KELOMPOK 9
FAKULTAS HUKUM
JUNI 2018
“HUKUM PIDANA ADAT SEBAGAI SUMBER PERUMUSAN SERTA PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA DI INDONESIA”
BAB I
PENDAHULUAN
3
Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat bekal pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm.4.
Regeringsreglement (RR) 1854, dalam redaksi lama dinyatakan bahwa
Gubemur Jenderal berkuasa menjadikan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang berlaku bagi orang Eropa, berlaku juga bagi orang bukan Eropa.4
Jelas bahwa hukum adat di Indonesia mempunyai norma dan sanksi yang
patut bagi masyarakat. Hukum adat meliputi kebiasaan-kebiasaan yang
timbul dan diikuti serta ditaati secara terus menerus, bahkan dapat melalui
peralihan generasi yang berlangsung secara turun temurun oleh masyarakat
adat di mana hukum adat itu tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu
maka kami, penulis, mencoba membahas mengenai “Hukum Pidana Adat
Sebagai Sumber Perumusan Serta Pembaharuan Hukum Pidana Di
Indonesia”.
4
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pusata Tint Mas, 1958), hlm.
44.
5
Reimon Supusesa, Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum
Pidana di Maluku Tengah, Mimbar Hukum, Volume 24, Nomor 1, Februari 2012, hlm. 42.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pentingnya Hukum Pidana Adat sebagai sumber
pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia?
2. Bagaimana Hukum Pidana adat Dalam Beberapa ketentuan RUU
(Rancangan Undang-Undang) KUHP?
BAB II
PEMBAHASAN
6
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2003), hlm. 33.
7
Topo Santoso, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia. (Jakarta: PT.Ersesco, 1990), hlm.9.
8
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau.
(Jakarta:Rineka Cipta,1997), hlm. 11.
penyelesaian suatu pelanggaran adat diselesaikan dengan jiwa kebersamaan
dalam musyawarah dan mufakat.
Bushar Muhammad mengatakan bahwa seperti halnya semua sistem
hukum di bagian lain di dunia ini, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh
dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup
yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum
adat itu berlaku.9
Kita sudah amat mengenal dengan ungkapan “Hukum merupakan
cerminan dari masyarakat”. Melalui ungkapan tersebut jelas dapat
disimpulkan bahwa hukum pidana sudah sepatutnya mencerminkan nilai-
nilai yang ada pada masyarakat, agar dapat diterapkan dan diterima oleh
masyarakat. Hukum pidana adat penting sebagai sumber pembaharuan
hukum pidana di Indonesia. Dengan bagaimananya yaitu dalam melakukan
pembaharuan hukum pidana adat di Indonesia baiknya dilakukan kajian
matang mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam bidang
hukum pidana. Kajian seperti ini tentu sangat penting dilakukan. Usaha ini
seharusnya sudah menjadi hal yang sepantasnya karena pada dasarnya
hukum pidana berfungsi untuk melindungi dan sekaligus untuk memelihara
masyarakat berupa kehidupannya, kepentingannya, serta hak dan
kewajibannya dari orang-orang yang hendak memperkosa hukum pidana itu
sendiri sehingga berimbas pada masyarakat yang tentunya akan sangat
merugikan, dampak yang dapat terjadi pun dapat memakan waktu yang
berkepanjangan. Sehingga dapat diketahui bahwa hukum pidana itu dibuat
untuk keberpihakan pada masyarakat, maka nilai-nilai yang dikandungnya
harus berupa nilai yang ada pada masyarakat.
Melihat kenyataan bahwa Indonesia memiliki suku bangsa, tidak
dapat dipungkiri bahwa hukum adat sangatlah plural. Hal ini menyebabkan
9
Bushar Muhammad, Asas Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1975), hlm. 42.
hukum pidana adat di Indonesia pun berbeda-beda dari suatu suku ke suku
yang lain. Kembali pada paragraf sebelumnya, diperlukannya kajian
mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat guna menganalisis
bagaimana karakter hukum pidana adat yang ada pada tiap suku di
Indonesia, menggabungkannya menjadi satu dengan batasan-batasan
tertentu, sehingga dalam perumusan hukum pidana pun dapat diterima oleh
masyarakat, khususnya masyarakat adat. Pada permasalahan bahwa tidak
semua kalangan masyarakat A dapat menerima hukum pidana nasional yang
berlaku, walaupun masyarakat adat lainnya dapat menerima. Maupun
permasalahan bahwa bahwa tidak semua kalangan masyarakat adat B dapat
menerima hukum pidana adat masyarakat C, dan sejenisnya, sehingga
apabila hukum pidana adat mereka digabungkan akan terjadi ketidak
seimbangan. Maka dalam perumusan hukum pidana itu sendiri perlu dibuat
suatu batasan-batasan serta aturan khusus yang mengikat suku-suku
sehingga dalam hukum pidana tersebut tetap berjalan seimbang. Seperti hal
nya diberikannya sanksi umum berupa “...” terhadap siapa saja yang
melakukan pelanggaran A, namun juga diadakan aturan khusus berupa
diberikannya sanksi berupa “...” bagi suku “X” yang melakukan pelanggaran
A. Sanksi khusus ini walaupun dalam bentuk berbeda tetapi harus bernilai
sama, tidak lebih ringan, maupun lebih berat.
Dalam perumusan, pembuatan, ataupun pembaharuan hukum
pidana sebaiknya diselaraskan dengan hukum pidana adat. Hukum pidana
adat tentu berakar dari hukum adat. Peraturan yang ada dalam hukum adat
tentu telah menjadi suatu hal yang mendarah daging bagi masyarakat,
khususnya masyarakat adat. Berisikan peraturan yang diagungkan bagi
pemeluk adat, wajib ditaati bagi siapapun yang terikat, ditaati dengan terus
menerus, dan tentunya bersanksi tegas. Apabila suatu hukum pidana itu
dalam pembuatannya atau dalam pembaharuannya disumberkan atas
hukum pidana adat, maka pasti aturan-aturan yang ada dalam hukum
pidana itu akan lebih bermasyarakat, lebih mengikat pada masyarakat, tidak
semena-mena, sanksinya tegas dan setimpal bagi siapa saja yang melawan
aturan dalam hukum pidana tersebut, tetap mengandung nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab, sehingga hukum pidana tersebut dapat diterima
oleh masyarakat. Apabila diterima oleh masyarakat, maka berarti eksistensi
hukum pidana di Indonesia lebih dianggap ada.
Berbicara mengenai pengakuan eksistensi hukum beserta nilai-nilai
yang dikandungnya termasuk pada rasa keadilan yang hidup dalam hukum
itu sendiri, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Negara Republik
Indonesia sudah jelas, bahwa negara mempunyai kewajiban untuk mengakui
dan sekaligus merespon perkembangan hukum adat. Negara tidak boleh
membiarkan hukum adat menjadi kelas dua atau masyarakat yang
terpinggirkan. Hak-hak nya sebagai bagian dari wajah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib mendapat pengakuan.
Melihat dari pernyataan di atas, hal itu berarti salah satu penegakan
hukum di Indonesia, dalam pembentukannya tak pernah terlepas dari yang
namanya hukum adat. Hukum yang telah ditegakkan di Indonesia ini
diadopsi dari hukum pidana adat menjadi hukum nasional. Perlindungan dan
pengakuan hukum pidana adat menjadi sesuatu yang penting bagi
kehidupan masyarakat adat, sebab dengan adanya hukum adat yang
memberikan sanksi adat, maka terciptalah keharmonisasian sosial dalam
masyarakat, khususnya masyarakat adat. Kemudian dapat terjaganya
kepentingan-kepentingan antar golongan dan perorangan, serta antar
kelompok dengan masarakat luas.
Dalam hukum pidana dikenal yang namanya sifat melawan hukum
formil dan materiil, yang mana dalam pengertiannya, sifat melawan hukum
formil merupakan suatu perbuatan yang dapat diancam pidana apabila
perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan dalam
pengertian sifat melawan hukum yang materiil adalah yang dapat dikenakan
pidana apabila melanggar nilai/norma yang berlaku dalam masyarakat. Disini
hukum pidana adat juga dapat dijadikan sumber dalam perumusan sifat
melawan hukum materiil. Dalam kajian materiil, berarti yang harus
diperhatikan adalah nilai/norma yang terkandung dalam masyarakat. Hukum
pidana adat yang diagungkan masyarakat adat tentu berisikan nilai-nilai
masyarakat perlu dijadikan rujukan dalam perumusan sifat melawan hukum
materiil. Sanksi yang terdapat dalam hukum pidana adat juga merupakan
sanksi yang bernilai kemanusiaan yang beradab, namun bersifat tegas.
Apabila dalam perumusan atau pembaharuan hukum pidana dalam hal sifat
melawan hukum materiil digunakan hukum pidana adat sebagai sumber,
maka pasti akan lebih bernilai norma masyarakatnya, kemudian terciptalah
tata-susila sebagai bentuk kesejahteraan. Terlepas dari itu semua, seperti
apa yang kita telah ketahui berdasar UUD 1945 bahwa dalam perumusan
hukum nasional tidak boleh terlepas dari hukum adat. Hukum adat
merupakan hukum yang tidak boleh di nomer dua kan ataupun
ditelantarkan, harus selalu mengiringi kemana hukum nasional itu berjalan.
Kaitannya dalam hukum pidana, maka yang dimaksud adalah hukum pidana
adat. Hukum Pidana harus senantiasa direorientasi dan direformasi dengan
berbagai pendekatan agar sesuai dengan nilai-nilai sosial dan politik bangsa
Indonesia, sehingga perannya dalam rangka menjaga dan melindungi dan
menciptakan kesejahteraan masyarakat (social defence dan social welfare),
khususnya sebagai pengendali kejahatan dapat diwujudkan.10
2.2 Hukum Pidana adat Dalam Beberapa ketentuan RUU (Rancangan Undang-
Undang) KUHP.
Tidak mungkin suatu hukum tertentu yang asing bagi masyarakat itu
dipaksakan atau dibuat, apabila hukum tertentu yang asing itu bertentangan
dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan
10
Eman Sulaeman, Delik Perzinaan, (Yogyakarta: Walisongo Pers, 2008), hlm. 132.
atau tidak mencukupi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan, pendeknya
bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.11 Artinya tidak
mungkin hukum penjajah (Belanda) dapat berlaku secara efektif di
Indonesia, karena dibentuk berdasarkan falsafah hidup orang Barat yang
asing bagi bangsa Indonesia.
Perlu juga digaris bawahi bahwa sekalipun suatu aturan hukum sudah
memenuhi tuntutan keberlakuan secara yuridis, aturan hukum itu tidak akan
berlaku efektif dalam masyarakat apabila tidak memenuhi tuntutan
keberlakuan secara sosiologis dan secara filosofis. Hal ini disebabkan karena
setiap hukum yang baik karenanya dapat berlaku efektif selalu menuntut
persyaratan keberlakuan secara yuridis, sosiologis, filosofis dan historis.
Artinya secara yuridis hukum itu sah, harus juga keberlakuannya didukung
masyarakat, dan sesuai dengan nilai-nilai serta cita-cita hidup masyarakat
yang bersangkutan, juga memiliki relevansi dengan tradisi hukum
masyarakat itu sendiri.12
Menganalisis keberadaan hukum adat dalam hukum pidana yang
berlaku sekarang ini tentu saja akan didapatkan jawaban bahwa roh
daripada hukum adat sebagai cerminan falsafah hidup bangsa Indonesia
sama sekali tidak terkandung dalam KUHP tersebut. Hal ini karena semenjak
diberlakukan sebagai hukum pidana nasional berdasarkan UU No. 1 Tahun
1946, Indonesia belum berhasil melahirkan KUHP yang dibangun
berdasarkan nilai-nilai dan falsafah hidup bangsa hingga hari ini, meskipun
usaha kearah pembaharuan KUHP tersebut telah dimulai semenjak tahun
1964.13
Di dalam Teori Hukum Pidana dikenal adanya dua macam pengertian
mengenai sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil.
Yang dimaksud dengan sifat melawan bukum formil yaitu bahwa suatu
11
Ibid, hlm.43.
12
Eman sulaeman, Op.cit, hlm. 24-25.
13
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta: Pustaka Alpabet, 2008), hlm. 8.
perbuatan dianggap bertentangan dengan hukum, cukup apabila perbualan
yang dilakukan oleh seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana
(delik) yang disebutkan secara tegas (tertulis) didalam suatu pasal. Dengan
demikian tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan atau penyelidikan terhadap
hal-hal yang tidak disebutkan secara tegas didalam perumusan delik yang
bersangkutan.14 Dalam pengertian ini, “hukum” adalah “undang-undang”.
Adapun mengenai sifat melawan hukum materiil yaitu bahwa
suatu perbuatan-perbuatan dikatakan bertentangan dengan hukum, apabila
perbuatan tidak saja memenuhi semua perumusan delik yang tertulis dalam
suatu pasal, akan tetapi perbuatan itu juga harus terbukti bertentangan
dengan hukum yang tidak tertulis, seperti norma-norma atau kenyataan-
kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.15Dalam pengertian ini berarti
bahwa bukum bukan hanya undang-undang, tetapi adalah meliputi seluruh
pengertian mengenai “hukum pada umumya”.
Dari pengertian bahwa hukum bukan hanya undang-undang tetapi
meliputi seluruh pengertian hukum pada umumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa kedudukan “hukum pidana adat” adalah berada di dalam
“hukum pada umumnya” tersebut. Dengan demikian berarti bahwa sifat
melawan hukum materiil dari suatu delik dapat diartikan sebagai perbuatan
melawan hukum di dalam hukum pidana adat.
Prof. Soepomo dalam Dies Natalis UNGAMA, Yogyakarta, pada
tanggal 17 Maret 1947 menegaskan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan hukum adat masih
akan menguasai bangsa Indonesia,
2. Bahwa hukum pidana dari suatu Negara wajib sesuai dengan
corak dan sifat – sifat bangsanya atau masyarakatnya. Oleh
karena itu maka hukum adat pidana akan memberi bahan yang
14
Van Bemmelen, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Bina
Cipta, 1979), hlm. 101-102.
15
Mulyatno, Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksan, 1983), hlm. 130.
sangat berharga dalam pembentukan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) baru untuk Negara kita,
3. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak
tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal
yang belum atau tidak ditetapkan undang-undang.16
16
Tolib Setyadi, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung:
Alfabeta, 2008), hlm. 72.
terbatas pada orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tetapi
meliputi terhadap mereka yang sudah dewasa.
Maka jelas bahwa ketentuan yang ada dalam Pasal 294 ayat (1) dapat
digunakan sebagai pedoman untuk memberikan hukuman kepada si pelaku
apabila perbuatannya itu dilakukan terhadap orang-orang yang belum
dewasa. Dengan menggunakan atau mengacu pada penafsiran 'a contrario',
maka apabila perbuatan cabul itu dilakukan terhadap orang-orang yang
sudah dewasa, kepada pelakunya tidak dapat dipidana. Hal ini sangatlah
jelas menentang nila-nilai dan hukum yang hidup dalam masyarakat adat di
Indonesia. Terlebih lagi jika perbuatan tersebut dilakukan kepada anak
kandungnya sendiri.
Mengingat ketentuan pasal (1) KUHP yang menyebutkan bahwa: Tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu maka jelas bahwa
perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana adat tersebut tidak dapat
dipidana. Berdasarkan pasal 294 ayat (1) KUHP, kecuali kemungkinannya bagi
perbuatan yang dilakukan terhadap orang- orang yang belum dewasa.
Menyadari akan tuntutan rasa keadilan seluruh masyarakat maka
untuk memenuhi hal itu, oleh pemerintah diciptakanlah Undang-Undang
Darurat No.1 tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Antara Pengadilan-
Pengadilan Sipil. Di dalam UU Darurat No.1 tahun 1951 inilah diatur
mengenai berlakunya hukum pidana adat.
Dalam RUU KUHP, asas legalitas yang tetap merupakan salah satu
sendi hukum pidana Indonesia, ditafsirkan meliputi pula hukum pidana adat
(tindak pidana adat).17Dalam RUU KUHP, diakuinya tindak pidana adat
(dengan tetap memasukan unsur kesalahan18 sebagai persyaratan dalam
memidana pelaku), yaitu dengan dicantumkannya “pemenuhan kewajiban
adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat” sebagai pidana tambahan. Dalam hal ini, hakim dapat
menetapkan kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat yang
17
Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, (Jakarta: Komisi Hukum
Nasional (KHN), 2009), hlm. 35.
18
Muladi dan Barda Nawawi, ”Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang yang benar-
benar bersalah sajalah yang dapat dikenakan pidana”, Dikutip dari Teori-Teori dan Kebijakan
Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 127.
harus dilakukan terpidana, jika keadaan menghendaki untuk memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.Tujuan
pemidanaan bukan semata-mata menghukum pelaku, tetapi juga
mendatangkan rasa damai dan memulihkan keseimbangan dalam
masyarakat.
Dalam kaitan asas legalitas dan asas sifat melawan hukum, dengan adanya
perluasan asas legalitas, yaitu dengan mengakui adanya tindak pidana adat,
maka akan terkait pula dengan pembahasan mengenai asas sifat melawan
hukum materiil. Tujuan dari asas legalitas adalah untuk menguatkan asas
kepastian hukum yaitu dengan hanya memperhatikan ketentuan tertulis. Namun
demikian, asas keadilan juga harus menjadi perhatian, yaitu dengan adanya nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, meskipun unsur-unsur
aturan tertulis telah dipenuhi oleh perbuatan yang bersangkutan, asas sifat
melawan hukum materiil dapat merupakan alasan penghapus pidana. Dalam hal
tindak pidana adat, maka apa yang terjadi adalah bahwa hakim tidak
mempergunakan asas legalitas dan menerima adanya sifat melawan hukum
(celaan kuat oleh masyarakat hukum adat) untuk memidana seorang pelaku. Jadi
dengan demikian, asas sifat melawan hukum materiil tidak dipergunakan sebagai
alasan penghapus pidana.19
Baik Basir maupun Muhammad Ikhsan menyatakan, bahwa
pemenuhan kewajiban adat akan memenuhi prinsip restorative justice
sepanjang ada keterlibatan korban secara langsung mengajukan tuntutan
kepada pelaku, dan sepanjang ada mekanisme yang diciptakan bagi
pengakuan kesalahan dari pelaku dan kesediaan pelaku untuk menebus
kesalahannya itu terhadap korban. Dari sisi kemasyarakatannya, restorative
justice sebetulnya harus diberi ruang sebagai forum tanggung jawab
bersama untuk menyelesaikan perkara pidana secara adil dan
memperhatikan kepentingan semua pihak baik pelaku, korban, maupun
masyarakat.
19
Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, (Jakarta: Komisi Hukum
Nasional RI, 2009), hlm. 87.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Saran
Dalam melakukan pembaharuan hukum pidana baiknya dilakukan
kajian matang mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam bidang
hukum pidana. Hal ini guna menganalisis bagaimana karakter hukum pidana
adat yang ada pada tiap suku di Indonesia, menggabungkannya menjadi satu
dengan batasan-batasan tertentu, sehingga dalam perumusan hukum pidana
pun dapat diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat. Dalam
perumusan, pembuatan, ataupun pembaharuan hukum pidana sebaiknya
diselaraskan dengan hukum pidana adat. Untuk memberi kepastian hukum
maka hukum pidana adat dapat dirumuskan dalam bentuk tertulis.
DAFTAR PUSTAKA
Bemmelen, Van. 1979. Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum.
Bandung : Bina Cipta.
Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Jakarta: Pustaka Alpabet.
Muladi; dan Barda Nawawi. 1998. ”Asas kesalahan menghendaki agar hanya
orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat dikenakan pidana.”
Dikutip dari Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.
Santoso, Topo. 1990. Pluralisme Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Ersesco.
Setyadi, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan.
Bandung: Alfabeta.
Sulaeman, Eman. 2008. “Delik Perzinaan”. Jurnal Walisongo Pers, Vol. 6 No. 1.
Sulaeman, Eman. 2008. Delik Perzinaan. Yogyakarta: Walisongo Pers.
Utrecht, E. 1958. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: Pusata Tint
Mas.