RESTORATIVE JUSTICE KONSEPSI DAN URGENSI DAN PENERAPANNYA DI Indonesia
RESTORATIVE JUSTICE KONSEPSI DAN URGENSI DAN PENERAPANNYA DI Indonesia
PT RAJAGRAFINDO PERSADA
Anggota IKAPI
Kantor Pusat:
Jl. Raya Leuwinanggung, No.112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Kota Depok 16456
Telepon : (021) 84311162
E-mail : rajapers@rajagrafindo.co.id http: // www.rajagrafindo.co.id
Perwakilan:
Jakarta-16456 Jl. Raya Leuwinanggung No. 112, Kel. Leuwinanggung, Kec. Tapos, Depok, Telp. (021) 84311162. Bandung-40243,
Jl. H. Kurdi Timur No. 8 Komplek Kurdi, Telp. 022-5206202. Yogyakarta-Perum. Pondok Soragan Indah Blok A1, Jl. Soragan,
Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, Telp. 0274-625093. Surabaya-60118, Jl. Rungkut Harapan Blok A No. 09, Telp. 031-8700819.
Palembang-30137, Jl. Macan Kumbang III No. 10/4459 RT 78 Kel. Demang Lebar Daun, Telp. 0711-445062. Pekanbaru-28294,
Perum De' Diandra Land Blok C 1 No. 1, Jl. Kartama Marpoyan Damai, Telp. 0761-65807. Medan-20144, Jl. Eka Rasmi Gg. Eka
Rossa No. 3A Blok A Komplek Johor Residence Kec. Medan Johor, Telp. 061-7871546. Makassar-90221, Jl. Sultan Alauddin
Komp. Bumi Permata Hijau Bumi 14 Blok A14 No. 3, Telp. 0411-861618. Banjarmasin-70114, Jl. Bali No. 31 Rt 05, Telp. 0511-
3352060. Bali, Jl. Imam Bonjol Gg 100/V No. 2, Denpasar Telp. (0361) 8607995. Bandar Lampung-35115, Perum. Bilabong Jaya
Block B8 No. 3 Susunan Baru, Langkapura, Hp. 081299047094.
KATA SAMBUTAN
Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia
v
mekanisme mediasi penal, khususnya terkait tindak pidana ringan dan
tindak pidana yang dapat diselesaikan dengan pendekatan kearifan lokal.
Kearifan lokal yang berlaku sejak lama dan telah disepakati di
beberapa daerah, seperti Sumatera, Jawa, Bali, Lombok, Makassar, dan
Kalimantan, memiliki tata cara tersendiri dalam penyelesaian masalah
guna menjaga keteraturan masyarakatnya. Nilai kearifan lokal juga
menjadi fondasi kultural dalam penerapan restorative justice pada sistem
peradilan pidana, karena sejalan dengan asas peradilan, yaitu cepat,
sederhana, dan biaya ringan. Ke depan, pelaksanaan restorative justice
diharapkan dapat terwujud dalam setiap penahapan, baik penyidikan,
penuntutan, maupun persidangan. Terlebih saat ini UU No. 1 Tahun
2023 tentang KUHP telah mengakomodir living law dan mengusung
paradigma restorative justice, sehingga mampu menjadi payung hukum
untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan restorative pada setiap institusi
penegak hukum.
Melalui buku ini, penulis telah menuangkan pemikiran berdasarkan
penelitian disertasinya yang telah dipertanggungjawabkan dalam ujian
doktoral. Semoga buku ini dapat menjadi referensi bagi kalangan
aparat penegak hukum, akademisi, dan praktisi hukum untuk menjaga
harmonisasi kehidupan bersama, serta memajukan bangsa berdasarkan
hukum yang berkeadilan, berkepastian, serta bermanfaat bagi harkat
dan martabat masyarakat.
Demikian sambutan saya, semoga Allah Swt., Tuhan Yang Maha
Kuasa, senantiasa memberikan perlindungan, bimbingan, dan kekuatan
kepada kita dalam melanjutkan pengabdian terbaik kepada masyarakat,
bangsa, dan negara.
Sekian dan terima kasih.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
vii
Dalam perkembangannya, pada tahun 2018, Kapolri menetapkan
kebijakan untuk mengarahkan proses penanganan dan penyelesaian
perkara pidana dengan menggunakan mekanisme keadilan restoratif.
Kebijakan itu diatur dalam Surat Edaran Nomor: SE/8/VII/2018 tentang
Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana.
Penerapan konsepsi restorative justice di kepolisian semakin melembaga
dengan diberlakukannya Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021
tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Dalam melaksanakan tugasnya, Polri memiliki peran yang strategis di
bidang penegakan hukum yang transparan dan berkeadilan, sehingga
semakin dipercaya dan dicintai masyarakat. Hal itu telah ditegaskan
dalam visi dan misi Kapolri, yaitu mewujudkan transformasi Polri yang
Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan).
Harus diakui, pelaksanaan restorative justice oleh kepolisian telah
menjadi salah satu alternatif solusi dalam mengatasi over kapasitas
pada lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan. Selain itu, telah
membantu menghemat anggaran negara, serta mempercepat proses
penegakan hukum. Bagi institusi Polri sendiri, penerapan restorative justice
telah berkontribusi dalam meningkatkan kinerja secara keseluruhan.
Lebih dari itu, juga dapat membantu masyarakat menyelesaikan konflik
dan memperoleh keadilan yang diharapkan tanpa membutuhkan waktu
lama dan biaya yang mahal. Ini berarti, keharmonisan kehidupan
yang sempat rusak dan berbagai kerugian yang diderita korban dapat
dipulihkan berdasarkan kesepakatan.
Akhir kata, saya berharap semoga buku ini menjadi langkah awal
bagi lahirnya karya-karya lainnya oleh Dr. Calvijn yang akan memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan serta memberi sumbangan pemikiran yang
berharga bagi pengembangan dan penegakan hukum di Indonesia.
Salam Presisi!
ix
mekanis dan progresif. Konsepsi restorative justice juga menawarkan nilai
keadilan dengan pendekatan baru yang lebih menempatkan harkat dan
martabat kemanusiaan, ketimbang penghukuman yang menyakitkan
dan menghilangkan kemerdekaan.
Ketika saya memimpin Sidang Promosi Doktor bagi Sdr. Calvijn,
saya menyimpan suatu harapan dan sekaligus keinginan untuk sekiranya
disertasi yang luar biasa ini dapat diformat menjadi buku ilmiah dan
disosialisasikan substansinya ke tengah-tengah masyarakat, termasuk
aparat penegak hukum. Harapan itu terjawab dalam waktu yang tidak
terlalu lama. Puji Tuhan atas berkat dan tuntunan-Nya, sehingga Sdr.
Dr. Calvijn dapat menyelesaikan penulisan buku ini dalam momen yang
sangat tepat, yaitu ketika di tengah-tengah masyarakat banyak terjadi
perkara hukum atau tindak pidana yang berpotensi untuk diselesaikan
melalui keadilan restoratif. Ini berarti, semakin mendorong penyelesaian
hukum yang disepakati dengan kondisi serta persyaratan tertentu yang
bernilai kemanusiaan dan keadilan bagi semua pihak.
Dalam pemahaman saya, ketika hukum mengonsepsikan nilai
keadilan dalam penyelesaian suatu perkara, maka pada saat itu
sesungguhnya cinta kasih Tuhan yang bekerja mengatasi segala perasaan
marah, meredam dendam dan keinginan untuk membalas luka-luka
batin maupun fisik yang mungkin dialami. Restorative justice hadir dengan
roh cinta kasih, pengampunan, dan damai sejahtera dari Tuhan.
Singkatnya, dalam konsep restorative justice, teramat lekat di dalamnya
nilai-nilai keadilan, baik dalam wujud kedamaian sejati, kerukunan,
keikhlasan, maupun ikatan persaudaraan sejati yang menjadi inspirasi
bagi penyelesaian masalah-masalah hukum yang lebih manusiawi.
Bagi Indonesia, konsepsi restorative justice memiliki napas yang sama
dengan kearifan lokal (local wisdom) yang penuh toleran dan pemaaf,
serta mencintai perdamaian dalam harmoni kehidupan yang sejalan
dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Semoga kehadiran buku ini dapat menginspirasi banyak pihak,
terutama mendorong aparat penegak hukum menerapkan restorative
justice di lingkup kewenangannya masing-masing.
xi
nilai-nilai dasarnya sejalan dengan falsafah Pancasila. Restorative justice
bahkan dapat dianggap sebagai metamorfosa kearifan lokal yang
eksistensinya diakui secara konstitusional. Menurut Clifford Geertz,
substansi kearifan lokal adalah norma-norma yang berlaku di suatu
masyarakat yang diyakini kebenarannya serta menjadi acuan dalam
tindakan maupun perilaku sehari-hari. Secara yuridis, UUD 1945 telah
memberi landasan pengakuan mengenai kesatuan masyarakat hukum
adat, sebagai pengemban nilai-nilai local wisdom dan merawatnya sebagai
tatanan hidup. Sementara itu, secara sosiologis, nilai-nilai restorative
justice telah lama diterapkan dalam kehidupan komunitas adat di
Indonesia. Di antaranya, dalam adat Batak yang mengenal istilah Hula-
hula, Dongan Tubu, dan Boru untuk menyelesaikan permasalahan hukum
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan digerakkan oleh Lembaga
Dalihan Na Tolu. Demikian pula dalam hukum adat Jawa yang tidak
mengedepankan penghukuman terhadap kesalahan, melainkan merawat
tradisi saling kunjung, empati daya dinayanan (saling memberi kekuatan),
guyub, rukun, gotong royong, samad-sinamadan (saling memperhatikan
dan simpati), sikap hormat menghormati, tepo seliro, mawas diri, dan
toleransi yang merupakan nilai aslinya. Kearifan lokal yang terpelihara
dengan baik di komunitas adat di Lombok juga mengonfirmasi nilai-
nilai persaudaraan, perdamaian, dan harmoni dalam tatanan kehidupan
masyarakat melalui berugaq sekepat, yang dilembagakan menjadi Bale
Mediasi. Perlu pula dicatat nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di
kalangan masyarakat adat Dayak di Kalimantan, mengedepankan
prinsip adil ka’talino, bacuramin ka’saruga, dan basengat ka’jabuta dalam
menyelesaikan perkara. Sementara itu, masyarakat adat Bali memiliki
awig-awig untuk mengatur kehidupan bersama, demikian juga daerah-
daerah lainnya. Berbagai bentuk kearifan lokal tersebut merupakan
entitas yang menentukan harkat dan martabat manusia dalam
komunitasnya, serta mewakili keberadaan nilai-nilai kearifan lokal
dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang menjadi rahim sekaligus
roh restorative justice.
Menurut Eddy Hiariej, restorative justice adalah bentuk pendekatan
penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan
pelaku, korban, keluarga korban dan pelaku, serta pihak lain yang terkait
untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan
Prakata xiii
warga binaan pemasyarakatan sekurangnya 32.759 orang yang apabila
prosesnya diteruskan dapat memperburuk kondisi over kapasitas Lapas/
Rutan, serta menghemat anggaran negara, terutama untuk biaya makan
warga binaan sebesar ± Rp504.981.615.295,00.
Harus diakui, penerapan restorative justice oleh kepolisian juga
mengalami hambatan dan kendala, baik dari aspek instrumental
maupun institusional. Secara instrumental, kendalanya karena belum
ada undang-undang yang secara tegas mengatur kriteria maupun tata
cara pelaksanaan restorative justice. Selain itu, penghentian penyidikan
berdasarkan restorative justice di kepolisian dianggap (berpotensi)
bertentangan dengan undang-undang. Sebab, ketentuan mengenai
penghentian penyidikan dengan alasan demi hukum, telah diatur secara
tegas dalam Pasal 76 sampai dengan Pasal 85 KUHP. Lebih dari itu,
belum ada pengaturan mengenai sanksi dalam hal pelaku atau korban
tidak menjalankan kesepakatan perdamaian. Sementara itu, hambatan
institusional menyangkut potensi penyalahgunaan restorative justice
oleh penyidik dan pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab.
Di samping itu, masih terdapat ketidaksamaan pemahaman di antara
para penyidik terkait jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan, juga
belum tersedia fasilitator dan mediator yang terlatih untuk menerapkan
restorative justice.
Dalam perspektif law making, saat ini merupakan momentum yang
tepat untuk mengadopsi konsepsi restorative justice dalam revisi KUHAP.
Hal ini penting untuk memberikan landasan norma dan kepastian
hukum dalam penerapannya. Adapun untuk operasionalisasinya, perlu
ditegaskan bahwa restorative justice dapat diterapkan pada semua tahap
sistem peradilan pidana, baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pengadilan, maupun lembaga pemasyarakatan. Hal ini
sejalan dengan pandangan ECOSOC Res. 2000/14 yang menegaskan
bahwa “restorative justice programmes should be generally available at all stages
of the criminal justice process”, yaitu restorative justice seharusnya dapat
diterapkan pada setiap tahap sistem peradilan pidana.
Bagi Indonesia, terdapat beberapa alasan penting untuk membangun
payung hukum bagi penerapan restorative justice, di antaranya
menyangkut desakan masyarakat agar terhadap perkara pidana tertentu
dapat diselesaikan melalui restorative justice, serta potensi restorative
Prakata xv
kewenangan sebagai mediator dan fasilitator. Kesemuanya itu menjadi
metamorfosa kearifan lokal dalam konsepsi restorative justice, sebagai
alternatif penyelesaian perkara pidana yang lebih arif, manusiawi, dan
bermanfaat bagi masyarakat.
Penulis menyadari, buku ini masih memiliki banyak kekurangan.
Penulis sangat mengharapkan kritikan yang membangun, serta
masukan dan saran untuk perbaikan buku ini ke depan. Terima kasih
atas kesediaannya untuk memiliki dan membaca buku ini. Tuhan
memberkati!
21 September 2023
KATA SAMBUTAN
Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia v
KATA SAMBUTAN
Komjen Pol. Wahyu Widada, M.Phil.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal
Kepolisian Republik Indonesia vii
KATA SAMBUTAN
Dr. (Hon.) Jonathan L. Parapak, M.Eng.Sc.
Rektor Universitas Pelita Harapan ix
PRAKATA xi
DAFTAR ISI xvii
DAFTAR GAMBAR xxi
DAFTAR TABEL xxiii
BAB 1 KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE DALAM
HUKUM INDONESIA 1
A. Hukum sebagai Pranata Sosial 1
1. Norma Hukum 3
2. Pelanggaran Hukum: Perdata dan Pidana 8
3. Sanksi Hukum 9
xvii
B. Konsepsi Restorative Justice 13
1. Restorative Justice sebagai Konsep Penyelesaian
Perkara Pidana 17
2. Restorative Justice sebagai Proses Penyelesaian
Perkara Pidana 28
C. Perkembangan Konsepsi Restorative Justice 34
D. Restorative Justice Berdasarkan Kearifan Lokal
dalam Hukum Adat di Indonesia 43
1. Hukum Adat Batak Toba 52
2. Hukum Adat Jawa 54
3. Hukum Adat Bali 56
4. Hukum Adat Sasak (Lombok) 58
5. Hukum Adat Dayak (Kalimantan) 60
xxi
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
DAFTAR TABEL
xxiii
[Halaman ini sengaja dikosongkan]
BAB
1
KONSEPSI RESTORATIVE JUSTICE
DALAM HUKUM INDONESIA
1
Alkitab, Kejadian 1: 27-28: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut
gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan
diciptakan-Nya mereka. Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman
kepada mereka: “Beranak cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan
taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara
dan atas segala binatang yang merayap di bumi.”
2
Alkitab, Kejadian 2:18: “Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik, kalau manusia
itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan
dengan dia.” Kitab Kejadian 2: 21-24 yang berbunyi: “Lalu Tuhan Allah membuat
manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, Tuhan Allah mengambil salah satu
rusuk daripadanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang
diambil Tuhan Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu
dibawa-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu: “Inilah dia, tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia
diambil dari laki-laki.” Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya
dan ibunya dan bersatu dengan istrinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.”
1
dan etika berperilaku, baik mengenai hal-hal yang dibolehkan maupun
dilarang. Dalam perkembangannya, lingkup pergaulan manusia dengan
sesamanya menjadi semakin luas, terstruktur, dan saling bergantung.
Dalam pergaulan hidup yang semakin luas seperti itu, diperlukan adanya
nilai dan kaidah untuk menjaga secara tertib, teratur, dan harmoni.
Kaidah-kaidah tersebut memiliki beragam bentuk, antara lain,
kaidah agama, kesusilaan, kesopanan, dan kaidah hukum. Menurut
Soerjono Soekanto, kaidah hukum dapat berwujud peraturan tertulis,
keputusan lembaga pemerintahan, maupun putusan pengadilan.3
Dalam perspektif sosiologis, hukum merupakan pranata sosial,
atau dalam istilah Soekanto, lembaga kemasyarakatan (social institution),
yang merupakan himpunan nilai-nilai, kaidah-kaidah, dan pola-pola
perikelakuan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia. Sebagai
suatu lembaga kemasyarakatan, hukum hidup berdampingan dengan
lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling memengaruhi.4 Dalam
pandangan Soekanto, hukum merupakan lembaga kemasyarakatan yang
primer di dalam suatu masyarakat apabila memenuhi syarat-syarat atau
prakondisi sebagai berikut.5
1. Sumber dari hukum tersebut mempunyai wewenang (authority)
dan berwibawa (prestigeful).
2. Hukum tersebut harus jelas dan sah secara yuridis, filosofis,
maupun sosiologis.
3. Penegak hukum harus dapat dijadikan teladan bagi terbentuknya
kepatuhan terhadap hukum.
4. Diperhatikannya faktor pengendapan hukum di dalam jiwa para
warga masyarakat.
5. Para penegak dan pelaksana hukum harus merasa terikat pada
hukum yang diterapkan dan membuktikan hal itu di dalam pola
perilakunya.
3
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 1988), hlm. 2.
4
Ibid., hlm. 4. Soekanto juga menjelaskan, lembaga kemasyarakatan memiliki
banyak ragam bentuk, seperti: keluarga batih, pelamaran, perkawinan, perceraian,
koperasi, industri, pertanian, peternakan, taman kanan-kanak, pesantren, sekolah-
sekolah dasar, sekolah-sekolah menengah, perguruan tinggi, olahraga, kesusastraan,
seni rupa, seni suara, dan lain sebagainya.
5
Ibid., hlm. 82.
1. Norma Hukum
Sejauh ini, para ahli memiliki pandangan yang beragam tentang
norma hukum. Dworkin mencatat bahwa norma hukum tumbuh dan
berkembang di penalaran yang problematis, sebagai berikut.7
a. Hukum dianggap sebagai tipe institusi sosial yang berbeda dalam
dirinya sendiri dan kompleks. Oleh karena itu, muncul sejumlah
pernyataan bahwa “hukum merupakan salah satu pencapaian manusia
yang paling dibanggakan”, atau “hukum merupakan instrumen bagi
pihak yang kuat untuk ‘menindas’ pihak yang lemah”, atau “hukum
merupakan instrumen yang lebih primitif pada sejumlah kelompok
masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat lain.”
b. Hukum merupakan jenis aturan yang berbeda dari aturan sosial
lainnya, atau mengandung standar aturan berbeda yang memiliki
jenis silsilah tertentu. Sejalan dengan pandangan itu, terdapat
pernyataan yang mengatakan bahwa “parlemen meloloskan sebuah
hukum yang boleh memungut pajak dari pencapaian kapital
tertentu”, atau “kongres telah menindaklanjuti serangkaian ‘hukum’
untuk melawan polusi”. Kedua pernyataan itu menggambarkan
penilaian tentang hukum yang berbeda perspektif dan maknanya.
Ibid.
6
8
Ibid., hlm. 63.
9
Ibid.
10
Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
hlm. 21.
11
Wawan Muhwan Hairi, Pengantar Ilmu Hukum, (Bandung: Pustaka Setia,
2012), hlm. 22.
12
H. Zainal Asikin, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
hlm. 10.
13
Chainur Arrasjid, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000),
hlm. 21.
14
H.A. Hafizh Dasuki, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997), hlm. 9.
15
Soekanto, Op. Cit., hlm. 68.
16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, dalam Teguh Prasetyo dan
Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum
Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2022), hlm. 39.
17
Eva Achjani Zulva dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,
(Bandung: Lubuk Agung, 2011), hlm. 74.
18
Hayyan Ul Haq, Konsep Restorative Justice dalam Perspektif Teori Hukum dan
Konstitusi, Makalah Seminar Nasional UPH, Jumat 28 Januari 2022.
19
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996),
hlm. 19.
20
Henry Sulistyo Budi, Catatan Hukum atas Putusan Pengadilan dalam Perkara
Pelanggaran Hak Siar, Jurnal Diktum, Vol. 13, Edisi April 2019, hlm. 4–23.
21
Van Apeldoorn, L.J., Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradya Paramita, 2000),
hlm. 10.
22
Dudu Duswara Macmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Sebuah Sketsa, (Bandung:
Refika Aditama, 2003), hlm. 24–28.
23
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/melanggar.
24
Seri Sudiwito, Modul Ajar Pendidikan Pancasila, Universitas Ahmad Dahlan,
hlm. 4.
25
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer, (Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 6.
26
J.B. Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Prenhallido, 2001),
hlm. 103.
3. Sanksi Hukum
Sesuai dengan fungsinya, hukum memiliki sifat mengatur dan memaksa.
Dalam hukum, diatur tentang larangan yang disertai dengan ancaman
sanksi bagi orang yang melanggarnya. Hampir semua undang-undang
30
Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 84.
31
Ibid.
32
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/sanksi.
33
Samsul Ramli dan Fahrurrazi, Bacaan Wajib Swakelola Pengadaan Barang/
Jasa, (Jakarta: Visimedia Pustaka, 2014), hlm. 191.
34
KUHP yang dimaksud dalam buku ini adalah merujuk pada Wetboek van
Strafrecht (WvS) yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, sedangkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
akan ditulis KUHP baru.
35
Pasal 65 ayat (1) KUHP Baru.
36
Pasal 65 ayat (2) KUHP Baru.
37
Pasal 66 ayat (2) KUHP Baru.
38
Pasal 66 ayat (3) KUHP Baru.
39
Pasal 66 ayat (4) KUHP Baru.
40
Wicipto Setiadi, “Sanksi Administratif sebagai Salah Satu Instrumen
Penegakan Hukum dalam Peraturan Perundang-undangan”, Legislasi Indonesia, Vol.
6, No. 4, (Desember 2009), hlm. 608.
41
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Pidana Adat, (Bandung: Alumni Bandung,
1979), hlm. 13.
42
Muhamad Amirulloh, “Zoon Politicon Menjadi Zoom Politicon?”, dalam
Jurnal Rechtsvinding online, https://rechtsvinding.bphn.go.id/jurnal_online/
ZOON%20 POLITICON%20 MENJADI%20ZOOM%20POLITICON.pdf, diakses
tanggal 28 Desember 2022.
43
T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi: Menuju Sistem
Hukum Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya Deteren dan Mengikuti
Perkembangan Ekonomi, (Yogyakarta: Genta Press, 2015), hlm. 71–72.
44
Jeremy Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation, [s.l.:
s.n., 1823], hlm. 7.
45
Ibid.
46
Eva Achjani Zulva dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,
Op. Cit., hlm. 47–48.
47
Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Yogyakarta, 2011), hlm. 240–241.
Ibid.
48
Mark S. Umbreit, dkk., Restorative Justice in the Twenty first Century: A Social
49
Movement Full of Opportunities and Pitfalls, (89 Marq. L. Rev., 2005), hlm. 255.
50
Ibid.
51
Ibid., hlm. 182.
52
Ibid.
53
Ibid., hlm. 183.
54
Tommy Hendra Purwaka, Penafsiran, Penalaran dan Argumentasi Hukum
yang Rasional, Jurnal MMH, Jilid 40, No. 2, April 2011, hlm. 1.
55
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi
Revisi, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2015), hlm. 152. Menurut Soerjono Soekanto
dan Budi Sulistyowati, ada tujuh unsur kebudayaan yang dianggap sebagai
cultural universals, yaitu: (1) peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian,
perumahan, alat rumah tangga, senjata, alat produksi, transpor, dan lain-lain);
(2) mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem
58
Tommy Hendra Purwaka, Op. Cit., hlm. 119.
59
Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, dalam Mark
S. Umbreit, dkk., Loc. Cit.
60
Ibid.
61
Ibid.
62
Ibid.
63
Ibid.
64
Ibid.
65
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes, Second Edition, 2020,
hlm. 3.
66
Ibid.
67
Ibid.
68
Asep Iwan Iriawan, “Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem
Peradilan Pidana Guna Terwujudnya Model Pemasyarakatan yang Ideal”, Makalah
disampaikan dalam Seminar yang diselenggarakan Lembaga Ketahanan Nasional
Republik Indonesia, tanggal 11 Juli 2022, hlm. 13.
69
Ibid.
70
Andriene Lindsay, Koordinator Lembaga Restorative Justice Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jamaika, disampaikan dalam
Seminar Nasional “Kontekstualisasi Implementasi Keadilan Restorative Justice
di Indonesia”, Jakarta, 6 Juli 2022.
71
Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan,
(Semarang: Pustaka Magister, 2010), hlm. 1–2.
72
Yuarsi Susi Eja, Menggagas Tempat yang Aman Bagi Perempuan, Cet. 1,
(Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada,
2002), hlm. 87.
73
Tony F. Marshall, Restorative Justice an Overview, (Minnesota: University of
Minnesota, Centre of Restorative Justice and Mediation, Social Works, 1998),
hlm. 1.
74
Susan Sharpe, Restorative Justice: A Vision for Hearing and Change. (Edmonto:
Alberta. Edmonton Victim Offender Mediation Society, 1998), hlm. 7–12.
75
U.S. Departement of Justice, Balanced and Restorative Justice, (USA: Office of
Juvenile Justice and Delinquency Prevention, 1999), hlm. 5–6.
76
Mark S. Umbreit, Multicultural Implications of Restorative Justice: Potential Pitfalls
and Dangers, (Minnesota: Center for Restorative Justice & Peacemaking, School of
Social Work University of Minnesota, 2000), hlm. 3.
77
Andrew Von Hirsch, et al., Restorative Justice and Criminal Justice: Competing
or Reconcilable Paradigms, (Oregon: Hart Publishing Oxford and Portland, Oregon,
2003), hlm. 44.
78
Eva Achjani Zulva dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan,
Loc. Cit.
79
Greg Mantle, et al., “Restorative Justice and Three Individual Theories of
Crime”, (Internet Journal of Criminology, IJC, 2005), hlm. 3.
80
Sosialisasi Restorative Justice Perpol Nomor 8 Tahun 2021 di Rayon 5
bertempat di Polda Sulawesi Selatan tanggal 28 Oktober 2021, bahwa lingkar
pemulihan dan pemidanaan dapat dilakukan melalui konferensi inisiatif restoratif.
81
Ibid.
82
Ibid.
83
Pembukaan, Resolusi ECOSOC 2002/2012.
84
Human Rights Council, Expert Mechanism on the Rights of Indigenous Peoples,
2013, para, hlm. 28.
85
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes, Op. Cit., hlm. 12.
86
Chartrand, L. and Horn, K., A Report on the Relationships between Restorative
Justice and Indigenous Legal Traditions in Canada, (Ottawa: Department of Justice
Canada, 2016).
87
Ibid.
88
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi Suatu Pengantar, Loc. Cit.
89
Ibid.
90
UNODC, A Summary of Comments Received on The Use and Application
of the Basic Principles on the Use of Restorative Justice Programmes in Criminal
Matters, 2017: https://www.unodc.org/documents/commissions/CCPCJ/
CCPCJ_Sessions/CCPCJ_26/E_CN15_2017_CRP1_e_V1703590.pdf, diakses
tanggal 21 Mei 2022.
91
Ibid.
92
UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes, Op. Cit., hlm. 25.
b. Konferensi (Conference)
Konferensi restoratif, seperti konferensi kelompok keluarga (family group
conferences) dan konferensi komunitas (community conferences), berbeda
dari VOM karena pihak yang terlibat tidak hanya korban dan pelaku,
tetapi juga pihak lain yang jumlahnya lebih banyak. Dalam model
konferensi, orang lain yang terkena dampak kejahatan, seperti anggota
keluarga, teman, perwakilan masyarakat, bahkan polisi atau profesional
lainnya dapat terlibat. Sama seperti VOM, konferensi juga dibantu
oleh pihak ketiga yang netral yang bertindak sebagai fasilitator. Dalam
kasus-kasus tertentu, fasilitator bisa lebih dari satu, terutama digunakan
untuk mendukung keseimbangan gender atau kepentingan LGBTQ,95
menjelaskan disabilitas tertentu atau menjembatani hukum adat.
93
Ibid.
94
Ibid.
95
Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan lainnya.
96
UNODC, Op. Cit., hlm. 27.
97
Campbell, C., et al., (2005), Evaluation of the Northern Ireland Youth Conference
Service, dalam UNODC, Op. Cit., hlm. 28.
98
Ibid.
99
Ibid.
100
Ibid.
101
J. Rudin, Indigenous People and the Criminal Justice System, A Practitioner
Handbook, (Toronto: Emond, 2019), hlm. 233.
102
Ibid.
103
Ibid.
104
Paragraf II, Pasal 6 The Basic Principles on The Use of Restorative Justice
Programmes in Criminal Matters, ECOSOC Res. 2000/14, U.N. Doc. E/2000/
INF/2/Add.2 at 35 (2000), selanjutnya disebut The Basic Principles.
105
Allison Morris & Gabrielle Maxwell, Restorative Justice for Juvenile; Coferencing,
Mediation and Circle, (Oxford-Portland Oregon USA: Hart Publishing, 2001), hlm. 4.
106
Daniel W. van Ness, 2015, An Overview of Restorative Justice Around the
World, makalah disampaikan pada the Eleventh United Nations Congress on Crime
Prevention and Criminal Justice, Bangkok, 18–25 April 2005, hlm. 2.
107
Howard Zehr, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, (Pensylvania:
Herald Press, 1990), hlm. 158–174.
108
Peachey dalam Paul McCold, 1999, “Restorative Justice Practice the State of
the Field 1999”, dalam Erasmus A.T. Napitupulu, Peluang dan Tantangan Penerapan
Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, (Jakarta: Institute for
Criminal Justice Reform, 2022), hlm. 49.
109
MacKinnon, J., Bringing Balance to the Scales of Justice, (Charlottetown: MCPEI
Indigenous Justice Program, 2018), hlm. 43–44, https://mcpei.ca/wp-content/
uploads/2018/03/Bringing-Balance-to-the-Scales-of-Justice-Resource-Guide.pdf,
diakses tanggal 22 Mei 2022.
110
Ibid.
111
Ibid.
112
Ibid.
113
J. Rudin, Indigenous People ... Loc. Cit.
114
Ibid.
115
UNODC, Op. Cit., hlm. 32.
116
James Dignan, Understanding Victims and Restorative Justice, (UK: Open
University Press, 2005), hlm. 94.
117
Erasmus A.T. Napitupulu, dkk., Op. Cit., hlm. 15.
118
Council of Europe, Recommendation No. R (85) 11, 28 Juni 1985.
119
Margarita Zernova, Restorative Justice Ideals and Realities, (Inggris & Amerika
Serikat: Ashgate Publishing, 2007), hlm. 25–26.
120
Lode Walgrave, Repositioning Restorative Justice, First Editions (Devon UK:
Willan Publishing, 2003), hlm. 50.
121
Allison Morris and Gabrielle Maxwell, “Restorative justice means the promotion
of reconciliation, restitution and responsibility through the involvement a a child, a child’s
parent, family members, victims and communities”. Op. Cit., hlm. 114.
122
Ibid.
123
Andriene Lindsay, Koordinator Lembaga Restorative Justice Nasional
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jamaika, disampaikan dalam
Seminar Nasional “Kontekstualisasi Implementasi Keadilan Restorative Justice
di Indonesia”, Jakarta, 6 Juli 2022.
124
Ibid.
125
Michael Tonry, The Fragmentation of Sentencing and Correction in America, dalam
Allison Morris & Gabrielle Maxwell. Op. Cit., hlm. 5.
126
Ibid.
127
Terjemahan bebas oleh penulis.
128
Terjemahan bebas oleh penulis.
129
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Report of the Tenth United Nations Congress
on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, A/CO-NF.187/15,
hlm. 21.
130
Erasmus A.T. Napitupulu, Op. Cit., hlm. 52.
131
Ibid.
132
Ibid.
133
Ibid.
134
Ibid.
135
Department of Justice, Government of Canada, The Effects of Restorative
Justice Programming: A Review of the Empirical, diakses dari https://www.justice.
gc.ca/eng/rp-pr/csj-sjc/jsp-sjp/rr00_16/p3.html, tanggal 9 Maret 2022.
136
Frieder Dünkel, et al., (Eds.), Restorative Justice and Mediation in Penal
Matters: A Stock-Taking of Legal Issues,Implementation Strategies and Outcomes
in 36 European Countries, (Mönchengladbach: Forum Verlag Godesberg GmbH,
2015), hlm. 1061.
137
Indriyanto Seno Adji, Sistem Hukum Pidana dan Keadilan Restoratif,
Makalah disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) Pembangunan Hukum
Nasional yang mengarah pada pendekatan restorative justice dengan indikator
yang terukur manfaatnya bagi masyarakat, diselenggarakan oleh BPHN, Kamis,
1 Desember 2016.
138
Bahasan, “Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana
di Indonesia”, dikutip dari https://bahasan.id/mendorong-restorative-justice-
dalam-pembaruan-hukum-pidana-di-indonesia/, tanggal 10 Maret 2022.
139
Survei yang dilakukan Litbang Kompas menunjukkan bahwa mayoritas
responden setuju diterapkan pada pidana ringan. Selain itu juga, setuju diterapkan
dalam kasus pencurian ringan yang ancaman hukuman maksimal tiga bulan
penjara. Sebanyak 73,4% setuju menerapkan mediasi dan kesepakatan damai dalam
penyelesaian masalah jenis pidana ringan. Sebanyak 65,9% setuju diberlakukan
dalam kasus pencurian ringan (ancaman hukuman maksimal tiga bulan penjara).
Sebanyak 44,6% setuju diberlakukan dalam kasus penipuan ringan dilakukan
pedagang (ancaman hukuman maksimal tiga bulan penjara). Lihat: Irfan Kamil,
Survei Litbang Kompas: 83 Persen Responden Setuju Penegak Hukum Lebih
Kedepankan Restorative Justice, dikutip dari https://nasional.kompas.com/
read/2022/02/14/13432861/survei-litbang-kompas-83-persen-responden-setuju-
penegak-hukum-lebih?page=all, tanggal 22 Maret 2022.
140
Rudy Heriyanto Adi Nugroho, Mediasi Kepolisian dalam Rangka Mencapai
Retorative Justice (Solusi atas Keadilan dan Kepastian Hukum, Makalah
Pengukuhan Guru Besar Tidak Tetap, Universitas Lampung, 2021, hlm. 3.
141
SK Dirjen Badilum Nomor: 1691/DJU/SK//PS.00/12/2020 ini
ditangguhkan pelaksanaan atau penerapannya berdasarkan SK Dirjen Badilum
Nomor 1209/DJU/PS.00/11/2021, hal: Penangguhan SK Dirjen Badilum Nomor:
1691/DJU/SK//PS.00/12/2020.
142
Data diolah dari SDP Publik Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM.
143
Wawancara dengan Yoslan, staf pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menurut Yoslan, data pada https://
ppid.ditjenpas.go.id/ selalu berubah setiap saat, sehingga pasti ada perbedaan dan
perkembangan data, 30 Januari 2023.
144
Rudy Heriyanto Adi Nugroho, Op. Cit., hlm. 12.
145
Hayyan Ul Haq, “Managing Uncertainty and Complexity in The Utilization
of Biodiversity Through The Tailor-Made Inventor Doctrine and Contract Law,”
Makalah disampaikan dalam International Workshop Managing Uncertainty and
Complexity in Biodiversity and Climate Change di University Chatolic Louvain
La-Neuve, Belgium, 15–16 June 2006.
146
Marbawi, “Memaknai Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia”, dalam https://bpip.go.id/berita/1035/953/memaknai-sila-kelima-
keadilan-sosial-bagi-seluruh-rakyat-indonesia.html, diakses tanggal 21 April 2022.
147
https://bpip.go.id/berita/1035/900/begini-cara-pengambilan-keputusan-
bersama-menurut-demokrasi-pancasila.html, diakses tanggal 21 April 2022.
148
https://bpip.go.id/berita/1035/900/begini-cara-pengambilan-keputusan-
bersama-menurut-demokrasi-pancasila.html, diakses tanggal 21 April 2022.
149
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktualisasinya, (Yogyakarta: Penerbit Paradigma, 2018), hlm. 359.
150
Ibid.
152
Ferry Irawan Febriansyah, “Keadilan Berdasarkan Pancasila sebagai Dasar
Filosofis dan Ideologis Bangsa”, DiH Jurnal Ilmu Hukum, Volume 13, Nomor 25,
Februari 2017, hlm. 9.
153
R. Tony Prayogo, “Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil dan dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 tentang Pedoman Beracara
dalam Pengujian Undang-Undang“, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor
2, 2016, hlm. 194.
154
Wawancara Sahid Teguh Widodo, Budayawan dan Guru Besar Ilmu Budaya
Universitas Sebelas Maret, 9 Agustus 2022.
155
Pasal 14 ayat (2) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019
tentang Desa Adat Bali.
156
Wawancara dengan Obin Naibaho, Ketua Forum Komunikasi Tokoh
Masyarakat Kabupaten Samosir, dan Elman Simanjuntak, pelaku adat Batak Toba,
Minggu tanggal 24 Oktober 2021.
157
Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Op. Cit., hlm. 322.
158
Wawancara dengan Kapolsek Pagururan Polres Samosir Polda Sumatera
Utara, Minggu 24 Oktober 2021.
159
FGD di Polresta Yogyakarta, 8 Agustus 2022.
160
Wawancara dengan Supanto, Budayawan Jawa dan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, tanggal 21 Juli 2022.
161
Ibid.
162
Ibid
163
Ibid.
164
Ibid.
165
Ibid. Lihat juga: Darmoko, Budaya Jawa dalam Diaspora: Tinjauan pada
Masyarakat Jawa di Suriname, https://journal.uny.ac.id/index.php/ikadbudi/
article/view/12307, diakses tanggal 14 September 2022.
166
Darmoko, Ibid.
167
Ibid.
168
Wawancara dengan Supanto, Budayawan Jawa dan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, tanggal 21 Juli 2022.
169
Wawancara dengan I Made Kasta. Bendesa Adat Akah Klungkung, tanggal
3 November 2021.
170
I Made Widnyana, “Eksistensi Delik Adat dalam Pembanhunan”, dalam I
Dewa Made Suartha, Hukum dan Sanksi Adat: Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana,
(Malang: Suara Press, 2015), hlm. 3.
171
Ibid.
172
Ibid.
173
Ibid.
174
Ibid.
175
Barugaq Sekepat adalah rumah adat Suku Sasak Lombok, memiliki bentuk
seperti gazebo, dengan atap yang terbuat dari daun kelapa, berbentuk seperti panggung
tanpa dinding, dan terdapat empat pilar yang terbuat dari kayu. Lihat: https://ntb.
genpi.co/sasambo/1958/mengenal-berugaq-sekepat-rumah-adat-suku-sasak-
lombok#:~:text=GenPI.co%20Ntb%20%2D%20Berugaq%20Sekepat,terbuat%20
dari%20genteng%20atau%20seng., diakses tanggal 28 November 2022.
176
Wawancara dengan Lalu Sajim Sastrawan, Ketua Bale Mediasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 21 November 2022.
177
Penjelasan Umum Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor
9 Tahun 2019 tentang Bale Mediasi (Perda Bale Mediasi).
178
Pasal 3 Perda Bale Mediasi.
179
Pasal 5 Perda Bale Mediasi.
180
Pasal 10 Perda Bale Mediasi.
181
Wawancara dengan Lalu Sajim Sastrawan, Ketua Bale Mediasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 21 November 2022.
182
Ibid.
183
Pasal 17 ayat (2) Perda Bale Mediasi.
184
Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) Perda Bale Mediasi.
185
Wawancara dengan Lalu Sajim Sastrawan, Ketua Bale Mediasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 21 November 2022.
186
Darmanto, “Sekilas Dayak Kalimantan Selatan: Refleksi Masyarakat Adat
Bumi Lambung Mangkurat”, dalam Buku Kenangan Pelantikan Pengurus Dewan
Adat Dayak Provinsi Kalimantan Selatan Masa Bakti 2022–2027, (Liang Anggang-
Banjarbaru, 13 Agustus 2022).
187
Ibid.
188
Wawancara dengan Robby Mahajaya Ngaki, Sekretaris Umum Dewan Adat
Dayat Provinsi Kalimantan Selatan Masa Bakti 2022–2027, 23 April 2023. Baca
juga: Darmanto, Ibid.
189
Wawancara dengan Robby Mahajaya Ngaki, Sekretaris Umum Dewan Adat
Dayat Provinsi Kalimantan Selatan Masa Bakti 2022–2027, dan Ketua Dewan Adat
Dayak Banjar John Peser, 23 April 2023.
190
Ibid.
191
Ibid.
192
Ibid.
193
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012), hlm. 12.
194
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Perkembangannya,
(Jakarta: Softmedia, 2012), hlm. 36.
195
Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di
Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), hlm. 19.
196
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia (Jakarta: Aksara Baru, 1979), hlm. 5.
197
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Fakultas Hukum Undip, 1990), hlm. 9.
198
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1964), hlm. 4.
63
1. Pidana pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan
atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Pidana diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang
mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang).
3. Pidana dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak
pidana menurut undang-undang.
199
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 231–234.
200
Ibid.
201
Ibid.
202
Ibid.
203
Ibid.
204
Ibid.
205
Ibid.
206
Andi Hamzah, Loc. Cit.
207
Ibid.
208
Pasal 64 KUHP baru.
209
Pasal 65 ayat (1) KUHP baru.
210
Pasal 66 ayat (1) KUHP baru.
211
Pasal 67 KUHP baru.
212
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) Daring, https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemidanaan, diakses tanggal
27 Juni 2022.
213
Ibid.
214
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hlm. 72.
215
Ibid.
216
Ibid.
217
Ibid.
218
Ibid.
219
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 57.
220
Ibid.
221
Mudzakkir, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana
dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), (Jakarta: Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2008), hlm. 10–11.
222
Ibid.
223
Ibid.
224
Ibid., hlm. 58.
225
Ibid.
226
Ibid.
227
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Bagian Kedua, (Balai Lektur
Mahasiswa, t.t.), hlm. 249.
228
Ibid.
229
Ibid.
230
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana ... Op. Cit., hlm. 36–39.
231
Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 14-15.
232
Ibid.
233
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 12–13.
234
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana ... Op. Cit., hlm. 55–57.
235
Ibid.
236
Ibid.
237
Ibid.
238
Ibid.
239
Ibid., hlm. 57.
240
Barda Nawawi Arief dan Noveria Devy Irmawanti, “Urgensi Tujuan dan
Pedoman Pemidanaan dalam Rangka Pembaharuan Sistem Pemidanaan Hukum
Pidana”, dalam Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol. 3, No. 2, (Semarang: Program
Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2021), hlm.
217–227.
241
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung:
Alumni, 1984), hlm. 25.
242
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), hlm. 24.
243
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Loc. Cit.
244
Ibid.
245
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Loc. Cit.
246
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 56.
247
Bambang Poernomo, Asas-asas Hukum Pidana, Loc. Cit.
248
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 59.
249
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia ... Op. Cit, hlm. 39.
250
T.J. Gunawan, Konsep Pemidanaan Berbasis Nilai Kerugian Ekonomi: Menuju
Sistem Hukum Pidana yang Berkeadilan, Berkepastian, Memberi Daya Deteren dan Mengikuti
Perkembangan Ekonomi, (Yogyakarta: Genta Press, 2015), hlm. 71–72.
251
Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, [Die Metaphysik der Sitten].
Diterjemahkan oleh John Ladd (Cambridge: Hackett Publishing Company, 1999),
hlm. 332.
252
Ibid.
253
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1993), hlm. 40.
254
Dwidja Priyatno, Kebijakan Legislatif tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi di Indonesia, (Bandung: Utomo, 2004), hlm. 24–25.
255
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Op. Cit., hlm. 37–38.
256
Ibid.
257
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hlm. 61.
258
Ibid.
259
Ibid.
260
Ibid.
3. Teori Gabungan
Teori retributif dan relatif ternyata memiliki kelemahan masing-masing,
terlebih apabila diterapkan hanya salah satu. Berdasarkan kelemahan
kedua teori tersebut, muncul teori baru yang menggabungkan dan
dikenal dengan teori gabungan (verenigings theorie).
a. Kelemahan teori retributif, antara lain:
1) sukar menentukan berat/ringannya pidana, atau ukuran
pembalasan tidak jelas;
2) diragukan adanya hak negara untuk menjatuhkan pidana
sebagai pembalasan; dan
3) hukuman pidana sebagai pembalasan tidak bermanfaat bagi
masyarakat.
b. Kelemahan teori relatif, antara lain:
1) pidana hanya ditujukan untuk mencegah kejahatan;
2) jika ternyata kejahatan itu ringan, penjatuhan pidana yang
berat tidak akan memenuhi rasa keadilan; dan
3) bukan hanya masyarakat yang harus diberikan kepuasan, tetapi
juga kepada penjahat itu sendiri.261
261
Ibid., hlm. 63.
262
Ibid.
263
Ibid.
264
Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana dalam Perspektif Teori dan Praktik Peradilan,
(Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 35.
265
Komisi Pemberantasan Korupsi, Hukum dan Sistem Peradilan Pidana,
https://aclc.kpk.go.id/learning-materials/law/book/law-and-criminal-justice-
system-module.
266
Marcus Priyo Gunarto, Sikap Memidana yang Berorientasi pada Tujuan
Pemidanaan, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 21, No.1, Februari 2009, hlm.
93–1008.
267
Mardjono Reksodipoetro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum Universitas Indonesia, 1994), hlm. 84–85.
268
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 18.
269
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: UII Press,
2011), hlm. 13.
1. Kepolisian
Kepolisian memiliki posisi yang penting dan strategis, bahkan
merupakan subsistem pertama dan utama dalam SPP.274 Dengan
kapasitasnya sebagai gerbang utama SPP, hukum memberi wewenang
yang besar kepada kepolisian untuk menegakkan hukum dengan
berbagai cara, mulai dari cara preemtif, preventif, sampai dengan represif
berupa pemaksaan dan penindakan.275
Kedudukan penting dan strategis kepolisian dalam SPP tergambar
jelas dalam fungsinya, yaitu membuat terang suatu peristiwa pidana,
yang dilakukan melalui proses penyelidikan dan penyidikan. Pasal 1 ayat
(5) KUHAP menjelaskan, penyelidikan adalah serangkaian tindakan
penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
270
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System): Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionalisme, (Jakarta: Penerbit Bina Cipta, 1996), hlm. 15.
271
Marcus Priyo Gunarto, Loc. Cit.
272
Ibid.
273
Ibid.
274
Komisi Pemberantasan Korupsi, Op. Cit., hlm. 35.
275
Ibid.
2. Kejaksaan
Jaksa diberi kewenangan oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.280 Kewenangan kejaksaan melakukan
penuntutan ditegaskan kembali dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan). Pasal 30 ayat (1)
huruf a UU Kejaksaan mengatur, di bidang pidana kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang melakukan penuntutan.
Pasal 137 KUHAP mengatur bahwa penuntut umum berwenang
melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
276
Pasal 1 ayat (2) KUHAP.
277
Pasal 4 KUHAP.
278
Muchamad Iksan, Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, (Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2009), dalam Komisi Pemberantasan Korupsi, Loc. Cit.
279
Pasal 6 ayat (1) KUHAP.
280
Pasal 13 KUHAP.
281
Pasal 140 ayat (1) KUHAP.
282
Pasal 143 ayat (1) KUHAP.
283
Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP.
284
Pasal 30 UU No. 16 Tahun 2004.
285
Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004.
4. Lembaga Pemasyarakatan
Lembaga pemasyarakatan merupakan subsistem akhir dari sistem
peradilan pidana. Pemasyarakatan adalah subsistem peradilan pidana
yang menyelenggarakan penegakan hukum di bidang perlakuan terhadap
tahanan, anak, dan warga binaan.291 Sistem pemasyarakatan memiliki
peran yang sangat strategis dalam rangka membentuk warga binaan untuk
meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian warga binaan agar
menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak
pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,
286
Pasal 152 ayat (1) KUHAP.
Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
287
5. Advokat
Status advokat sebagai penegak hukum diatur dalam Pasal 5 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang
mengatur: “Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas,
dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-
undangan.” Pada bagian penjelasan ditegaskan bahwa yang dimaksud
dengan “Advokat berstatus sebagai penegak hukum” adalah advokat
sebagai salah satu perangkat dalam proses peradilan yang mempunyai
kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Dalam sistem peradilan pidana, advokat bertugas
membela kepentingan hukum kliennya serta memastikan hak-hak
hukum kliennya terpenuhi dalam proses peradilan pidana.293
Menurut Muladi,294 dalam rangka menunjang bekerjanya SPP,
geraknya harus berpatokan pada tujuan pemidanaan. Hal ini perlu
dilakukan untuk menciptakan sinkronisasi yang bersifat fisik, meliputi
sinkronisasi struktural (structural synchronization), sinkronisasi
substansial (substantial synchronization), dan sinkronisasi kultural (cultural
synchronization).295 Pemahaman atas tujuan pemidanaan melalui tiga pilar
administrasi peradilan pidana tersebut di atas merupakan prasyarat yang
harus dipenuhi apabila tidak ingin terjadi bias antara tujuan pemidanaan
dengan tujuan dari sistem peradilan pidana.296
Sinkronisasi struktural akan tercapai apabila adanya keserempakan
dan keselarasan dalam mekanisme administrasi peradilan pidana (the
administration of justice) antara lembaga penegak hukum. Dalam hal
sinkronisasi substansial, keserempakan mengandung makna vertikal
dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku.
Sementara itu, sinkronisasi kultural mengandung makna untuk selalu
292
Pasal 2 huruf b UU No. 22 Tahun 2022.
293
Komisi Pemberantasan Korupsi, Loc. Cit.
294
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), dalam Marcus Priyo Gunarto, Loc. Cit.
295
Ibid.
296
Ibid.
297
Ibid.
298
Charles Reith, The Blind Eye of History, dalam STR John May Lam, The
Police of Briatai, Terjemahan, Majalah Bhayangkara, (Jakarta: Bhayangkara), hlm. 4.
299
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, KBBI Daring,
https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Polisi, diakses tanggal 5 Mei 2022.
1. Penyelidikan
Penyelidikan dilakukan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan.301 Kegiatan penyelidikan dilakukan dengan cara:
pengolahan tempat kejadian perkara (TKP), pengamatan (observasi), dan
wawancara (interview); pembuntutan (surveillance), penyamaran (under
cover), pembelian terselubung (undercover buy), penyerahan di bawah
pengawasan (control delivery), pelacakan (tracking), dan/atau penelitian
dan analisis dokumen.302 Penyelidikan dilakukan terhadap orang, benda
atau barang, tempat, peristiwa/kejadian, dan/atau kegiatan.303 Hasil
penyelidikan dibuatkan laporan oleh tim penyelidik, untuk selanjutnya
dibawa dalam gelar perkara.304
Gelar perkara setelah adanya laporan hasil penyelidikan, wajib
dilakukan untuk menentukan peristiwa tersebut diduga tindak pidana
atau bukan tindak pidana.305 Ada tiga bentuk hasil gelar perkara.306
Pertama, peristiwa yang diselidiki merupakan tindak pidana, maka
dilanjutkan ke tahap penyidikan. Kedua, bukan merupakan tindak pidana,
dilakukan penghentian penyelidikan. Ketiga, peristiwa yang diselidiki
berdasarkan pengaduan/laporan merupakan perkara tindak pidana,
namun bukan kewenangan penyidik Polri, maka laporan dilimpahkan
ke instansi yang berwenang.
300
Pasal 1 angka 1 Perpol No. 8 Tahun 2021.
301
Pasal 1 angka 5 KUHAP.
302
Pasal 6 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
303
Pasal 6 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
304
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019, gelar perkara setelah
adanya laporan hasil penyelidikan, wajib dilakukan.
305
Pasal 9 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
306
Pasal 9 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
2. Penyidikan
Penyidikan dilakukan untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi
dan guna menemukan tersangkanya.309 Berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi (MK) Nomor: 21/PUU-XII/2014, rangkaian kegiatan
penyidikan merupakan satu kesatuan dan berurutan. Artinya, sebelum
menetapkan seseorang sebagai tersangka dalam suatu kejahatan,
penyidik terlebih dahulu menemukan minimal dua alat bukti.310
307
Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP.
308
Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP.
309
Pasal 1 angka 2 KUHAP.
310
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April
2019, hlm. 96.
311
Pasal 10 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
312
Pasal 10 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
313
Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
314
Pasal 16 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
315
Pasal 17 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
316
Pasal 18 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
317
Pasal 18 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
318
Pasal 18 ayat (3) Perkap No. 6 Tahun 2019.
319
Pasal 30 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
320
Sudarto, Hukum dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983),
hlm. 30.
disampaikan pada Uji Kelayakan dan Kepatutan di Komisi III DPR RI, 2021,
hlm. 22, bahwa transformasi menuju Polri yang Presisi dilaksanakan pada empat
bidang, yaitu transformasi organisasi, transformasi operasional, transformasi
pelayanan publik, dan transformasi pengawasan. Keempat transformasi
melahirkan serangkaian program. Salah satu program tranformasi operasional
adalah peningkatan kinerja penegakan hukum yang diwujudkan dengan kegiatan
penegakan hukum yang memenuhi rasa keadilan masyarakat.
322
Erlyn Indarti, Diskresi dan Paradigma, Sebuah Telaah Filsafat Hukum,
Makalah Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Filsafat Hukum pada Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, (Semarang, 4 November 2010), hlm. 39–41.
323
Ibid.
324
Ibid.
325
Ibid., hlm. 5.
326
Loraine Gelsthorpe dan Nicola Padfield, Exercising Discretion Decision-making
in the Criminal Justice System and Beyord (UK: Willan Publishing, 2003), hlm. 3.
327
Nigel Walker, Aggravation, Mitigation and Mercy in English Criminal Justice,
(London; Blackstone Press ltd., 1999), hlm. 152–154.
328
B. Ewart dan D. Pennington (1987), “Attributional Approach to Explaining
Sentencing Disparity” dalam Katy Holloway dan Adrian Grounds, Op. Cit., hlm. 154.
329
D. Moxon, “Sentencing Practice in the Crown Court, Home Office Research
Study 103,” dalam Katy Holloway dan Adrian Grounds, Op. Cit., hlm. 154.
330
Pasal 12 Perkap No. 6 Tahun 2019.
331
Pasal 14a, 14c KUHP.
332
Pasal 7 ayat (1) huruf J KUHAP Pasal 6 ayat (1) huruf a hanya karena
kewajibannya mempunyai wewenang: mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggung jawab.
333
Pasal 16 UU No. 2 Tahun 2002 mengatur bahwa dalam rangka
menyelenggarakan tugas sebagaimana dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang
proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk (huruf
l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, yang
diprasyaratkan dalam ayat (2) adalah tidak bertentangan dengan suatu aturan
hukum, selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan, harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya,
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa dan menghormati hak
asasi manusia.
334
Pasal 16 ayat (1) huruf b dan Pasal 16 ayat (2) huruf b Perpol Nomor 8
Tahun 2021.
335
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (3) Perpol Nomor 8 Tahun 2021.
336
Hasbi Hasan, Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia, dalam Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 2, Juli 2013, hlm.
250.
95
perkara melalui mediasi, khususnya terhadap delik aduan, sehingga
korban dapat mencabut aduannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 75
KUHP.337 Penyidik juga dapat memaksimal Pasal 82 KUHP, yaitu melalui
pembayaran denda sebelum penuntutan dilakukan. Penyelesaian perkara
tindak pidana dengan membayar denda hanya berlaku untuk tindak
pidana berupa pelanggaran.
(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau
pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti
maka dalam putusannya hakim dapat memerintahkan pula
bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian
hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan
karena si terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum
masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di
atas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan
tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain
dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali
dalam perkara-perkara yang mengenai penghasilan dan
persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda,
tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau
perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat
memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini,
kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai
perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan
dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan
pidana denda, tidak diterapkan ketentuan Pasal 30 ayat 2.
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai
pidana pokok juga mengenai pidana pokok juga mengenai
pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki
dengan cermat berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan
yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana
tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus
jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau
keadaan-keadaan yang menjadi alasan perintah itu.”
338
Hasbi Hasan, Op. Cit., hlm. 249.
339
Menurut Howard Zehr, pendekatan restorative justice terdiri atas tiga wujud
kategori, yaitu program alternatif atau diversi (alternative or diversionary programs),
program pemulihan atau terapi (healing or therapeutic programs) dan program
transisional (transitional programs). Penjelasan selanjutnya dapat dibaca dalam
Hasbi Hasan, Penerapan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di
Indonesia, Ibid., hlm. 260.
340
Pasal 1 angka 7 UU SPPA.
341
Pasal 6 UU SPPA.
342
Pasal 8 ayat (1) UU SPPA.
343
Pasal 8 ayat (2) UU SPPA.
344
Pasal 8 ayat (3) UU SPPA.
345
Pasal 7 ayat (1) UU SPPA.
346
Pasal 9 ayat (2) UU SPPA.
347
Pasal 9 ayat (2) UU SPPA.
348
Pasal 11 UU SPPA.
349
Pasal 12 ayat (1) UU SPPA.
350
Hasbi Hasan, Op. Cit., hlm. 260.
351
Ibid.
352
UNODC, Op. Cit., hlm. 42.
353
Ibid.
354
Ibid.
355
Ibid.
356
Angel, et al., (2014) “Short-Term Effects of Restorative Justice Conferences
on Post-traumatic Stress Symptoms among Robbery and Burglary Victims”, dalam
UNODC, Ibid., hlm. 46.
357
Clamp and Paterson (2017), “Restorative Policing”, dalam UNODC, Ibid.,
hlm. 46.
358
UNODC, Ibid.
359
Pasal 16 ayat (1) huruf h UU Kepolisian.
360
Pasal 16 ayat (1) huruf l UU Kepolisian.
361
Pasal 16 ayat (2) UU Kepolisian.
362
Pasal 18 ayat (2) UU Kepolisian.
363
Petitum Menimbang huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021.
364
Pasal 2 ayat (1) Perpol No. 8 Tahun 2021.
365
Pasal 3 ayat (1) huruf b Perpol No. 8 Tahun 2021.
366
Pasal 10 Perpol No. 8 Tahun 2021.
367
Pasal 5 Perpol No. 8 Tahun 2021.
368
Pasal 6 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
369
Pasal 6 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
370
Petitum “Menimbang” huruf a Perja No. 15 Tahun 2020.
371
Petitum “Menimbang” huruf c Perja No. 15 Tahun 2020.
Tindak pidana terkait harta benda, dalam hal terdapat kriteria atau
keadaan yang bersifat kasuistik yang menurut pertimbangan Penuntut
Umum dengan persetujuan Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau
Kepala Kejaksaan Negeri, dapat diselesaikan melalui program restorative
justice dengan tetap memperhatikan syarat bukan residivis disertai
dengan salah satu syarat pada angka 2 atau angka 3 di atas.373 Selain
itu, tindak pidana yang dilakukan terhadap orang, tubuh, nyawa, dan
kemerdekaan orang, juga dapat diselesaikan melalui restorative justice,
asalkan pelakunya bukan residivis dan ancaman hukumannya tidak
lebih dari lima tahun.374 Dalam hal tindak pidana dilakukan karena
kelalaian, penyelesaiannya dapat dilakukan dalam program restorative
justice apabila pelaku bukan residivis.375
372
Petitum “Menimbang” huruf b Perja No. 15 Tahun 2020.
373
Pasal 5 ayat (2) Perja No. 15 Tahun 2020.
374
Pasal 5 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.
375
Pasal 5 ayat (4) Perja No. 15 Tahun 2020.
376
Pasal 3 ayat (4) Perja No. 15 Tahun 2020.
377
Pasal 5 ayat (6) Perja No. 15 Tahun 2020.
378
Pasal 8 Perja No. 15 Tahun 2020.
379
Pasal 9 ayat (4) Perja No. 15 Tahun 2020.
380
Pasal 9 ayat (2) Perja No. 15 Tahun 2020.
381
Pasal 9 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.
382
Petitum “Menimbang” huruf b Keputusan Direktur Jenderal Badan
Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/
PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif
(Restorative Justice), untuk selanjutnya ditulis SK Dirjen Badilum tentang Restorative
Justice.
383
Lampiran SK Dirjen Badilum tentang Restorative Justice, hlm. 2.
384
Ibid.
385
Ibid., Bagian C, hlm. 4.
386
Pasal 364 KUHP: “Perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 362 dan Pasal
363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam Pasal 363 butir 5,
apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada
rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah,
diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.”
387
Pasal 373 KUHP: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 372 apabila
yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah,
diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.”
388
Pasal 379 KUHP: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378, jika barang
yang diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau piutang
itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagai penipuan ringan dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus
lima puluh rupiah.”
389
Pasal 384 KUHP: “Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 383, diancam
dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak dua ratus
lima puluh rupiah, jika jumlah keuntungan yang diperoleh tidak lebih dari dua
puluh lima rupiah.”
390
Pasal 407 KUHP: “(1) Perbuatan-perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal
406 jika harga kerugian tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam dengan
pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus
lima puluh rupiah. (2) Jika perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 406 ayat kedua
itu dilakukan dengan memasukkan bahan-bahan kan nyawa atau kesehatan, atau
jika hewan itu termasuk dalam Pasal 101, maka ketentuan ayat pertama tidak
berlaku.”
391
Pasal 482 KUHP: “Perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 480,
diancam karena penadahan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, jika kejahatan dari mana
benda tersebut diperoleh adalah salah satu kejahatan yang dirumuskan dalam
Pasal 364, 373, dan 379.”
392
Lampiran SK Dirjen Badilum tentang Restorative Justice, Loc. Cit.
393
Ibid.
Ibid.
394
Howard Zehr, Little Book of Restorative Justice, (Intercourse, PA: Good Book,
395
400
Ibid.
115
penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih
efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses
hukum atau non-litigasi), misalnya melalui upaya perdamaian.”
Pengaturan terkait ADR dalam Perkap No. 7 Tahun 2008 di atas,
ditegaskan kembali melalui Surat Kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Surat Kapolri) Nomor: B/3022/XII/2009/Sdeops Tahun 2009 perihal
Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution.
Surat Kapolri tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan empat
surat telegram (ST) Kabareskrim tahun 2011 dan 2012, yaitu sebagai
berikut.
1. ST Kabareskrim Polri Nomor: ST/110/V/2011 perihal Penyelesaian
Perkara Melalui Alternatif di Luar Proses Peradilan.
2. ST Kabareskrim Polri Nomor: ST/209/IX/2011 perihal Penangguhan
Penerapan ADR di Jajaran Reskrim Polri.
3. ST Kabareskrim Polri Nomor: ST/255/XI/2011 perihal Penundaan
Sementara Penerapan Penyelesaian Perkara di Luar Sidang
Pengadilan atau ADR di Jajaran Reskrim.
4. ST Kabareskrim Polri Nomor: STR/583/VIII/2012 perihal
Pembatasan Penerapan ADR dalam Penanganan Perkara Pidana.
401
Polri, FAQ Restoratif Justice pada Acara Rakernis Fungsi Reskrim Polri T.A.
2022.
PENYIDIKAN SP3
(DEMI HUKUM)
• Penyelidikan
• Penyidikan
• Prapenuntutan
• Penuntutan
• Pemeriksaan
• Putusan
• Lapas
• Pembinaan
402
Elektronik Manajemen Penyidikan (EMP) Badan Reserse Kriminal
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri), diunduh 25 Januari
2023, pukul 17.50 WIB.
403
Mara Schiff, Models, Challenges and The Promise of Restorative Conferencing
Strategies dalam Restorative Justice and Criminal Justice: Competing or Reconcilable
Paradigms?, (Oregon: Hart Publishing, 2003), hlm. 317.
404
Maureen Maloney, Q.C. From Criminal Justice to Restorative Justice: A Movement
Sweeping The Western Common Law World, (British Columbia: International Centre
for Criminal Law Reform and Criminal Justice Policy, 2006), hlm. 12.
405
Polri, FAQ Restoratif Justice pada Acara Rakernis Fungsi Reskrim Polri T.A. 2022.
406
Ibid.
407
Pasal 2 ayat (4) Perpol No. 8 Tahun 2021.
408
Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 12 Perpol No. 8 Tahun 2021.
409
Pasal 11 Perpol No. 8 Tahun 2021.
410
Pasal 13 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
411
Pasal 13 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021. Dalam hal tidak ada korban,
maka bukti telah dilakukan pemulihan hak korban tidak perlu dilampirkan (Pasal
13 ayat (4) Perpol No. 8 Tahun 2021).
412
Pasal 13 ayat (1) Perpol No. 8 Tahun 2021.
413
Pasal 14 ayat (1) huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021.
414
Pasal 14 ayat (1) huruf b Perpol No. 8 Tahun 2021.
415
Wawancara dengan Sukardi, anggota kepolisian pada Bareskrim Mabes
Polri, tanggal 29 Agustus 2022.
416
Penyidik juga dapat melakukan upaya paksa lainnya berupa: penahanan;
penggeledahan; penyitaan; dan pemeriksaan surat (Pasal 16 ayat (1) Peraturan
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan
Tindak Pidana (Perkap No. 6 Tahun 2019)).
417
Pasal 23 ayat (1) Perkap No. 6 Tahun 2019.
418
Pasal 23 ayat (2) Perkap No. 6 Tahun 2019.
419
Sukardi, Loc. Cit.
420
Pasal 15 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
421
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
422
Pasal 15 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
423
Pasal 16 ayat (1) Perpol No. 8 Tahun 2021.
424
Pasal 15 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021. Berdasarkan Pasal 15 ayat
(4) Perpol No. 8 Tahun 2021, bukti telah dilakukan pemulihan hak korban tidak
diperlukan terhadap tindak pidana narkotika.
425
Pasal 16 ayat (2) huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021.
426
Pasal 16 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
427
Pasal 17 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
428
Pasal 16 ayat (1) huruf d Perpol No. 8 Tahun 2021.
429
Pasal 16 ayat (1) dan (2) huruf e Perpol No. 8 Tahun 2021.
430
Pasal 16 ayat (1) huruf f jo. Pasal 16 ayat (2) huruf f Perpol No. 8 Tahun 2021.
431
Pasal 16 ayat (2) huruf g Perpol No. 8 Tahun 2021.
432
Pasal 16 ayat (1) huruf g jo. Pasal 16 ayat (2) huruf h Perpol No. 8 Tahun 2021.
433
Pasal 6 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
434
Pasal 8 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
435
Pasal 18 ayat (1) huruf a Perpol No. 8 Tahun 2021.
436
Pasal 18 ayat (1) huruf b Perpol No. 8 Tahun 2021.
437
Pasal 18 ayat (1) huruf c Perpol No. 8 Tahun 2021.
438
Pasal 18 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
439
Pasal 18 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
440
Pasal 19 ayat (1) Perpol No. 8 Tahun 2021.
441
Pasal 19 ayat (2) Perpol No. 8 Tahun 2021.
a. Hambatan Instrumental
Hambatan instrumental yang dimaksud adalah dari sisi peraturan perundang-
undangan yang mengatur restorative justice di Indonesia, terutama pelaksanaan
di kepolisian. Hasil penelitian menemukan tiga hambatan instrumental
penerapan restorative justice di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
442
Pasal 19 ayat (3) Perpol No. 8 Tahun 2021.
443
Pasal 48 ayat (2) UU PTPPO.
444
Pasal 16 ayat (1) huruf e dan Pasal 16 ayat (2) huruf e Perpol No. 8 Tahun
2021.
445
Pasal 16 ayat (1) huruf f Perpol No. 8 Tahun 2021.
446
R Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1980), hlm. 90.
447
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S Hiariej, Dasar-dasar Ilmu Hukum:
Memahami Kaidah, Teori, Asas dan Filsafat Hukum, (Indonesia: Red & White Publishing,
2021), hlm. 149.
448
Ilhamdi Putra dan Khairul Fahmi, Karakteristik Ne Bis In Idem dan
Unsurnya dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 18,
No. 2, Juni 2021, hlm. 350.
449
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, Edisi ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), hlm. 450.
450
Sukardi, Loc. Cit.
96,2%
93,9%
b. Hambatan Institusional
Pelaksanaan restorative justice di kepolisian ternyata juga memiliki
hambatan secara institusional. Temuan hambatan institusional dapat
dijelaskan sebagai berikut.
https://denpasar.kompas.com/read/2022/04/14/181901678/terapkan-
451
restorative-justice-untuk-2-tersangka-narkotika-penyidik-diperiksa, diakses
tanggal 5 September 2022.
2) Pemahaman Penyidik yang Tidak Sama Terkait Jenis Tindak Pidana yang
Dapat Diselesaikan Melalui Restorative Justice
Salah satu contoh kasus terkait tidak meratanya pemahaman ini, terjadi
pemeriksaan terhadap penyidik Polres Serang Kota karena menerapkan
restorative justice terhadap kasus pemerkosaan.453 Dalam kasus tersebut,
kepolisian melakukan penghentian penyidikan dan membebaskan
tersangka tindak pidana pemerkosaan. Perlu diketahui, Perpol No. 8
Tahun 2021 tidak mengecualikan tindak pidana pemerkosaan atau tidak
pidana kesusilaan dalam jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan
melalui restorative justice. Pengecualian terhadap tindak pidana kesusilaan
hanya terdapat dalam Pasal 5 ayat (8) huruf a Perja No. 15 Tahun
2020. Namun, karena adanya pengaduan dari Kompolnas, Polda
Banten melakukan pemeriksaan terhadap penyidik yang melakukan
penghentian terhadap tindak pidana pemerkosaan melalui restorative
justice.454
Hasil penelitian yang dilakukan Lembaga Kajian dan Advokasi
Independensi Peradilan (LeIP), Institut for Criminal Justice Reform (ICJR),
dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) pada tahun
2019 menunjukkan walaupun sudah ada surat edaran Kapolri, masih
ada penyidik yang tidak mengetahui indikator tindak pidana apa saja
yang dapat diselesaikan melalui restorative justice, selain kasus anak.455
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa dalam proses penyidikan,
penyidik hanya sebatas menggali fakta dan membuktikan perbuatan
tindak pidana, bukan untuk mendorong korban bisa menuntut ganti
kerugian,456 karena mengalami kesulitan untuk menghitung atau
452
https://news.detik.com/berita/d-5912426/kapolri-ingatkan-anggota-
restorative-justice-tak-jadi-ajang-transaksional, diakses tanggal 5 September 2022.
453
https://banpos.co/2022/01/24/penyidik-polres-serang-kota-diperiksa-
karena-beri-resto-rative-justice-pada-kasus-pemerkosaan/, diakses tanggal 5
September 2022.
454
www.banpos.co, Ibid.
455
LeIP, dkk., Laporan Penelitian Keadilan Restoratif Wilayah Aceh, Nusa
Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan, Oktober 2019, hlm. 20.
456
Ibid.
87,8%
12,2%
457
Ibid.
458
Ibid.
459
Ibid.
3) Kesiapan Infrastruktur
Penerapan restorative justice membutuhkan fasilitator yang terlatih. Pada
praktik restorative justice pada tingkat penyidikan, tidak ada pendidikan
atau pelatihan khusus terhadap mediator penal atau fasilitator restorative
justice. Selain itu, tantangan yang tidak kalah penting adalah ketersediaan
sumber daya manusia di kepolisian dalam hal membentuk unit khusus
untuk menyelesaikan tindak pidana melalui mekanisme restorative justice.
460
Focus Group Discussion di Yogyakarta tanggal 8 Agustus 2022.
88,3%
461
Viva Budy Kusnandar, “Alokasi Anggaran Polri dalam RAPBN 2022 Naik
16,6%”, https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/08/18/alokasi-
anggaran-polri-dalam-rapbn-2022-naik-146, diakses tanggal 25 September 2022.
462
Diolah dari http://sdppublik.ditjenpas.go.id/analisis/public/ung/bulanan/
year/2021/monthly/thn?q=ung/-current/monthly/year/2021/month/thn, diakses
tanggal 17 September 2022, jam 16.30 WIB.
463
Elektronik Manajemen Penyidikan (EMP), Loc. Cit.
464
Ibid.
465
Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 60/
PMK.02/2021 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2022, hlm. 88.
dikatakan efektif dan efisien. Biaya tidak hanya sekadar diukur dari uang, melainkan
juga dari segi waktu penanganan perkara. Bentham mengatakan, keadilan itu dapat
diukur ketika hukum membawa manfaat yang besar bagi sebagian besar orang.
467
Data diolah dari SDP Publik Ditjenpas Kementerian Hukum dan HAM.
468
https://ppid.ditjenpas.go.id/, diakses tanggal 3 April 2022, jam 16.30 WIB.
469
Wawancara dengan Yoslan, staf pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, menurut Yoslan, data pada https://
ppid.ditjenpas.go.id/ selalu berubah setiap saat, sehingga pasti ada perbedaan dan
perkembangan data, 30 Januari 2023.
470
Ibid.
472
Pasal 3 ayat (1) Perja No. 15 Tahun 2020.
473
Pasal 3 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.
474
Pasal 7 ayat (1) Perja No. 15 Tahun 2020.
475
Pasal 7 ayat (2) Perja No. 15 Tahun 2020.
476
Pasal 7 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.
477
Pasal 8 ayat (3) Perja No. 15 Tahun 2020.
478
Kejaksaan, “Jaksa Agung RI Launching Rumah Restorative Justice
untuk Ciptakan Keharmonisan”, https://www.kejaksaan.go.id/berita.
php?idu=0&id=18867, diakses tanggal 6 September 2022.
92%
8%
96%
Wawancara dengan para Jaksa dan Kepala Kejaksaan Negeri Kota Mataram,
479
22 November 2022.
84,6%
480
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum (Direstorative justiceen
Badilum) Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pemberlakuan Pedoman
Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice), BAB huruf A angka 2 poin e.
481
Ibid., poin f.
482
Ibid., poin g.
483
Ibid., poin h.
484
Ibid., poin i.
485
Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2021, hlm. 128.
486
Ibid., hlm. 176.
487
Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Sibolga, 7 September 2022.
488
Ibid.
489
Ibid.
490
Pengadilan Negeri Sibolga, Putusan Perkara Nomor 160/Pid.Sus/2022/
PN Sbg, hlm. 2.
85,7%
14,3%
491
Hakim Pengadilan Negeri Sibolga, Loc. Cit.
60%
40%
80%
20%
46,7%
53,3%
493
Kejaksaan, “Jaksa Agung RI Launching Rumah Restorative Justice
untuk Ciptakan Keharmonisan”, https://www.kejaksaan.go.id/berita.
php?idu=0&id=18867, diakses tanggal 6 September 2022.
494
Wawancara dengan Obin Naibaho, Ketua Forum Komunikasi Tokoh
Masyarakat Kabupaten Samosir, dan Elman Simanjuntak, pelaku adat batak toba,
Minggu tanggal 24 Oktober 2021.
163
rugi kepada korban dan juga kewajiban membayar seluruh biaya
yang dikeluarkan saat masalah tersebut diselesaikan secara hukum
adat. Sanksi lainnya adalah kewajiban minta maaf kepada korban
disaksikan semua pihak yang turut serta dalam penyelesaiannya.
Apabila kewajiban meminta maaf tidak dilakukan, lembaga adat
memberikan hukuman sosial berupa tidak dilibatkan dalam acara
adat dan tidak diundang pada setiap hajatan masyarakat serta diusir
dari kekerabatan adat.”
Lembaga Dalihan Na Tolu pada masyarakat adat Batak dalam
penyelesaian permasalahan hukum juga ditujukan mengatasi
masalah dengan mengadakan tindakan represif, antara lain, dengan
rehabilitasi yang bertujuan untuk menghukum orang jahat dengan
sistem dan programnya bersifat reformatif, yaitu hukuman bersyarat
dan hukuman sosial.495 Peranan lembaga adat sangat efektif dalam
memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan korban
karena terpenuhinya prinsip restorasi (perbaikan) sebagai tujuan dari
restorative justice. Peran penting lembaga adat dalam praktik, misalnya
terjadi di Polsek Pangururan, Polres Samosir, wilayah hukum Polda
Sumatera Utara, yaitu:
“Polsek Pangururan dalam penyelesaian laporan masyarakat
maupun laporan korban tindak pidana selalu melibatkan
peran lembaga adat batak, karena sangat efektif dalam proses
penyelesaiannya. Penyidik memaknai bahwa penyelesaian dengan
memanfaatkan lembaga adat merupakan bentuk sistem restorative
justice, karena terpenuhinya rasa keadilan dan perlindungan bagi
korban.”496
Penerapan restorative justice di Sumatera Utara, tergambar juga
dalam kasus pengancaman yang dilakukan terhadap seorang juru
parkir (Jukir) e-parking Pemerintah Kota (Pemkot) Medan. Kasus ini
sempat viral, lantaran pelaku mengeluarkan kata-kata mengancam akan
mematahkan leher korban. Terhadap pengancaman tersebut, pelaku
ditangkap, ditahan, dan telah ditetapkan sebagai tersangka.
B. Penelitian di Bali
Bali merupakan daerah kedua, dilakukan penelitian oleh penulis, dengan
alasan masyarakatnya masih memegang teguh hukum adat, termasuk
sanksinya. Pelaksanaan sanksi adat selalu disertai dengan pamarisuddhan
atau pemerayascitta, yaitu suatu upacara pembersihan desa dari perasaan
kotor alam gaib.498 Upacara ini bukanlah dimaksudkan sebagai suatu
siksaan atau suatu penderitaan, akan tetapi untuk mengembalikan
keseimbangan kosmis.499
Menurut I Dewa Made Suartha, penjatuhan sanksi adat di Bali
dalam pelaksanaannya ada keterkaitan yang sangat erat antara hukum
adat dan agama Hindu di Bali, di mana tidak saja dapat dilihat dari
ketentuan-ketentuan hukum adatnya, yang lazim disebut awig-awig,
tetapi juga dalam hal penjatuhan sanksi adatnya yang lebih banyak
dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan.500 Suartha menjelaskan,
penjatuhan sanksi adat di Bali meliputi dua hal penting, yaitu sanksi
skala (sanksi materiil) dan sanksi niskala (sanksi imateriil). Sanksi ini
tidak dapat dilepaskan dari pola penataan kehidupan masyarakat adat
di Bali yang dilandaskan atas konsep tri hita karana, yang meliputi
terpeliharanya keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, antara
manusia dengan manusia lain, serta manusia dengan lingkungannya.501
497
Hakim Pengadilan Negeri Sibolga, Loc. Cit., dan Putusan Nomor 160/Pid.
Sus/2022/PN Sbg.
498
Wawancara dengan I Made Kasta. Bendesa Adat Akah Klungkung, tanggal
3 November 2021.
499
I Made Widnyana, “Eksistensi Delik Adat dalam Pembangunan”, dalam I
Dewa Made Suartha, Hukum dan Sanksi Adat: Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana,
(Malang: Suara Press, 2015), hlm. 3.
500
I Dewa Made Suartha, Ibid.
501
Ibid.
502
Ibid.
503
Ibid.
1. Yogyakarta
Penelitian dilakukan dengan cara Focus Group Discussion (FGD), dengan
responden personel binmas, patroli, serta reskrim polres dan polsek di
Polresta Yogyakarta. Alasan penulis melakukan penelitian di Yogyakarta,
karena dinilai kekerabatannya sangat kental dalam masyarakat, sehingga
penulis ingin menggali penerapan restorative justice berdasarkan Perpol
No. 8 Tahun 2021 oleh Kepolisian di Yogyakarta. Penerapan restorative
justice di Kepolisian Daerah (Polda) Yogyakarta cukup tinggi. Polda
Yogyakarta telah menyelesaikan sebanyak 664 perkara atau 13% dari
total perkara tindak pidana yang ditangani sebanyak 5272 kasus.504
Khusus wilayah Polresta Yogyakarta, jumlah perkara tindak pidana yang
berhasil diselesaikan melalui mekanisme restorative justice sebanyak 99
perkara sampai dengan Juli 2022.505
Penyelesaian tindak pidana melalui restorative justice juga terjadi di
wilayah hukum Polres Bantul, terhadap dua kasus tindak pidana, yaitu
kasus penganiayaan dan percobaan pencurian yang dilaporkan di Polsek
Sanden. Tindak pidana penganiayaan dilakukan oleh seorang pria warga
Kalurahan Gadingsari, Kapanewon Sanden, Kabupaten Bantul terhadap
adik perempuannya. Sementara kasus tersebut terjadi di rumah warga
di Dusun Pranti, Gadingharjo, Sanden, Bantul. Pelaksanaan restorative
justice terhadap kedua kasus tersebut diselenggarakan di Ruang Mediasi
Satreskrim Polres Bantul, dihadiri oleh kedua belah pihak, baik korban
maupun pelaku, serta disaksikan oleh Ketua RT dan Dukuh. Para pihak
berhasil didamaikan melalui restorative justice.
Penyelesaian perkara tindak pidana seharusnya dapat dilakukan
melalui lembaga adat. Namun, menurut Djoko Sukisno, peran tokoh
adat di Yogyakarta sudah tidak kelihatan lagi. Yogyakarta sudah
504
Polri, FAQ Restoratif Justice pada Acara Rakernis Fungsi Reskrim Polri T.A.
2022.
505
FGD di Polresta Yogyakarta, 8 Agustus 2022.
2. Solo
Kehidupan orang Jawa yang sudah mulai individualis tidak serta-merta
menghilangkan tradisi Jawa. Sangat banyak ajaran-ajaran budaya Jawa
yang sangat kental dan relevan dengan penyelesaian perkara tindak
pidana berdasarkan restorative justice. Salah satu contoh pepatah Jawa
yang mengandung makna yang sangat dalam tentang kehidupan
yang rukun dan saling berbagi serta bergotong-royong adalah bahwa
orang Jawa pada umumnya mengutamakan “pager mangkok tinimbang
pager tembok”. Pepatah ini memiliki makna yang mendalam tentang
mengutamakan berbuat baik kepada tetangga atau orang lain.508 Orang
Jawa sendiri memiliki budaya non-konfrontatif. Dalam hal terjadi
masalah, penyelesaiannya lebih kepada mencari tujuan yang tepat yang
tidak menimbulkan keonaran (Dikena iwake, aja nganti butheg banyune).509
Tradisi “nyadran“ pada masyarakat Jawa mengandung kristalisasi
nilai komunikasi sosial, budi bahasa dan budaya, syukur, cinta dan
kasih sayang, penghormatan, disiplin, serta kepatuhan kolektif. Orang
Jawa pada umumnya mengutamakan kedamaian dan kerukunan,
sebab mereka sangat menyadari bahwa jika terjadi perpecahan, akan
506
Ibid.
507
Wawancara dengan Supanto, Budayawan Jawa dan Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret, tanggal 21 Juli 2022.
508
Wawancara Sahid Teguh Widodo, Budayawan dan Guru Besar Ilmu Budaya
Universitas Sebelas Maret, tanggal 9 Agustus 2022.
509
Ibid.
510
Ibid.
511
Ibid.
512
Ibid. Lihat juga: Darmoko, Budaya Jawa dalam Diaspora: Tinjauan pada
Masyarakat Jawa di Suriname, https://journal.uny.ac.id/index.php/ikadbudi/
article/view/12307, diakses tanggal 14 September 2022.
D. Penelitian di Jakarta
Penelitian keempat dilakukan di Jakarta dengan cara mewawancarai
Brigjen. Pol. Iwan Kurniawan, S.I.K., M.Si., Kepala Biro Pengawas
Penyidikan (Karowassidik) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim)
Kepolisian Republik Indonesia. Peneliti ingin menggali terkait
pelaksanaan gelar perkara khusus dalam rangka restorative justice.
Menurut Kurniawan, konsep dasar restorative justice di kepolisian tidak
hanya fokus pada penghentian perkara, tetapi juga mengedepankan
perdamaian. Penghentian perkara melalui restorative justice dilakukan
terhadap perkara yang sudah lengkap alat buktinya, sehingga alasan
penghentiannya menggunakan alasan penghentian demi hukum.
Terhadap perkara-perkara yang buktinya tidak cukup atau belum
lengkap, maka penghentiannya dilakukan berdasarkan KUHAP.516
513
Darmoko, Ibid.
514
Ibid.
515
Supanto, Loc. Cit.
516
Wawancara dengan Iwan Kurniawan, Kepala Biro Pengawas Penyidikan
(Karowassidik) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Kepolisian Republik
Indonesia, tanggal 16 November 2022.
517
Penjelasan Umum Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor
9 Tahun 2019 tentang Bale Mediasi (Perda Bale Mediasi).
518
Barugaq Sekepat adalah rumah adat Suku Sasak Lombok, memiliki
bentuk seperti gazebo, dengan atap yang terbuat dari daun kelapa, berbentuk
seperti panggung tanpa dinding, dan terdapat empat pilar yang terbuat dari kayu.
Lihat: https://ntb.genpi.co/sasambo/1958/mengenal-berugaq-sekepat-rumah-
adat-suku-sasak-lombok#:~:text=GenPI.co%20Ntb%20%2D%20Berugaq%20
Sekepat,terbuat%20dari%20genteng%20atau%20seng., diakses tanggal 28
November 2022.
519
Wawancara dengan Lalu Sajim Sastrawan, Ketua Bale Mediasi Provinsi
Nusa Tenggara Barat, 21 November 2022.
520
Pasal 3 Perda Bale Mediasi.
521
Pasal 5 Perda Bale Mediasi.
522
Pasal 10 Perda Bale Mediasi.
523
Lalu Sajim Sastrawan, Loc. Cit.
524
Ibid.
525
Pasal 17 ayat (2) Perda Bale Mediasi.
526
Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) Perda Bale Mediasi.
527
Lalu Sajim Sastrawan, Loc. Cit.
528
Hayyan Ul Haq, disampaikan dalam melakukan Focus Group Discussion (FGD)
di Mataram, tanggal 22 November 2022.
529
Kepala Kejaksaan Negeri Mataram, Loc. Cit.
530
Ketua Pengadilan Negeri Mataram, Loc. Cit.
531
Pasal 7 ayat (1) huruf I KUHAP.
532
Pasal 140 ayat (2) KUHAP.
183
Menurut Gerry Johnstone, salah satu tujuan penerapan restorative
justice di penjara adalah untuk menyadarkan narapidana agar memahami
dampak kejahatan terhadap korban dan bertanggung jawab atas
tindakannya.533 Restorative justice di penjara juga dapat menyelesaikan
konflik antara narapidana dalam penjara, atau menyelesaikan konflik
antara narapidana dengan sipir/staf lembaga pemasyarakatan.534 Salah
satu program restorative justice di penjara yang berhasil dilaksanakan
adalah “A Sycamore Tree Programme”. Program ini diselenggarakan
oleh organisasi non-pemerintahan The Prison Fellowship. Johnstone
menjelaskan, program tersebut biasanya dilaksanakan dalam enam
sampai delapan sesi, selama dua sampai tiga jam.535
Tujuan “A Sycamore Tree Programme” adalah untuk memenuhi
kebutuhan narapidana dan korban kejahatan yang berpartisipasi. Untuk
pelaku, tujuannya antara lain: (1) mendorong untuk bertanggung jawab
atas tindakannya; (2) memungkinkan untuk mengalami pengakuan,
pertobatan, pengampunan, dan rekonsiliasi terkait pelanggaran yang
mereka lakukan; serta (3) membantu menebus kesalahan melalui
partisipasi dalam tindakan restitusi simbolis.
Berkaitan dengan korban, tujuannya antara lain: (1) membantu
menyelesaikan masalah seputar tindak pidana yang dilakukan; (2)
membantu untuk mendapatkan informasi yang lebih baik tentang
kejahatan, pelaku, dan keadilan restoratif; (3) memungkinkan
untuk melihat pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya; dan
(4) membantu korban atau keluarganya mendapatkan sense of closure,
pengampunan, dan kedamaian.536
Para ahli hukum belum memiliki kesatuan pendapat terkait definisi
sistem peradilan pidana (SPP). Marcus Priyo Gunarto menjelaskan, SPP
merupakan bagian dari sistem sosial untuk menanggulangi kejahatan
dan merehabilitasi perilaku anti-sosial.537 Pendapat senada disampaikan
533
Gerry Johnstone, Restorative Justice in Prison, (Strasbourg: European
Committee on Crime Problems, 2014), hlm. 6.
534
John Collins, Restorative Justice in Custodial Settings, (United Kingdom:
Restorative Justice Council, 2016), hlm. 7.
535
Gerry Johnstone, Loc. Cit.
536
Ibid.
537
Marcus Priyo Gunarto, Sikap Memidana yang Berorientasi pada Tujuan
Pemidanaan, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volume 21, Nomor 1, Februari 2009,
hlm. 93–1008.
538
Mardjono Reksodipoetro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum Universitas Indonesia, 1994), hlm. 84–85.
539
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 18.
540
Marcus Priyo Gunarto, Loc. Cit.
541
Romli Atmasasmita, “Menggapai Keadilan Restoratif ” dalam
https://nasional.sindonews.com/read/714315/18/menggapai-keadilan-
restoratif-1647414216, diakses tanggal 2 November 2022.
542
Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, cetakan 1, (Jakarta:
Djambatan, 2013), hlm. 76.
543
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2011), hlm. 31.
195
KUHAP dan KUHP. Terdapat delapan poin yang dapat diatur, yaitu
sebagai berikut.
1. Definisi dan tujuan restorative justice. Hal ini sangat penting diatur
untuk mencegah multi-penafsiran dan perbedaan pengaturan
seperti yang terjadi saat ini. Keterlibatan pelaku, korban, keluarga
pelaku/korban serta pihak lain atau masyarakat yang terkena
dampak tindak pidana harus berpartisipasi aktif menemukan solusi
yang terbaik untuk memulihkan korban, memperbaiki pelaku, dan
memulihkan hubungan pelaku dengan korban, serta memulihkan
keadaan masyarakat yang telah rusak.
2. Jenis tindak pidana yang dapat diselesaikan melalui restorative justice.
Terdapat perbedaan dalam pengaturannya, ada yang mengatur
hanya dapat diterapkan pada anak atau remaja, atau hanya untuk
tindak pidana tertentu, tetapi ada untuk semua tindak pidana tanpa
pengecualian.
3. Restorative justice tidak dapat diterapkan bagi pelaku pengulangan
tindak pidana (residivis). Salah satu tujuannya adalah memperbaiki
sikap pelaku, menjadi sadar akan kesalahannya, dan tidak akan
mengulanginya.
4. Pengaturan restorative justice dapat diselenggarakan pada setiap
tahap sistem peradilan pidana. Pengaturan pada setiap subsistem
dapat dilakukan penghentian penyidikan dan penuntutan, serta
memberikan putusan bebas atau lepas.
5. Restorative justice diterapkan secara sukarela dan berdasarkan
kesepakatan para pihak. Hal tersebut hanya dapat diselenggarakan
berdasarkan kehendak bebas pelaku dan korban, tanpa paksaan.
6. Kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan diberi kewenangan sebagai
mediator dan fasilitator.
7. Tidak tercapai kesepakatan damai selama proses restorative justice.
Perkara tindak pidana tersebut dapat dilanjutkan dengan proses
penuntutan, namun tidak dapat digunakan sebagai bukti pengakuan
bersalah dan pembenaran untuk menjatuhkan hukuman yang lebih
berat dalam proses peradilan pidana selanjutnya.
8. Tercapainya kesepakatan wajib mendapatkan penetapan pengadilan.
Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan penetapan pengadilan,
Buku
Apeldoorn, L.J. Van. 2000. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradya
Paramita.
Arief, B.N. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
—————. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan
Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
—————. 2010. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan.
Semarang: Pustaka Magister.
Arrasjid, Chainur. 2000. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Asikin, H. Zainal. 2011. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Asyhadie, Zaeni. 2016. Hukum Bisnis, Prinsip dan Pelaksanaannya di
Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System): Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme. Jakarta:
Penerbit Bina Cipta.
Bentham, Jeremy. 1823. An Introduction to the Principles of Morals and
Legislation, [s.l.: s.n.].
Bondan, Gandjar Laksmana Bonaprapta. Hukum dan Sistem Peradilan
Pidana. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi.
201
Cahyadi, Antonius & E. Fernando Manullang. 2007. Pengantar ke Filsafat
Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Chartrand, L. and Horn, K. 2016. A Report on the Relationships between
Restorative Justice and Indigenous Legal Traditions in Canada. Ottawa:
Department of Justice Canada.
Collins, John. 2016. Restorative Justice in Custodial Settings. United
Kingdom: Restorative Justice Council.
Cragg, Wesley. 1992. The Practice of Punishment, Toward a Theory of
Restorative Justice. London and New York: Routledge.
Cruz, Peter de. 2010. Perbandingan Sistem Hukum: Common Law, Civil Law &
Socialist Law (Alih Bahasa: Narulita Yusron). Jakarta: Nusa Bangsa.
Daliyo, J. B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT Preshallido.
Dasuki, H. A. Hafizh. 1997. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar
Baru van Hoeve.
Dignan, J. 2005. Understanding Victims and Restorative Justice. UK: Open
University Press.
Dünkel, Frieder, dkk. 2015. Restorative Justice and Mediation in Penal Matters:
A Stock-Taking of Legal Issues, Implementation Strategies and Outcomes in 36
European Countries. Mönchengladbach: Forum Verlag Godesberg GmbH.
Dworkin, R. M. 2013. Filsafat Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Merkid
Press.
Ediwarman. 2009. Monograf Metodologi Penelitian Hukum. Medan.
Eja, Yuarsi Susi. 2002. Menggagas Tempat yang Aman bagi Perempuan,
Cet. Ke-1. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada.
Ewart, B. dan D. Pennington. 1987. An Attributional Approach to Explaining
Sentencing Disparity in D. C. Pennington and S. Lloyd-Bostock, (eds) The
Psychological of Sentencing: Approaches to Consistency and Disparity.
Oxford: Centre for Socio-legal Studies.
Fajar, M dan Yulianto Achmad. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif
& Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Friedman, Lawrence. 1984. American Law an Introduction (Alih Bahasa:
Wisnu Basuki). Jakarta: PT Tatanusa.
Fuady, Munir. 2013. Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Wetboek van Strafrecht (WvK)/Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUH Pidana).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP Baru).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2020 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020–
2024.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang
Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative
Justice).
Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan
Restoratif.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa
Adat Bali.
Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat Nomor 9 Tahun 2019
tentang Bale Mediasi.
211