Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KELOMPOK HUKUM ADAT

DR. RINI FIDIYANI, S.H., M.HUM.

TEMA: “KONTRIBUSI HUKUM PIDANA ADAT BAGI RANCANGAN KUHPIDANA


YANG TERAKHIR”

JUDUL: “HUKUM PIDANA ADAT SEBAGAI SUMBER PERUMUSAN SERTA


PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA”

KELOMPOK 9

RADMILA SALMA 8111417262

ANGGI DWI PRATAMA 8111417274

ANDINI GITA RINJANI 8111417280

LEYLA MAULINASARI 8111417285

ANNAS FIRDAUS 8111417286

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

JUNI 2018
“HUKUM PIDANA ADAT SEBAGAI SUMBER PERUMUSAN SERTA PEMBAHARUAN
HUKUM PIDANA DI INDONESIA”
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hukum pidana dapat didefinisakan sebagai: aturan hukum, yang


mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
sebagai suatu akibat yang berupa pidana (definisi dari Mezger).1 Secara
yuridis formal pemberlakuan hukum pidana Belanda di Indonesia didasarkan
kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 yang merupakan penegasan
pemerintah Indonesia untuk memberlakukan KUHP yang berlaku pada
tanggal 18 Maret 1942 sebagai hukum pidana yang berlaku di Indonesia.2

Hukum adat merupakan hukum asli dalam suatu masyarakat tertentu,


biasanya tidak tertulis, dimana pada masa dahulu dipergunakan sebagai
pedoman bagi seluruh aspek kehidupan dalam masyarakat yang
bersangkutan. Hal tersebut bukan berarti bahwa hukum adat selamanya
adalah hukum yang tidak tertulis. Ada hukum adat tertulis, yaitu misalnya
ciwacasana (pada zaman pemerintahan Raja Dhannawangsa di Jawa Timur),
dan awig-awig di Bali. Akan tetapi apabila dibandingkan dengan hukum adat
yang tidak tertulis, maka hukum adat yang tidak tertulis jumlahnya sangat
sedikit, sehingga tidak berpengaruh dan sering diabaikan.3

Berbeda dengan hukum perdata Adat yang sejak diberikannya dasar


hukum tertulis bagi berlakunya bukum tersebut memang sudah dinyatakan
adanya kebebasan bagi masyarakat untuk melaksanakannya, maka tidaklah
demikian dengan hukum pidana Adat Menurut pasal 75 ayal (2)
1
Sudarto, Hukum Pidana I Edisi Revisi, (Semarang: Yayasan Sudarto, 2009), hlm 13.
2
Eman sulaeman, “Delik Perzinaan”, Jurnal Walisongo Pers, Vol. 6 No. 1 Februari 2008, hlm
132.

3
Iman Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat bekal pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm.4.
Regeringsreglement (RR) 1854, dalam redaksi lama dinyatakan bahwa
Gubemur Jenderal berkuasa menjadikan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana yang berlaku bagi orang Eropa, berlaku juga bagi orang bukan Eropa.4

Kongres PBB V (1975) dengan topik “Prevention of Crime and the


Treatment of Offender”, menghimbau pentingnya perubahan terhadap
sistem hukum pidana yang sudah tertinggal zaman, tidak sesuai dengan
kenyataan, dan tidak berakar pada nilai-nilai budaya masyarakat. Himbauan
ini sebagai usaha untuk melakukan pemikiran ulang terhadap keseluruhan
kebijakan kriminal. Maka jelas bahwa usaha untuk mengkaji dan menggali
hukum adat dan nilai-nilai yang hidup di dalam masayarakat terasa begitu
penting. Roeslan Saleh mengatakan, bahwa “... hal keberlakuan hukum adat
khususnya, perlu mendapat perhatian. Ada hal yang memang dapat disusun
sedemikian rupa, sehingga berlaku sebagai bagian dari hukum pidana
keseluruhan, yaitu yang dapat dimasukkan dalam hal-hal yang dapat
meniadakan kesalahan terdakwa, ataupun yang akhirnya membenarkan
perbuatan terdakwa, hal-hal yang dalam ajaran hukum pidana termasuk
dalam ajaran melawan hukum materiil dan ajaran kesalahan.5

Jelas bahwa hukum adat di Indonesia mempunyai norma dan sanksi yang
patut bagi masyarakat. Hukum adat meliputi kebiasaan-kebiasaan yang
timbul dan diikuti serta ditaati secara terus menerus, bahkan dapat melalui
peralihan generasi yang berlangsung secara turun temurun oleh masyarakat
adat di mana hukum adat itu tumbuh dan berkembang. Oleh karena itu
maka kami, penulis, mencoba membahas mengenai “Hukum Pidana Adat
Sebagai Sumber Perumusan Serta Pembaharuan Hukum Pidana Di
Indonesia”.

4
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pusata Tint Mas, 1958), hlm.
44.
5
Reimon Supusesa, Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif Pembaharuan Hukum
Pidana di Maluku Tengah, Mimbar Hukum, Volume 24, Nomor 1, Februari 2012, hlm. 42.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pentingnya Hukum Pidana Adat sebagai sumber
pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia?
2. Bagaimana Hukum Pidana adat Dalam Beberapa ketentuan RUU
(Rancangan Undang-Undang) KUHP?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pentingnya Hukum Pidana Adat sebagai sumber pembaharuan Hukum


Pidana di Indonesia.
Hukum adat di Indonesia pada umumnya menunjukkan corak yang
tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkret, terbuka dan sederhana,
dapat berubah dan menyesuaikan, tidak terkodifikasi, musyawarah dan
mufakat.6 Corak hukum adat yang tradisional berarti bahwa hukum adat itu
lahir dan hidup secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Sedangkan
Hukum pidana adat mengatur tindakan yang melanggar perasaan keadilan
dan kepatutan yang hidup di tengah masyarakat, sehingga menyebabkan
terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat. Untuk
memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut, maka terjadi reaksi
adat.7
Keberadaan Hukum Pidana Adat pada masyarakat merupakan
pencerminan kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing
daerah memiliki Hukum Pidana Adat yang berbeda sesuai dengan adat
istiadat yang ada di daerah tersebut dengan ciri khas tidak tertulis ataupun
terkodifikasikan.8 Hukum adat bercorak musyawarah dan mufakat artinya
hukum adat lahir dari falsafah hidup masyarakat yang menjunjung tinggi
kebersamaan dan perdamaian. Segala keputusan yang ideal menurut hukum
adat adalah keputusan yang lahir dari musyawarah, bukan hanya
berdasarkan kehendak pribadi seorang pemimpin. Begitu juga dalam

6
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Mandar Maju,
2003), hlm. 33.
7
Topo Santoso, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia. (Jakarta: PT.Ersesco, 1990), hlm.9.
8
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau.
(Jakarta:Rineka Cipta,1997), hlm. 11.
penyelesaian suatu pelanggaran adat diselesaikan dengan jiwa kebersamaan
dalam musyawarah dan mufakat.
Bushar Muhammad mengatakan bahwa seperti halnya semua sistem
hukum di bagian lain di dunia ini, maka hukum adat itu senantiasa tumbuh
dari suatu kebutuhan hidup yang nyata, cara hidup dan pandangan hidup
yang keseluruhannya merupakan kebudayaan masyarakat tempat hukum
adat itu berlaku.9
Kita sudah amat mengenal dengan ungkapan “Hukum merupakan
cerminan dari masyarakat”. Melalui ungkapan tersebut jelas dapat
disimpulkan bahwa hukum pidana sudah sepatutnya mencerminkan nilai-
nilai yang ada pada masyarakat, agar dapat diterapkan dan diterima oleh
masyarakat. Hukum pidana adat penting sebagai sumber pembaharuan
hukum pidana di Indonesia. Dengan bagaimananya yaitu dalam melakukan
pembaharuan hukum pidana adat di Indonesia baiknya dilakukan kajian
matang mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam bidang
hukum pidana. Kajian seperti ini tentu sangat penting dilakukan. Usaha ini
seharusnya sudah menjadi hal yang sepantasnya karena pada dasarnya
hukum pidana berfungsi untuk melindungi dan sekaligus untuk memelihara
masyarakat berupa kehidupannya, kepentingannya, serta hak dan
kewajibannya dari orang-orang yang hendak memperkosa hukum pidana itu
sendiri sehingga berimbas pada masyarakat yang tentunya akan sangat
merugikan, dampak yang dapat terjadi pun dapat memakan waktu yang
berkepanjangan. Sehingga dapat diketahui bahwa hukum pidana itu dibuat
untuk keberpihakan pada masyarakat, maka nilai-nilai yang dikandungnya
harus berupa nilai yang ada pada masyarakat.
Melihat kenyataan bahwa Indonesia memiliki suku bangsa, tidak
dapat dipungkiri bahwa hukum adat sangatlah plural. Hal ini menyebabkan

9
Bushar Muhammad, Asas Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnya Paramita,
1975), hlm. 42.
hukum pidana adat di Indonesia pun berbeda-beda dari suatu suku ke suku
yang lain. Kembali pada paragraf sebelumnya, diperlukannya kajian
mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat guna menganalisis
bagaimana karakter hukum pidana adat yang ada pada tiap suku di
Indonesia, menggabungkannya menjadi satu dengan batasan-batasan
tertentu, sehingga dalam perumusan hukum pidana pun dapat diterima oleh
masyarakat, khususnya masyarakat adat. Pada permasalahan bahwa tidak
semua kalangan masyarakat A dapat menerima hukum pidana nasional yang
berlaku, walaupun masyarakat adat lainnya dapat menerima. Maupun
permasalahan bahwa bahwa tidak semua kalangan masyarakat adat B dapat
menerima hukum pidana adat masyarakat C, dan sejenisnya, sehingga
apabila hukum pidana adat mereka digabungkan akan terjadi ketidak
seimbangan. Maka dalam perumusan hukum pidana itu sendiri perlu dibuat
suatu batasan-batasan serta aturan khusus yang mengikat suku-suku
sehingga dalam hukum pidana tersebut tetap berjalan seimbang. Seperti hal
nya diberikannya sanksi umum berupa “...” terhadap siapa saja yang
melakukan pelanggaran A, namun juga diadakan aturan khusus berupa
diberikannya sanksi berupa “...” bagi suku “X” yang melakukan pelanggaran
A. Sanksi khusus ini walaupun dalam bentuk berbeda tetapi harus bernilai
sama, tidak lebih ringan, maupun lebih berat.
Dalam perumusan, pembuatan, ataupun pembaharuan hukum
pidana sebaiknya diselaraskan dengan hukum pidana adat. Hukum pidana
adat tentu berakar dari hukum adat. Peraturan yang ada dalam hukum adat
tentu telah menjadi suatu hal yang mendarah daging bagi masyarakat,
khususnya masyarakat adat. Berisikan peraturan yang diagungkan bagi
pemeluk adat, wajib ditaati bagi siapapun yang terikat, ditaati dengan terus
menerus, dan tentunya bersanksi tegas. Apabila suatu hukum pidana itu
dalam pembuatannya atau dalam pembaharuannya disumberkan atas
hukum pidana adat, maka pasti aturan-aturan yang ada dalam hukum
pidana itu akan lebih bermasyarakat, lebih mengikat pada masyarakat, tidak
semena-mena, sanksinya tegas dan setimpal bagi siapa saja yang melawan
aturan dalam hukum pidana tersebut, tetap mengandung nilai-nilai
kemanusiaan yang beradab, sehingga hukum pidana tersebut dapat diterima
oleh masyarakat. Apabila diterima oleh masyarakat, maka berarti eksistensi
hukum pidana di Indonesia lebih dianggap ada.
Berbicara mengenai pengakuan eksistensi hukum beserta nilai-nilai
yang dikandungnya termasuk pada rasa keadilan yang hidup dalam hukum
itu sendiri, dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Negara Republik
Indonesia sudah jelas, bahwa negara mempunyai kewajiban untuk mengakui
dan sekaligus merespon perkembangan hukum adat. Negara tidak boleh
membiarkan hukum adat menjadi kelas dua atau masyarakat yang
terpinggirkan. Hak-hak nya sebagai bagian dari wajah Negara Kesatuan
Republik Indonesia wajib mendapat pengakuan.
Melihat dari pernyataan di atas, hal itu berarti salah satu penegakan
hukum di Indonesia, dalam pembentukannya tak pernah terlepas dari yang
namanya hukum adat. Hukum yang telah ditegakkan di Indonesia ini
diadopsi dari hukum pidana adat menjadi hukum nasional. Perlindungan dan
pengakuan hukum pidana adat menjadi sesuatu yang penting bagi
kehidupan masyarakat adat, sebab dengan adanya hukum adat yang
memberikan sanksi adat, maka terciptalah keharmonisasian sosial dalam
masyarakat, khususnya masyarakat adat. Kemudian dapat terjaganya
kepentingan-kepentingan antar golongan dan perorangan, serta antar
kelompok dengan masarakat luas.
Dalam hukum pidana dikenal yang namanya sifat melawan hukum
formil dan materiil, yang mana dalam pengertiannya, sifat melawan hukum
formil merupakan suatu perbuatan yang dapat diancam pidana apabila
perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan dalam
pengertian sifat melawan hukum yang materiil adalah yang dapat dikenakan
pidana apabila melanggar nilai/norma yang berlaku dalam masyarakat. Disini
hukum pidana adat juga dapat dijadikan sumber dalam perumusan sifat
melawan hukum materiil. Dalam kajian materiil, berarti yang harus
diperhatikan adalah nilai/norma yang terkandung dalam masyarakat. Hukum
pidana adat yang diagungkan masyarakat adat tentu berisikan nilai-nilai
masyarakat perlu dijadikan rujukan dalam perumusan sifat melawan hukum
materiil. Sanksi yang terdapat dalam hukum pidana adat juga merupakan
sanksi yang bernilai kemanusiaan yang beradab, namun bersifat tegas.
Apabila dalam perumusan atau pembaharuan hukum pidana dalam hal sifat
melawan hukum materiil digunakan hukum pidana adat sebagai sumber,
maka pasti akan lebih bernilai norma masyarakatnya, kemudian terciptalah
tata-susila sebagai bentuk kesejahteraan. Terlepas dari itu semua, seperti
apa yang kita telah ketahui berdasar UUD 1945 bahwa dalam perumusan
hukum nasional tidak boleh terlepas dari hukum adat. Hukum adat
merupakan hukum yang tidak boleh di nomer dua kan ataupun
ditelantarkan, harus selalu mengiringi kemana hukum nasional itu berjalan.
Kaitannya dalam hukum pidana, maka yang dimaksud adalah hukum pidana
adat. Hukum Pidana harus senantiasa direorientasi dan direformasi dengan
berbagai pendekatan agar sesuai dengan nilai-nilai sosial dan politik bangsa
Indonesia, sehingga perannya dalam rangka menjaga dan melindungi dan
menciptakan kesejahteraan masyarakat (social defence dan social welfare),
khususnya sebagai pengendali kejahatan dapat diwujudkan.10

2.2 Hukum Pidana adat Dalam Beberapa ketentuan RUU (Rancangan Undang-
Undang) KUHP.
Tidak mungkin suatu hukum tertentu yang asing bagi masyarakat itu
dipaksakan atau dibuat, apabila hukum tertentu yang asing itu bertentangan
dengan kemauan orang terbanyak dalam masyarakat yang bersangkutan

10
Eman Sulaeman, Delik Perzinaan, (Yogyakarta: Walisongo Pers, 2008), hlm. 132.
atau tidak mencukupi rasa keadilan rakyat yang bersangkutan, pendeknya
bertentangan dengan kebudayaan rakyat yang bersangkutan.11 Artinya tidak
mungkin hukum penjajah (Belanda) dapat berlaku secara efektif di
Indonesia, karena dibentuk berdasarkan falsafah hidup orang Barat yang
asing bagi bangsa Indonesia.
Perlu juga digaris bawahi bahwa sekalipun suatu aturan hukum sudah
memenuhi tuntutan keberlakuan secara yuridis, aturan hukum itu tidak akan
berlaku efektif dalam masyarakat apabila tidak memenuhi tuntutan
keberlakuan secara sosiologis dan secara filosofis. Hal ini disebabkan karena
setiap hukum yang baik karenanya dapat berlaku efektif selalu menuntut
persyaratan keberlakuan secara yuridis, sosiologis, filosofis dan historis.
Artinya secara yuridis hukum itu sah, harus juga keberlakuannya didukung
masyarakat, dan sesuai dengan nilai-nilai serta cita-cita hidup masyarakat
yang bersangkutan, juga memiliki relevansi dengan tradisi hukum
masyarakat itu sendiri.12
Menganalisis keberadaan hukum adat dalam hukum pidana yang
berlaku sekarang ini tentu saja akan didapatkan jawaban bahwa roh
daripada hukum adat sebagai cerminan falsafah hidup bangsa Indonesia
sama sekali tidak terkandung dalam KUHP tersebut. Hal ini karena semenjak
diberlakukan sebagai hukum pidana nasional berdasarkan UU No. 1 Tahun
1946, Indonesia belum berhasil melahirkan KUHP yang dibangun
berdasarkan nilai-nilai dan falsafah hidup bangsa hingga hari ini, meskipun
usaha kearah pembaharuan KUHP tersebut telah dimulai semenjak tahun
1964.13
Di dalam Teori Hukum Pidana dikenal adanya dua macam pengertian
mengenai sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil.
Yang dimaksud dengan sifat melawan bukum formil yaitu bahwa suatu

11
Ibid, hlm.43.
12
Eman sulaeman, Op.cit, hlm. 24-25.
13
Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler, (Jakarta: Pustaka Alpabet, 2008), hlm. 8.
perbuatan dianggap bertentangan dengan hukum, cukup apabila perbualan
yang dilakukan oleh seseorang telah memenuhi semua unsur tindak pidana
(delik) yang disebutkan secara tegas (tertulis) didalam suatu pasal. Dengan
demikian tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan atau penyelidikan terhadap
hal-hal yang tidak disebutkan secara tegas didalam perumusan delik yang
bersangkutan.14 Dalam pengertian ini, “hukum” adalah “undang-undang”.
Adapun mengenai sifat melawan hukum materiil yaitu bahwa
suatu perbuatan-perbuatan dikatakan bertentangan dengan hukum, apabila
perbuatan tidak saja memenuhi semua perumusan delik yang tertulis dalam
suatu pasal, akan tetapi perbuatan itu juga harus terbukti bertentangan
dengan hukum yang tidak tertulis, seperti norma-norma atau kenyataan-
kenyataan yang berlaku dalam masyarakat.15Dalam pengertian ini berarti
bahwa bukum bukan hanya undang-undang, tetapi adalah meliputi seluruh
pengertian mengenai “hukum pada umumya”.
Dari pengertian bahwa hukum bukan hanya undang-undang tetapi
meliputi seluruh pengertian hukum pada umumnya, maka dapat
disimpulkan bahwa kedudukan “hukum pidana adat” adalah berada di dalam
“hukum pada umumnya” tersebut. Dengan demikian berarti bahwa sifat
melawan hukum materiil dari suatu delik dapat diartikan sebagai perbuatan
melawan hukum di dalam hukum pidana adat.
Prof. Soepomo dalam Dies Natalis UNGAMA, Yogyakarta, pada
tanggal 17 Maret 1947 menegaskan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam lapangan hidup kekeluargaan hukum adat masih
akan menguasai bangsa Indonesia,
2. Bahwa hukum pidana dari suatu Negara wajib sesuai dengan
corak dan sifat – sifat bangsanya atau masyarakatnya. Oleh
karena itu maka hukum adat pidana akan memberi bahan yang

14
Van Bemmelen, Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Bina
Cipta, 1979), hlm. 101-102.
15
Mulyatno, Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksan, 1983), hlm. 130.
sangat berharga dalam pembentukan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) baru untuk Negara kita,
3. Bahwa hukum adat sebagai hukum kebiasaan yang tidak
tertulis akan tetap menjadi sumber hukum baru dalam hal-hal
yang belum atau tidak ditetapkan undang-undang.16

Dalam hukum pidana, sifat melawan hukum materiil yang tidak


bertentangan dengan asas legalitas itu dikatakan sebagai sifat melawan
hukum yang bernilai negatif yang selanjutnya disebut sifat melawan hukum
materiil negatif. Artinya apabila suatu perbuatan itu secara materiel tidak
memiliki sitat melawan hukum maka perbuatan itu bukanlah suatu tindak
pidana sekalipun undang-undang menyebutkan demikian. Apabila ada
pengertian mengenai 'sifat melawan hukum materiil negatif', maka akan
terdapat pula pengertian mengenai 'sifat melawan hukum materiil positif'.
Pengertian mengenai sifat melawan hukum positif yaitu apabila suatu
perbuatan dinyatakan bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau
hukum yang hidup dalam suatu masyarakat, akan tetapi undang-undang
hukum pidana sama sekali tidak menyinggung mengenai perbuatan tersebut
Sifat melawan hukum materiil positif inilah yang bertentangan dengan asas
legalitas dalam pasal 1 ayat (1) KUHP. Yang menjadi pertanyaan yaitu
apakah larangan-Iarangan di dalam hukum pidana adat yang berlaku secara
universal bagi seluruh masyarakat tetapi tidak diatur dalam undang-undang
hukum pidana tertulis (KUHP). Sebagaimana telah dikemukakan bahwa di
dalam berbagai masyarakat hukum adat di Indonesia dikenal adanya
larangan untuk melakukan perkawinan antara mereka yang masih
mempunyai hubungan yang sangat dekat, yaitu antara orang tua dengan
anak kandung, anak tiri, anak angkat dan anak. Larangan tersebut tidak saja

16
Tolib Setyadi, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, (Bandung:
Alfabeta, 2008), hlm. 72.
terbatas pada orang tua terhadap anaknya yang belum dewasa tetapi
meliputi terhadap mereka yang sudah dewasa.

KUHP tidak menyinggung adanya larangan melakukan perkawinan


semacam itu, KUHP hanya melarang dilakukannya 'perbuatan cabul' oleh
orang tua terhadap anaknya, anak tiri, anak angkat dan sebagainya, dimana
mereka semua (anak) tersebut masih dibawah umur atau belum dewasa
(belum berumur 21 tahun dan belum pernah menikah). Dalam hal ini
perbuatan cabul adalah termasuk 'persetubuhan' (R. Soesilo, 1980:187).
Didalam KUHP larangan tersebut dirumuskan oleh pasal 294 ayat (1) yang
menyatakan bahwa: Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan
anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak
peliharaanya, atau dengan seorang yang belum dewasa yang dipercayakan
padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau
bawahannya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh
tahun.

Maka jelas bahwa ketentuan yang ada dalam Pasal 294 ayat (1) dapat
digunakan sebagai pedoman untuk memberikan hukuman kepada si pelaku
apabila perbuatannya itu dilakukan terhadap orang-orang yang belum
dewasa. Dengan menggunakan atau mengacu pada penafsiran 'a contrario',
maka apabila perbuatan cabul itu dilakukan terhadap orang-orang yang
sudah dewasa, kepada pelakunya tidak dapat dipidana. Hal ini sangatlah
jelas menentang nila-nilai dan hukum yang hidup dalam masyarakat adat di
Indonesia. Terlebih lagi jika perbuatan tersebut dilakukan kepada anak
kandungnya sendiri.

Mengingat ketentuan pasal (1) KUHP yang menyebutkan bahwa: Tiada suatu
perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam
undang-undang yang ada terdahulu dari pada perbuatan itu maka jelas bahwa
perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana adat tersebut tidak dapat
dipidana. Berdasarkan pasal 294 ayat (1) KUHP, kecuali kemungkinannya bagi
perbuatan yang dilakukan terhadap orang- orang yang belum dewasa.
Menyadari akan tuntutan rasa keadilan seluruh masyarakat maka
untuk memenuhi hal itu, oleh pemerintah diciptakanlah Undang-Undang
Darurat No.1 tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk
Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan Antara Pengadilan-
Pengadilan Sipil. Di dalam UU Darurat No.1 tahun 1951 inilah diatur
mengenai berlakunya hukum pidana adat.

Ketentuan mengenai berlakunya bukum pidana adat didalam


undang-undang tersebut diatur melalui pasal 5 ayat (3) sub b, yang antara
lain menyatakan : Bahwa suatu perbuatan yang menurut bukum yang hidup
barus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab
Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak
Iebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai
hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti
oleh pihak terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan
oleh hakim dengan besar kesalahan si terhukum; bahwa bilamana hukuman
adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran hakim melampaui padanya dengan
hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan
terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi sepuluh tahun
penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham
hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti
tersebut di atas, dan bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang
hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam
Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang
sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan
pidana itu. Dari ketentuan pasal 5 ayat (3) sub b tersebut, ada tiga macam
penghukuman bagi suatu perbuatan yang melanggar hukum pidana adat.
Yang pertama yaitu apabila suatu perbuatan pidana tidak terdapat
bandingnya atau pidanannya di dalam KUHP, pelanggaran adat itu dilakukan
dengan hukuman penjara paling lama tiga bulan dan atau denda lima ratus
rupiah (besarnya uang denda disesuaikan dengan nilai berlakunya mata
uang saat perbuatan pidana itu terjadi). Hukuman tersebut dimaksudkan
sebagai pengganti apabila hukuman adat tidak dapat dilaksanakan, dan
hukuman pengganti itu berdasarkan pertimbangan hakim dirasakan sesuai
dengan beratnya kesalahan yang telah dilakukan oleh yang dihukum. Bentuk
hukuman yang kedua yaitu penjara sepuluh tahun dapat dijatuhkan
terhadap yang dihukum. Apabila hukuman adat yang seharusnya dijatuhkan
itu adalah lebih tinggi atau lebih berat daripada hukuman pengganti atau
denda sebagaimana yang ditetapkan pada bentuk pertama tersebut.
Sedangkan bentuk hukuman ketiga yaitu sesuai dengan hukuman
sebagaimana ditetapkan oleh KUHP dalam hal perbuatan pidana itu
mempunyai 'banding atau pidana' didalam KUHP. Dengan demikian,
perbuatan pidana tersebut bukan lagi dianggap sebagai pelanggaran
terhadap hukum pidana adat, melainkan sudah harus dianggap sebagai
pelanggaran terhadap ketentuan didalam KUHP.

Dalam RUU KUHP, asas legalitas yang tetap merupakan salah satu
sendi hukum pidana Indonesia, ditafsirkan meliputi pula hukum pidana adat
(tindak pidana adat).17Dalam RUU KUHP, diakuinya tindak pidana adat
(dengan tetap memasukan unsur kesalahan18 sebagai persyaratan dalam
memidana pelaku), yaitu dengan dicantumkannya “pemenuhan kewajiban
adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat” sebagai pidana tambahan. Dalam hal ini, hakim dapat
menetapkan kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat yang

17
Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, (Jakarta: Komisi Hukum
Nasional (KHN), 2009), hlm. 35.
18
Muladi dan Barda Nawawi, ”Asas kesalahan menghendaki agar hanya orang yang benar-
benar bersalah sajalah yang dapat dikenakan pidana”, Dikutip dari Teori-Teori dan Kebijakan
Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 127.
harus dilakukan terpidana, jika keadaan menghendaki untuk memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.Tujuan
pemidanaan bukan semata-mata menghukum pelaku, tetapi juga
mendatangkan rasa damai dan memulihkan keseimbangan dalam
masyarakat.

“Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut


hukum yang hidup dalam masyarakat,” terkait pula dengan adanya
perluasan asas legalitas dalam RUU KUHP. Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP
menentukan konsep yang berbeda dari adagium nullum delictum nulla
poena sine praevia lege. Ayat (3) menentukan bahwa ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum
yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan
perundang undangan.

Selanjutnya ayat (4) menentukan bahwa berlakunya hukum yang


hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sepanjang
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum
yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Adanya ketentuan Pasal 1 ayat
(3) dan ayat (4) RUU KUHP tersebut maka seseorang dapat dituntut dan
dipidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat meskipun
perbuatan tersebut tidak dilarang dalam perundangundangan. Penjelasan
Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menyebutkan: suatu kenyataan bahwa dalam
beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum
yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai
hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan
hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat.

Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya


hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas
dalam Kitab Undang undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini
merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut
untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat
tertentu. Menurut Basir Rohrohmana, hukum yang hidup dalam masyarakat
(the Living Law) adalah hukum yang sebagian terbesar tidak tertulis yang ada
dan berlaku dalam persekutuan masyarakat tertentu, hukum tersebut
ditaati dan dijadikan patokan berperilaku dalam menjalin hubungan sesama
warga masyarakat (anggota masyarakat dari persekutuan hukum). Di
samping itu hukum yang hidup dalam masyarakat senantiasa menjaga tiga
relasi utama yaitu relasi sesama manusia (warga/anggota masyarakat), relasi
manusia dengan alamnya, dan relasi manusia dengan Tuhan Maha Pencipta.
Sedangkan menurut Muhammad Ikhsan, hukum yang hidup dalam
masyarakat atau living law adalah fenomena sosial yang berkembang yang
terformulasi dalam kaidah hukum dan rasa keadilan masyarakat yang
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan keberadaannya diterima di
masyarakat, kebiasaan yang timbul diikuti serta ditaati, secara terus
menerus dan turun temurun oleh masyarakat serta secara
berkesinambungan hadir dalam kehidupan masyarakat tersebut.

Adanya ketentuan bahwa pemberlakuan reaksi adat adalah dengan


tetap mengindahkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka pemberlakuan hukum adat tidak boleh bertentangan dengan
hukum positif (hukum negara) atau hukum yang berlaku. Dengan demikian,
apabila tindak pidana adat terdapat padanannya dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku maka pelanggaran atas perbuatan atau
tindak pidana tersebut akan dikenakan sanksi pidana berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku tersebut. Menurut Muhammad Ikhsan,
jika semangat hukum adat akan diakomodir dalam pembangunan hukum ke
depan, maka hakim yang mengadili adalah hakim yang berlatarbelakang
ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam. Muhammad Ikhsan
mengilustrasikan bahwa dengan kondisi saat ini di mana mestinya hakim
pada waktu menempuh pendidikan S1 ilmu hukum telah belajar banyak hal
tentang pengetahuan yang berhubungan dengan kondisi riil masyarakat
seperti sosiologi hukum dan anthropologi. Oleh karena itu, seharusnya
hakim bijak dalam memutus segala hal dengan berdasarkan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Muhammad Ikhsan menyatakan bahwa,
sanksi pidana tambahan dalam RUU KUHP harus memuat pidana
pemenuhan kewajiban adat sebagai upaya mengembalikan keseimbangan
kosmis yang terganggu karena perilaku melanggar aturan adat. Oleh karena
itu, semangat pembaharuan hukum adat tersebut untuk mengembalikan
kearifan lokal dalam menata masyarakat maka sanksi pidana tambahan yang
berupa pemenuhan kewajiban adat tetap memiliki peluang besar diterima
dengan terbuka oleh masyarakat. Menurut Muhammad Ikhsan, segala
sesuatu tentu memiliki kendala ketika pertama kali diterapkan kembali
setelah sekian lama tenggelam di dasar samudra, kendala tersebut relatif
lebih mudah akan teratasi.

Dalam kaitan asas legalitas dan asas sifat melawan hukum, dengan adanya
perluasan asas legalitas, yaitu dengan mengakui adanya tindak pidana adat,
maka akan terkait pula dengan pembahasan mengenai asas sifat melawan
hukum materiil. Tujuan dari asas legalitas adalah untuk menguatkan asas
kepastian hukum yaitu dengan hanya memperhatikan ketentuan tertulis. Namun
demikian, asas keadilan juga harus menjadi perhatian, yaitu dengan adanya nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, meskipun unsur-unsur
aturan tertulis telah dipenuhi oleh perbuatan yang bersangkutan, asas sifat
melawan hukum materiil dapat merupakan alasan penghapus pidana. Dalam hal
tindak pidana adat, maka apa yang terjadi adalah bahwa hakim tidak
mempergunakan asas legalitas dan menerima adanya sifat melawan hukum
(celaan kuat oleh masyarakat hukum adat) untuk memidana seorang pelaku. Jadi
dengan demikian, asas sifat melawan hukum materiil tidak dipergunakan sebagai
alasan penghapus pidana.19
Baik Basir maupun Muhammad Ikhsan menyatakan, bahwa
pemenuhan kewajiban adat akan memenuhi prinsip restorative justice
sepanjang ada keterlibatan korban secara langsung mengajukan tuntutan
kepada pelaku, dan sepanjang ada mekanisme yang diciptakan bagi
pengakuan kesalahan dari pelaku dan kesediaan pelaku untuk menebus
kesalahannya itu terhadap korban. Dari sisi kemasyarakatannya, restorative
justice sebetulnya harus diberi ruang sebagai forum tanggung jawab
bersama untuk menyelesaikan perkara pidana secara adil dan
memperhatikan kepentingan semua pihak baik pelaku, korban, maupun
masyarakat.

19
Mardjono Reksodiputro, Menyelaraskan Pembaruan Hukum, (Jakarta: Komisi Hukum
Nasional RI, 2009), hlm. 87.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hukum pidana sudah sepatutnya mencerminkan nilai-nilai yang ada


pada masyarakat, agar dapat diterapkan dan diterima oleh masyarakat.
Hukum pidana adat penting sebagai sumber pembaharuan hukum pidana di
Indonesia, karena pada dasarnya hukum pidana berfungsi untuk melindungi
dan sekaligus untuk memelihara masyarakat berupa kehidupannya,
kepentingannya, serta hak dan kewajibannya dari orang-orang yang hendak
memperkosa hukum pidana itu sendiri sehingga berimbas pada masyarakat
yang tentunya akan sangat merugikan, dampak yang dapat terjadi pun dapat
memakan waktu yang berkepanjangan. Sehingga dapat diketahui bahwa
hukum pidana itu dibuat untuk keberpihakan pada masyarakat, maka nilai-
nilai yang dikandungnya harus berupa nilai yang ada pada masyarakat.

Pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut


hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pidana tambahan memenuhi
prinsip restorative justice. Sebagaimana restorative justice, maka
pemenuhan kewajiban adat akan melibatkan pelaku, korban, dan
masyarakat dalam upaya mengembalikan keseimbangan yang yang
terganggu akibat dilanggarnya suatu kepentingan hukum di masyarakat.
Meskipun RUU KUHP mencantumkan adanya pidana pemenuhan kewajiban
adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagai pidana tambahan, namun RUU KUHP telah memberi
batasan bahwa berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak
asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh
masyarakat bangsa-bangsa. Oleh karena itu menggali hukum yang hidup
tidak berarti mengangkat begitu saja hukum pidana adat sebagai sumber
hukum. Hal yang perlu dilakukan adalah menggali berbagai kesamaan asas-
asas dan norma-norma hukum pidana yang terkandung di dalam hukum
yang hidup.

Saran
Dalam melakukan pembaharuan hukum pidana baiknya dilakukan
kajian matang mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat dalam bidang
hukum pidana. Hal ini guna menganalisis bagaimana karakter hukum pidana
adat yang ada pada tiap suku di Indonesia, menggabungkannya menjadi satu
dengan batasan-batasan tertentu, sehingga dalam perumusan hukum pidana
pun dapat diterima oleh masyarakat, khususnya masyarakat adat. Dalam
perumusan, pembuatan, ataupun pembaharuan hukum pidana sebaiknya
diselaraskan dengan hukum pidana adat. Untuk memberi kepastian hukum
maka hukum pidana adat dapat dirumuskan dalam bentuk tertulis.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Chairul. 1997. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat


Minangkabau. Jakarta: Rineka Cipta.

Bemmelen, Van. 1979. Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum.
Bandung : Bina Cipta.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung:


Mandar Maju.

Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler. Jakarta: Pustaka Alpabet.

Muhammad, Bushar. 1975. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta:


Pradnya Paramita.

Muladi; dan Barda Nawawi. 1998. ”Asas kesalahan menghendaki agar hanya
orang yang benar-benar bersalah sajalah yang dapat dikenakan pidana.”
Dikutip dari Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.

Mulyatno. 1983. Asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksan.

Reksodiputro, Mardjono. 2009. Menyelaraskan Pembaruan Hukum. Jakarta:


Komisi Hukum Nasional (KHN).

Santoso, Topo. 1990. Pluralisme Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: PT. Ersesco.

Setyadi, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan.
Bandung: Alfabeta.

Sudarto. 2009. Hukum Pidana I EdisI Revisi. Semarang: Yayasan Sudarto.

Sudiyat, Iman. 1982. Asas-Asas Hukum Adat Bekal Pengantar. Yogyakarta:


Liberty.

Sulaeman, Eman. 2008. “Delik Perzinaan”. Jurnal Walisongo Pers, Vol. 6 No. 1.
Sulaeman, Eman. 2008. Delik Perzinaan. Yogyakarta: Walisongo Pers.

Supusesa, Reimon. 2012. “Eksistensi Hukum Delik Adat Dalam Perspektif


Pembaharuan Hukum Pidana di Maluku Tengah”. Mimbar Hukum, Vol. 24,
No. 1.

Utrecht, E. 1958. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Surabaya: Pusata Tint
Mas.

Anda mungkin juga menyukai