Anda di halaman 1dari 6

PEMBENTUKAN ATURAN DAN KEBIASAAN MENJADI HUKUM

Oleh:

Risna Anggita Putri (1143020162), Rizki Rafiko Martin (1143020164), Yunus


Alamsyah (1143020210)

Abstrak

Hukum sebagai serangkaian aturan yang mengatur tingkah laku atau tindakan
manusia dalam masyarakat yang berisikan perintah dan larangan untuk melakukan
sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Kebiasaan sebagai sumber hukum tidak
tertulis merupakan hasil dari penerimaan masyarakat terhadap sebuah perbuatan
yang dilakukan secara berulang-ulang yang pada akhirnya akan menimbulkan
anggapan apabila dilanggar maka akan menimbulkan kekacauan.

Kata Kunci: Hukum, Aturan, Kebiasaan, Sumber Hukum Tidak Tertulis.

A. Pengertian
1. Pengertian Hukum
Hukum sebagai serangkaian aturan yang mengatur tingkah laku atau
tindakan manusia dalam masyarakat yang berisikan perintah dan larangan
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu
2. Pengertian Aturan
Aturan atau norma adalah patokan yang didalamnya terdapat sanksi
untuk mendorong, bahkan menekankan orang perorang secara keseluruhan1.
3. Pengertian Kebiasaan
Kebiasaan merupakan tindakan yang selalu dilakukan dan dipelihara oleh
sekelompok orang. Tindakan tindakan itu dapat berupa ritual dalam rangka

1
Ramdani Wahyu, Ilmu Sosial Dasar, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007), hlm 244.
peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Pelanggaran terhadap suatu
peristiwa penting menimbulkan reaksi masyarakat terhadap si pelanggar2.
Budiyanto menyatakan bahwa kebiasaan adalah perbuatan yang diulang-
ulang terhadap hal yang sama kemudian diterima serta diakui oleh
masyarakat3.

B. Aturan dan Kebiasaan Sebagai Suatu Sumber Hukum


Dalam mengemukakan perlunya aturan, Hart berpangkal pada pandangan bahwa
manusia dalam hidup bermasyarakat melakukan kelaziman-kelaziman tertentu.
Kelaziman itu kemudian di-generalisasi. Berdasarkan generalisasi tersebut bahwa
sepanjang dianggap baik, ada aturan-aturan tingkah laku yang harus diadopsi oleh
organisasi social apabila ingin bertahan.4
Kebiasaan merupakan sumber hukum yang ada di dalam kehidupan sosial
masyarakat dan dipatuhi sebagai nilai-nilai hidup yang positif. kebiasaan ialah
perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang tetap, dilakukan berulang-ulang
dalam rangkaian perbuatan yang sama dalam waktu yang lama. Kebiasaan yang
diyakini oleh masyarakat jelas akan diterima sebagai hukum yang harus ditaati.
Namun tidak semua kebiasaan itu mengandung hukum yang adil dan mengatur
tata kehidupan masyarakat, sehingga tidak semua kebiasaan itu dapat dijadikan
sumber hukum.
Dalam praktek penyelenggaraan negara, hukum tidak tertulis
disebut konvensi. Dipatuhinya hukum tidak tertulis karena adanya kekosongan
hukum tertulis yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat/negara. Oleha karena itu,
hukum tidak tertulis (kebiasaan) sering digunakan oleh para hakim untuk
memutuskan perkara yang belum pernah diatur di dalam Undang-Undang.

2
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Surabaya: Kencana, 2008), hlm 52
3
Budiyanto, Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm 124
4
H.L.A. Hart. Konsep Hukum,(Bandung: Nusamedia, 2015) hlm 189.
Namun, menurut Pasal 15 Algemene Bepalingen van Wetgeving coor
Indonesie (AB): Kebiasaan tidaklah menimbulkan hukum, hanya kalau undang-
undang menunjuk pada kebiasaan untuk diperlakukan. Jadi, hakim harus
memakai kebiasaan dalam hal undang-undang menunjuk kepada kebiasaan5.
Selain itu, seperti hukum tidak tertulis lainnya, hukum kebiasaan memiliki
beberapa kelemahan diantaranya karena bersifat tidak tertulis, maka tidak dapat
dirumuskan secara jelas dan pada umumnya sukar menggantinya dan hukum
kebiasaan tidak menjamin kepastian hukum dan sering menyulitkan beracara
karena hukum kebiasaan mempunyai sifat aneka ragam6.

C. Pembentukan Aturan Dan Kebiasaan Menjadi Hukum


Beberapa kebiasaan oleh masyarakat ada yang dianggap penting dan ada
yang tidak. Kebiasaan-kebiasaan yang berulang-ulang itu akhirnya dianggap
sebagai norma dalam masyarakat, terutama kebiasaan yang menyangkut hal-hal
yang harus dilakukan karena penting untuk kesejahteraan masyarakat. Ketaatan
terkadap sejumlah norma itu menjadikan keteraturan berada ditengah masyarakat
dan sebaliknya jika norma itu tidak ditaati maka akan timbul kekacauan7.

Namun, tidak semua kebiasaan mengandung hukum yang baik dan adil.
Oleh karena itu, belum tentu suatu kebiasaan itu pasti menjadi sumber hukum.
Hanya kebiasaan-kebiasaan yang baik dan diterima masyarakat yang sesuai
dengan kepribadian masyarakat tersebut yang kemudian dikembangkan menjadi
hukum kebiasaan masyarakat8.

5
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,
2011) hlm 60.
6
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013) hlm 155.
7
Ramdani Wahyu, Op. Cit. hlm. 243.
8
Iskandar, Konsepsi Intelektual Dalam Memahami Ilmu Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Andi
2016) hlm 51.
Menurut Joannes Henricus Paulus Bellefroid seperti dikutip Budiyanto9,
kebiasaan merupakan semua peraturan yang meskipun tidak ditetapkan oleh
pemerintah, tetapi ditaati oleh seluruh rakyat karena mereka yakin bahwa
peraturan itu berlaku sebagai hukum. Agar kebiasaan itu mempunyia kekuatan
dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum, maka ditentukan oleh dua faktor,
yaitu:

1. Adanya perbuatan yang dilakukan berulang kali dalam hal yang sama yang
selalu diikuti dan diterima oleh orang yang lainnya.
2. Adanya keyakinan hukum dari orang-orang atau golongan – golongan yang
berkepentingan. Maksudnya adanya keyakinan bahwa kebiasaan itu memuat
hal-hal yang biak dan pantas ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat

Sudikno Mertokusumo menyebutkan agar suatu kebiasaan dapat dijadikan


sebagai sumber hukum, diperlukan beberapa syarat tertentu, yaitu10:

a. Syarat Materiil
Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang untuk
waktu yang lama (longa et invetarata consuetindo)
b. Syarat Intelektual
Adanya keyakinan hukum (opinion necessitatis) dari masyarakat yang
bersangkutan bahwa itu merupakan kewajiban hukum
c. Syarat Akibat Hukum
Utrecht, menyebutkan bahwa “Hukum kebiasaan ialah kaidah-kaidah yang
biarpun tidak ditentukan oleh badan-badan perundang-undangan, dalam
suasana “werkelijkheid” (kenyataan) ditaati juga, karena orang sanggup

9
Budiyanto, Loc.Cit.
10
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1985), hlm
84
menerima kadiah tersebut dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat
lain yang tidak termasuk lingkungan badan-badan perundang-undangan11.

Meski demikian, alangkah bijaknya jika kebiasaan tidak dijadikan atau


diubah menjadi hukum tertulis. Karena, akan menciderai kekhasannya sebagai
hukum tidak tertulis yang telah berlaku sejak zaman dahulu. Hal ini merujuk pula
pada sejarah bahwa dalam 131 (1) jo ayat 2b I.S. dinyatakan dengan tegas adanya
maksud untuk memberi bentuk tertulis dari hukum perdata yang berlaku bagi
golongan pribumi, dan ayat 6 hanya merupakan aturan peralihan (dari perkataan-
perkataan: “selama dan sepanjang …”) tetapi dalam nyatanya maksud tadi tidak
dilaksanakan, jika dilihat pada keadaan bahwa, setelah aturan tadi puluhan tahbun
berlaku, baru sebagian kecil saja dari hukum perdata yang berlaku bagi golongan
pribumi itu dalam keadaan tertulis dan sebagian besar masih dalam keadaan tidak
tertulis, masih merupakan hukum adat atau kebiasaan12.

DAFTAR PUSTAKA

Budiyanto, 2003. Dasar-Dasar Ilmu Tata Negara. Jakarta: Erlangga.

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil. 2011. Pengantar Ilmu Hukum Indonesia. Jakarta:
Rineka Cipta,

H.L.A. Hart. 2015. Konsep Hukum, Bandung: Nusamedia.

Iskandar. 2016. Konsepsi Intelektual Dalam Memahami Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta:
Andi.

Peter Mahmud Marzuki 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Surabaya: Kencana

11
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: PT Penerbit Universitas, 1966), hlm 120
12
Soedirman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1993), hlm 152
Ramdani Wahyu. 2007. Ilmu Sosial Dasar. Bandung: CV. Pustaka Setia.

Soedirman Kartohadiprodjo. Pengantar Tata Hukum Di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Soeroso. 2013. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Sudikno Mertokusumo 1985. Mengenal Hukum: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Utrecht. 1966. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: PT Penerbit Universitas.

Anda mungkin juga menyukai