Anda di halaman 1dari 27

HADIST TENTANG SESEORANG YANG MEMINTA

JABATAN HAKIM

Dosen Pembimbing : Moh. Irfan S.HI. M.H.

Nama Kelompok :

1. Fitrah Ainun Maghfiroh (05040121122)


2. Havsa Qori‟ Adinda (05040121124)
3. Imro‟atus Sholikhah (05040121125)
4. Inassyuroyyah (05040121126)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA

2022/2023
1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-
nya, penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hadist Tentang
Seseorang Yang Meminta Jabatan Hakim ” ini dapat diselesaikan dengan tepat
waktu. Sholawat serta salam tak lupa tercurahkan kepada junjungan kita yakni
rasulullah muhammad saw karena telah membawa dari zaman kegelapan menuju
zaman yang terang benderang yakni addinul islam. Ucapan terimakasih juga kami
haturkan kepada para anggota kelompok 2 yang sudah berkontribusi menyalurkan
hasil pemikirannya sehingga makalah ini dapat tersusun dengan baik.

Makalah ini ditulis dengan tujuan agar pembaca dapat memahami isi dari
yang telah dituangkan oleh penulis sehingga dapat menambah pemahaman bagi
para pembacanya. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna sehingga kritik serta
saran kami butuhkan agar kedepannya penulis dapat menulis dengan jauh lebih
baik dari sebelumnya. Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.

Surabaya, 1 Oktober 2022

2
Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ 4
BAB I ................................................................................................................................................... 5
PENDAHULUAN ................................................................................................................................ 5
A. Latar Belakang ......................................................................................................................... 5
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................................................... 7
BAB II .................................................................................................................................................. 8
PEMBAHASAN .................................................................................................................................. 8
A. HADITS TENTANG SESEORANG YANG MEMINTA JABATAN HAKIM .................... 8
Hadits pertama : ..................................................................................................................... 8
Hadits kedua : ...................................................................................................................... 13
Hadist Ketiga ....................................................................................................................... 15
Hadits Keempat ................................................................................................................... 16
Hadits Kelima ...................................................................................................................... 21
B. PENDAPAT AHLI HADITS DAN AHLI FIQIH ................................................................. 23
BAB III............................................................................................................................................... 26
PENUTUP .......................................................................................................................................... 26
Kesimpulan ................................................................................................................................. 26
Kritik Hadits ....................................................................................................................................... 26
Daftar Pustaka .................................................................................................................................... 27

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kepemimpinan merupakan salah satu tema besar yang tidak luput dalam kajian ke-Islaman.
Bahkan, isyarat tentang pentingnya kepemimpinan ini telah disebutkan dalam beberapa ayat
Alquran juga hadis nabi. Hal tersebut boleh jadi karena tema kepemimpinan merupakan faktor
cukup dipandang berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat mengingat dampaknya cenderung
sangat besar dan luas. Eksistensi pemimpin dalam Islam adalah perkara wajib, dan ulama telah
menyepakati tentang hal tersebut.1 Keberadaannya sebagai media untuk mengatur segala persoalan
masyarakat, baik dalam dimensi kewenangannya mengatur ranah sosial-masyarakat, maupun dalam
menegakkan hukum-hukum yang disyariatkan. 2 Untuk itu, sangat penting pula bagi umat Islam
untuk memilih pemimpin, tingkat kepentingan memilih pemimpin ini oleh ulama fikih dihukumi
wajib kolektif atau farḍu kifāyah.3
Untuk mendapatkan kursi kepemimpinan sekarang ini dilakukan dengan upaya yang disebut
dengan kampanye. Istilah kampanye secara umum dimaknai sebagai usaha memperkenalkan satu
produk kepada pemilih agar membeli produk tersebut berdasarkan informasi-informasi yang
diterimanya. 4 Dalam makna lain, kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar,
bertahap, terstruktur, dan berkelanjutan yang dilaksanakan dalam rentang waktu tertentu dengan
tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. 5 Dalam kaitan dengan politik dan
kepemimpinan, istilah kampanye biasanya dimaknai sebagai usaha mempengaruhi masyarakat
untuk kemudian memilih tokoh yang diajukan sebagai pemimpin, atau kegiatan peserta pemilu atau

1
Abi al-Hasan al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, (Terj: Khalifurrahman Fath dan
Fathurrahman), (Jakarta: Qisthi Press, 2015), hlm. 9.
2
Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah: Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Cet. 11, (Jakarta: Erlangga,
2008), hlm. 108.
3
Sa‟id Hawwa, al-Islam, (Terj: Abdul Hayyie al-Kattani, dkk), (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), hlm. 478.
4
Muhtar Haboddin, dkk., Ketika Mahasiswa Bicara Pilkada, (Malang: UB Press, 2017), hlm. 74.
5
Alo Liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2011), hlm. 676.

5
pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi,
misi, program dan atau citra diri peserta pemilu.6
Konsep kampanye dewasa ini dilakukan dengan aturan tertentu di bawah pengawasan
langsung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dalam praktiknya, kampanye dilakukan berbagai
cara untuk tujuan memenangkan kandidat masing-masing. Pemasangan baliho, spanduk, bahkan
brosur-brosur dan kartukarti kecil dijadikan sebagai media pemikat masyarakat untuk dapat
memilih kandidat yang diusung. Pelaksanaannya juga cukup beragam, ada yang menggunakan cara-
cara yang sesuai dengan prosedur undang-undang (UU No.7/2017 tentang Pemilu), ada pula
ditemukan cara yang tidak wajar, kampanye hitam (black campaign), bahkan menyentuh
pelanggaran norma hukum.
Perspektif Islam terhadap pemilihan kepemimpinan melalui kampanye agaknya belum
disentuh begitu jauh. Masa kehidupan Rasulullah SAW tidak pernah ada pemilu seperti sekarang ini.
Dengan demikian, secara otomatis tidak ada pula kampanye seperti sekarang. Ini bermakna bahwa
tidak ada rujukan langsung, baik dalam Alquran maupun hadis tentang kampanye dalam Islam
sebagaimana kampanye yang berlangsung hari ini. Hanya saja, kampanye yang diusung dan
digalakkan dewasa ini terkesan bersiggungan dengan upaya meminta jabatan kepemimpinan itu
sendiri. Sebab, pelaku kampanye tidak hanya dari tim pemenangan, melainkan sosok yang diusung
melakukan kampanye langsung pada masyarakat agar memilihnya. Sedangkan dalam Islam ada
larangan seseorang meminta jabatan.7
Dilihat dalam perspektif siyasah al-syar‟iyyah atau politik Islam tentang tata cara pemilihan
kepemimpinan, sebetulnya tidak mengenal adanya kampanye, baik itu dalam bentuk kampanye
yang dilakukan oleh tim pemenangan, maupun kampanye langsung oleh kandidat pemimpin.
Beberapa ahli Islam seperti al-Māwardī dan Abī Ya‟lā al-Ḥanbalī, terang menyebutkan bahwa
sistem pemilihan pemimpin dilakukan dengan adanya peran serta majelis syūrā atau lebih dikenal
dengan ahl ḥallī wa al-„aqḍī. Merekalah yang menentukan siapa saja yang berhak dan dipandang
layak untuk menduduki kursi kepemimpinan.9 Dalam pola yang kedua, juga dibenarkan adanya
pencalonan, hal ini sebagaimana pencalonan yang dilakukan oleh Abū Bakr al-Ṣiddīq terhadap
Umar bin Khaṭṭāb dengan Abū „Ubaidah, meskipun keduanya menolak untuk menjadi khalifah
danakhirnya Abū Bakr al-Ṣiddīq yang menjadi khalifah saat itu.10 Atas dasar itu, konsep dan sistem

6
Tersebut pada Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum.
7
Sa‟id Hawwa, al-Islam..., hlm. 464.
6
kampanye sebagaimana yang berlaku sekarang boleh dikatakan belum disentuh dalam ranah dan
kajian siyasah al-syar‟iyyah klasik.
Berdasarkan uraian di atas, cukup menarik untuk ditelaah lebih jauh bagaimana sikap Islam
atau lebih tepatnya siyasah al-syar‟iyyah tentang praktik kampanye, serta bagaimana pula
singgungannya dengan hadis-hadis larangan meminta jabatan kepemimpinan. Untuk itu, masalah
tersebut dikaji dengan judul: “Hadits Tentang Seseorang yang Meminta Jabatan Hakim”.

B. Rumusan Masalah

Bertolak dari uraian latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa soal yang hendak didalami
dalam penelitian ini, yaitu dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Jelaskan tentang perbedaan hadis seseorang yang meminta jabatan hakim pada beberapa perawi?
2. Jelaskan bagaimana tentang dalam ahli Hadits dan ahli fiqih dari hadits seseorang yang meminta
jabatan hakim?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah :


1. Dapat mengetahui perbedaan hadis seseorang yang meminta jabatan hakim pada beberapa
perawi.
2. Dapat mengetahui tentang dalam ahli hadits dan ahli fiqih dari hadits seseorang yang meminta
jabatan hakim.

7
BAB II
PEMBAHASAN

A. HADITS TENTANG SESEORANG YANG MEMINTA JABATAN HAKIM

Hadits pertama :

‫س ُم َسةَ قَا َل‬


َ ُ‫س ِه قَا َل َح َّدثَىًِ َع ْب ُد ال َّس ْح َم ِه ْبه‬
َ ‫س عَهْ ا ْل َح‬ ُ ُ‫د َح َّدثَىَا ٌُُو‬ِ ‫َح َّدثَىَا أَبُُ َم ْع َمس َح َّدثَىَا َع ْب ُد ا ْل َُا ِز‬
‫أ ُ ْع ِطٍخَ ٍَا‬ ِ ْ ‫سأ َ ْل َل‬
ْ‫اْل َما َزةَ فَإِن‬ َ َ‫سلَّ َم ٌَا َع ْب َد ال َّس ْح َم ِه بْه‬
ْ َ‫س ُم َسةَ ا ح‬ َ ََ ًِ ٍْ َ‫سُ ُل َعل‬ُ ‫ّللاُ َز‬َّ ‫صلَّى‬ ِ َّ ًِ‫ قَا َل ل‬:
َ ‫ّللا‬
ٍْ ‫سأَلَت أ ُ ِع ْىجَ َعلَ ٍْ ٍَا ََإِ َذا َحلَ ْفجَ َعلَى ٌَ ِمٍه فَ َسأَ ٌْجَ َغ‬ْ ‫سأَلَت َُ ِك ْلجَ إِلَ ٍْ ٍَا ََإِنْ أ ُ ْع ِطٍخَ ٍَا عَهْ َغ ٍْ ِس َم‬ْ ‫عَهْ َم‬
‫ث الَّ ِري ٌ َُُ َخ ٍْس ََ َكفِّ ْس عَهْ ٌَ ِمٍىِ َك‬ ِ ْ‫َزٌَا َخ ٍْ ًسا ِم ْى ٍَا فَأ‬
‫زَاي البخازي‬8

Terjemahan “Telah menceritakan kepada kami Abu Ma‟mar telah menceritakan kepada kami
Abdul Waris telah menceritakan kepada kami Yunus dari al-Hasan mengatkan, telah
menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Samurah mengatakan, Rasulullah SAW bersabda
kepadaku: Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika
kamu diberi jabatan dengan meminta, maka kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu diberi
dengan tanpa meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu melakukan suatu sumpah,
lantas kau lihat selainnya lebih baik, maka lakukanlah yang lebih baik dan bayarlah kafarat
sumpahmu.” (HR. Al-Bukhari).

Makna Kosakata

ِ‫إ‬
ََ‫اْل َما َرة‬ = Di temukan dalam surah al-furqan ayat 74 yang berarti “kepemimpinan”, maksudnya
adalah Pemimpin umat, yang pada hal ini di samakan artinya dengan kholifah atau kepala negara
dan pemerintahan.

8
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Riyadh: Bait Afkar al-Dauliyyah Linnasyr, 1998) hlm. 1363.
8
َ‫ = يَ ِمين‬Yang dimaksud disini ialah melanggar sumpah, dosa yang besar, kesalahan Juga memiliki
makna melanggar sumpah dan membatalkannya. Tindakan seseorang membatalkan sumpahnya
dengan melakukan apa yang dia bersumpah untuk meninggalkannya, atau meninggalkan apa yang
dia bersumpah untuk mengerjakannya.

Inti Penjelasan Hadist


Imam al-Bukhari memasukkan riwayat di atas di dalam Shahih-nya, kitab al-ahkam, bab “man
sa‟ala al-imarah wukila ilaiha, nomor hadis 7147. Hadis ini secara kualitas dipandang sahih. Al-
Baqi memaknai lafaz Laa tas‟al al-imaroh yaitu “jangan meminta jabatan”. Menurutnya, larangan
tersebut berlaku karena kepemimpinan di dalam Islam adalah jabatan yang sangat berat. Hanya
segelintir orang saja yang selamat dari tanggung jawab kepemimpinan. Oleh sebab itu, tidak boleh
meminta jabatan. 9Menurut al-Utsaimin, sabda Rasulullah SAW kepada Abdurrahman bin Samurah
terkait: janganlah kamu meminta jabatan, ini berlaku baik jabatan tinggi atau pun jabatan rendah 10.
Yang terpenting adalah jangan pernah meminta jabatan apapun. Pada intinya, pesan hadis di atas
menunjukkan pada larangan meminta jabatan apapun, dari yang paling kecil hingga jabatan yang
paling tinggi.

Biografi Perawi

Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Al Mughirah bin
Bardizbah Al Bukhari Al Ju‟fi . Beliau lahir pada hari Jumat, di Bukhara, Uzbekistan pada tanggal
13 Syawwal tahun 194 H/21 Juli 810 M. Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih
beragama Zoroaster. Tapi orang tuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-
Yaman el-Ja‟fi y. Beliau lebih terkenal dengan
sebutan Imam Bukhari. Imam Bukhari berasal dari keluarga ulama yang saleh. Ayahnya, Ismail,
seorang ulama hadis yang pernah berguru kepada Imam Malik bin Anas, salah seorang pendiri
mazhab fi qih yang empat, dan juga kepada Hammad ibn Zaid.

9
Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, Muttafaqun Alaih Shahih Bukhari Muslim, (Terj. Muh. Suhadi, Anas Habibi, dan
Tony Timur), (Jakarta: Beirut publishing, 2015), hlm. 754.
10
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Shahih al-Bukhari, (t. terj), Jilid 9, (Jakarta: Darus Sunnah, 2009),
hlm.1199.
9
Sewaktu kecil Al Imam Al Bukhari buta kedua matanya. Pada suatu malam ibu beliau
bermimpi melihat Nabi Ibrahim a.s. yang mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah mengembalikan
penglihatan kedua mata putramu karena seringnya engkau berdoa.” Ternyata pada pagi harinya
sang ibu menyaksikan bahwa Allah telah mengembalikan penglihatan kedua mata putranya.
Ketika berusia sepuluh tahun, Al Imam Al Bukhari mulai menuntut ilmu, beliau melakukan
pengembaraan ke Balkh, Naisabur, Rayy, Bagdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Mesir, dan Syam.
Guru-guru beliau banyak sekali jumlahnya. Di antara mereka yang sangat terkenal adalah Abu
„Ashim An-Nabiil, Al Anshari, Makki bin Ibrahim, Ubaidaillah bin Musa, Abu Al-Mughirah,
„Abdan bin „Utsman, „Ali bin Al Hasan bin Syaqiq, Shadaqah bin Al Fadhl, Abdurrahman bin
Hammad Asy-Syu‟aisi, Muhammad bin „Ar‟arah, Hajjaj bin Minhaal, Badal bin Al Muhabbir,
Abdullah bin Raja‟, Khalid bin Makhlad, Thalq bin Ghannaam, Abdurrahman Al Muqri‟, Khallad
bin Yahya, Abdul „Azizi Al Uwaisi, Abu Al Yaman, „Ali bin Al Madini, Ishaq bin Rahawaih,
Nu‟aim bin Hammad, Al Imam Ahmad bin Hanbal, dan sederet imam dan ulama ahlul hadis
lainnya.
Al Imam Al Bukhari sangat terkenal kecerdasannya dan kekuatan hafalannya. Beliau
dikaruniai otak yang sangat cerdas. Pemikirannya tajam dan hafalannya kuat. Kecerdasan dan
Ketajaman pemikirannya serta kekuatan hafalannya sudah terlihat sejak masa kanak-kanak. Ulama
hadis ini mewarisi ketakwaan ayahnya. Minatnya terhadap dunia keilmuan sudah terbentuk sejak
kecil. Ayahnya merupakan tokoh idolanya sekaligus guru pertamanya. Ia harus berpisah dengan
ayahnya tercinta untuk selamanya sejak usia lima tahun.

Imam Bukhari bertekad untuk mengikuti jejak sang ayah. Dalam usia sepuluh tahun sudah banyak
menghafal hadis. Hari-harinya disibukkan dengan belajar hadis. Dalam usia 16 tahun pemuda
Bukhari sudah hafal di luar kepala hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ibn Mubarak al-Waqi. Ia
pun sudah memahami madhab fi qih “ahl al-Ra‟yi.” Beliau pernah berkata, “Saya hafal seratus ribu
hadis sahih, dan saya juga hafal dua ratus ribu hadis yang ti dak sahih.” Pada kesempatan yang lain
beliau berkata, “Setiap hadis yang saya hafal, pasti dapat saya sebutkan sanad (rangkaian perawi-
perawi)-nya.”
Beliau juga pernah ditanya oleh Muhamad bin Abu Hatim Al-Warraaq, “Apakah engkau
hafal sanad dan matan setiap hadis yang engkau masukkan ke dalam kitab yang engkau susun
(maksudnya: kitab Sahih Bukhari)?” Beliau menjawab, ”Semua hadis yang saya masukkan ke
dalam kitab yang saya susun itu sedikit pun tidak ada yang samar bagi saya”.
10
Anugerah Allah kepada Al Imam Al Bukhari berupa reputasi di bidang hadis telah mencapai
puncaknya. Tidak mengherankan jika para ulama dan para imam yang hidup sezaman dengannya
memberikan pujian (rekomendasi) terhadap beliau. Berikut ini adalah sederet pujian (rekomendasi)
termaksud.
Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Saya mendengar Ibrahim bin Khalid Al Marwazi
berkata, “Saya melihat Abu Ammar Al Husein bin Harits memuji Abu Abdillah Al Bukhari, lalu
beliau berkata, “Saya tidak pernah melihat orang seperti dia. Seolah-olah dia diciptakan oleh Allah
hanya untuk hadis.”
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata, “Saya tidak pernah melihat di
kolong langit seseorang yang lebih mengetahui dan lebih kuat hafalannya tentang hadis Rasulullah
saw. dari pada Muhammad bin Ismail (Al Bukhari).” Muhammad bin Abi Hatim berkata, “Saya
mendengar Abu Abdillah (Al Imam Al Bukhari) berkata, “Para sahabat „Amr bin „Ali Al Fallaas
pernah meminta penjelasan kepada saya tentang status (kedudukan) sebuah hadis. Saya katakan
kepada mereka, “Saya ti dak mengetahui status (kedudukan) hadis tersebut.” Mereka jadi gembira
dengan sebab mendengar ucapanku, dan mereka segera bergerak menuju „Amr. Lalu mereka
menceriterakan peristi wa itu kepada „Amr. „Amr berkata kepada mereka, “Hadis yang status
(kedudukannya) tidak diketahui oleh Muhammad bin Ismail bukanlah hadis”.
Al Imam al-Bukhari mempunyai karya besar di bidang hadis yaitu kitab beliau yang diberi
judul Al Jami‟ atau disebut juga Ash-Shahih atau Sahih Al Bukhari. Para ulama menilai bahwa
kitab Sahih Al Bukhari ini merupakan kitab yang paling sahih setelah kitab suci Al-Qur‟an.
Hubungannya dengan kitab tersebut, ada seorang ulama besar ahli fi kih, yaitu Abu Zaid Al
Marwazi menuturkan, “Suatu ketika saya tertidur pada sebuah tempat (dekat Ka‟bah) di antara
Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Di dalam ti dur saya bermimpi melihat Nabi saw. Beliau
berkata kepada saya, “Hai Abu Zaid, sampai kapan engkau mempelajari kitab Asy-Syafi ‟i,
sementara engkau ti dak mempelajari kitabku? Saya berkata, “Wahai Baginda Rasulullah, kitab apa
yang Baginda maksud?” Rasulullah menjawab, “Kitab Jami‟ karya Muhammad bin Ismail.” Karya
Al Imam Al Bukhari yang lain yang terkenal adalah kita At-Tarikh yang berisi tentang hal-ihwal
para sahabat dan tabi‟in serta ucapan-ucapan (pendapat-pendapat) mereka. Di bidang akhlak beliau
menyusun kitab Al Adab Al Mufrad. Dan di bidang akidah beliau menyusun kitab Khalqu Af‟aal Al
Ibaad.
Ketakwaan dan keshalihan Al Imam Al Bukhari merupakan sisi lain yang tak pantas
dilupakan. Berikut ini diketengahkan beberapa pernyataan para ulama tentang ketakwaan dan
11
keshalihan beliau agar dapat dijadikan teladan.
Abu Bakar bin Munir berkata, “Saya mendengar Abu Abdillah Al Bukhari berkata, “Saya
berharap bahwa keti ka saya berjumpa Allah, saya tidak dihisab dalam keadaan menanggung dosa
ghibah (menggunjing orang lain)”.
Abdullah bin Sa‟id bin Ja‟far berkata, “Saya mendengar para ulama di Bashrah mengatakan,
“Tidak pernah kami jumpai di dunia ini orang seperti Muhammad bin Ismail dalam hal ma‟rifah
(keilmuan) dan keshalihan”.
Sulaim berkata, “Saya tidak pernah melihat dengan mata kepala saya sendiri semenjak enam
puluh tahun orang yang lebih dalam pemahamannya tentang ajaran Islam, lebih wara‟ (takwa), dan
lebih zuhud terhadap dunia daripada Muhammad bin Ismail.”
Al Firabri berkata, “Saya bermimpi melihat Nabi saw. di dalam tidur saya.” Beliau bertanya
kepada saya, “Engkau hendak menuju ke mana?” Saya menjawab, “Hendak menuju ke tempat
Muhammad bin Ismail Al Bukhari.” Beliau berkata, “Sampaikan salamku kepadanya!”.
Imam Bukhari pernah ditanya oleh seseorang, “Bagaimana mulanya engkau berkecimpung
dalam bidang hadis ini? Maka beliau mengatakan, saya diilhami untuk menghafal hadis keti ka saya
bersama dengan para penulis hadis. Berapa usiamu pada waktu itu? Dia menjawab 10 tahun, atau
kurang. Saya lalu keluar dari kelompok para penulis itu dan selanjutnya saya selalu menemani ad-
Dakhili dan ulama lainnya. Keti ka saya telah berkecimpung di bidang ini saya telah hafal Ibnul
Mubarak dan Waqi‟. Saya lalu pergi ke Mekah bersama ibu dan saudaraku sesudah selesai berhaji,
saudaraku lalu mengantarkan ibuku pulang, sedangkan saya memperdalam dan mematangkan diri
dalam bidang hadis”.
Imam Bukhari selanjutnya berkelana ke berbagai daerah seperti Nisabur, Bagdad, Bashrah,
Kufah, Mekah, Madinah, Syam dan Mesir untuk mendapatkan hadis dari sejumlah ulama. Beliau
menulis kitabnya yang bernama Tarikh di masjid Nabawi, sejumlah buku yang memuat nama-nama
rijal (Orang).
Imam Bukhari pada waktu kecil pernah mendatangi para ulama yang sedang bersama para
muridnya, karena beliau masih kecil beliau malu memberi salam pada mereka. Suatu ketika beliau
ditanya oleh seorang alim, “Berapa hadis yang sudah kau tulis hari ini? Imam Bukhari menjawab,
“Dua.” Orang-orang yang ada di sekitarnya mentertawakannya. Alim itu pun berkata, “Kalian
jangan menertawakannya, boleh jadi suatu hari kalian akan ditertawakannya”.
Beliau berkata, “Suatu kali saya bersama Ishak ibnu Rahawaih, lalu ada sejumlah temanku
yang berkata kepadaku, alangkah baiknya kalau sekiranya engkau kumpulkan sunnah Nabi saw.
12
dalam sebuah kitab yang singkat. Hal tersebut mengena dalam hati ku, maka saya mulai
mengumpulkannya dalam kitab ini (Kitab Sahih Bukhari).”
Beliau berkata, kitab ini saya pilihkan dari 600 ribu hadis. Beliau juga berkata, tidaklah aku
tulis satu hadis dalam kitab ini kecuali saya wudlu/mandi dan salat dua rekaat. Imam Bukhari
berkata, saya menulis hadis dari 1000 orang alim atau lebih. Tidak ada satu pun hadis yang ada
padaku kecuali kusebutkan isnadnya.
Imam Bukhari adalah ahli hadis yang termasyhur di antara para ahli hadis sejak dulu hingga
kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmizi, An-Nasai, dan Ibnu
Majah. Bahkan dalam kitab-kitab Fiqih dan Hadis, hadis-hadis beliau memiliki derajat yang tinggi.
Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadis (Pemimpin kaum mukmin
dalam hal Ilmu Hadis). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.
Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat
kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus, dan Bagdad. Daerah itu pula
yang telah melahirkan filosof -filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama - ulama
besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah.
Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut
Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sovyet
Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah
yang pemeluk Islamnya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India, dan Cina.

Hadits kedua :

Terjemahan “Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami
13
Ibnu Abu Dzi‟b dari Sa‟id al-Maqburi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, beliau bersabda: kalian
akan rakus terhadap jabatan, padahal jabatan itu akan menjadi penyesalan dihari kiamat, ia adalah
seenak-enak penyusuan dan segetir-getir penyapihan.” (HR. Al-Bukhari)

Makna kosakata

peringatan terhadap beratnya urusan kekuasaan dan juga yang semisal dengannya seperti
kehakiman serta banyaknya konsekuensi dan pertanggung jawabannya di akhirat.

kekuasaan diibaratkan dengan sebaik-baik wanita yang menyusui disebabkan akan mengalirkan
berbagai manfaat harta kekayaan, kedudukan, dan terealisasinya keputusannya. Juga diibaratkan
sebagai seburuk-buruk wanita yang menyapih disebabkan adanya berbagai pertanggungjawabannya
kelak pada hari Kiamat serta penyesalannya.

Inti Penjelasan Hadist


Dalam hadis ini terdapat larangan meminta jabatan. Menurut al- Utsaimin, orang yang meminta
jabatan biasanya tidak akan mampu berbuat adil sehingga kelak akan menyesal di hari kiamat juga
peringatan terhadap beratnya urusan kekuasaan dan juga yang semisal dengannya seperti
kehakiman- serta banyaknya konsekuensi dan pertanggungjawabannya di negerai akhirat, juga
peringatan dari mengejarnya dan berambisi kepadanya. Tetapi ini berlaku pada orang yang masuk
ke dalamnya dengan usaha dan ambisinya sementara dia tidak berkompeten padanya. Berbeda
dengan orang yang ditunjuk dan dia tidak pernah mengejarnya serta dia memiliki kompetensi untuk
itu, maka dia akan dimudahkan padanya, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis yang lain. Di
dalam hadis ini kekuasaan diibaratkan dengan sebaik-baik wanita yang menyusui disebabkan akan
mengalirkan berbagai manfaat harta kekayaan, kedudukan, dan terealisasinya keputusannya. Juga
diibaratkan sebagai seburuk-buruk wanita yang menyapih disebabkan adanya berbagai
pertanggungjawabannya kelak pada hari Kiamat serta penyesalannya.

14
Hadist Ketiga

Terjemahan “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ala, telah


menceritakan kepada kami Abu Usamah dari Buraid dari Abu Burdah dari Abu
Musa ra mengatakan; aku menemui Nabi SAW bersama dua orang kaumku, lantas
satu diantara kedua orang itu mengatakan; Jadikanlah kami pejabat ya Rasulullah?
orang kedua juga mengatakan yang sama. Secara spontan Rasulullah SAW
bersabda; Kami tidak akan memberikan jabatan ini kepada orang yang
memintanya, tidak juga kepada orang yang ambisi terhadap nya. (HR. Al-Bukhari)

Makna Kosakata

‫ = دخلت‬Fi'il mudhari' digunakan untuk menggambarkan perbuatan yang sedang dilakukan atau
perbuatan yang akan dilakukan yang artinya menemui (yang ditemui disini adalah nabi).

15
‫حرص‬ = bermakna ketamakan atau keserakahan ya n g d i m a k s u d a d a l a h

ambisi terhadap orang yang meminta jabatan tersebut .

Inti Penjelasan Hadist


Dalam syarah hadis disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda seperti tersebut di atas lantaran
sebelumnya Rasulullah menegaskan bahwa seorang yang meminta jabatan akan ditelantarkan, jika
ia ditelantarkan dan tidak mendapatkan pertolongan Allah Swt, pasti gagal dalam menjalankan
tugas jabatannya. Karena itu, Rasulullah SAW bersabda: Kami tidak atan memberikan jabatan ini
kepada orang yang memintanya. Di sisi lain, dalam cerita Utsman bin Abu Al-Ash ra, bahwa ia
pernah meminta kepada Rasulullah SAW agar ia dijadikan imam shalat untuk kaumnya, maka
beliau bersabda: Kamu adalah imam mereka? jawab: Urusan-urusan Agama tidak masuk dalam
hadis ini. Yang dimaksud di sini adalah jabatan pemerintahan karena mengandung unsur kekuasaan
dan tanggung jawab yang berbeda dengan urusan-urusan keagamaan.

Hadits Keempat

َ ُِ‫سُِ َح َّدحََْا َع ْث ُد اى َّس ْح ََ ِِ ْت‬


‫س َُ َسجَ قَا َه قَا َه‬ َ ‫ ُس ْتُِ َحا ِش ًٍ َح َّدحَ َْا ا ْى َح‬ٝ‫ٗخ َح َّدحََْا َج ِس‬ َ ‫ثَاُُ ْتُِ فَ ُّس‬ْٞ ‫ش‬
َ ‫َح َّدحََْا‬
ْ ٍَ َِْ‫تَ َٖا ع‬ٞ‫اْل ٍَا َزجَ فَإَِّّ َل إُِْ أ ُ ْع ِط‬
‫سأَىَ ٍح‬ ِ ْ ‫سأ َ ْه‬ْ َ‫ا َع ْث َد اى َّس ْح ََ ِِ ََل ت‬َٝ ٌَ َّ‫سي‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ َٗ ِٔ ْٞ َ‫َّللاُ َعي‬ َّ ‫س٘ ُه‬
َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫ َز‬ِٜ‫ى‬
‫ َح َّدحََْا َخاىِ ُد ْتُِ َع ْث ِد‬َٚٞ‫ ْح‬َٝ ُِ‫ ْت‬َٚٞ‫َ ْح‬ٝ ‫ َٖا ٗ َح َّدحََْا‬ْٞ َ‫سأَىَ ٍح أ ُ ِع ْْتَ َعي‬ْ ٍَ ‫ ِس‬ْٞ ‫تَ َٖا عَِْ َغ‬ٞ‫ َٖا َٗإُِْ أ ُ ْع ِط‬ْٞ َ‫أ ُ ِم ْيتَ إِى‬
ٗ ‫ ٍد ح‬ْٞ ََ ‫ص٘ ٍز َٗ ُح‬ ُ ْْ ٍَ َٗ ‫س‬ َ ُٕ ‫ َح َّدحََْا‬ٛ
َ ُُّ٘ٝ َِْ‫ ٌٌ ع‬ْٞ ‫ش‬ َّ ‫ ْتُِ ُح ْج ٍس اى‬ُّٜ ِ‫ َعي‬َِْٜ‫س ح ٗ َح َّدح‬
ُّ ‫س ْع ِد‬ َ ُُّ٘ٝ َِْ‫َّللاِ ع‬ َّ
ِِ ‫َاً ْت‬
ِ ‫ ٍد َٗ ِٕش‬ْٞ َ‫س ْت ِِ ُعث‬ َ َُُّ٘ٝٗ َ‫َّح‬ٞ‫اك ْت ِِ َع ِط‬
ِ ََ ‫س‬ ُّ ‫َح َّدحََْا أَتُ٘ َما ٍِ ٍو ا ْى َج ْح َد ِز‬
ِ َِْ‫ ٍد ع‬ْٝ ‫ َح َّدحََْا َح ََّا ُد ْتُِ َش‬ٛ
ِ ٝ‫سيَّ ٌَ ِت َِ ْخ ِو َح ِد‬
‫ج‬ َّ َّٚ‫صي‬
َ َٗ ِٔ ْٞ َ‫َّللاُ َعي‬ َ ِّٜ ِ‫س َُ َسجَ عَِْ اىَّْث‬
َ ِِ ‫س ِِ عَِْ َع ْث ِد اى َّس ْح ََ ِِ ْت‬ َ ‫ساَُ ُميُُّٖ ٌْ عَِْ ا ْى َح‬ َّ ‫َح‬
‫ ٍس‬ٝ‫َج ِس‬

Terjemahan : Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Faruh telah menceritakan kepada kami

16
Jarir bin Hazim telah menceritakan kepada kami Al Hasan telah menceritakan kepada kami
Abdurrahman bin Samurah dia berkata, Rasulullah SAW bersabda kepadaku: Wahai Abdurrahman,
janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan karena permintaan maka tanggung
jawabnya akan dibebannya kepadamu. Namun jika kamu diangkat tanpa permintaan, maka kamu
akan diberi pertolongan. Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya telah menceritakan
kepada kami Khalid bin Abdullah dari Yunus. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan
kepadaku „Ali bin Khujr al-Sa‟di telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Yunus dan
Manshur dan Khumaid. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Abu Kamil
Al Jahdari telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Simak bin 'Athiah dan Yunus
bin 'Ubaid dan Hisyam bin Hassan mereka semua dari Al Hasan dari Abdurrahman bin Sumarah
11
dari Nabi SAW seperti hadits Jarir. (HR. Muslim).

Makna Kosakata

‫تٖا‬ٞ‫اعط‬
Bermakna “memberi” yang dimaksud memberi di sini ialah janganlah kalian (orang-orang muslim)
memberikan jabatan kepada seseorang yang meminta jabatan.

‫أعْت‬
Bermakna “tolong” yang dimaksud disini adalah bagi seseorang yang tidak meminta jabatan hakim
(supaya dia menjadi hakim) maka dia kelak masih mendapat pertolongan di akhirat.

Inti Penjelasan Hadits


Imam al-Nawawi menyebutkan bahwa hadis tersebut memiliki faidah yaitu
dibencinya meminta kekuasaan, seperti kekuasaan imarah (kepemimpinan), jabatan
qadha (kehakiman), jabatan dalam hisbah (atau jabatan kepolisian), lain sebagainya.
Di antara petunjuk makna hadis lainnya ialah jika seseorang meminta jabatan, maka
tidak ada pertolongan Allah di dalamnya. dikemukakan oleh Muhammad al-Amin.

11
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Riyadh: Dar al-Salam, 2000), hlm. 818.
17
Menurutnya, lafaz hadis yang menyebutkan:

“‫قال لً زسُل ّللا صلى ّللا علًٍ َ سلم ٌا عبد السحمه ال حسال‬

maknanya ialah jangan meminta kekuasaan (al-wilayah)”.

Biografi Perawi

Imam Muslim dilahirkan di Naisabur, Iran pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim
bernama lengkap Imam Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an
Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu
termasuk dalam sebutan Maa Wara‟a an Nahr, arti nya daerah-daerah yang terletak di sekitar
Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat
pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Bagdad di abad
pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu
dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.
Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadis memang luar biasa. Sejak usia dini,
beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadis. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadis, keti ka
usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman
berfi kir dan ingatan hafalan. Keti ka berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan
berguru pada seorang ahli hadis, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai
menghafal hadis Nabi saw. dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah
menyebutkan periwayatan hadis.
Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak
ulama di berbagai tempat dan negara. Berpetualang menjadi akti vitas ruti n bagi dirinya untuk
mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadis. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam,
Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan
mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadis kepada mereka. Di Khurasan, beliau
berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada
Muhammad bin Mahran dan Abu „Ansan. Di Irak beliau belajar hadis kepada Ahmad bin Hanbal
dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa‟id bin Mansur dan Abu Mas
„Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada „Amr bin sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli
18
hadis lainnya.
Bagi Imam Muslim, Bagdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali
berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadis. Kunjungannya yang terakhir beliau
lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering
mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang
memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadis ketimbang dirinya.
Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada
Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az
Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal
penghimpunan dan periwayatan hadis-hadis Nabi saw.
Imam Muslim dalam kitab sahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadis-
hadis yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan
terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke
dalam Kitab Sahihnya hadis-hadis yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendati pun demikian,
dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.
Imam Muslim yang dikenal sangat tawadhu‟ dan wara‟ dalam ilmu itu telah meriwayatkan
puluhan ribu hadis. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadis pada Universitas
Damaskus, Syria, hadis yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Sahih Muslim, berjumlah
3.030 hadis tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar
10.000 hadis. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadis yang terdapat
dalam karya Muslim tersebut berjumlah 4.000 hadis tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan
pengulangan. Jumlah hadis yang beliau tulis dalam Sahih Muslim itu diambil dan disaring dari
sekitar 300.000 hadis yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadis-hadis tersebut, Imam Muslim
membutuhkan waktu 15 tahun.
Mengenai metode penyusunan hadis, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh,
dan ta‟dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat ti daknya suatu hadis. Beliau juga
menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani
(menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan
kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).
Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadis (sanad, matan, kritik,
dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadis
hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu
19
Quraisy Al Hafi zh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadis terkemuka yang hidup di
masa Abu Quraisy.
Dalam kasanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadis, reputasi Imam
Muslim, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju‟fy atau
lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Hal tersebut sungguh begitu monumental. Sejarah Islam
sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadis, serta karya ilmiahnya
yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah Al-Qur‟an. Dua kitab hadis sahih karya
Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawuf
dalam dunia Islam.
Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad as-Sahih, atau al-Jami‟ as-Sahih, selain
menempati urutan kedua setelah Sahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi kasanah pustaka dunia
Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri
dan mahasiswa.
Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadis merupakan kekuatan tersendiri, dan amat
penti ng bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim
bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa‟nabi dan yang lainnya,
ketika menuju kota Mekah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius,
barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak,
Syria, Hijaz dan Mesir.
Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini,
Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam
Muhaddisin dan dokter hadis,” pintanya, keti ka di sebuah pertemuan antara Bukhari dan
Muslim.Di samping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah,
sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi
bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya sebagaimana
disebut oleh Adz-Dzahabi dengan sebutan muhsin dari Naisabur.
Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah
seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadis dan fuqaha‟ besar, Imam An-Nawawi,
“Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, keti nggian martabat, kecerdasan dan
kepeloporannya dalam dunia hadis.”
Salah satu murid Imam Bukhari yang terkenal akan kecerdasannya ialah Imam Muslim.
Nilai himpunan kedua Imam Hadis ini terletak pada kesahihannya. Al Hajjaj abul Husain al-
20
Khusairi al-Nishapuri, lebih terkenal sebagai Imam Muslim, lahir di Nishapur pada 202 H (817 M).
Dan wafat di Nasarabad, daerah pinggiran Kota Nishapur pada 261 H (875 M).
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Muslim mulai mengumpulkan hadis untuk karyanya
yang mengesankan itu. Ia melakukan perjalanan jauh sampai ke Mesir, Suriah dan Irak. Ia meminta
nasihat beberapa tokoh ulama hadis termasuk Imam Ahmad Ibn Hambal. Sahihnya disusun dari
300.000 hadis. Dalam bukunya yang termasyur, Sahih Muslim, ia menulis kata pembukaan
mengupas secara ilmiah ilmu-ilmu hadis, Kitabnya yang terdiri atas 52 bab mengupas persoalan
hadis-lima tiang agama, perkawinan, perdagangan, jihad, pengorbanan, perilaku dan kebiasaan nabi,
para sahabat dan yang lainnya.

Hadits Kelima

َِْٜ‫س ْع ٍد َح َّدح‬ َ ُِ‫ج ْت‬ ُ ْٞ َّ‫ اىي‬َِْٜ‫ج َح َّدح‬ِ ْٞ َّ‫ة ْتُِ اىي‬ ُ ِٜ‫ أَت‬َِْٜ‫ج َح َّدح‬
ُ ْٞ ‫ش َع‬ ِ ْٞ َّ‫ة ْت ِِ اىي‬ ُ ُِ‫َح َّدحََْا َع ْث ُد ا ْى ََيِ ِل ْت‬
ِ ْٞ ‫ش َع‬
َِْ‫ َسجَ ْاْلَ ْمثَ ِس ع‬ْٞ ‫ عَِْ ا ْت ِِ ُح َج‬ِّٜ ٍِ ‫ض َس‬ ْ ‫ َد ا ْى َح‬ٝ‫َ ِص‬ٝ ِِ ‫ث ْت‬ ٍ ِٞ‫ َحث‬ِٜ‫ ُد ْتُِ أَت‬ٝ‫َ ِص‬ٝ
ِ ‫ة عَِْ َت ْن ِس ْت ِِ َع َْ ٍسٗ عَِْ ا ْى َحا ِز‬
َ‫َا أَتَا َذ ٍّز إَِّّل‬ٝ ‫ حُ ٌَّ قَا َه‬ِٜ‫ ٍَ ْْ ِنث‬َٚ‫َ ِد ِٓ َعي‬ِٞ‫ض َس َب ت‬ ْ َ‫َّللاِ أَ ََل ت‬
َ َ‫ قَا َه ف‬ُِْٜ‫ستَ ْع َِي‬ َّ ‫س٘ َه‬ ُ ‫َا َز‬ٝ ُ‫ َذ ٍّز قَا َه قُ ْيت‬ِٜ‫أَت‬
‫ َٖا‬ِٞ‫ ِٔ ف‬ْٞ َ‫ َعي‬ٛ‫ اىَّ ِر‬َّٙ‫ ََّٗدَا ٍَحٌ إِ ََّل ٍَِْ أَ َخ َرَٕا تِ َحقِّ َٖا َٗأَد‬ٌٛ ‫َا ٍَ ِح ِخ ْص‬ِٞ‫َ ْ٘ ًَ ا ْىق‬ٝ ‫فٌ َٗإَِّّ َٖا أَ ٍَا َّحُ َٗإَِّّ َٖا‬ٞ‫ض ِع‬
َ

Terjemahan : Telah menceritakan kepada kami Abdul Malik bin Syu‟aib bin Laits telah
menceritakan kepadaku bapakku Syu'aib bin Laits telah menceritakan kepadaku Laits bin Sa‟ad
telah menceritakan kepadaku Yazid bin Abu Habib dari Bakr bin Amru dari al-Harits bin Yazid
al Hadhrami dari Ibnu Hujairah Akbar dari Abu Dzar dia berkata, saya berkata: Wahai
Rasulullah tidakkah anda menjadikanku sebagai pegawai (pejabat)? Abu Dzar berkata,
Kemudian beliau menepuk bahuku dengan tangan beliau seraya bersabda: Wahai Abu Dzar,
kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat
ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan haq dan
melaksanakan tugas dengan benar. (HR. Muslim).

Makna Kosakata
21
ْٜ‫تستعَي‬

Maknanya memperkerjakan yang dimaksud disini ialah sahabat berkata pada rasul tidakkah engkau
memperkerjakan atau mengangkat aku sebagai hakim.

‫ف‬ٞ‫ضع‬

Maknanya lemah yang dimaksud ialahb rasul bersabda bahwa sahabat abu dzar ini merupakan
orang yang lemah maka dari itu beliau tidak mengangkatnya menjadi pejabat hakim.

Inti Penjelasan Hadits

Menurut Imam al-Nawawi, hadis di atas juga berhubungan dengan jabatan kekuasaan. Makna hadis
yang menyebutkan ‫ ّٗداٍح‬ٛ‫( خص‬kehinaan dan penyesalan) bermakna yaitu siapa saja yang tidak
mempunyai keahlian untuk itu, atau bisa saja ia ahli akan tetapi justru tidak berlaku adil. 12 Dengan
begitu, maka Allah Swt akan menghinakannya di hari kiamat. Keterangan lainnya disebutkan al-
Qurtubi dikutip oleh al-Amin, bahwa lafaz ‫ف‬ٞ‫ اّل ظع‬sesunggungnya (kamu lemah), bermakna lemah
13
dalam menegakkan tugas-tugas kepemimpinan dalam urusan agama dan dunia.

12
Muhyiddin al-Nawawi, al-Minhaj..., hlm. 1184.
13
Muhammad al-Amin bin Abdullah al-Urmi al-Alawi al-Harari al-Syafi‟i, Syarh...,
Juz‟ 20, hlm. 15.
22
B. PENDAPAT AHLI HADITS DAN AHLI FIQIH

Al Hafizh Ibnu hajar mengatakan bahwa makna dari hadits diatas adalah siapa yang
meminta jabatan dan diberikan kepadanya maka dia tidak akan dibantu dikarenakan ambisinya. Arti
dari itu adalah bahwa meminta apa-apa yang berkaitan dengan hukum adalah makruh, termasuk
didalam imaroh adalah hakim, pengawas dan lainnya. Dan bahwasanya siapa yang berambisi
dengan hal itu tidaklah akan dibantu. Selanjutnya Al Hafizh mengutip hadits Abi
Musa,”Sesungguhnya kami tidaklah mengangkat pemimpin dari orang yang ambisi” karena itu
selanjutnya beliau mengungkapkan kata “pertolongan”. Maka sesungguhnya siapa yang tidak
mendapatkan pertolongan dari Allah didalam amalnya maka amal itu tidaklah cukup oleh karena itu
tidak sepatutnya menyambut permintaannya. Sebagaimana diketahui bahwa kepemimpinan tidaklah
kosong dari kesulitan. Maka barangsiapa yang tidak mendapatkan pertolongan maka ia akan
mendapat kesulitan dan kerugian di dunia dan akherat. Dan barangsiapa yang memiliki akal maka ia
tidaklah bersikeras untuk memintanya akan tetapi jika ia memiliki kemampuan dan diberikan tanpa
memintanya maka sungguh Rasulullah saw menjanjikan pertolongan-Nya dan didalamnya terdapat
keutamaan.
Al Muhallab mengatakan bahwa terdapat penafsiran tentang pertolongan didalam hadits
Bilal bin Mirdas dari Khaitsamah dari Anas,”Barangsiapa yang meminta kepemimpinan dan
meminta bantuan melalui para perantara maka semuanya diserahkan kepadanya (tidak dibantu,
pen). Dan barangsiapa yang tidak menyukai hal itu maka Allah akan turunkan malaikat yang akan
memandunya.” Dikeluarkan oleh Ibnul Mundzir. Selanjutnya al Muhallab mengatakan bahwa
makna “tidak menyukai hal itu” adalah orang itu memganggap bahwa dirinya bukanlah ahlinya
dalam jabatan tersebut karena khawatir dan takut terjatuh didalam perkara-perkara yang diharamkan
dan jika orang itu memegang jabatan maka dia akan ditolong dan diarahkan.
Pada dasarnya barangsiapa yang tawa‟dhu (merendahkan dirinya) dihadapan Allah maka
Allah akan mengangkatnya. Ibnut Tiin mengatakan bahwa itulah makna yang paling dominan.
Sedangkan perkataan Yusuf : “Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir)” (QS. Yusuf : 55) dan
perkataan Sulaiman : “dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan.” (QS. Shaad : 35) mengandung
kemungkinan bahwa maksud diatas semua adalah terhadap selain para Nabi. (Fathul Bari juz XIII
hal 146 – 147)Terhadap perkataan Nabi Yusuf diatas, Sayyid Qutb mengatakan bahwa Yusuf
tidaklah meminta untuk dirinya sendiri, dia melihat bahwa memegang kekuasaan dan meminta
untuk dijadikan sebagai bendaharawan negara merupakan sikap bijaksananya didalam memilih
23
waktu yang mengharuskannya untuk itu, memikul suatu kewajiban yang sulit dan berat,
mengemban beban berat pada waktu-waktu yang sangat sulit. Dia menjadi orang yang bertanggung
jawab dalam memenuhi kebutuhan pangan rakyat seluruhnya demikian pula orang-orang yang ada
di sekitar negerinya selama tujuh tahun tanpa ada tanaman dan binatang ternak. Kedudukan yang
diminta itu bukanlah untuk diri Yusuf sendiri, sesungguhnya memenuhi kebutuhan pangan setiap
rakyatnya yang kelaparan selama tujuh tahun secara terus menerus menjadikan tidak seorang pun
yang mengatakan bahwa jabatan itu adalah keberuntungan baginya.
Sesungguhnya jabatan itu adalah beban berat yang setiap orang lari darinya dikarenakan hal
itu telah dipikul oleh para pemimpin mereka seblumnya sementara kelaparan bisa menjadikannya
kafir. Sungguh masyarakat yang lapar telah tercabik-cabik jasadnya didalam berbagai pemandangan
kekufuran dan kehilangan akal. (Fii Zhilalil Qur‟an juz V hal 2005).Dengan demikian meminta agar
dijadikan pemimpin, pejabat negara, hakim, atau segala bentuk kepemimpinan yang bertanggung
jawab terhadap urusan-urusan manusia baik didalam lingkup publik maupun khusus (terbatas)
termasuk didalamnya untuk menjadi pejabat di sebuah instansi sementara keadaan tidaklah
mengharuskan dirinya untuk memintanya dikarenakan masih banyaknya orang-orang yang lebih
memiliki kemampuan dan kapasitas untuk tugas itu maka hal itu adalah bukti ambisi dan
syahwatnya sehingga tidak diperbolehkan.
Dan hal itu dibolehkan manakala tidak ada lagi orang yang menginginkannya atau tidak ada
yang sanggup mengemban amanah jabatan itu dan dikhawatirkan instansi yang bersangkutan akan
bangkrut atau mengalami kerugian atau para karyawannya terancam kehilangan pekerjaan atau
sejenisnya sehingga keterpaksaanlah yang menuntutnya untuk meminta agar dijadikan pemimpin
atau manager di perusahaan itu dengan tetap meniatkan semua itu karena Allah swt dan untuk
kepentingan bersama bukan kepentingan pribadinya.Sebagaimana yang terjadi pada Nabi Yusuf as
meskipun dia meminta agar dijadikan bendaharawan Negara akan tetapi Allah swt tetap
mengatakan bahwa dia adalah termasuk orang-orang yang ikhlas didalam firman-Nya

‫إِنَّهَُ ِم إنَ ِعبَا ِدن إ‬


ِ َ‫َاَال ُم إخل‬
ََ‫صين‬
Artinya : “Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih (ikhlas).” (QS.
Yusuf : 24) Sehingga orang yang seperti ini layak mendapatkan bantuan dan pertolongannya dari
Allah swt karena bersih dari berbagai ambisi dan syahwat kepemipinan atau kekuasaan.Adapun
seeorang yang bercita-cita untuk menjadi pemimpin atau seorang staf yang bercita-cita untuk
menjadi seorang manager tentunya berbeda dengan seorang yang meminta jabatan
24
kepemimpinan.Cita-cita bisa menjadi harapan manakala orang itu mengikutinya dengan berbagai
usaha dan upaya keras untuk menggapainya. Tentunya bagi seorang muslim semua upaya itu
ditempuhnya dengan cara-cara yang dibenarkan menurut agama bukan dengan cara-cara yang
dilarangnya. Namun cita-cita itu akan hanya menjadi angan-angan manakala orang itu tidak pernah
berusaha dan berupaya untuk menggapainya, sebagaimana ungkapan yang mengatakan,”Siapa yang
berusah keras maka ia akan mendapatkan hasilnya.”

25
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Jabatan adalah amanah yang kebanyakan orang tidak mampu menunaikannya dengan baik
kecuali orang-orang dirahmati dan dibantu oleh Allah swt. Karena itu islam mengharuskan mereka
yang menduduki jabatan (kekuasaan) adalah orang-orang yang mampu dan kuat terhadap berbagai
bujuk rayu setan yang mengajaknya menyalahi janji jabatannya dan menyimpang darinya.Dengan
demikian meminta agar dijadikan pemimpin, pejabat negara, hakim, atau segala bentuk
kepemimpinan yang bertanggung jawab terhadap urusan-urusan manusia baik didalam lingkup
publik maupun khusus (terbatas) termasuk didalamnya untuk menjadi pejabat di sebuah instansi
sementara keadaan tidaklah mengharuskan dirinya untuk memintanya dikarenakan masih
banyaknya orang-orang yang lebih memiliki kemampuan dan kapasitas untuk tugas itu maka hal itu
adalah bukti ambisi dan syahwatnya sehingga tidak diperbolehkan.
Pemimpin dalam perspektif hadis Nabi adalah setiap orang yang diberikan amanah dan
kepercayaan oleh Allah untuk melaksanakan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya dan penuh
tanggung jawab yang kelak akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah swt, sekalipun wilayah
kepemimpinannya hanya lingkup memimpin dirinya sendiri. Seorang muslim tidak meminta jabatan
kepemimpinan, namun harus melalui pencalonan dan diusung oleh dari orang lain. Apabila memang
ingin menduduki sebuah jabatan, maka harus dipastikan mampu mengemban dan memikulnya
secara baik, memutus secara adil dan tidak berlaku zalim.

Kritik Hadits

Larangan meminta jabatan. Jika larangan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam yang mulia ini tidak
dilanggar, maka akan menghasilkan kemaslahatan yang sangat besar, baik bagi yang memimpin
yaitu pejabat itu sendiri maupun yang dipimpin yaitu rakyat. Karena dia akan selalu mendapat
pertolongan dari Rabbul „alamin dalam melaksanakan tugasnya.

26
Daftar Pustaka

Shabrina Salsabila, (2020), Tinjauan Siyasah Al-Syar‟Iyyah Tentang Konsep Kampanye


Pemilu (Analisis Terhadap Hadis Larangan Meminta Jabatan), Fakultas Syari‟Ah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam-Banda Aceh.
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (1998), Riyadh :Bait Afkar al-Dauliyyah Linnasyr.
Imam al-Syaukani, (2009) Tafsir Fathul Qadis, t. terj, Jilid 5, Jakarta: Pustaka Azzam .
Imam Muslim, Shahih Muslim, (2000), Riyadh: Dar al-Salam,
Muhammad Ashubli. (2016), “Perspektif Hukum Islam Terhadap Pencalonan Diri dan
Kampanye Untuk Jabatan Politik”, Jurnal Ilmiah Syari‟ah, Vol.15, Nomor 1, Januari-Juni 2016.
Muhyiddin al-Nawawi, Riyadhus Shalihin, (2015), (Terj: Solihin), (Jakarta: Pustaka al-
Kautsar) hlm. 438.
Muhammad Fu‟ad Abd al-Baqi, Muttafaqun Alaih Shahih Bukhari Muslim, (2015),
Terj.Muh. Suhadi, Anas Habibi, dan Tony Timur, (Jakarta: Beirut Publishing, hlm. 754.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah Shahih al-Bukhari, (2009), (t. terj), Jilid 9,
(Jakarta: Darus Sunnah), hlm. 1199.
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Syarah..., Jilid 9, hlm. 1203.
Imam Muslim, Shahih Muslim,(2000), Riyadh: Dar al-Salam, hlm. 818.
Muhyiddin al-Nawawi, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim bin Hajjaj: Syarh al- Nawawi „ala
Muslim, (2000), Riyad: Bait al-Afkar al-Dawliyyah, hlm. 1052.
Muhammad al-Amin bin Abdullah al-Urmi al-Alawi al-Harari al-Syafi‟i, Syarh Shahih
Muslim: al-Kawkabal Wahhaj wa al-Rawdal Bahhaj fi Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj,
(2009), Juz‟ 20, Jeddah: Dar al-Minhaj, hlm. 7.
Imam Muslim, Shahih...., hlm. 819

27

Anda mungkin juga menyukai