Anda di halaman 1dari 16

1

A.Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan negara yang plural (majemuk).

Kemajemukan Indonesia ini ditandai dengan adanya berbagai agama yang dianut

oleh penduduk, suku bangsa, golongan, dan ras. Letak geografis Indonesia yang

berada di tengah-tengah dua benua, menjadikan negara ini terdiri dari berbagai

ras, suku bangsa, dan agama.

Kemajemukan agama di Indonesia tidak terlepas dari perjalanan sejarah

bagaimana bangsa Indonesia itu muncul. Hal tersebut ditandai dengan munculnya

banyaknya kerajaan di Indonesia yang menganut bermacam agama. Tidak

diragukan lagi, perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu mengakibatkan

adanya beberapa agama yang dianut oleh bangsa Indonesia pada masa-masa

selanjutnya. Agama bagi bangsa Indonesia merupakan potensi yang besar.

Sebagai potensi, pada satu sisi agama dapat menjadi pendorong dan

pendukung arah pembangunan Indonesia. Pada sisi yang lain, isu tentang agama

dapat menjadi pemicu konflik antarumat beragama. Oleh sebab itu, hubungan baik

antarumat beragama yang terwujud dalam tiga kerukunan hidup beragama

Indonesia diharapkan selalu terwujud dalam perjalanan hidup bangsa. Setiap

agama mengajarkan kebenaran dan kebaikan. Setiap penganut terpanggil untuk

menanamkan dominasi kebenaran dan keselamatan mutlak pada pihaknya serta

kesesatan dan kecelakaan fatal pada pihak yang lain. Interpretasi yang berbeda

dan pemikiran teologis yang berlain mengenai konsep ini merupakan sumber

perselisihan antarumat beragama.


2

Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling

mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan

dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu

batas teritorial kenegaraan.

Kehadiran Kompilasi Hukum Islam sebagai jaminan pelaksanaan hukum

agama Islam dalam kehidupan bernegara, dilihat dari sudut pandang politik

hukum menampakkan dua hal. Pertama Kompilasi Hukum Islam, yang berlaku

khusus bagi umat Islam. Menunjukkan bahwa dalam rangka pembinaan hukum

nasional, unifikasi hukum sebagai pelaksanaan wawasan nusantara tidak dapat

dilaksanakan sepenuhnya (secara kaku), demi kepentingan yang harus lebih

dijamin yaitu kepentingan untuk memberikan ruang gerak bagi kesadaran hukum

masyarakat terhadap hukum agama.

Kedua, adanya hak kelompok tertentu dalam masyarakat dalam hal ini

ummat islam untuk melaksanakan hukum agamanya tidak dapat ditawar. Dalam

kaitanya dengan slogan bhineka tunggal ika, kesempatan yang diberikan oleh

pemerintah bagi dibentuk dan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam adalah

bentuk ke-bhinneka-an dalam kesadaran menjalankan hukum agama, namun tetap

tunggal ika dalam wadah Negara Rukum Republik Indonesia

B.Perumusan Masalah

Berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam

sebagai hukum di Indonesia yang disamping harus sesuai dengan Islam juga harus

sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia. Ada beberapa masalah yang menarik
3

untuk dikaji. Dalam tulisan ini beberapa dari masalah tersebut yang akan dikaji

adalah sebagai berikut:

1. Apakah pengertian kompilasi hukum islam?

2. Apa yang melatarbelakangi penyusunan hukum islam di Indonesia?

3. Bagaimanakah posisi KHI sebagai fiqh Indonesia?

4. Bagaimanakah kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam tata hukum

Indonesia?

5. Bagaimanakah penerapan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia?

6. Bagaimanakah Kemungkinan pengembangan Hukum Islam di Indonesia

dimasa mendatang?

C.Pembahasan

1. Pengertian Kompilasi Hukum Islam

Istilah “kompilasi” diambil dari bahasa Latin. Kompilasi diambil

dari kata compilare yang berarti mengumpulkanan bersama-sama. Istilah ini

kemudian dikembangkan menjadi compilation dalam bahasa Inggris atau

compilatie dalam bahasa Belanda. Istilah ini kemudian dipergunakan dalam

bahasa Indonesia menjadi “kompilasi”, yang berarti terjemahan langsung

dari dua perkataan tersebut. Dalam Kamus Bahasa Inggris-Indonesia,

compilation berarti karangan tersusun dan kutipan buku-buku lain.1

Sedangkan dalam Kamus Umum Belanda Indonesia, kata compilatie

1
Wojowasito dan W.J.S.Poerwadareminta, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia dan Indonesia –
Inggris, Jakarta : Hasta, 1982, hal. 88.
4

diterjemahkan menjadi kompilasi dengan arti kumpulan dari lain-lain

karangan.2

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat diketahui

bahwa ditinjau dari segi bahasa (etimologi), kompilasi adalah kegiatan

pengumpulan dari berbagai bahan tertulis yang diambil dari berbagai

buku/tulisan mengenai sesuatu persoalan tertentu. Sedangkan pengertian

kompilasi dari segi hukum adalah sebuah buku hukum atau buku kumpulan

yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum,

atau juga aturan hukum.3

Kompilasi Hukum Islam adalah seperangkat ketentuan hukum Islam

yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya masyarakat

berkeadilan, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, menghargai hak-hak

kaum perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta

terwujudnya kemaslahatan bagi seluruh umat manusia. Semua ketentuan

tersebut hendak digali dan dirumuskan dari sumber-sumber Islam yang

otoritatif, al-Qur’ân dan al-Sunnah, melalui pengkajian terhadap kebutuhan,

pengalaman, dan ketentuan-ketentuan yang hidup dalam masyarakat

Indonesia, khazanah intelektual klasik Islam, dan pengalaman peradaban

masyarakat Muslim dan Barat di belahan dunia yang lain.

Kompilasi Hukum Islam terbentuk dengan cara menghimpun dan

menseleksi berbagai pendapat fiqh mengenai persoalan kewarisan,

perkawinan dan perwakafan dari kitab-kitab fiqh yang berjumlah 38 kitab.4


2
Wojowasito, Kamus Umum Belanda – Indonesia, Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve, 1981, hal. 123
3
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Akademika Pressindo, 1992, hal. 12
4
Marzuki Wahid & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001, Hal 155
5

2. Latar Belakang Penyusunan Kompilasi Hukum Islam

Latar belakang penyusunan Kompilasi Hukum Islam didasarkan

pada konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri

Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985

tentang Penunjukan Pelaksanakan Proyek Pembangunan Hukum Islam

melalui yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek Kompilasi

Hukum Islam. Ada dua pertimbangan mengapa proyek ini diadakan5

1. bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahakamah Agung Republik

Indonesia terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di

Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu

mengadakan Kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadi hukum

positif di Pengadilan Agama;

2. guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan kelancaran

pelaksanaan tugas, singkronisasi, dan tertib administrasi dalam proyek

pembangunan hukum Islam melalui yurisprudensi, dipandang perlu

membentuk suatu tim proyek yang susunannya terdiri dari para pejabat

Mahkamah Agung dan Departemen Agama Republik Indonesia.

Proses pembentukan Kompilasi Hukum Islam ini mempunyai kaitan

yang erat dengan kondisi hukum Islam di Indonesia selama ini. Menurut

M.Daud Ali, dalam membicarakan hukum Islam di Indonesia, pusat

perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum

Indonesia. Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipegangi/ditaati oleh

mayoritas penduduk dan rakyat Indonesia adalah hukum yang telah hidup
5
Abdurrahman, op.cit., hal. 15
6

dalam masyarakat, merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam dan

ada dalam kehidupan hukum nasional dan merupakan bahan dalam

pembinaan dan pengembangannya.6

Hukum Islam, baik di Indonesia maupun di dunia Islam pada

umumnya hingga saat ini adalah hukum fikih hasil penafsiran pada abad

kedua hijriah dan beberapa abad sesudahnya. Kitab-kitab klasik di bidang

fikih masih tetap berfungsi dalam memberikan informasi hukum. Kajian

pada umumnya banyak dipusatkan pada masalah-masalah ibadat dan al-

syakhiyyah. Kajian tidak banyak diarahkan pada fikih muamalah. Hal ini

membuat hukum Islam terlihat begitu kaku berhadapan dengan masalah-

masalah sekarang ini. Masalah yang dihadapi bukan saja berupa perbuatan

struktur sosial, tetapi juga perubahan kebutuhan dalam berbagai bentuknya.

Berbagai sikap dalam menghadapi tantangan tersebut telah dilontarkan. Satu

pihak hendak berpegang pada tradisi dari penafsiran-penafsiran ulama

mujtahid terdahulu, sedang pihak lain menawarkan bahwa berpegang saja

kepada penafsiran-penafsiran lama tidak cukup menghadapi perubahan

sosial di abad kemajuan ini. Penafsiran-penafsiran tersebut hendaklah

diperbarui sesuai dengan situasi dan kondisi masa kini. Untuk itu ijtihad

perlu digalakkan.

Kompilasi Hukum Islam ini merupakan keberhasilan besar umat

Islam Indonesia pada pemerintahan orde baru. Umat Islam di Indonesia akan

mempunyai pedoman fikih yang seragam dan telah menjadi hukum positif

yang wajib dipatuhi oleh seluruh bangsa Indonesia yang beragama Islam.
6
M. Daud Ali, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta : Rajawali Press, 1986, hal. 198
7

Dengan ini diharapkan tidak akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam

lembaga-lembaga peradilan Agama dan sebab-sebab khil±f yang disebabkan

oleh masalah fikih dapat diakhiri.7 Berdasarkan pernyataan ini dapat

dikatakan bahwa latar belakang dari diadakannya penyusunnan kompilasi

adalah karena adanya kesimpangsiuran putusan dan tajamnya perbedaan

pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam.

Selanjutnya M.Yahya Harahap menambahkan bahwa adanya

penonjolan kecenderungan mengutamakan fatwa atau penafsiran ulama

dalam menetapkan dan menerapkan hukum menjadi salah satu alasan

penyusunan Kompilasi Hukum Islam. Dikatakan bahwa para hakim di

Peradilan Agama, pada umumnya menjadikan kitab-kitab fikih sebagai

landasan hukum. Semula kitab-kitab tersebut merupakan literatur

pengkajian ilmu hukum Islam, para hakim Peradilan Agama telah

menjadikannya “kitab hukum” (perundang-undangan).8

Jadi, belum adanya hukum-hukum yang dirumuskan secara

sistematis sebagai landasan rujukan mutlak atau hukum Islam yang ada di

Indonesia, pada umumnya juga menjadi latar belakang penyusunan

Kompilasi Hukum Islam.

3. KHI Sebagai Fiqh Indonesia

Kebudayaan Islam sering disebut-sebut sebagai kebudayaan fiqh.

Anasir ini tampaknya merunut pada posisi fiqh yang adiluhung dalam

kehidupan umat Islam. Karena menjadi bagian paling intim itu regulasi fiqh

7
Abdurrahman, op.cit., hal. 20
8
M.Yahya Harahap, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta : Pustaka Kartini, 1990, hal. 100
8

melalui institusi Negara dipandang perlu dan vital oleh sebagian besar umat

Islam termasuk di negeri ini. Dorongan ini bukan hanya tendensi teologis

semata, melainkan juga alasan sosiologis dan politis.

Alasan politis dan sosiologis berkaitan dengan eksistensi hukum

Islam sebagai pendatang dinegeri ini. Konflik pluralisme tradisi hukum

membuktikan itu. Bahwa secara sosiologis hukum Islam telah menjadi

begitu penting disamping kebaradaan hukum adat dan hukum sipil, yang

pada saatnya nanti sama-sama menjadi amunisi dalam pembentukan hukum

asosiasi.

Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara yang tidak sekuler dan

teokratis selanjutnya membawa implikasi terhadap paradigma

pengembangan hukum Islam. Fiqh yang mulanya dinamis dan fleksibel tiba-

tiba perlu diregulasikan. Ini merupakan dampak dari proses akomodasi

terhadap kekuatan politik Islam yang menghendaki tuntutan pelaksanaan

atas hukum Islam. Karena itulah, wajah-wajah akomodatif itu hingga kini

dapat terlihat dalam berbagai regulasi. Salah satunya adalah Kompilasi

Hukum Islam yang disahkan melalui Instruksi Presiden No. 1 Tahun

1991(Bachtiar Effendi: 1998).

Perlu dipahami, dalam hal kita perlu memposisikan KHI dalam

ruang discourse yang berkelindan dengan fenomena-fenomena di sekitarnya.

Bagaimanapun KHI merupakan langkah positivisasi hukum Islam karena

disahkan oleh negara yang menganut aliran positivisme yuridis. Aliran ini

berpendapat bahwa hukum dapat diterima setelah mendapatkan bentuk


9

positifnya dari suatu instansi yang berwenang. Dalam perspektif inilah

Marzuki Wahid dan Rumadi (2001) kemudian menjuluki fiqh mazhab

negara untuk KHI.

Penyebutan itu didasari bahwa KHI merupakan fiqh yang dalam

proses inisiasi, perumusan dan pengesahan berada di tangan negara atau

perpanjangan tangannya. Fiqh yang secara terminologis berarti al-fahmu

(pemahaman) masuk dalam ruang sensor negara sehingga nilai benar atau

tidaknya ditentukan oleh negara. Ruang imajinasi ini semakin dikukuhkan

dengan anggapan KHI sebagai fiqh Indonesia yang genesisnya dapat kita

temukan dalam pemikiran Hasbi ash-Shiddieqy dan Hazairin.

Fiqh yang berkembang pada masyarakat sekarang sebagiannya

adalah fiqh Hijazi yaitu fiqh yang terbentuk atas dasar adat istiadat yang

berlaku di Hijaz, atau faqih Mishry yaitu fiqh yang terbentuk atas dasar adat

istiadat atau kebiasaan Mesir. Selama ini kita belum menunjukkan

kemampuan untuk berijtihad mewujudkan fiqh yang sesuai dengan

kepribadian Indonesia, karane itu kadang-kadang kita paksakan fiqh Hijaz

atau Mishry atau fiqh irak yang berlaku di Indonesia atas dasar taklid.9

4. Kedudukan KHI dalam tata hukum Indonesia

Dalam konteks sosiologis kompilasi yang bersubtansi hukum islam

itu jelas merupakan produk keputusan politik. Instrument hukum politik

yang digunakan adalah Inpres no.1 tahun 1991. Selain formulasi hukum

Islam dalam tata hukum Indonesia, KHI bisa disebut sebagai representasi

9
Marzuki Wahid & Rumadi, op.cit., Hal 130
10

dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan oleh

penguasa politik pada zaman orde baru10.

Dengan demikian KHI mempunyai kedudukan yang penting dalam

tata hukum Indonesia. Karena merupakan sebuah produk hukum dari proses

politik orde baru. Karena itu selain bersifat nisbi, KHI dengan segala

bentuknya, kecuali ruh hukum Islamnya, merupakan cerminan kehendak

social para pembuatnya. Kehadiranya dengan demikian sejalan dengan

motif-motif social, budaya dan politik tertentu dari pemberi legitimasi,

dalam hal ini rezim politik orde baru.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai kedudukan

Kompilasi Hukum Islam dalam sistem hukum nasional, dapat dilihat pada

tujuan dari kompilasi tersebut,11 yaitu :

a. untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di Indonesia secara

kongkret;

b. guna digunakan sebagai landasan penerapan hukum Islam di

lingkungan Peradilan Agama;

c. dan sifat kompilasi, berwawasan nasional yang akan diperlakukan bagi

seluruh masyarakat Islam Indonesia;

d. serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang

lebih seragam dalam pergaulan masyarakat Islam.

Perkembangan konfigurasi politik senantiasa mempengaruhi

perkembangan produk hukum. Konfigurasi politik tertentu senantiasa

10
Ibid, Hal 144
11
Abdurrahman, op.cit., hal. 53-62.
11

melahirkan produk hukum yang memiliki karakter tertentu. Konfigurasi

politik yang demokratis senantiasa melahirkan hukum-hukum yang

berkarakter responsive/populistik, sedangkan konfigurasi politik otoriter

senantiasa akan melahirkan hukum-hukum yang berkarakter

konservatif/ortodoks12.

Pengaruh politik hukum terhadap KHI akan menjadi karakter-

karakter politik hukum Islam di Indonesia. Pengaruh tersebut akan

membawa konsekuensi untuk memperbincangkan kembali diskursus hukum

agama dan hukum Negara di dalam wadah Negara Pancasila. Keberadaan

hukum islam harus diselaraskan dengan visi pembangunan hukum yang

dicanangkan Negara. Disini lalu terjadi proses filterisasi terhadap materi

hukum Islam oleh Negara.

Dengan demikian, secara ideologis KHI berada pada titik tengah

antara paradigma agama dan paradigma Negara. Dalam paradigma agama,

hukum Islam wajib dilaksanakan oleh Umat Islam secara kaffah, tidak

mengenal ruang dan waktu. Penerapannya dalam kehidupan sosial menjadi

misi agama yang suci13. Dengan kata lain bahwa hukum Islam berada dalam

penguasaan hukum Negara dengan mempertimbangkan pluralitas agama,

etnis, ras dan golongan. Hasil interaksi dari dua paradigma yang berbeda itu

merupakan wujud nyata politik Negara terhadap hukum islam di Indonesia.

Karena itu KHI merupakan satu-satunya hukum materiil Islam yang

memperoleh legitimasi politik dan yuridis dari Negara.

12
Moh.Mahfud, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993, Hal. 675-676
13
Tercantum dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah: 42, 44, 45, 47, 48, 49
12

5. Penerapan KHI Di di Indonesia

Ada dua hal yang menjadi pertimbangan sehingga KHI penting

untuk disebarluaskan, pertama karena KHI diterima oleh Majelis Ulama

Indonesia. Kedua Karena KHI bisa dipergunakan sebagai pedoman dalam

menyelesaikan maslaah-masalah perkawinan, kewarisan dan perwakafan,

baik oleh instansi pemerintah maupun masyarakat yang memerlukannya.

KHI bisa dijadikan pedoman bagi hakim dilingkungan Badan

Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-

perkara yang diajukan kepadanya. Maka tampak sebetulnya fungsi pedoman

itu ditujukan bagi para hakim dilingkungan Badan Peradilan Agama.

Sedangkan masyarakat yang disebutkan hanya bersifat tawaran alternative.

Implementasi Kompilasi Hukum islam bersifat fakultatif, yaitu

ketentuan-ketentuan hukum islam yang boleh dikatakan sebagai hasil ijtihad

kolektif ala Indonesia yang tertuang dalam Inpres no. 1 Tahun 1991, itu

tidak secara priority mengikat dan memaksa warga Negara Indenesia,

khususnya ummat Islam. KHI bersifat anjuran dan alternative hukum.14

D.Penutup

1. Kesimpulan

KHI atau Kompilasi Hukum Islam adalah kumpulan hukum materiil

yang akan dipakai oleh hakim di lingkungan peradilan agama sebagai

panduan dalam memutus perkara. KHI ditetapkan melalui Inpres No.

1/1991.
14
Marzuki Wahid & Rumadi, op.cit., Hal 178
13

Latar belakang diadakannya Kompilasi Hukum Islam didasarkan

pada pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama. Proses

penyusunan kompilasi ini berlangsung sejak tahun 1985. Berdasarkan UU

No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menjadi dorongan dan memacu

lahirnya hukum materil yaitu Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan

Instruksi Presiden RI No.1 Tahun 1991 secara formal berlakulah Kompilasi

Hukum Islam di Indonesia sebagai hukum materil yang dipergunakan di

lingkungan Peradilan Agama.

Sebelum ada kompilasi ini, para hakim peradilan agama praktis tak

mempunyai pegangan resmi menyangkut hukum materiil yang akan mereka

pakai. Mereka merujuk secara individual pada kitab-kitab fikih klasik (kitab

kuning). Tetapi, karena pendapat hukum dalam literatur klasik itu bisa

berselisih, keputusan hakim juga bisa berbeda-beda dalam kasus yang sama,

bergantung pendapat ulama yang ia ikuti. Ide KHI muncul sebagai upaya

untuk "menstandarkan" hukum materiil di lingkungan peradilan agama.

Dengan demikian, KHI juga bisa dipandang sebagai fikih resmi berbahasa

Indonesia. Dari segi ini, kemunculan KHI adalah suatu kemajuan besar.

Sebab, untuk pertama kalinya fikih diartikulasikan kembali dalam formula

hukum positif modern. Masalah muncul ketika KHI hendak ditingkatkan

statusnya menjadi undang-undang agar kekuatan hukumnya lebih kukuh.

Saya memandang, KHI memang semata-mata memindahkan diktum-diktum

hukum fikih klasik begitu saja. KHI sama sekali tidak mempertimbangkan

munculnya sensitivitas sosial baru, misalnya keadilan gender. Karena hanya


14

memindahkan fikih klasik, banyak pasalnya mengandung diskriminasi atas

perempuan. Contohnya, soal pembagian harta waris dengan formula 2 : 1

bagi perempuan. Atau soal saksi nikah, tempat menurut ketentuan fikih

klasik perempuan tidak diperbolehkan menjadi saksi. Atau soal kedudukan

kepala keluarga yang, sesuai dengan konsep qawamah (kepemimpinan

keluarga) dalam Quran, menjadi monopoli laki-laki. Karena alasan-alasan

itulah, KHI memang harus diperdebatkan lagi. Tidak semua ketentuan

dalam fikih klasik adalah absah untuk konteks zaman kita. Hukum sudah

selayaknya berkembang sesuai dengan diktum teori fikih, al hukmu yaduru

ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman (hukum selalu berkembang seturut

dengan alasan-alasan yang menjadi latar belakangnya). Bagaimanapun,

hukum adalah refleksi kondisi sosial. Jika kondisi berubah, dengan

sendirinya ia harus ikut berubah pula. Bahkan berbagai ketentuan legal yang

secara eksplisit terdapat dalam Quran pun tidak diniatkan oleh Tuhan

sebagai hukum yang abadi. Memang tidak mudah mereformasi hukum

keluarga Islam. Sebagaimana di katakan di awal tulisan ini, keluarga adalah

wilayah keramat tempat ketentuan-ketentuan keagamaan yang patriarkal

sangat dominan. Tetapi, usaha untuk mencoba menggeser batas-batas yang

mungkin diperbaharui dalam hukum Islam layak terus-menerus dicoba. KHI

adalah ladang untuk percobaan itu.

2. Saran

Kompilasi Hukum Islam perlu di tingkatkan statusnya menjadi undang-

undang agar lebih memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat. Supaya aturan
15

yang ada di dalam KHI tersebut bersifat tegas tidak lagi hanya sekedar

anjuran atau alternatif hukum.

Daftar Pustaka

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Pressindo,


1992.

Ali, M. Daud. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Rajawali Press, 1986.

Basyir, KH. Ahmad Azhar, MA, Asas-Asas Hukum Muamalat. UII Press

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1999

Mahfud, Moh, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993

M.Yahya. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Pustaka Kartini, 1990.

Wahid Marzuki & Rumadi, Fiqh Madzab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001
16

Wojowasito. Kamus Umum Belanda – Indonesia. Jakarta : Ichtiar Baru van Hoeve,
1981.

Yusdani, Amir Mu’amm, Ijtihad dan Legilasi Muslim Kontemporer, UII Press

Anda mungkin juga menyukai