaikan secara bersama-sama akibat dari tindak pidana
tersebut demi kepentingan di masa yang akan datang).
Hal tersebut dapat digambarkan dalam segitiga proses restorative
justice, sebagai berikut.

71
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan,
(Semarang: Pustaka Magister, 2010), hlm. 1–2.
72
Yuarsi Susi Eja, Menggagas Tempat yang Aman Bagi Perempuan, Cet. 1,
(Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada,
2002), hlm. 87.
73
Tony F. Marshall, Restorative Justice an Overview, (Minnesota: University of
Minnesota, Centre of Restorative Justice and Mediation, Social Works, 1998),
hlm. 1.

22 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Gambar 1.1 Segitiga Restorative Justice

Susan Sharpe74 seorang ahli berkebangsaan Kanada pada tahun 1998


yang memberikan penjelasan terhadap definisi restorative justice yang
dikemukakan oleh Tony F. Marshal di atas. Susan Sharpe mengusulkan
ada lima prinsip kunci restorative justice, yaitu sebagai berikut.75
a. Restorative justice invites full participation and consensus (keadilan
restoratif mengandung partisipasi penuh dan konsensus). Artinya,
korban dan pelaku dilibatkan dalam proses secara aktif, membuka
ruang dan kesempatan bagi orang lain yang merasa kepentingannya
telah terganggu atau terkena imbas untuk ikut menyelesaikannya.
b. Restorative justice seeks to heat what is broken (keadilan restoratif
berupaya menyembuhkan kerusakan/kerugian akibat terjadinya
tindakan kejahatan). Korban harus mengutarakan kerugian
yang dirasakan sehingga pelaku bisa bertanggung jawab untuk
menghilangkan rasa bersalahnya.
c. Restorative justice seeks full and direct accountability (keadilan restoratif
memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara
utuh). Pertanggungjawaban bukan hal yang mudah dilakukan,
karena pelaku harus mau menunjukkan fakta pengakuannya bahwa
dirinya melanggar hukum dan mengambil langkah nyata untuk
memperbaiki kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan.

74
Susan Sharpe, Restorative Justice: A Vision for Hearing and Change. (Edmonto:
Alberta. Edmonton Victim Offender Mediation Society, 1998), hlm. 7–12.
75
U.S. Departement of Justice, Balanced and Restorative Justice, (USA: Office of
Juvenile Justice and Delinquency Prevention, 1999), hlm. 5–6.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 23


d. Restorative justice seeks to recinite what has been divided (keadilan
restoratif mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat
yang telah terpisah atau terpecah karena tindakan kriminal).
e. Restorative justice seeks to strengthen the community in order to prevent
further harms (keadilan restoratif memberikan ketahanan kepada
masyarakat agar dapat mencegah terjadinya tindakan kriminal
berikutnya). Kejahatan memang menimbulkan kerusakan dalam
masyarakat dan juga membuka tabir keadilan pada norma yang
sudah ada untuk menjadi jalan awal memulai keadilan yang
sebenarnya bagi masyarakat.

Menurut Mark S. Umbreit, ada enam prinsip membentuk kerangka


restorative justice, yaitu sebagai berikut.76
a. Sifat kejahatan. Kejahatan adalah suatu proses di mana manusia
melanggar secara hubungan pribadi maupun hubungan sosial yang
tersirat sebagai konsekuensi menjadi bagian dari suatu komunitas.
Kejahatan bukan semata-mata tindakan melanggar hukum negara,
juga merupakan robeknya tatanan sosial atau komunitas dan
pelanggaran terhadap satu orang oleh orang lain.
b. Tujuan keadilan. Tujuan yang tepat dari keadilan adalah untuk
memperbaiki kerusakan yang terjadi dan memulihkan hubungan,
baik pribadi maupun komunal dengan kembali ke keadaan semula.
c. Peran korban. Pemulihan bagi korban kejahatan hanya dapat terjadi
jika mereka memiliki kesempatan untuk memilih keterlibatan
dalam proses peradilan yang memenuhi kebutuhan mereka akan
validasi sebagai individu yang telah disakiti. Keterlibatan korban
dapat mencakup penerimaan informasi, dialog dengan pelaku,
penyelesaian konflik dengan pelaku, restitusi, pengurangan rasa
takut, rasa aman yang meningkat, kepemilikan sebagian dari proses
dan pembaruan harapan.
d. Peran pelaku. Pemulihan bagi pelaku yang melakukan tindak
pidana dapat terjadi apabila mereka memiliki kesempatan untuk

76
Mark S. Umbreit, Multicultural Implications of Restorative Justice: Potential Pitfalls
and Dangers, (Minnesota: Center for Restorative Justice & Peacemaking, School of
Social Work University of Minnesota, 2000), hlm. 3.

24 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


menerima tanggung jawab dan kewajibannya terhadap korban dan
masyarakat secara keseluruhan. Peluang tersebut dapat mencakup
mendefinisikan kewajiban mereka, berpartisipasi dalam pertemuan
tatap muka yang aman dan termediasi dengan para korban,
memahami dampak dari tindakan mereka sendiri, memberikan
restitusi dengan cara yang kreatif, mengidentifikasi kebutuhan
mereka, memiliki sebagian kepemilikan proses, menyelesaikan
konflik, dan memperbarui harapan.
e. Peran masyarakat setempat. Pemulihan bagi masyarakat setempat
dapat terjadi jika sumber dayanya digunakan untuk memenuhi
kebutuhan para korban dan pelaku serta dalam pencegahan dan
tindakan kriminal.
f. Peran sistem peradilan pidana. Pemulihan sistem peradilan pidana
dapat terjadi jika terus bekerja untuk memastikan keterlibatan
korban dan pelaku yang benar-benar melibatkan semua peserta tanpa
paksaan dan mempromosikan keadilan di masyarakat. Sistem ini harus
terus memantau akuntabilitas, melakukan intervensi, paling tidak
membatasi para pelaku sebelum beralih ke alternatif pemenjaraan.

Tujuan restorative justice menurut Van Ness adalah untuk memulihkan


kembali keamanan, korban, dan pelaku yang telah menyelesaikan konflik
mereka.77 Restorative justice dalam perkembangan mazhab hukum
dan penghukuman, yaitu perkembangan peradaban manusia, negara
mengembalikan mandat ius ponale dan ius poniendi kepada masyarakat
dalam kerangka penyembuhan dan pemulihan,78 dan merupakan konsep
pemikiran yang merespons pengembangan sistem peradilan pidana
dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan korban, pelaku,
dan masyarakat sebagai langkah penyembuhan (recovery) sosial dalam
hubungan sosial kemasyarakatan.
Prinsip utama restorative justice, mencakup tentang pandangan
kejahatan sebagai konflik antarindividu, bukan antarpelaku dan

77
Andrew Von Hirsch, et al., Restorative Justice and Criminal Justice: Competing
or Reconcilable Paradigms, (Oregon: Hart Publishing Oxford and Portland, Oregon,
2003), hlm. 44.
78
Eva Achjani Zulva dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,
Loc. Cit.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 25


negara. Keadilan restoratif dipandang sebagai pendekatan kemanusiaan
yang mengedepankan pengampunan, penyembuhan, perbaikan, dan
reintegrasi. Tujuannya untuk memungkinkan pelaku dan korban
bertemu untuk menyuarakan pengalaman dan pemahaman mereka
serta untuk mencapai resolusi yang disepakati bersama. Keadilan
restoratif juga berakar pada sejumlah budaya asli, yang menganut
tradisi “spiritualitas”, penyembuhan holistic (menyeluruh), dan
bertujuan untuk menghubungkan kembali pelaku dengan lingkungan
dan masyarakatnya.79
Menurut Mahfud MD, restorative justice merupakan pendekatan
dalam penegakan hukum pidana yang mengupayakan penyelesaian
secara damai dengan menjadikan hukum sebagai pembangun harmoni
yang bukan sekadar mencari menang atau kalah, juga bukan sekadar
untuk menghukum pelaku dengan maksud membangun kondisi
keadilan dan keseimbangan antara pelaku, korban, dan masyarakat.80
Menurut Eddy O.S. Hiariej, restorative justice adalah bentuk
pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga korban atau pelaku, dan pihak lain
yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan
pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Terdapat lima pendekatan restorative justice menurut Hiariej, yaitu: (1)
court based restitutive and reparative measure (pengadilan yang berdasarkan
restitutif dan reparatif); (2) victim-offender mediation programmes (program
mediasi korban dan pelaku); (3) restorative conferencing initiatives/family
group conference and police led community conference (konferensi inisiatif
restoratif/konferensi keluarga dan konferensi yang dipimpin oleh
Polisi); (4) community reparation boards and citizens panel (perbaikan oleh
masyarakat); (5) healing and sentencing circles (lingkar pemulihan dan
pemidanaan).81

79
Greg Mantle, et al., “Restorative Justice and Three Individual Theories of
Crime”, (Internet Journal of Criminology, IJC, 2005), hlm. 3.
80
Sosialisasi Restorative Justice Perpol Nomor 8 Tahun 2021 di Rayon 5
bertempat di Polda Sulawesi Selatan tanggal 28 Oktober 2021, bahwa lingkar
pemulihan dan pemidanaan dapat dilakukan melalui konferensi inisiatif restoratif.
81
Ibid.

26 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Menurut Indriyanto Seno Adji, regulasi yang tidak efisien/
tumpang tindih, lebih diarahkan pada pendekatan restorative justice
yang bermanfaat bagi masyarakat secara maksimal (social welfare
maximization). Dalam kaitan dengan sistem peradilan pidana, restorative
justice dengan menggunakan economic analysis of law menjadi fondasi bagi
dipertahankannya asas ultimum remedium.82
Konsep restorative justice sering disamakan dengan alternative dispute
resolution (ADR), bahkan kedua istilah tersebut cenderung digunakan
secara bergantian. Hal ini disebabkan metode yang digunakan dalam
kedua jenis proses tersebut sering kali sangat mirip, yaitu dialog,
mediasi, dan konsiliasi. Perbedaan penting di antara keduanya terkadang
hilang. Restorative justice lebih dari sekadar menyelesaikan sengketa atau
konflik. Sebagaimana ditegaskan dalam The Basic Principles, restorative
justice adalah “an evolving response to crime that respects the dignity and equality
of each person, builds understanding, and promotes social harmony through the
healing of victims, offenders, and communities”.83 Bahwa tanggapan yang tepat
terhadap kejahatan adalah menghormati martabat dan kesetaraan setiap
orang, membangun pemahaman, dan mempromosikan kehidupan sosial
yang harmonis melalui penyembuhan korban, pelaku, dan masyarakat.
Dengan demikian, makna sebenarnya lebih dari sekadar mediasi, dialog,
rekonsiliasi, atau bentuk ADR lainnya. Sebab, restorative justice lebih
menekankan pada penyembuhan (healing) terhadap korban maupun
pelaku, lebih dari sekadar pemberian ganti rugi.
Pendekatan restorative justice ditemukan dalam banyak budaya
tradisional, dan menyelesaikan masalah pidana serta mendapat banyak
manfaat ketika digabungkan dengan kearifan lokal. Sifat partisipasi
dari restorative justice, sebagaimana juga lazim terjadi dalam hukum
adat, menunjukkan bahwa restorative justice dapat menyediakan sarana
untuk mendukung penggunaan sistem peradilan adat dan memfasilitasi
penentuan nasib masyarakat itu sendiri.
Hak masyarakat adat mencakup pengakuan dalam praktik sistem
peradilan adat, yang berupa adat istiadat, nilai, dan bahasa tradisional

82
Ibid.
83
Pembukaan, Resolusi ECOSOC 2002/2012.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 27


oleh pengadilan dan prosedur hukum.84 Sistem peradilan adat sangat
mencerminkan budaya dan adat istiadat masyarakat yang bersangkutan.
Norma dan hukum adat yang mengatur hubungan antaranggota
masyarakat, diterima sebagai kebutuhan untuk menghasilkan hubungan
masyarakat yang harmonis. Dalam banyak kasus, mekanisme peradilan
adat lebih mudah diakses daripada sistem peradilan negara karena
relevansi budaya, ketersediaan, dan kedekatannya.85
Sistem peradilan di masyarakat yang bersifat informal (sistem
peradilan non-negara atau peradilan adat) dapat mengambil banyak
bentuk dan mendapatkan hasil (outcome) yang berbeda dalam hal akses
terhadap keadilan dan kesetaraan serta fairness. Tujuan utama hukum
adat adalah konsiliasi dan penyelesaian sengketa, serta rekonsiliasi
antara pihak yang dirugikan dengan pihak yang menyebabkan kerugian.
Selain itu, tujuan utama peradilan adat adalah memelihara tanggung
jawab sosial.
Hal yang membedakan penyelesaian sengketa melalui peradilan adat
dan peradilan negara adalah proses informal dan deliberatif. Putusan
pengadilan adat sering melalui mekanisme arbitrase dibandingkan
mediasi. Persetujuan pelaku untuk berpartisipasi tidak selalu merupakan
persyaratan. Namun, sebagian besar tradisi hukum adat mengandung
prinsip dan proses yang mempromosikan penyembuhan masyarakat,
rekonsiliasi, dan reintegrasi pelaku.86

2. Restorative Justice sebagai Proses Penyelesaian Perkara


Pidana
Restorative justice sebagai proses, akan dipahami sebagai salah satu
mekanisme untuk menyelesaikan kejahatan dengan berfokus pada
pemulihan kerugian yang dialami korban, meminta pertanggungjawaban
pelaku atas tindakan mereka, dan sering juga melibatkan masyarakat
dalam penyelesaian konflik tersebut.87 Restorative justices merupakan

84
Human Rights Council, Expert Mechanism on the Rights of Indigenous Peoples,
2013, para, hlm. 28.
85
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes, Op. Cit., hlm. 12.
86
Chartrand, L. and Horn, K., A Report on the Relationships between Restorative
Justice and Indigenous Legal Traditions in Canada, (Ottawa: Department of Justice
Canada, 2016).
87
Ibid.

28 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


istilah sebagai upaya penegakan hukum pidana melalui pemulihan
keadaan berkeadilan yang bermartabat dan memanusiakan manusia
dengan berbasis pada nilai pendidikan dan kekeluargaan sebagai
subsistem dari cultural universal.88
Proses restorative justice memiliki beragam bentuk berdasarkan
teknik dan jenis. Di Eropa, misalnya, prosesnya lebih dikenal sebagai
“mediasi”, berbeda dengan adjudikasi. Ada juga yang menggunakan istilah
“konferensi”, “dialog”, “circle sentencing”, atau “pembuatan perdamaian”.89
Namun, terlepas dari keragaman bentuknya, ada tiga model yang lebih
banyak digunakan, yaitu mediasi korban-pelaku (victim-offender mediation/
VOM), konferensi (conferencing), dan lingkaran (circles).

a. Mediasi Korban-Pelaku (Victim-Offender Mediation/VOM)


Program VOM atau sering disebut rekonsiliasi korban-pelaku (victim-
offender reconciliation), dialog korban-pelaku (victim-offender dialogue),
di Eropa lebih dikenal sebagai mediasi penal yang merupakan bentuk
restorative justice.90 VOM menawarkan proses langsung atau tidak langsung
di mana korban dan pelaku terlibat dalam diskusi tentang kejahatan dan
dampaknya. Pelaksanaan VOM difasilitasi oleh pihak ketiga yang tidak
memihak dan memiliki fasilitator yang telah dilatih khusus.91
VOM dirancang untuk memenuhi kebutuhan korban kejahatan
sambil memastikan bahwa pelaku bertanggung jawab atas pelanggaran
yang telah dilakukannya. VOM dapat dibentuk dan dijalankan oleh
lembaga pemerintah atau organisasi swasta, dan usulan penyelesaiannya
dapat diajukan atau berasal dari polisi, kejaksaan, pengadilan, pembela
atau penasihat hukum, lembaga pemasyarakatan, terkadang atas
permintaan pelaku atau korban.92 Programnya dapat dilaksanakan
pada tingkat kepolisian (pre-charge); tingkat penuntutan (post-charge)/

88
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, Loc. Cit.
89
Ibid.
90
UNODC, A Summary of Comments Received on The Use and Application
of the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal
Matters, 2017: https://www.unodc.org/documents/commissions/CCPCJ/
CCPCJ_Sessions/CCPCJ_26/E_CN15_2017_CRP1_e_V1703590.pdf, diakses
tanggal 21 Mei 2022.
91
Ibid.
92
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes, Op. Cit., hlm. 25.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 29


pra-persidangan; pengadilan, baik pada tahap praperadilan atau tahap
hukuman, juga dapat diselenggarakan selama pelaksanaan hukuman
(pemenjaraan pelaku) dan bisa diterapkan sebagai proses rehabilitasi
pelaku, bahkan terhadap kasus yang pelanggarnya menjalani hukuman
dalam waktu yang lama.93
VOM sangat efektif mencapai tujuannya apabila korban dan
pelaku hadir tatap muka langsung, mengungkapkan perasaan mereka
secara langsung. Dengan bantuan seorang fasilitator terlatih, korban
dan pelaku dapat mencapai kesepakatan yang akan membantu mereka
menyelesaikan konflik.94
Dalam praktiknya, fasilitator biasanya bertemu dengan kedua belah
pihak sebelum pertemuan tatap muka dilaksanakan untuk membantu
mereka mempersiapkan diri. Hal ini dilakukan untuk memastikan agar
korban tidak kembali menjadi korban karena bertemu dengan pelaku,
dan pelaku mengakui tanggung jawab atas kejadian tersebut dan tulus
ingin bertemu dengan korban. Ketika kontak langsung antara korban
dan pelaku dimungkinkan, tidak jarang salah satu atau kedua belah
pihak didampingi oleh teman, keluarga, atau penasihat hukumnya.

b. Konferensi (Conference)
Konferensi restoratif, seperti konferensi kelompok keluarga (family group
conferences) dan konferensi komunitas (community conferences), berbeda
dari VOM karena pihak yang terlibat tidak hanya korban dan pelaku,
tetapi juga pihak lain yang jumlahnya lebih banyak. Dalam model
konferensi, orang lain yang terkena dampak kejahatan, seperti anggota
keluarga, teman, perwakilan masyarakat, bahkan polisi atau profesional
lainnya dapat terlibat. Sama seperti VOM, konferensi juga dibantu
oleh pihak ketiga yang netral yang bertindak sebagai fasilitator. Dalam
kasus-kasus tertentu, fasilitator bisa lebih dari satu, terutama digunakan
untuk mendukung keseimbangan gender atau kepentingan LGBTQ,95
menjelaskan disabilitas tertentu atau menjembatani hukum adat.

93
Ibid.
94
Ibid.
95
Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan lainnya.

30 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Fokus konferensi juga lebih luas, selain untuk tujuan VOM,
konferensi juga berupaya agar pelaku menyadari dampak pelanggaran
yang mereka lakukan tidak hanya terhadap korban dan keluarganya,
tetapi juga berdampak kepada keluarga dan teman-teman mereka
sendiri, serta memberikan kesempatan untuk memulihkan hubungan
pelaku dengan korban, komunitas, dan masyarakat yang terkena
dampak.96
1) Family group conference, digunakan untuk mengalihkan anak-anak
dari sistem peradilan pidana formal. Sebab, biasanya digunakan
untuk menangani kejahatan kaum muda atau anak-anak (diversi).97
Model FGC sudah diterapkan pada banyak negara dan diatur dalam
undang-undang khusus, sebagaimana diterapkan di Selandia
Baru, Kanada, Republik Ceko, Irlandia, Lesotho, Afrika Selatan,
Australia Selatan, dan Amerika Serikat.98 Setiap proses konferensi
dibantu oleh fasilitator. Karena fokus konferensi lebih luas daripada
mediasi biasa, yang diikuti keluarga dan teman-teman dari korban
dan pelaku, dan kadang-kadang anggota masyarakat lainnya, dan
bertujuan untuk mengidentifikasi hasil yang diinginkan bagi para
pihak, mengatasi konsekuensi kejahatan dan mencari cara yang
tepat untuk mencegah terulangnya perilaku yang melanggar.
2) Community conferences, digunakan sebagai program “tindakan
alternatif”, pelaku dapat dialihkan dari sistem peradilan pidana.
Program tersebut cenderung dikelola oleh kelompok atau
lembaga masyarakat, dengan atau tanpa dukungan keuangan dari
pemerintah. Konferensi ini biasanya menyatukan mereka yang
paling peduli dengan pelaku dan korban serta anggota masyarakat
lainnya yang berkepentingan. Badan atau kelompok masyarakat
yang menjadi tujuan pelaku juga bertanggung jawab untuk
memantau kepatuhan pelaku terhadap hasil konferensi.99

96
UNODC, Op. Cit., hlm. 27.
97
Campbell, C., et al., (2005), Evaluation of the Northern Ireland Youth Conference
Service, dalam UNODC, Op. Cit., hlm. 28.
98
Ibid.
99
Ibid.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 31


c. Lingkaran (Circles)
Lingkaran (circles) telah lama dipraktikkan dalam masyarakat adat di
banyak negara, seperti Australia dan Kanada. Circle biasanya dipakai
untuk pengambilan keputusan, upacara spiritual, penyembuhan
(healing), berbagi, dan mengajar. Dalam sistem pidana modern,
metode ini telah digunakan untuk menyelesaikan masalah pidana,
seperti mempermudah proses pemidanaan, mengatasi kekhawatiran
warga atas kejahatan atau perilaku anti-sosial, menyelesaikan keluhan
terhadap anggota penegak hukum atau lembaga pemasyarakatan,
juga diterapkan untuk membangun hubungan yang lebih baik dan
mengurangi kekerasan di dalam penjara dan fasilitas penahanan lainnya.
Di Kanada, circle bahkan dipakai sebagai metode reintegrasi narapidana
yang kembali ke masyarakat, atau remaja yang kembali ke sekolah
setelah masa penahanan.100
Menurut J. Rudin, beberapa circles tidak melibatkan masyarakat
luas, tetapi hanya korban dan keluarganya, pelaku dan keluarganya,
penasihat hukum dan hakim, serta jika memungkinkan dan relevan
seorang penatua adat atau kalangan profesional. Peserta diambil dari
mereka yang mengenal pelaku.101
Restorative justice pada beberapa negara juga berbeda dalam bentuk
hasil, terutama antara materi (misalnya, kompensasi finansial) dan
bentuk simbolis reparasi.102 Bentuk simbolis reparasi dapat mencakup
verifikasi fakta, permintaan maaf, pengakuan secara terbuka (public)
atas kejahatan yang dilakukan, kepuasan dengan tindakan pencegahan
yang diambil, peringatan, jaminan tidak terulangnya kejahatan, dan
pelayanan sukarela kepada komunitas atau organisasi amal.103
Hasil dari proses restorative justice mencakup dua bentuk reparasi.
Pelanggar, tidak selalu mampu memberi ganti rugi finansial, tetapi
mampu meminta maaf, menerima tanggung jawab, melakukan
pelayanan masyarakat atau usaha untuk tidak mengulangi pelanggaran,
dapat membawa peran yang bermanfaat bagi para korban atau

100
Ibid.
101
J. Rudin, Indigenous People and the Criminal Justice System, A Practitioner
Handbook, (Toronto: Emond, 2019), hlm. 233.
102
Ibid.
103
Ibid.

32 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


masyarakat dengan menghasilkan rasa keadilan yang dilakukan dan
penyembuhan.
Penerapan restorative justice berbeda-beda pada setiap negara. Namun
demikian, panduan umum pelaksanaannya dapat mendasarkan pada The
Basic Principles on The Use of Restorative Justice Programmes, yang dibuat oleh
The United Nations Economic and Social Council (ECOSOC). Basic principles
on the use of restorative justice programmes in criminal matters, ECOSOC Res.
2000/14, U.N. Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000), mengatur bahwa
restorative justice dapat diterapkan pada setiap tahap sistem peradilan
pidana,104 dan perlu memperhatikan hal-hal mendasar berikut.
1) Hak untuk berkonsultasi dengan penasihat hukum. Korban dan
pelaku harus memiliki hak untuk berkonsultasi dengan penasihat
hukum mengenai proses restoratif, jika perlu memiliki akses ke
penerjemah dan/atau interpretasi.
2) Dalam hal melibatkan korban atau pelaku anak, harus diperhatikan
hak anak atas bantuan orang tua atau wali.
3) Hak untuk mendapat informasi penuh. Sebelum menyetujui untuk
berpartisipasi dalam proses ini, para pihak harus diberi tahu
tentang hak-hak mereka, proses, dan kemungkinan konsekuensi
dari keputusan yang akan diambil.
4) Hak untuk tidak berpartisipasi. Baik korban maupun pelaku tidak
boleh dipaksa, atau dibujuk dengan cara yang tidak adil untuk
berpartisipasi dalam proses restoratif, atau untuk menerima hasil
restoratif. Persetujuan mereka sangat diperlukan. Anak-anak
mungkin memerlukan nasihat dan bantuan khusus sebelum
membentuk persetujuan yang sah.
Pasal 14 sampai dengan Pasal 17 Basic Principles, merekomendasikan
perlu ditetapkan atau diatur syarat pelaksanaannya, sebagai berikut.
1) Persetujuan dari pelaku dan korban diperlukan. Restoratif hanya
dapat dilaksanakan sepanjang mendapat persetujuan bebas dari
korban maupun pelaku. Mereka juga berhak mengundurkan diri
setiap saat selama proses berjalan.

104
Paragraf II, Pasal 6 The Basic Principles on The Use of Restorative Justice
Programmes in Criminal Matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/
INF/2/Add.2 at 35 (2000), selanjutnya disebut The Basic Principles.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 33


2) Hanya dapat dilakukan apabila ada bukti yang cukup untuk
mendakwa pelaku. Selain itu, korban dan pelaku biasanya harus
menyepakati fakta-fakta dasar dari suatu kasus sebagai dasar
partisipasi mereka dalam proses restorative justice.
3) Partisipasi pelaku bukan bukti bersalah. Partisipasi pelaku tidak
boleh digunakan sebagai bukti pengakuan bersalah dalam proses
hukum selanjutnya.
4) Hasil kesepakatan harus dibuat secara sukarela dan hanya berisi
kewajiban yang wajar dan proporsional.
5) Keamanan para pihak. Disparitas yang mengarah pada
ketidakseimbangan kekuasaan/kedudukan, serta perbedaan budaya
antara para pihak harus dipertimbangkan ketika merujuk suatu
kasus ke proses restorative justice.
6) Kerahasiaan proses. Diskusi tidak dilakukan di depan umum,
melainkan harus dirahasiakan, dan tidak boleh diungkapkan ke
publik, kecuali dengan persetujuan para pihak atau sebagaimana
diwajibkan oleh hukum nasional. Instrumen hak asasi manusia
lainnya, khususnya konvensi hak anak, perlu menjadi rujukan
untuk melindungi privasi anak dan kerahasiaan proses hukum yang
melibatkan anak.
7) Pengawasan yudisial. Hasil kesepakatan harus diawasi secara yudisial
atau dimasukkan ke dalam keputusan atau penilaian yudisial, artinya
harus memiliki status yang sama dengan putusan pengadilan.
8) Kegagalan untuk mencapai kesepakatan. Dalam hal tidak tercapai
kesepakatan, tidak bisa digunakan untuk menjerat pelaku dalam
proses peradilan pidana berikutnya.
9) Tidak ada hukuman tambahan apabila pelaku tidak melaksanakan
hasil kesepakatan. Hal tersebut tidak boleh digunakan sebagai
pembenaran untuk menambah atau memperberat hukuman
terhadap pelaku dalam proses selanjutnya.

C. Perkembangan Konsepsi Restorative Justice


Sejarah hukum mencatat bahwa penerapan restorative justice diawali dari
pelaksanaan kebijakan penyelesaian perkara hukum di luar peradilan
tradisional oleh masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation

34 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pada tahun 1970-an di Kanada.105 Pada masa yang sama, berkembang
pula praktik informal penyelesaian konflik pada masyarakat suku
Maori di Selandia Baru.106 Kebijakan ini awalnya dilaksanakan sebagai
tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak sebelum
dilaksanakan hukuman. Pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk
mengusulkan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan hukum
dalam memutuskan perkara. Dalam konteks ini, semangatnya adalah
pelaku diharapkan menyadari kesalahannya dan pihak korban ikut
dalam upaya penanggulangan tindak pidana di masa yang akan datang.
Pelaksanaan kebijakan ini menghasilkan tingkat kepuasan yang lebih
tinggi bagi korban dan pelaku daripada menjalani proses peradilan
tradisional.107
Praktik awal restorative justice dilakukan di Kitchener, Ontario,
Kanada pada tahun 1974 yang dikenal dengan Kitchener Experiment, dalam
perkara tindak pidana pengerusakan yang dilakukan oleh dua orang
pemuda. Proses penyelesaiannya dilakukan dengan mempertemukan
kedua pemuda tersebut dengan korban untuk menyepakati ganti
kerugian atas tindakannya.108
Dalam praktik hukum di Kanada, terdapat ada tiga jenis solusi
penyelesaian perkara yang dikenal dengan conflict resolution circles, early
intervention circles, dan healing circles.109
1. Conflict resolution circles, merupakan mekanisme resolusi penyelesaian
perkara yang disediakan bagi individu yang mau secara sukarela

105
Allison Morris & Gabrielle Maxwell, Restorative Justice for Juvenile; Coferencing,
Mediation and Circle, (Oxford-Portland Oregon USA: Hart Publishing, 2001), hlm. 4.
106
Daniel W. van Ness, 2015, An Overview of Restorative Justice Around the
World, makalah disampaikan pada the Eleventh United Nations Congress on Crime
Prevention and Criminal Justice, Bangkok, 18–25 April 2005, hlm. 2.
107
Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, (Pensylvania:
Herald Press, 1990), hlm. 158–174.
108
Peachey dalam Paul McCold, 1999, “Restorative Justice Practice the State of
the Field 1999”, dalam Erasmus A.T. Napitupulu, Peluang dan Tantangan Penerapan
Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: Institute for
Criminal Justice Reform, 2022), hlm. 49.
109
MacKinnon, J., Bringing Balance to the Scales of Justice, (Charlottetown: MCPEI
Indigenous Justice Program, 2018), hlm. 43–44, https://mcpei.ca/wp-content/
uploads/2018/03/Bringing-Balance-to-the-Scales-of-Justice-Resource-Guide.pdf,
diakses tanggal 22 Mei 2022.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 35


membagi permasalahan yang dialaminya. Langkah ini biasanya
dilakukan sebelum konflik terjadi atau sebelum permasalahan hukum
tersebut berubah menjadi kejahatan atau tindak pidana, sehingga
dapat mencegah terjadinya kejahatan. Metode ini disediakan satu
lawan satu atau dalam kelompok atau komunitas yang terlibat.110
2. Early intervention circles, MacKinnon menjelaskan bahwa metode
ini disediakan bagi pelanggar, yang sedang mengalami proses
penanganan di kepolisian dan di kejaksaan sesuai dengan proses
penanganan perkara pidana. Pelaksanaannya dikaitkan dengan
masukan dari masyarakat dan korban untuk menyampaikan
rekomendasi, yang dipertimbangkan sebagai bahan dalam proses
pemulihan bagi pelaku, korban, dan masyarakat.111
3. Healing circles, menurut MacKinnon, circles ini merupakan
mekanisme konseling dalam kelompok untuk mendapatkan
kesembuhan dari krisis atau trauma yang pernah dialami. Anggota-
anggota healing circles ini bisa terdiri atas korban, keluarga, teman,
atau orang lain yang memiliki masalah yang berbeda. Setiap anggota
dapat membagikan pengalaman penyembuhan atau menceritakan
permasalahan yang pernah dialami, dan saling memberi penguatan
atau peneguhan. Selain itu, diberikan pula kesempatan untuk
berbicara dan didengar dalam lingkungan yang memiliki empati dan
suportif. Hal itu penting dan dibutuhkan oleh seseorang mengalami
penyembuhan. Berbagi (sharing) dalam kelompok memungkinkan
setiap orang untuk melepaskan sebagian beban yang dialaminya
sehingga memperoleh kelegaan serta penyembuhan, dan sering
kali bahkan dapat mempererat ikatan antara anggota kelompok
masyarakat yang bersangkutan.112

Kanada juga mengenal sentencing circles, yang biasanya disediakan


pada tahap persidangan. Hal itu dapat dilakukan di dalam maupun di
luar pengadilan, dengan atau tanpa partisipasi hakim dan penasihat
hukum.113 Hakim tidak terikat dengan nasihat yang diterima dari hasil

110
Ibid.
111
Ibid.
112
Ibid.
113
J. Rudin, Indigenous People ... Loc. Cit.

36 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pelaksanaan proses sentencing circles. Akan tetapi, informasinya sangat
berharga untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam proses memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tersebut.114
Sentencing circles menyediakan berbagai macam pilihan restitusi dan
hukuman. Selain itu, juga menawarkan solusi yang bersifat fleksibel dan
responsif berdasarkan kondisi masing-masing perkara, kebutuhan setiap
pelaku, dan kapasitas masyarakat. Sentencing circles dirancang untuk
memperkuat rasa kolektif masyarakat dan memberdayakan korban,
pelaku, serta anggota masyarakat melalui proses pemecahan masalah
dan pemulihan keadaan. Tujuannya terutama untuk memulihkan semua
pihak yang terkena dampak, khususnya korban, serta memfasilitasi
rehabilitasi dan reintegrasi sosial pelaku dengan memperbaiki hubungan
sosial antara pelaku dan anggota masyarakat.115
Restorative justice mulai sering diterapkan pada era tahun 1977-an,
sejalan dengan diperkenalkannya terminologi restorative justice pertama
kali oleh Albert Eglash dalam tulisannya tentang sistem peradilan
pidana. Eglash menjelaskan, terdapat tiga tipe sistem peradilan pidana,
yaitu retributif, distributif, dan restoratif. Fokus retributive justice adalah
menghukum pelaku atas kejahatan yang telah dilakukannya, sedangkan
distributive justice memiliki tujuan rehabilitasi pelaku. Kedua pendekatan
tersebut berbeda dengan restorative justice yang pada dasarnya adalah
prinsip restitusi dengan cara melibatkan korban dan pelaku dalam proses
penyelesaian perkara dengan tujuan untuk mereparasi korban serta
rehabilitasi pelaku.116 Menurut Eglash, proses peradilan retributif dan
distributif mengandung kelemahan karena mengabaikan partisipasi
korban, dan mengharuskan partisipasi pasif dari pelaku tindak pidana.
Sementara itu, dalam restorative justice, penanganan perkara difokuskan
pada tujuan untuk pemulihan atas kerugian dan secara aktif melibatkan
semua pihak dalam proses peradilan.117
Restorative justice selanjutnya diadopsi dan diterapkan oleh negara-
negara Eropa pada tahun 1980-an. Pada tahun 1985, Dewan Eropa

114
Ibid.
115
UNODC, Op. Cit., hlm. 32.
116
James Dignan, Understanding Victims and Restorative Justice, (UK: Open
University Press, 2005), hlm. 94.
117
Erasmus A.T. Napitupulu, dkk., Op. Cit., hlm. 15.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 37


mengeluarkan Rekomendasi No. R (85) 11 tentang Position of the Victim in
the Framework of Criminal Law and Procedure yang menunjukkan semangat
restorative justice sebagai landasan pengaturannya. Rekomendasi tersebut
menyarankan perlunya pengujian lebih lanjut terhadap manfaat mediasi
dan rekonsiliasi sebagai salah satu pertimbangan yang digunakan untuk
mendukung semangat restorative justice.118 Di Inggris, restorative justice
diatur melalui crime and disorder yang diudangkan pada tahun 1988,
serta youth justice and criminal evidence act tahun 1999. Kedua peraturan
tersebut mengatur pentingnya mendengarkan pendapat korban sebelum
melakukan tindakan restoratif, melibatkan kelompok yang terkait, serta
memublikasikan tindakan perbaikan terhadap korban dan masyarakat.119
Di Norwegia, restorative justice telah dilaksanakan sejak abad ke-15.
Pada masa itu, penyelesaian tindak pidana dilakukan oleh penguasa/
raja dan pemimpin gereja berdasarkan aturan parlemen. Prinsip dasar
pengaturannya adalah sebagai berikut.
1. Pelanggaran harus diartikan sebagai pertentangan.
2. Mediator harus merupakan orang awam (lay people).
3. Pihak-pihak yang berunding harus bertemu secara pribadi.
4. Tidak melibatkan pengacara dalam pertemuan para pihak kecuali
sangat memaksa.

Dalam pelaksanaannya, penuntut umum dan pihak yang terlibat


dapat mengajukan permohonan diversi dan kesepakatannya disampaikan
kepada penuntut umum untuk dijadikan dasar pembatalan tuntutan
jaksa di pengadilan. Prinsipnya, semua tindak pidana dapat dilakukan
mediasi kecuali tindak pidana yang sangat serius dan berat.120
Sejarah hukum mencatat pula adanya draft bill yang dipublikasikan
di Afrika pada tahun 1998, menjelaskan mengenai model penanganan
hukum terhadap anak dengan menggunakan prinsip restorative justice.
Intinya, menganjurkan dilakukannya rekonsiliasi, restitusi, dan
pertanggungjawaban dengan melibatkan pelaku, orang tua pelaku,

118
Council of Europe, Recommendation No. R (85) 11, 28 Juni 1985.
119
Margarita Zernova, Restorative Justice Ideals and Realities, (Inggris & Amerika
Serikat: Ashgate Publishing, 2007), hlm. 25–26.
120
Lode Walgrave, Repositioning Restorative Justice, First Editions (Devon UK:
Willan Publishing, 2003), hlm. 50.

38 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


atau keluarga korban dan juga masyarakat.121 Tindakan yang diperlukan
dalam pelaksanaannya adalah dengan cara berikut.
1. Membantu perkembangan anak dalam kepekaan yang bermartabat
dan bernilai.
2. Mendukung rencana rekonsiliasi dalam proses restorative justice.
3. Melibatkan orang tua, keluarga, korban, dan masyarakat dalam
proses peradilan anak untuk mendukung reintegrasi anak dengan
syarat yang ditentukan.122

Di Jamaika, konsepsi restorative justice muncul dan berkembang


karena adanya tingkat kejahatan yang sangat tinggi, serta keinginan
masyarakat untuk membangun perdamaian. Selain itu, dalam sistem
yang konvensional, sering kali terjadi deadlock dalam penanganan kasus
tindak pidana di pengadilan, serta banyaknya terjadi pengulangan
tindak pidana.123 Jamaika telah memiliki kebijakan restorative justice
sejak tahun 2012, yang kemudian kebijakan tersebut ditingkatkan
menjadi undang-undang tentang restorative justice. Lindsay menjelaskan,
penerapan restorative justice akan berhasil apabila ada standar yang sama
dalam suatu negara. Di Jamaika tercatat, hanya ada satu standar yang
diberlakukan dan hanya ada satu lembaga tunggal yang melaksanakan
restorative justice. Lembaga tersebut merupakan bagian dari Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Jamaika. Semua anggota lembaga harus
mengikuti pelatihan yang dilakukan selama enam bulan, dengan materi
yang mencakup teori dan praktik. Jamaika juga sudah memiliki 21 pusat
restorative justice yang tersebar di setiap provinsi. Selain berperan sebagai
mediator atau fasilitator, Pusat Restorative Justice Jamaika juga telah
memberikan pelatihan mediasi kepada masyarakat dan pegawai maupun
pejabat lembaga restorative justice secara intensif dan terstruktur.124

121
Allison Morris and Gabrielle Maxwell, “Restorative justice means the promotion
of reconciliation, restitution and responsibility through the involvement a a child, a child’s
parent, family members, victims and communities”. Op. Cit., hlm. 114.
122
Ibid.
123
Andriene Lindsay, Koordinator Lembaga Restorative Justice Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jamaika, disampaikan dalam
Seminar Nasional “Kontekstualisasi Implementasi Keadilan Restorative Justice
di Indonesia”, Jakarta, 6 Juli 2022.
124
Ibid.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 39


Selanjutnya, perlu pula dicatat, hasil survei Michael Tonry pada
tahun 1999 tentang kebijakan pemidanaan warga Amerika, yang
menyimpulkan adanya empat konsep pemidanaan, yaitu125 structured
sentencing (pemidanaan terstruktur), risk-based sentencing (pemidanaan
berdasarkan risiko), indeterminate (pemidanaan yang tidak menentukan),
dan restorative/community justice (pemulihan/keadilan masyarakat).
Alasan Michael Tonry memasukkan restorative justice ke dalam empat
kelompok konsep pemidanaan ini, menarik untuk dikutip.126
“A fully elaborated system exist nowhere, but there is considerable activity
in many States, and programes based on community/restorative principles
are beginning to deal with more serious crimes and criminals and to operate
at every stage of the justice system, include within prisons. It is spreading
rapidly and into applications that a decade ago would seemed visionary.
These include various form of community involvement and emphasise offender
accountability, victim participation, reconciliation, restoration and healing
as goals” (Suatu sistem yang dijalankan di berbagai negara hingga
saat ini, didasarkan pada prinsip keadilan restoratif, digunakan
untuk menangani tindak pidana yang lebih serius dan dijalankan
pada semua tingkatan peradilan pidana hingga pemenjaraan.
Pelaksanaannya berkembang pesat sejak satu dekade yang lalu,
dan telah menunjukkan visi yang jelas. Proses ini termasuk peran
serta masyarakat, tanggung jawab pelaku, partisipasi korban,
rekonsiliasi, hingga akhirnya perbaikan dan pengembalian pelaku
ke masyarakat).127
Dalam pandangan Tonry, saat ini telah ada sistem yang dijalankan di
berbagai negara yang didasarkan pada prinsip keadilan restoratif. Sistem
itu digunakan untuk menangani tindak pidana yang lebih serius dan
dijalankan pada semua tingkatan peradilan pidana hingga pemenjaraan.
Pelaksanaannya berkembang pesat sejak satu dekade yang lalu, dan telah
menunjukkan visi yang jelas. Dalam sistem terdapat keterlibatan peran
serta masyarakat, tanggung jawab pelaku, partisipasi korban, rekonsiliasi,
hingga akhirnya perbaikan dan pengembalian pelaku ke masyarakat.128

125
Michael Tonry, The Fragmentation of Sentencing and Correction in America, dalam
Allison Morris & Gabrielle Maxwell. Op. Cit., hlm. 5.
126
Ibid.
127
Terjemahan bebas oleh penulis.
128
Terjemahan bebas oleh penulis.

40 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Konsepsi restorative justice dalam perkembangannya tidak hanya
diatur dalam hukum masing-masing negara, tetapi juga diadopsi dalam
peraturan hukum internasional. Di antaranya, dalam Rapat Paripurna
Kongres Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) Kesepuluh Tahun 2000
tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offender (Pencegahan
Kejahatan dan Perlakuan Kepada Pelaku), PBB telah mendorong
perlunya negara anggota untuk memanfaatkan restorative justice.129
Rekomendasi kebijakan tersebut kembali dinyatakan dalam Resolusi
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB Nomor 1999/26 tentang Development
and Implementation of Mediation and Restorative Justice Measures in Criminal
Justice yang mendorong negara-negara anggota untuk memajukan dan
saling bertukar informasi mengenai mediasi dan restorative justice, serta
menegaskan kembali pemberian amanat kepada Commission on Crime
Prevention and Criminal Justice untuk merumuskan ukuran dan standar
penerapan mediasi serta restorative justice.130
Standar dan ukuran tersebut kemudian dibakukan melalui Resolusi
Dewan Ekonomi dan Sosial PBB Nomor 2000/14 tentang Basic Principles
on The Use of Restorative Justice Programmes in Criminal Matters. Prinsip-
prinsip umum sebagaimana dimuat dalam resolusi ini diharapkan
dapat menjadi patokan bagi negara-negara anggota untuk menerapkan
restorative justice yang terukur dan terstandardisasi di dalam sistem
hukumnya masing-masing sekalipun sifat dari prinsip-prinsip ini tidak
mengikat.131
Konsepsi restorative justice dalam 30 tahun terakhir ini mengalami
perkembangan pesat di negara Australia, Kanada, Inggris, Wales, New
Zealand, serta beberapa negara lainnya di Eropa dan kawasan Pasifik.
Penerapan konsepsi restorative justice di negara-negara tersebut telah
memberikan dampak positif dalam penanganan dan penyelesaian
perkara-perkara berdimensi pidana. Beberapa dampak positif tersebut
di antaranya adalah sebagai berikut.

129
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Report of the Tenth United Nations Congress
on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, A/CO-NF.187/15,
hlm. 21.
130
Erasmus A.T. Napitupulu, Op. Cit., hlm. 52.
131
Ibid.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 41


1. Tingkat Kepuasan Korban dan Pelanggar
Berdasarkan evaluasi khusus, dapat disimpulkan bahwa korban
cenderung merasa puas setelah berpartisipasi dalam program
restorative justice. Di Kanada, data menunjukkan bahwa 79%
korban yang dimediasi merasa puas dengan pemrosesan kasus
mereka, dibandingkan dengan 57% korban yang menyelesaikan
melalui pengadilan.132 Demikian juga terhadap sikap pelanggar,
sebagian besar studi menunjukkan persentase yang tinggi pada
tingkat kepuasan pelanggar terhadap restorative justice. Pelanggar
sangat puas dengan penerapan konsepsi restorative justice ini dan
melihatnya lebih adil dibandingkan dengan sistem peradilan pidana
tradisional.133
2. Lebih Efektif dan Efisien
Penyelesaian perkara dengan menggunakan model restorative justice
terbukti tidak memakan waktu lama, dan pihak korban maupun
pelaku sering tidak memakai jasa pengacara atau kuasa hukum.134
Dari segi ekonomi, biaya yang dikeluarkan untuk menyelesaikan
perkara melalui restorative justice lebih kecil dibandingkan
penyelesaian melalui sistem peradilan pidana konvensional. Hal
ini berarti, selain lebih efektif, penerapan prosedur restorative justice
juga dinilai lebih efisien secara ekonomi.
3. Mampu Menurunkan Angka Residivis
Penelitian yang dilakukan Prenzler dan Wortley pada tahun 1998,
menemukan data tingkat residivis yang sangat rendah (7%)
dengan diberlakukannya Queensland Community Conferencing yang
merupakan salah satu mekanisme restorative justice. Di Amerika
Serikat, hanya 18% pelaku kriminal yang perkaranya diselesaikan
melalui restorative justice, dan kemudian melakukan tindak pidana
lagi (residivis). Jumlah tersebut ternyata lebih kecil dibandingkan
tingkat residivis pelaku kejahatan yang diadili secara konvensional
yang tercatat sebanyak 27%. Sementara itu, di Kanada, tingkat
residivis tindak pidana yang berhasil diselesaikan melalui restorative

132
Ibid.
133
Ibid.
134
Ibid.

42 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


justice di kepolisian lebih rendah dibandingkan dengan tindak
pidana yang diadili. Lebih lanjut, berdasarkan penelitian yang
dilakukan McCold dan Wachtel, tingkat residivis peserta restorative
justice di Kanada adalah 20%, sedangkan mereka yang menolak
untuk berpartisipasi dalam restorative justice, tercatat menjadi
residivis hingga 48%.135

Penerapan restorative justice di negara-negara Eropa cenderung


meningkat dibandingkan dengan penyelesaian perkara pidana melalui
skema prosedur peradilan pidana biasa. Di Estonia, perkara yang
diselesaikan melalui the victim-offender mediation systems (VOM), salah
satu lembaga restorative justice, di negara itu mengalami peningkatan
pada tahun 2011, yaitu dari 32 pada tahun 2007 menjadi 450 pada
tahun 2011. Di Jerman, jumlah pelanggar yang dirujuk ke VOM oleh
pengadilan, meningkat dari 1.134 pada tahun 2004 menjadi 3.594 pada
tahun 2010, dan demikian juga di Belanda yang mengalami peningkatan
serupa.136

D. Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal dalam


Hukum Adat di Indonesia
Restorative justice di Indonesia mulai serius didiskusikan setelah
pemerintah memasukkannya dalam Agenda Pembangunan Nasional
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2020–2024.
Salah satu agenda pembangunan nasional tersebut adalah: “Kemajuan
budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa, penyederhanaan
birokrasi dan regulasi, serta revolusi mental dan pembangunan
kebudayaan hukum dengan mengutamakan restorative justice”. Dalam
hal demikian, pendekatan restorative justice secara tegas telah ditetapkan
sebagai agenda dalam memberikan arah kepatuhan sistem hukum

135
Department of Justice, Government of Canada, The Effects of Restorative
Justice Programming: A Review of the Empirical, diakses dari https://www.justice.
gc.ca/eng/rp-pr/csj-sjc/jsp-sjp/rr00_16/p3.html, tanggal 9 Maret 2022.
136
Frieder Dünkel, et al., (Eds.), Restorative Justice and Mediation in Penal
Matters: A Stock-Taking of Legal Issues,Implementation Strategies and Outcomes
in 36 European Countries, (Mönchengladbach: Forum Verlag Godesberg GmbH,
2015), hlm. 1061.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 43


pidana yang tetap berbasis pada ultimum remedium, yaitu suatu arah gerak
hukum pidana sebagai “last resort” penegakan hukum.137
Bagi Indonesia, restorative justice sangat mendesak untuk segera
diatur dan diterapkan karena sejumlah alasan penting, sebagai berikut.
1. Desakan masyarakat agar perkara-perkara pidana diselesaikan
melalui restorative justice.
Ahli hukum pidana Indonesia, Mardjono Reksodiputro menjelaskan
penanganan kejahatan di Indonesia sebaiknya menggunakan
pendekatan restorative justice.138 Berdasarkan hasil survei yang
dilakukan oleh Litbang Kompas, tercatat bahwa mayoritas
responden setuju diterapkan restorative justice dalam kasus pidana
ringan, yakni sebanyak 83%, dan harapan agar penegak hukum
lebih mengedepankan mediasi dan kesepakatan damai dalam
penyelesaian kasus pidana ringan.139
Dibatasinya lingkup tindak pidana ringan ini pada dasarnya
sejalan dengan pandangan publik dan juga merupakan alternatif
penyelesaian perkara tindak pidana yang mekanismenya lebih
difokuskan penegakan peradilan menjadi proses dialog dan mediasi
yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak
lain yang terkait untuk bersama-sama membuat kesepakatan atas

137
Indriyanto Seno Adji, Sistem Hukum Pidana dan Keadilan Restoratif,
Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Pembangunan Hukum
Nasional yang mengarah pada pendekatan restorative justice dengan indikator
yang terukur manfaatnya bagi masyarakat, diselenggarakan oleh BPHN, Kamis,
1 Desember 2016.
138
Bahasan, “Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana
di Indonesia”, dikutip dari https://bahasan.id/mendorong-restorative-justice-
dalam-pembaruan-hukum-pidana-di-indonesia/, tanggal 10 Maret 2022.
139
Survei yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan bahwa mayoritas
responden setuju diterapkan pada pidana ringan. Selain itu juga, setuju diterapkan
dalam kasus pencurian ringan yang ancaman hukuman maksimal tiga bulan
penjara. Sebanyak 73,4% setuju menerapkan mediasi dan kesepakatan damai dalam
penyelesaian masalah jenis pidana ringan. Sebanyak 65,9% setuju diberlakukan
dalam kasus pencurian ringan (ancaman hukuman maksimal tiga bulan penjara).
Sebanyak 44,6% setuju diberlakukan dalam kasus penipuan ringan dilakukan
pedagang (ancaman hukuman maksimal tiga bulan penjara). Lihat: Irfan Kamil,
Survei Litbang Kompas: 83 Persen Responden Setuju Penegak Hukum Lebih
Kedepankan Restorative Justice, dikutip dari https://nasional.kompas.com/
read/2022/02/14/13432861/survei-litbang-kompas-83-persen-responden-setuju-
penegak-hukum-lebih?page=all, tanggal 22 Maret 2022.

44 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang. Kesemuanya
itu dilakukan dengan mengedepankan pemulihan kembali pada
keadaan semula, dan mengembalikan pola hubungan baik dalam
masyarakat. Dalam pandangan ini, kejahatan bukan merupakan
pelanggaran hukum semata, melainkan secara fundamental
merupakan pelanggaran terhadap hubungan antarmanusia yang
damai dan harmoni.
Oleh karena itu, restorative juctice menekankan pada pemulihan
kerusakan akibat kejahatan melalui restitusi materiil maupun
simbolis, dengan sekaligus membangun kembali harga diri pelaku
dan mengembalikan mereka kepada masyarakat.140
2. Kebutuhan hukum yang harus dipenuhi.
Indonesia belum memiliki undang-undang yang mengatur secara
khusus tentang restorative justice. Saat ini, konsepsi restorative justice
hanya diatur dalam beberapa peraturan teknis di beberapa institusi
hukum. Di antaranya, dalam Surat Keputusan Direktorat Jenderal
Peradilan Umum Nomor: 1691/DJU/SK//PS.00/12/2020 tentang
Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif;141 Peraturan
Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif; dan Peraturan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan
Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
3. Salah satu solusi untuk mengatasi terjadinya over capacity lembaga
pemasyarakatan (Lapas/LP) dan rumah tahanan (Rutan).
Hampir seluruh lapas dan rutan di Indonesia mengalami over
kapasitas. Data Kementerian Hukum dan HAM mencatat bahwa
total penghuni lapas dan rutan mencapai 179.069 orang per 31
Desember 2021. Jumlah itu hampir dua kali lipat dari kapasitas

140
Rudy Heriyanto Adi Nugroho, Mediasi Kepolisian dalam Rangka Mencapai
Retorative Justice (Solusi atas Keadilan dan Kepastian Hukum, Makalah
Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap, Universitas Lampung, 2021, hlm. 3.
141
SK Dirjen Badilum Nomor: 1691/DJU/SK//PS.00/12/2020 ini
ditangguhkan pelaksanaan atau penerapannya berdasarkan SK Dirjen Badilum
Nomor 1209/DJU/PS.00/11/2021, hal: Penangguhan SK Dirjen Badilum Nomor:
1691/DJU/SK//PS.00/12/2020.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 45


normal sebesar 135.561 orang.142 Namun, pada tahun 2022, jumlah
penghuni mengalami peningkatan menjadi 275.166 orang.143
4. Rangkaian permasalahan jumlah tunggakan perkara, penegak
hukum, dan biaya perkara.
Tunggakan perkara yang semakin meningkat, dihadapkan pada
kesiapan dan kemampuan penegak hukum yang tidak sebanding,
serta biaya perkara yang tidak murah, membawa dampak
perubahan pada cara pandang masyarakat Indonesia terhadap
proses penegakan hukum pidana. Masalahnya, pemerintah
harus membiayai kebutuhan anggaran Lembaga Pemasyarakatan
yang terus meningkat, namun pada saat yang sama, sanksi yang
dikenakan tetap berdampak merugikan warga binaan, yaitu
dikucilkan, baik secara fisik maupun psikologis.

Pemidanaan seperti itu lebih “merugikan” karena tidak menjamin


pemulihan moral terpidana untuk kembali menjadi pribadi yang
diterima masyarakat. Lebih dari itu, juga akan menghilangkan potensi
dan kontribusinya yang baik bagi masyarakat. Menurunnya daya
kontributif ini tentu tidak hanya merugikan yang terkena sanksi
beserta keluarganya, tetapi juga masyarakat pada umumnya. Di sisi
lain, penempatan pelaku pidana pemula bersama-sama pelaku pidana
lainnya yang mungkin sudah berkali-kali melakukan tindak pidana,
justru membuka peluang terkontaminasi dengan niat jahat dan modus
para penjahat yang ada di lapas. Merupakan hal yang lazim bahwa para
terpidana justru terpengaruh untuk melakukan kejahatan yang lebih
berat pada kesempatan lainnya.144
Harus diakui, secara filosofis dan konseptual, restorative justice
sangat sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia, sebagaimana
tertuang dalam Pancasila sebagai falsafah atau pandangan hidup bangsa,

142
Data diolah dari SDP Publik Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM.
143
Wawancara dengan Yoslan, staf pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menurut Yoslan, data pada https://
ppid.ditjenpas.go.id/ selalu berubah setiap saat, sehingga pasti ada perbedaan dan
perkembangan data, 30 Januari 2023.
144
Rudy Heriyanto Adi Nugroho, Op. Cit., hlm. 12.

46 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


terutama keadilan sosial.145 Pengalaman menunjukkan bahwa penerapan
restorative justice di Indonesia tidak mengalami banyak hambatan.
Dalam konsep keadilan sosial, segala peraturan perundang-undangan
harus memperhatikan dan berdasarkan keadilan sosial sebagaimana
diamanatkan dalam Pancasila dan UUD 1945. Makna keadilan sosial,
ditegaskan Soekarno dalam pidato di depan Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni
1945:146
“Keadilan sosial ialah suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat
adil dan makmur, berbahagia buat semua orang, tidak ada
penghinaan, tidak ada penindasan, tidak ada penghisapan … Kita
hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat
satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan,
maupun golongan yang kaya,—tetapi ‘semua buat semua’.”
Dalam perspektif budaya bangsa Indonesia pada umumnya
selalu mengutamakan kehidupan yang harmonis, rukun, dan saling
menghormati. Dalam hal terjadi sengketa, masyarakat Indonesia
selalu mengedepankan musyawarah mufakat, sebagaimana tertuang
dalam sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
Musyawarah dilakukan dengan saling bertukar pendapat terhadap
suatu topik permasalahan dan akan muncul berbagai pendapat dari para
peserta di dalamnya. Masing-masing orang mengemukakan pendapatnya
dan mendengarkan pendapat orang lain. Tukar pendapat dalam
musyawarah senantiasa dilakukan dengan semangat kekeluargaan,
yakni dengan memperhatikan tata kesopanan saat musyawarah. Setelah
saling bertukar pendapat, baru dicapai satu keputusan. Keputusan
dalam musyawarah bukan berdasar atas suara terbanyak atau paksaan

145
Hayyan Ul Haq, “Managing Uncertainty and Complexity in The Utilization
of Biodiversity Through The Tailor-Made Inventor Doctrine and Contract Law,”
Makalah disampaikan dalam International Workshop Managing Uncertainty and
Complexity in Biodiversity and Climate Change di University Chatolic Louvain
La-Neuve, Belgium, 15–16 June 2006.
146
Marbawi, “Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”, dalam https://bpip.go.id/berita/1035/953/memaknai-sila-kelima-
keadilan-sosial-bagi-seluruh-rakyat-indonesia.html, diakses tanggal 21 April 2022.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 47


dari pihak tertentu, melainkan karena mufakat.147 Artinya, kesepakatan
diambil berdasarkan kemufakatan bersama.
Secara normatif, mufakat adalah disetujuinya suatu pendapat oleh
semua pihak dalam musyawarah tanpa suatu paksaan. Mufakat harus
memperhatikan kepentingan bersama. Dalam hal ini, mufakat harus
sesuai dengan moral keagamaan dan nilai keadilan. Hasil musyawarah
akan menjadi kesepakatan bersama jika peserta di dalamnya bersedia
dan mematuhi mufakat yang telah dicapai.148
Berdasarkan sila keempat, hal yang diutamakan bukan pemenuhan
hak-hak individu (individual rights), atau hanya hak-hak kelompok
masyarakat, melainkan juga kewajiban untuk mengembangkan
solidaritas sosial (gotong royong) dalam rangka kemaslahatan dan
kebahagiaan hidup bangsa secara keseluruhan.149 Menurut Mohammad
Hatta, musyawarah mufakat merupakan tradisi yang sudah mengakar
sejak lama dalam budaya bangsa Indonesia, yang dipresentasikan dalam
tradisi musyawarah mufakat “demokrasi desa”, dalam rangka mencari
kesepakatan saat perbedaan pandangan.150 Hatta menjelaskan, karakter
bangsa Indonesia cenderung kolektivisme, yang tampak pertama kali
pada sifat tolong-menolong.
Aktualisasi sila-sila Pancasila dituangkan dalam bentuk butir-butir
kehidupan bernegara, awalnya diatur melalui Ketetapan MPR Nomor II/
MPR/1978, kemudian disempurnakan dengan Ketetapan MPR Nomor
1/MPR/2003. Terdapat 10 butir pengamalan sila keempat Pancasila,
yaitu sebagai berikut.
1. Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia
Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
2. Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
3. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.

147
https://bpip.go.id/berita/1035/900/begini-cara-pengambilan-keputusan-
bersama-menurut-demokrasi-pancasila.html, diakses tanggal 21 April 2022.
148
https://bpip.go.id/berita/1035/900/begini-cara-pengambilan-keputusan-
bersama-menurut-demokrasi-pancasila.html, diakses tanggal 21 April 2022.
149
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktualisasinya, (Yogyakarta: Penerbit Paradigma, 2018), hlm. 359.
150
Ibid.

48 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


4. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
5. Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai
sebagai hasil musyawarah.
6. Dengan iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima serta
melaksanakan hasil musyawarah.
7. Dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
8. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur.
9. Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi
harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran serta keadilan
mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
10. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk
melaksanakan permusyawaratan.

Mufakat akan tercapai apabila para pihak yang bersengketa


mengedepankan nilai-nilai Ilahiah sebagai wujud sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa”, yaitu saling mencintai, mengasihi, dan memaafkan. Dalam
ajaran Kristen, hukum cinta kasih selalu dikedepankan, termasuk
menyelesaikan sengketa. Terdapat banyak ajaran dalam Alkitab yang
menjadi dasar penanganan perkara secara musyawarah mufakat agar
harmonisasi kehidupan terpulihkan, antara lain sebagai berikut.
1. Alkitab mengajarkan “segala kepahitan, kegeraman, kemarahan,
pertikaian, dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu,
demikian pula segala kejahatan” (Efesus 4:31).
2. Kitab Perjanjian Baru mencatat berbagai perintah yang diberikan
kepada orang percaya untuk hidup berdamai: perintah untuk saling
mengasihi (Yohanes 13:34; Roma 12:10), hidup berdamai dan
harmonis dengan sesama (Roma 15:5; Ibrani 12:14), mengatasi
perbedaan (2 Korintus 13:11), bersabar, bersikap ramah dan
berhati lembut terhadap sesama (1 Korintus 13:4), memperhatikan
kebutuhan orang lain terlebih dahulu (Filipi 2:3), menanggung
beban sesama (Efesus 4:2), dan bersukacita dalam kebenaran (1
Korintus 13:6).

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 49


3. Yesus telah mengajarkan resolusi konflik. Yesus mengajarkan
agar terhadap orang yang melakukan kesalahan (dosa), tidak
mesti langsung dihadapkan kepada Mahkamah Agama atau
dihukum, melainkan harus menanganinya secara langsung bertatap
muka, namun ketika belum tuntas maka perlu ditangani secara
berkelompok kecil, dan jika pada akhirnya tidak tuntas maka perlu
dibawa ke hadapan gereja. Injil Matius 18:15–17:
“Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat
mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu, engkau telah mendapatnya
kembali. Jika ia tidak mendengarkan engkau, bawalah seorang atau
dua orang lagi, supaya atas keterangan dua atau tiga orang saksi,
perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak mau mendengarkan
mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia tidak
mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang
yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.”
Restorative justice juga merupakan pembadanan sila “Persatuan
Indonesia”, sebab yang diutamakan adalah pemulihan keadaan yang telah
rusak, sehingga persatuan yang telah rusak dipulihkan kembali. Makna
persatuan dalam sila ketiga disampaikan Soesanto Tirtoprodjo pada
Sidang Dokuritu Zyunbi Tyosa Kai tanggal 29 Mei 1945, sebagai berikut.151
“Saudara Ketua, saudara-saudara. Dasar fundament yang kedua,
ialah hasrat persatuan. Riwayat sejarah negara kita telah memberi
pelajaran, bahwa jatuhnya bangsa kita ke dalam lumpur penjajahan
ialah adanya perceraian di antara bangsa kita sendiri. Dari itu,
hasrat persatuanlah yang harus menjadi dasar fundament dari negara
Indonesia.”

“Saudara Ketua, saudara-saudara, sebagai dasar fundament ke-3, saya


sebutkan rasa kekeluargaan. Yang saya maksudkan, yaitu supaya
di dalam pemerintahan maupun di dalam kehidupan sehari-hari
segala lapisan dan bagian masyarakat diliputi oleh perasaan menjadi
anggota dari satu keluarga.”
Pengamalan nilai-nilai Pancasila di atas pada akhirnya bertujuan
untuk terciptanya masyarakat yang harmonis, damai, saling menghormati,
terciptanya keadilan, serta persatuan kesatuan. Manusia sebagai

RM. A. B. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan


151

Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 110–111.

50 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


makhluk sosial pada hakikatnya harus saling hormat-menghormati
antarsesama, saling menghargai, mencintai, dan mengasihi. Dengan
demikian, pembentukan kebijakan harus berdasarkan pada Pancasila
yang merupakan sumber dari segala sumber hukum.
Hormat-menghormati antarsesama bertujuan untuk menghormati
hak manusia dalam memperoleh keadilan dan kesejahteraan, karena
keadilan dalam sila kelima Pancasila memberikan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Karakteristik keadilan Pancasila merupakan
kaidah-kaidah moral serta nilai tentang kebenaran, yaitu keadilan
yang berfungsi sebagai landasan untuk membentuk keadilan hukum
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengadopsi
nilai-nilai keadilan yang berdasarkan Pancasila sebagai ideologi bangsa
(Rechtsidee).152
Landasan pengaturan restorative justice juga mampu mewujudkan
nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Kepastian
hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap,
dan konsisten, di mana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh
keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.153 Nilai kepastian hukum
terwujud dalam prinsip transparansi, objektivitas, keakurasian, dan
kecermatan yang terwujud dalam pengaturan yang seragam serta tidak
tumpang tindih apalagi saling bertentangan.
Nilai kemanfaatan dimaksudkan untuk mewujudkan social welfare
maximization. Dalam restorative justice, kemanfaatan akan tampak ketika
hukuman dapat mencegah seorang pelanggar untuk mengulangi
perbuatannya atau mencegah orang lain untuk melakukan hal yang
sama. Pencegahan dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada
pelanggar bahwa tindakannya tidak menarik karena berakibat pada
kesengsaraan daripada kesenangan, dan ketakutan atas hukuman akan
mencegah seseorang mengulangi kejahatannya.

152
Ferry Irawan Febriansyah, “Keadilan Berdasarkan Pancasila sebagai Dasar
Filosofis dan Ideologis Bangsa”, DiH Jurnal Ilmu Hukum, Volume 13, Nomor 25,
Februari 2017, hlm. 9.
153
R. Tony Prayogo, “Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Pengujian Undang-Undang“, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor
2, 2016, hlm. 194.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 51


Pengaturan dan penerapan restorative justice ditujukan untuk
memelihara keutuhan serta keharmonisan sehingga sustainabilitas
kehidupan bersama selalu terjaga dan terpelihara. Menurut Hayyan Ul
Haq, restorative justice bertujuan untuk mengembalikan keadaan yang
rusak akibat terjadinya tindak pidana, sehingga menjadi utuh kembali
seperti semula. Indonesia memiliki landasan yang kuat untuk mengatur
dan menerapkan restorative justice. Sebab, nilai-nilai restorative justice telah
ada dalam masyarakat Indonesia sebagaimana terkristal dalam sila-sila
Pancasila, serta UUD 1945 yang mengatur landasan negara hukum dan
pengakuan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat.
Budaya Jawa misalnya, selalu berupaya menghindari konfrontatif,154
mengutamakan kerukunan dan jalan damai. Prinsip kerukunan
dalam budaya Jawa bertujuan untuk mempertahankan masyarakat
dalam keadaan harmonis. Budaya yang sama terjadi pada masyarakat
Bali, pengaturan awig-awig dalam masyarakat Bali bertujuan untuk
memelihara kehidupan bersama di desa adat agar rukun, tertib, dan
damai, serta berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan prinsip gilik
saguluk, parasparo, salunglung sabayantaka, sarpana ya.155
Indonesia memiliki banyak ragam suku bangsa dengan adat istiadat
yang berbeda juga. Penulis akan menjelaskan nilai-nilai restorative justice
yang hidup dan diterapkan pada masyarakat adat: Batak Toba, Jawa,
Bali, Sasak (Lombok), dan Dayak (Kalimantan).

1. Hukum Adat Batak Toba


Restorative justice telah berakar kuat dalam sistem hukum Indonesia melalui
hukum adat. Hal tersebut juga dapat dilihat pada hukum adat Batak yang
mengenal istilah Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru untuk menyelesaikan
permasalahan hukum yang terjadi di tengah-tengah masyarakat adat
Batak yang digerakkan oleh Lembaga Dalihan Na Tolu. Pada masyarakat
adat Batak dalam penyelesaian permasalahan hukum, peranan Dalihan
Na Tolu sangat penting karena adanya interaksi langsung antara korban,

154
Wawancara Sahid Teguh Widodo, Budayawan dan Guru Besar Ilmu Budaya
Universitas Sebelas Maret, 9 Agustus 2022.
155
Pasal 14 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019
tentang Desa Adat Bali.

52 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pelaku, dan keluarga serta pimpinan adat yang lebih mengutamakan
prinsip kekerabatan, penghormatan adat-istiadat, dan perlindungan
terhadap korban untuk pemenuhan rasa keadilan. Berdasarkan hasil
riset awal penulis melalui wawancara dengan tokoh adat di Kabupaten
Samosir, Provinsi Sumatera Utara, dapat dideskripsikan sebagai berikut.156
“Dalihan Na Tolu sangat mementingkan kerja sama antarperan
dari unsur Dalihan Na Tolu itu sendiri, yaitu dongan tubu, hula-hula
dan boru. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari makna pepatah yang
mengatakan somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek
marboru, karena mengandung sebuah arti yang mendalam dan
mutlak harus dilakukan bila ingin sejahtera hidupnya. Dalam
masyarakat Batak Toba, ketua adat Dalihan Na Tolu dapat dikatakan
sebagai mediator dalam penyelesaian masalah hukum, merupakan
pihak yang terlibat di antara pihak yang mengalami konflik untuk
menyelesaikan permasalahannya dengan sanksi berupa ganti rugi
kepada korban dan juga kewajiban membayar seluruh biaya yang
dikeluarkan saat masalah tersebut diselesaikan secara hukum
adat, sanksi lainnya adalah kewajiban minta maaf kepada korban
disaksikan semua pihak yang turut serta dalam penyelesaiannya.
Apabila kewajiban meminta maaf tidak dilakukan, lembaga adat
memberikan hukuman sosial berupa tidak dilibatkan dalam acara
adat dan tidak diundang pada setiap hajatan masyarakat serta diusir
dari kekerabatan adat.”
Lembaga Dalihan Na Tolu pada masyarakat adat Batak dalam
menyelesaikan permasalahan hukum dengan tindakan represif untuk
menghukum orang jahat. Tindakan represif tersebut dilakukan melalui
rehabilitasi terhadap pelaku melalui hukuman bersyarat dan hukuman
sosial.157 Peranan lembaga adat sangat efektif dalam memberikan
perlindungan hukum kepada masyarakat dan korban karena terpenuhinya
prinsip restorasi (perbaikan) sebagai tujuan dari restorative justice. Peran
penting lembaga adat dalam praktik, misalnya terjadi di wilayah hukum
Polsek Pangururan Polres Samosir Polda Sumatera Utara, yaitu:
“Polsek Pagururan Polres Samosir dalam penyelesaian laporan
masyarakat maupun laporan korban tindak pidana selalu melibatkan

156
Wawancara dengan Obin Naibaho, Ketua Forum Komunikasi Tokoh
Masyarakat Kabupaten Samosir, dan Elman Simanjuntak, pelaku adat Batak Toba,
Minggu tanggal 24 Oktober 2021.
157
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Op. Cit., hlm. 322.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 53


peran lembaga adat batak, karena sangat efektif dalam proses
penyelesaiannya. Penyidik memaknai bahwa penyelesaian dengan
memanfaatkan lembaga adat merupakan bentuk sistem restorative
justice, karena terpenuhinya rasa keadilan dan perlindungan bagi
korban.”158

2. Hukum Adat Jawa


Hukum adat Jawa dalam penelitian ini berdasarkan penelitian restorative
justice di Yogyakarta dan Solo. Menurut Djoko Sukisno, peran tokoh adat
di Yogyakarta sudah tidak kelihatan lagi. Yogyakarta sudah berubah
menjadi Indonesia mini dan lebih individualis. Salah satu penyebabnya
adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan
Desa. Sukisno menjelaskan, pada zaman dahulu, sekitar tahun 1970-an,
ada rukun kampung untuk menyelesaikan setiap konflik yang terjadi
di masyarakat setempat, tetapi sekarang, banyak wilayah sudah tidak
memiliki rukun kampung.159 Hal yang sama disampaikan Supanto, Guru
Besar Kriminologi Universitas Sebelas Maret yang mengatakan bahwa
secara institusi, peran tokoh adat di Yogyakarta atau bahkan beberapa
daerah di Jawa sudah tidak muncul di permukaan. Setiap permasalahan
yang ada di masyarakat di bawa untuk diselesaikan secara hukum
melalui lembaga penegak hukum.160
Kehidupan orang Jawa yang sudah mulai individualis tidak serta-
merta menghilangkan tradisi Jawa. Sangat banyak ajaran-ajaran budaya
Jawa yang sangat kental dan relevan dengan penyelesaian perkara
tindak pidana berdasarkan restorative justice. Salah satu contoh pepatah
Jawa yang mengandung makna yang sangat dalam tentang kehidupan
yang rukun dan saling berbagi dan bergotong-royong adalah bahwa
orang Jawa pada umumnya mengutamakan “pager mangkok tinimbang
pager tembok”. Pepatah ini memiliki makna yang mendalam tentang
mengutamakan berbuat baik kepada tetangga atau orang lain.161 Orang

158
Wawancara dengan Kapolsek Pagururan Polres Samosir Polda Sumatera
Utara, Minggu 24 Oktober 2021.
159
FGD di Polresta Yogyakarta, 8 Agustus 2022.
160
Wawancara dengan Supanto, Budayawan Jawa dan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, tanggal 21 Juli 2022.
161
Ibid.

54 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Jawa sendiri memiliki budaya non-konfrontatif. Dalam hal terjadi
masalah, penyelesaiannya lebih kepada mencari tujuan yang tepat yang
tidak menimbulkan keonaran (Dikena iwake, aja nganti butheg banyune).162
Tradisi “nyadran“ pada masyarakat Jawa mengandung kristalisasi
nilai komunikasi sosial, budi bahasa dan budaya, syukur, cinta dan
kasih sayang, penghormatan, disiplin, serta kepatuhan kolektif. Orang
Jawa pada umumnya mengutamakan kedamaian dan kerukunan,
sebab mereka sangat menyadari bahwa jika terjadi perpecahan, akan
sulit bahkan mustahil untuk kembali seperti semula. Kesadaran ini
tergambarkan dalam pepatah Jawa: “Beras wutah arang mulih marang
takere” yang artinya perkara yang sudah diputuskan jarang dapat kembali
seperti sediakala/kembali seperti semula.163
Menurut Said Teguh Widodo, Jawa memiliki pranata sosial yang baik,
seperti tradisi saling kunjung, empati daya dinayanan (saling memberi
kekuatan), guyub, rukun, gotong royong, samad-sinamadan (saling
memperhatikan dan simpati), sikap hormat menghormati, tepa selira,
mawas diri, toleransi yang merupakan nilai asli Jawa yang cair, tumbuh,
dan berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Sahid menjelaskan,
masuknya pengaruh asing yang dimulai dari elite kerajaan sampai dengan
masyarakat biasa, ternyata tidak serta-merta menghilangkan tradisi asli
Jawa, tetapi sebaliknya terjadi saling pengaruh sehingga membentuk
sub-kultur baru yang khas, seperti upacara sraddha.164
Pranata adat yang berfungsi menyelesaikan sengketa yang terjadi di
tengah masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta dan Solo, sudah tidak
ada. Namun, nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa tidak pernah luntur.
Salah satu nilai Jawa yang tetap hidup terus dikembangkan adalah sikap
toleransi terhadap sesama manusia, yaitu “amemangun karyenak tyasing
sasama”, yang berarti berusaha menciptakan suasana hati yang harmonis
antara manusia yang satu dengan yang lain di dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.165 Prinsip tersebut sejalan juga dengan

162
Ibid
163
Ibid.
164
Ibid.
165
Ibid. Lihat juga: Darmoko, Budaya Jawa dalam Diaspora: Tinjauan pada
Masyarakat Jawa di Suriname, https://journal.uny.ac.id/index.php/ikadbudi/
article/view/12307, diakses tanggal 14 September 2022.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 55


sikap mad-sinamadan (saling memberi sesuatu, saling mengemong) dan
dayadinayan (saling memberi kekuatan). Nilai-nilai tersebut akan tercipta
suasana rukun dan saling menghormati di antara warga masyarakat.
Prinsip kerukunan dalam budaya Jawa bertujuan untuk
mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Rukun artinya
kehidupan masyarakat dalam keadaan selaras, tenang dan tenteram,
tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu padu untuk saling
membantu. Keadaan rukun diperoleh kalau semua pihak berada dalam
keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, serta saling menerima
dalam suasana tenang dan sepakat.166
Kebudayaan Jawa sangat kaya akan petuah bijaksana untuk menjaga
agar kehidupan masyarakat teratur, baik dan damai, tidak sebagai tujuan
dalam sendirinya, tetapi penguasaan atas dunia luar mendatangkan
ketenangan batin seperti keadaan tenteram (tentrem) yang setengah
sosial dan setengah psikologis serta perasaan pribadi yang mendalam
mengenai kepuasan yang tenang (ayem).167 Salah satu nilai dan petuah
Jawa yang sarat nilai dalam menyelesaikan tindak pidana berdasarkan
restorative justice adalah ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti
tanpa aji-aji, dan sugih tanpa bandha. Hal ini berarti berjuang tanpa perlu
membawa massa, menang tanpa merendahkan atau mempermalukan,
berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan atau
keturunan, kaya tanpa didasari kebendaan.168 Penerapan sikap dan nilai-
nilai kearifan lokal Jawa di atas cukup efektif untuk menyelesaikan suatu
konflik, perselisihan, atau pertikaian masyarakat.

3. Hukum Adat Bali


Pelaksanaan sanksi adat selalu disertai dengan pamarisuddhan atau
pemerayascitta, yaitu suatu upacara pembersihan desa dari perasaan
kotor alam gaib.169 Upacara ini bukanlah dimaksudkan sebagai suatu

166
Darmoko, Ibid.
167
Ibid.
168
Wawancara dengan Supanto, Budayawan Jawa dan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, tanggal 21 Juli 2022.
169
Wawancara dengan I Made Kasta. Bendesa Adat Akah Klungkung, tanggal
3 November 2021.

56 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


siksaan atau suatu penderitaan, akan tetapi untuk mengembalikan
keseimbangan kosmis.170
Menurut I Dewa Made Suartha, penjatuhan sanksi adat di Bali
dalam pelaksanaannya ada keterkaitan yang sangat erat antara hukum
adat dan agama Hindu di Bali, di mana tidak saja dapat dilihat dari
ketentuan-ketentuan hukum adatnya, yang lazim disebut awig-awig,
tetapi juga dalam hal penjatuhan sanksi adatnya yang lebih banyak
dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan.171 Suartha menjelaskan,
penjatuhan sanksi adat di Bali meliputi dua hal penting, yaitu sanksi
skala (sanksi materiil) dan sanksi niskala (sanksi imateriil). Sanksi ini
tidak dapat dilepaskan dari pola penataan kehidupan masyarakat adat
di Bali yang dilandaskan atas konsep tri hita karana, yang meliputi
terpeliharanya keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, antara
manusia dengan manusia lain, serta manusia dengan lingkungannya.172
Sanksi adat mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan
masyarakat adat di Bali. Pengenaan sanksi adat tidak hanya terhadap
pelanggaran adat, juga dapat dijatuhkan terhadap delik biasa, meskipun
pelaku sudah dipidana di peradilan umum.173 Penjatuhan sanksi
pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan negara (pengadilan
negeri, pengadilan tinggi, atau mahkamah agung) sering dianggap
tidak memenuhi rasa keadilan apabila pidana penjara tersebut tidak
disertai dengan salah satu atau beberapa sanksi adat di atas. Suartha
menjelaskan, putusan pengadilan negeri baru mencerminkan rasa
keadilan masyarakat adat apabila putusan tersebut memperhatikan
kepentingan korban juga mengutamakan aspirasi masyarakat adat.174
Penyelesaian perkara tindak pidana melalui mekanisme restorative
justice sejalan dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat adat Bali
sebagaimana dijelaskan di atas. Hal ini tergambar jelas dalam perkara
pencurian uang sesari atau uang sesajen di kotak Pura Dalem, Banjar

170
I Made Widnyana, “Eksistensi Delik Adat dalam Pembanhunan”, dalam I
Dewa Made Suartha, Hukum dan Sanksi Adat: Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana,
(Malang: Suara Press, 2015), hlm. 3.
171
Ibid.
172
Ibid.
173
Ibid.
174
Ibid.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 57


Pujung, Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali.
Tindak pidana tersebut diproses berdasarkan restorative justice, di mana
korban mengakui kesalahannya, meminta maaf serta mengembalikan
uang pencurian tersebut.
Dalam peristiwa tindak pidana tersebut, seorang siswi terbukti
melakukan pencurian untuk membayar uang Sumbangan Pembinaan
Pendidikan (SPP) atau uang training sekolah. Setelah mendapatkan
uang itu, pelaku langsung menyetorkan ke koperasi sekolah untuk
bayar SPP sebesar Rp170.000,00 (seratus tujuh puluh ribu rupiah).
Pelaksanaan restorative justice terhadap tindak pidana pencurian uang
sesajen diselenggarakan di Kepolisian Sektor (Polsek), Tegalalang.
Pihak kepolisian bertindak sebagai fasilitator, prajuru (petugas adat)
sebagai korban, pelaku, dan instansi terkait, diundang untuk terlibat
menyelesaikan masalah.
Penyelesaian secara restorative justice tersebut telah sesuai dengan
rasa keadilan yang dianut masyarakat adat Bali. Sanksi yang diterapkan
juga sesuai dengan jenis sanksi yang dijelaskan Tjokorde Raka Dherana
dan I Made Widnyana di atas, yaitu sanksi ngidih-olas (minta maaf).

4. Hukum Adat Sasak (Lombok)


Masyarakat Sasak memiliki Berugaq (baca: berugak) Sekepat sebagai
tempat menyelesaikan perselisihan.175 Dalam menyelesaikan sengketa
pada masyarakat Sasak, akan diselesaikan oleh empat orang yang duduk
pada masing-masing sudut Berugaq Sekepat. Tuan rumah akan duduk pada
sudut paling kanan, sudut kiri ditempati oleh krama-krama (tetua adat),
sedangkan pihak yang beperkara duduk di depan pemilik rumah dan
krama. Menurut Lalu Sajim Sastrawan, siapa pun yang datang membawa
kasus ke forum Sekepat, pasti memiliki niat baik untuk menyelesaikan
sengketanya, sehingga sudah pasti akan terjadi perdamaian.176

175
Barugaq Sekepat adalah rumah adat Suku Sasak Lombok, memiliki bentuk
seperti gazebo, dengan atap yang terbuat dari daun kelapa, berbentuk seperti panggung
tanpa dinding, dan terdapat empat pilar yang terbuat dari kayu. Lihat: https://ntb.
genpi.co/sasambo/1958/mengenal-berugaq-sekepat-rumah-adat-suku-sasak-
lombok#:~:text=GenPI.co%20Ntb%20%2D%20Berugaq%20Sekepat,terbuat%20
dari%20genteng%20atau%20seng., diakses tanggal 28 November 2022.
176
Wawancara dengan Lalu Sajim Sastrawan, Ketua Bale Mediasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 21 November 2022.

58 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Nusa Tenggara Barat telah memiliki lembaga penyelesaian sengketa
berdasarkan hukum adat, yaitu Bale Mediasi. Dalam Bale mediasi, para
pihak yang bersengketa didengarkan secara seimbang dan diupayakan
perdamaian. Proses penyelesaian dilakukan dengan melibatkan tokoh
agama (tuan guru), pemuka adat, dan kepala desa. Penyelesaian sengketa
dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai hukum adat maupun
agama (kearifan lokal) setempat.177
Salah satu tujuan pembentukan Bale Mediasi adalah pengakuan
pemerintah sebagai wujud perlindungan, penghormatan, dan
pemberdayaan terhadap keberadaan lembaga adat dalam menjalankan
fungsi mediasi. Selain itu, Bale Mediasi juga bertujuan untuk mencegah
dan meredam konflik atau sengketa di masyarakat lebih dini, serta
terselenggaranya penyelesaian sengketa di masyarakat melalui mediasi
demi terciptanya suasana yang rukun, tertib, dan harmoni.178
Bale Mediasi bukan merupakan bagian dari peradilan negara,
melainkan lembaga yang menyelesaikan sengketa di luar pengadilan,
bersifat non-struktural dan bertanggung jawab kepada gubernur.179
Pelaksana harian dan mediator Bale Mediasi di tingkat provinsi terdiri
dari unsur-unsur, seperti akademisi, tokoh adat, tokoh agama, tokoh
masyarakat, mediator bersertifikat dan/tidak bersertifikat, profesional,
dan praktisi.180 Anggota Bale Mediasi sudah dua kali mengikuti pelatihan
mediator yang diselenggarakan Mahkamah Agung bekerja sama dengan
Universitas Gajah Mada.181 Di Lombok, mantan kepala desa dan mantan
camat, biasanya berperan sebagai mediator dalam Bale Mediasi dalam
mengatasi konflik di daerahnya masing-masing.182
Bale Mediasi menangani perkara perdata dan pidana dengan cara
mediasi melalui prinsip musyawarah mufakat di luar pengadilan.183
Penyelesaian sengketa dilakukan atas permohonan para pihak. Namun,

177
Penjelasan Umum Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor
9 Tahun 2019 tentang Bale Mediasi (Perda Bale Mediasi).
178
Pasal 3 Perda Bale Mediasi.
179
Pasal 5 Perda Bale Mediasi.
180
Pasal 10 Perda Bale Mediasi.
181
Wawancara dengan Lalu Sajim Sastrawan, Ketua Bale Mediasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 21 November 2022.
182
Ibid.
183
Pasal 17 ayat (2) Perda Bale Mediasi.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 59


penyelesaian sengketa dapat juga dilakukan tanpa permohonan dari
pihak yang bersengketa, tetapi tetap dengan adanya peran serta
masyarakat yang melaporkannya.184 Bale Mediasi pernah menangani
perkara perang antar kampung, dan berhasil diselesaikan tanpa melalui
aparat penegak hukum. Selain itu, Bale Mediasi juga pernah menangani
perkara terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).185

5. Hukum Adat Dayak (Kalimantan)


Masyarakat Kalimantan Selatan memiliki dua kelompok besar yang
menjadi penduduk asli, yaitu suku Dayak dan suku Banjar. Kedua
suku ini digambarkan sebagai kakak beradik (Dayuhan dan Intingan)
dalam tradisi tutur Kalimantan Selatan. Dayuhan dan Intingan walaupun
berbeda keyakinan, tetap menjaga persaudaraan di antara mereka.
Cerita Dayuhan dan Intingan mengandung nilai-nilai kerukunan,
terutama antara suku Banjar yang beragama Islam dengan suku Dayak
yang menganut kepercayaan leluhur. Nilai-nilai kerukunan tersebut
antara lain: kesatuan kemanusiaan, saling percaya, pemenuhan
kebutuhan, sikap toleransi, bekerja sama, saling hormat menghormati,
dan penyelesaian konflik.186
Hukum adat Dayak, seperti juga hukum adat pada umumnya, tidak
terlepas dari nilai magis religius. Komunitas Dayak Maanyan meyakini,
kreasi pikiran dan akal budi senantiasa mengacu pada proses kehidupan
sehari-sehari, yang terbentuk karena adanya hubungan timbal balik
antara manusia dengan lingkungan dan antarsesama manusia itu
sendiri. Semua itu memberi warna kehidupan masyarakat adat, terutama
menonjol pada sistem kepercayaan/religi, pengetahuan, adat istiadat,
mata pencaharian, dan lain-lain. Nilai kekerabatan, gotong royong,
hukum adat, dan sistem kemasyarakatan menjadi pengikat hidup dalam
menjalankan tradisi “roh budaya Dayak Maanyan”.187

184
Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) Perda Bale Mediasi.
185
Wawancara dengan Lalu Sajim Sastrawan, Ketua Bale Mediasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 21 November 2022.
186
Darmanto, “Sekilas Dayak Kalimantan Selatan: Refleksi Masyarakat Adat
Bumi Lambung Mangkurat”, dalam Buku Kenangan Pelantikan Pengurus Dewan
Adat Dayak Provinsi Kalimantan Selatan Masa Bakti 2022–2027, (Liang Anggang-
Banjarbaru, 13 Agustus 2022).
187
Ibid.

60 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Mayoritas masyarakat adat Dayak menganut kepercayaan
Kaharingan, yaitu kepercayaan berasal dari nenek moyang/leluhur suku
Dayak yang dianut dari dahulu sampai sekarang. Sistem kepercayaan
ini mengandung dua hal, yaitu sebagai berikut.
a. Unsur kepercayaan kepada nenek moyang yang menekankan pada
pemujaan (ancestral belief) berisikan peraturan tentang hubungan
antara manusia dengan Tuhan, manusia degan manusia, manusia
dengan roh nenek moyang dan manusia dengan alam.
b. Unsur kepercayaan kepada Tuhan yang satu dengan kekuasaan
tertinggi berwujud dalam dwi tunggal yang menguasai alam atas
(tinggang, Burung Engang Sakti) yang merupakan simbol ketuhanan
dan alam bawah. Dalam unsur kepercayaan kepada Tuhan yang
satu juga mengandung nilai harmonis.188

Dalam hal terjadi perselisihan, masyarakat adat Dayak selalu


mengutamakan musyarawah untuk menjaga keseimbangan dan
keharmonisan (belom bahadat/hidup beradat, belom hapakat/hidup saling
sepakat). Penyelesaian sengketa dipimpin seorang damang/demang yang
bertugas mengatur kehidupan masyarakat, menyelesaikan masalah
hubungan adat, memberi nasihat, atau menjadi hakim dalam peradilan
adat.189 Dalam memutus perkara, damang/demang juga mengedepankan
prinsip adil ka’talino, bacuramin ka’saruga, dan basengat ka’jabuta (adil
kepada sesama, selalu berbuat baik, dan bertakwa kepada Tuhan).190
Anggota masyarakat yang melanggar akan dikenakan sanksi singer, yaitu
berupa uang atau berupa benda lain, seperti memberi makan, potong
babi berdasarkan tingkat kesalahan.191 Pada zaman dahulu, sanksi bagi
pelanggar adat berupa jipen (pelanggar dipekerjakan pada pihak korban
untuk jangka waktu tertentu).192

188
Wawancara dengan Robby Mahajaya Ngaki, Sekretaris Umum Dewan Adat
Dayat Provinsi Kalimantan Selatan Masa Bakti 2022–2027, 23 April 2023. Baca
juga: Darmanto, Ibid.
189
Wawancara dengan Robby Mahajaya Ngaki, Sekretaris Umum Dewan Adat
Dayat Provinsi Kalimantan Selatan Masa Bakti 2022–2027, dan Ketua Dewan Adat
Dayak Banjar John Peser, 23 April 2023.
190
Ibid.
191
Ibid.
192
Ibid.

BAB 1 | Konsepsi Restorative Justice dalam Hukum Indonesia 61


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB
2
SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

A. Konsepsi Pidana dan Pemidanaan


Pidana berarti derita atau nestapa.193 Andi Hamzah berpendapat,
pidana merupakan nestapa yang dikenakan kepada pembuatnya karena
melakukan delik.194 Pendapat lain mengatakan, hukuman atau pidana
merupakan istilah yang memiliki arti yang sama, yaitu sebagai sanksi
atau ganjaran yang bersifat negatif, menimbulkan derita atau nestapa.195
Pendapat yang sama disampaikan Roeslan Saleh yang mengatakan,
pidana merupakan reaksi atas delik yang berwujud suatu nestapa yang
sengaja dikenakan kepada pembuat delik oleh negara.196
Menurut Sudarto, pidana adalah penderitaan yang sengaja
dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu.197 Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief,
pidana mengandung unsur-unsur sebagai berikut.198

193
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012), hlm. 12.
194
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya,
(Jakarta: Softmedia, 2012), hlm. 36.
195
Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di
Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), hlm. 19.
196
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Aksara Baru, 1979), hlm. 5.
197
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Undip, 1990), hlm. 9.
198
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1964), hlm. 4.

63
1. Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
3. Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.

Menurut Frans Maramis, terdapat tiga kelompok teori mengenai


tujuan pidana. Ketiga teori dimaksud adalah teori absolut, teori relatif,
dan teori penyatuan/integratif.199
1. Teori absolut. Menurut teori absolut, pidana seharusnya merupakan
sesuatu yang mutlak (absolut) menyusul dilakukannya kejahatan.
Pidana dikenakan karena orang melakukan kejahatan (quia peccatum),
bukan untuk mencapai tujuan yang lain. Penganut teori absolut
antara lain, Immanuel Kant dan G.W.F. Hegel. Kant menjelaskan,
pidana tidak dapat dijatuhkan sebagai suatu cara untuk mendukung
suatu kebaikan yang lain, baik untuk penjahat maupun masyarakat,
melainkan dalam semua hal dijatuhkan semata-mata karena secara
individu telah melakukan suatu kejahatan.200 Pendapat yang sama
disampaikan Hegel dalam teori logika dialektis. Menurut Hegel,
keberadaan negara adalah gagasan yang rasional, sedangkan
kejahatan merupakan pengingkaran terhadap realitas ini, yang
niscaya diselesaikan melalui pidana.201
2. Teori relatif. Menurut teori relatif, pidana dijatuhkan untuk
mencegah agar orang tidak melakukan kejahatan (ne peccetur).202
Teori relatif dibagi menjadi teori prevensi umum dan teori prevensi
khusus. Teori prevensi umum, yaitu pencegahan ditujukan kepada
masyarakat pada umumnya. Dengan adanya pidana yang dikenakan
pada pelaku kejahatan, maka orang lain (masyarakat) akan urung
niatnya untuk melakukan kejahatan.203 Teori prevensi khusus, yaitu

199
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 231–234.
200
Ibid.
201
Ibid.
202
Ibid.
203
Ibid.

64 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pencegahan ditujukan kepada orang yang melakukan kejahatan
supaya tidak melakukan kejahatan lagi.204
3. Teori integratif. Teori integratif menggabungkan pemahaman
teori absolut dan teori relatif. Menurut teori integratif, pidana
merupakan konsekuensi atas kejahatan dilakukan (aspek absolut).
Namun, dalam menetapkan berat ringannya derita yang dikenakan
tergantung pada kemanfaatan sosial (aspek relatif).205

Menurut Andi Hamzah,206 pidana dapat berupa pidana mati,


pemotongan anggota badan (verminken), cambuk (kastijding), perampasan
kemerdekaan (vrijheidsberoven), dan pernyataan tidak hormat. Bahkan,
pada zaman dahulu, banyak jenis pidana yang sangat kejam, seperti
pembakaran hidup-hidup, ditenggelamkan ke laut, ditarik kedua kaki
dengan kuda ke arah berlawanan, disalib, dirajam, dipasung, ditikam
dengan keris, dicekik, dan dipaksa minum racun (seperti Socrates).207
Jenis pidana telah mengalami pergeseran ke arah yang lebih
manusiawi, walaupun beberapa negara, termasuk Indonesia masih
tercantum pengaturan pidana mati. Pasal 10 KUHP mengatur:
“Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan:
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.”

204
Ibid.
205
Ibid.
206
Andi Hamzah, Loc. Cit.
207
Ibid.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 65


Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), mengatur tiga kelompok jenis
pidana, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat
khusus untuk tindak pidana tertentu yang ditentukan dalam undang-
undang.208 Pidana pokok terdiri atas: (a) pidana penjara; (b) pidana
tutupan; (c) pidana pengawasan; (d) pidana denda; dan (e) pidana
kerja sosial.209 Pidana tambahan meliputi: (a) pencabutan hak tertentu;
(b) perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; (c) pengumuman
putusan hakim; (d) pembayaran ganti rugi; (e) pencabutan izin
tertentu; dan (f) pemenuhan kewajiban adat setempat.210 Pidana yang
bersifat khusus merupakan pidana mati yang selalu diancamkan secara
alternatif.211
Penjatuhan pidana kepada pelaku kejahatan harus dilakukan melalui
proses atau mekanisme tertentu, yang disebut proses pemidanaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “pemidanaan” memiliki
kata dasar “pidana” yang berarti kejahatan (tentang pembunuhan,
perampokan, korupsi, dan lainnya) dan kriminal.212 Selanjutnya, kata
“pidana”, setelah ditambahkan konfiks “pe-an“ sehingga menjadi
“pemidanaan”, maka pengertiannya berubah menjadi: proses, cara, dan
perbuatan memidana.213
Menurut Sudarto, pemidanaan merupakan sinonim dari kata
penghukuman.214 Sudarto menjelaskan bahwa penghukuman berasal
dari kata dasar “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan
hukum suatu peristiwa, dengan demikian tidak hanya menyangkut
bidang hukum pidana saja, tetapi juga hukum perdata.215 Dalam
konteks hukum pidana, Sudarto mengatakan bahwa penghukuman
terwujud dalam bentuk pemidanaan atau penjatuhan pidana oleh

208
Pasal 64 KUHP baru.
209
Pasal 65 ayat (1) KUHP baru.
210
Pasal 66 ayat (1) KUHP baru.
211
Pasal 67 KUHP baru.
212
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemidanaan, diakses tanggal
27 Juni 2022.
213
Ibid.
214
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 72.
215
Ibid.

66 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


hakim.216 Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama
dengan sentence atau veroordeling.217 Sudarto menjelaskan, pemidanaan
(straftoemeting) adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan
hukuman/sanksi terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan
(rechtsdelict) maupun pelanggaran (wetsdelict).218
Menurut Kanter dan Sianturi, pemidanaan berarti proses atau cara
untuk mencapai tujuan hukum pidana, yakni memidana seseorang yang
telah melakukan suatu tindak pidana.219 Pemidanaan diberikan oleh
negara terhadap seseorang yang telah melakukan kejahatan. Menurut
Kanter dan Sianturi, dasar kewenangan negara tersebut dapat ditelusuri
melalui pemikiran ketuhanan (teologis), falsafah (wijsbegeerte), atau
bertolak-pangkal pada perlindungan hukum (yuridis).220 Kanter dan
Sianturi juga menjelaskan bahwa penganut pemikiran ketuhanan
(teologis) berpandangan bahwa penguasa adalah abdi Tuhan untuk
melindungi yang baik, akan tetapi mengecutkan penjahat dengan
penjatuhan pidana.
Menurut Mudzakkir,221 pemidanaan erat hubungannya dengan proses
penegakan hukum pidana. Sebagai sebuah sistem, telaahan mengenai
pemidanaan dapat ditinjau dari dua sudut, yaitu fungsional dan norma
substantif. Pertama, fungsional, sistem pemidanaan dapat diartikan
sebagai keseluruhan sistem (peraturan perundang-undangan) untuk
konkretisasi pidana dan keseluruhan sistem yang mengatur bagaimana
hukum pidana ditegakkan secara konkret, sehingga seseorang dijatuhi
sanksi (hukum) pidana. Sistem pemidanaan identik dengan sistem
penegakan hukum pidana yang terdiri dari beberapa subsistem hukum
pidana, yaitu: materiil/substantif, formil, dan pelaksanaan pidana. Kedua,
norma substantif (hanya dilihat dari norma hukum pidana substantif),
sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem aturan/
norma hukum pidana materiil untuk pemidanaan atau untuk pemberian/

216
Ibid.
217
Ibid.
218
Ibid.
219
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 57.
220
Ibid.
221
Mudzakkir, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana
dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), (Jakarta: Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008), hlm. 10–11.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 67


penjatuhan dan pelaksanaan pidana. Dengan pengertian demikian,
keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di
dalam KUHP maupun undang-undang khusus di luar KUHP, hakikatnya
merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari “aturan
umum” (general rules) terdapat dalam Buku I KUHP, dan “aturan khusus”
(special rules) terdapat dalam Buku II dan III KUHP, maupun dalam undang-
undang khusus di luar KUHP.222
Menurut aliran falsafah, negara memiliki kewenangan untuk
menjatuhkan hukuman kepada pelanggar hukum karena adanya
persetujuan fiktif antara rakyat dengan negara, di mana rakyatlah yang
berdaulat dan menentukan bentuk pemerintahan. Kekuasaan negara
tidak lain daripada kekuasaan yang diberikan oleh rakyat. Teori ini
diperkenalkan oleh JJ. Rousseau yang berpendapat bahwa setiap warga
negara menyerahkan sebagian hak asasinya (kemerdekaannya) kepada
negara, agar ia menerima sebagian imbalan berupa perlindungan
atas kepentingan hukumnya. Berdasarkan perjanjian tersebut, negara
memperoleh hak untuk memidana.223
Berbeda dengan penganut pemikiran yuridis, yang berpandangan
bahwa kewenangan negara dalam memidana pelaku tindak pidana
bertolak-pangkal pada perlindungan hukum yang mendasari pada paham
teori kegunaan atau kemanfaatan (utilitarian) Bentham,224 penerapan
ketentuan pidana untuk mencapai tujuan kehidupan dan penghidupan
bersama, yaitu perlindungan hukum225 karena merupakan alat untuk
menjamin ketertiban hukum.226
Pemidanaan bertujuan untuk memulihkan kerugian-kerugian yang
diderita masyarakat akibat kejahatan.227 Menurut Satochid Kartanegara,
pemidanaan bertujuan preventive, yaitu untuk mencegah kejahatan (ter
veerkoming van de misdaad).228 Tujuan lainnya adalah untuk memperbaiki
pelaku tindak pidana, pemikiran ini didasarkan pada alasan bahwa

222
Ibid.
223
Ibid.
224
Ibid., hlm. 58.
225
Ibid.
226
Ibid.
227
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian Kedua, (Balai Lektur
Mahasiswa, t.t.), hlm. 249.
228
Ibid.

68 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


seorang penjahat belum tentu mempunyai bakat untuk menjadi
penjahat, sebab terdapat kemungkinan bahwa keadaan dan masalah
di sekitarnya yang mendorong pelaku melakukan perbuatan jahat,
misalnya kemiskinan.229
Menurut Andi Hamzah, tujuan pemidanaan meliputi reformation,
restraint, retribution, dan deterrence.230 Reformation, berarti memperbaiki
atau merehabilitasi penjahat menjadi orang baik dan berguna bagi
masyarakat. Penganut konsep ini berpandangan bahwa masyarakat
akan memperoleh keuntungan dan tiada merugi jika penjahat menjadi
baik. Restraint maksudnya mengasingkan pelanggar dari masyarakat.
Menurut penganutnya, dengan tersingkirnya pelanggar hukum dari
masyarakat, berarti masyarakat akan menjadi lebih aman. Retribution
adalah pembalasan terhadap pelanggar karena telah melakukan
kejahatan. Sementara itu, deterrence berarti menjera atau mencegah,
sehingga orang lain yang potensial menjadi penjahat akan jera atau takut
untuk melakukan kejahatan karena melihat pidana yang dijatuhkan.

B. Tujuan Hukum Pidana


Marcus Tullius Cicero (106–43 SM) menulis ungkapan yang saat ini
masih populer, yaitu ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat di situ
ada hukum). Setiap manusia pada hakikatnya saling membutuhkan
dan berinteraksi dengan manusia lain. Bahkan interaksi tersebut tidak
terbatas antara manusia dengan manusia, tetapi juga manusia dengan
benda di sekitarnya, dan sudah pasti dibutuhkan sebuah aturan agar
tercipta suatu ketertiban dan kehidupan yang harmonis. Dalam konteks
relasi tersebut, tujuan hukum adalah untuk menciptakan ketertiban
dalam masyarakat.
Hukum pidana memiliki tujuan tersendiri. Menurut Jan
Remmelink, hukum pidana ditujukan untuk menegakkan tertib hukum,
melindungi masyarakat hukum,231 juga mengatakan bahwa hukum
pidana semaksimal mungkin tidak digunakan sebagai primum remedium,

229
Ibid.
230
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana ... Op. Cit., hlm. 36–39.
231
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 14-15.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 69


melainkan dipakai sebagai ultimum remedium. Artinya, dalam penegakan
tertib hukum, pemidanaan selayaknya jangan dijadikan pilihan pertama
dan utama, melainkan pilihan akhir atau “obat terakhir”.232 Pandangan
Remmelink tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa hukum pidana
menimbulkan kesengsaraan bagi pelaku pelanggar hukum.
Frans Maramis, merangkum pendapat para ahli hukum pidana,
membagi tujuan hukum pidana ke dalam dua pandangan. Pertama,
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Kedua, bertujuan
untuk melindungi setiap individu dari kemungkinan kesewenang-
wenangan penguasa. Tujuan hukum dalam pandangan kedua, bertitik tolak
pada pemikiran bahwa kekuasaan cenderung disalahgunakan, sehingga
hukum pidana dibentuk untuk membatasi kekuasaan penguasa.233
Menurut E. Y. Kanter dan S.R. Sianturi,234 hukum pidana tidak hanya
bertujuan untuk melindungi kepentingan orang perseorangan (individu)
dan melindungi kepentingan masyarakat, tetapi juga melindungi
kepentingan negara. Dalam membahas tujuan hukum pidana, Kanter
dan Sianturi membaginya ke dalam dua mazhab, yaitu sebagai berikut.
1. Mazhab Klasik
Mazhab ini berpandangan bahwa tujuan hukum pidana adalah
untuk menjamin kepentingan hukum individu (perseorangan).
Pandangan ini lahir sebagai bentuk protes atas kesewenang-
wenangan penguasa pada zaman sebelum Revolusi Prancis. Pada
waktu itu, hukum pidana pada umumnya berbentuk tidak tertulis,
sehingga dalam banyak hal, baik-buruknya atau dapat-tidaknya
dipidana suatu tindakan, tergantung pada kebijaksanaan hakim
sebagai alat dari raja. Dalam banyak peristiwa, terjadi kesewenang-
wenangan dari penguasa mengenai penentuan suatu tindakan
yang dapat dipidana, maupun mengenai jenis dan beratnya pidana.
Bahkan, kesewenang-wenangan itu sering menjelma menjadi
kekejaman atau kebuasan.235

232
Ibid.
233
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 12–13.
234
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana ... Op. Cit., hlm. 55–57.
235
Ibid.

70 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Salah satu tokoh yang memelopori mazhab ini adalah Beccaria,
yang berpandangan bahwa penderitaan orang-orang disebabkan
tindakan penguasa yang sewenang-wenang. Menurut Beccaria,
untuk membatasi tindakan penguasa tersebut, harus dibentuk suatu
peraturan tertulis, agar setiap orang mengetahui tindakan mana yang
terlarang dan mana yang tidak, serta mengatur hukumannya. Peraturan
tertulis itu akan menjadi pedoman bagi masyarakat dan menciptakan
kepastian hukum, serta mengurangi tindakan sewenang-wenang.236
2. Mazhab Modern
Para penganutnya berpandangan bahwa tujuan hukum pidana
adalah untuk memberantas kejahatan agar kepentingan masyarakat
terlindungi.237 Mazhab ini dipengaruhi oleh perkembangan ilmu
kemasyarakatan, yang salah satunya adalah ilmu kriminologi.238

Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat lima tujuan hukum pidana,


yaitu: (1) menegakkan tertib hukum; (2) melindungi masyarakat hukum
dari kejahatan; (3) melindungi kepentingan negara; (4) melindungi
individu dari tindakan sewenang-wenang penguasa atau pemerintah;
dan (5) memberantas kejahatan.

C. Tujuan Pemidanaan dalam Hukum Pidana


Salah satu cara untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah
memidana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana.239
Namun, idealnya, pemidanaan harus didasari tujuan yang jelas.
Sebab, pemberlakuan pidana tanpa didasari tujuan yang jelas dapat
mengakibatkan hukum pidana tersebut tidak bekerja sesuai dengan
fungsinya.240 Ada dua aliran besar dalam teori hukum pidana terkait
tujuan pemidanaan, yaitu sebagai berikut.

236
Ibid.
237
Ibid.
238
Ibid.
239
Ibid., hlm. 57.
240
Barda Nawawi Arief dan Noveria Devy Irmawanti, “Urgensi Tujuan dan
Pedoman Pemidanaan dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum
Pidana”, dalam Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 3, No. 2, (Semarang: Program
Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2021), hlm.
217–227.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 71


1. Aliran Klasik
Berkembang pertama kali di Prancis pada abad ke-18 sebagai
reaksi terhadap rezim yang tidak menjamin kepastian hukum,
kesamaan di hadapan hukum, dan keadilan. Aliran ini menghendaki
hukum pidana yang menitikberatkan pada kepastian hukum,241
dan diperkenalkan pertama kali oleh Markies van Beccaria yang
menulis “Dei Delitte Edelle Pene” pada tahun 1764 yang menegaskan
bahwa pemidanaan harus diatur secara tegas dalam perundang-
undangan dan rumusan pasalnya harus jelas (lex scripta dan lex
certa). Beccaria sangat jelas menekankan unsur kepastian hukum.
Tujuan pemidanaan menurut aliran klasik adalah untuk melindungi
individu dari kekuasaan penguasa.242
Beccaria membangun teorinya berdasarkan konsep kontrak sosial,
bahwa setiap individu menyerahkan kebebasan atau kemerdekaan
yang secukupnya kepada negara agar dapat hidup.243 Berdasarkan
konsep kontrak sosial tersebut, hukum seharusnya ada untuk
melindungi atau mempertahankan keseluruhan kemerdekaan yang
dikorbankan terhadap perampasan kemerdekaan yang dilakukan
oleh orang lain melalui negara dengan aparatnya, bukan menjadi
alat negara untuk menyebarkan tirani.244
2. Aliran Modern
Berkembang pada abad ke-19 dengan penganutnya, antara lain:
Marc Ancel, Cesare Lambroso, Enrico Ferri, dan Raffaele Garofalo.
Menurut aliran ini, tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi
masyarakat terhadap kejahatan.245 Penjatuhan sanksi pidana harus
memperhatikan faktor yang menyebabkan pelaku melakukan
kejahatan, sehingga metode yang digunakan adalah metode empiris
yang bermaksud langsung mendekati dan memengaruhi pelaku

241
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1984), hlm. 25.
242
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), hlm. 24.
243
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Loc. Cit.
244
Ibid.
245
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Loc. Cit.

72 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


tindak pidana,246 dan sanksi pidana harus memperhatikan kejahatan
serta keadaan pelaku tindak pidana.247

Tujuan pemidanaan terbagi ke dalam tiga teori, yaitu teori retributif


(pembalasan), teori relatif (tujuan), dan teori gabungan.

1. Teori Retributif (Pembalasan)


Teori retributif dikenal dalam beragam istilah di Indonesia. Ada ahli
hukum yang memakai istilah teori pembalasan (teori absolut).248 Andi
Hamzah menggunakan istilah teori absolut atau teori pembalasan
(vergeldings theorien).249
Prinsip utama teori ini adalah hukum pembalasan: “eye for an
eye” (lex talionis),250 berdasarkan pemikiran Immanuel Kant yang pada
intinya mengatakan bahwa sanksi pidana yang diterima seseorang
sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kejahatan yang
dilakukannya.251 Kant juga berpendapat, pemidanaan bukan konsekuensi
dari suatu kontrak sosial, dan tujuan pidana bukan untuk kebaikan
pelaku atau masyarakat, melainkan pemidanaan dijatuhkan semata
karena si pelaku telah melakukan kesalahan.252 Berdasarkan pemikiran
Kant, Andi Hamzah berpandangan bahwa dalam teori pembalasan,
pemidanaan tidak bertujuan untuk hal yang praktis seperti memperbaiki
penjahat, melainkan kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada
pelanggar.253
Nigel Walker membagi teori retributif ke dalam dua golongan, yaitu
teori retributif murni (the pure retributivist) dan teori retributif tidak

246
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 56.
247
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Loc. Cit.
248
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 59.
249
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia ... Op. Cit, hlm. 39.
250
T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi: Menuju
Sistem Hukum Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya Deteren dan Mengikuti
Perkembangan Ekonomi, (Yogyakarta: Genta Press, 2015), hlm. 71–72.
251
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, [Die Metaphysik der Sitten].
Diterjemahkan oleh John Ladd (Cambridge: Hackett Publishing Company, 1999),
hlm. 332.
252
Ibid.
253
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1993), hlm. 40.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 73


murni.254 Penganut teori retributif murni berpandangan, pidana harus
dijatuhkan sepadan dengan kesalahan si pelaku. Sementara itu, teori
retributif tidak murni terbagi lagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut.
a. Teori retributif terbatas (the limiting retributivist), yang memandang
bahwa pidana tidak harus sepadan dengan kesalahan, tetapi yang
terpenting adalah keadaan tidak menyenangkan yang ditimbulkan
oleh sanksi pidana tersebut harus tidak melebihi batasan untuk
menetapkan kesalahan pelanggaran.
b. Teori retributif distribusi (the retribution in distribution), pandangan
yang melepaskan gagasan saksi pidana dirancang dengan pandangan
pembalasan, namun harus ada batasan mengenai beratnya sanksi
dalam retribusi.

Nigel Walker juga menjelaskan, ada tiga tujuan pemidanaan dari


konsep retributif, yaitu sebagai berikut.
a. Memuaskan perasaan balas dendam korban, baik perasaan adil bagi
korban, temannya, dan keluarganya. Dasar tujuan pemidanaan ini
adalah vindictive (balas dendam).
b. Memberikan peringatan kepada pelaku kejahatan dan anggota
masyarakat yang lain. Dasar tujuan ini adalah dasar fairness
(keadilan).
c. Menunjukkan adanya kesebandingan antara apa yang disebut the
gravity of the offence dengan pidana yang dijatuhkan. Dasar tujuan
ini adalah proportionality (proporsionalitas).255

Pendapat para penganut konsep retributif ini telah banyak dikritik.


Menurut Andi Hamzah, minimal ada dua keberatan penggunaan
tujuan pemidanaan berupa pembalasan ini, yaitu: (1) teori ini tidak
menerangkan mengapa negara harus menjatuhkan pidana; dan (2)
sering pidana itu tanpa kegunaan praktis.256
Salah satu aliran yang mengkritik teori retributif ini adalah para
penganut paham utilitarian. Mereka berpandangan bahwa seharusnya

254
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hlm. 24–25.
255
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Op. Cit., hlm. 37–38.
256
Ibid.

74 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pemidanaan terhadap pelaku kejahatan, bertujuan untuk memberi
kebaikan bagi pelaku kejahatan dan masyarakat.

2. Teori Relatif (Tujuan)


Teori relatif atau tujuan (doel theorien) ini mendasarkan pada pemikiran
bahwa tujuan hukum pidana adalah untuk menyelenggarakan tertib
masyarakat. Apabila ada orang yang mengganggu ketertiban, harus
diberi hukuman agar adanya efek jera, baik bagi pelaku maupun
masyarakat terutama calon pelaku kejahatan.
Teori ini membenarkan bahwa pemidanaan berdasarkan atau
tergantung dari tujuan pemidanaan, yaitu melindungi masyarakat.257
Pemidanaan juga bertujuan untuk mencegah terjadinya kejahatan
(preventif). Diancamnya atau dijatuhkannya suatu pidana, dimaksudkan
untuk menakut-nakuti calon penjahat atau penjahat yang bersangkutan,
untuk memperbaiki penjahat, atau untuk menyingkirkan penjahat.258
Menurut Kanter dan Sianturi, teori ini mempersoalkan akibat
pemidanaan terhadap penjahat atau kepentingan masyarakat, hal
mana berbeda dengan teori pembalasan, dan dipertimbangkan juga
pencegahan untuk masa mendatang.259 Teori ini juga terbagi menjadi
tiga, yaitu sebagai berikut.260
a. Perbaikan atau pendidikan bagi penjahat. Berdasarkan tujuan
tersebut, pelaku tindak pidana diberi pendidikan berupa pidana,
agar kelak dapat kembali ke lingkungan masyarakat dalam keadaan
mental yang lebih baik dan berguna. Cara perbaikan pelaku tindak
pidana dapat dilakukan melalui perbaikan intelektual, perbaikan
moral, dan perbaikan yuridis.
b. Menyingkirkan pelaku tindak pidana dari lingkungan/pergaulan
masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara perampasan
kemerdekaan yang cukup lama, bahkan jika perlu dengan pidana
mati. Sanksi pidana seperti ini terutama diberlakukan terhadap
pelaku yang sudah kebal dengan ancaman pidana yang berupa
usaha menakut-nakuti.

257
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 61.
258
Ibid.
259
Ibid.
260
Ibid.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 75


c. Menjamin ketertiban hukum (rechtsorde), dan dapat tercapai dengan
cara menciptakan norma yang menjamin ketertiban hukum, yang
mengatur tentang sanksi bagi pelanggar. Ancaman pidana sebagai
peringatan dan menakut-nakuti.

3. Teori Gabungan
Teori retributif dan relatif ternyata memiliki kelemahan masing-masing,
terlebih apabila diterapkan hanya salah satu. Berdasarkan kelemahan
kedua teori tersebut, muncul teori baru yang menggabungkan dan
dikenal dengan teori gabungan (verenigings theorie).
a. Kelemahan teori retributif, antara lain:
1) sukar menentukan berat/ringannya pidana, atau ukuran
pembalasan tidak jelas;
2) diragukan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana
sebagai pembalasan; dan
3) hukuman pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi
masyarakat.
b. Kelemahan teori relatif, antara lain:
1) pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan;
2) jika ternyata kejahatan itu ringan, penjatuhan pidana yang
berat tidak akan memenuhi rasa keadilan; dan
3) bukan hanya masyarakat yang harus diberikan kepuasan, tetapi
juga kepada penjahat itu sendiri.261

Menurut teori gabungan, tujuan pemidanaan tidak hanya


mempertimbangkan masa lalu (sebagaimana dimaksud teori retributif),
tetapi juga harus mempertimbangkan masa depan (seperti yang
dimaksud pada teori tujuan).262 Dengan demikian, penjatuhan suatu
pidana harus memberikan rasa kepuasan, baik bagi hakim maupun
kepada pelaku tindak pidana itu sendiri di samping kepada masyarakat.263

261
Ibid., hlm. 63.
262
Ibid.
263
Ibid.

76 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


D. Sistem Peradilan Pidana
Penulis akan menguraikan sistem peradilan pidana di Indonesia ke
dalam beberapa pandangan, yaitu terminologi peradilan pidana sebagai
sebuah sistem masih diperdebatkan secara teoretis, baik menurut
sistem Anglo-Saxon maupun Eropa Kontinental.264 Namun, perdebatan
tersebut memiliki titik tengah yang dapat menjadi gambaran umum
mengenai pengertian sistem peradilan pidana, yaitu suatu mekanisme
bersama dalam penanggulangan kejahatan.265
Para ahli hukum mencoba memberikan definisi tentang sistem
peradilan pidana. Marcus Priyo Gunarto menjelaskan, sistem peradilan
pidana (SPP) merupakan salah satu bagian dari sistem sosial untuk
menanggulangi kejahatan dan merehabilitasi perilaku anti-sosial.266
Pendapat senada juga disampaikan Mardjono Reksodiputro, yang
menyatakan bahwa SPP merupakan sistem dalam suatu masyarakat
untuk menanggulangi masalah kejahatan.267
Menurut Muladi, SPP merupakan suatu jaringan peradilan yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum
pidana materiil, formil, maupun hukum pelaksanaan pidana.268 Rusli
Muhammad menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana merupakan
jaringan peradilan yang bekerja sama secara terpadu untuk mencapai
tujuan tertentu.269 Pendapat yang lebih luas disampaikan Remington
dan Ohlin yang mengemukakan bahwa peradilan pidana sebagai

264
Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teori dan Praktik Peradilan,
(Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 35.
265
Komisi Pemberantasan Korupsi, Hukum dan Sistem Peradilan Pidana,
https://aclc.kpk.go.id/learning-materials/law/book/law-and-criminal-justice-
system-module.
266
Marcus Priyo Gunarto, Sikap Memidana yang Berorientasi pada Tujuan
Pemidanaan, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 21, No.1, Februari 2009, hlm.
93–1008.
267
Mardjono Reksodipoetro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum Universitas Indonesia, 1994), hlm. 84–85.
268
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 18.
269
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,
2011), hlm. 13.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 77


suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-
undangan, praktik administrasi, dan sikap atau tingkah laku sosial.270
Marcus Priyo Gunarto menjelaskan, tujuan akhir dari sistem
peradilan pidana adalah reintegrasi atau pemulihan kesatuan
hubungan sosial warga binaan (narapidana) ke dalam masyarakat
dan mengendalikan kejahatan.271 Tujuan akhir tersebut hanya dapat
dicapai apabila masing-masing subsistem peradilan pidana mempunyai
kepekaan terhadap hakikat perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.272
Komponen struktur hukum dalam sistem peradilan pidana
Indonesia, terdapat lima subsistem, yang sering juga disebut
Pancawangsa Penegak Hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
lembaga pemasyarakatan, dan advokat.273 Gerak kelima komponen
struktur tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2003 tentang Advokat. Kewenangan masing-masing komponen
struktur di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Kepolisian
Kepolisian memiliki posisi yang penting dan strategis, bahkan
merupakan subsistem pertama dan utama dalam SPP.274 Dengan
kapasitasnya sebagai gerbang utama SPP, hukum memberi wewenang
yang besar kepada kepolisian untuk menegakkan hukum dengan
berbagai cara, mulai dari cara preemtif, preventif, sampai dengan represif
berupa pemaksaan dan penindakan.275
Kedudukan penting dan strategis kepolisian dalam SPP tergambar
jelas dalam fungsinya, yaitu membuat terang suatu peristiwa pidana,
yang dilakukan melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Pasal 1 ayat
(5) KUHAP menjelaskan, penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga

270
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System): Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionalisme, (Jakarta: Penerbit Bina Cipta, 1996), hlm. 15.
271
Marcus Priyo Gunarto, Loc. Cit.
272
Ibid.
273
Ibid.
274
Komisi Pemberantasan Korupsi, Op. Cit., hlm. 35.
275
Ibid.

78 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penyidikan adalah
serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur
dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.276
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.277
Penyelidikan hanya dapat dilakukan oleh kepolisian. Muchamad Iksan
bahkan mengatakan, tidak ada instansi lain yang diberi kewenangan
untuk melakukan penyelidikan.278 Berbeda dengan penyidikan, yang
dapat dilakukan oleh pejabat polisi negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang.279 Hasil penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan
kepolisian dibuat dalam berkas, serta dilimpahkan ke kejaksaan setelah
berkas dinyatakan lengkap.

2. Kejaksaan
Jaksa diberi kewenangan oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.280 Kewenangan kejaksaan melakukan
penuntutan ditegaskan kembali dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Pasal 30 ayat (1)
huruf a UU Kejaksaan mengatur, di bidang pidana kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang melakukan penuntutan.
Pasal 137 KUHAP mengatur bahwa penuntut umum berwenang
melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan

276
Pasal 1 ayat (2) KUHAP.
277
Pasal 4 KUHAP.
278
Muchamad Iksan, Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, (Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2009), dalam Komisi Pemberantasan Korupsi, Loc. Cit.
279
Pasal 6 ayat (1) KUHAP.
280
Pasal 13 KUHAP.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 79


perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Dalam hal penuntut
umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan,
segera membuat surat dakwaan.281 Selanjutnya, penuntut umum
melimpahkan berkas perkara disertai dengan surat dakwaan ke pengadilan
negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut.282
Pasal 139 KUHAP mengatur bahwa kewenangan dalam menerima
hasil penyidikan dan menentukan apakah berkas perkara tersebut telah
memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidaknya dilimpahkan ke
pengadilan merupakan kewenangan kejaksaan. Selain itu, kejaksaan,
dalam menjalankan kewenangannya sebagai penuntut umum,
berwenang menghentikan penuntutan dalam hal tidak terdapat cukup
bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana
atau perkara ditutup demi hukum.283
Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang di bidang pidana, perdata,
dan tata usaha negara, dan turut serta menyelenggarakan kegiatan di
bidang ketertiban dan ketenteraman umum.284 Dalam bidang pidana,
selain berwenang melakukan penuntutan, kejaksaan juga berwenang
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang.285 Berdasarkan Penjelasan Umum UU Kejaksaan,
kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana
tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan
undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kejaksaan
untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia; Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001; dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

281
Pasal 140 ayat (1) KUHAP.
282
Pasal 143 ayat (1) KUHAP.
283
Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP.
284
Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004.
285
Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004.

80 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


3. Pengadilan
Puncak dari proses pemeriksaan suatu kasus tindak pidana, dilakukan
di pengadilan. Perkara pidana diperiksa, diadili, dan diputus di peradilan
umum. Pengadilan menjalankan tugas dan wewenangnya untuk
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana setelah menerima
surat pelimpahan perkara dari penuntut umum. Apabila perkara pidana
tersebut termasuk dalam kewenangannya, ketua pengadilan menunjuk
hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara itu.286
Pemeriksaan perkara pidana dilakukan oleh sekurang-kurangnya tiga orang
hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.287
Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang
bersifat rahasia.288 Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat
dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat
dalam putusan.289 Putusan harus dibacakan atau diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum. Putusan yang tidak diucapkan dalam
sidang yang terbuka untuk umum merupakan putusan yang tidak sah
dan tidak mempunyai kekuatan hukum, serta mengakibatkan putusan
batal demi hukum.290

4. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan merupakan subsistem akhir dari sistem
peradilan pidana. Pemasyarakatan adalah subsistem peradilan pidana
yang menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap
tahanan, anak, dan warga binaan.291 Sistem pemasyarakatan memiliki
peran yang sangat strategis dalam rangka membentuk warga binaan untuk
meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian warga binaan agar
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,

286
Pasal 152 ayat (1) KUHAP.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
287

Kehakiman (UU No. 48 Tahun 2009).


288
Pasal 14 ayat (1) UU UU No. 48 Tahun 2009.
289
Pasal 14 ayat (3) UU UU No. 48 Tahun 2009.
290
Pasal 195 KUHAP jo. Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009.
291
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang
Pemasyarakatan (UU No. 22 Tahun 2002).

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 81


dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum, dan
bertanggungjawab, serta dapat aktif berperan dalam pembangunan.292

5. Advokat
Status advokat sebagai penegak hukum diatur dalam Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang
mengatur: “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas,
dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-
undangan.” Pada bagian penjelasan ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah advokat
sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai
kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Dalam sistem peradilan pidana, advokat bertugas
membela kepentingan hukum kliennya serta memastikan hak-hak
hukum kliennya terpenuhi dalam proses peradilan pidana.293
Menurut Muladi,294 dalam rangka menunjang bekerjanya SPP,
geraknya harus berpatokan pada tujuan pemidanaan. Hal ini perlu
dilakukan untuk menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, meliputi
sinkronisasi struktural (structural synchronization), sinkronisasi
substansial (substantial synchronization), dan sinkronisasi kultural (cultural
synchronization).295 Pemahaman atas tujuan pemidanaan melalui tiga pilar
administrasi peradilan pidana tersebut di atas merupakan prasyarat yang
harus dipenuhi apabila tidak ingin terjadi bias antara tujuan pemidanaan
dengan tujuan dari sistem peradilan pidana.296
Sinkronisasi struktural akan tercapai apabila adanya keserempakan
dan keselarasan dalam mekanisme administrasi peradilan pidana (the
administration of justice) antara lembaga penegak hukum. Dalam hal
sinkronisasi substansial, keserempakan mengandung makna vertikal
dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku.
Sementara itu, sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu

292
Pasal 2 huruf b UU No. 22 Tahun 2022.
293
Komisi Pemberantasan Korupsi, Loc. Cit.
294
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), dalam Marcus Priyo Gunarto, Loc. Cit.
295
Ibid.
296
Ibid.

82 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


serempak dalam menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara
menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.297
Penerapan restorative justice dalam proses penegakan hukum tidak
terlepas dari peran aparatur penegak hukum dalam bingkai sistem
peradilan pidana (criminal justice system). Dalam sistem tersebut, Polri
memiliki kedudukan yang penting sebagai prime mover dalam proses
penegakan hukum pidana. Hal ini berarti, Polri baru dapat bekerja apabila
ada faktor pendorong (push factor), yaitu laporan dari pihak kepolisian
atau non-kepolisian. Proses penegakan hukum pidana baru akan selesai
apabila ada faktor penghela (pull factor), yaitu pihak kejaksaan yang akan
membawanya kepada proses pemeriksaan di pengadilan.

E. Kepolisian sebagai Prime Mover dalam Sistem Peradilan


Pidana
Kepolisian memiliki peranan yang sangat penting sebagai “gerbang
utama” dalam penanganan kejahatan, bahkan memiliki kedudukan
sebagai penegak hukum utama (prime mover). Dalam kegiatan
penyelidikan dan penyidikan tersebut, kepolisian sudah pasti
bersentuhan langsung dengan masyarakat, sehingga seharusnya
kepolisian merupakan instansi yang dapat dipercaya oleh masyarakat.
Menurut Charles Reith, polisi adalah tiap usaha untuk memperbaiki
atau menertibkan kehidupan masyarakat.298 Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) memberi arti kata “polisi” sebagai badan pemerintah yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap
orang yang melanggar undang-undang); anggota badan pemerintah
(pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan).299
Di Indonesia, fungsi, tugas, dan wewenang kepolisian diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia (UU Kepolisian). Selain itu, tugas kepolisian sebagai
“gerbang utama” dalam penanganan kejahatan, diatur juga dalam

297
Ibid.
298
Charles Reith, The Blind Eye of History, dalam STR John May Lam, The
Police of Briatai, Terjemahan, Majalah Bhayangkara, (Jakarta: Bhayangkara), hlm. 4.
299
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, KBBI Daring,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Polisi, diakses tanggal 5 Mei 2022.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 83


KUHAP. Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.300
Sebagai “gerbang utama” dalam sistem peradilan pidana, Polri
diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan
peristiwa pidana, hal tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

1. Penyelidikan
Penyelidikan dilakukan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan.301 Kegiatan penyelidikan dilakukan dengan cara:
pengolahan tempat kejadian perkara (TKP), pengamatan (observasi), dan
wawancara (interview); pembuntutan (surveillance), penyamaran (under
cover), pembelian terselubung (undercover buy), penyerahan di bawah
pengawasan (control delivery), pelacakan (tracking), dan/atau penelitian
dan analisis dokumen.302 Penyelidikan dilakukan terhadap orang, benda
atau barang, tempat, peristiwa/kejadian, dan/atau kegiatan.303 Hasil
penyelidikan dibuatkan laporan oleh tim penyelidik, untuk selanjutnya
dibawa dalam gelar perkara.304
Gelar perkara setelah adanya laporan hasil penyelidikan, wajib
dilakukan untuk menentukan peristiwa tersebut diduga tindak pidana
atau bukan tindak pidana.305 Ada tiga bentuk hasil gelar perkara.306
Pertama, peristiwa yang diselidiki merupakan tindak pidana, maka
dilanjutkan ke tahap penyidikan. Kedua, bukan merupakan tindak pidana,
dilakukan penghentian penyelidikan. Ketiga, peristiwa yang diselidiki
berdasarkan pengaduan/laporan merupakan perkara tindak pidana,
namun bukan kewenangan penyidik Polri, maka laporan dilimpahkan
ke instansi yang berwenang.

300
Pasal 1 angka 1 Perpol No. 8 Tahun 2021.
301
Pasal 1 angka 5 KUHAP.
302
Pasal 6 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
303
Pasal 6 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
304
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019, gelar perkara setelah
adanya laporan hasil penyelidikan, wajib dilakukan.
305
Pasal 9 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
306
Pasal 9 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.

84 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Penyelidik juga berwenang menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana, mencari keterangan dan barang
bukti, menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri, dan mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab.307 Berdasarkan penjelasan
Pasal 5 huruf a angka 4, yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah
tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan, dengan syarat:
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan;
c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya;
d. atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.

Penyelidik juga dapat melakukan tindakan berupa: (a) penangkapan,


larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan;
(b) pemeriksaan dan penyitaan surat; (c) mengambil sidik jari dan
memotret seorang; serta (d) membawa dan menghadapkan seorang
pada penyidik. Tindakan-tindakan penyelidik tersebut dapat dilakukan
hanya atas perintah penyidik.308

2. Penyidikan
Penyidikan dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.309 Berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XII/2014, rangkaian kegiatan
penyidikan merupakan satu kesatuan dan berurutan. Artinya, sebelum
menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam suatu kejahatan,
penyidik terlebih dahulu menemukan minimal dua alat bukti.310

307
Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP.
308
Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP.
309
Pasal 1 angka 2 KUHAP.
310
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April
2019, hlm. 96.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 85


Kegiatan penyidikan tindak pidana meliputi: penyelidikan,
dimulainya penyidikan, upaya paksa, pemeriksaan, penetapan tersangka,
pemberkasan, penyerahan berkas perkara, penyerahan tersangka dan
barang bukti; dan penghentian penyidikan.311 Sementara itu, dalam hal
penyidikan tindak pidana ringan dan pelanggaran, kegiatan penyidikan
terdiri atas: pemeriksaan; memberitahukan kepada terdakwa secara
tertulis tentang hari, tanggal, jam, dan tempat sidang; menyerahkan
berkas ke pengadilan; dan menghadapkan terdakwa berserta barang
bukti ke sidang pengadilan.312
Dalam melaksanakan tugas penyidikan, penyidik berwenang:313
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan; dan
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.

Penyidik dapat melakukan upaya paksa yang dapat dilakukan


berupa: pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, dan pemeriksaan surat.314 Pemanggilan dilakukan secara
tertulis dengan menerbitkan surat panggilan atas dasar laporan polisi

311
Pasal 10 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
312
Pasal 10 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
313
Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
314
Pasal 16 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.

86 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


dan surat perintah penyidikan.315 Penangkapan dapat dilakukan terhadap
tersangka. 316 Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan
penangkapan wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan dan
surat perintah tugas.317 Namun, dalam hal tertangkap tangan, tindakan
penangkapan dapat dilakukan oleh petugas dengan tanpa dilengkapi
surat perintah penangkapan atau surat perintah tugas.318
Selanjutnya, penyidik juga berwenang melakukan penghentian
penyidikan. Penghentian penyidikan dapat dilakukan untuk memenuhi
kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan hukum.319 Syarat
penghentian penyidikan diatur dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, yang
selengkapnya mengatur:
“Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak
terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum,
maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum,
tersangka, atau keluarganya.”
Merujuk Pasal 109 ayat (2) KUHAP di atas, dalam melakukan
penghentian penyidikan, terdiri dari tiga hal, yaitu: tidak ada cukup bukti,
peristiwa tersebut bukan tindak pidana, dan penghentian penyidikan demi
hukum. Tidak cukup bukti, artinya penyidik tidak memiliki dua alat bukti
yang sah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Polri dalam melaksanakan proses penegakan hukum sebagai prime
mover, selama ini lebih mengedepankan penegakan hukum yuridis formal
untuk meminta pertanggungjawaban pelaku berdasarkan asas kesalahan
(geen straf zonder schuld) 320 daripada pendekatan restorative justice.
Pendekatan Polri tersebut berimplikasi dalam menimbulkan berbagai
permasalahan pada sistem pemidanaan. Para pengamat dan praktisi
yang membahas tentang restorative justice, menyimpulkan selama ini
korban tidak diikutsertakan dalam proses peradilan pidana tradisional.

315
Pasal 17 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
316
Pasal 18 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
317
Pasal 18 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
318
Pasal 18 ayat (3) Perkap No. 6 Tahun 2019.
319
Pasal 30 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
320
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983),
hlm. 30.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 87


Para korban dibutuhkan hanya sebatas sebagai saksi, tetapi tidak
dalam kebijakan pengambilan keputusan. Keputusan hanya dilakukan
oleh hakim berdasarkan pemeriksaan selama proses pengadilan. Bagi
pelaku keterlibatannya hanya bersifat pasif, kebanyakan peran, dan
partisipasinya diwakili serta disuarakan oleh pihak pengacaranya.
Polri dalam melaksanakan tugasnya di bidang penegakan hukum
pidana berbasis restorative justice didasarkan pada dua hal, yaitu sebagai
berikut.
a. Memenuhi tujuan hukum pidana berupa kepastian hukum. Dalam
hal ini, restorative justice dijalankan melalui tahapan yang sama
dengan criminal justice system, dengan adanya interaksi dinamis
antara tahap-tahap yang sama dari kedua sistem tersebut, sehingga
dimungkinkan adanya check koreksi apabila ada kekeliruan.
b. Melalui tahapan yang berbeda dengan criminal justice system dan
berorientasi pada masyarakat. Penegakan hukum tidak hanya
sebagai sarana untuk mencapai kepastian hukum, tetapi juga harus
memperhatikan ketertiban di tengah-tengah masyarakat.

Polri wajib menegakkan hukum secara transparan dan berkeadilan,


sehingga Polri semakin dipercaya dan dicintai masyarakat. Hal ini
sesuai dengan kebijakan Kapolri Listyo Sigit Prabowo dalam program
tranformasi menuju Polri yang Presisi (Prediktif, responsibilitas,
transparansi berkeadilan). Dalam bidang transformasi operasional,
terutama program peningkatan kinerja penegakan hukum, Polri terus
meningkatkan pelayanan publik yang modern dan profesional, serta
penanganan hukum secara transparan dan berkeadilan, sehingga Polri
semakin dipercaya masyarakat.321
Polri selaku institusi yang diberikan kewenangan sebagai penyelidik
dan penyidik, serta koordinator dan pengawas penyidikan tindak

Listyo Sigit Prabowo, “Transformasi Menuju Polri yang Presisi”, Makalah


321

disampaikan pada Uji Kelayakan dan Kepatutan di Komisi III DPR RI, 2021,
hlm. 22, bahwa transformasi menuju Polri yang Presisi dilaksanakan pada empat
bidang, yaitu transformasi organisasi, transformasi operasional, transformasi
pelayanan publik, dan transformasi pengawasan. Keempat transformasi
melahirkan serangkaian program. Salah satu program tranformasi operasional
adalah peningkatan kinerja penegakan hukum yang diwujudkan dengan kegiatan
penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.

88 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pidana, merasa perlu untuk merumuskan konsep baru dalam sistem
penegakan hukum pidana. Proses penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana harus mampu mengakomodasi nilai-nilai keadilan dalam
masyarakat, sekaligus memberikan kemanfaatan dan kepastian hukum.
Polri diberi kewenangan dan tanggung jawab melakukan diskresi dalam
melaksanakan tugas. Menurut Erlyn Indarti, diskresi merupakan:
“Kemerdekaan dan/atau otoritas untuk, antara lain, menafsir
ketentuan hukum yang ada, lalu membuat keputusan dan
mengambil tindakan hukum yang dianggap paling tepat. Dalam
hal ini, otoritas untuk melakukan hal dimaksud terletak pada
penafsiran serta dilakukan secara bijaksana dan dengan penuh
tanggung jawab.”322
Indarti menjelaskan, terdapat tujuh unsur yang terkandung
dalam pengertian diskresi, yaitu kemerdekaan, otoritas/kewenangan,
kebijaksanaan, pilihan, keputusan, tindakan, dan ketepatan. Dengan
memformulasikan tujuh unsur tersebut, diskresi secara komprehensif
dapat dirumuskan sebagai kemerdekaan dan otoritas (seseorang/
sekelompok orang/suatu institusi) untuk secara bijaksana dan
dengan penuh pertimbangan menetapkan pilihan dalam hal membuat
keputusan dan mengambil tindakan tertentu yang dipandang paling
tepat.323 Pembuatan keputusan dan pengambilan tindakan pada dasarnya
merupakan ujung dari suatu rangkaian proses yang panjang. Proses
tersebut melibatkan curahan kebijaksanaan yang termuat prinsip
kehati-hatian, berpijak pada intelektualitas atau kecendikiawanan
yang memadai. Proses diskresi juga melibatkan pertimbangan atau
penilaian dari segala sudut pandang yang adil, kemudian sampai pada
pilihan yang berkenaan dengan pembuatan keputusan dan pengambilan
tindakan tertentu.324
Menurut Indarti, diskresi sering diartikan secara salah kaprah.
Kata diskresi cenderung direduksi maknanya dan diartikan semata-
mata sebagai tindakan yang diambil. Padahal, tindakan yang diambil

322
Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma, Sebuah Telaah Filsafat Hukum,
Makalah Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, (Semarang, 4 November 2010), hlm. 39–41.
323
Ibid.
324
Ibid.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 89


sebenarnya merupakan hasil atau produk dari proses diskresi, bukan
diskresi itu sendiri. Kesalahan ini berpangkal pada kenyataan bahwa
tindakan yang diambil merupakan keluaran dari diskresi yang kasat mata,
sehingga dapat diobservasi secara langsung. Pada kata kemerdekaan dan
otoritaslah semestinya fokus dari makna kata diskresi diarahkan.
Diskresi pada dasarnya adalah sesuatu yang tidak dapat terelakkan
bagi aparat penegakan hukum itu sendiri, maupun di dalam pelaksanaan
tugasnya, walaupun di permukaan tampak bertentangan dengan rule
of law. Perbedaan dalam memahami diskresi, pada dasarnya bukan
perbedaan sederhana yang bersifat dikotomi. Ada pola perbedaan
pendapat mengenai diskresi dengan “nuansa” yang halus dan bersifat
kontinum di antara pakar, praktisi, dan pengamat hukum. Satu-satunya
jalan agar gradasi perbedaan tersebut dapat dirasakan adalah dengan
meninjau sekaligus meletakkan seluruh permasalahan ini di dalam
konteks filsafat hukum melalui kajian paradigmatik.325
Diskresi adalah wewenang dari aparat penegak hukum yang
menangani kasus tindak pidana untuk mengambil tindakan untuk
meneruskan perkara atau menghentikannya, mengambil tindakan
tertentu sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya.326
Petugas yang melakukan tindakan diskresi harus mempertimbangkan
tiga faktor, yaitu sebagai berikut.327
a. Faktor hukum (legal factors), yaitu tingkat keseriusan tindak pidana
yang dilakukan oleh pelaku dan catatan kriminal sebelumnya.
b. Faktor selain hukum (extra-legal factors), yaitu faktor yang
berhubungan dengan penentuan kebersalahan, seperti status
pekerjaan, perkawinan, keadaan keuangan, asal-usul, ras, suku,
lingkungan pelaku, dan lain-lain.
c. Faktor yang berhubungan dengan pembuat keputusan (associated
with the decision-makers factors). Keadilan adalah sesuatu yang
pribadi, menggambarkan temperamen, kepribadian, pendidikan,

325
Ibid., hlm. 5.
326
Loraine Gelsthorpe dan Nicola Padfield, Exercising Discretion Decision-making
in the Criminal Justice System and Beyord (UK: Willan Publishing, 2003), hlm. 3.
327
Nigel Walker, Aggravation, Mitigation and Mercy in English Criminal Justice,
(London; Blackstone Press ltd., 1999), hlm. 152–154.

90 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


lingkungan, dan pembawaan diri dari pembuat kebijakan. Menurut
Hogarth, seseorang akan tahu lebih banyak tentang hukuman
yang diberikan, hanya dengan mengetahui sedikit saja tentang
latar belakang petugasnya, daripada mengetahui banyak tentang
fakta dari kasus yang terjadi. Hal ini menunjukkan faktor pribadi
pembuat keputusan sangat berpengaruh besar terhadap keputusan
apa yang akan terjadi.328 Maxon menyelidiki akibat dari pengalaman
yudisial dalam pembuatan kebijakan di Crown Court, yaitu hasil yang
diperoleh menampakkan adanya perbedaan perlakuan penahanan,
dan rata-rata lama hukuman yang dijatuhkannya oleh hakim. Hakim
yang baru lebih suka memberikan hukuman penjara daripada
pengalihan ke masyarakat dibanding dengan hakim yang sudah
lama bertugas.329

Polri memiliki wewenang menerapkan mekanisme restorative


justice dalam proses penyidikan.330 Penerapan restorative justice dapat
mendasarkan pada pidana bersyarat yang diatur dalam KUHP331 dan
KUHAP,332 serta UU Kepolisian. UU Kepolisian telah mengenal konsep
penegakan hukum di luar yuridis formal bagi institusi Polri. Pasal 16 UU
Kepolisian memberi kewenangan kepada kepolisian untuk melakukan
tindakan lain dalam rangka pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat (harkamtibmas) serta keamanan dalam negeri (kamdagri).333

328
B. Ewart dan D. Pennington (1987), “Attributional Approach to Explaining
Sentencing Disparity” dalam Katy Holloway dan Adrian Grounds, Op. Cit., hlm. 154.
329
D. Moxon, “Sentencing Practice in the Crown Court, Home Office Research
Study 103,” dalam Katy Holloway dan Adrian Grounds, Op. Cit., hlm. 154.
330
Pasal 12 Perkap No. 6 Tahun 2019.
331
Pasal 14a, 14c KUHP.
332
Pasal 7 ayat (1) huruf J KUHAP Pasal 6 ayat (1) huruf a hanya karena
kewajibannya mempunyai wewenang: mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab.
333
Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2002 mengatur bahwa dalam rangka
menyelenggarakan tugas sebagaimana dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang
proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk (huruf
l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, yang
diprasyaratkan dalam ayat (2) adalah tidak bertentangan dengan suatu aturan
hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan, harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya,
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati hak
asasi manusia.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 91


Pasal 16 tersebut mengandung konsep penyelesaian suatu tindak
pidana dengan mengesampingkan proses pidana demi kepentingan
harkamtibmas serta kepentingan umum. Hal itu dapat dilakukan melalui
mekanisme restorative justice. Pengaturan tersebut telah dijabarkan di
dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan
Tindak Pidana. Namun sebelum Perkap tersebut, restorative justice juga
telah diformulasikan di dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/
VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Berdasarkan Pasal 1 angka 27 Perkap Nomor 6 Tahun 2019, keadilan
restoratif adalah penyelesaian kasus pidana yang melibatkan pelaku,
korban dan/atau keluarganya serta pihak terkait, dengan tujuan agar
tercapai keadilan bagi seluruh pihak. Pasal 12 dalam Perkap ini juga
menjelaskan, restorative justice dapat diselenggarakan apabila memenuhi
syarat materiil dan formil, sebagai berikut.
a. Syarat materiil, pelaksanaannya meliputi:
1) tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau tidak ada
penolakan masyarakat;
2) tidak berdampak konflik sosial; dan
3) adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak
keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan
hukum. Selain itu, tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat,
yaitu kesalahan dalam bentuk kesengajaan, dan pelaku bukan
residivis.
Restorative justice hanya dapat diterapkan pada tindak pidana yang
sedang dalam proses penyelidikan, juga dapat diterapkan pada
tindak pidana pada penyidikan, tetapi sebelum surat pemberitahuan
dimulainya penyidikan (SPDP) dikirim ke penuntut umum.
b. Syarat formil, pelaksanaannya meliputi:
1) adanya surat permohonan perdamaian kedua belah pihak
(pelapor dan terlapor); dan
2) surat pernyataan perdamaian (akte dading) dan penyelesaian
perselisihan para pihak yang beperkara (pelapor, dan/atau
keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor dan
perwakilan dari tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan

92 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


penyidik. Selain itu, pelaku tidak keberatan serta melakukan
secara sukarela atas tanggung jawab dan ganti rugi.

Berdasarkan Pasal 14 ayat (10) huruf b Perpol Nomor 8 Tahun


2021, bahwa dalam rangka menyelesaikan perkara tindak pidana
melalui restorative justice, petugas fungsi Pembinaan Masyarakat dan
fungsi Samapta Polri dapat memfasilitasi serta memediasi antarpihak.
Namun, pada tingkat penyelidikan dan penyidikan, kepolisian tidak
memiliki wewenang memfasilitasi dan memediasi para pihak, melainkan
hanya melakukan klarifikasi yang dituangkan dalam berita acara,334 dan
biasanya hanya dapat menganjurkan mediasi, yang hasil mediasi berupa
surat pernyataan perdamaian dilampirkan dalam surat permohonan
penghentian penyelidikan atau penghentian penyidikan.335
Saat ini, KUHAP dan UU Kepolisian belum memberi kewenangan
sebagai “mediator” maupun “fasilitator” kepada penyelidik dan
penyidik. Padahal, sebagai prime mover dalam sistem peradilan pidana,
peran mediator dan fasilitator sangat dibutuhkan oleh kepolisian,
disarankan agar dalam perubahan KUHAP mendatang perlu mengatur
kewenangan penyelidik dan penyidik sebagai mediator serta fasilitator
dalam menyelesaikan perkara tindak pidana melalui mekanisme
restorative justice. Dalam pengaturannya ke depan, kepolisian dapat diberi
kewenangan untuk mendorong pelaku dan korban dalam menyelesaikan
sengketa pidana tertentu melalui mediasi, serta penyelidik atau penyidik
dapat berperan sebagai mediator maupun fasilitator.
Berdasarkan Perpol Nomor 8 Tahun 2021, adanya mekanisme “gelar
perkara khusus” untuk memastikan kesepakatan para pihak yang dihadiri
oleh pihak ketiga (keluarga dan perwakilan masyarakat yang ditunjuk)
serta pengawas internal kepolisian, namun bukan lagi membahas
kelengkapan alat bukti proses pidananya. Meski demikian, kepolisian
tidak berwenang melakukan pemantauan pelaksanaan hasil kesepakatan
para pihak dalam restorative justice. Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf
f dan Pasal 16 ayat (2) huruf f Perpol No. 8 Tahun 2021, dalam hal
perkara dihentikan berdasarkan restorative justice, maka penerbitan surat

334
Pasal 16 ayat (1) huruf b dan Pasal 16 ayat (2) huruf b Perpol Nomor 8
Tahun 2021.
335
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) Perpol Nomor 8 Tahun 2021.

BAB 2 | Sistem Peradilan Pidana di Indonesia 93


perintah penghentian penyelidikan atau penghentian penyidikan dan
surat ketetapannya dicatatkan pada buku register. Dalam hal ada pihak
yang tidak menjalankan kesepakatan, proses tindak pidana dilanjutkan.
Penerapan restorative justice dalam konsep penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana, masih berlandaskan peraturan kepolisian,
bukan undang-undang. Padahal, restorative justice diterapkan demi
mewujudkan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat.
Landasan hukum yang kuat dapat dijadikan pedoman pelaksanaannya,
dan dalam rangka mewujudkan keseragaman pemahaman dalam
penerapannya di lingkungan Polri, dengan demikian diperlukan produk
hukum yang kuat sebagai pedoman bagi penyelidik dan penyidik Polri,
termasuk jaminan perlindungan hukum serta pengawasan pengendalian.
Prinsip restorative justice tidak bisa hanya dimaknai sebagai metode
penghentian perkara secara damai, tetapi lebih luas pada pemenuhan
rasa keadilan semua pihak yang terlibat dalam perkara pidana melalui
upaya yang melibatkan korban, pelaku, dan masyarakat.

94 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


BAB
3
URGENSI PENGATURAN
RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA

A. KUHAP dan KUHP


KUHAP tidak mengatur secara tegas mekanisme penyelesaian perkara
pidana melalui restorative justice. Proses penyelesaian perkara yang diatur
dalam KUHAP lebih berorientasi pada penjatuhan sanksi atau pidana,336
bukan pemulihan. Namun, tidak berarti bahwa tidak ada peluang sama
sekali untuk menerapkan restorative justice dengan berlandaskan KUHAP
maupun KUHP. Ada banyak pasal dalam KUHAP dan KUHP yang dapat
dipakai sebagai dasar atau peluang menerapkan restorative justice, yaitu
sebagai berikut.

1. Restorative Justice pada Tingkat Penyidikan


Penyidik dapat menerapkannya melalui penghentian perkara dan
mendamaikan para pihak di luar sistem peradilan pidana. Hal ini
berdasarkan Pasal 7 ayat (1) huruf i dan huruf j KUHAP, yang pada
intinya mengatur bahwa penyidik karena kewajibannya mempunyai
wewenang: (i) mengadakan penghentian penyidikan; (j) mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Selain itu,
juga dapat dilakukan dengan cara memaksimalkan penyelesaian

336
Hasbi Hasan, Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 2, Juli 2013, hlm.
250.

95
perkara melalui mediasi, khususnya terhadap delik aduan, sehingga
korban dapat mencabut aduannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 75
KUHP.337 Penyidik juga dapat memaksimal Pasal 82 KUHP, yaitu melalui
pembayaran denda sebelum penuntutan dilakukan. Penyelesaian perkara
tindak pidana dengan membayar denda hanya berlaku untuk tindak
pidana berupa pelanggaran.

2. Restorative Justice pada Tingkat Penuntutan


Ketentuan KUHAP yang memberi peluang penerapannya tercantum
dalam Pasal 98 KUHAP tentang penggabungan perkara, yaitu:
“(1) Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam
suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang
atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan
perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.

(2) Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya


dapat diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak
hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim
menjatuhkan putusan.”
Penuntut umum dapat mengoptimalkan penghitungan dan upaya
penggantian kerugian dari pelaku kepada korban dengan melibatkan
korban secara langsung sesuai dengan Pasal 98 KUHAP. Tuntutan ganti
kerugian dapat digabungkan dengan tuntutan perkara pidana.
Restorative justice pada tahap penuntutan juga dapat dilakukan
berdasarkan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, yang mengatur
bahwa dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan
penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut
ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi
hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat
ketetapan. Dalam hal ini, kejaksaan dapat menerbitkan surat keputusan
penghentian penuntutan (SKP2) untuk perkara-perkara yang dianggap
tidak perlu diajukan ke sidang.

Pasal 75 KUHP berbunyi: “Orang yang mengajukan pengaduan, berhak


337

menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan”.

96 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


3. Restorative Justice pada Tingkat Persidangan
Hakim dapat menerapkannya berdasarkan Pasal 14a dan 14c KUHP
tentang pidana percobaan dengan menerapkan pidana bersyarat berupa
pembayaran ganti kerugian kepada korban, yaitu:
“Pasal 14a

(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau
pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti
maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula
bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian
hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan
karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum
masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di
atas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan
tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain
dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali
dalam perkara-perkara yang mengenai penghasilan dan
persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda,
tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau
perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat
memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini,
kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai
perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan
dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan
pidana denda, tidak diterapkan ketentuan Pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai
pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai
pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki
dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan
yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana
tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus
jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau
keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.”

BAB 3 | Urgensi Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 97


“Pasal 14c
(1) Dengan perintah yang dimaksud Pasal 14a, kecuali jika
dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum
bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim
dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak
pidana, hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa
terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek daripada
masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga
bulan atau pidana kurungan atas salah satu pelanggaran
berdasarkan Pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan 536, maka
boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai
tingkah laku terpidana yang harus dipenuhi selama masa
percobaan atau selama sebagian dari masa percobaan.
(3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi
kemerdekaan beragama atau kemerdekaan berpolitik
terpidana.”

B. Perundang-undangan di Luar KUHAP dan KUHP


Salah satu undang-undang yang tegas menganut konsep restorative justice
dan mengatur secara jelas dalam pasal-pasalnya adalah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA). UU SPPA telah mengadopsi beberapa
perubahan yang cukup signifikan, antara lain, lebih mengutamakan
keadilan restoratif dan mengadopsi asas diversi.338 Namun, restorative
justice yang diadopsi hanya berlaku bagi tindak pidana dalam sistem
peradilan anak.
Pasal 5 ayat (1), mengatur bahwa SPPA wajib mengutamakan
pendekatan keadilan restoratif. Pasal 1 angka 6, mendefinisikan
keadilan restoratif sebagai penyelesaian perkara tindak pidana dengan
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang
terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.

338
Hasbi Hasan, Op. Cit., hlm. 249.

98 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Bentuk penyelesaian yang ditawarkan adalah diversi,339 dengan
definisi sebagai pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan ke proses di luar peradilan,340 tujuannya untuk: (a) mencapai
perdamaian antara korban dan anak; (b) menyelesaikan perkara anak
di luar proses peradilan; (c) menghindarkan anak dari perampasan
kemerdekaan; (d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
dan (e) menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.341 Proses
diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan
orang tua/walinya, korban dan/atau orangtua/walinya, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional.342 Musyawarah juga
dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat,
dalam hal diperlukan.343 Proses diversi wajib memperhatikan: (a)
kepentingan korban; (b) kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
(c) penghindaran stigma negatif; (d) penghindaran pembalasan;
(e) keharmonisan masyarakat; serta (f) kepatutan, kesusilaan, dan
ketertiban umum.344
Diversi wajib diupayakan pada tingkat penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan.345 Diversi dilaksanakan
atas dasar persetujuan korban dan/atau keluarga anak korban serta
kesediaan anak dan keluarganya.346 Namun, dalam tindak pidana yang
berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban,
atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat, pelaksanaan diversi tidak wajib berdasarkan persetujuan
korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan
keluarganya.347

339
Menurut Howard Zehr, pendekatan restorative justice terdiri atas tiga wujud
kategori, yaitu program alternatif atau diversi (alternative or diversionary programs),
program pemulihan atau terapi (healing or therapeutic programs) dan program
transisional (transitional programs). Penjelasan selanjutnya dapat dibaca dalam
Hasbi Hasan, Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, Ibid., hlm. 260.
340
Pasal 1 angka 7 UU SPPA.
341
Pasal 6 UU SPPA.
342
Pasal 8 ayat (1) UU SPPA.
343
Pasal 8 ayat (2) UU SPPA.
344
Pasal 8 ayat (3) UU SPPA.
345
Pasal 7 ayat (1) UU SPPA.
346
Pasal 9 ayat (2) UU SPPA.
347
Pasal 9 ayat (2) UU SPPA.

BAB 3 | Urgensi Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 99


Tidak semua tindak pidana anak dapat diselesaikan melalui program
restorative justice. Selain tindak pidana berupa pelanggaran dan tindak
pidana sebagaimana dijelaskan di atas, berdasarkan Pasal 7 ayat (2),
restorative justice dengan metode diversi, hanya dapat diterapkan terhadap
tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah tujuh tahun, dan
bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk: (a) perdamaian dengan
atau tanpa ganti kerugian; (b) penyerahan kembali kepada orang tua/
wali; (c) keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga
pendidikan atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
(LPKS) paling lama tiga bulan; atau (d) pelayanan masyarakat.348 Hasil
kesepakatan dituangkan dalam bentuk kesepakatan diversi.349
Menurut Hasbi Hasan,350 konsep keadilan restoratif yang diatur
dalam UU SPPA secara garis besar sejalan dengan kerangka teoretis.
Namun, belum sepenuhnya merefleksikan sistem keadilan restoratif
yang bersifat komprehensif. Hasan menjelaskan, penerapan pendekatan
keadilan restoratif dalam cenderung memfokuskan pada program
diversi, masih memahami keadilan restoratif sebagai suatu usaha untuk
mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Padahal
diversi itu sendiri hanyalah salah satu program dalam sistem keadilan
restoratif.351

C. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia


Restorative justice dapat diterapkan pada semua tahap sistem peradilan
pidana. Menurut UNODC, restorative justice dapat dilaksanakan pada: (a)
tingkat kepolisian (pre-charge); (b) tingkat penuntutan (post-charge); (c)
tingkat pengadilan, baik pada tahap praperadilan atau tahap hukuman;
dan (d) koreksi, sebagai alternatif dari pemenjaraan, bagian/tambahan
dari hukuman non-penahanan, selama pemenjaraan, atau setelah
dibebaskan dari penjara.352

348
Pasal 11 UU SPPA.
349
Pasal 12 ayat (1) UU SPPA.
350
Hasbi Hasan, Op. Cit., hlm. 260.
351
Ibid.
352
UNODC, Op. Cit., hlm. 42.

100 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Program restorative justice yang dipimpin polisi berkembang pesat
pada banyak negara.353 Polisi juga memakai pendekatan restorative justice
sebagai alat pemolisian masyarakat yang positif,354 bertindak sebagai
fasilitator dan membantu peserta mencapai keputusan atau resolusi
yang sesuai dengan pandangan masyarakat. Keterlibatan polisi dalam
program tersebut, meliputi hal berikut.355
1. Restorative justice sebagai bentuk tugas pelayanan kepada masyarakat.
2. Memberi penjelasan kepada pelaku, korban, dan partisipan lainnya
mengenai proses restorative justice.
3. Memfasilitasi proses restorative justice.
4. Menyelenggarakan restorative justice.
5. Menggunakan pendekatan restoratif untuk menyelesaikan
perselisihan dan konflik non-kejahatan yang terjadi di jalanan.
6. Berperan dalam memantau pelaksanaan perjanjian hasil restorative
justice dan pelaporan pelanggaran atas perjanjian tersebut.

Penelitian yang dilakukan UNODC menunjukkan bahwa restorative


justice yang diselenggarakan pada tingkat penyelidikan dan penyidikan
di kepolisian dapat mengurangi dampak emosional dan psikologis dari
kejahatan pada korban. Di London misalnya, evaluasi program restorative
justice menunjukkan bahwa polisi menyelenggarakan dengan tatap
muka antara korban dan pelaku perampokan, dan hasilnya ternyata
program tersebut mampu mengurangi efek traumatis bagi korban,356
yang dipimpin oleh polisi yang terlatih khusus.
Menurut Clamp dan Paterson,357 penggunaan restorative justice oleh
aparat kepolisian dapat berdampak positif pada cara berpikir masyarakat
terhadap kepolisian, meningkat kepercayaan publik terhadap kepolisian,
memperbaiki hubungan polisi dengan masyarakat, serta berpengaruh
positif pada reformasi kepolisian secara umum. Penerapan restorative

353
Ibid.
354
Ibid.
355
Ibid.
356
Angel, et al., (2014) “Short-Term Effects of Restorative Justice Conferences
on Post-traumatic Stress Symptoms among Robbery and Burglary Victims”, dalam
UNODC, Ibid., hlm. 46.
357
Clamp and Paterson (2017), “Restorative Policing”, dalam UNODC, Ibid.,
hlm. 46.

BAB 3 | Urgensi Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 101


justice sangat penting bagi kepolisian, sebab melalui keterlibatan aktif
dalam program restorative justice, polisi akan aktif berinteraksi dengan
masyarakat termasuk dengan kelompok minoritas, serta menegakkan
tugas utama kepolisian dalam melayani dan melindungi masyarakat.358
Pengaturan yang menjadi dasar pelaksanaan restorative justice di Polri
saat ini diatur melalui Perpol No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan
Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Perpol tersebut
mengatur mulai dari syarat tindak pidana yang dapat diselesaikan
melalui proses restorative justice sampai mengatur tentang penghentian
penyelidikan dan penyidikan.
Dasar hukum penerbitannya merujuk pada Pasal 16 dan Pasal 18
UU Kepolisian. Kedua pasal ini memberi kewenangan dan membuat
diskresi dalam rangka penegakan hukum. Dalam Pasal 16, ada dua
wewenang Polri yang erat dan menjadi dasar penerapan restorative
justice, yaitu mengadakan penghentian penyidikan359 dan mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.360 Tindakan
lain yang dimaksud adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan,
sebagai berikut.361
1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
2. Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan
tersebut dilakukan.
3. Harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya.
4. Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa.
5. Menghormati hak asasi manusia.

Berdasarkan Pasal 18 UU Kepolisian, Polri dapat membuat diskresi


dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang. Namun demikian,
diskresi hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia.362

358
UNODC, Ibid.
359
Pasal 16 ayat (1) huruf h UU Kepolisian.
360
Pasal 16 ayat (1) huruf l UU Kepolisian.
361
Pasal 16 ayat (2) UU Kepolisian.
362
Pasal 18 ayat (2) UU Kepolisian.

102 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Perpol No. 8 Tahun 2021 lahir karena adanya kebutuhan hukum dalam
masyarakat untuk menyelesaikan kasus tindak pidana secara adil. Salah
satu cara penyelesaiannya adalah mengutamakan pemulihan kembali pada
keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban
dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan.363
Pasal 1 angka 3 Perpol No. 8 Tahun 2021, restorative justice adalah
penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga
pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat,
atau pemangku kepentingan untuk bersama mencari penyelesaian
yang adil melalui perdamaian dengan pemulihan kembali pada
keadaan semula. Penyelesaian tindak pidana melalui restorative justice
di kepolisian, dilakukan pada kegiatan penyelenggaraan fungsi reserse
kriminal, penyelidikan, atau penyidikan.364
Tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan melalui restorative
justice di Polri. Berdasarkan Pasal 5 huruf f Perpol No. 8 Tahun 2021,
tindak pidana seperti: terorisme, kejahatan terhadap keamanan
negara, korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang, tidak dapat
diselesaikan melalui restorative justice. Tindak pidana informasi dan
transaksi elektronik, narkoba, serta lalu lintas, dapat diselesaikan
melalui restorative justice apabila memenuhi syarat khusus.365 Pertama,
tindak pidana informasi dan transaksi elektronik. Berdasarkan Pasal 8
ayat (1), persyaratan khusus meliputi hal berikut.
1. Pelaku tindak pidana informasi dan transaksi elektronik yang
menyebarkan konten ilegal.
2. Pelaku bersedia menghapus konten yang telah diunggah.
3. Pelaku menyampaikan permohonan maaf melalui video yang
diunggah di media sosial disertai dengan permintaan untuk
menghapus konten yang telah menyebar.
4. Pelaku bersedia bekerja sama dengan penyidik Polri untuk
melakukan penyelidikan lanjutan.

Kedua, tindak pidana narkoba. Berdasarkan Pasal 9 ayat (1),


persyaratan khusus meliputi hal berikut.

363
Petitum Menimbang huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021.
364
Pasal 2 ayat (1) Perpol No. 8 Tahun 2021.
365
Pasal 3 ayat (1) huruf b Perpol No. 8 Tahun 2021.

BAB 3 | Urgensi Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 103


1. Pecandu narkoba dan korban penyalahgunaan narkoba yang
mengajukan rehabilitasi.
2. Pada saat tertangkap tangan:
a. ditemukan barang bukti narkoba pemakaian satu hari dengan
penggolongan narkotika dan psikotropika sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. tidak ditemukan barang bukti tindak pidana narkoba, namun
hasil tes urine menunjukkan positif narkoba.
3. Tidak terlibat dalam jaringan tindak pidana narkoba, pengedar,
dan/atau bandar.
4. Telah dilaksanakan asesmen oleh tim asesmen terpadu.
5. Pelaku bersedia bekerja sama dengan penyidik Polri untuk
melakukan penyelidikan lanjutan.

Ketiga, tindak pidana lalu lintas. Persyaratan khusus meliputi hal


berikut.366
1. Kecelakaan lalu lintas yang disebabkan mengemudikan kendaraan
bermotor dengan cara dan keadaan membahayakan yang
mengakibatkan kerugian materi dan/atau korban luka ringan.
2. Kecelakaan lalu lintas di jalan karena kelalaiannya yang
mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.

Berdasarkan Pasal 5 Perpol No. 8 Tahun 2021, tindak pidana yang


dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice harus memenuhi
syarat materiil sebagai berikut.367
1. Tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat.
2. Tidak berdampak konflik sosial.
3. Tidak berpotensi memecah belah bangsa.
4. Tidak bersifat radikalisme dan separatisme.
5. Bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan
pengadilan.
6. Bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan
negara, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana terhadap nyawa orang.

366
Pasal 10 Perpol No. 8 Tahun 2021.
367
Pasal 5 Perpol No. 8 Tahun 2021.

104 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Selain harus memenuhi syarat materiil, juga harus memenuhi
syarat formil. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Perpol No. 8 Tahun 2021,
syarat formil meliputi: adanya perdamaian antara kedua belah pihak, dan
adanya pemenuhan hak korban serta tanggung jawab pelaku. Perdamaian
dibuktikan dengan surat kesepakatan perdamaian dan ditandatangani oleh
para pihak.368 Pemenuhan hak korban dan tanggung jawab pelaku berupa:
(a) mengembalikan barang; (b) mengganti kerugian; (c) menggantikan
biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan (d) mengganti
kerusakan yang ditimbulkan akibat tindak pidana.369

D. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia


Pengaturan restorative justice dalam Peraturan Kejaksaan Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif (Perja No. 15 Tahun 2020). Penerapan
restorative justice di kejaksaan didasari pemikiran bahwa kejaksaan
sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara
di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum,
ketertiban hukum, keadilan, dan kebenaran berdasarkan hukum serta
mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta
wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan keadilan yang
hidup dalam masyarakat.370
Penerapan restorative justice di kejaksaan juga didasarkan pada
landasan filosofis penyelesaian perkara disandingkan dengan tugas
kejaksaan, yaitu menegaskan bahwa Jaksa Agung bertugas dan
berwenang mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan
oleh undang-undang dengan memperhatikan asas peradilan cepat,
sederhana, dan biaya ringan, serta menetapkan dan merumuskan
kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan yang
dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan
hati nurani, termasuk penuntutan dengan menggunakan pendekatan
keadilan restoratif yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.371

368
Pasal 6 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
369
Pasal 6 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
370
Petitum “Menimbang” huruf a Perja No. 15 Tahun 2020.
371
Petitum “Menimbang” huruf c Perja No. 15 Tahun 2020.

BAB 3 | Urgensi Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 105


Perja ini menjelaskan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana
dengan mengedepankan keadilan restoratif merupakan suatu kebutuhan
hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam
pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaruan sistem peradilan
pidana.372 Pada Pasal 1 angka 1, dijelaskan bahwa keadilan restoratif
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak terkait untuk bersama
mencari penyelesaian yang adil dengan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan.
Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Perja No. 15 Tahun 2020, tindak
pidana yang dapat diselesaikan melalui restorative justice harus memenuhi
syarat berikut.
1. Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana.
2. Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam
dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
3. Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai
kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih
dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Tindak pidana terkait harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau
keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut
Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau
Kepala Kejaksaan Negeri, dapat diselesaikan melalui program restorative
justice dengan tetap memperhatikan syarat bukan residivis disertai
dengan salah satu syarat pada angka 2 atau angka 3 di atas.373 Selain
itu, tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan
kemerdekaan orang, juga dapat diselesaikan melalui restorative justice,
asalkan pelakunya bukan residivis dan ancaman hukumannya tidak
lebih dari lima tahun.374 Dalam hal tindak pidana dilakukan karena
kelalaian, penyelesaiannya dapat dilakukan dalam program restorative
justice apabila pelaku bukan residivis.375

372
Petitum “Menimbang” huruf b Perja No. 15 Tahun 2020.
373
Pasal 5 ayat (2) Perja No. 15 Tahun 2020.
374
Pasal 5 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.
375
Pasal 5 ayat (4) Perja No. 15 Tahun 2020.

106 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Penyelesaian perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif
menghentikan penuntutan,376 selain tindak pidana tersebut memenuhi
syarat sebagaimana dijelaskan di atas, juga harus memenuhi syarat
berikut.377
1. Telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan
oleh tersangka dengan cara:
a. mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana
kepada korban;
b. mengganti kerugian korban;
c. mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
dan/atau
d. memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak
pidana.
2. Telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan tersangka.
3. Masyarakat merespons positif.

Pelaksanaan restorative justice di kejaksaan dikecualikan terhadap


tindak pidana tertentu. Berdasarkan Pasal 5 ayat (8), penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dikecualikan untuk perkara
berikut.
1. Tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden
dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta
wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan.
2. Tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal.
3. Tindak pidana narkotika.
4. Tindak pidana lingkungan hidup.
5. Tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Perja ini menyamakan antara restorative justice dengan perdamaian.


Pasal 7, mengatur bahwa penuntut umum menawarkan upaya
perdamaian kepada korban dan tersangka. Perdamaian tersebut
dilakukan secara sukarela, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi.
Upaya perdamaian dilakukan pada tahap penuntutan, yaitu pada

376
Pasal 3 ayat (4) Perja No. 15 Tahun 2020.
377
Pasal 5 ayat (6) Perja No. 15 Tahun 2020.

BAB 3 | Urgensi Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 107


saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti.
Perdamaian dapat melibatkan keluarga korban/tersangka, tokoh atau
perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait.378
Pelaksanaan proses perdamaian diselenggarakan di kantor
kejaksaan,379 dan penuntut umum bertindak sebagai fasilitator.380
Penuntut umum yang bertindak sebagai fasilitator, tidak boleh
mempunyai kepentingan atau keterkaitan dengan perkara, korban,
maupun tersangka, baik secara pribadi maupun profesi, langsung
maupun tidak langsung.381
Hal yang menarik dalam Perja ini adalah diaturnya jangka waktu
proses perdamaian. Berdasarkan Pasal 9 ayat (5), proses perdamaian
dan pemenuhan kewajiban dilaksanakan dalam waktu paling lama 14
(empat belas) hari sejak penyerahan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti (tahap dua).

E. Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum


Mahkamah Agung Republik Indonesia
Pengaturan restorative justice dalam Keputusan Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Umum (Dirjen Badilum) Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan
Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice). Dasar
pemikiran penerbitan SK ini adalah karena adanya kesadaran
perkembangan sistem pemidanaan, yang tidak lagi bertumpu pada
pelaku, melainkan telah mengarah pada penyelarasan kepentingan
pemulihan korban dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana.382
Lampiran SK Dirjen Badilum tersebut menjelaskan, keadilan restoratif
merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam

378
Pasal 8 Perja No. 15 Tahun 2020.
379
Pasal 9 ayat (4) Perja No. 15 Tahun 2020.
380
Pasal 9 ayat (2) Perja No. 15 Tahun 2020.
381
Pasal 9 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.
382
Petitum “Menimbang” huruf b Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/
PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative Justice), untuk selanjutnya ditulis SK Dirjen Badilum tentang Restorative
Justice.

108 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang
diubah menjadi proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan
seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan
pemulihan kembali pada keadaan semula, dan mengembalikan pola
hubungan baik dalam masyarakat.383 SK ini juga menjelaskan:
“Prinsip dasar restorative justice adalah pemulihan kepada korban
akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi, perdamaian, pelaku
melakukan kerja sosial maupun kesepakatan lainnya. Hukum yang
adil tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang,
dan hanya berpihak kepada kebenaran, serta mempertimbangkan
kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan setiap aspek
kehidupan. Pelaku memiliki kesempatan terlibat dalam pemulihan
keadaan (restorasi), masyarakat berperan melestarikan perdamaian,
dan pengadilan berperan menjaga ketertiban umum.”384
Pedoman penyelesaian perkara pidana melalui restorative justice,
hanya berlaku untuk perkara tindak pidana ringan, perkara perempuan
yang berhadapan dengan hukum, perkara anak, dan perkara narkotika.385
1. Perkara tindak pidana ringan. Tindak pidana ringan yang
dimaksud diatur dalam Pasal 364 (pencurian ringan),386 Pasal 373
(penggelapan ringan),387 Pasal 379 (penipuan ringan),388 Pasal 384

383
Lampiran SK Dirjen Badilum tentang Restorative Justice, hlm. 2.
384
Ibid.
385
Ibid., Bagian C, hlm. 4.
386
Pasal 364 KUHP: “Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal
363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5,
apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah,
diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.”
387
Pasal 373 KUHP: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila
yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah,
diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.”
388
Pasal 379 KUHP: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378, jika barang
yang diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang
itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus
lima puluh rupiah.”

BAB 3 | Urgensi Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 109


(berbuat curang),389 Pasal 407 (perusakan barang),390 dan Pasal 482
(penadahan ringan)391 KUHP yang diancam dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) bulan atau denda Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu rupiah), namun tidak dapat diterapkan terhadap
pelaku tindak pidana yang berulang.392
2. Perkara narkotika. Surat edaran Mahkamah Agung hanya
dapat diterapkan terhadap pecandu, penyalahguna, korban
penyalahgunaan, ketergantungan narkotika, dan narkotika
pemakaian satu hari. Restorative justice pada perkara narkotika dapat
dilakukan dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut.393
a. Pada saat tertangkap tangan oleh Penyidik Polri dan Penyidik
Badan Narkotika Nasional (BNN) ditemukan barang bukti
pemakaian 1 (satu) hari dengan perincian antara lain sebagai
berikut.
Kelompok methamphetamine (sabu) : 1 gram
Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram 8 butir
Kelompok heroin : 1,8 gram
Kelompok kokain : 1,8 gram
Kelompok ganja : 5 gram
Daun koka : 5 gram
Meskalin : 5 gram

389
Pasal 384 KUHP: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 383, diancam
dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak dua ratus
lima puluh rupiah, jika jumlah keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari dua
puluh lima rupiah.”
390
Pasal 407 KUHP: “(1) Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal
406 jika harga kerugian tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus
lima puluh rupiah. (2) Jika perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406 ayat kedua
itu dilakukan dengan memasukkan bahan-bahan kan nyawa atau kesehatan, atau
jika hewan itu termasuk dalam Pasal 101, maka ketentuan ayat pertama tidak
berlaku.”
391
Pasal 482 KUHP: “Perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 480,
diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari mana
benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam
Pasal 364, 373, dan 379.”
392
Lampiran SK Dirjen Badilum tentang Restorative Justice, Loc. Cit.
393
Ibid.

110 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Kelompok psilocybin : 3 gram
Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram
Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram
Kelompok fentanil : 1 gram
Kelompok metadon : 0,5 gram
Kelompok morfin : 1,8 gram
Kelompok petidin : 0,96 gram
Kelompok kodein : 92 gram
Kelompok buprenorfin : 32 mg

b. Panitera memastikan bahwa jaksa telah melampirkan hasil


asesmen dari Tim Asesmen Terpadu pada setiap pelimpahan
berkas perkara yang didakwa, sesuai dengan Pasal 103 ayat (1)
dan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
c. Jika berkas perkara pada saat dilimpahkan tidak dilengkapi
dengan hasil asesmen, hakim pada saat persidangan dapat
memerintahkan kepada jaksa untuk melampirkan hasil
asesmen dari Tim Asesmen Terpadu.
d. Hakim dapat memerintahkan terdakwa agar menghadirkan
keluarga dan pihak terkait untuk didengarkan keterangannya
sebagai saksi yang meringankan dalam rangka pendekatan
keadilan restoratif.
e. Majelis hakim dalam proses persidangan dapat memerintahkan
agar pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika
untuk melakukan pengobatan, perawatan, dan pemulihan
pada lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi
sosial.

Penyelesaian perkara pidana menggunakan mekanisme restorative


justice di pengadilan dilaksanakan dengan upaya damai, dan
dilaksanakan dalam rangkaian acara pemeriksaan cepat yang diatur
dalam Pasal 205 sampai dengan Pasal 210 KUHAP, yang dihadiri oleh
pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan tokoh masyarakat terkait
yang beperkara.

BAB 3 | Urgensi Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 111


Dalam menerapkan restorative justice, ketua pengadilan menetapkan
hakim tunggal, dengan memperhatikan nilai barang atau uang
yang menjadi objek perkara. Hakim tunggal yang telah ditunjuk
melakukan upaya damai setelah membuka sidang, dan membacakan
catatan dakwaan. Upaya perdamaian tersebut dilakukan berdasarkan
persetujuan para pihak. Dalam hal perdamaian tercapai, para pihak
membuat kesepakatan perdamaian yang ditandatangani oleh terdakwa,
korban, dan pihak-pihak terkait. Surat kesepakatan damai tersebut
selanjutnya dimasukkan ke dalam pertimbangan putusan hakim.
Namun, dalam hal kesepakatan perdamaian tidak berhasil, maka hakim
tunggal melanjutkan proses pemeriksaan.394
Menurut Zehr, wujud restorative justice dapat terlihat dalam tiga
bentuk, yaitu program alternatif atau diversi (alternative or diversionary
programs), program pemulihan atau terapi (Healing or therapeutic programs)
dan program transisional (transitional programs),395 yaitu sebagai berikut.
1. Program diversi, bertujuan untuk mengalihkan kasus atau
memberikan alternatif dari beberapa bagian proses peradilan
pidana atau hukuman.396 Jaksa dapat membuat rujukan, menunda
penuntutan, dan akhirnya menghentikannya jika kasus tersebut
dapat diselesaikan secara memuaskan.397 Demikian pula hakim
dapat merujuk kasus ke dalam program restorative justice untuk
memilah-milah elemen-elemen hukuman, seperti restitusi.
2. Program pemulihan atau terapi, biasanya dikembangkan untuk jenis
kejahatan dan kekerasan yang paling parah, seperti pemerkosaan
dan pembunuhan.398 Pelaku dalam konteks ini biasanya berada di
dalam penjara. Program ini pada umumnya dilakukan sebagai suatu
upaya untuk merehabilitasi pelaku.399
3. Program transisional, biasanya berkaitan dengan masa transisi
pelaku setelah keluar dari penjara. Program ini dirancang untuk

Ibid.
394

Howard Zehr, Little Book of Restorative Justice, (Intercourse, PA: Good Book,
395

2002), dalam Hasbi Hasan, Loc. Cit.


396
Ibid.
397
Ibid.
398
Ibid.
399
Ibid.

112 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


memulihkan luka korban dan menstimulus pertanggungjawaban
pelaku serta membantu baik korban maupun pelaku untuk kembali
ke masyarakat.400

400
Ibid.

BAB 3 | Urgensi Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 113


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB
4
PENERAPAN KONSEPSI
RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA

A. Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Kepolisian


Penegakan hukum pidana menggunakan pendekatan restorative justice,
bukan hal baru bagi Polri. Mekanisme seperti restorative justice telah
lama dipraktikkan dan sedang dikembangkan dalam penanganan dan
penyelesaian tindak pidana. Polri telah menerapkan penyelesaian tindak
pidana dengan mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) atau
sering disebut juga dengan mediasi penal. Hal itu dapat dilihat dalam
praktik penyelesaian tindak pidana berdasarkan kesepakatan damai
dalam proses penyidikan, atau penyelesaian tindak pidana ringan dengan
mekanisme pemolisian masyarakat (Polmas) oleh Bhayangkara Pembina
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas). Kepolisian
juga sering menggunakan kearifan lokal (local wisdom) dalam menangani
perkara pidana, terutama untuk tindak pidana ringan.
Polri telah memiliki peraturan mengenai penyelesaian perkara
pidana menggunakan mekanisme mediasi penal sejak tahun 2008,
melalui Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap)
Nomor 7 Tahun 2008 tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi
Pemolisian Masyarakat dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Pada Pasal
14 huruf f, mengatur:
“Bentuk-bentuk kegiatan dalam penerapan Polmas, antara lain:
f. penerapan konsep Alternative Dispute Resolution/ADR (pola

115
penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih
efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses
hukum atau non-litigasi), misalnya melalui upaya perdamaian.”
Pengaturan terkait ADR dalam Perkap No. 7 Tahun 2008 di atas,
ditegaskan kembali melalui Surat Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Surat Kapolri) Nomor: B/3022/XII/2009/Sdeops Tahun 2009 perihal
Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution.
Surat Kapolri tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan empat
surat telegram (ST) Kabareskrim tahun 2011 dan 2012, yaitu sebagai
berikut.
1. ST Kabareskrim Polri Nomor: ST/110/V/2011 perihal Penyelesaian
Perkara Melalui Alternatif di Luar Proses Peradilan.
2. ST Kabareskrim Polri Nomor: ST/209/IX/2011 perihal Penangguhan
Penerapan ADR di Jajaran Reskrim Polri.
3. ST Kabareskrim Polri Nomor: ST/255/XI/2011 perihal Penundaan
Sementara Penerapan Penyelesaian Perkara di Luar Sidang
Pengadilan atau ADR di Jajaran Reskrim.
4. ST Kabareskrim Polri Nomor: STR/583/VIII/2012 perihal
Pembatasan Penerapan ADR dalam Penanganan Perkara Pidana.

Namun, praktik ADR di Polri pada akhirnya diberhentikan karena


dalam penerapannya banyak disalahgunakan oleh Personel Polri,
dilaksanakan bukan untuk mencapai tujuan hukum yang semestinya.401
Tahun 2013, Kapolri menerbitkan Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 15 Tahun 2013 tentang
Tata Cara Penanganan Kecelakaan Lalu Lintas. Pasal 63 mengatur,
bahwa perkara kecelakaan lalu lintas dapat diselesaikan di luar sidang
pengadilan berdasarkan kesepakatan damai antara korban dan pelaku
dengan adanya kewajiban mengganti kerugian. Kesepakatan damai
antara para pihak yang terlibat kecelakaan lalu lintas dituangkan dalam
surat pernyataan kesepakatan damai. Penyelesaian perkara di luar
sidang pengadilan tersebut dapat dilaksanakan selama belum dibuatnya
laporan polisi.

401
Polri, FAQ Restoratif Justice pada Acara Rakernis Fungsi Reskrim Polri T.A.
2022.

116 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Tahun 2015, Kapolri menerbitkan Surat Edaran Nomor:
SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech). Surat
edaran tersebut pada intinya mengatur tentang cara menangani perkara
hate speech dengan cara mempertemukan pelaku dan korban ujaran
kebencian dan mencari serta menemukan solusi untuk perdamaian.
Tahun 2018, Kapolri juga menerbitkan surat edaran yang secara
tegas menyebutkan penyelesaian perkara pidana menggunakan
mekanisme keadilan restoratif, diatur dalam Surat Edaran Nomor:
SE/8/VII/2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Dalam surat edaran tersebut
dijelaskan bahwa tidak semua tindak pidana dapat diselesaikan melalui
mekanisme restorative justice. Tindak pidana yang dapat diselesaikan
melalui forum keadilan restoratif hanya tindak pidana yang memenuhi
syarat materiil dan syarat formil.
Syarat materiil tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui
restorative justice berdasarkan Surat Edaran Nomor: SE/8/VII/2018,
yaitu sebagai berikut.
1. Tidak menimbulkan keresahan masyarakat dan tidak ada penolakan
masyarakat.
2. Tidak berdampak konflik sosial.
3. Adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk tidak
keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum.
4. Prinsip pembatas. Prinsip pembatas terbagi dalam dua kriteria, yaitu
terbatas pada pelaku, dan terbatas pada proses penyelidikan serta
penyidikan sebelum SPDP dikirim ke penuntut umum. Terbatas
pada pelaku artinya tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat,
yakni kesalahan (schuld atau mensrea) dalam bentuk kesengajaan
(dolus atau opzet) terutama kesengajaan sebagai maksud atau tujuan
(opzet als oogmerk).
5. Pelaku bukan merupakan residivis.

Syarat formil tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui


restorative justice berdasarkan Surat Edaran Nomor: SE/8/VII/2018,
meliputi hal berikut.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 117


1. Surat permohonan perdamaian kedua belah pihak (pelapor dan
terlapor).
2. Surat pernyataan perdamaian (akta dading) dan penyelesaian
perselisihan para pihak yang beperkara (pelapor, dan/atau keluarga
pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor serta perwakilan dari
tokoh masyarakat) diketahui oleh atasan penyidik.
3. Berita acara pemeriksaan tambahan pihak yang beperkara setelah
dilakukan penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif.
4. Rekomendasi gelar perkara khusus yang menyetujui penyelesaian
keadilan restoratif.
5. Pelaku tidak keberatan atas tanggung jawab, ganti rugi, atau
dilakukan dengan sukarela.
6. Semua tindak pidana dapat dilakukan restorative justice terhadap
kejahatan umum yang tidak menimbulkan korban manusia.

Surat Edaran Kapolri Nomor 8 Tahun 2018 tersebut di atas,


dipertegas dalam Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak
Pidana. Pasal 12, mengatur bahwa dalam proses penyidikan dapat
dilakukan keadilan restoratif. Penerapannya lebih lanjut diperjelas dan
dipertegas pada Tahun 2021 melalui Perpol No. 8 Tahun 2021 tentang
Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, sekaligus
mencabut peraturan-peraturan maupun surat edaran tentang mediasi
penal yang telah berlaku sebelumnya.
Perpol No. 8 Tahun 2021 telah mengatur alur penanganan tindak
pidana berdasarkan restorative justice. Pelaksanaannya bersentuhan
langsung dengan sistem peradilan pidana, dengan tetap melibatkan
aparat penegak hukum, yaitu penyidik Polri. Proses restorative justice di
kepolisian dapat digambarkan sebagai berikut.

118 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


LAPORAN
POLISI

KASUS RJ GELAR PERKARA KHUSUS


PENYELIDIKAN SETUJU (FORUM RJ)

PENYIDIKAN SP3
(DEMI HUKUM)

KORBAN & SAKSI

Gambar 4.1 Alur Penyelesaian Tindak Pidana Melalui Restorative Justice

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia


119
Mekanisme di atas menggambarkan, ketika terjadi suatu perkara,
penyidik melakukan pemeriksaan atas peristiwa pidana yang dilaporkan.
Pada saat proses penyidikan, apabila pelaku dan korban sepakat
untuk dipertemukan serta diperoleh penyelesaian musyawarah dan
kekeluargaan, dilakukan gelar perkara khusus yang dihadiri korban dan
keluarganya, pelaku dan keluarganya, serta perwakilan tokoh masyarakat
yang ditunjuk untuk dilakukan keputusan bersama yang selanjutnya
dapat dilakukan penghentian penyidikan demi hukum dengan mengacu
pada Perpol No. 8 Tahun 2021. Hal tersebut lebih efektif dan efisien
dibandingkan dengan sistem penyelesaian secara konvensional.
Berbeda dengan mekanisme penyelesaian perkara pidana secara
konvensional, melalui proses peradilan yang panjang, digambarkan
sebagai berikut.

120 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


• MENCARI DAN MENEMUKAN • MENCARI DAN
PERISTIWA PIDANA MENGUMPULKAN BUKTI
• MENENTUKAN DAPAT • MEMBUAT TERANG TP
TIDAKNYA DISIDIK • MENEMUKAN TSK
1. PENGADUAN
MASYARAKAT
2. LAPORAN
INFORMASI LIDIK SIDIK JPU
3. LAPORAN
POLISI
• PENGOLAHAN TKP
• PENGAMATAN • DIMULAINYA PENYIDIKAN
• WAWANCARA • UPAYA PAKSA
• PEMBUNTUTAN • PEMERIKSAAN
• PENYAMARAN • PENETAPAN TERSANGKA
• PEMBELIAN TERSELUBUNG • PEMBERKASAN
• PENYERAHAN DI BAWAH • PENYERAHAN BERKAS
PENGAWASAN PERKARA
• PELACAKAN • PENYERAHAN TSK DAN BB
• PENELITIAN DAN ANALISIS • SP3
DOKUMEN

Gambar 4.2 Alur Penyelesaian Tindak Pidana Secara Konvensional

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia


121
Mekanisme di atas menggambarkan proses penanganan perkara
pidana secara konvensional membutuhkan waktu yang lama dan
proses yang panjang. Polisi menyelidiki peristiwa pidana berdasarkan
adanya laporan polisi, laporan informasi, atau pengaduan masyarakat.
Dalam proses penyelidikan, penyelidik melakukan penyelidikan guna
mencari dan menemukan peristiwa yang diduga tindak pidana. Pada
tahap penyelidikan ini, penyelidik dapat melakukan beberapa metode
atau kegiatan seperti olah tempat kejadian perkara (TKP), pengamatan,
wawancara, pembuntutan, penyamaran, pelacakan, penelitian, dan
analisis dokumen. Apabila proses penyelidikan tersebut menemukan
minimal dua alat bukti, peristiwa pidana tersebut dilanjutkan ke proses
penyidikan.
Proses penyidikan dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan
alat bukti, membuat terang suatu tindak pidana, dan menemukan
tersangka. Setelah proses penyidikan selesai, dan berkas dinyatakan
lengkap (P21), maka berkas perkara beserta tersangka selanjutnya
diserahkan ke Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pendekatan restorative justice berbeda dengan pendekatan sistem
peradilan pidana biasa. Sistem peradilan pidana bersifat berjenjang dan
melibatkan beberapa instansi, mulai dari penyelidikan dan penyidikan
sampai dengan eksekusi. Proses sistem peradilan pidana dapat
digambarkan sebagai berikut.

• Penyelidikan
• Penyidikan

• Prapenuntutan
• Penuntutan

• Pemeriksaan
• Putusan

• Lapas
• Pembinaan

Gambar 4.3 Alur Sistem Peradilan Pidana

Berdasarkan gambar di atas, secara garis besar mengenal empat


tahapan penanganan perkara pidana, yaitu tahap penyidikan, tahap

122 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


penuntutan, pemeriksaan di pengadilan, dan eksekusi, yang dikenal
dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice
System). Kegiatan penyidikan dilakukan untuk mengumpulkan bukti
yang membuat terang suatu tindak pidana yang terjadi guna menemukan
tersangkanya. Penyidik mempunyai kewenangan melakukan pemeriksaan,
penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan barang bukti.
Penyidik juga berwenang meminta keterangan saksi, ahli, dan tersangka,
serta melakukan penyitaan bukti surat yang dituangkan dalam bentuk
Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Kegiatan penyidikan yang dilakukan
oleh penyidik wajib diberitahukan kepada penuntut umum dalam bentuk
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Hasil penyidikan dalam bentuk berkas perkara dikirimkan oleh
penyidik kepada penuntut umum. Selanjutnya, penuntut umum
melakukan penelitian terhadap kelengkapan berkas perkara, baik secara
formil maupun materiil, yang disebut pra-penuntutan. Dalam hal berkas
perkara dinyatakan lengkap, maka penyidik menyerahkan tanggung
jawab tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Namun,
apabila hasil berkas perkara dinyatakan belum lengkap atau kurang
memenuhi persyaratan formil dan atau materiil, maka dikirim kembali
kepada penyidik untuk dilengkapi yang disertai petunjuk dari penuntut
umum kepada penyidik. Selanjutnya penuntut umum menyusun surat
dakwaan dan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk
disidangkan dan diputus oleh pengadilan. Apabila hakim menyatakan
terdakwa terbukti melakukan tindak pidana, akan dieksekusi untuk
melakukan amar putusan.
Pendekatan sistem peradilan pidana terpadu di atas berbeda
dengan pendekatan restorative justice. Pendekatan yang digunakan dalam
implementasi restorative justice adalah kesepakatan para pihak didasarkan
pemenuhan kebutuhan korban dan masyarakat atas kerugiannya. Hal ini
menunjukkan bahwa tujuannya merupakan terobosan hukum progresif
dan dimaknai sebagai keadilan yang humanis dengan memberikan
kemanfaatan hukum tanpa meninggalkan kepastian hukum. Pendekatan
ini merupakan formulasi yang tepat di samping mampu memulihkan
keadaan bagi para pihak yang terlibat, juga efisiensi biaya karena tanpa
melalui proses peradilan yang panjang.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 123


Sejak Perpol No. 8 Tahun 2021 terbit sampai dengan 31 Desember
2022, Polri telah menyelesaikan penanganan sebanyak 32.759 perkara
melalui restorative justice, baik tingkat penyelidikan maupun penyidikan,
yang bersumber dari 594.669 laporan polisi. Hal ini berarti, dalam kurun
waktu tersebut Polri telah berhasil menyelesaikan 5,5 % dari seluruh
laporan polisi melalui restorative justice,402 diuraikan sebagai berikut.
Tabel 4.1 Data Penghentian Tindak Pidana Melalui Restorative Justice di
Kepolisian Republik Indonesia
Satker/ Tahun 2021 Tahun 2022 Total
No.
Polda LP RJ LP RJ LP RJ
1. Bareskrim 760 5 701 2 1.461 7
2. Polda Aceh 8.003 1.262 8.687 1.433 16.690 2.695
3. Polda Sumut 39.822 1.984 44.747 2.174 84.569 4.158
4. Polda Sumbar 6.355 415 6.512 411 12.867 826
5. Polda Riau 12.794 485 12.973 513 25.767 998
6. Polda Kepri 2.661 181 3.039 294 5.700 475
7. Polda Jambi 4.350 229 4.989 318 9.339 547
8. Polda Sumsel 12.123 705 11.804 605 23.927 1.310
9. Polda Bengkulu 2.945 46 3.376 94 6.321 140
10. Polda Kep. Babel 1.579 94 1.890 43 3.469 137
11. Polda Lampung 9.363 338 11.241 490 20.604 828
12. Polda Banten 4.411 511 4.701 312 9.112 823
13. Polda Metro Jaya 25.663 369 30.827 569 56.490 938
14. Polda Jabar 23.106 1.429 26.095 1.240 49.201 2.669
15. Polda Jateng 9.391 282 10.118 861 19.509 1.143
16. Polda Jatim 29.819 1.479 36.028 2.512 65.847 3.991
17. Polda DIY 5.276 930 6.026 863 11.302 1.793
18. Polda Bali 2.982 356 4.143 538 7.125 894
19. Polda NTB 5.175 509 4.889 625 10.064 1.134
20. Polda NTT 5.692 140 5.832 152 11.524 292
21. Polda Kalbar 3.611 44 3.564 49 7.175 93

402
Elektronik Manajemen Penyidikan (EMP) Badan Reserse Kriminal
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri), diunduh 25 Januari
2023, pukul 17.50 WIB.

124 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Satker/ Tahun 2021 Tahun 2022 Total
No.
Polda LP RJ LP RJ LP RJ
22. Polda Kaltara 1.021 83 1.218 124 2.239 207
23. Polda Kalteng 2.626 79 2.904 100 5.530 179
24. Polda Kalsel 4.526 97 5.158 164 9.684 261
25. Polda Kaltim 3.524 21 4.131 61 7.655 82
26. Polda Sulsel 16.933 1.170 27.224 1.640 44.157 2.810
27. Polda Sulbar 1.626 194 1.667 139 3.293 333
28. Polda Sulut 8.629 370 9.766 508 18.395 878
29. Polda Sulteng 4.638 203 5.418 117 10.056 320
30. Polda Sultra 3.384 315 3.420 231 6.804 546
31. Polda Gorontalo 2.528 211 2.530 182 5.058 393
32. Polda Maluku 2.283 122 2.483 155 4.766 277
33. Polda Malut 1.125 103 1.258 132 2.383 235
34. Polda Papua 3.883 56 6.293 79 10.176 135
35. Polda Pabar 2.453 73 3.957 139 6.410 212
Jumlah 275.060 14.890 319.609 17.869 594.669 32.759
Sumber: EMP Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kepolisian sukses menerapkan restorative justice jika merujuk pada


data-data di atas. Untuk itu, sangat penting juga membahas mengenai
bentuk forum yang dipakai dalam restorative justice serta hambatan atau
kendala yang dihadapi. Hal ini penting sebagai pembelajaran bagi lembaga
penegak hukum lainnya, juga sebagai evaluasi bagi kepolisian sendiri.

1. Bentuk Penerapan Restorative Justice


Bentuk forum program restorative justice tidak sama di setiap negara.
Beberapa bentuk program restorative justice diterapkan di dunia, antara
lain: (1) mediasi korban-pelaku/victim offender mediation (VOM); (2)
konferensi kelompok keluarga/family group conferencing; (3) peace-making,
sentencing and community circles; (4) community board and panels;403 (5) peace

403
Mara Schiff, Models, Challenges and The Promise of Restorative Conferencing
Strategies dalam Restorative Justice and Criminal Justice: Competing or Reconcilable
Paradigms?, (Oregon: Hart Publishing, 2003), hlm. 317.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 125


circles; (6) circle sentencing; (7) house meetings; dan (8) clan meetings.404
Namun, bentuk yang umum dipakai, yaitu mediasi korban-pelaku
(victim-offender mediation), konferensi (conference), dan lingkaran (circles).
Polri sendiri menggunakan bentuk rekonsiliasi-mediasi dalam
menerapkan restorative justice. 405 Hasil yang diharapkan program
restorative justice di kepolisian adalah adanya kesepakatan/mufakat antara
korban dan pelaku serta pihak-pihak yang terkait dalam suatu tindak
pidana, yang berujung berhentinya proses penanganan tindak pidana.406
Artinya, dalam hal para pihak mencapai kesepakatan/mufakat, proses
penyelidikan dan/atau penyidikan dihentikan.
Restorative justice di kepolisian dapat dilaksanakan pada dua tahap,
yaitu sebagai berikut.

a. Tahap Sebelum Laporan Polisi (LP)


Pelaksanaan restorative justice sebelum adanya LP dilakukan terhadap
tindak pidana ringan,407 yaitu diselenggarakan oleh petugas fungsi
Pembinaan Masyarakat (Binmas) dan fungsi Samapta, 408 dan
dilaksanakan terhadap tindak pidana berdasarkan pengaduan sebelum
adanya LP; atau tindak pidana yang ditemukan langsung oleh
kepolisian.409
Uraian Pasal 13 Perpol No. 8 Tahun 2021, bahwa dalam hal terjadi
suatu tindak pidana, pelaksanaan restorative justice diselenggarakan
berdasarkan permohonan dari pelaku, korban, keluarga pelaku,
keluarga korban, atau pihak lain yang terkait.410 Permohonan beserta
surat pernyataan perdamaian dan bukti telah dilakukan pemulihan hak
korban411 diajukan secara tertulis kepada kepala kepolisian resor dan

404
Maureen Maloney, Q.C. From Criminal Justice to Restorative Justice: A Movement
Sweeping The Western Common Law World, (British Columbia: International Centre
for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy, 2006), hlm. 12.
405
Polri, FAQ Restoratif Justice pada Acara Rakernis Fungsi Reskrim Polri T.A. 2022.
406
Ibid.
407
Pasal 2 ayat (4) Perpol No. 8 Tahun 2021.
408
Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 12 Perpol No. 8 Tahun 2021.
409
Pasal 11 Perpol No. 8 Tahun 2021.
410
Pasal 13 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
411
Pasal 13 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021. Dalam hal tidak ada korban,
maka bukti telah dilakukan pemulihan hak korban tidak perlu dilampirkan (Pasal
13 ayat (4) Perpol No. 8 Tahun 2021).

126 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


kepala kepolisian sektor.412 Berdasarkan permohonan tersebut, petugas
Binmas dan Samapta Polri selanjutnya mengundang pihak-pihak yang
berkonflik,413 serta memfasilitasi atau memediasi antarpihak,414 dan
mengundang keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh
agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan
pemulihan kembali pada keadaan semula.
Praktik di lapangan menunjukkan, para pihak yang berkonflik
biasanya dianjurkan untuk menyelesaikan secara mediasi terhadap
sengketa yang terjadi. Proses mediasi dilaksanakan di luar kepolisian,
dan polisi tidak dapat bertindak sebagai fasilitator atau mediator.
Artinya, para pihak mencari mediator atau fasilitator sendiri
untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Dalam hal terjadi
kemufakatan, maka hasil perdamaian dituangkan dalam bentuk tertulis
dan dilampirkan pada surat permohonan penyelesaian perkara melalui
keadilan restoratif.415

b. Tahap Setelah Laporan Polisi (LP)


Pelaksanaan restorative justice dapat dilakukan tiga tahap di kepolisian,
yaitu: (1) sebelum adanya surat pemberitahuan dimulainya penyidikan
(SPDP); (2) setelah pengiriman SPDP; (3) atau setelah berkas perkara
dinyatakan lengkap (P21) oleh penuntut umum, tetapi sebelum
pelimpahan berkas perkara tahap II.
Penyidik dapat melakukan upaya paksa berupa pemanggilan416
terhadap tersangka/saksi/ahli. Pemeriksaan dilakukan oleh penyidik
dan/atau penyidik pembantu terhadap saksi, ahli, dan tersangka
yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan ditandatangani

412
Pasal 13 ayat (1) Perpol No. 8 Tahun 2021.
413
Pasal 14 ayat (1) huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021.
414
Pasal 14 ayat (1) huruf b Perpol No. 8 Tahun 2021.
415
Wawancara dengan Sukardi, anggota kepolisian pada Bareskrim Mabes
Polri, tanggal 29 Agustus 2022.
416
Penyidik juga dapat melakukan upaya paksa lainnya berupa: penahanan;
penggeledahan; penyitaan; dan pemeriksaan surat (Pasal 16 ayat (1) Peraturan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan
Tindak Pidana (Perkap No. 6 Tahun 2019)).

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 127


oleh penyidik dan/atau penyidik pembantu.417 Pemeriksaan tersebut
bertujuan untuk mendapatkan alat bukti.418
Penyidik dapat menerapkan restorative justice selama proses
penyelidikan atau penyidikan. Proses mediasi dilakukan selama
penyidikan, difasilitasi oleh pihak ketiga di luar kepolisian.419 Dalam
hal para pihak sepakat berdamai, maka kesepakatan tersebut harus
dituangkan dalam surat pernyataan damai, dan adanya komitmen dari
pelaku untuk memulihkan hak korban. Surat pernyataan dan komitmen
tersebut dijadikan syarat formil restorative justice untuk diproses dalam
mekanisme penghentian penyidikan.420
Pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, atau pihak lain
yang terkait, setelah adanya kesepakatan perdamaian, mengajukan
surat permohonan penghentian penyelidikan atau penyidikan tindak
pidana. Surat permohonan tersebut diajukan kepada: Kepala Badan
Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim), untuk tingkat Markas Besar Polri
(Mabes); Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), untuk tingkat Kepolisian
Daerah (Polda); atau Kepala Kepolisian Resor (Kapolres), untuk
tingkat Kepolisian Resor (Polres) dan Kepolisian Sektor (Polsek).421
Surat permohonan penghentian penyelidikan atau penyidikan harus
dilengkapi dengan dokumen surat pernyataan perdamaian, serta bukti
telah dilakukan pemulihan hak korban.422
Penyidik selanjutnya melakukan penelitian kelengkapan dokumen
terhadap permohonan penghentian penyelidikan atau penyidikan yang
diajukan, serta melakukan klarifikasi terhadap para pihak.423 Dokumen
yang dimaksud meliputi: surat permohonan penghentian penyelidikan,
surat pernyataan perdamaian, dan bukti telah dilakukan pemulihan hak
korban.424 Dalam hal yang dimohonkan adalah penghentian penyidikan,

417
Pasal 23 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
418
Pasal 23 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
419
Sukardi, Loc. Cit.
420
Pasal 15 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
421
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
422
Pasal 15 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
423
Pasal 16 ayat (1) Perpol No. 8 Tahun 2021.
424
Pasal 15 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021. Berdasarkan Pasal 15 ayat
(4) Perpol No. 8 Tahun 2021, bukti telah dilakukan pemulihan hak korban tidak
diperlukan terhadap tindak pidana narkotika.

128 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


penyidik melakukan pemeriksaan tambahan. 425 Hasil penelitian
kelengkapan dokumen, klarifikasi, maupun pemeriksaan tambahan
harus dituangkan dalam berita acara.
Penyidik mengajukan permohonan persetujuan untuk dilaksanakan
gelar perkara khusus, dalam hal hasil penelitian dokumen, hasil
klarifikasi, dan pemeriksaan tambahan telah memenuhi syarat.426
Gelar perkara khusus tersebut dihadiri oleh penyidik yang menangani,
pengawas penyidik, fungsi pengawas internal dan fungsi hukum, pelapor
dan/atau keluarga pelapor, terlapor dan/atau keluarga terlapor, dan/atau
perwakilan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku
kepentingan.427 Penyidik membuat laporan hasil gelar perkara khusus,428
selanjutnya menerbitkan surat perintah penghentian penyelidikan atau
penyidikan beserta surat ketetapannya dengan alasan demi hukum.429
Penyidik mencatat hasil gelar perkara serta penghentian penyelidikan
atau penyidikan pada buku register restorative justice, dan dihitung
sebagai penyelesaian perkara.430
Selanjutnya, penyidik mengirimkan surat pemberitahuan
penghentian penyelidikan dan penyidikan dengan melampirkan surat
ketetapannya kepada jaksa penuntut umum,431 serta memasukkan data
ke dalam sistem elektronik manajemen penyidikan.432
Hasil akhir pelaksanaan restorative justice di kepolisian adalah berupa
perdamaian dan pemenuhan hak korban. Pemenuhan hak korban dapat
berupa: pengembalian barang, mengganti kerugian, mengganti biaya
yang timbul akibat tindak pidana, dan mengganti kerusakan akibat
tindak pidana.433 Dalam perkara tindak pidana informasi dan transaksi
elektronik, pelaku juga dibebani dengan kewajiban menghapus konten
yang telah diunggah, membuat permintaan maaf secara publik melalui

425
Pasal 16 ayat (2) huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021.
426
Pasal 16 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
427
Pasal 17 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
428
Pasal 16 ayat (1) huruf d Perpol No. 8 Tahun 2021.
429
Pasal 16 ayat (1) dan (2) huruf e Perpol No. 8 Tahun 2021.
430
Pasal 16 ayat (1) huruf f jo. Pasal 16 ayat (2) huruf f Perpol No. 8 Tahun 2021.
431
Pasal 16 ayat (2) huruf g Perpol No. 8 Tahun 2021.
432
Pasal 16 ayat (1) huruf g jo. Pasal 16 ayat (2) huruf h Perpol No. 8 Tahun 2021.
433
Pasal 6 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 129


video, serta bersedia bekerja sama dengan dengan penyidik untuk proses
penyelidikan lebih lanjut.434
Berdasarkan Pasal 18 Perpol No. 8 Tahun 2021, dalam hal tindak
pidana berhasil diselesaikan melalui restorative justice, dan selama proses
penyelidikan atau penyidikan telah dilakukan upaya paksa berupa
penyitaan barang/benda, maka setelah surat ketetapan penghentian
dikeluarkan, agar segera mengembalikan barang/benda sitaan kepada
yang paling berhak.435 Dalam hal barang atau benda yang disita berupa
narkoba atau barang-barang berbahaya, segera dimusnahkan.436
Demikian juga apabila pelaku tindak pidana ditangkap atau ditahan, agar
segera dibebaskan.437 Pembebasan terhadap pelaku/tersangka tindak
pidana narkoba dilaksanakan dengan melampirkan rekomendasi hasil
asesmen dari tim asesmen terpadu.438 Pengembalian dan pemusnahan
barang/benda sitaan serta pembebasan pelaku/tersangka, dibuatkan
surat perintah dan berita acara.439
Pelaksanaan restorative justice di kepolisian tetap dilengkapi dengan
sistem pengawasan. Terhadap penyelesaian tindak pidana ringan, oleh
fungsi Binmas dan Samapta Polri, pengawasannya dilaksanakan melalui
supervisi atau asistensi.440 Pengawasan dimaksud dilakukan oleh:441
1) Kepala Korps Pembinaan Masyarakat Badan Pemelihara Keamanan
Polri;
2) Kepala Korps Samapta Bhayangkara Badan Pemelihara Keamanan Polri;
3) Direktur Pembinaan Masyarakat Kepolisian Daerah;
4) Direktur Samapta Bhayangkara Kepolisian Daerah; dan
5) Kapolres pada tingkat Kepolisian Resor dan Sektor.

Pengawasan pelaksanaan restorative justice terhadap tindak pidana


ringan juga dilaksanakan dengan melibatkan: Divisi Profesi dan
Pengamanan Polri, pada tingkat Markas Besar Polri; Bidang Profesi dan

434
Pasal 8 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
435
Pasal 18 ayat (1) huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021.
436
Pasal 18 ayat (1) huruf b Perpol No. 8 Tahun 2021.
437
Pasal 18 ayat (1) huruf c Perpol No. 8 Tahun 2021.
438
Pasal 18 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
439
Pasal 18 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
440
Pasal 19 ayat (1) Perpol No. 8 Tahun 2021.
441
Pasal 19 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.

130 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Pengamanan Kepolisian Daerah, pada tingkat Kepolisian Daerah; serta
Seksi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Resor, pada tingkat Resor dan
Sektor.442 Berdasarkan Pasal 20 Perpol No. 8 Tahun 2021, pengawasan
pelaksanaan restorative justice pada tahap penghentian penyelidikan
atau penyidikan dilakukan melalui gelar perkara khusus. Pengawasan
tersebut dilakukan oleh Biro Pengawas Penyidikan Badan Reserse
Kriminal Polri, pada tingkat Markas Besar Polri; Bagian Pengawasan
Penyidikan, pada tingkat Kepolisian Daerah; dan Kasat Reskrim pada
tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor.

2. Hambatan dan Kendala Penerapan Restorative Juctice


Dalam pelaksanaannya di Polri, terdapat tiga jenis hambatan dan kendala
dalam penerapannya, yaitu hambatan instrumental, institusional,
maupun adanya kebutuhan koordinasi regulasi dan implementasi.

a. Hambatan Instrumental
Hambatan instrumental yang dimaksud adalah dari sisi peraturan perundang-
undangan yang mengatur restorative justice di Indonesia, terutama pelaksanaan
di kepolisian. Hasil penelitian menemukan tiga hambatan instrumental
penerapan restorative justice di Indonesia, yaitu sebagai berikut.

1) Pengaturan dan Penerapan


Tidak adanya undang-undang yang secara tegas mengatur kriteria maupun
tata cara pelaksanaan restorative justice. Peraturan yang mengatur restorative
justice di Indonesia terdapat dalam peraturan teknis yang diterbitkan
masing-masing oleh lembaga penegak hukum. Ketiga peraturan tersebut,
memiliki permasalahan dari segi substansi pengaturan restorative justice
yang tidak konsisten, tidak ada standar yang sama.
Terdapat perbedaan jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan
melalui restorative justice. Tindak pidana narkotika, misalnya, Perja No. 15
Tahun 2020 mengatur tidak dapat diselesaikan melalui restorative justice.
Namun, Perpol No. 8 Tahun 2021 dan SK Dirjen Badilum No: 1691/
DJU/SK/PS.00/12/2020 memasukkannya sebagai salah satu yang dapat
diselesaikan melalui restorative justice dengan syarat tertentu. Pengaturan

442
Pasal 19 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 131


yang berbeda tersebut berdampak pada tidak adanya kepastian hukum.
Perbedaan pengaturannya dapat dijelaskan melalui tabel berikut.
Tabel 4.2 Data Kriteria dan Jenis Tindak Pidana Restorative Justice
SK DIRJEN BADILUM NO
PERPOL NO. 8/2021 PERJA NO. 15/ 2020
1691/DJU/SK/PS.00/12/2020
Bukan residivis Bukan residivis Bukan residivis
1. TP yang tidak 1. TP yang diancam pidana 1. TP ringan:
menimbulkan denda atau pidana - Pencurian
keresahan dan/atau penjara maksimal lima - Penipuan
penolakan masyarakat. tahun. - Penggelapan
2. Tidak berdampak 2. TP terhadap barang - Perbuatan curang
konflik sosial. atau benda yang nilai - Perusakan barang
3. Tidak berpotensi kerugian di bawah - Penadahan
memecah belah bangsa. Rp2.500.000,00 yang diancam
4. Tidak bersifat - Jangka waktu: pidana maksimal
radikalisme dan paling lama 14 hari Rp2.500.000,00
separatisme. setelah Tahap II 2. TP perempuan
5. TP ITE: Menyebarkan dari penyidik. berhadapan dengan
konten ilegal. hukum.
6. TP Narkotika: Pecandu 3. TP terkait anak.
dan penyalahguna yang 4. TP Narkotika
meminta rehabilitasi; - pecandu,
Narkoba pemakaian - penyalahguna,
satu hari. - korban
7. TP lalu lintas: penyalahgunaan,
mengakibatkan luka - ketergantungan
ringan pada korban; narkotika, dan
korban mengalami - narkotika pemakaian
kerugian harta benda. satu hari.
Pengecualian: Pengecualian: - Jangka waktu:
1. TP terorisme; 1. TP terhadap Keamanan 1. Acara pemeriksaan
2. TP terhadap keamanan negara, TP terhadap cepat;
negara; martabat presiden dan 2. Hakim tunggal.
3. TP korupsi; wapres, TP terhadap
4. TP terhadap nyawa; negara sahabat, kepala
5. TP pengedar dan/atau dan wakil negara
bandar narkoba. sahabat, TP terhadap
ketertiban umum dan
TP kesusilaan;
2. TP yang diancam
dengan ancaman
pidana minimal;
3. TP narkotika;
4. TP lingkungan hidup;
5. TP yang yang dilakukan
korporasi.

132 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Berdasarkan data pada tabel tersebut, pengaturan baik di kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan, sama-sama mengatur bahwa pelaku yang
merupakan residivis tidak dapat mengikuti program restorative justice. Setelah
disahkannya KUHP yang baru, makna residivis telah mengalami perubahan.
KUHP saat ini mengenal konsep residivis khusus, yaitu terhadap kejahatan
yang sama atau kejahatan dalam kelompok yang sama. Sementara itu,
KUHP baru, residivis dimaknai menjadi residivis umum, yaitu tidak
berdasarkan kelompok tindak pidana, melainkan semua tindak pidana.
Kriteria dan jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui
restorative justice, diatur secara berbeda dalam Perpol, Perja, maupun SK
Dirjen Badilum di atas. Terhadap tindak pidana ringan, di kepolisian
tidak diatur secara spesifik, baik jenis tindak pidana maupun dari segi
ancaman hukuman. Hal ini berbeda pada pengadilan yang mengatur
secara rinci tindak pidana ringan yang dapat diselesaikan melalui
mekanisme restorative justice.
Pada kepolisian mengatur syarat khusus terhadap tindak pidana
ITE yang dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative justice,
sedangkan pada kejaksaan dan pengadilan tidak diatur. Demikian juga
pada kejaksaan dan pengadilan hanya berlaku terhadap tindak pidana
ringan, sedangkan di kepolisian, restorative justice diberlakukan terhadap
tindak pidana ringan dan tindak pidana pada tahap penyelidikan maupun
penyidikan, yang memenuhi syarat tertentu.
Ketiga peraturan tersebut juga sangat terbatas, tidak memasukkan
tindak pidana perdagangan orang sebagai jenis tindak pidana yang
dapat diselesaikan melalui restorative justice. Padahal, berdasarkan
Pasal 48 sampai dengan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU
PTPPO), peluang penerapan restorative justice sangat besar. Pasal 48
ayat (1) UU PTPPO mengatur bahwa setiap korban tindak pidana
perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.
Restitusi tersebut berupa ganti kerugian atas: (a) kehilangan kekayaan
atau penghasilan; (b) penderitaan; (c) biaya untuk tindakan perawatan
medis dan/atau psikologis; dan/atau (d) kerugian lain yang diderita
korban sebagai akibat perdagangan orang.443

443
Pasal 48 ayat (2) UU PTPPO.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 133


2) Penghentian Penyidikan Dianggap Bertentangan dengan Undang-Undang
Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Perpol No. 8 Tahun 2021, penanganan
tindak pidana berdasarkan restorative justice dapat dilakukan penghentian
penyelidikan atau penyidikan dengan alasan demi hukum,444 dan
dihitung sebagai penyelesaian perkara.445
Undang-Undang tentang Kepolisian dan KUHAP memberi
kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penghentian penyidikan.
Namun demikian, penghentian penyidikan tersebut harus memenuhi
syarat yang diatur dalam KUHAP. Pasal 109 ayat (2) KUHAP mengatur
bahwa ada tiga alasan sebagai dasar dilakukan penghentian penyidikan,
yaitu tidak cukup bukti, peristiwa tersebut bukan tindak pidana, dan
demi hukum.
Pertama, tidak cukup bukti, artinya penyidik tidak memiliki dua
alat bukti yang sah dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Penjelasan lebih lanjut terkait alasan tidak cukupnya alat bukti dapat
merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
serta Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang
Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan yang menjelaskan
bahwa alat bukti yang cukup adalah sekurang-kurangnya penyidik telah
memiliki dua alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP.
Kedua, peristiwa tersebut bukan tindak pidana, artinya apabila
dari hasil penyelidikan dan pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa
tindakan yang disangkakan terhadap tersangka ternyata bukan tindak
pidana seperti yang diatur dalam KUHP, melainkan peristiwa perdata
atau administrasi. Penyidik dalam menentukan sebuah peristiwa
merupakan tindak pidana atau bukan, harus berpegang pada unsur
delik dari tindak pidana yang disangkakan.
Ketiga, penghentian penyidikan juga dapat dilakukan dengan
alasan demi hukum. Pada dasarnya tidak ada penjelasan lebih lanjut
dalam KUHAP terkait alasan penghentian penyidikan karena demi
hukum. Namun demikian, banyak ahli hukum pidana berpendapat
bahwa penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum merujuk

444
Pasal 16 ayat (1) huruf e dan Pasal 16 ayat (2) huruf e Perpol No. 8 Tahun
2021.
445
Pasal 16 ayat (1) huruf f Perpol No. 8 Tahun 2021.

134 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pada Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 KUHP. Pasal-pasal tersebut pada
intinya mengatur tentang alasan hapusnya kewenangan menuntut dan
menjalankan pidana.
Terdapat tiga alasan yang menjadi dasar dihapusnya kewenangan
menuntut (demi hukum), yaitu nebis in idem, tersangka meninggal
dunia, dan kedaluwarsa. Pertama, ne bis in idem, artinya orang tidak boleh
dituntut sekali lagi karena perbuatan (peristiwa) yang baginya telah
diputuskan oleh hakim.446 Hal ini berarti seseorang tidak dapat dituntut
lebih dari satu kali di depan pengadilan dalam perkara yang sama.447
Pada hakikatnya, asas ini berkaitan secara langsung dengan finalisasi
putusan, kepastian hukum, sekaligus keterikatan hakim pada putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap.448 Dalam hukum pidana, asas ne
bis in idem diatur melalui Pasal 76 ayat (1) KUHP yang mengatur:
“Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang
tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim
Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang
menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim
pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai
pengadilan-pengadilan tersebut.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 76 ayat (1) KUHP di atas, M. Yahya
Harahap berpendapat bahwa unsur ne bis in idem baru dapat dianggap
melekat pada suatu perkara apabila memenuhi dua syarat:449 (1)
perkaranya telah diputus dan diadili dengan putusan positif, yakni
tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa telah diperiksa materi
perkaranya di sidang pengadilan, kemudian atas hasil pemeriksaan
hakim telah dijatuhkan putusan; serta (2) putusan yang dijatuhkan
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

446
R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1980), hlm. 90.
447
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S Hiariej, Dasar-dasar Ilmu Hukum:
Memahami Kaidah, Teori, Asas dan Filsafat Hukum, (Indonesia: Red & White Publishing,
2021), hlm. 149.
448
Ilhamdi Putra dan Khairul Fahmi, Karakteristik Ne Bis In Idem dan
Unsurnya dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 18,
No. 2, Juni 2021, hlm. 350.
449
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, Edisi ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 450.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 135


Kedua, tersangka meninggal dunia. Pasal 77 KUHP mengatur
bahwa kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal
dunia, dan dalam hal penghentian penyidikan dilakukan dengan alasan
demi hukum. Sebab, dalam hukum pidana, pertanggungjawaban hanya
dilekatkan pada pelaku, tidak dibebankan kepada ahli waris.
Ketiga, kedaluwarsa. Pasal 78 ayat (1) KUHP mengatur empat
syarat hapusnya kewenangan penuntutan dengan alasan kedaluwarsa:
(1) mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan sesudah satu tahun; (2) mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama
tiga tahun, sesudah enam tahun; (3) mengenai kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah 12 tahun; serta
(4) mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, sesudah 18 tahun. Dalam hal orang yang pada saat
melakukan perbuatan umurnya belum 18 tahun, masing-masing tenggang
kedaluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga (Pasal 78 ayat (2) KUHP).
Berdasarkan uraian alasan demi hukum di atas, terjadi perdebatan
pendapat mengenai kewenangan penyidik melakukan penghentian
penyidikan berdasarkan restorative justice dengan alasan demi
hukum. Sukardi menjelaskan, bahwa restorative justice tidak mutlak
menghentikan penyidikan. Penghentian suatu perkara dengan alasan
demi hukum, seharusnya merupakan wewenang pengadilan.450 Ada
juga yang berpendapat bahwa penghentian suatu perkara pidana dengan
alasan demi hukum merupakan kewenangan jaksa sebagai penuntut
umum. Dengan demikian, berkas perkara yang sudah masuk tahap
penyidikan, walaupun telah terjadi perdamaian, berkas perkara tetap
harus dilimpahkan ke penuntut umum, dan penuntut umum yang
menentukan untuk menghentikan penuntutan demi hukum.
Para penyidik kepolisian juga tidak memiliki pendapat yang
seragam terkait penghentian penyidikan melalui restorative justice. Hal
ini tergambar dalam hasil survei terhadap 343 responden penyidik
kepolisian, dengan menanyakan: “Pernahkah Saudara melanjutkan
perkara tindak pidana yang telah dihentikan karena restorative justice
berdasarkan Perpol No. 8 Tahun 2021 ke Jaksa Penuntut Umum?”

450
Sukardi, Loc. Cit.

136 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Sebanyak 96,2% menjawab bahwa tidak melanjutkan perkara tindak
pidana yang telah dihentikan ke kejaksaan. Namun, terdapat 3,8%
responden berpendapat akan tetap melanjutkan ke kejaksaan walaupun
perkara tersebut telah dihentikan karena restorative justice. Hasil survei
tersebut dapat digambarkan pada pertanyaan ke-10, sebagai berikut.

96,2%

Gambar 4.4 Survei Kepolisian Q-10

3) Pengaturan Apabila Tidak Terjadi Kesepakatan


Perpol No. 8 Tahun 2021 tidak mengatur sanksi maupun tindak
lanjut dalam hal pelaku atau korban tidak menjalankan kesepakatan
perdamaian. Perpol ini mengatur bahwa pelaksanaan restorative justice
harus memenuhi syarat formil (Pasal 4). Sementara itu, Pasal 6 ayat
(2), syarat formil yang dimaksud adalah perdamaian dari kedua belah
pihak; dan pemenuhan hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku,
kecuali untuk tindak pidana narkotika.
Pasal 6 ayat (2) di atas mengandung makna bahwa sebelum perkara
tindak pidana diselesaikan melalui mekanisme restorative justice atau
sebelum perkara pidana dibawa ke forum gelar perkara khusus, para
pihak harus membuktikan terlebih dahulu bahwa telah ada kesepakatan
perdamaian, dan hak-hak korban telah dipulihkan.
Dalam praktiknya, ternyata tidak semua penyelesaian perkara
tindak pidana melalui restorative justice didahului dengan pemenuhan
hak-hak korban dan tanggung jawab pelaku. Hal ini terlihat pada
pertanyaan ke-7 hasil survei, sebagai berikut.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 137


97,7%

Gambar 4.5 Survei Kepolisian Q-7

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa tidak semua penyidik


sepakat hak korban harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum perkara
tindak pidana diselesaikan melalui restorative justice. Mayoritas penyidik
(97,7%) berpendapat bahwa hak harus terpenuhi terlebih dahulu
sebelum restorative justice diterapkan. Meski demikian, sebanyak 2,3%
penyidik menjawab, walaupun hak korban belum terpenuhi, mekanisme
restorative justice tetap dapat dilaksanakan.
Pelaksanaan pemulihan hak korban yang dilakukan setelah adanya
restorative justice, akan berdampak pada pengawasan pelaksanaan hasil
kesepakatan. Kepolisian tidak punya wewenang untuk mengawasi
pelaksanaan hasil kesepakatan. Hasil survei menunjukkan bahwa
terdapat 6,1% penyidik pernah menangani para pihak yang menggugat
kembali perkaranya yang telah diselesaikan melalui mekanisme restorative
justice. Artinya, sangat besar kemungkinan para pihak mengingkari hasil
kesepakatan. Padahal, salah satu klausul surat pernyataan yang menjadi
lampiran Perpol No. 8 Tahun 2021, menyatakan bahwa para pihak
sepakat untuk tidak saling menuntut secara hukum di kemudian hari.
Dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan hasil kesepakatan
perdamaian setelah terjadinya restorative justice, pihak yang merasa
dirugikan mengajukan gugatan kembali. Hal tersebut ditanggapi secara
berbeda oleh penyidik. Hasil survei menunjukkan, sebanyak 93,9%
penyidik berpendapat bahwa tidak membuka kembali penanganan
perkara tindak pidana yang sudah dihentikan karena restorative justice,

138 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


sedangkan 6,1% berpendapat penanganan perkara tindak pidananya
dibuka kembali. Hal tersebut digambarkan pada hasil survei pertanyaan
ke-8, sebagai berikut.

93,9%

Gambar 4.6 Survei Kepolisian Q-8

b. Hambatan Institusional
Pelaksanaan restorative justice di kepolisian ternyata juga memiliki
hambatan secara institusional. Temuan hambatan institusional dapat
dijelaskan sebagai berikut.

1) Restorative Justice Rentan Disalahgunakan


Penerapan restorative justice di Bali berujung pada pemeriksaan oknum
Penyidik Satuan Reserse Narkoba (Satresnarkoba) Polres Badung yang
diperiksa Bidpropam Polda Bali karena menghentikan penyidikan
terhadap dua tersangka narkotika jenis ganja.451 Oknum penyidik
tersebut diperiksa karena diduga melakukan transaksi ilegal agar tindak
pidana narkotika tersebut “diamankan” untuk diselesaikan melalui
restorative justice.
Kekhawatiran akan terjadinya transaksi ilegal dalam restorative justice
juga pernah disampaikan Komisi III DPR RI melakukan rapat dengan
Kapolri. Dalam rapat tersebut, Kapolri menjanjikan untuk menerbitkan

https://denpasar.kompas.com/read/2022/04/14/181901678/terapkan-
451

restorative-justice-untuk-2-tersangka-narkotika-penyidik-diperiksa, diakses
tanggal 5 September 2022.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 139


Standard Operating Procedure (SOP) dalam menerapkan restorative justice
untuk mencegah adanya oknum penyidik yang menyalahgunakan
wewenang.452

2) Pemahaman Penyidik yang Tidak Sama Terkait Jenis Tindak Pidana yang
Dapat Diselesaikan Melalui Restorative Justice
Salah satu contoh kasus terkait tidak meratanya pemahaman ini, terjadi
pemeriksaan terhadap penyidik Polres Serang Kota karena menerapkan
restorative justice terhadap kasus pemerkosaan.453 Dalam kasus tersebut,
kepolisian melakukan penghentian penyidikan dan membebaskan
tersangka tindak pidana pemerkosaan. Perlu diketahui, Perpol No. 8
Tahun 2021 tidak mengecualikan tindak pidana pemerkosaan atau tidak
pidana kesusilaan dalam jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan
melalui restorative justice. Pengecualian terhadap tindak pidana kesusilaan
hanya terdapat dalam Pasal 5 ayat (8) huruf a Perja No. 15 Tahun
2020. Namun, karena adanya pengaduan dari Kompolnas, Polda
Banten melakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang melakukan
penghentian terhadap tindak pidana pemerkosaan melalui restorative
justice.454
Hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Kajian dan Advokasi
Independensi Peradilan (LeIP), Institut for Criminal Justice Reform (ICJR),
dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) pada tahun
2019 menunjukkan walaupun sudah ada surat edaran Kapolri, masih
ada penyidik yang tidak mengetahui indikator tindak pidana apa saja
yang dapat diselesaikan melalui restorative justice, selain kasus anak.455
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa dalam proses penyidikan,
penyidik hanya sebatas menggali fakta dan membuktikan perbuatan
tindak pidana, bukan untuk mendorong korban bisa menuntut ganti
kerugian,456 karena mengalami kesulitan untuk menghitung atau

452
https://news.detik.com/berita/d-5912426/kapolri-ingatkan-anggota-
restorative-justice-tak-jadi-ajang-transaksional, diakses tanggal 5 September 2022.
453
https://banpos.co/2022/01/24/penyidik-polres-serang-kota-diperiksa-
karena-beri-resto-rative-justice-pada-kasus-pemerkosaan/, diakses tanggal 5
September 2022.
454
www.banpos.co, Ibid.
455
LeIP, dkk., Laporan Penelitian Keadilan Restoratif Wilayah Aceh, Nusa
Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan, Oktober 2019, hlm. 20.
456
Ibid.

140 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


menafsir kompensasi kerugian fisik.457 Di kalangan penyidik juga
terdapat asumsi bahwa penilaian kerugian korban bukan bagian
dari pekerjaan penyidik dalam pemeriksaan perkara.458 Penyidik juga
menyatakan bahwa penilaian lebih lanjut tentang kerugian korban baru
akan diperiksa jika ada klaim dari pelapor atau pihak korban, hal ini
dikarenakan tidak adanya SOP yang jelas tentang pentingnya melakukan
penilaian kerugian terhadap korban.459
Pemahaman yang tidak sama terhadap alasan penghentian
penyidikan karena restorative justice yang diatur dalam Perpol No. 8
Tahun 2021 juga terlihat dalam hasil survei terhadap responden penyidik
Polri, sebagaimana tergambar dalam pertanyaan ke-6, sebagai berikut.

87,8%

12,2%

Gambar 4.7 Survei Kepolisian Q-6

Berdasarkan gambar di atas, masih banyak penyidik yang kurang


mengetahui alasan digunakan melakukan penghentian penyidikan.
Sebanyak 12,2% berpendapat melakukan penghentian penyidikan
berdasarkan restorative justice dengan alasan ‘tidak cukup bukti’. Padahal,
Pasal 2 ayat (5) Perpol No. 8 Tahun 2021 mengatur bahwa penanganan
tindak pidana berdasarkan restorative justice dapat dilakukan penghentian
penyelidikan atau penyidikan dengan alasan ‘demi hukum’.

457
Ibid.
458
Ibid.
459
Ibid.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 141


Pemahaman yang tidak merata juga terjadi pada perlakuan status
perkara tindak pidana setelah dihentikan melalui restorative justice. Hasil
survei menunjukkan bahwa terdapat 96,2% penyidik berpendapat
tidak melanjutkan perkara tindak pidana ke kejaksaan, sedangkan 3,8%
tetap melanjutkan perkara ke kejaksaan walaupun sudah dihentikan
berdasarkan restorative justice pada tingkat penyidikan. Terdapat penyidik
yang berbeda pendapat terhadap penghentian penyidikan berdasarkan
restorative justice. Menurut penyidik tersebut, surat perintah penghentian
penyidikan (SP3) berdasarkan restorative justice tetap terbuka peluang
untuk diajukan upaya hukum ke pengadilan. Berdasarkan hal itu,
penyidik Polresta Yogyakarta tersebut berpendapat bahwa kesepakatan
berdasarkan restorative justice sebaiknya tetap dibawa ke pengadilan,
sebagaimana pengaturan diversi dalam Undang-Undang SPPA.460

3) Kesiapan Infrastruktur
Penerapan restorative justice membutuhkan fasilitator yang terlatih. Pada
praktik restorative justice pada tingkat penyidikan, tidak ada pendidikan
atau pelatihan khusus terhadap mediator penal atau fasilitator restorative
justice. Selain itu, tantangan yang tidak kalah penting adalah ketersediaan
sumber daya manusia di kepolisian dalam hal membentuk unit khusus
untuk menyelesaikan tindak pidana melalui mekanisme restorative justice.

c. Kebutuhan Koordinasi Regulasi dan Implementasi


Polri telah menerapkan restorative justice dalam banyak perkara tindak
pidana sejak diterbitkannya Perpol No. 8 Tahun 2021. Meski demikian,
ditemukan inkonsistensi antara pengaturannya dengan penerapannya
di lapangan. Hal ini tergambar jelas melalui data hasil survei terhadap
responden penyidik polri, sebagaimana dijelaskan berikut.
1) Restorative justice menghentikan perkara. Pasal 2 ayat (5) Perpol
No. 8 Tahun 2021, mengatur bahwa penanganan tindak pidana
berdasarkan restorative justice dapat dilakukan penghentian
penyelidikan atau penyidikan. Hasil survei menunjukkan, sebanyak
3,8% tetap melanjutkan perkara tindak pidana yang telah dihentikan
karena restorative justice ke kejaksaan.

460
Focus Group Discussion di Yogyakarta tanggal 8 Agustus 2022.

142 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


2) Pemenuhan syarat formil untuk SP3. Pasal 15 ayat (3) Perpol
No. 8 Tahun 2021, mengatur bahwa penghentian penyelidikan
atau penyidikan berdasarkan restorative justice dilakukan dengan
mengajukan surat permohonan tertulis yang dibuat oleh pelaku,
korban, keluarga pelaku, keluarga korban, atau pihak lain yang
terkait dan ditujukan kepada kepolisian. Surat permohonan tersebut
dilengkapi dengan surat pernyataan perdamaian dan bukti telah
dilakukan pemulihan hak korban. Hasil survei menunjukkan,
sebanyak 2,3% melakukan penghentian penyelidikan atau
penyidikan berdasarkan restorative justice walaupun belum ada bukti
telah dilakukan pemulihan hak korban.
3) Pasal 16 ayat (1) huruf e dan ayat (2) huruf e Perpol No. 8 Tahun
2021, mengatur bahwa penghentian penyelidikan atau penyidikan
berdasarkan restorative justice dilakukan dengan alasan ‘demi
hukum’. Hasil survei menunjukkan bahwa tidak semua penyidik
memahami pengaturan tersebut. Sebanyak 12,2% menjawab bahwa
penghentian penyelidikan atau penyidikan dilakukan dengan
alasan ‘tidak cukup bukti’. Mayoritas responden sebanyak 87,8%
berpendapat dengan alasan ‘demi hukum’ karena restorative justice.
4) Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021, mengatur
bahwa restorative justice dilakukan melalui mekanisme gelar perkara
khusus. Namun dalam pelaksanaannya, hasil survei menunjukkan
bahwa 11,7% menjawab tidak melakukan gelar perkara khusus,
sedangkan 88,3% menjawab melakukan restorative justice melalui
gelar perkara khusus. Hal tersebut digambarkan pada hasil survei
pertanyaan ke-5, sebagai berikut.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 143


11,7%

88,3%

Gambar 4.8 Survei Kepolisian Q-5

3. Manfaat Penerapan Restorative Justice


Penyelesaian perkara tindak pidana berdasarkan restorative justice oleh
kepolisian sangat efektif dan efisien, serta sesuai dengan asas peradilan
yang cepat, sederhana, dan biaya ringan. Dalam menerapkan restorative
justice di kepolisian, perkara akan berakhir dengan penghentian
penyidikan dalam hal para pihak mencapai kesepakatan untuk berdamai
disertai dengan pemulihan hak-hak korban. Dengan adanya penghentian
penyidikan, maka perkara tindak pidana tersebut selesai atau berhenti
pada tingkat pemeriksaan di kepolisian, tidak dilanjutkan ke kejaksaan
maupun pengadilan. Artinya, para pihak tidak membutuhkan waktu
yang sangat lama untuk mendapatkan keadilan terhadap perkara yang
dialaminya.
Penyelesaian perkaranya juga dikatakan efektif dan efisien karena
biaya yang dikeluarkan lebih sedikit dibandingkan manfaat yang
diterima lebih besar. Biaya, tidak hanya sekadar diukur dari uang,
melainkan juga dari waktu penanganan perkara. Bentham mengatakan,
keadilan itu dapat diukur ketika hukum membawa manfaat yang besar
bagi sebagian besar orang. Biaya penegakan hukum tidak hanya dilihat
dari anggaran keuangan, tetapi juga dilihat dari jumlah waktu yang
digunakan, serta sumber daya yang dipakai.

144 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


a. Menghemat Anggaran Penegakan Hukum
Anggaran penyelidikan dan penyidikan tetap meningkat dari tahun
ke tahun. Pada tahun 2021, Polri membutuhkan dana sebesar Rp4,52
triliun untuk program penyelidikan dan penyidikan tindak pidana,
sedangkan tahun 2022 anggaran tersebut naik menjadi Rp5,53 triliun.461
Penerapan restorative justice pada tingkat penyelidikan dan penyidikan
di kepolisian akan berdampak positif pada penghematan anggaran
penegakan hukum secara keseluruhan, terutama anggaran penahanan.
Penghematan anggaran negara akan terjadi pada rutan/lapas. Pada
tahun 2021, rutan dan lapas menghabiskan anggaran negara sebanyak
Rp1.125.901.650.883,00 hanya untuk biaya makan warga binaan dengan
jumlah penghuni sebanyak 179.069.462 Hal ini berarti, setiap tahanan
menghabiskan anggaran sebesar Rp6.287.530,00. Dengan demikian,
penyelesaian 14.890 perkara melalui restorative justice di kepolisian pada
tahun tersebut,463 telah berdampak pada penghematan anggaran sebesar
± Rp 93.621.321.700,00 (sembilan puluh tiga miliar enam ratus dua
puluh satu juta tiga ratus dua puluh satu ribu tujuh ratus rupiah).
Tahun 2022, penyelesaian perkara melalui restorative justice di
kepolisian mengalami peningkatan, yaitu sebesar 17.869 perkara.464
Biaya pengadaan makanan setiap satu warga binaan rata-rata sebesar ±
Rp63.177,00/hari, sehingga negara mengalami penghematan anggaran
sebesar ± Rp1.127.014.503,00 sehari.465 Dengan demikian, sepanjang
tahun tersebut, negara mengalami penghematan anggaran sebesar ±
Rp411.360.293.595,00 (empat ratus sebelas miliar tiga ratus enam
puluh juta dua ratus sembilan puluh tiga ribu lima ratus sembilan
puluh lima rupiah).

461
Viva Budy Kusnandar, “Alokasi Anggaran Polri dalam RAPBN 2022 Naik
16,6%”, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/08/18/alokasi-
anggaran-polri-dalam-rapbn-2022-naik-146, diakses tanggal 25 September 2022.
462
Diolah dari http://sdppublik.ditjenpas.go.id/analisis/public/ung/bulanan/
year/2021/monthly/thn?q=ung/-current/monthly/year/2021/month/thn, diakses
tanggal 17 September 2022, jam 16.30 WIB.
463
Elektronik Manajemen Penyidikan (EMP), Loc. Cit.
464
Ibid.
465
Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 60/
PMK.02/2021 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2022, hlm. 88.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 145


Penyelesaian perkara tindak pidana berdasarkan restorative justice
oleh kepolisian sangat efektif dan efisien,466 serta sesuai dengan asas
peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan. Sepanjang Perpol
No. 8 Tahun 2021 diterapkan sampai dengan 31 Desember 2022, Polri
telah berkontribusi dalam penghematan anggaran negara, yaitu biaya
makanan WBP sebesar ± Rp504.981.615.295,00 (lima ratus empat
miliar sembilan ratus delapan puluh satu juta enam ratus lima belas
ribu dua ratus sembilan puluh lima rupiah).

b. Waktu Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lebih Singkat


Dalam hal tersangka atau terdakwa ditahan, maka waktu yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan satu perkara tindak pidana mulai
dari tingkat penyidikan sampai dengan adanya putusan kasasi adalah
± 400 (empat ratus) hari. Berdasarkan penghitungan jangka waktu di
atas, penghentian penyidikan berdasar restorative justice di kepolisian
akan menghemat waktu 340 hari. Selain itu, juga menghemat anggaran
penegakan hukum secara keseluruhan. Meski biaya yang dibutuhkan
cukup kecil, dan waktu yang dibutuhkan juga tidak banyak, manfaat
penerapan restorative justice sangat besar.

c. Mampu Mencegah Penambahan Penghuni Lapas dan Rutan, sehingga


Tidak Memperburuk Kondisi Over Kapasitas
Data Kementerian Hukum dan HAM mencatat bahwa total penghuninya
mencapai 179.069 orang per 31 Desember 2021. Jumlah itu hampir
dua kali lipat dari kapasitasnya sebesar 135.561 orang.467 Dapat dilihat
penurunan jumlah warga binaan pemasyarakatan (WBP) sebanyak
265.648 orang pada tahun 2019 menjadi 249.193 orang pada tahun
2020, dan berkurang kembali pada tahun 2021 menjadi 179.069 orang.468
Namun, pada tahun 2022, jumlahnya mengalami peningkatan, menjadi
275.166 orang.469

Penyelesaian perkara tindak pidana berdasarkan restorative justice di kepolisian


466

dikatakan efektif dan efisien. Biaya tidak hanya sekadar diukur dari uang, melainkan
juga dari segi waktu penanganan perkara. Bentham mengatakan, keadilan itu dapat
diukur ketika hukum membawa manfaat yang besar bagi sebagian besar orang.
467
Data diolah dari SDP Publik Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM.
468
https://ppid.ditjenpas.go.id/, diakses tanggal 3 April 2022, jam 16.30 WIB.
469
Wawancara dengan Yoslan, staf pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menurut Yoslan, data pada https://

146 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Perlu dicatat, restorative justice bukan satu-satunya instrumen
untuk mengurangi over kapasitas, tetapi merupakan salah satu alat.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk mengatasi
over kapasitas, termasuk menerbitkan peraturan teknis mengenai
penerapan restorative justice. Dapat diuraikan sebagai berikut.470
Tabel 4.3 Data Penghuni dan Kapasitas Lapas/Rutan di Indonesia Tahun
2019–2021
Tahun
No. Kanwil Kapasitas
2019 2020 2021
1. Aceh 8.331 8.393 8.674 3.685
2. Bali 3.515 3.279 3.759 1.518
3. Bangka Belitung 2.325 2.230 2.399 1.311
4. Banten 11.199 10.308 10.386 5.197
5. Bengkulu 2.739 2.431 642 1.742
6. D.I. Yogyakarta 1.609 1.506 1.580 2.039
7. DKI Jakarta 18.045 15.377 11.293 5.791
8. Gorontalo 990 999 522 1.078
9. Jambi 4.424 4.397 2.234 2.391
10. Jawa Barat 23.226 21.685 22.748 16.761
11. Jawa Tengah 14.025 13.604 8.472 9.459
12. Jawa Timur 28.777 26.397 4.665 13.246
13. Kalimantan Barat 5.496 5.242 6.151 2.579
14. Kalimantan Selatan 9.459 9.383 9.967 3.657
15. Kalimantan Tengah 4.346 4.220 4.675 2.271
16. Kalimantan Timur 12.507 12.014 12.739 3.586
17. Kepulauan Riau 4.607 4.555 4.803 2.733
18. Lampung 9.203 8.039 1.117 5.348
19. Maluku 1.466 1.501 1.345 1.409
20. Maluku Utara 1.216 1.141 1.154 1.417
21. Nusa Tenggara Barat 2.913 3.079 2.466 1.929
22. Nusa Tenggara Timur 3.312 2.882 348 2.903

ppid.ditjenpas.go.id/ selalu berubah setiap saat, sehingga pasti ada perbedaan dan
perkembangan data, 30 Januari 2023.
470
Ibid.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 147


Tahun
No. Kanwil Kapasitas
2019 2020 2021
23. Papua 2.595 2.273 0 2.267
24. Papua Barat 1.094 1.067 931 980
25. Riau 12.394 12.816 7.244 4.455
26. Sulawesi Barat 840 1.146 1.173 1.022
27. Sulawesi Selatan 11.237 10.471 9.297 6.109
28. Sulawesi Tengah 3.416 3.348 1.695 1.711
29. Sulawesi Tenggara 2.782 2.280 164 2.146
30. Sulawesi Utara 2.644 2.319 1.599 2.145
31. Sumatera Barat 5.840 5.828 4.247 3.217
32. Sumatera Selatan 14.253 13.997 8.624 6.605
33. Sumatera Utara 34.823 30.932 21.956 12.854
Jumlah 265.648 249.139 179.069 135.561
Sumber: SDP Publik Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM Tahun 2022

Sejak Perpol No. 8 Tahun 2021 terbit sampai dengan 31 Desember


2022, Polri telah menyelesaikan penanganan sebanyak 32.759 perkara
melalui restorative justice, baik tingkat penyelidikan maupun penyidikan.
Dengan demikian, Polri telah berkontribusi dalam pencegahan
penambahan warga binaan sebanyak 32.759 orang.

d. Membantu Meningkatkan Kinerja Polri Secara Keseluruhan


Sejak Perpol No. 8 Tahun 2021, Polri telah menyelesaikan penanganan
sebanyak 32.759 perkara melalui restorative justice, baik tingkat
penyelidikan maupun penyidikan, yang berasal dari 594.669 Laporan
Polisi. Hal ini berarti, dalam kurun waktu tersebut Polri telah berhasil
menyelesaikan 5,5% dari seluruh Laporan Polisi melalui restorative justice,
sehingga tingkat penyelesaian perkara meningkat drastis dari 6,1%
menjadi 65,7%. Begitu juga dengan jumlah kejahatan yang dilaporkan
mengalami penurunan sebesar 19,3% atau 53.360 perkara.471

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Rapat Kerja Komisi III


471

DPR RI dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia”, https://www.dpr.go.id/


dokakd/dokumen/K3-14-b15dc14b1804cfa1de2ebe345d031412.pdf, diakses
tanggal 25 September 2022.

148 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


B. Penerapan Konsepsi Restorative Justice pada Instansi di
Luar Kepolisian
1. Penerapan Restorative Justice di Kejaksaan
Penerapan restorative justice di kejaksaan diselenggarakan berdasarkan
Perja No. 15 Tahun 2020. Berdasarkan Pasal 3 ayat (4), penyelesaian
perkara di luar pengadilan dengan menggunakan pendekatan restorative
justice menghentikan penuntutan, dengan alasan demi kepentingan
hukum,472 dan dilakukan dengan ketentuan: (a) terhadap tindak pidana
tertentu, maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau (b) telah ada
pemulihan kembali keadaan semula dengan menggunakan pendekatan
keadilan restoratif.473
Restorative justice di kejaksaan diselenggarakan dengan menggunakan
mekanisme perdamaian,474 yang dilakukan tanpa tekanan, paksaan,
dan intimidasi.475 Upaya perdamaian tersebut dilakukan pada tahap
penuntutan, yaitu pada saat penyerahan tanggung jawab atas tersangka
dan barang bukti (tahap dua).476 Proses perdamaian dimulai dengan
melakukan pemanggilan terhadap korban secara sah dan patut serta
menyebutkan alasan pemanggilan. Dalam hal dianggap perlu upaya
perdamaian dapat melibatkan keluarga korban/tersangka, tokoh atau
perwakilan masyarakat, dan pihak lain yang terkait. Penuntut umum
menawarkan upaya perdamaian kepada para pihak setelah mereka hadir
di kantor kejaksaan, dan memberitahukan hak serta kewajiban korban
dan tersangka dalam upaya perdamaian, termasuk hak untuk menolak
upaya perdamaian.477
Proses mediasi akan dilanjutkan apabila upaya perdamaian yang
ditawarkan kejaksaan diterima oleh korban dan tersangka. Penuntut
umum bertindak sebagai mediator. Setelah upaya perdamaian diterima
oleh korban dan tersangka, penuntut umum membuat laporan
kepada Kajari atau Kacabjari untuk diteruskan kepada Kajati. Dalam

472
Pasal 3 ayat (1) Perja No. 15 Tahun 2020.
473
Pasal 3 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.
474
Pasal 7 ayat (1) Perja No. 15 Tahun 2020.
475
Pasal 7 ayat (2) Perja No. 15 Tahun 2020.
476
Pasal 7 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.
477
Pasal 8 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 149


perkara tertentu yang mendapat perhatian khusus dari pimpinan dan
masyarakat, laporan tersebut juga disampaikan kepada Jaksa Agung
secara berjenjang. Penghentian penuntutan berdasarkan restorative
justice dilakukan oleh penuntut umum secara bertanggung jawab
dan berjenjang kepada Kajati. Namun dalam praktiknya, persetujuan
penghentian penuntutan karena adanya restorative justice harus diberikan
oleh Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Umum (Jampidum).
Jaksa Agung S.T. Burhanuddin menjelaskan, Restorative Justice telah
menjadi salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana, di mana hal
yang menjadi pembeda dari penyelesaian perkara ini adalah adanya
pemulihan keadaan kembali pada keadaan sebelum terjadinya tindak
pidana, sehingga melalui konsep penyelesaian keadilan restoratif ini
maka kehidupan harmonis di lingkungan masyarakat dapat pulih
kembali. Konsep restorative justice merupakan suatu konsekuensi logis
dari asas ultimum remedium, yaitu pidana merupakan jalan terakhir
dan sebagai pengejawantahan asas keadilan, proporsionalitas serta
asas cepat, sederhana dan biaya ringan, oleh karena itu penghentian
penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dalam
rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingan korban dan
kepentingan hukum lain.478
Salah satu kelemahan penyelesaian perkara pidana melalui
mekanisme restorative justice adalah pengawasan atas pelaksanaan hasil
kesepakatan. Sebagaimana temuan penelitian melalui survei terhadap
kepolisian, demikian juga hasil survei yang dilakukan terhadap kejaksaan
menunjukkan adanya pihak yang kembali melaporkan perkaranya
walaupun telah dihentikan berdasarkan restorative justice, digambarkan
pada hasil survei kejaksaan pertanyaan ke-4, sebagai berikut.

478
Kejaksaan, “Jaksa Agung RI Launching Rumah Restorative Justice
untuk Ciptakan Keharmonisan”, https://www.kejaksaan.go.id/berita.
php?idu=0&id=18867, diakses tanggal 6 September 2022.

150 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


92,3%
7,7%

Gambar 4.9 Survei Kejaksaan Q-4

Berdasarkan Gambar 4.9 di atas, sebanyak 92,3% dari 26 responden


menjawab tidak pernah menangani para pihak yang melaporkan kembali
perkaranya yang telah diselesaikan melalui restorative justice. Namun,
sebanyak 7,7% responden menjawab pernah menangani kembali perkara
yang telah dihentikan.
Terhadap perkara yang dilaporkan kembali, sebanyak 8% responden
kejaksaan membuka kembali proses penanganan perkara yang
sebelumnya telah dihentikan, sedangkan mayoritas responden (92%)
menjawab tidak membuka kembali perkara yang telah dihentikan
sebelumnya, digambarkan pada hasil survei kejaksaan pertanyaan ke-5,
sebagai berikut.

92%
8%

Gambar 4.10 Survei Kejaksaan Q-5

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 151


Praktik penerapan restorative justice di kejaksaan menunjukkan
bahwa masih ada perkara tindak pidana yang telah diselesaikan melalui
mekanisme restorative justice yang tetap diteruskan ke pengadilan. Hasil
survei menunjukkan, sebanyak 4% responden tetap meneruskan perkara
ke pengadilan walaupun telah diselesaikan melalui restorative justice,
sedangkan mayoritas responden (96%) menjawab tidak melanjutkan
berkas ke pengadilan. Hal ini tergambar dalam hasil survei kejaksaan
pertanyaan ke-6, sebagai berikut.

96%

Gambar 4.11 Survei Kejaksaan Q-6

Kejaksaan telah membentuk Rumah Restorative Justice. Namun,


belum semua Rumah Restorative Justice tersebut berjalan efektif.
Sebanyak 15,4% responden menjawab bahwa Rumah Restorative Justice
belum efektif menyelesaikan perkara tindak pidana berdasarkan Perja
No. 15 Tahun 2020. Di Lombok, Nusa Tenggara Barat, Rumah Restorative
Justice belum berjalan, karena belum pernah ada kasus yang diselesaikan
melalui restorative justice. Rumah Restorative Justice di Mataram selama
ini dipakai untuk melakukan sosialisasi hukum kepada masyarakat.479
Meski demikian, sebanyak 84,6% menjawab bahwa Rumah Restorative
Justice telah efektif.
Hal ini tergambar dalam survei kejaksaan pertanyaan ke-10, sebagai
berikut.

Wawancara dengan para Jaksa dan Kepala Kejaksaan Negeri Kota Mataram,
479

22 November 2022.

152 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


15,4%

84,6%

Gambar 4.12 Survei Kejaksaan Q-10

Data survei terhadap kejaksaan di atas menunjukkan bahwa belum


ada keseragaman dalam menerapkan restorative justice sebagaimana
diatur dalam Perja No. 15 Tahun 2020. Hal ini sama dengan temuan
pelaksanaan restorative justice di kepolisian. Perlu ada sosialisasi atau
pelatihan yang menyeluruh agar terciptanya persamaan persepsi di
antara anggota kejaksaan terkait restorative justice.

2. Penerapan Restorative Justice di Pengadilan


Penerapan restorative justice di pengadilan saat ini berdasarkan Keputusan
Dirjen Badilum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang
Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice). Berdasarkan surat keputusan tersebut, pelaksanaan restorative
justice di pengadilan dipimpin oleh hakim tunggal dan dilaksanakan
dengan acara pemeriksaan cepat sebagaimana diatur dalam Pasal
205–210 KUHAP.
Penyelesaian perkara tindak pidana ringan melalui restorative
justice dapat dilakukan dengan ketentuan telah dimulai dilaksanakan
perdamaian antara pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan tokoh
masyarakat terkait yang beperkara dengan atau tanpa ganti kerugian.480
Setelah membuka persidangan, hakim membacakan catatan dakwaan

480
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Direstorative justiceen
Badilum) Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), BAB huruf A angka 2 poin e.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 153


serta menanyakan pendapat terdakwa dan korban, selanjutnya hakim
melakukan upaya perdamaian. 481 Dalam hal proses perdamaian
tercapai, para pihak membuat kesepakatan perdamaian, selanjutnya
ditandatangani oleh terdakwa, korban, dan pihak-pihak terkait,
serta kesepakatan perdamaian dimasukkan ke dalam pertimbangan
putusan hakim.482 Namun, dalam hal kesepakatan perdamaian tidak
berhasil, maka hakim tunggal melanjutkan proses pemeriksaan.483
Selama persidangan, hakim tetap mengupayakan perdamaian dan
mengedepankan restorative justice dalam putusannya.484
Tahun 2021, pengadilan negeri seluruh Indonesia telah
menyelesaikan sebanyak 315 perkara melalui mekanisme restorative
justice.485 Mahkamah Agung juga telah melakukan bimbingan teknis
Penanganan Perkara Berbasis Keadilan Restoratif terhadap 316 hakim
di seluruh Indonesia.486
Restorative justice di pengadilan dilaksanakan seperti persidangan
perkara pidana pada umumnya. 487 Di Pengadilan Negeri Sibolga,
dalam perkara Nomor: 160/Pid.Sus/2022/PN Sbg, pemeriksaan
tidak dilakukan oleh hakim tunggal, melainkan oleh tiga orang hakim
(majelis). Pemeriksaan juga dilakukan melalui acara pidana biasa, tidak
dilakukan melalui pemeriksaan acara cepat sebagaimana diatur dalam
SK Dirjen Badilum. Persidangan tetap dimulai dengan pembacaan
dakwaan dari jaksa penuntut umum, eksepsi atau nota keberatan
dari terdakwa, tanggapan dari jaksa penuntut umum, putusan sela,
pemeriksaan bukti, pembacaan tuntutan terhadap terdakwa oleh jaksa
penuntut umum, pleidoi (nota pembelaan) dari terdakwa/penasihat
hukum, replik (jawaban atas pleidoi) oleh jaksa penuntut umum, duplik
(tanggapan atas replik oleh terdakwa/penasihat hukum), dan putusan.
Dalam persidangan pleidoi (pembelaan), dalam hal terdakwa dan
korban telah berdamai, terdakwa mengajukan permohonan restorative
justice, berupa permohonan hukuman seringan-ringannya atau seadil-

481
Ibid., poin f.
482
Ibid., poin g.
483
Ibid., poin h.
484
Ibid., poin i.
485
Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2021, hlm. 128.
486
Ibid., hlm. 176.
487
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Sibolga, 7 September 2022.

154 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


adilnya.488 Permohonan untuk dihukum seringan-ringannya dalam hal
telah tercapai perdamaian antara korban dan pelaku, dapat dimohonkan
oleh jaksa penuntut umum kepada hakim melalui tuntutan.489
Terdakwa dalam perkara tersebut di atas dituntut pidana penjara
selama sembilan bulan penjara karena melakukan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Terhadap tuntutan tersebut,
terdakwa dan penasihat hukum memohon kepada hakim agar diberi
hukuman yang seringan-ringannya dan seadil-adilnya dengan alasan
karena terdakwa telah menyesali perbuatannya, serta sudah ada
perdamaian antara terdakwa dengan korban dan sudah sering melakukan
komunikasi. Terdakwa juga berasalan bahwa masing-masing pihak, baik
terdakwa dan korban sebagai suami-istri sudah menginsafi apa yang
telah terjadi dan berjanji ke depannya untuk hidup lebih rukun dalam
berumah tangga. Terdakwa masih memiliki anak yang masih kecil.490
Majelis hakim tetap memberi pertimbangan terhadap setiap unsur
pasal yang didakwakan kepada terdakwa, dan ternyata perbuatan
terdakwa terbukti melakukan tindak pidana KDRT. Berdasarkan
pertimbangan hukumnya tersebut, dan karena terdakwa mampu
bertanggung jawab, maka hakim memutuskan serta menyatakan
terdakwa bersalah dan dijatuhi pidana. Namun, karena adanya
pengakuan bersalah dari terdakwa dan adanya surat perdamaian
terdakwa dengan korban, majelis hakim memakai pertimbangan
hukum restorative justice untuk meringankan hukum terhadap terdakwa,
sehingga terdakwa akhirnya dijatuhi pidana percobaan, dengan pidana
penjara tiga bulan. Namun demikian, majelis hakim juga memutuskan
pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada
putusan hakim yang menentukan lain disebabkan karena terpidana
melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan selama enam
bulan berakhir.
Penerapan restorative justice di pengadilan untuk sementara
ditangguhkan berdasarkan SK Pelaksana Tugas Dirjen Badilum MA
Nomor: 1209/DJU/PS.00/11/2021 perihal Penangguhan Surat

488
Ibid.
489
Ibid.
490
Pengadilan Negeri Sibolga, Putusan Perkara Nomor 160/Pid.Sus/2022/
PN Sbg, hlm. 2.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 155


Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor: 1691/
DJU/SK/PS.00/12/2020. Surat keputusan penangguhan tersebut pada
intinya menyatakan bahwa pelaksanaan restorative justice di pengadilan
ditangguhkan pelaksanaannya sampai dengan diberlakukannya
Peraturan Mahkamah Agung tentang restorative justice. Surat keputusan
penangguhan tersebut ternyata membingungkan para hakim di tingkat
pertama. Sebab, selain sudah ada permohonan restorative justice dari
masyarakat, Ketua Pengadilan Tinggi juga selalu meminta laporan
kepada pengadilan negeri terkait pelaksanaan restorative justice.491
SK Dirjen Badilum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 mengatur
bahwa penanganan perkara melalui restorative justice dilakukan oleh
hakim tunggal. Namun dalam praktiknya, tidak semua pengadilan
menerapkan hakim tunggal. Hasil survei terhadap hakim di Indonesia
menunjukkan 85,7% dari 14 responden menjawab pemeriksaan perkara
melalui restorative justice tidak dilakukan oleh hakim tunggal, sedangkan
14,3% menjawab dilaksanakan oleh hakim tunggal. Hal ini digambarkan
melalui survei pengadilan pertanyaan ke-2, sebagai berikut.

85,7%

14,3%

Gambar 4.13 Survei Pengadilan Q-2

Praktik penerapan restorative justice di pengadilan juga tidak


seragam. Kepada responden hakim ditanyakan: “Dalam hal para pihak
sepakat menempuh restorative justice, apakah proses pemeriksaan perkara
di pengadilan tetap dilanjutkan?”, 60% menjawab tidak melanjutkan
pemeriksaan perkara, sedangkan 40% mengatakan tetap melanjutkan

491
Hakim Pengadilan Negeri Sibolga, Loc. Cit.

156 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


proses pemeriksaan, tergambar dalam survei pengadilan pertanyaan
ke-4, sebagai berikut.

60%

40%

Gambar 4.14 Survei Pengadilan Q-4

Hasil survei terhadap hakim juga menunjukkan data perbedaan


pendapat tentang jenis perkara yang dapat diselesaikan melalui
mekanisme restorative justice. Kepada responden diajukan pertanyaan:
“Apakah Saudara setuju bahwa semua jenis tindak pidana dapat
diselesaikan melalui mekanisme restorative justice?” Jawaban responden
hakim dapat digambarkan melalui survei pengadilan pertanyaan Q-3
sebagai berikut.

80%

20%

Gambar 4.15 Survei Pengadilan Q-3

Diagram pada Gambar 4.15 di atas menunjukkan keragaman


jawaban responden hakim. Mayoritas hakim (80%) tidak setuju semua

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 157


jenis tindak pidana dapat diselesaikan melalui mekanisme restorative
justice, sedangkan 20% responden setuju semua jenis pidana dapat
diselesaikan melalui restorative justice.
SK Dirjen Badilum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 telah
ditangguhkan penerapannya sampai adanya Peraturan Mahkamah Agung
tentang Restorative Justice. Meski demikian, ternyata tidak menyebabkan
para hakim untuk tidak menangani perkara melalui restorative justice. Hal
ini terlihat dalam hasil survei pengadilan pertanyaan ke-5 sebagai berikut.

46,7%

53,3%

Gambar 4.16 Survei Pengadilan Q-5

Pada gambar di atas, kepada responden ditanyakan: “Apakah saat


ini Saudara tetap menangani perkara pidana berdasarkan restorative
justice setelah terbitnya Surat Dirjen Badilum No. 1209/DJU/
PS.00/11/2021 tentang penangguhan pelaksanaan restorative justice di
pengadilan?” Mayoritas (53,3%) responden menjawab tetap menangani
perkara pidana berdasarkan restorative justice, sedangkan sebanyak
46,7% menjawab tidak. Demikian juga dengan ketua pengadilan dan
hakim pada Pengadilan Negeri Mataram mengatakan, mereka tetap
menerapkan restorative justice dalam pertimbangan hukum walaupun
SK Dirjen Badilum telah ditangguhkan.492

Wawancara Ketua Pengadilan dan Hakim pada Pengadilan Negeri Mataram,


492

tanggal 22 November 2022.

158 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


3. Pembelajaran dari Penerapan Konsepsi Restorative Justice
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat pembelajaran positif dari
penerapan restorative justice di kejaksaan dan pengadilan, yaitu sebagai
berikut.
a. Kejaksaan
1) Pembentukan Rumah Restorative Justice
Pada bulan Maret 2022, kejaksaan mendirikan Rumah
Restorative Justice pada sembilan wilayah kejaksaan tinggi.
Menurut Jaksa Agung S.T. Burhanuddin, Rumah Restorative
Justice didirikan untuk menghadirkan keadilan di tengah
masyarakat. Pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan
masalahnya dengan konsep perdamaian melalui musyawarah
mufakat sebelum perkaranya masuk ke ranah penegak
hukum.493 Kepolisian dapat mencontohkan Rumah Restorative
Justice kejaksaan dengan membentuk divisi tersendiri yang
secara khusus.
2) Pembentukan dan Pelatihan Mediator/Fasilitator
Berhasil atau tidaknya penerapan restorative justice, sangat
dipengaruhi oleh kemampuan dan peran mediator atau
fasilitator. Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugasnya,
kejaksaan telah memberi pendidikan dan pelatihan mediator
kepada jaksa. Hal ini juga dapat dilakukan di kepolisian, dengan
terlebih dahulu mengubah Undang-Undang Kepolisian dan
KUHAP yang memberi kewenangan kepada kepolisian untuk
bertindak sebagai mediator dan/atau fasilitator.
b. Pengadilan
1) Perlakuan Khusus terhadap Anak Berhadapan dengan Hukum
Lampiran Surat Keputusan Dirjen Badilum Nomor: 1691/DJU/
SK/PS.00/12/2020, menjelaskan bahwa anak yang berkonflik/
berhadapan dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12
tahun, tetapi belum berumur 18 tahun, dan diduga melakukan
tindak pidana. Anak yang menjadi korban adalah anak yang

493
Kejaksaan, “Jaksa Agung RI Launching Rumah Restorative Justice
untuk Ciptakan Keharmonisan”, https://www.kejaksaan.go.id/berita.
php?idu=0&id=18867, diakses tanggal 6 September 2022.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 159


belum berumur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik,
mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak
pidana. Penerapan restorative justice terhadap anak yang
berhadapan dengan hukum dilakukan melalui diversi dan
dilakukan dalam ruangan khusus untuk anak, yang berbeda
dengan ruangan persidangan lainnya.
2) Perlakukan Khusus terhadap Perempuan Berhadapan dengan
Hukum
Hakim mempertimbangkan kesetaraan gender dan
non-diskriminasi dalam menerapkan restorative justice,
dengan mengidentifikasi fakta persidangan, berupa: (a)
ketidaksetaraan status sosial antara para pihak yang beperkara;
(b) ketidaksetaraan perlindungan hukum yang berdampak
pada akses keadilan; (c) diskriminasi; (d) dampak psikis
yang dialami korban; (e) ketidakberdayaan fisik dan psikis
korban; (f) relasi kuasa yang mengakibatkan korban/saksi
tidak berdaya; dan (g) riwayat kekerasan dari pelaku terhadap
korban/saksi.
Penerapan restorative justice di pengadilan juga melarang
hakim menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan
yang merendahkan, menyalahkan, dan/atau mengintimidasi
perempuan yang berhadapan dengan hukum. Selain itu, hakim
dilarang memberi pertanyaan dan/atau mempertimbangkan
mengenai pengalaman atau latar belakang seksualitas korban
sebagai dasar untuk membebaskan pelaku atau meringankan
hukuman pelaku, dan hakim tidak boleh mengeluarkan
pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotipe
gender.
Hakim wajib melakukan penafsiran peraturan perundang-
undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin
kesetaraan gender. Selain itu, hakim juga wajib menggali nilai-
nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan
yang setara dan non-diskriminasi, serta mempertimbangkan
penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional
terkait kesetaraan gender yang telah diratifikasi.

160 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Kepolisian dapat mengadopsi sisi positif penerapan restorative
justice terhadap anak dan perempuan yang berhadapan dengan hukum
yang telah diterapkan di pengadilan. Hal-hal yang perlu diadopsi,
misalnya terkait kesetaraan gender dan perilaku non-diskriminasi.
Hal ini dilakukan dengan memperhatikan ketidaksetaraan status
sosial antara pelaku dan korban, ketidaksetaraan perlindungan hukum
yang berdampak pada akses keadilan, tidak melakukan diskriminasi,
memperhatikan dampak psikis yang dialami korban, memperhatikan
ketidakberdayaan fisik dan psikis korban, memperhatikan relasi kuasa
yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya, serta riwayat kekerasan
dari pelaku terhadap korban/saksi.
Penerapan restorative justice di kejaksaan dan pengadilan
menggunakan sistem pencatatan (database). Kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan, telah mencatat setiap perkara yang berhasil diselesaikan
melalui restorative justice dan sudah berjalan, namun hanya bisa diakses
secara internal dan belum terintegrasi, tidak bisa diakses oleh publik
maupun oleh antarinstansi. Harapannya, masing-masing instansi
sebaiknya dapat saling membagi data, atau setidaknya saling memberi
akses. Hal ini sangat penting untuk mencegah adanya pelaku residivis
yang mengikuti program restorative justice, dan untuk terciptanya
transparansi, serta menumbuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga
penegak hukum.

BAB 4 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice di Indonesia 161


[Halaman ini sengaja dikosongkan
BAB
5
PENERAPAN KONSEPSI
RESTORATIVE JUSTICE
BERDASARKAN KEARIFAN LOKAL
DALAM HUKUM ADAT DI INDONESIA

A. Penelitian di Sumatera Utara


Sumatera Utara merupakan daerah penelitian pertama yang dilakukan
penulis, karena merupakan salah satu daerah yang kuat dalam penerapan
hukum adat. Dalam hukum adat Batak dikenal istilah Hula-hula, Dongan
Tubu, dan Boru untuk menyelesaikan permasalahan hukum, yang
digerakkan oleh Lembaga Dalihan Na Tolu. Peranannya sangat penting
karena adanya interaksi langsung antara korban, pelaku dan keluarga,
serta pimpinan adat yang lebih mengutamakan prinsip kekerabatan,
penghormatan adat istiadat, dan perlindungan terhadap korban untuk
pemenuhan rasa keadilan. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh
adat di Kabupaten Samosir, sebagai berikut.494
“Dalihan Na Tolu sangat mementingkan kerja sama antarperan dari
unsur Dalihan Na Tolu sendiri, yaitu dongan tubu, hula-hula, dan
boru. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari makna pepatah Dalihan Na
Tolu yang mengatakan somba marhula-hula, manat mardongan tubu,
dan elek marboru, karena mengandung sebuah arti yang mendalam
dan mutlak harus dilakukan bila ingin sejahtera hidupnya. Dalam
masyarakat Batak Toba, Ketua Adat Dalihan Na Tolu dapat dikatakan
sebagai mediator. Hukum adat Batak mengenal sanksi berupa ganti

494
Wawancara dengan Obin Naibaho, Ketua Forum Komunikasi Tokoh
Masyarakat Kabupaten Samosir, dan Elman Simanjuntak, pelaku adat batak toba,
Minggu tanggal 24 Oktober 2021.

163
rugi kepada korban dan juga kewajiban membayar seluruh biaya
yang dikeluarkan saat masalah tersebut diselesaikan secara hukum
adat. Sanksi lainnya adalah kewajiban minta maaf kepada korban
disaksikan semua pihak yang turut serta dalam penyelesaiannya.
Apabila kewajiban meminta maaf tidak dilakukan, lembaga adat
memberikan hukuman sosial berupa tidak dilibatkan dalam acara
adat dan tidak diundang pada setiap hajatan masyarakat serta diusir
dari kekerabatan adat.”
Lembaga Dalihan Na Tolu pada masyarakat adat Batak dalam
penyelesaian permasalahan hukum juga ditujukan mengatasi
masalah dengan mengadakan tindakan represif, antara lain, dengan
rehabilitasi yang bertujuan untuk menghukum orang jahat dengan
sistem dan programnya bersifat reformatif, yaitu hukuman bersyarat
dan hukuman sosial.495 Peranan lembaga adat sangat efektif dalam
memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan korban
karena terpenuhinya prinsip restorasi (perbaikan) sebagai tujuan dari
restorative justice. Peran penting lembaga adat dalam praktik, misalnya
terjadi di Polsek Pangururan, Polres Samosir, wilayah hukum Polda
Sumatera Utara, yaitu:
“Polsek Pangururan dalam penyelesaian laporan masyarakat
maupun laporan korban tindak pidana selalu melibatkan
peran lembaga adat batak, karena sangat efektif dalam proses
penyelesaiannya. Penyidik memaknai bahwa penyelesaian dengan
memanfaatkan lembaga adat merupakan bentuk sistem restorative
justice, karena terpenuhinya rasa keadilan dan perlindungan bagi
korban.”496
Penerapan restorative justice di Sumatera Utara, tergambar juga
dalam kasus pengancaman yang dilakukan terhadap seorang juru
parkir (Jukir) e-parking Pemerintah Kota (Pemkot) Medan. Kasus ini
sempat viral, lantaran pelaku mengeluarkan kata-kata mengancam akan
mematahkan leher korban. Terhadap pengancaman tersebut, pelaku
ditangkap, ditahan, dan telah ditetapkan sebagai tersangka.

Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Op. Cit., hlm. 322.


495

Wawancara dengan Kapolsek Pangururan Polres Samosir Polda Sumatera


496

Utara, Minggu 24 Oktober 2021.

164 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Pelaku dan korban berhasil didamaikan melalui mekanisme
restorative justice di Polrestabes Medan, yang dihadiri Kapolrestabes
Medan, Kasat Reskrim Polrestabes Medan, para pihak yang berkonflik
serta tokoh agama dan tokoh masyarakat Kota Medan. Korban dan
pelaku saling memaafkan, sehingga proses penyidikan kasus tersebut
juga dihentikan.
Kasus lain yang berhasil diselesaikan melalui mekanisme restorative
justice adalah tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di Desa
Binjohara, Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah. Dalam
kasus tersebut, pelaku yang merupakan suami melakukan tindakan
kekerasan kepada istrinya akibat perebutan anak. Proses penyidikan
dan penuntutan terhadap tindak pidana ini tetap berjalan, walaupun
pelaku dan korban sudah berdamai. Dalam mediasi yang dihadiri korban,
pelaku, tokoh agama, tokoh masyarakat, serta pihak keluarga korban
dan keluarga pelaku, para pihak sudah saling memaafkan. Namun
demikian, penyidik tetap meneruskan perkara tersebut ke penuntut
umum, dan dilanjutkan pendakwaan serta penuntutan oleh penuntut
umum ke pengadilan. Majelis Hakim memutuskan perkara tersebut
dengan menggunakan pertimbangan hukum restorative justice.
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya berpendapat
bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa dapat diselesaikan
melalui restorative justice. Sebab, terdakwa dan korban sudah pernah
didamaikan, dan korban sudah memaafkan terdakwa. Korban juga
dalam persidangan meminta maaf kepada terdakwa atas kesalahan yang
dilakukannya. Selain itu, korban juga masih menyayangi terdakwa, dan
masih menginginkan untuk membina rumah tangganya.
Terdakwa dalam persidangan juga menyesali perbuatannya dan
telah menjalin hubungan yang baik dengan korban dan keluarganya.
Menurut Majelis Hakim, dengan adanya perdamaian di antara terdakwa
dan korban, maka di antara terdakwa dan korban telah terjadi pemulihan
kembali ke keadaan semula, sebagaimana dimaksud dalam teori keadilan
restoratif.
Majelis Hakim berpendapat, tujuan pemidanaan semata-mata bukan
merupakan pembalasan, melainkan bertujuan untuk mendidik dan
membina agar terdakwa menyadari kesalahannya sehingga diharapkan

BAB 5 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal 165


dapat menjadi anggota masyarakat yang baik di kemudian hari.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, Majelis Hakim menjatuhkan
hukuman pidana percobaan kepada terdakwa, yaitu menjatuhkan pidana
penjara selama tiga bulan, dengan ketentuan bahwa pidana tersebut
tidak usah dijalani kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang
menentukan lain disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak
pidana sebelum masa percobaan selama enam bulan berakhir.497

B. Penelitian di Bali
Bali merupakan daerah kedua, dilakukan penelitian oleh penulis, dengan
alasan masyarakatnya masih memegang teguh hukum adat, termasuk
sanksinya. Pelaksanaan sanksi adat selalu disertai dengan pamarisuddhan
atau pemerayascitta, yaitu suatu upacara pembersihan desa dari perasaan
kotor alam gaib.498 Upacara ini bukanlah dimaksudkan sebagai suatu
siksaan atau suatu penderitaan, akan tetapi untuk mengembalikan
keseimbangan kosmis.499
Menurut I Dewa Made Suartha, penjatuhan sanksi adat di Bali
dalam pelaksanaannya ada keterkaitan yang sangat erat antara hukum
adat dan agama Hindu di Bali, di mana tidak saja dapat dilihat dari
ketentuan-ketentuan hukum adatnya, yang lazim disebut awig-awig,
tetapi juga dalam hal penjatuhan sanksi adatnya yang lebih banyak
dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan.500 Suartha menjelaskan,
penjatuhan sanksi adat di Bali meliputi dua hal penting, yaitu sanksi
skala (sanksi materiil) dan sanksi niskala (sanksi imateriil). Sanksi ini
tidak dapat dilepaskan dari pola penataan kehidupan masyarakat adat
di Bali yang dilandaskan atas konsep tri hita karana, yang meliputi
terpeliharanya keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, antara
manusia dengan manusia lain, serta manusia dengan lingkungannya.501

497
Hakim Pengadilan Negeri Sibolga, Loc. Cit., dan Putusan Nomor 160/Pid.
Sus/2022/PN Sbg.
498
Wawancara dengan I Made Kasta. Bendesa Adat Akah Klungkung, tanggal
3 November 2021.
499
I Made Widnyana, “Eksistensi Delik Adat dalam Pembangunan”, dalam I
Dewa Made Suartha, Hukum dan Sanksi Adat: Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana,
(Malang: Suara Press, 2015), hlm. 3.
500
I Dewa Made Suartha, Ibid.
501
Ibid.

166 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Sanksi adat mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan
masyarakat adat di Bali. Pengenaan sanksi adat tidak hanya terhadap
pelanggaran adat, juga dapat dijatuhkan terhadap delik biasa,
meskipun pelaku sudah dipidana di peradilan umum.502 Penjatuhan
sanksi pidana penjara yang dijatuhkan pengadilan negara (Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung) sering dianggap
tidak memenuhi rasa keadilan apabila pidana penjara tersebut tidak
disertai dengan salah satu atau beberapa sanksi adat di atas. Suartha
menjelaskan, putusan pengadilan negeri baru mencerminkan rasa
keadilan masyarakat adat apabila putusan tersebut memperhatikan
kepentingan korban juga mengutamakan aspirasi masyarakat adat.503
Penyelesaian perkara tindak pidana melalui mekanisme restorative
justice sejalan dengan tuntutan rasa keadilan masyarakat adat Bali
sebagaimana dijelaskan di atas. Hal ini tergambar jelas dalam perkara
pencurian uang sesari atau uang sesajen di kotak Pura Dalem, Banjar
Pujung, Desa Sebatu, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar, Bali.
Tindak pidana tersebut diproses berdasarkan restorative justice, di mana
korban mengakui kesalahannya, meminta maaf serta mengembalikan
uang pencurian tersebut. Dalam peristiwa tindak pidana tersebut,
seorang siswi terbukti melakukan pencurian untuk membayar uang
Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) atau uang training sekolah.
Setelah mendapatkan uang itu, pelaku langsung menyetorkan ke
koperasi sekolah untuk bayar SPP sebesar Rp170.000,00 (seratus
tujuh puluh ribu rupiah). Pelaksanaan restorative justice terhadap tindak
pidana pencurian uang sesajen diselenggarakan di Kepolisian Sektor
(Polsek), Tegalalang. Pihak kepolisian bertindak sebagai fasilitator,
prajuru (petugas adat) sebagai korban dulu, pelaku, dan instansi terkait,
diundang untuk terlibat menyelesaikan masalah.
Penyelesaian secara restorative justice tersebut telah sesuai dengan
rasa keadilan yang dianut masyarakat adat Bali. Sanksi yang diterapkan
juga sesuai dengan jenis sanksi yang dijelaskan Tjokorde Raka Dherana
dan I Made Widnyana di atas, yaitu sanksi ngidih-olas (minta maaf).

502
Ibid.
503
Ibid.

BAB 5 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal 167


C. Penelitian di Yogyakarta dan Solo
Yogyakarta dan Solo merupakan daerah ketiga penelitian oleh penulis.
Kedua daerah ini dilakukan penelitian dengan waktu yang hampir
bersamaan. Hasil penelitian dapat digambarkan sebagai berikut.

1. Yogyakarta
Penelitian dilakukan dengan cara Focus Group Discussion (FGD), dengan
responden personel binmas, patroli, serta reskrim polres dan polsek di
Polresta Yogyakarta. Alasan penulis melakukan penelitian di Yogyakarta,
karena dinilai kekerabatannya sangat kental dalam masyarakat, sehingga
penulis ingin menggali penerapan restorative justice berdasarkan Perpol
No. 8 Tahun 2021 oleh Kepolisian di Yogyakarta. Penerapan restorative
justice di Kepolisian Daerah (Polda) Yogyakarta cukup tinggi. Polda
Yogyakarta telah menyelesaikan sebanyak 664 perkara atau 13% dari
total perkara tindak pidana yang ditangani sebanyak 5272 kasus.504
Khusus wilayah Polresta Yogyakarta, jumlah perkara tindak pidana yang
berhasil diselesaikan melalui mekanisme restorative justice sebanyak 99
perkara sampai dengan Juli 2022.505
Penyelesaian tindak pidana melalui restorative justice juga terjadi di
wilayah hukum Polres Bantul, terhadap dua kasus tindak pidana, yaitu
kasus penganiayaan dan percobaan pencurian yang dilaporkan di Polsek
Sanden. Tindak pidana penganiayaan dilakukan oleh seorang pria warga
Kalurahan Gadingsari, Kapanewon Sanden, Kabupaten Bantul terhadap
adik perempuannya. Sementara kasus tersebut terjadi di rumah warga
di Dusun Pranti, Gadingharjo, Sanden, Bantul. Pelaksanaan restorative
justice terhadap kedua kasus tersebut diselenggarakan di Ruang Mediasi
Satreskrim Polres Bantul, dihadiri oleh kedua belah pihak, baik korban
maupun pelaku, serta disaksikan oleh Ketua RT dan Dukuh. Para pihak
berhasil didamaikan melalui restorative justice.
Penyelesaian perkara tindak pidana seharusnya dapat dilakukan
melalui lembaga adat. Namun, menurut Djoko Sukisno, peran tokoh
adat di Yogyakarta sudah tidak kelihatan lagi. Yogyakarta sudah

504
Polri, FAQ Restoratif Justice pada Acara Rakernis Fungsi Reskrim Polri T.A.
2022.
505
FGD di Polresta Yogyakarta, 8 Agustus 2022.

168 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


berubah menjadi Indonesia mini dan lebih individualis. Salah satu
penyebabnya adalah UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
Sukisno menjelaskan, pada zaman dahulu, sekitar tahun 1970-an,
ada rukun kampung untuk menyelesaikan setiap konflik yang terjadi
di masyarakat setempat, tetapi sekarang, banyak wilayah sudah tidak
memiliki rukun kampung.506 Hal yang sama disampaikan Supanto, Guru
Besar Kriminologi Universitas Sebelas Maret yang mengatakan bahwa
secara institusi, peran tokoh adat di Yogyakarta atau bahkan beberapa
daerah di Jawa sudah tidak muncul di permukaan. Setiap permasalahan
yang ada di masyarakat dibawa untuk diselesaikan secara hukum melalui
lembaga penegak hukum.507

2. Solo
Kehidupan orang Jawa yang sudah mulai individualis tidak serta-merta
menghilangkan tradisi Jawa. Sangat banyak ajaran-ajaran budaya Jawa
yang sangat kental dan relevan dengan penyelesaian perkara tindak
pidana berdasarkan restorative justice. Salah satu contoh pepatah Jawa
yang mengandung makna yang sangat dalam tentang kehidupan
yang rukun dan saling berbagi serta bergotong-royong adalah bahwa
orang Jawa pada umumnya mengutamakan “pager mangkok tinimbang
pager tembok”. Pepatah ini memiliki makna yang mendalam tentang
mengutamakan berbuat baik kepada tetangga atau orang lain.508 Orang
Jawa sendiri memiliki budaya non-konfrontatif. Dalam hal terjadi
masalah, penyelesaiannya lebih kepada mencari tujuan yang tepat yang
tidak menimbulkan keonaran (Dikena iwake, aja nganti butheg banyune).509
Tradisi “nyadran“ pada masyarakat Jawa mengandung kristalisasi
nilai komunikasi sosial, budi bahasa dan budaya, syukur, cinta dan
kasih sayang, penghormatan, disiplin, serta kepatuhan kolektif. Orang
Jawa pada umumnya mengutamakan kedamaian dan kerukunan,
sebab mereka sangat menyadari bahwa jika terjadi perpecahan, akan

506
Ibid.
507
Wawancara dengan Supanto, Budayawan Jawa dan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, tanggal 21 Juli 2022.
508
Wawancara Sahid Teguh Widodo, Budayawan dan Guru Besar Ilmu Budaya
Universitas Sebelas Maret, tanggal 9 Agustus 2022.
509
Ibid.

BAB 5 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal 169


sulit bahkan mustahil untuk kembali seperti semula. Kesadaran ini
tergambarkan dalam pepatah Jawa: ”Beras wutah arang mulih marang
takere”, yang artinya perkara yang sudah diputuskan jarang dapat
kembali seperti sediakala/kembali seperti semula.510
Menurut Said Teguh Widodo, Jawa memiliki pranata sosial yang
baik, seperti tradisi saling kunjung, empati daya dinayanan (saling
memberi kekuatan), guyub, rukun, gotong royong, samad-sinamadan
(saling memperhatikan dan simpati), sikap hormat menghormati,
tepa selira, mawas diri, toleransi yang merupakan nilai asli Jawa
yang cair, tumbuh, dan berkembang sejak berabad-abad yang lalu.
Sahid menjelaskan, masuknya pengaruh asing yang dimulai dari elite
kerajaan sampai dengan masyarakat biasa, ternyata tidak serta-merta
menghilangkan tradisi asli Jawa, tetapi sebaliknya terjadi saling
pengaruh sehingga membentuk sub-kultur baru yang khas, seperti
upacara sraddha.511
Pranata adat yang berfungsi menyelesaikan sengketa yang terjadi di
tengah masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta dan Solo, sudah tidak
ada. Namun, nilai-nilai kearifan lokal budaya Jawa tidak pernah luntur.
Salah satu nilai Jawa yang tetap hidup terus dikembangkan adalah sikap
toleransi terhadap sesama hidup, yaitu “amemangun karyenak tyasing
sasama”, yang berarti berusaha menciptakan suasana hati yang harmonis
antara manusia yang satu dengan yang lain di dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.512 Prinsip tersebut sejalan juga dengan
sikap mad-sinamadan (saling memberi sesuatu, saling mengemong) dan
dayadinayan (saling memberi kekuatan). Nilai-nilai tersebut akan tercipta
suasana rukun dan saling menghormati di antara warga masyarakat.
Prinsip kerukunan dalam budaya Jawa bertujuan untuk
mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Rukun artinya
kehidupan masyarakat dalam keadaan selaras, tenang, dan tenteram,
tanpa perselisihan dan pertentangan, bersatu padu untuk saling
membantu. Keadaan rukun diperoleh kalau semua pihak berada dalam

510
Ibid.
511
Ibid.
512
Ibid. Lihat juga: Darmoko, Budaya Jawa dalam Diaspora: Tinjauan pada
Masyarakat Jawa di Suriname, https://journal.uny.ac.id/index.php/ikadbudi/
article/view/12307, diakses tanggal 14 September 2022.

170 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama serta saling menerima
dalam suasana tenang dan sepakat.513
Kebudayaan Jawa sangat kaya akan petuah bijaksana untuk menjaga
agar kehidupan masyarakat teratur, baik dan damai, tidak sebagai tujuan
dalam sendirinya, tetapi penguasaan atas dunia luar mendatangkan
ketenangan batin, seperti keadaan tenteram (tentrem) yang setengah
sosial dan setengah psikologis serta perasaan pribadi mendalam
mengenai kepuasan yang tenang (ayem).514 Salah satu nilai dan petuah
Jawa yang sarat nilai dalam menyelesaikan tindak pidana berdasarkan
restorative justice adalah ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti
tanpa aji-aji, dan sugih tanpa bandha. Hal ini berarti berjuang tanpa perlu
membawa massa; menang tanpa merendahkan atau mempermalukan;
berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan, kekuatan, kekayaan, atau
keturunan; kaya tanpa didasari kebendaan.515 Penerapan sikap dan nilai-
nilai kearifan lokal Jawa di atas cukup efektif untuk menyelesaikan suatu
konflik, perselisihan, atau pertikaian masyarakat.

D. Penelitian di Jakarta
Penelitian keempat dilakukan di Jakarta dengan cara mewawancarai
Brigjen. Pol. Iwan Kurniawan, S.I.K., M.Si., Kepala Biro Pengawas
Penyidikan (Karowassidik) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)
Kepolisian Republik Indonesia. Peneliti ingin menggali terkait
pelaksanaan gelar perkara khusus dalam rangka restorative justice.
Menurut Kurniawan, konsep dasar restorative justice di kepolisian tidak
hanya fokus pada penghentian perkara, tetapi juga mengedepankan
perdamaian. Penghentian perkara melalui restorative justice dilakukan
terhadap perkara yang sudah lengkap alat buktinya, sehingga alasan
penghentiannya menggunakan alasan penghentian demi hukum.
Terhadap perkara-perkara yang buktinya tidak cukup atau belum
lengkap, maka penghentiannya dilakukan berdasarkan KUHAP.516

513
Darmoko, Ibid.
514
Ibid.
515
Supanto, Loc. Cit.
516
Wawancara dengan Iwan Kurniawan, Kepala Biro Pengawas Penyidikan
(Karowassidik) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik
Indonesia, tanggal 16 November 2022.

BAB 5 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal 171


Kurniawan menjelaskan, penghentian perkara berdasarkan restorative
justice tidak tepat jika menggunakan alasan ‘tidak cukup bukti’, sebab
seharusnya perkara yang sudah sampai penyidikan apalagi sudah
ditemukan tersangkanya, buktinya sudah lengkap. Dengan demikian,
alasan yang paling tepat adalah dihentikan dengan alasan “demi hukum”.
Pelaksanaan restorative justice di kepolisian dilakukan melalui
mekanisme gelar perkara khusus. Gelar perkara khusus tersebut
berbeda dengan gelar perkara biasa, sebab dalam gelar perkara khusus
restorative justice tidak dilakukan uji materi kelengkapan alat bukti. Gelar
perkara khusus hanya memeriksa atau memverifikasi bukti formil dan
materiil berdasarkan Perpol No. 8 Tahun 2021. Gelar perkara khusus
berfungsi sebagai pengawasan, sebab restorative justice memiliki peluang
untuk disalahgunakan. Selain itu, gelar perkara khusus juga berfungsi
mendeteksi apakah mediasi tercapai karena adanya paksaan atau
tidak. Penyidik yang melakukan penghentian penyidikan berdasarkan
restorative justice tanpa melalui gelar perkara khusus, dapat dikategori
telah melakukan pelanggaran kode etik. Namun, Biro Pengawas
Penyidikan belum pernah menjatuhkan sanksi terhadap penyidik yang
tidak menyelenggarakan gelar perkara khusus karena masih dalam tahap
sosialisasi Perpol No. 8 Tahun 2021.
Pelaksanaan gelar perkara khusus melibatkan fungsi pengawas dan
hukum serta pihak yang beperkara dan tokoh masyarakat atau tokoh
agama. Tokoh masyarakat (Tomas) yang dimaksud adalah pihak yang
terkait atau terkena dampak tindak pidana. Meski demikian, Kurniawan
menjelaskan bahwa Tomas dan penasihat hukum tidak wajib dihadirkan.
Pihak yang wajib hadir dalam gelar perkara khusus adalah korban dan
pelaku serta keluarganya masing-masing.
Gelar perkara khusus seharusnya dilakukan setelah ada perdamaian
dan hak korban harus dipenuhi terlebih dahulu. Dalam hal kedua
syarat tersebut sudah terpenuhi, tidak akan ada gugatan atau laporan
kembali terhadap tindak pidana tersebut. Meski demikian, dalam
praktiknya belum semua penghentian perkara berdasarkan restorative
justice dilakukan melalui gelar perkara khusus. Apabila penghentian
perkara dilakukan, tetapi hak korban dan pelaku belum dipulihkan, tidak
menutup kemungkinan suatu saat perkara tersebut diajukan kembali.
Namun, kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk membuat gelar

172 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


perkara lagi terhadap pengaduan yang dilakukan atas perkara yang
sudah dihentikan berdasarkan restorative justice. Apabila ada pihak
yang dirugikan karena cacatnya kesepakatan perdamaian, Kurniawan
menyarankan agar pihak yang dirugikan tersebut mengajukan gugatan
secara perdata. Sebab, secara pidana, kasusnya sudah selesai.
Menurut Kurniawan, penghentian penyidikan hanya dapat dilakukan
upaya hukum melalui praperadilan. Namun, apabila ruang praperadilan
dibuka untuk kasus yang telah dihentikan berdasarkan restorative justice,
maka tujuan restorative justice tidak tercapai. Kurniawan menyarankan
agar perlu dibentuk regulasi yang mengatur bahwa penghentian perkara
berdasarkan restorative justice tidak dapat dijadikan materi praperadilan.
Namun, agar penghentian penyidikan berdasarkan restorative justice
dapat dipertanggungjawabkan, pengadilan perlu dilibatkan sejak awal.
Menurut Kurniawan, Perpol No. 8 Tahun 2021 perlu dievaluasi, antara
lain, mengatur tentang kesepakatan dalam restorative justice harus
mendapatkan penetapan pengadilan, sebagaimana penetapan pengadilan
dalam diversi atau penetapan pengadilan terkait pemusnahan barang
bukti. Penetapan pengadilan dapat diminta sebelum dilakukan gelar
perkara khusus atau setelah adanya gelar perkara khusus. Penetapan
pengadilan tersebut dilakukan untuk mencegah para pihak melaporkan
kembali kasusnya.
Hal lainnya yang perlu diatur adalah terkait pemulihan terhadap
pelaku agar menyadari kesalahannya. Perpol No. 8 Tahun 2021 tidak
menegaskan mekanisme pemulihan kembali dari posisi pelaku.
Memulihkan hak korban merupakan kewajiban pelaku. Namun,
bagaimana dengan efek jera terhadap pelaku? Seharusnya pelaku tetap
diberi pembinaan, pengawasan, dan kerja sosial seperti sanksi pidana
sosial yang diberikan oleh pengadilan. Di tingkat penyidikan, misalnya
adanya wajib lapor, pembinaan, pengawasan, dan sanksi pidana sosial.

E. Penelitian di Nusa Tenggara Barat


Penelitian selanjutnya dilakukan di Polresta Mataram, dengan cara Focus
Group Discussion (FGD) dan penyebaran kuesioner dengan responden
personel binmas, patroli, reskrim, dan bale mediasi. Alasan penulis
melakukan penelitian di Mataram, karena menilai Polres Mataram

BAB 5 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal 173


berhasil melakukan restorative justice bersama bale mediasi, dan banyak
kasus menarik diselesaikan dengan baik. FGD diselenggarakan dengan
menghadirkan tiga pembicara, yaitu: Pakar Hukum dari Fakultas
Hukum Universitas Mataram Hayyan Ul Haq, Kepala Kepolisian Resor
Kota (Kapolresta) Mataram Mustofa, dan Ketua Bale Mediasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat Lalu Sajim Sastrawan. Selain itu, penulis juga
melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan para jaksa
pada Kejaksaan Negeri Mataram, Hakim serta Ketua Pengadilan Negeri
Mataram, dan Ketua Bale Mediasi Provinsi Nusa Tenggara Barat Lalu
Sajim Sastrawan.
Penerapan restorative justice di Mataram juga dapat dilakukan oleh
Bale Mediasi. “Bale” dalam bahasa Sasak Lombok memiliki arti rumah,
sehingga “Bale Mediasi” merupakan rumah perdamaian. Bale Mediasi
dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat
Nomor 9 Tahun 2019 tentang Bale Mediasi (Perda Bale Mediasi). Pasal
1 angka 5 Perda Bale Mediasi mengatur: “Bale Mediasi adalah lembaga
yang menjalankan fungsi mediasi, pembinaan, dan koordinasi dalam
pelaksanaan mediasi di masyarakat sesuai dengan kearifan lokal”.
Pembentukan Bale Mediasi dilakukan berdasarkan kearifan lokal.
Pada masyarakat NTB (suku Sasak di Lombok, Samawa, dan Mbojo di
Pulau Sumbawa, yang setiap desa dan kelurahan juga memiliki lembaga
adat), penyelesaian sengketa sering dilakukan di luar jalur formal dengan
cara musyawarah mufakat dan mengacu pada nilai-nilai hukum adat
dan agama (kearifan lokal). Oleh karenanya dalam proses penyelesaian
sengketa tersebut umumnya melibatkan tokoh agama (tuan guru),
pemuka adat, dan kepala desa.517
Masyarakat Sasak memiliki Berugaq (baca: berugak) Sekepat sebagai
tempat menyelesaikan perselisihan.518 Dalam menyelesaikan sengketa

517
Penjelasan Umum Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor
9 Tahun 2019 tentang Bale Mediasi (Perda Bale Mediasi).
518
Barugaq Sekepat adalah rumah adat Suku Sasak Lombok, memiliki
bentuk seperti gazebo, dengan atap yang terbuat dari daun kelapa, berbentuk
seperti panggung tanpa dinding, dan terdapat empat pilar yang terbuat dari kayu.
Lihat: https://ntb.genpi.co/sasambo/1958/mengenal-berugaq-sekepat-rumah-
adat-suku-sasak-lombok#:~:text=GenPI.co%20Ntb%20%2D%20Berugaq%20
Sekepat,terbuat%20dari%20genteng%20atau%20seng., diakses tanggal 28
November 2022.

174 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pada masyarakat Sasak, akan diselesaikan oleh empat orang, di mana
keempat orang tersebut duduk pada masing-masing sudut Berugaq
Sekepat. Tuan rumah akan duduk pada sudut paling kanan, sudut kiri
ditempati oleh krama-krama (tetua adat), sedangkan yang pihak yang
beperkara duduk di depan pemilik rumah dan krama. Menurut Lalu
Sajim Sastrawan, siapa pun yang datang membawa kasus ke forum
Sekepat, pasti memiliki niat baik untuk menyelesaikan sengketanya,
sehingga sudah pasti akan terjadi perdamaian.519
Salah satu tujuan pembentukan Bale Mediasi adalah pengakuan
pemerintah sebagai wujud perlindungan, penghormatan, dan
pemberdayaan terhadap keberadaan lembaga adat dalam menjalankan
fungsi mediasi. Selain itu, Bale Mediasi juga bertujuan untuk mencegah
dan meredam konflik atau sengketa di masyarakat lebih dini, serta
terselenggaranya penyelesaian sengketa di masyarakat melalui mediasi
demi terciptanya suasana yang rukun, tertib, dan harmoni.520
Bale Mediasi bukan merupakan bagian dari peradilan negara,
melainkan lembaga yang menyelesaikan sengketa di luar pengadilan,
bersifat non-struktural, dan bertanggung jawab kepada gubernur.521
Pelaksana harian dan mediator Bale Mediasi di tingkat provinsi terdiri
dari unsur-unsur, seperti akademisi, tokoh adat, tokoh agama, tokoh
masyarakat, mediator bersertifikat dan/tidak bersertifikat, profesional,
dan praktisi.522 Anggota Bale Mediasi sudah dua kali mengikuti pelatihan
mediator yang diselenggarakan Mahkamah Agung bekerja sama dengan
Universitas Gadjah Mada.523 Di Lombok, mantan kepala desa dan
mantan camat, biasanya berperan sebagai mediator dalam Bale Mediasi
dalam mengatasi konflik di daerahnya masing-masing.524
Bale Mediasi menangani perkara perdata dan pidana untuk mediasi
melalui prinsip musyawarah mufakat di luar pengadilan.525 Penyelesaian
sengketa dilakukan atas permohonan para pihak. Namun, penyelesaian

519
Wawancara dengan Lalu Sajim Sastrawan, Ketua Bale Mediasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 21 November 2022.
520
Pasal 3 Perda Bale Mediasi.
521
Pasal 5 Perda Bale Mediasi.
522
Pasal 10 Perda Bale Mediasi.
523
Lalu Sajim Sastrawan, Loc. Cit.
524
Ibid.
525
Pasal 17 ayat (2) Perda Bale Mediasi.

BAB 5 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal 175


sengketa dapat juga dilakukan tanpa permohonan dari pihak yang
bersengketa, tetapi tetap dengan adanya peran serta masyarakat yang
melaporkannya.526 Bale Mediasi pernah menangani perkara perang
antarkampung, dan berhasil diselesaikan tanpa melalui aparat penegak
hukum. Selain itu, Bale Mediasi juga pernah menangani perkara terkait
suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).527

F. Pembelajaran dari Hasil Verifikasi Empiris


Masyarakat Indonesia telah lama memiliki mekanisme penyelesaian
sengketa yang mengandung nilai-nilai restorative justice. Dalam hukum
adat Batak dikenal istilah Hula-hula, Dongan Tubu, dan Boru untuk
menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat adat batak yang digerakkan oleh Lembaga Dalihan Na Tolu.
Pada masyarakat Bali dan Lombok ada awig-awig, sedangkan masyarakat
Jawa sangat kaya dengan aturan-aturan atau nilai-nilai penyelesaian
masalah yang mengedepankan pemulihan harmonisasi kehidupan
bersama. Penyelesaian sengketa pada masyarakat adat di Indonesia lebih
mengedepankan kebersamaan, kepedulian, kesetiakawanan, keserasian,
keselarasan, serta welas asih, baik terhadap sesama maupun dengan
alam dan lingkungan.
Pengaturan dan penerapan restorative justice di Indonesia memiliki
landasan yang kuat. Menurut Hayyan Ul Haq, restorative justice
merupakan pembadanan nilai-nilai Pancasila yang merupakan sumber
dari segala sumber hukum serta falsafah bangsa Indonesia. Nilai-nilai
Pancasila sendiri merupakan kristalisasi nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat Indonesia.
Pengaturan dan penerapan restorative justice juga memiliki
landasan yang kuat dalam UUD 1945. Pasal-pasal UUD 1945 yang
menjadi landasan pengaturan restorative justice, antara lain: (1) Pasal
1 ayat (3) yang mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum”; (2) Pasal 18B ayat (2) yang mengatur, “Negara mengakui
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

526
Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) Perda Bale Mediasi.
527
Lalu Sajim Sastrawan, Loc. Cit.

176 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”; dan (3) Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945 tentang kewajiban negara untuk memberi pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.
Pengaturan restorative justice juga telah secara tegas diatur dalam
peraturan-peraturan lembaga, seperti Perpol No. 8 Tahun 2021, Perja
No. 15 Tahun 2020, serta SK Dirjen Badilum No. 1691/DJU/SK/
PS.00/12/2020. Dengan demikian, dasar pengaturan dan pelaksanaan
restorative justice di Indonesia sangat lengkap dan kuat. Namun,
pengaturan tersebut harus diseragamkan agar terciptanya kepastian
hukum. Sebab, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan
terkait restorative justice oleh kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan
masih terdapat perbedaan. Payung hukum yang tepat agar terciptanya
keseragaman adalah mengatur restorative justice dalam KUHAP.
Menurut Hayyan Ul Haq, tujuan fundamental pengaturan dan
penerapan restorative justice adalah untuk memelihara keutuhan,
memperkuat kohesivitas sistem sosial, sehingga terjaga dan terciptanya
sustainabilitas kehidupan bersama. Restorative justice diterapkan untuk
mengembalikan keadaan yang sudah terguncang atau terganggu akibat
terjadinya tindak pidana, sehingga kembali utuh. Haq menjelaskan,
dalam teori sistem, identitas dari suatu entitas, terutama identitas
makhluk hidup, terletak pada sustainability, yaitu:
“Sustainability itu adalah kehidupannya. Kita hidup untuk
memunculkan identitas kita. Namun, di dalam teori sistem itu
dikatakan bahwa sustainabilitas hidup kita hanyalah akibat dari
adanya interaksi antarkomponen dalam tubuh manusia, yang
membentuk keutuhan. Jadi, prasyarat dasar restorative justice adalah
bahwa kehidupan hanya ada kalau ada keutuhan.”528
Haq menjelaskan, Indonesia memiliki fondasi yang sangat kuat
untuk mengatur dan menerapkan restorative justice. Secara filosofis,
restorative justice berakar pada nilai-nilai yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia
terkristal dalam sila-sila Pancasila yang merupakan grundnorms.

528
Hayyan Ul Haq, disampaikan dalam melakukan Focus Group Discussion (FGD)
di Mataram, tanggal 22 November 2022.

BAB 5 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal 177


Menurut Haq, seluruh penegakan hukum harus bersandar pada nilai
ilahiah, kebaikan, kejujuran, keseimbangan, keadilan, keutuhan, dan
sustainability sebagaimana terkandung dalam sila pertama Pancasila.
Penegakan hukum juga harus berlandaskan kemanusiaan (humanity),
menjaga keutuhan, mengedepankan musyawarah mufakat, serta
mengutamakan keadilan. Haq mengatakan bahwa restorative justice
merupakan upaya pembadanan nilai-nilai Pancasila ke dalam praktik.
Menurut Haq, penerapan restorative justice di Indonesia memiliki
landasan yuridis yang kuat. Landasan yang paling pertama adalah Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
(UUD 1945), yang mengatur “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Selain itu, dasar penerapan restorative justice diatur juga melalui Pasal
18B UUD 1945 tentang pengakuan dan menghormati kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Penegasan pengaturan restorative justice diatur juga dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 tentang kewajiban negara untuk memberi
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Meski demikian, hukum
adat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Sepanjang
hukum adat tersebut berkemanusiaan, maka hukum adat itu sah. Haq
menjelaskan, nilai-nilai yang masih hidup dan berkembang dalam
masyarakat dapat menjadi referensi hukum bagi aparat penegak hukum
dalam melakukan penegakan hukum, namun sepanjang koheren dengan
mandat konstitusi.
Pelaksanaan restorative justice dapat dilakukan pada setiap tahap
proses peradilan pidana, baik di kepolisian, kejaksaan, pengadilan,
maupun lembaga pemasyarakatan. Dalam praktik di wilayah Mataram,
ternyata restorative justice diterapkan secara berbeda. Di Polresta Mataram
dan Kejaksaan Negeri Mataram, restorative justice berakhir dengan
penghentian perkara, sedangkan pada Pengadilan Negeri Mataram,
restorative justice tidak menghentikan perkara. Contoh kasusnya adalah
adanya tindak pidana penelantaran anak yang dituduhkan kepada
seorang anggota kepolisian. Kasus tersebut berawal dari adanya
gugatan perceraian di pengadilan agama oleh istrinya. Pengadilan

178 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


agama mengabulkan gugatan cerai dan suami yang merupakan
anggota kepolisian dibebankan untuk memberi nafkah anak. Namun,
suami tidak menjalankan putusan, sehingga dilaporkan kepada polisi
dengan tuduhan melakukan penelantaran anak. Proses restorative justice
dilakukan oleh Bale Mediasi Kota Mataram, namun gagal. Pada tingkat
penyidikan dan proses di kejaksaan juga diupayakan restorative justice,
namun tetap gagal. Perdamaian baru berhasil dilakukan setelah jaksa
penuntut umum (JPU) membacakan tuntutan. Namun, karena proses
dakwaan dan tuntutan telah dilakukan, pengadilan tidak menghentikan
perkara tersebut, melainkan tetap diproses sampai adanya vonis.
Terdakwa pada akhirnya dihukum sembilan bulan penjara, denda
Rp2.000.000,00 dengan subsider dua bulan kurungan.
Polresta Mataram telah menyelesaikan perkara tindak pidana
melalui restorative justice sebanyak 131 perkara dari total 670 perkara
yang diterima pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2022. Terdapat
14 jenis tindak pidana yang telah diselesaikan melalui restorative justice,
kasus yang paling banyak adalah penjualan minuman keras (miras)
tradisional tanpa izin sebanyak 34 kasus, sedangkan yang paling sedikit
adalah kasus percobaan pencurian (satu kasus), membawa senjata tajam
(satu kasus), pengeroyokan (satu kasus), dan penghinaan (satu kasus),
dapat diuraikan dalam tabel berikut.
Tabel 5.1 Data Restorative Justice Polresta Mataram Tahun 2022
Jumlah
No. Jenis Tindak Pidana
Restorative Justice
1. Pencurian 19
2. Penganiayaan 22
3. Penganiayaan Anak 2
4. Penghinaan 1
5. Penipuan 11
6. Penggelapan 25
7. Pengeroyokan 1
8. Kekerasan Dalam Rumah Tangga 2
9. Pengerusakan 3
10. Pencurian dalam Keluarga 2
11. Membawa Senjata Tajam 1

BAB 5 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal 179


Jumlah
No. Jenis Tindak Pidana
Restorative Justice
12. Percobaan Pencurian 1
13. Miras Tradisional Tanpa Izin 34
14. Penadahan 7
Total 131
Sumber: Data Satreskrim Polresta Mataram

Penerapan restorative justice di Polresta Mataram dilaksanakan


berdasarkan Perpol No. 8 Tahun 2021, yaitu melalui gelar perkara
khusus. Menurut Kasat Reskrim Polresta Mataram, Kadek Adi Budi
Astawa, dalam gelar perkara khusus tidak membahas konstruksi
pasal, melainkan hanya melakukan verifikasi berkas perdamaian serta
memastikan bahwa antara para pihak telah tercapai perdamaian tanpa
tekanan, dan kerugian yang dialami korban telah dipulihkan.
Menurut Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram, Perja No. 15
Tahun 2020 telah mengatur syarat-syarat pelaksanaan restorative justice
oleh kejaksaan, yaitu harus adanya perdamaian, ancaman hukuman tidak
lebih dari lima tahun, dan nilai kerugiannya di bawah Rp2.500.000,00
serta pelaku tindak pidana bukan residivis. Pelaksanaan dilakukan
setelah berkas perkara dan tersangka dilimpahkan tahap kedua dari
penyidik. Dalam hal tercapai kesepakatan damai, selanjutnya hasil
restorative justice diekspose ke Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum
(Jampidum).529
Kota Mataram telah memiliki Rumah Restorative Justice, namun sejak
pembentukannya belum ada perkara yang diselesaikan. Meski demikian,
fungsi Rumah Restorative Justice tidak terbatas untuk menyelesaikan
perkara melalui mediasi, tetapi juga berfungsi memberikan sosialisasi,
penyuluhan hukum, atau konsultasi hukum. Rumah Restorative Justice
Mataram selalu bekerja sama dengan Bale Mediasi yang ada di Mataram.
Menurut Ketua Pengadilan Negeri Mataram, Sri Sulastri, penerapan
restorative justice di Pengadilan Negeri Mataram berbeda dengan penerapan
di kepolisian dan kejaksaan. Dalam hal perkara sudah didaftarkan di
pengadilan, perkara tersebut tidak dapat dihentikan walaupun para pihak

529
Kepala Kejaksaan Negeri Mataram, Loc. Cit.

180 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


berdamai selama proses persidangan. Perkara tetap diperiksa sampai
adanya putusan hakim. Namun, perdamaian yang terjadi antara korban
dan pelaku akan menjadi bahan pertimbangan hakim. Sulastri juga
menjelaskan, belum ada perkara restorative justice untuk terdakwa dewasa
di Pengadilan Negeri Mataram. Selama ini hanya menangani perkara
diversi terhadap kasus anak berhadapan dengan hukum.530

530
Ketua Pengadilan Negeri Mataram, Loc. Cit.

BAB 5 | Penerapan Konsepsi Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal 181


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB
6
MODEL PENGATURAN
RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA

A. Konsepsi Pengaturan Restorative Justice pada Semua


Tahap Sistem Peradilan Pidana
Restorative justice idealnya diterapkan pada semua tahap sistem peradilan
pidana, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan, pengadilan, maupun
lembaga pemasyarakatan. ECOSOC Res. 2000/14 juga telah mengatur
bahwa “restorative justice programmes should be generally available at all stages
of the criminal justice process”. Praktiknya di negara lain juga dilakukan
pada setiap tahap sistem peradilan pidana, seperti di Jamaika, Belanda,
dan Kanada.
Di Indonesia, restorative justice dapat diterapkan pada setiap tahap
sistem peradilan pidana. Sebab, masing-masing subsistem memiliki
tugas dan fungsi sendiri-sendiri. Kepolisian bertugas melakukan
penyelidikan dan penyidikan, kejaksaan bertugas melakukan penuntutan,
sedangkan pengadilan bertugas memeriksa dan memutus perkara tindak
pidana. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut, kepolisian
(penyidik) berwenang melakukan penghentian penyidikan,531 kejaksaan
berwenang melakukan penghentian penuntutan,532 dan pengadilan
berwenang memeriksa, mengadili, serta memutus perkara penghentian
penyidikan dan penuntutan tersebut.

531
Pasal 7 ayat (1) huruf I KUHAP.
532
Pasal 140 ayat (2) KUHAP.

183
Menurut Gerry Johnstone, salah satu tujuan penerapan restorative
justice di penjara adalah untuk menyadarkan narapidana agar memahami
dampak kejahatan terhadap korban dan bertanggung jawab atas
tindakannya.533 Restorative justice di penjara juga dapat menyelesaikan
konflik antara narapidana dalam penjara, atau menyelesaikan konflik
antara narapidana dengan sipir/staf lembaga pemasyarakatan.534 Salah
satu program restorative justice di penjara yang berhasil dilaksanakan
adalah “A Sycamore Tree Programme”. Program ini diselenggarakan
oleh organisasi non-pemerintahan The Prison Fellowship. Johnstone
menjelaskan, program tersebut biasanya dilaksanakan dalam enam
sampai delapan sesi, selama dua sampai tiga jam.535
Tujuan “A Sycamore Tree Programme” adalah untuk memenuhi
kebutuhan narapidana dan korban kejahatan yang berpartisipasi. Untuk
pelaku, tujuannya antara lain: (1) mendorong untuk bertanggung jawab
atas tindakannya; (2) memungkinkan untuk mengalami pengakuan,
pertobatan, pengampunan, dan rekonsiliasi terkait pelanggaran yang
mereka lakukan; serta (3) membantu menebus kesalahan melalui
partisipasi dalam tindakan restitusi simbolis.
Berkaitan dengan korban, tujuannya antara lain: (1) membantu
menyelesaikan masalah seputar tindak pidana yang dilakukan; (2)
membantu untuk mendapatkan informasi yang lebih baik tentang
kejahatan, pelaku, dan keadilan restoratif; (3) memungkinkan
untuk melihat pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya; dan
(4) membantu korban atau keluarganya mendapatkan sense of closure,
pengampunan, dan kedamaian.536
Para ahli hukum belum memiliki kesatuan pendapat terkait definisi
sistem peradilan pidana (SPP). Marcus Priyo Gunarto menjelaskan, SPP
merupakan bagian dari sistem sosial untuk menanggulangi kejahatan
dan merehabilitasi perilaku anti-sosial.537 Pendapat senada disampaikan

533
Gerry Johnstone, Restorative Justice in Prison, (Strasbourg: European
Committee on Crime Problems, 2014), hlm. 6.
534
John Collins, Restorative Justice in Custodial Settings, (United Kingdom:
Restorative Justice Council, 2016), hlm. 7.
535
Gerry Johnstone, Loc. Cit.
536
Ibid.
537
Marcus Priyo Gunarto, Sikap Memidana yang Berorientasi pada Tujuan
Pemidanaan, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 1, Februari 2009,
hlm. 93–1008.

184 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Mardjono Reksodiputro, menyatakan SPP merupakan sistem dalam
suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.538 Menurut Muladi,
SPP merupakan suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum
pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum
pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. 539 Meskipun
terdapat perbedaan pendapat, namun terdapat kesepakatan di antara
para ahli, komponen sistem peradilan pidana merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat bergerak secara parsial.
Menurut Gunarto, untuk mencapai tujuan akhir SPP, subsistem
tidak dapat berjalan secara parsial atau sendiri-sendiri, melainkan
satu kesatuan sistematis yang bergerak sistemis secara keseluruhan
dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentransformasi
masukan menjadi tujuan SPP.540 Gerak sistemis dimaksud, dilakukan
berdasarkan kewenangan masing-masing dalam penanganan hukum
pidana.
Dalam menerapkan restorative justice, pandangan fragmentaris
seperti yang diungkapkan Atmasasmita terlihat dari pengaturan yang
dibuat masing-masing instansi yang hanya fokus pada lembaga masing-
masing. Perpol No. 8 Tahun 2021 tidak mengatur terkait koordinasi
pelaksanaan restorative justice dengan penuntut umum. Satu-satunya
pasal yang menyebut penuntut umum adalah Pasal 16 ayat (2) huruf g
yang mengatur bahwa pengiriman surat pemberitahuan penghentian
penyidikan (SP3) dengan melampirkan surat ketetapan penghentian
penyidikan terhadap perkara yang sudah dikirim surat pemberitahuan
dimulai penyidikan SPDP kepada jaksa penuntut umum. Pasal
tersebut tidak mengatur terkait koordinasi, melainkan hanya bersifat
pemberitahuan bahwa penyidik telah melakukan restorative justice.
Suatu perkara tindak pidana yang sudah masuk tahap penyidikan,
seharusnya sudah ada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan
(SPDP) dari penyidik ke jaksa penuntut umum. Dalam hal penyidik

538
Mardjono Reksodipoetro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum Universitas Indonesia, 1994), hlm. 84–85.
539
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 18.
540
Marcus Priyo Gunarto, Loc. Cit.

BAB 6 | Model Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 185


mau melakukan penghentian penyidikan berdasarkan restorative justice,
penyidik harus meminta petunjuk atau konsultasi terlebih dahulu
dengan jaksa penuntut umum. Koordinasi juga seharusnya dilakukan
kejaksaan kepada penyidik, dalam hal jaksa penuntut umum melakukan
penghentian penuntutan terhadap perkara tindak pidana yang telah
disidik. Namun dalam praktiknya, jaksa penuntut umum tidak
pernah melakukan koordinasi. Koordinasi juga harus dilakukan antara
penyidik dengan hakim, jaksa penuntut umum dengan pengadilan, dan
sebaliknya. Sebab, perintah penyitaan, penggeledahan, dan penahanan
harus dilakukan berdasarkan perintah pengadilan.

B. Rasionalitas Landasan Pengaturan


Landasan pengaturan restorative justice di Indonesia sangat kuat.
Pancasila sebagai staats fundamental norm, telah memberi landasan yang
kuat untuk pengaturannya. Menurut Romli Atmasasmita, restorative
justice mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab,
sebagaimana dimaksud dalam sila kedua Pancasila.541 Restorative justice
juga sejalan dengan UUD 1945, Pasal 1 ayat (3), mengatur “Negara
Indonesia adalah negara hukum”. Selain itu, dasar penerapan restorative
justice diatur juga melalui Pasal 18B UUD 1945 tentang pengakuan
dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup serta sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Penegasan pengaturan restorative justice diatur juga dalam Pasal
28D ayat (1) UUD 1945 tentang kewajiban negara untuk memberi
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan Pasal 24A
ayat (5) UUD 1945, hukum acara harus diatur melalui undang-undang,
bukan peraturan teknis, yaitu “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan
hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya
diatur dengan undang-undang”.

541
Romli Atmasasmita, “Menggapai Keadilan Restoratif ” dalam
https://nasional.sindonews.com/read/714315/18/menggapai-keadilan-
restoratif-1647414216, diakses tanggal 2 November 2022.

186 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat diatur lebih lanjut
dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana terakhir diubah
dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Salah satu bentuk pengakuan masyarakat hukum adat tercantum dalam
Pasal 34 huruf a UU Kehutanan yang mengatur bahwa pengelolaan
kawasan hutan untuk tujuan khusus dapat diberikan kepada masyarakat
hukum adat. Bahkan Pasal 67 ayat (1) huruf b secara tegas mengakui
keberlakuan hukum adat: “Masyarakat hukum adat sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak melakukan
kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang”. Penjelasan Pasal 67 ayat
(1) tersebut mengatur lebih jelas pengakuan hukum adat, yaitu diakui
keberadaannya sepanjang adanya:
1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap);
2. kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
3. wilayah hukum adat yang jelas; dan
4. pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang
masih ditaati.

Pengakuan keberadaan hukum adat dan masyarakat adat, juga


diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU
Desa). Pasal 97 ayat (2), mengatur bahwa kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak tradisionalnya yang masih hidup harus memiliki
wilayah, dan paling kurang memenuhi salah satu atau gabungan unsur
adanya:
1. masyarakat yang warganya memiliki perasaan bersama dalam
kelompok;
2. pranata pemerintahan adat;
3. harta kekayaan dan/atau benda adat; dan/atau
4. perangkat norma hukum adat.

BAB 6 | Model Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 187


UU Desa secara tegas mengatur kewenangan desa adat, salah
satunya adalah menyelesaikan konflik dalam masyarakat desa adat.
Pasal 103, mengatur bahwa kewenangan desa adat, meliputi:
1. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan
asli;
2. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
3. pelestarian nilai sosial budaya desa adat;
4. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku
di desa adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi
manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
5. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
6. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat
berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat; dan
7. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial
budaya masyarakat desa adat.

Undang-undang terbaru yang mengakui keberadaan masyarakat


hukum adat adalah UU Cipta Kerja. Pasal 18 angka 26 Pasal 60 ayat (1)
huruf d mengatur bahwa dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil, masyarakat mempunyai hak untuk melakukan kegiatan
pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan
hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Hal tersebut ditegaskan lagi melalui
Pasal 42 angka 21 dan Pasal 30 ayat (6), yang mengatur bahwa dalam
hal tanah yang digunakan pemegang perizinan berusaha untuk kegiatan
penyediaan tenaga listrik terdapat tanah ulayat, penyelesaiannya
dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pertanahan dengan memperhatikan ketentuan hukum adat
setempat.
Saat ini Indonesia belum memiliki undang-undang yang secara
tegas mengatur penyelesaian perkara tindak pidana melalui restorative
justice. Hanya ada satu undang-undang yang secara tegas mengatur
penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restorative justice, yaitu
UU SPPA. Ada pun peraturan perundang-undangan yang secara tegas
mengatur penyelesaian perkara tindak pidana berdasarkan restorative

188 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


justice hanya diatur dalam peraturan yang teknis dan bersifat sektoral,
yaitu: Perpol No. 8 Tahun 2021, Perja No. 15 Tahun 2020, dan Keputusan
Dirjen Badilum MA Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/
PS.00/12/2020 yang saat ini telah ditegakkan pemberlakuannya. Meski
demikian, peraturan-peraturan tersebut masih saling bertentangan.
Terdapat perbedaan pemahaman terkait konsep restorative justice, serta
perbedaan terkait kriteria tindak pidana yang dapat diselesaikan. Oleh
karena itu, perlu dibentuk undang-undang khusus yang mengatur
penyelesaian perkara tindak pidana berdasarkan restorative justice, dapat
dijelaskan sebagai berikut.

1. KUHAP sebagai Payung Hukum


Hukum acara pidana adalah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur bagaimana caranya alat penegak hukum melaksanakan dan
mempertahankan hukum pidana.542 Van Bemellen menjelaskan bahwa
hukum acara pidana merupakan kumpulan ketetapan hukum yang
mengatur negara terhadap adanya dugaan terjadinya pelanggaran
pidana, dan untuk mencari kebenaran melalui alat-alatnya dengan cara
diperiksa di persidangan dan diputus oleh hakim dengan menjalankan
putusan tersebut.
Romli Atmasasmita menjelaskan bahwa ada lima tujuan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu: (1) perlindungan
atas harkat dan martabat manusia (tersangka atau terdakwa); (2)
perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan; (3) kodifikasi
dan unifikasi hukum acara pidana; (4) mencapai kesatuan sikap dan
tindakan aparat penegak hukum; serta (5) mewujudkan hukum acara
pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.543
KUHAP yang berlaku saat ini belum mengatur penyelesaian perkara
tindak pidana melalui mekanisme restorative justice. Padahal, restorative
justice merupakan salah satu mekanisme penyelesaian perkara pidana,
sehingga termasuk dalam kelompok hukum acara pidana. Menurut

542
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, cetakan 1, (Jakarta:
Djambatan, 2013), hlm. 76.
543
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2011), hlm. 31.

BAB 6 | Model Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 189


penulis, agar terciptanya satu pemahaman yang sama, dan terciptanya
keseragaman penafsiran serta adanya kepastian hukum terkait
penerapan restorative justice, maka pengaturannya harus diatur dalam
KUHAP. Dengan demikian, KUHAP yang berlaku saat ini harus segera
direvisi untuk mengakomodasi penerapan restorative justice.
Pengaturan restorative justice dalam KUHAP harus diatur secara
komprehensif. Adapun hal-hal yang perlu diatur, antara lain sebagai
berikut.
a. Definisi dan tujuan restorative justice. Hal ini sangat penting diatur
untuk mencegah multi-penafsiran dan perbedaan pengaturan
seperti yang terjadi saat ini. Keterlibatan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban, serta pihak lain atau masyarakat yang terkena
dampak tindak pidana harus berpartisipasi aktif menemukan solusi
yang terbaik untuk memulihkan korban, memperbaiki pelaku, dan
memulihkan hubungan pelaku dengan korban, serta memulihkan
keadaan masyarakat yang telah rusak.
b. Jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui restorative justice.
Terdapat perbedaan dalam pengaturannya, ada yang mengatur
hanya dapat diterapkan pada anak atau remaja, atau hanya untuk
tindak pidana tertentu, tetapi ada untuk semua tindak pidana tanpa
pengecualian.
c. Restorative justice tidak dapat diterapkan bagi pelaku pengulangan
tindak pidana (residivis). Salah satu tujuannya adalah memperbaiki
sikap pelaku, menjadi sadar akan kesalahannya, dan tidak akan
mengulanginya.
d. Pengaturan restorative justice dapat diselenggarakan pada setiap
tahap sistem peradilan pidana. Pengaturan pada setiap subsistem
dapat dilakukan penghentian penyidikan dan penuntutan, serta
memberikan putusan bebas atau lepas.
e. Restorative justice diterapkan secara sukarela dan berdasarkan
kesepakatan para pihak. Hal tersebut hanya dapat diselenggarakan
berdasarkan kehendak bebas pelaku dan korban, tanpa paksaan.
f. Kepolisian, kejaksaan, serta pengadilan diberi kewenangan sebagai
mediator dan fasilitator.

190 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


g. Tidak tercapai kesepakatan damai selama proses restorative justice.
Perkara tindak pidana tersebut dapat dilanjutkan dengan proses
penuntutan, namun tidak dapat digunakan sebagai bukti pengakuan
bersalah dan pembenaran untuk menjatuhkan hukuman yang lebih
berat dalam proses peradilan pidana selanjutnya.
h. Tercapainya kesepakatan restorative justice, wajib mendapatkan
penetapan pengadilan. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
penetapan pengadilan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi ke pengadilan.

2. Regulasi Teknis Setiap Instansi Penegak Hukum


Pelaksanaan restorative justice dapat dilaksanakan pada setiap tingkatan
sistem peradilan pidana. Dalam hal KUHAP telah diubah, dan ketentuan
restorative justice telah dimasukkan dalam peraturan tersebut, maka
teknis pelaksanaan restorative justice dapat diatur lebih lanjut dalam
peraturan masing-masing lembaga subsitem peradilan pidana, terutama
kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
Perpol No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
Berdasarkan Keadilan Restoratif, harus diamendemen sejalan dengan
dorongan perubahan KUHAP. Sama seperti usulan perubahan terhadap
Perja dan usulan pembentukan Perma, terdapat beberapa hal yang harus
direvisi dan ditambahkan ke dalam Perpol No. 8 Tahun 2021.
Harus diakui bahwa kejaksaan telah menerbitkan Perja No. 15 Tahun
2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Pada hasil penelitian ini mendorong agar adanya pembentukan satu
payung hukum dalam mengatur restorative justice melalui perubahan
KUHAP, maka Perja ini didorong untuk diubah. Apabila KUHAP
nantinya telah direvisi, dan mengadopsi pengaturan restorative justice,
terdapat beberapa hal yang perlu direvisi dan ditambahkan dalam Perja
No. 15 Tahun 2020.
Pengaturan hal teknis terkait restorative justice di Mahkamah Agung
dapat diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Penerapan
restorative justice di pengadilan saat ini dilakukan berdasarkan Keputusan
Dirjen Badilum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang
Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice).

BAB 6 | Model Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 191


Namun, penerapan restorative justice di pengadilan untuk sementara
ditangguhkan berdasarkan Surat Keputusan Pelaksana Tugas Dirjen
Badilum Nomor: 1209/DJU/PS.00/11/2021 perihal Penangguhan Surat
Keputusan Dirjen Badilum Nomor: 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020.
Surat keputusan penangguhan tersebut pada intinya menyatakan
bahwa pelaksanaan restorative justice di pengadilan ditangguhkan
pelaksanaannya sampai dengan diberlakukannya Perma tentang
restorative justice.
Pengaturan teknis restorative justice selanjutnya dapat diatur sebagai
berikut.
1. Definisi dan tujuan restorative justice.
2. Jenis tindak pidana yang diselesaikan melalui restorative justice.
3. Restorative justice tidak dapat diterapkan bagi pelaku pengulangan
tindak pidana (residivis).
4. Pengaturan restorative justice dapat diselenggarakan pada setiap tahap
sistem peradilan pidana.
5. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan wajib menjelaskan kepada
para pihak sebelum melaksanakan restorative justice terkait hak-
haknya, proses restoratif, dan konsekuensi dari keputusan yang
diambil.
6. Mengatur bahwa semua pihak harus mengakui fakta-fakta sebuah
kasus sebagai dasar untuk berpartisipasi dalam proses restoratif. Fakta
tersebut tidak boleh digunakan sebagai bukti pengakuan bersalah
dalam proses hukum selanjutnya dan bersifat rahasia serta tidak boleh
diungkapkan ke publik, kecuali atas persetujuan para pihak.
7. Mengatur bahwa restorative justice hanya bisa diselenggarakan
dengan persetujuan bebas dan sukarela dari para pihak dan hanya
memuat kewajiban yang wajar dan proporsional.
Jika proses dan/atau hasil restoratif tidak menghasilkan
kesepakatan, aparat penegak hukum harus melakukan semua
yang mereka bisa untuk mendorong pelaku agar bertanggung
jawab terhadap korban dan masyarakat yang terkena dampak, dan
reintegrasi korban dan/atau pelaku ke dalam masyarakat. Baik
korban maupun pelaku tidak boleh dibujuk dengan cara yang tidak
adil untuk berpartisipasi dalam proses atau hasil restoratif.

192 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Apabila tidak tercapai kesepakatan, perkaranya dilanjutkan dengan
pemeriksaan berdasarkan hukum acara pidana. Tidak tercapainya
kesepakatan, tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk
menjatuhkan hukuman yang lebih berat dalam proses peradilan
pidana selanjutnya.
8. Tercapainya kesepakatan restorative justice, wajib mendapatkan
penetapan pengadilan. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
penetapan pengadilan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi ke pengadilan.
9. Perlu juga mengatur kualifikasi, pelatihan/pendidikan, dan
penilaian (assessment) fasilitator dan mediator yang dapat berasal
dari kepolisian, kejaksaan dan hakim, atau juga profesional,
atau secara kombinasi. Fasilitator dan mediator harus memiliki
pemahaman yang baik tentang budaya masyarakat setempat, dan
harus mampu menunjukkan penilaian yang baik serta memiliki
keterampilan interpersonal yang diperlukan untuk melakukan
proses restoratif.
Fasilitator dan mediator harus mampu berlaku adil, imparsial
(seimbang), atau tidak memihak, berpedoman pada fakta kasus
dan kebutuhan serta keinginan para pihak. Fasilitator dan
mediator harus selalu menghormati martabat para pihak dan
memastikan bahwa para pihak bertindak dengan menghormati
satu sama lain. Fasilitator dan mediator harus bertanggung jawab
untuk menciptakan suasana yang aman dan nyaman selama
menyelenggarakan program restorative justice, serta peka terhadap
kerentanan pihak yang terlibat. Selain itu, fasilitator dan mediator
wajib mengikuti pelatihan dasar sebelum melakukan tugas fasilitasi
dan mediasi, juga harus mengikuti pelatihan lanjutan selama
menjabat sebagai fasilitator dan mediator.
Pelatihan harus bertujuan untuk memberikan keterampilan dalam
resolusi konflik, dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus
para korban dan pelaku. Pelatihan fasilitator dan mediator ditujukan
untuk memberikan pengetahuan dasar tentang sistem peradilan
pidana, serta memberikan pengetahuan menyeluruh tentang
pengoperasian program restoratif di mana mereka akan melakukan
tugas.

BAB 6 | Model Pengaturan Restorative Justice di Indonesia 193


10. Perlu diatur juga terkait administrasi proses restorative justice.
Administrasi proses restorative justice diserahkan kepada masing-
masing instansi penegak hukum. Pencatatan penyelesaian perkara
tindak pidana melalui mekanisme restorative justice harus dilakukan
secara tertib dan sistematis, bahkan harus dicatat dalam sistem
elektronik. Pencatatan secara elektronik sangat penting dilakukan
untuk memudahkan koordinasi, jangan sampai pelaku pengulangan
tindak pidana diikutkan dalam program restorative justice.
11. Perlu diatur mekanisme konsultasi dan koordinasi antara
administrator restorative justice, fasilitator dan mediator, pimpinan
lembaga masing-masing agar memiliki pemahaman serta informasi
yang sama terkait perkembangan dan/atau hasil pelaksanaan
restorative justice, atau bahkan menemukan cara yang terbaik
dalam mengatasi hambatan dan tantangan yang dihadapi selama
melaksanakan program restorative justice.
12. Perlu diatur standar kompetensi, etika, pengawasan, serta monitoring
dan evaluasi pelaksanaan program restorative justice.

194 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


BAB
7
REKOMENDASI KEBIJAKAN
RESTORATIVE JUSTICE DI INDONESIA

Restorative justice merupakan kearifan lokal (local wisdom) bangsa


Indonesia. Nilai-nilainya telah hidup lama dan berakar pada masyarakat
tradisional bangsa Indonesia untuk menjaga kehidupan bermasyarakat
yang harmonis. Penerapannya terlihat pada masyarakat adat Batak,
Jawa, Bali, Lombok, dan masyarakat adat Dayak di Kalimantan.
Meski demikian, mengingat pentingnya keseragaman dan kesatuan
penerapan, nilai-nilai restorative justice tersebut perlu dilembagakan
dalam bentuk peraturan tertulis. Pada bagian penutup ini, penulis
akan menguraikan langkah-langkah kebijakan yang perlu disusun oleh
pemerintah. Penulis membagi ke dalam tiga langkah kebijakan, yaitu
langkah kebijakan permanen, langkah kebijakan strategis, dan langkah
kebijakan operasional.

A. Langkah Kebijakan Permanen


Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 mengatur, “Susunan, kedudukan,
keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan
di bawahnya diatur dengan undang-undang.” Berdasarkan rumusannya,
pengaturan terkait hukum acara, tidak dapat diatur melalui peraturan
teknis, seperti Perpol, Perja maupun Perma, melainkan harus diatur
melalui undang-undang. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) harus merumuskan restorative justice secara komprehensif dalam

195
KUHAP dan KUHP. Terdapat delapan poin yang dapat diatur, yaitu
sebagai berikut.
1. Definisi dan tujuan restorative justice. Hal ini sangat penting diatur
untuk mencegah multi-penafsiran dan perbedaan pengaturan
seperti yang terjadi saat ini. Keterlibatan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban serta pihak lain atau masyarakat yang terkena
dampak tindak pidana harus berpartisipasi aktif menemukan solusi
yang terbaik untuk memulihkan korban, memperbaiki pelaku, dan
memulihkan hubungan pelaku dengan korban, serta memulihkan
keadaan masyarakat yang telah rusak.
2. Jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui restorative justice.
Terdapat perbedaan dalam pengaturannya, ada yang mengatur
hanya dapat diterapkan pada anak atau remaja, atau hanya untuk
tindak pidana tertentu, tetapi ada untuk semua tindak pidana tanpa
pengecualian.
3. Restorative justice tidak dapat diterapkan bagi pelaku pengulangan
tindak pidana (residivis). Salah satu tujuannya adalah memperbaiki
sikap pelaku, menjadi sadar akan kesalahannya, dan tidak akan
mengulanginya.
4. Pengaturan restorative justice dapat diselenggarakan pada setiap
tahap sistem peradilan pidana. Pengaturan pada setiap subsistem
dapat dilakukan penghentian penyidikan dan penuntutan, serta
memberikan putusan bebas atau lepas.
5. Restorative justice diterapkan secara sukarela dan berdasarkan
kesepakatan para pihak. Hal tersebut hanya dapat diselenggarakan
berdasarkan kehendak bebas pelaku dan korban, tanpa paksaan.
6. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan diberi kewenangan sebagai
mediator dan fasilitator.
7. Tidak tercapai kesepakatan damai selama proses restorative justice.
Perkara tindak pidana tersebut dapat dilanjutkan dengan proses
penuntutan, namun tidak dapat digunakan sebagai bukti pengakuan
bersalah dan pembenaran untuk menjatuhkan hukuman yang lebih
berat dalam proses peradilan pidana selanjutnya.
8. Tercapainya kesepakatan wajib mendapatkan penetapan pengadilan.
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan penetapan pengadilan,

196 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi ke
pengadilan.

B. Langkah Kebijakan Strategis


Pemerintah perlu menyusun peraturan pemerintah (PP) tentang
restorative justice sebagai peraturan pelaksana Undang-Undang. Banyak
peraturan dalam KUHAP dan KUHP maupun peraturan perundang-
undangan di luar KUHAP dan KUHP yang mengandung nilai-nilai
restorative justice. Peraturan-peraturan tersebut dapat dijadikan dasar
hukum untuk membentuk peraturan pemerintah tentang restorative
justice, yang pembentukannya seharusnya tidak membutuhkan waktu
yang lama. Adapun 12 poin yang diatur dalam PP, yaitu sebagai berikut.
1. Definisi dan tujuan restorative justice.
2. Jenis tindak pidana yang diselesaikan melalui restorative justice.
3. Restorative justice tidak dapat diterapkan bagi pelaku pengulangan
tindak pidana (residivis).
4. Pengaturan restorative justice dapat diselenggarakan pada setiap tahap
sistem peradilan pidana.
5. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan wajib menjelaskan kepada
para pihak sebelum melaksanakan restorative justice terkait hak-
haknya, proses restoratif, dan konsekuensi dari keputusan yang
diambil.
6. Mengatur bahwa semua pihak harus mengakui fakta-fakta sebuah
kasus sebagai dasar untuk berpartisipasi dalam proses restoratif.
Fakta tersebut tidak boleh digunakan sebagai bukti pengakuan
bersalah dalam proses hukum selanjutnya dan bersifat rahasia serta
tidak boleh diungkapkan ke publik, kecuali atas persetujuan para
pihak.
7. Mengatur bahwa restorative justice hanya bisa diselenggarakan
dengan persetujuan bebas dan sukarela dari para pihak dan hanya
memuat kewajiban yang wajar dan proporsional.
Jika proses dan/atau hasil restoratif tidak menghasilkan
kesepakatan, aparat penegak hukum harus melakukan semua
yang mereka bisa untuk mendorong pelaku agar bertanggung
jawab terhadap korban dan masyarakat yang terkena dampak, dan

BAB 7 | Rekomendasi Kebijakan Restorative Justice di Indonesia 197


reintegrasi korban dan/atau pelaku ke dalam masyarakat. Baik
korban maupun pelaku tidak boleh dibujuk dengan cara yang tidak
adil untuk berpartisipasi dalam proses atau hasil restoratif.
Apabila tidak tercapai kesepakatan, perkaranya dilanjutkan dengan
pemeriksaan berdasarkan hukum acara pidana. Tidak tercapainya
kesepakatan, tidak dapat digunakan sebagai pembenaran untuk
menjatuhkan hukuman yang lebih berat dalam proses peradilan
pidana selanjutnya.
8. Tercapainya kesepakatan restorative justice, wajib mendapatkan
penetapan pengadilan. Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
penetapan pengadilan, pihak yang dirugikan dapat mengajukan
permohonan eksekusi ke pengadilan.
9. Perlu juga mengatur kualifikasi, pelatihan/pendidikan, dan
penilaian (assessment) fasilitator dan mediator.
10. Perlu diatur juga terkait administrasi proses restorative justice.
Administrasi proses restorative justice diserahkan kepada masing-
masing instansi penegak hukum. Pencatatan penyelesaian perkara
tindak pidana melalui mekanisme restorative justice harus dilakukan
secara tertib dan sistematis, bahkan harus dicatat dalam sistem
elektronik. Pencatatan secara elektronik sangat penting dilakukan
untuk memudahkan koordinasi, jangan sampai pelaku pengulangan
tindak pidana diikutkan dalam program restorative justice.
11. Perlu diatur mekanisme konsultasi dan koordinasi antara
administrator restorative justice, fasilitator dan mediator, pimpinan
lembaga masing-masing agar memiliki pemahaman serta informasi
yang sama terkait perkembangan dan/atau hasil pelaksanaan
restorative justice, atau bahkan menemukan cara yang terbaik
dalam mengatasi hambatan dan tantangan yang dihadapi selama
melaksanakan program restorative justice.
12. Perlu diatur standar kompetensi, etika, pengawasan, serta monitoring
dan evaluasi pelaksanaan program restorative justice.

C. Langkah Kebijakan Operasional


Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan memiliki pemahaman serta
pengaturan yang berbeda terkait restorative justice. Hal ini berdampak

198 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


pada tidak adanya kepastian hukum, dan dapat merugikan masyarakat.
Oleh sebab itu, untuk jangka pendek, perlu disusun Surat Keputusan
Bersama (SKB) antara subsistem dalam sistem peradilan pidana.
SKB ini hanya bersifat sementara, sambil mendorong agar dibentuk
peraturan yang lebih tinggi yang mengikat semua lembaga penegak
hukum. Pembentukan SKB penting dilakukan karena tidak mungkin
menunggu pengaturan melalui undang-undang yang membutuhkan
waktu cukup lama.
Adapun empat poin yang perlu diatur dalam SKB, sebagai berikut.
1. Definisi dan tujuan restorative justice.
2. Jenis tindak pidana yang diselesaikan melalui restorative justice.
3. Restorative justice tidak dapat diterapkan bagi pelaku pengulangan
tindak pidana (residivis).
4. Pengaturan restorative justice dapat diselenggarakan pada setiap tahap
sistem peradilan pidana.

BAB 7 | Rekomendasi Kebijakan Restorative Justice di Indonesia 199


[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Apeldoorn, L.J. Van. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradya
Paramita.
Arief, B.N. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
­­—————. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
—————. 2010. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan.
Semarang: Pustaka Magister.
Arrasjid, Chainur. 2000. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Asikin, H. Zainal. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Asyhadie, Zaeni. 2016. Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System): Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme. Jakarta:
Penerbit Bina Cipta.
Bentham, Jeremy. 1823. An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, [s.l.: s.n.].
Bondan, Gandjar Laksmana Bonaprapta. Hukum dan Sistem Peradilan
Pidana. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.

201
Cahyadi, Antonius & E. Fernando Manullang. 2007. Pengantar ke Filsafat
Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Chartrand, L. and Horn, K. 2016. A Report on the Relationships between
Restorative Justice and Indigenous Legal Traditions in Canada. Ottawa:
Department of Justice Canada.
Collins, John. 2016. Restorative Justice in Custodial Settings. United
Kingdom: Restorative Justice Council.
Cragg, Wesley. 1992. The Practice of Punishment, Toward a Theory of
Restorative Justice. London and New York: Routledge.
Cruz, Peter de. 2010. Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law &
Socialist Law (Alih Bahasa: Narulita Yusron). Jakarta: Nusa Bangsa.
Daliyo, J. B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Preshallido.
Dasuki, H. A. Hafizh. 1997. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar
Baru van Hoeve.
Dignan, J. 2005. Understanding Victims and Restorative Justice. UK: Open
University Press.
Dünkel, Frieder, dkk. 2015. Restorative Justice and Mediation in Penal Matters:
A Stock-Taking of Legal Issues, Implementation Strategies and Outcomes in 36
European Countries. Mönchengladbach: Forum Verlag Godesberg GmbH.
Dworkin, R. M. 2013. Filsafat Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Merkid
Press.
Ediwarman. 2009. Monograf Metodologi Penelitian Hukum. Medan.
Eja, Yuarsi Susi. 2002. Menggagas Tempat yang Aman bagi Perempuan,
Cet. Ke-1. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada.
Ewart, B. dan D. Pennington. 1987. An Attributional Approach to Explaining
Sentencing Disparity in D. C. Pennington and S. Lloyd-Bostock, (eds) The
Psychological of Sentencing: Approaches to Consistency and Disparity.
Oxford: Centre for Socio-legal Studies.
Fajar, M dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Friedman, Lawrence. 1984. American Law an Introduction (Alih Bahasa:
Wisnu Basuki). Jakarta: PT Tatanusa.
Fuady, Munir. 2013. Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

202 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Gelsthorpe, Loraine dan Nicola Padfield. 2003. Exercising Discretion
Decision-Making in the Criminal Justice System and Beyond. UK: Willan
Publishing.
Gunawan, T.J. 2015. Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi:
Menuju Sistem Hukum Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya
Deteren dan Mengikuti Perkembangan Ekonomi. Yogyakarta: Genta Press.
Hairi, Wawan Muhwan. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: Pustaka
Setia.
Hamzah, Andi. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Jakarta:
Pradnya Paramita.
Hamzah, Andi. 2012. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Perkembangannya. Jakarta: Softmedia.
Hamzah, Andi dan Siti Rahayu.1983. Suatu Tinjauan Ringkas Sistem
Pemidanaan di Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.
Harahap, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan, Edisi ke-II. Jakarta: Sinar Grafika.
Hartono, Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. Bandung: Alumni.
Hiariej, Eddy O.S. 2014. Prinsip-prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya
Atma Pustaka, Yogyakarta.
Hirsch, Andrew Von, dkk. 2003. Restorative Justice and Criminal Justice:
Competing or Reconcilable Paradigms. Oregon: Hart Publishing.
Hutchinson, T. 2002. Researching and Writing in Law. Sydney: Lawbook Co.
Iksan, Muchamad. 2009. Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem
Peradilan Pidana Indonesia. Surakarta: Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Indrati, Maria Farida. 2007. Ilmu Perundang-undangan: Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius.
Johnstone, Gerry. 2014. Restorative Justice in Prison. Strasbourg: European
Committee on Crime Problems.
Kaelan. 2018. Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis,
Yuridis, dan Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma.
Kant, Immanuel. 1999. The Metaphysics of Morals, [Die Metaphysik der
Sitten]. Diterjemahkan oleh John Ladd. Cambridge: Hackett
Publishing Company.

Daftar Pustaka 203


Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi. 2012. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia
dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Storia Grafika.
Karjadi, M. dan R. Soesilo. 1997. Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana, dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia.
Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana, Bagian Kedua. Balai Lektur
Mahasiswa.
Kusuma, Hilman Hadi. 1979. Hukum Pidana Adat. Bandung: Alumni.
Kusuma, RM. A.B. 2009. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Mackinnon, J. 2018. Bringing Balance to the Scales of Justice. Charlottetown:
MCPEI Indigenous Justice Programme.
Macmudin, Dudu Duswara. 2003. Pengantar Ilmu Hukum: Sebuah Sketsa.
Bandung: Refika Aditama.
Manan, Bagir. 2008. Retorative Justice (Suatu Perkenalan), dalam Refleksi
Dinamika Hukum Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir. Jakarta:
Perum Percetakan Negara RI.
Maramis, Frans. 2013. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Marshall, Tony F. 1998. Restorative Justice an Overview. Minnesota: Centre
of Restorative justice and Mediation, Social Works, University of
Minnesota.
MD, Moh. Mahfud. 2014. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Mochtar, Zainal Arifin dan Eddy O.S. Hiariej. 2021. Dasar-dasar Ilmu
Hukum: Memahami Kaidah, Teori, Asas dan Filsafat Hukum. Indonesia:
Red & White Publishing.
Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Morris, Allison & Gabrielle Maxwell. 2001. Restorative Justice for Juvenile:
Conferencing, Mediation and Circle. USA: Oxford-Portland Oregon.
Mudzakkir. 2008. Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum
Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan). Jakarta:
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan
Hukum Nasional.

204 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Muhammad, Rusli. 2011. Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Yogyakarta:
UII Press.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana.
Bandung: Alumni.
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Mulyadi. 2007. Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teori dan Praktik
Peradilan. Bandung: Mandar Maju.
Napitupulu, Erasmus A. T., dkk. 2022. Peluang dan Tantangan Penerapan
Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Jakarta:
Institute for Criminal Justice Reform.
Pangaribuan, Luhut MP. 2014. Hukum Acara Pidana: Surat Resmi Advokat
di Pengadilan. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.
Poernomo, Bambang. 1985. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Posner, Richard A. 1993. Economics Analysis of Law. Boston, Toronto,
London: Little, Brown and Company.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2022. Ilmu Hukum
& Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Priyatno, Dwidja. 2004. Kebijakan Legislatif tentang Sistem
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia. Bandung: Utomo.
Putro, Mardjono Reksadi. 1997. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
(Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia.
Rahardjo, Satjipto. 1996. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Ramli, Samsul & Fahrurrazi. 2014. Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan
Barang/Jasa. Jakarta: Visimedia Pustaka.
Reksodiputro, Mardjono. 1993. Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat
Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-batas Toleransi.
Jakarta: Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Reksodipoetro, Mardjono. 1994. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga. Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.

Daftar Pustaka 205


Remmelink, Jan. 2014. Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting
dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Rhiti, Hyronimus. 2011. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya.
Rudin, J. 2019. Indigenous People and the Criminal Justice System: A
Practitioner Handbook. Toronto: Emond.
Saleh, Roeslan. 1979. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.
Samekto, FX. Aji. 2008. Justice Not For All: Kritik terhadap Hukum Modern
dalam Perspektif Hukum Kritis. Yogyakarta: Genta Press.
Sapardjaja, Komariah Emong. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel
dalam Hukum Pidana Indonesia, Studi Kasus tentang Penerapan dan
Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung: Alumni.
Sharpe, Susan. 1998. Restorative Justice: A Vision for Hearing and Change.
Edmonto: Alberta. Edmonton Victim Offender Mediation Society.
Soekanto, Soerjono. 1996. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
—————. 1988. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Soekanto, Soerjono dan Budi Sulistyowati. 2015. Sosiologi Suatu
Pengantar. Edisi Revisi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Suartha, I Dewa Made. 2015. Hukum dan Sanksi Adat: Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana. Malang: Suara Press.
Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
—————.1983. Hukum dan Perkembangan Masyarakat. Bandung: Sinar
Baru.
—————. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
—————.1990. Hukum Pidana I. Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro.
Sugianto, F. 2014. Economic Analysis of Law: Seri Analisis Ke-ekonomian
Hukum, Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Syahrin, Alvi. 2009. Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan. Jakarta:
PT Sofmedia.
Umbreit, Mark S. 2000. Multicultural Implications of Restorative Justice:
Potential Pitfalls and Dangers. Minnesota: Center for Restorative

206 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Justice & Peacemaking, School of Social Work University of
Minnesota.
Umbreit, Mark S. 2005. Restorative Justice in the Twenty First Century: A
Social Movement Full of Opportunities and Pitfalls. 89 Marq. Le Rev.
United Nations Office on Drugs and Crime. 2020. Handbook on Restorative
Justice Programmes, Second Edition. Viena: United Nations.
U.S. Departement of Justice. 1999. Balanced and Restorative Justice. USA:
Office of Juvenile Justice and Delinquency Prevention.
Walgrave, Lode. 2003. Repositioning Restorative Justice. Devon UK: Willan
Publishing, First Editions.
Walker, Nigel. 1999. Aggravation, Mitigation and Mercy in English Criminal
Justice. London; Blackstone Press ltd.
Weitekamp, Elmar G. M. & Hans-Jűrgen Kerner. 2003. Restorative Justice
in Context International Practices and Directions, UK: Willan Publishing.
Zehr, Howard. 1990. Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice.
Pennsylvania: Herald Press. Scottdale
Zernova, Margarita. 2003. Restorative Justice Ideals and Realities. UK:
Ashgate Publishing.
Zulfa, Eva Achjani & Indriyanto Seno Adji. 2011. Pergeseran Paradigma
Pemidanaan. Bandung: Penerbit Lubuk Agung.

Jurnal, Makalah, dan Internet


Adji, Indriyanto Seno, “Sistem Hukum Pidana dan Keadilan Restoratif”,
Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan
Tema “Pembangunan Hukum Nasional yang Mengarah pada
Pendekatan Restorative Justice dengan Indikator yang Dapat
Terukur Manfaatnya bagi Masyarakat”, diselenggarakan oleh BPHN
pada hari Kamis, 01 Desember 2016.
Afiyanti, Yati “Validitas dan Reliabilitas dalam Penelitian Kualitatif,”
Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 12, No. 2, Juli 2008.
Andrianto, Agus, “Strategi Penerapan Prinsip Restorative Justice Guna
Meningkatkan Pelayanan Prima dalam Rangka Terwujudnya Kepercayaan
Masyarakat,” Makalah disampaikan pada Pendidikan SESPIMTI
Dikreg ke-20, 2012.

Daftar Pustaka 207


Arief, Barda Nawawi, “Kebijakan Kriminal”, Makalah disampaikan pada
Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16–18 September 1991.
Arief, Barda Nawawi dan Noveria Devy Irmawanti, “Urgensi Tujuan
dan Pedoman Pemidanaan dalam Rangka Pembaharuan Sistem
Pemidanaan Hukum Pidana,” dalam Jurnal Pembangunan Hukum
Indonesia, Vol. 3, No. 2, (Semarang: Program Studi Magister Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2021).
Budi, Henry Sulistyo, “Catatan Hukum atas Putusan Pengadilan dalam
Perkara Pelanggaran Hak Siar”, Jurnal Dictum, Vol. 13, Edisi April
2019.
Darmoko, “Budaya Jawa dalam Diaspora, Tinjauan pada Masyarakat
Jawa di Suriname”, https://jpurnal.uny.ac.id.
Febriansyah, Ferry Irawan, “Keadilan Berdasarkan Pancasila Sebagai
Dasar Filosofis dan Ideologis Bangsa,” DiH Jurnal Ilmu Hukum, Vol.
13, No. 25, Februari 2017.
Greeley, Robin Ade`le, dkk., “Repairing Symbolic Reparations: Assessing
the Effectiveness of Memorialization in the InterAmerican System
of Human Rights”, dalam International Journal of Transitional Justice,
2020, Vol. 14, Oxford University Press.
Greg Mantle, et. al., “Restorative Justice and Three Individual Theories
of Crime”, Internet Journal of Criminology, IJC, 2005.
Gunarto, Marcus Priyo, “Sikap Memidana yang Berorientasi pada Tujuan
Pemidanaan,” dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 1,
Februari 2009.
Haq, Hayyan Ul, “Managing Uncertainty and Complexity in The
Utilization of Biodiversity Through The Tailor-Made Inventor
Doctrine and Contract Law,” Makalah Disampaikan dalam
International Workshop Managing Uncertainty and Complexity in
Biodiversity and Climate Change di University Chatolic Louvain La-
Neuve, Belgium, 15–16 Juni 2006.
—————. “Konsep Restorative Justice dalam Prespektif Teori Hukum dan
Konstitusi,” Seminar Nasional UPH, Jumat 28 Januari 2022.
Hasan, Hasbi, “Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia,” dalam Jurnal Hukum dan Peradilan,
Volume 2, Nomor 2, Juli 2013.

208 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


Hiariej, Eddy OS, “Konsep Restorative Justice dalam Prespektif Teori Hukum
dan Konstitusi,” Seminar Nasional UPH, Jumat 28 Januari 2022.
Indarti, Erlyn “Diskresi dan Paradigma, Sebuah Telaah Filsafat Hukum”,
Pidato Pengukuhan, disampaikan pada Upacara Penerimaan
Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Semarang, 4 November 2010.
Juwana, Hikmahanto, “Hukum Internasional dalam Konflik Kepentingan
Ekonomi Negara Berkembang dan Negara Maju,” Makalah Disampaikan
dalam Pidato Upacara Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam
Ilmu Hukum Internasional pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Depok, 10 November 2001.
Mudzakkir, “Alternative Dispute Resolution (ADR): Penyelesaian Perkara
Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, Makalah Workshop,
Jakarta, 18 Januari 2007.
Nugroho, Rudy Heriyanto Adi, “Mediasi Kepolisian dalam Rangka Mencapai
Retorative Justice (Solusi atas Keadilan dan Kepastian Hukum),” Presentasi
Ilmiah Guru Besar Tidak Tetap, Universitas Lampung, 2021.
Prabowo, Listyo Sigit “Transformasi Menuju Polri yang PRESISI”,
disampaikan pada uji kelayakan dan kepatutan di hadapan Komisi
III DPR RI, 2021.
Prayogo, R. Tony, “Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materil
dan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang”,
Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13, No. 2, Tahun 2016.
Purwaka, Tommy Hendra, “Penafsiran, Penalaran, dan Argumentasi
Hukum yang Rasional”, Jurnal MMH, Jilid 40, No. 2, April 2011.
Putra, Ilhamdi dan Khairul Fahmi, “Karakteristik Ne Bis In Idem dan
Unsurnya dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi”, Jurnal
Konstitusi, Volume 18, Nomor 2, Juni 2021.
Setiadi, Wicipto, “Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrumen
Penegakan Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan,” Jurnal
Legislasi Indonesia, Vol. 6, No. 4, Desember 2009.
Department of Justice Government of Canada, https://www.justice.
gc.ca/eng/rp-pr/csj-sjc/jsp-sjp/rr00_16/p3.html, diakses tanggal
9 Maret 2022.

Daftar Pustaka 209


https://bahasan.id/mendorong-restorative-justice-dalam-pembaruan-
hukum-pidana-di-indonesia/, diakses tanggal 10 Maret 2022.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wetboek van Strafrecht (WvK)/Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUH Pidana).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP Baru).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020–
2024.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang
Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice).
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan
Restoratif.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa
Adat Bali.
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 9 Tahun 2019
tentang Bale Mediasi.

210 Restorative Justice: Metamorfosa Kearifan Lokal Indonesia


BIODATA PENULIS

Dr. Jean Calvijn Simanjuntak, S.I.K., M.H.,


lahir di Tangerang pada tahun 1978. Penulis
saat ini menjabat sebagai Kasubdit I/
Narkotika di Direktorat Tindak Pidana
Narkoba Bareskrim Polri, yang memperoleh
pangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes
Pol.) tahun 2021.
Penulis merupakan lulusan SMA Negeri
78 Jakarta tahun 1996, lulus Akademi
Kepolisian tahun 1999, dan berhasil meraih
gelar Sarjana Ilmu Kepolisian dari PTIK tahun 2007. Penulis juga meraih
gelar Magister Ilmu Hukum dari Universitas Sebelas Maret tahun 2010,
dan lulus Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah (Sespimmen) Polri
tahun 2015. Di tengah-tengah kesibukannya, penulis berhasil meraih
gelar Doktor dalam Ilmu Hukum dari Universitas Pelita Harapan Jakarta.
Buku ini adalah karya pertama penulis yang merupakan jelmaan disertasi
yang telah dinyatakan lulus dalam ujian terbuka pada tahun 2023.

211

Anda mungkin juga menyukai