Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PRURALISME HUKUM DAN BUDAYA HUKUM

Disusun Oleh:

Fatmi Utari (2130103116)


Aldi Febrian (2130103115)
Yuda Wahyu (2130103117)
Bissalam (2130103118)

Dosen Pengajar :

Jon Heri,S.H.I,M.H.,C.L.A

Mata Kuliah :

Politik Hukum

UIN RADEN FATAH PALEMBANG


PALEMBANG 2022/2023
2

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan

kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.Atas rahmat dan

hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Prularisme

Hukum dan Budaya Hukum.”

Makalah ini di susun dengan sedemikian rupa dan kami sebagai penulis

makalah mengucapkan banyak terimakasih atas bimbingan dosen kami pada mata

kuliah ini. Selain itu, penulis juga berharap agar makalah ini dapat menambah

wawasan bagi pembaca tentang “Pruralisme Hukum dan Budaya Hukum.”

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dosen Pada

mata kuliah ini.Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan

wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima

kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena

itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan

makalah ini.

Palembang,19 Oktober 2022

Kelompok
3

Abstract

The purpose of this legal research is to describe the concept of Indonesian


legal pluralism or Indonesian legal pluralism in facing the era of legal
modernization; as well as describing the Indonesian legal pluralism strategy in
integrating customary courts into the national legal system. This legal research
uses a statute approach and a conceptual approach. In this legal research, the
primary and secondary legal materials used are inventoried in order to obtain
proper legal review; and provides a conceptual analysis of the legal issues
discussed. The results of the study stated that as a novelty concept; The concept of
typical Indonesian legal pluralism provides equality for the enactment of state law,
transnational law and customary law so that they can run together based on the
1945 Constitution of the Republic of Indonesia in the era of legal modernization.
Then, the concept of typical Indonesian legal pluralism can be used as a strategy to
integrate customary justice into the national legal system through aspects of legal
development. Thus, this research is expected to be useful theoretically; namely as a
scientific development of customary law, and practical benefits; namely as a
reference for drafting regulations on customary villages by local governments.
Therefore, researchers recommend that the Indigenous Peoples Bill be a priority in
the 2021 National Legislation Program (Prolegnas).

Keywords: Legal Pluralism; Indonesian Legal Pluralism; Customary law; Era of


Legal Modernization

Abstrak

Tujuan penelitian hukum ini adalah mendeskripsikan konsep Indonesian


legal pluralism atau pluralism hukum khas Indonesia dalam menghadapi era
modernisasi hukum; serta mendeskripsikan strategi Indonesian legal pluralism dalam
mengintegrasikan peradilan adat dalam sistem hukum nasional. Penelitian hukum ini
menggunakan metode statute approach dan conseptual approach. Pada penelitian
hukum ini, bahan hukum primer dan sekunder yang digunakan diinventarisir agar
4

mendapatkan kajian hukum yang semestinya; serta memberikan analisa konseptual


atas isu hukum yang dibahas. Hasil penelitian menyatakan bahwa sebagai konsep
kebaharuan; konsep pluralisme hukum khas Indonesia memberikan keseteraan atas
berlakunya hukum negara, hukum transnasional, dan hukum adat agar dapat berjalan
secara bersama-sama berdasarkan UUD NRI 1945 di era modernisasi hukum.
Kemudian, konsep pluralisme hukum khas Indonesia dapat dijadikan sebagai strategi
untuk mengintegrasikan peradilan adat pada sistem hukum nasional melalui aspek
pembinaan hukum. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
secara teoritis; yaitu sebagai pengembangan keilmuan hukum adat, dan bermanfaat
secara praktis; yakni sebagai acuan untuk menyusun peraturan tentang desa adat oleh
pemerintah daerah. Oleh karenanya, peneliti merekomendasikan agar RUU
Masyarakat Adat menjadi prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
2021.

Kata Kunci: Pluralisme Hukum; Indonesian Legal Pluralism; Hukum Adat; Era
Modernisasi Hukum
5

DAFTAR ISI

JUDUL HALAMAN

Cover……………………………………………………

Kata Pengantar…………………………………………. i

Abstrak………………………………………………… ii

Daftar Isi………………………………………………. iii

BAB 1 PENDAHULUAN……………………………. 1

A.Latar Belakang……………………..…………….. 1-7

B.Perumusan masalah ……………………………… 7-8

C.Tujuan………………………….………………… 8

BAB 2 PEMBAHASAN…………………………….. 9

Penjelasan Luas Tentang Pruralisme dan

Budaya Hukum………………………………………. 9-12

Metode Penelitian………..…………………………. 12-13

Jenis dan Sumber Data……………………….…….. 13-14

Teknik Pengumpulan Data………………………… 14

Teknik Analisis Data………………………………. 14

Sistem Penulisan………………………………….. 15

BAB 3 PENUTUP…………………………..……. 16

Kesimpulan………………………………………….. 16

Saran………………………………………………… 16

Daftar Pustaka………………………………………. 17
6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pluralisme merupakan satu paham yang berorientasi kepada keberagaman


yang memiliki berbagai penerapan di dalam banyaknya perbedaan, contohnya di
dalam berbagai kerangka filosofi agama, moral, hukum dan politik dimana batas
kolektifnya ialah pengakuan atas kemajemukan di depan ketunggalannya.
“pluralisme agama adalah suatu paham yang menyatakan kemajemukan dan
keragaman agama”.1

Pluralisme adalah suatu gagasan atau pandangan yang mengakui adanya hal-
hal yang sifatnya banyak dan berbeda-beda (heterogen) di dalam suatu komunitas
masyarakat. Semangat pluralisme sebagai penghargaan atas perbedaanperbedaan
dan heterogenitas merupakan moralitas yang harus dimiliki oleh manusia.
Mengingat Indonesia negara yang memiliki banyak pulau, banyak pula memiliki
perbedaan baik dari adat istiadat, agama dan kebudayaan, yang membuat
semangat pluralisme sangat penting di tanamkan di Indonesia.

Pluralisme sebagai sebuah sikap mengakui adanya perbedaan-perbedaan


harus diterapkan agar dapat bersikap inklusif di dalam keberagaman. Sebagaimana
diungkapkan Muhammad Arkoun yang menolak menggunakan
referensi teologis sebagai system cultural untuk bersikap ekslusif. Umat Islam
seharusnya menjauhi sifat hegemoni yang berlebihan yang dapat memarginalisasi
kelompok masyarakat lain. Penting bagi seorang Muslim untuk menjaga moralitas
dalam kehidupan karena eklusivisme beragama dan dominasi Muslim atau
nonMuslim dapat merusak iklim pluralisme agama dan persatuan nasional
sehingga sulit dibenarkan oleh prinsip Universalisme Islam itu sendiri.2

1
2
7

Jadi, pluralisme dapat dipahami bahwa masyarakat Indonesia beraneka


ragam atau majemuk, Indonesia yang terdiri dari beragam suku, ras, dan agama.
Yang menggambarkan kesan saling menghargai satu sama lain, bahkan pluralisme
antara lain suatu keharusan bagi keselamatan untuk manusia.

Bagaimana pandangan Islam terhadap pluralisme. Sebagai agama samawi,


Islam memiliki pandangan tersendiri dalam menyikapi pluralisme dan pluralistis.
Berkaitan dengan tema pluralisme, atau lebih tepatnya memperkenalkan
prinsipprinsip pluralisme, atau lebih tepatnya pengakuan terhadap pluralistis
dalam kehidupan manusia. Pengakuan Islam terhadap adanya pluralistis itu dapat
dielaborasi ke dalam dua perpektif, pertama teologis dan kedua sosiologis.

Pluralistis agama dalam pandangan Islam masuk ke dalam perspektif teologi


Islam tentang agama-agama. Dalam dikursus kontemporer, pembahasan tentang
agama-agama dan relasinya ini mengambil bentuk dalam Ilmu Perbandingan
Agama, sebuah disiplin ilmu yang berkembang luas di Indonesia setelah
diperkenalkan oleh almarhum Mukti Ali, mantan Guru Besar Ilmu Perbandingan
Agama di IAIN (sekarang UIN) Yogyakarta. Concern Mukti Ali adalah
menciptakan suatu dialog positif antar Agama-agama yang ada, terutama tiga
agama besar yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam.

Islam telah mengajarkan umatnya untuk menghormati agama lain dan


melarang mencelanya. Bahkan dalam suatu ayat, Allah Swt melarang kita untuk
mencela sesembahan-sesembahan para menyembah berhala. Allah Swt befirman:

(Qs-Al-An’am :108)

“ Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah


selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui
batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu
mereka kerjakan.3

3
8

“Pada ayat di atas secara tegas melarang umat Islam untuk mencerca dan
mencela sesembahan non-Muslim, ayat ini jelas mengajarkan prinsip lasamuh
(toleransi) kepada setiap muslim dalam hubungannya dengan agama lain, di
khawatirkan mereka (non-Muslim) akan berbalik menghina Islam. Tidak mudah
memang untuk menjauhi larangan Allah ini. Pada kenyataan, fenomena konflik
antarpemeluk agama begitu akrab dengan keseharian kita. Beberapa konflik dan
kerusuhan yang berlangsung dalam decade 90-an, misalnya, ternyata masih
mengikut sertakan sentiment agama. Padahal, agama sebenarnya tidak boleh
dijadikan legitimasi bagi sebuah tindakan anarkis dan radikal.

Al-Qur’an dengan tegas mengakui keberadaan agama-agama lain

menyurukan kepada umat Islam untuk hidup berdampingan secara damai. Namun
perlu ditekankan bahwa mengakui keberadaan agama lain tidak berarti
membenarkan. Keyakinan akan kebenaran agama yang dipeluk adalah cermin
keimanan seseorang. Setiap pemeluk agama tentu akan berpendapat bahwa
agamanyalah yang paling benar. Semua agama tentu menawarkan jalan
keselamatan. Dalam Kristen, misalnya dikenal doktrin extra ecclesia nullasalus,

“tidak ada keselamatan di luar Gereja” dan extra ecclesia nullus propheta, “tidak
ada Nabi di luar Gereja”. Doktrin ini menunjukkan teologi eklusif kalangan
Kristen, di mana Kristen merasa tidak ada gunanya mendengarkan suara-suara
dari agama lain.

Di kalangan Protestan, teologi eksklusif ini juga dapat dilihat dari penilaian
Martin Luther terhadap pemeluk agama di luar Protestan. Ia menegaskan bahwa
orang yang berada di luar Protestan, meskipun mereka beriman kepada satu Tuhan
yang benar, mereka tetap dalam murka selamanya.

Dalam konteks Islam, terdapat ayat didalam Al-Qur’an yang bisa ditafsirkan
secara eksklusif, yaitu surat Ali ‘Imran (3:19):

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada


berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah
datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di
9

antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka


Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.4”

Islam secara tegas mengajarkan umatnya untuk senantiasa menjaga


hubungan baik dengan sesama manusia selama non-Muslim tidak mengganggu
seorang Muslim dalam menjalankan ibadahnya. Umat Islam dilarang untuk
mengganggu pemeluk agama lain Rasulullah Saw telah memberikan teladan yang
sangat baik dalam hal ini. Beliau adalah seorang pemimpin yang bijaksana dan
senantiasa berlaku adil kepada semua manusia. Fakta-fakta sejarah, antara lain
tertulis dalam Piagam Madinah. Menunjukkan toleransi yang luar biasa dari pihak
muslim kepada golongan non-Muslim.5
Jadi, seperti yang diterangkan pada paragraph sebelumnya, bahwa Islam
mengajarkan umatnya untuk saling menghormati agama lain, Melarang saling
mencela dan mengolok Ibadah mereka. Islam juga mengajarkan untuk hidup
saling berdampingan, dan saling bertoleransi kepada setiap Muslim maupun
nonMuslim.

Indonesia sebagai Negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia,


wacana pluralisme agama menjadi salah satu tema yang banyak di perbincangkan
oleh para akademis, cendikiawan Muslim tanah air. Jika melihat konteks
keIndonesiaan, keberagamaan merupakan kontruksi dari berdirinya Bumi Pertiwi.

Berbicara tentang Indonesia, maka akan berbicara tentang kemajemukan.


Secara geografis, negeri yang terbentang dengan 13.000 lebih pulau, kini
berpenduduk 199,7 juta orang (tahun 1997), penduduk Indonesia mengandung
370 suku bangsa dan lebih 67 bahasa daerah. Sejumlah etnis seperti Melayu, Cina,

Arab, India dan Negrito berkumpul dalam pagar kesatuan politik Republik
Indonesia (RI).6 Serta ada enam agama yang diakui Negara, Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Chu. Menjadikan negeri begitu majemuk
sebagai takdir dari Tuhan yang harus diterima.

4
5
6
10

Fakta sosiologis, etnografis, antropologis di atas menjadi fakta tak


terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara majemuk (Plural). Indonesia
terbentuk dari kontruksi rakyat yang terdiri dari multi-etnis, multi-agama,
multiras, serta kultur-kultur. Jadi tidak mengherankan ketika para pendiri negara
ini meletakkan Bhinekka Tunggal Ika. Sebagai semboyan negara, dengan harapan
walaupun dengan segala perbedaan yang ada di Indonesia tetap bersatu. Hal ini
dimaksudkan juga untuk menekan potensi konflik sesama anak bangsa terkait
multi-perbedaan di Indonesia.7

Tapi sayang nya harapan para founding father untuk melihat bangsa ini
bersatu dalam Indonesia menuju kemajuan masih jauh dari harapan.Konflik antar
anak bangsa masih saja terjadi. Perbedaan suku, agama, dan ras menjadi alasan
untuk saling bertikai, tak jarang nyawa melayang dalam konflik sesama anak
bangsa ini. Konflik Ambon, Poso, Sampit, tragedi Monas tanggal 1 Juni 2008
adalah sedikit contoh banyak nya konflik di negara ini yang berakar dari
perbedaan suku, agama, dan ras (SARA). Harus diakui bahwa selain memiliki
potensi yang bersifat positif, Indonesia yang bersifat plural juga menyimpan
potensi koflik yang besar.

Konflik beratas nama kan agama dapat dipahami karena kurangnya


pemahaman masyarakat akan pluralisme agama. Paham pluralisme agama
berangkat dari realitas pluralitas yang ada di tengah masyarakat, baik itu dalam hal
agama, budaya, suku, dan ras. Dimensi lain yang dibahas dalam pluralisme agama
seperti kerukunan hidup antar umat beragama, dan toleransi antar umat beragama.
Kemudian tema klaim kebenaran (truth claim) juga merupakan tema yang dibahas
dalam pluralisme agama di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari Fatwa MUI No.
07/MUNAS/VII/MUI/11/2005 tentang pengharaman Pluralisme, Liberalisme, dan
Sekularisme Agama.

Sejak keluar Fatwa inilah dikursus pluralisme agama semakin marak


dikalangan umat Islam Indonesia. Tak terkecuali para NU dan Muhammadiyah
sebagai dua organisasi sosial-agama terbersar di Indonesia tak luput dalam
dialektika ini. Secara umum di dalam kedua organisasi ini terdapat dua kubu yang
setuju akan pluralisme dan tidak sedikit yang menolak. Namun pluralisme agama

7
11

tetap diyakini oleh para cendikiawan pendukungnya sebagai paham yang cocok
dengan Indonesia yang pluralis. Pluralisme sendiri telah melahirkan toko-tokoh
yang memperjuangkannya.

Dari kalangan NU, Abdurahman Wahid dan Nurcholis Madjid adalah para
tokoh utama penyebar paham pluralisme. Bahkan Gusdur dijuluki Bapak
Pluralisme, sedangkan Nurcholis Madjid dikenal sebagai salah satu tokoh pemikir
Islam Indonesia dalam bidang Islam dan demokrasi. Dari pemikiran kedua tokoh
ini melatar belakangi lahirnya Wahid Institute dan Jaringan Islam Liberal sebagai
wadah bagi angkatan muda NU mengkaji masalah kontemporer dalam dalam
Islam di Indonesia.

Di kalangan Muhammadiyah ada nama, Ahmad Syafii Maarif sebagai salah


satu tokoh sepuh yang berbicara tentang pluralisme agama, toleransi antar umat
beragama melalui buku yang beliau tulis. Muhammadiyah merupakan gerakan
pembaharuan, tetapi dalam banyak hal ruh pembaharuan itu mulai luntur. Namun
dialektika yang terjadi antar anggota Muhammadiyah tentang Pluralisme Agama
mungkin bisa membuktikan bahwa samangat pembaharuan pemikiran didalam
Muhammadiyah belum mati.

Selain itu Ahmad Syafii Maarif, dalam pergulatannya dalam


Muhammadiyah merupakan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah selama dua Periode. Jadi tak perlu diragukan lagi
pengetahuannya tentang Islam, Muhammadiyah dan pluralisme agama.

Intelektualitasnya juga tak dapat diragukan, Syafii Maarif merupakan Guru Besar

Ilmu Sejarah dari Universiras Negeri Yogyakarta (UNY), kemudian pemikiran


beliau yang melatar-belakangi lahirnya Maarif Institute dan Jaringan Muda
Muhammadiyah (JIMM) sebagai wadah bagi anak muda Muhammadiyah
mendiskusikan masalah Islam kontemporer, salah satunya masalah pluralisme
agama.8

Syafii Maarif mempunyai prinsip bahwa pluralisme harus terus dijaga dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pluralisme menujukkan

8
12

kemajuan suatu bangsa. Syafii memastikan Negara atau masyarakat tanpa


pluralisme akan menghasilkan kondisi yang berantakan.

Syafii Maarif atau yang biasa disapa Buya Maarif berharap Ulama
memperbaiki pandangannya terhadap pluralisme. Dia mengatakan, saat ini banyak
pemuka agama Islam yang berpandangan miring terhadap konsep pluralisme.

“Pluralisme adalah kemajemukan, intelektualisme sama dengan pluralisme,”


pandangan miring para ulama tersebut, ujarnya, terlihat dalam menyikapi
terhadap gerakan pluralisme di Indonesia. “banyak ulama yang tidak paham
(pluralisme), tapi langsung menghukum,” Dia mengatakan, Islam adalah
agama yang bersumber dari Tuhan. “kalau manusia tidak mampu menjaga
Islam, Allah yang menjaga,” ucap pendiri Maarif Institute tersebut.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka didalam karya ilmiah


berbentuk Skripsi ini akan membahas, bagaimana Ahmad Syafii Maarif
memandang pluralisme agama. Karena banyaknya data-data primer pendukung,
yaitu karya-karya beliau mengenai keberagaman Indonesia, Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, pandangan Syafii Maarif tentang masalah hubungan agamaagama
yang sangat penting untuk di renungkan, untuk kemudian melakukan dikursus
pemikiran secara mendalam terhadap tema ini. Hal ini pulalah yang membuat
penulis untuk melakukan penelitian dengan judul: “Pluralisme Agama dalam
Perspektif Ahmad Syafii Maarif”

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah dijabarkan tadi, maka dapatlah

dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:

1. Bagaimana pandangan Ahmad Syafii Maarif terhadap Pluralisme Agama?

2. Bagaimana pendapat beberapa Mufassir terhadap Qs. Al-Baqarah: 62 yang

digunakan Ahmad Syafii Maarif dalam Pluralisme Agama?


13

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tadi maka penelitian ini bertujuan sebagai

berikut:

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui dan memahami padangan Ahmad Syafii Maarif terhadap

Pluralisme Agama.

b. Untuk mengetahui Bagaimana pendapat beberapa Mufassir terhadap Qs. Al-

Baqarah: 62 yang digunakan Ahmad Syafii Maarif dalam Pluralisme Agama 2.

Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis
Memberikan sumbangsih dalam bidang ilmu pengetahuan berupa karya

ilmiah skripsi Pluralisme dalam Islam menurut pandangan Ahmad Syafii Maarif

yang dapat dijadikan sebagai bahan bacaan atau rujukan.

b. Manfaat Praktis

Sebagai sumbangan pemikiran dan informasi bagi mahasiswa Fakultas

Ushuluddin Jurusan Studi Agama-Agama dan dapat digunakan sebagai solusi

dalam mengatasi gejolak konflik yang terjadi antara umat beragama di Indonesia

selama ini.9

9
14

BAB 2

PEMBAHASAN

Penjelasan Luas Tentang Pruralisme Hukum dan Budaya Hukum Islam

Beberapa tulisan ilmiah, baik berupa hasil penelitian, artikel dan buku yang

berkaitan dengan masalah yang penulis angkat dalam peneitian ini yaitu;

Nurmala Dewi (2005) dalam skripsinya “Pluralisme Agama dalam

Pandangan Islam” dalam kesimpulannya menjelaskan bahwa pluralisme harus

dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan kesejagatan.


15

Pluralisme merupakan salah satu dari ciri multi-kulturalisme bangsa Indonesia.

Melalu semangat ini, maka ciri pluralisme harus menunjukkan adanya cita-cita

mengembangkan rasa kebangsaan yang sama dan kebanggaan untuk terus

mempertahankan kebhinekaan itu. Dengan menggunakan dasar pemahaman

tentang pluralisme, maka dapat diidentifikasikan makna pluralisme yang harus

dikedepankan antara lain adalah pertama, memelihara dan menjunjung tinggi hak

dan kewajiban antar kelompok, kedua, menghargai perbedaan dan kebersamaan.

Ketiga, pluralisme menunjukkan adanya wahana untuk meningkatkan kemampuan

berkompetensi secara jujur dan terbuka. Keempat, pluralisme harus didudukkan

pada posisi yang proposional dan yang, kelima, menunjukkan adanya perasaan

kepemilikkan bersama untuk kepentingan bersama.10

Nurcholis Madjid (2004) di dalam bukunya “Islam Pluralis” menjelaskan

tentang pluraisme, bahwasannya pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan

mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam terdiri dari

berbagai suku dan agama yang justru hanya mengembangkan kesan fragmentasi,

bukan pluralisme.

Budhy Munawar Rachman (2010) di dalam bukunya “Sekularisme,

Liberalisme, dan Pluralisme (Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya)”

mengungkapkan saat masih belajar di Chicago, Syafii berjumpa dengan Fazlur

Rahman, saat itu, Syafii belum mengenal sosok asli Fazlur Rahman yang

sesungguhnya anti pada gagasan-gagasan Negara Islam. Syafii seorang pecinta

tokoh-tokoh revivalis Islam seperti Mariam Jamilah, Sayyid Quthb, atau

tokohtokoh lain yang disebut sebagai tokoh fundamentalis.

Akan tetapi atas keterbukaan Fazlur Rahman, dan buku-buku yang ia baca,

pada akhirnya Syafii berubah dari semula bercorak “fundamentalis” menjadi


10
16

intelektual berpaham modernis-progresif. Sebagai salah seorang tokoh Islam

Indonesia terkemuka dan mantan Ketua Umum salah satu organisasi Islam

terbesar di Indonesia.

Syafii adalah seorang nasionalis tulen, disamping juga sebagai seorang

Muslim yang taat. Syafii sangat fasih berbicara mengenai Islam, tetapi dia tidak

setuju dengan pelembagaan hukum atau syariat Islam menjadi sebuah

undangundang Negara. Pikiran-pikiran Syafii ini terbukti sangat penting dalam

perkembangan pluralisme dan demokrasi di Indonesia.

Jika negara ini ingin berdasarkan Islam, menurut Syafii, seharusnya yang

dikembangkan adalah cita-cita Islam substantif, bukan formalisasi syariat

sebagaimana dalam sejarah Islam. Dengan jujur, Syafii mengaku berbahagia

ketika Islam tidak menjadi dasar negara di Indonesia.

Bagi Syafii, orientasi kepada Islam yang substantive akan mengantarkan

umat Islam menjadi umat yang terbaik, yang dilahirkan untuk manusia, sehingga

bermakna bagi kemanusiaan sebagai umat teladan. Dan telah diterjemahkan pada

masa Nabi Muhammad dan beberapa tahun sesudah wafatnya, dan telah menjadi

inspirasi yang tak habis-habisnya bagi umat Islam dari waktu ke waktu. Syafii

meletakkan etika Islam sebagai tujuan atau orientasi pemikiran dan perjuangan

politiknya tertinggi, dan menegasikan “Islam sejarah” yang traumatik dan

dibungkus pendekatan doktriner yang dianggap tidak Islami.11

Muhammad Aulia Rachman (2017), didalam skripsinya “Pemikiran Ahmad

Syafii Maarif Tentang Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan

dalam Persfektif Fiqh Siyasah” dalam kesimpulannya menjelaskan bahwa

pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan

Kemanusiaan adalah suatu pemikiran integratif antara Islam, Keindonesiaan dan


11
17

kemanusiaan di mana ketiga hal tersebut dapat saling berintegrasi satu sama lain

untuk mewujudkan peradaban Islam di Indonesia yang maju, progresif, ramah,

terbuka, dan inklusif. Pemikiran ini memiliki visi untuk memberikan ruang pada

agama Islam agar pemikiran mengenai Islam, keindonesiaan dan kemanusiaan

dapat diterima dan tidak perlu diperbantahkan lagi sehingga Islam dapat berjalan

sejalan dengan ketiga hal tersebut sehingga bermanifestasi menjadi sebuah Islam

yang memayungi Keindonesiaan dan kemanusiaan sehingga Islam di Indonesia

lebih berkemajuan dan memberi rasa keadilan, keamanan, dan perlindungan bagi

seluruh warganya.

Pemirikiran Ahmad Syafii Maarif terkait Islam dalam bingkai

Keindonesiaan dan Kemanusiaan lebih kepada arah tipologi pemikiran politik

Islam moderat seperti yang dianut oleh pemikir politik Islam kontemporer seperti

Husein Haikal, Fazlur Rahman, dan Mohammed Arkoun.12

Muthoifin (2017) dalam jurnal nya “Islam Berkemajuan Perspektif Ahmad

Syafii Maarif (Studi Pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam Bingkai

Keindonesiaan dan Kemanusiaan)”di dalam kesimpulannya menjelaskan bahwa

pemikiran Ahmad Syafii Maarif tentang Islam dalam bingkai keindonesiaan dan

kemanusiaan adalah bahwa umat Islam yang merupakan penduduk mayoritas di

bumi nusantara ini sudah saat nya tidak lagi mempersoalkan hubungan antara

Islam, Indonesia, dan humanism. Ketiganya harus senafas agar Islam yang berke

mbang di Indonesia adalah benar-benar Islam bergerak maju, progresif, ramah,

terbuka, dan rahmatan lil ‘alamin. Ahmad Syafii Maarif menekankan jika benar-

benar keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan telah senafas dalam jiwa,

pikiran dan tindakan umat Muslim Indonesia, pasti Islam Indonesia akan mampu

memberikan solusi terhadap masalah-masalah besar bangsa ini. Karena ajaran


12
18

Islam adalah ajaran yang dinamis dan sangat manusiawi. Islam bekemajuan yang

memberi rasa keadilan, keamanan, dan perlindungan bagi semua penduduk yang

mengikutinya. Sebuah Islam berkemajuan yang sepenuhnya berpihak kepada

rakyat miskin dan menolak segala kemiskinan, yang pada akhirnya berbagai

bentuk kemiskinan, penyimpangan dan disharmonitas benar-benar berhasil

dihalau dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.13

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (Library research), yaitu

dengan cara membaca dan mengkaji, menelaah menganalisis literatur-literatur

yang ada relevansinya dengan permasalahan yang di bahas dengan maksud untuk

mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan.14

Library research ini menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu

dengan cara mengumpulkan karya-karya yang berhubungan dengan pemikiran

pluralisme Ahmad Syafii Maarif.

2. Jenis dan Sumber data

Adapun jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data yang

bersifat kualitatif, yaitu semua hal yang berhubungan dengan latar belakang dan

konsep pemikiran pluralisme agama Ahmad Syafii Maarif, serta segala sesuatu

yang berkaitan dengan pluralisme.15

Sedangkan sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan

sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang menjadi

acuan pertama sebagai pengambilan data. Sesuai dengan tujuan penelitian ini,
13
14
15
19

maka yang menjadi sumber data primer adalah karya Ahmad Syafii Maarif antara

lain: Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita, Islam dalam Bingkai

KeIndonesiaan dan kemanusiaan. Selain itu sebagai pelengkap dan sumber data

primer, penulis pernah mengunjungi “Maarif Institute” dan akan melakukan

komunikasi dan menghubungi Ahmad Syafii Maarif melalui email ke

maarif@maarifinstitute.org

Penelitian ini juga menggunakan sumber data sekunder yang relevan dengan

pembahasan penelitian ini. Sumber data sekunder ini merupakan data yang

sifatnya mendukung keperluan data primer seperti buku-buku pluralisme, literatur,

data dari internet, jurnal ilmiah atau hasil penelitian lain yang berkaitan erat

dengan topik pembahasan.16 Sumber data sekunder tersebut diperkaya lagi dengan

berbagai informasi tambahan berupa statemen, kritik dan saran dari berbagai

kalangan terhadap pemikiran pluralisme agama Ahmad Syafii Maarif.

3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk menghimpun data yang diperlukan dalam penelitian ini, upaya yang

dilakukan penulis adalah: mengumpulkan buku yang relevan, membaca, menelaah

dan mencatat kemudian dikumpulkan dalam satu wadah yang ada kaitannya

dengan penelitian setelah itu mengklarifikasi data sesuai dengan jenisnya (primer

atau sekunder).

4. Teknik Analisis Data

Adapun langkah-langkah oprasional dalam menganalisis data yang ada

adalah dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yaitu data tersebut dikelompokkan

dan disusun secara sistematis berdasarkan kerangka pembahasan yang sudah

direncanakan untuk komprehensifnya semua analisis ini, seluruh data yang sudah
16
20

ditentukan sampai mencapai konkluksi akhir yang meyakinkan dan kemudian baru

ditarik kesimpulan akhir dari penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis membagi

kedalam lima bab secara sistematis bab tersebut disusun sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan bab pendahuluan yang memuat latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kajian pustaka,

metode penelitian, sistematika pembahasan.

Bab Kedua menjelaskan tentang Biografi Buya Ahmad Syafii Maarif,

riwayat pendidikan dan karya-karya beliau.

Bab Ketiga menjelaskan pengertian pluralisme, dan menjelaskan pluralisme

agama dalam pandangan Islam.

Bab Keempat menjelaskan tentang pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang

Pluralisme agama, dan pendapat beberapa Mufassir terhadap Qs. Al-Baqarah: 62

yang digunakan Ahmad Syafii Maarif dalam Pluralisme Agama.

Bab Kelima Penutup, bab ini adalah bab terakhir atau bab yang memuat

kesimpulan akhir dari proses penelitian dan saran-saran yang dianggap perlu.
21

BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan

Konsep pluralisme agama sejak awal sudah ada dalam agama Islam, ia
merupakan bagian prinsip dasar dari agama Islam itu sendiri. Agama Islam, sebagai
agama yang mengemban misi rahmatanlilalamin memandang pluralisme atau
keragaman dalam beragama merupakan rahmat dari Allah swt, yang harus diterima
oleh semua umat manusia, karena pluralisme adalah bagian dari otoritas Allah
(sunnatullah) yang tidak dapat dibantah oleh manusia. Secara historis, pluralisme
agama adalah keniscayaan sejarah yang tidak dapat dipungkiri, hal ini tergambar
dalam sejarah tiga agama besar yaitu Yahudi, Kristen dan Islam yang bersumber dari
satu bapak tetapi banyak ibu.
Al-qur’an dalam berbagai kesempatan banyak berbicara tentang pluralisme,
bahkan al-qur’an berulangkali mengakui adanya manusia-manusia yang saleh di
dalam kaum-kaum tersebut, yaitu Yahudi, Kristen, dan Shabi’in seperti
pengakuannya terhadap adanya manusia-manusia yang beriman di dalam Islam.
Sikap pengakuan al-qur’an terhadap pluralisme telah mencapai puncaknya dalam
berbicara soal pluralisme ketika menegaskan sikap penerimaan al-qur’an terhadap
agama-agama selain Islam untuk hidup bersama dan berdampingan. Yahudi, Kristen
dan agama-agama lainnya baik agama samawi maupun agama ardhi eksistensinya
diakui oleh agama Islam. Ini adalah suatu sikap pengakuan yang tidak terdapat di
dalam agama lain.

Saran
Pluralisme agama dapat dilakukan dan terpelihara dengan baik, mempelajari
agama yang cerdas dimiliki oleh setiap pemeluk agama. Antar orang yang beragama
perlu membnagun dialog dan komonikasi yang intens guna untuk menjalin hubungan
persaudaran yang baik diwariskan beragama. Dengan dialog akan memperkaya
wawasan kedua belah pihak dalam rangka mencari persamaan-bisa yang dapat
22

dijadikan landasan hidup bagi masyarakat, yaitu biaya dan pluralisme. Wallahu


A’lam .

DAFTAR PUSTAKA

Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, Yogyakarta: Kanisius,


2007.
Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Kerukunan
Antarumat, Jakarta: Kompas, 2002.
Amir Mahmud (Ed); Isalam dan Realitas Sosial Di Mata Intelektual Muslim
Indonesia, Jakarta: Edu Indonesia Sinergi, 2005.
A. Mukti Ali, Agama dan Pembangunan Indonesia, Jilid V: Biro Hukum dan Humas
Depag: Jakarta, 1999.
Alef Theria Wasim dkk (Ed); Harmoni Kehidupan Beragama: Soal, Peraktik &
Pendidikan, Yogyakarta: Oasis Publisher, 2005
Abd. A’la, Melampaui Dialog Agama, Jakarta: Kompas, 2002.
Alwi Sihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, Bandung:
Mizan, 1999.
Aloys Budi Purnomo, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, Jakarta: Kompas,
2003.
Abdulaziz Sachedina, Beda Tapi Setara Pandangan Islam tentang Non-
Islam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2004.
Anis Malik Toha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis , Jakarta: Prespektif,
2005.
Bahtiar Effendy (Ed); Agama dan Radikalisme di Indonesia , Jakarta: Nuqtah, 2007.
Gamal al-Banna, Doktrin Pluralisme Dalam Al-Qur’an, Jakarta: Menara, 2006.
Hendra Riyadi, Melampaui Pluralisme Etika Al-qur’an tentang Keragaman
Agama, Jakarta: PT. Wahana Semesta Inetrmedia, 2007.
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme Akhlak Quran Menyikapi
Perbedaam, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2006 .
J. Riberu, Tonggak Sejarah Pedoman Arab: Dokumen Konsili Vatikan II , Jakarta:
Dokpen MAWI, 1983
23

Jauhar Azizy (Tesis 2007); Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an: Telaah Terhadap


Tafsir Departemen Agama, (Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2007).
Muhamad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai Kemajemukan Menjalin
Kebersamaan,Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003.
Murad W. Hofmann, Menengok Kembali Islam Kita, Bandung: Pustaka hidayah,
2002.
Muhammadiyah, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP, Tafsir
Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Anatarumat
Beragama, Yogyakarta: Pustaka SM, 2002.
M. Amin Abdullah, Alqur’an dan Pluralisme dalam Khazanah: Jurnal Ilmu Agama
Islam, Volume 1, Nomor 6, Juli-Desember, 2004.
Muhammad Abid Al-Jabiri, al-Aql al-Siyasi al-Arabi, Beirut: al-Markaz al-Tsaqafi
al-Arabi, 1991.
M. Ainul Yaqin, Pendidikan Pemahaman Lintas Budaya Multikultural untuk
Demokrasi dan Kebangsaan, Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
M. Yudhi R. Haryono, Bahasa Politik Al-Qur’an Mencurigai Makna Tersembunyi di
Balik Teks, Bekasi: Gugus Press, 2002.
Nurkhalis Madjid, Pluralitas Agama Kerukunan dalam Keragaman , Jakarta:
Kompas, 2001.
Nurkhalis Madjid, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta: Paramadina,
1999
Nurkhalis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan Membangun Tradisi dan Visi Baru
Islam Indonesia, Jakarta: Paramadina, 2003.
Suarahman Hidayat, Islam Pluralisme dan Perdamaian, Jakarta: Fikr, 1998.
Kata Agil Husin Al Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, Jakarta: PT. Ciptuta
Press, 2005

Anda mungkin juga menyukai