Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembicaraan tentang hukum adat (termasuk hukum pidana adat) erat kaitannya dengan
kondisi kekinian hukum yang berlaku di Indonesia (ius constitutum) yang memperlihatkan
adanya keanekaragaman hukum (legal pluralism). Pluralisme hukum dapat dipahami
sebagai adanya lebih dari satu sistem hukum yang secara bersama-sama berada dalam
lapangan sosial yang sama. Dalam area pluralisme hukum itu, pada satu sisi terdapat
hukum Negara (hukum perundang-undangan), dan pada sisi lain hukum rakyat yang tidak
tertulis (di antaranya adalah hukum adat) masih tetap hidup dan berkembang seirama
dengan perkembangan masyarakat adat itu sendiri.
Melalui pandangan pluralisme hukum, persoalan selanjutnya adalah, bagaimana hukum
yang beraneka ragam itu secara bersama-sama mampu mengatur atau menyelesaikan suatu
perkara yang terjadi. Artinya, apabila dalam suatu perkara yang berada dalam ruang
lingkup hukum perundang-undangan, namun terdapat segi-segi yang mengandung dimensi
hukum adat di dalamnya, apakah hukum adat dapat diterapkan.
Dalam konteks hukum pidana, bagi kebanyakan sarjana hukum, kenyataan tentang adanya
hukum pidana adat di samping hukum pidana perundang-undangan agaknya masih sulit
diterima untuk diterapkan dalam praktik peradilan pidana. Keberadaan prinsip dasar berupa
asas legalitas cenderung diargumentasikan sebagai “benteng yang sangat kuat” untuk
menafikan keberadaan hukum pidana lain selain hukum pidana perundang-undangan.
Terkait dengan kenyataan itu, yang menjadi fokus perhatian tulisan ini adalah, bagaimana
sistem hukum pidana Indonesia memposisikan hukum pidana adat dalam perundang-
undangan, sehingga terdapat dasar hukum bagi peradilan pidana untuk menerapkan
ketentuan hukum pidana adat terhadap perkara-perkara pidana adat (delik adat). Di
samping itu, menjadi penting pula untuk didiskusikan kemungkinan atau peluang untuk
menyelesaikan perkara-perkara pidana adat melalui penyelesaian secara adat (seperti
penyelesaian kasus tindak pidana korupsi di Yogyakarta).
B. Rumusan Masalah
Kami menyusun rumusan masalah yang akan diurai dalam penelitian ini, meliputi:

1. Bagaimana Eksistensi Hukum Pidana Adat dalam Hukum Pidana Nasional?


2. Bagaimana Penerapan Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Korupsi di
Yogyakarta?

C. Tujuan
Tujuan dilakukannya penulisan makalah ini meliputi:
1. Untuk mengetahui bagaimana eksistensi hukum pidana adat dalam hukum
pidana nasional
2. Untuk mengetahui bagaimana penerapan hukum adat terhadap tindak pidana
korupsi khususnya di daerah Yogyakarta

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Adat, Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan (Customary Law).


1. Adat
Dalam beberapa literatur, terminology adat ditengarai berasal dari kata Adah yang
dalam Bahasa Arab merujuk pada ragam perbuatan yang dilakukan secara berulang-
uang.1 Ragam perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang tersebut kemudian yang
menjadikan peristilahan Adat yang sering diasosiasikan dengan kebiasaan. Maka adat
kemudian diartikan sebagai perilaku masyarakat yang bersifat ajeg, selalu dikerjakan
atau perilaku masyarakat yang selalu dilakukan atau dengan kata lain bahwa kebiasaan
adalah perilaku masyarakat (anggota-anggota masyarakat secara Bersama-sama) yang
ajeg atau yang selalu dikerjakan, dan oleh karena itu bersifat wajib.2
I Gede AB Wiranata memberikan penegasan makna yang lebih atas pengertian
adat. Menruutnya adat diartikan sebagai kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat
telah terbentuk, baik sebelum maupun sesudah adanya masyarakat.
2. Hukum Adat
Sebagaimana halnya dengan Adat, kata Hukum juga berasal dari Bahasa Arab
hukm, bentuk jamaknya ahkam yang berarti perintah, suruhan atau ketentuan. Cristian
Snouck Hurgronje adalah ahli hukum yang mengenalkan istilah hukum adat
(Adatrecht). Hurgronje menggunakan istilah hukum adat pertama kalinya dalam buku
De Acher’s (Orang-orang Aceh) tahun 1894. Istilah hukum adat digunakannya untuk
menyebut sistem pengendalian sosial (social control) yang bersanksi (disebut hukum
adat), yang dibedakan dengan istilah adat sebagai sistem pengendali sosial lain yang
tidak memiliki sanksi3
3. Hukum Kebiasaan (Costumary Law)
Penyamaan hukum adat dan hukum kebiasaan ini tidak dapat diterima semua pihak.
Salah satu tokoh yang berkeberatan berkaitan hal tersebut adalah Van Dijk.

“Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht menjadi hukum kebiasaan untuk


menggantikan hukum adat, oleh karena yang dimaksud dengan hukum kebiasaan
adalah “kompleks peraturan-peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan”, artinya
karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkahlaku menurut suatu cara tertentu
sehingga timbullah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga yang diinginkan
masyarakat, sedang apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu
berasal, hampir senantiasa akan ditemukan suatu alat perlengkapan masyarakat tertentu
dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya.”Black’s law Dictionary,
mengartikan customary law (hukum kebiasaan) sebagai berikut:4
 Law consisting of customs that are accepted as legal requirement or obligatory
rules of conduct.

1
I Gede AB Wiranata. Hukum Adat Indonesia, Perkembangnya dari Masa ke Masa. Bandung. Citra Aditya Bakti.
2005. Hlm. 3.
2
Dominikus Rato. Pengantar Hukum Adat. Yogyakarta. LaksBang Pressindo. 2009. Hlm 5.
3
I Gede AB Wiranata. Hukum Adat Indonesia, Perkembangnya dari Masa ke Masa. Bandung. Citra Aditya Bakti.
2005. Hlm.9.
4
Bryan A Garner.Black’s Law Dictionary.ST.Paul Minn. 1999 (seventh edition). P.391.
 Practice and beliefs that are so vital and intrinsic a part of a sosial and economic
system that they are treated as if they were laws.

Berdasarkan uraian di atas, pada dasarnya customer law adalah hukum yang
bersumber dari kebiasaan yang kemudian diterima sebagai kebutuhan hukum atau
kewajiban dalam bertingkah laku. Jadi senada dengan Van Dijk ,Customary law
memberikan penekanan yang lebih pada kebiasaan yang berulang sehingga menjadi
sebuah hukum,sementar pada hukum adat meskipun terdapat unsur kebiasaan namun
berpangkal pada suatu pranata masyarakat yang memiliki otoritas untuk menetapkan
sebuah hukum.

Meskipun demikian hukum adat sering diterjemahkan menjadi customer law dan
banyak penulis secara sederhana menyamakannya namun perbedaan mendasar antara
keduanya perlu diketahui.Sebagaimana Roelof H Haveman yang menggunakan istilah
customer law untuk menerjemahkan hukum adat, namun lebih lanjut Haveman
menjelaskan perbedaan keduanya.Dalam bukunya ia menuliskan : Adat law is customer
law.More specifically:adat law is a type of customer law.Jadi meskipun Haveman
menyatakan hukum adat adalah salah satu jenis hukum kebiasaan/customer law.

Penjelasan tersebut selaras dengan pendapat Van Vollenhoven.Menurut Van


Vollenhoven, hukum adat adalah hal lain dari pada hukum kebiasaan (gewoontenrecht)
karena termasuk sebagai sumber-sumbernya adalah peraturan-peraturan desa ,
peraturan – peraturan dari raja bumi putra, dan peraturan-peraturan fiqh.5

B. Hukum Pidana Adat


Hukum Pidana Adat atau hukum pidana yang tidak tertulis dalam bahas Belanda
dikenal sebagai ongeschreven strafrecht. 6 Menurut Seorojo Wignjodipuro diantara
bidang hukum adat, hukum pidana adat adalah bidang hukum adat yang eksistensinya
terdesak oleh keberadaan hukum kolonial.7 Seopomo kemudian menjelaskan lebih lanjut
bahwa hukum adat tidak memisahkan antara pelanggaran (perkosaan) hukum yang
mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam lapangan hukum pidana (di
muka hakim pidana) dan pelanggaran hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan hukum
perdata (di muka hakim perdata).8 Penjelasan Seopomo tersebut memberikan pemahaman
bahwa sebenarnya terminology hukum pidana dan hukum perdata di dalam hukum adat
pada dasarnya tidak dikenal.
Sebagaimana diketahui, dalam Seminar Hukum Nasional I Tahun 1963,
direkomendasikan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin

5
Gust I Ketut Sutha.Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat. Yogyakarta. Liberty. 1987. Hlm.11.
6
E. Utrecht. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana 1. Surabaya. Pustaka Tinta Mas. 1994. Hlm.7.
7
Soerojo Wignjodipuro. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta. Gunung Agung.1982. Hlm. 18.
8
Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta. Pradnya Paramita. 1982. Hlm.110.
diselesaikan. Maka tahun 1964 dibicarakan konsep KUHP yang pertama. Berturut-turut
kemudian ada pula konsep 1971/1972, Konsep 1982/1983 yang kemudian menjadi konsep
1987/1988, Konsep 1991/1992, Konsep 1997/1998, Konsep 2004 sampai dengan
2006/2007. 9 Asas legalitas dalam Konsep KUHP ditempatkan dalam Buku Kesatu
Ketentuan Umum. Sama halnya dengan KUHP, asas legalitas dalam Konsep KUHP juga
dirumuskan dalam pasal 1. Dalam penerapannya, pidana tambahan tersebut (termasuk
point e tentang hukum adat/hukum yang hidup) dapat dijatuhkan. Bersama-sama dengan
pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan dengan pidana
tambahan lainnya. 10Selanjutnya dalam pasal 67 ayat (3), ditegaskan bahwa pemenuhan
kewajiban adat atau hukum yang hidup juga dapat dijatuhkan terhadap korporasi meskipun
tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.

BAB III
PEMBAHASAN
A. Eksistensi Hukum Pidana Adat dalam Hukum Pidana Nasional
Selama ini dasar hukum untuk menentukan suatu tindak pidana atau bukan
ditentukan secara formal yang dikenal dengan asas legalitas. Dalam konseptelah
mengalami pergeseran, bukan hanya ditentukan secara formal (hukum yang tertulis)
melainkan ditentukan juga secara materiil (hukum tidak tertulis). Kenyataan tersebut
diakui oleh Barda Nawawi Arief, yang menyatakan bahwa "Berbeda dengan perumusan
asas legalitas di dalam KUHP yang sekarang berlaku, konsep memperluas perumusannya
sebagaimana ditegaskan pada pasal 1 ayat (3). Perluasan perumusan asas legalitas inipun
tidak dapat dilepaskan dari usaha mewujudkan dan sekaligus menjamin asas keseimbangan
antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat".11
Dasar pemikiran adanya pergeseran asas legalitas ke arah dasar hukum pidana yang
tidak tertulis atau perluasan asas legalitas secara materiil sebetulnya bukan hal yang baru,
namun hanya melanjutkan dan mengimplementasikan kebijakan/ide yang sudah ada. Dasar
pengakuan tersebut antara lain didasarkan kepada ketentuan-ketentuan sebagaimana telah
diuraikan terdahulu. Secara khusus dapat dilihat pula dari beberapa Resolusi dan laporan
hasil Seminar Hukum Nasional, seperti Resolusi bidang Hukum Pidana Seminar Hukum
Nasional Ke I Tahun 1963, dalam Resolusi Butir IV dinyatakan:

9
Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP
Baru.Jakarta. Kencana Prenada Media. 2008. Hlm. 96.
10
Pasal 67 ayat 2 Konsep KUHP 2006.

11
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy), Tanpa Tahun dan Penerbit.Hlm.25
"Yang dipandang sebagai perbuatan-perbuatan jahat tadi adalah perbuatan-perbuatan yang
dirumuskan unsur-unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lain.
Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan-perbuatan menurut hukum adat yang
hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan
sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa".
Resolusi Butir VIII, berisi "Unsur-unsur Hukum Agama dan Hukum Adat
dijalinkan dalam KUHP".
Berdasarkan Seminar Hukum Nasional IV Tahun 1979, dilaporkan dalam sub B.II
mengenai Sistem Hukum Nasional yang menyatakan bahwa:
a. Sistem Hukum Nasional harus sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum rakyat
Indonesia.
e. ... Hukum Nasional sejauh mungkin diusahakan dalam bentuk tertulis. Disamping itu
hukum yang tidak tertulis tetap merupakan bagian dari hukum Nasional.

Adanya perumusan asas legalitas secara materiil, secara konstitusional pernah pula
dirumuskan dalam Pasal 14 ayat (2) UUDS 1950, yang isinya "Tiada seorang juapun boleh
dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena aturan hukum yang sudah
ada dan berlaku terhadapnya".
Dengan digunakannya kata “aturan hukum” nampak bahwa UUD 1950 bukan
hanya mengakui hukum yang tertulis (UU), melainkan juga hukum yang tidak tertulis.
Dengan adanya beberapa ketentuan tersebut diatas kiranya cukup jelas bahwa dasar
justifikasi untuk menentukan bahwa suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana bukan
saja karena adanya ketentuan perundang-undangan, melainkan bersumber pula kepada
ketentuan yang berasal dari pengakuan masyarakat (kesadaran hukum masyarakat/ hukum
adat pidana). Apabila dikaitkan dengan pembagian sistem hukum/keluarga hukum (legal
family), maka apa yang diatur dalam pasal 1 konsep merupakan gabungan (mixed) antara
sistem hukum Civil Law dengan sistem hukum Common Law. Hal tersebut diakui juga
oleh Rene David, bahwa Indonesia termasuk gabungan antara Civil Law atau yang
termasuk keluarga hukum Romano Germania yang merupakan pengaruh dari jajahan
Belanda, tetapi juga termasuk dalam keluarga hukum Common Law yang mengakui
keberlakuan hukum adat.
Bertolak dari adanya pengakuan asas legalitas yang bersifat formal dan materiil,
maka apa yang dikategorikan sebagai suatu tindak pidanapun bukan hanya perbuatan yang
melawan hukum/bertentangan dengan undang-undang, tetapi harus bertentangan juga
dengan hukum yang tidak tertulis. Dalam hal penentuan suatu tindak pidana dalam Pasal
11 ayat (2) Konsep menyatakan bahwa “Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain
perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus
juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukumyang hidup dalam
masyarakat”.
Yang dimaksud dengan perbuatan yang dilarang selalu adalah perbuatan
melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Selain itu masih disyaratkan bahwa perbuatan
tersebut bertentangan dengan hukum. Dengan kata-kata doktrin: perbuatan tersebut secara
formal harus bertentangan dengan undang-undang dan secara materiil harus juga
bertentangan dengan hukum. Ini berarti perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat
sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Mempidana seseorang yang melakukan
suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, atau yang tidak bersifat bertentangan
dengan hukum, bahkan patut dilakukan, dirasakan sebagai tidak adil".
Dari keseluruhan ketentuan tersebut di atas, jelas kiranya bahwa konsep sangat
menjunjung tinggi nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (hukum yang tidak
tertulis/hukum adat pidana). Baik untuk menentukan suatu tindak pidana, menentukan
dapat tidaknya suatu perbuatan dipidana, maupun untuk menentukan adanya sifat melawan
hukum, bukan hanya harus berpedoman kepada ketentuan-ketentuan hukum formal
sehingga adanya suatu kepastian, melainkan harus didasarkan kepada norma dan rasa
keadilan yang diakui oleh masyarakat.
Adanya pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat/hukum adat
pidana, dapat ditemukan pula dalam konsep terhadap ketentuan mengenai masalah pidana
dan pemidanaan. Ketentuan tersebut merupakan ketentuan baru dimana dalam KUHP yang
sekarang berlaku tidak ada pengaturannya. Adanya ketentuan yang mengakui hukum adat
pidana merupakan refleksi dari adanya perkembangan/kebijakan dalam hal tujuan pidana
dan hukum pidana.
Dari berbagai teori mengenai tujuan pidana, secara keseluruhan menginduk kepada
tujuan umum dari pidana dan hukum pidana, dimana tujuan pidana dan hukum pidana
tersebut berupa perlindungan masyarakat (social defence) untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat (social welfare). Apabila diidentifikasikan beberapa aspek atau bentuk
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat tersebut, maliputi:
1) Dilihat dari sudut perlindungan masyarakat atas perbuatan anti sosial
(kejahatan) yang merugikan dan membahayakan masyarakat, maka tujuan
pidana adalah penanggulangan kejahatan. Tujuan tersebut sering dipakai
dengan berbagai istilah, seperti: penindasan kejahatan, pengu- rangan
kejahatan, pencegahan kejahatan ataupun pengendalian kejahatan.
2) Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap sifat
berbahayanya pelaku, maka tujuan pidana adalah untuk memperbaiki si
pelaku. Tujuan tersebut sering diistilahkan dengan: rehabilitasi, reformasi,
treatment of offenders, reedukasi, readaptasi sosial, resosialisasi,
pemasyarakatan, atau pembebasan. Tujuan utama dari perlindungan
masyarakat ini adalah mempengaruhi tingkah laku si pelaku sehingga dapat
mencegah terjadinya penggulangan tindak pidana (recidive).
3) Dilihat dari sudut perlunya perlindungan masyarakat terhadap
penyalahgunaan kekuasaan dalam menggunakan sanksi pidana atau reaksi
terhadap pelanggar pidana, maka tujuan pidana adalah untuk mengatur atau
membatasi kesewenangan penguasa maupun warga masyarakat pada
umumnya.
4) Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah mempertahankan
keseimbangan nilai yang terganggu. Dengan demikian tujuan pidana adalah
untuk memelihara atau memulihkan keseimbangan masyarakat

Adanya berbagai bentuk dari tujuan pidana sebagai perlindungan masyarakat, nampak
adanya aspek untuk mempertahankan keseimbangan nilai yang terganggu. Aspek tersebut
antara lain muncul dari adanya kehendak untuk tetap mempertahankan nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat, yakni hukum adat pidana. Dalam konsep tujuan pemidanaan hal
tersebut tertuang dalam Pasal 54, yang berbunyi:

1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi
pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan,dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan
e. memaafkan terpidana.
2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat
manusia.
Tujuan pemidanan yang berkaitan dengan hukum adat pidana sebagaimana yang
tercantum dalam
Pasal 65:
1. Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
Pasal 67:
1. Pidana tambahan terdiri atas :
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumumanputusanhakim;
d. pembayaran ganti kerugian;dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Atas dasar pasal tersebut secara tegas jenis pidana adat dituangkan baik berupa
pidana kerja social maupun pemenuhan kewajiban adat sebagaimna ditegaskan pada jenis
pidana tambahan. Dalam kedudukan sebagai pidana pokok, maka sanksi pemenuhan
kewajiban adat akan berfungsi sebagai sanksi alternatif dan pidana penjara terutama pidana
penjara jangka pendek di bawah satu tahun. Keberhasilan pidana tambahan berupa
pemenuhan kewajiban adat sebagai sanksi alternatif harus dilihat berdasarkan beberapa
faktor. Menurut Muladi faktor-faktor tersebut meliputi:

1. Sanksi alternatif harus cocok untuk menggantikan pidana kemerdekaan dalam


arti kesanggupan untuk mencapai tujuan dan fungsi yang sama.
2. Sanksi alternatif harus dapat diterima sebagai pidana oleh masyarakat.
3. Harus diperhitungkan kemanfaatannya atas dasar analisis biaya dan hasil
4. Penerapan sanksi alternatif harus dirasakan sebagai kebutuhan di dalam
kerangka sistem peradilan pidana
5. Kesiapan infrastruktur pendukung secara memadai.

Ketentaun tersebut lebih lanjut dapat kita lihat dalam Pasal 100 Konsep rancangan
KUHP. Dalam pasal tersebut menegaskan bahwa dengan memperhatikan ketentuan Pasal
1 ayat (4) konsep rancangan KUHP, hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat
setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. Pemenuhan
kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam
masyarakat tersebut merupakan pidana pokok atau yang diutamakan, terhadap tindak
pidana adat. Kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup
dalam masyarakat dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat
dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat dan/atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak
dijalani oleh terpidana.

B. Penerapan Hukum Adat terhadap Tindak Pidana Korupsi di Yogyakarta


Sanksi adat merupakan sanksi yang ada dalam suatu daerah tertentu yang berlaku
bagi masyarakat adatnya bila terjadi suatu pelanggaran. Sanksi adat ini hanya berlaku di
suatu daerah tertentu saja, antara daerah satu dengan yang lain memiliki sanksi adat yang
berbeda. Pemberian sanksi pidana adat khususnya di Yogyakarta berpedoman dalam aturan
yang ada di Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta merupakan salah satu warisan
Budaya di Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang berdiri sejak
tanggal 13 Februari 1755. Kasunanan Keraton Yogyakarta sampai sekarang masih berdiri
dengan dipimpin oleh seorang raja yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono X. Sejak didirikan
pada tanggal 13 Februari 1755, keraton merupakan pusat pemerintahan yang ada di
Yogyakarta.Selain menjadi seorang Raja Sri Sultan Hamengkubuwono juga secara
otomatis telah menjadi Gubernur Daerah IstimewaYogyakarta.Para Sultan bersama para
ahli adat, melahirkan gagasan-gagasan asli tentang seni, sastra, sistem sosial, sistem
ekonomi, dan seterusnya.Sri Sultan Hamengku Buwono I misalnya, melahirkan banyak
karya seni dan arsitektur.Dengan Keraton sebagai pusat penyelenggaraan pemerintahan
daerah, masyarakat Yogyakarta sudah berkembang menjadi sebuah sistem peradaban
tersendiri sejak sebelum bergambung dengan RI (1945). Dalam Keraton Yogyakarta inilah
lahir pedoman hukum yang berlaku bagi masyarakat Yogyakarta. Aturan hukum ini timbul
dari kebiasaan yang dilakukan masyarakat secara berulang-ulang. Begitu pula lahir jenis-
jenis sanksi adat yang berlaku bagi masyarakat adat Yogyakarta. Sanksi adat ini berdasar
pada perbuatan yang dilakukan oleh pelaku seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan,
tidak mengikuti acara besar di masyarakat, penipuan, dll. Jenis-jenis sanksi adat di
Yogyakarta yaitu dikucilkan oleh masyarakat, diasingkan ke tempat lain, dan dicemooh
oleh masyarakat. Sanksi ini dirasa memberikan dampak sosial bagi pelaku dan akan
berpengaruh pada psikologis pelaku. Dalam perkembangannya, sanksi adat ini masih dapat
berlaku dan mengikat masyarakat adat Yogyakarta karena adanya nilai-nilai dan norma
dalam masyarakat yang masih menjadi pedoman. Sanksi pidana adat di Yogyakarta ini
dirasa kurang memberikan efek jera bila dalam diri pelaku sendiri tidak mau memperbaiki
diri atas kesalahan yang diperbuat. Sehingga perlu adanya pembaharuan dalam pemberian
sanksi pidana adat yang masih mengandung nilai-nilai dan norma yang tetap namun tidak
berlaku sewenang-wenang terhadap pelaku. Sanksi pidana adat yang akan diberikan
kepada pelaku harus sesuai dengan kepribadian pelaku agar dapat menimbulkan efek jera
bagi pelaku.
Dalam kasus korupsi yang kini marak terjadi juga dapat diberikan sanksi adat. Bila
yang melakukan korupsi adalah masyarakat adat Yogyakarta maka berlakulah sanksi adat
di Yogyakarta. Dalam hukum adat Yogyakarta, tidak terdapat istilah korupsi.Namun
korupsi ini dapat disamakan dengan tindakan pencurian dan penipuan.Perilaku yang
dilakukan cukup memiliki unsur yang sama seperti pencurian dan penipuan. Sedangkan
untuk pemberian sanksinya, pada pelaku korupsi diberikan sanksi yang tidak sama dan
lebih berat bila dibandingkan dengan sanksi adat untuk tindakan pencurian dan penipuan.
Pelaku tindak pidana korupsi diberikan sanksi adat yang lebih berat karena merugikan
banyak pihak dan perbuatan ini perlu dituntaskan agar tidak ditiru oleh masyarakat lain.
Selain itu agar dapat memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Untuk pemberian sanksi
adat terhadap pelaku korupsi selain dikucilkan, diasingkan, dicemooh dapat diberikan
sanksi adat yang lain sesuai dengan kesepakatan antara masyarakat adat dengan pihak-
pihak yang dirugikan atas perbuatan pelaku. Artinya dapat diberlakukan pembaharuan
sanksi adat tanpa menghilangkan nilai dan norma dalam masyarakat. Contohnya dengan
memperkerjakan pelaku korupsi sebagai pegawai rendahan di tempat ia bekerja seperti
menjadi office boy, atau petugas cleaning servis. Dengan memperkerjakan pelaku korupsi
sebagai pegawai rendahan akan mempengaruhi keadaan psikologis dari pelaku. Pelaku
korupsi akan sangat malu dan merasa tertekan atas akibat dari perbuatan yang dilakukan.
Hal ini diharapkan agar pelaku dapat introspeksi diri atas perbuatan yang dilakukan dan
tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.
Menurut Muladi, tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan,
keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan
individual ataupun masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemidanaan adalah untuk
memperbaki kerusakan individual dan sosial (individual and social damages) yang
diakibatkan oleh tindak pidana.Hal ini terdiri dari seperangkat tujuan pemidanaan yang
harus dipenuhi, dengan catatan bahwa tujuan manakah yang merupakan titik berat sifatnya
kasuitis. Perangkat tujuan pemidanaan yang dimaksud adalah:

a. Pencegahan (umum dan khusus),


b. Perlindungan masyarakat,
c. Memelihara solidaritas masyarakat, dan
d. Pengimbangan atau pengimbalan.12

Hukum pidana adat sangat relevan ditarik ke permukaan untuk dapat dijadikan
pedoman oleh perancang Rancangan Undang – Undang KUHP untuk dapat diangkat
menjadi hukum pidana yang bersifat nasional. Karena dengan diangkatnya hukum pidana
adat ke permukaan akan tercipta atau terwujud keadilan substantif, dengan ketentuan
hukum pidana adat tersebut harus memenuhi syarat:
1. Hukum pidana adat itu masih hidup dalam masyarakat Indonesia;
2. Hukum pidana adat itu tidak menghambat tercapainya masyarakat adil dan
makmur; dan
3. Hukum pidana adat itu harus sesuai dengan nilai – nilai luhur yang terkandung
dalam pancasila.
Dengan demikian, penerapan sanksi hukum adat Yogyakarta yang akan masuk ke
dalam pembaharuan sistem hukum nasional dapat ditarik kedalam pidana tambahan berupa
pemenuhan kewajiban adat sebagai sanksi alternatif karena Hukum Adat Yogyakarta
tersebut pun telah memenuhi syarat – syarat seperti yang disebutkan diatas, sehingga dapat
masuk kedalam Rancangan Undang – Undang Nasional. Namun, Jika memang sanksi
tersebut belum dimasukkan dalam Sistem Hukum Nasional saat ini, maka dapat ditangani
dengan lebih mengutamakan nilai – nilai adat kita, terutama yang berhubungan dengan
pancasila dengan memunculkan sifat nasionalisme dan tetap mempertahankan Hukum adat
daerah masing – masing sebagai hukum yang utama sebagai kepribadian bangsa serta
nantinya antar aparat penegak hukum dapat saling bekerjasama dengan pihak pemuka adat
dan pihak yang dirugikan untuk memberikan sanksi yang memang sesuai dengan nilai –
nilai Pancasila terutama nilai keadilan dan kepatutan.

12
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung, Alumni, 1985), hal. 61.
BAB VI
PENUTUP

Kesimpulan
1. Undang-Undang No.1/1946 jo Undang-Undang no.73/1958 merupakan dasar hukum
berlakunya KUHP yang bersumber kepada Kode Penal Prancis. Namun demikian,
sesungguhnya bangsa Indonesia mempunyai nilai-nilai serta kepribadian yang dijunjung
tinggi, hal tersebut tertuang dalam kesadaran hukum masyarakat (hukum yang hidup
dalam masyarakat) yang secara materiil dirasakan dapat memenuhi rasa keadilan dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang muncul di masyarakaat. Dalam
pembentukan sistem hukum pidana nasional yang mengedepankan azas keadilan, nilai-
nilai yang hidup dalam masyarakat termasuk hukum adat pidana yang selama ini diakui
keberadaannya telah diserap dalam konsep rancangan KUHP. Hal tersebut nampak dari
prinsif-prinsif yang secara substansial termuat dalam konsep rancangan KUHP, dan secara
tegas tercantum dalam pasal-pasal baik yang mengatur masalah perbuatan,
pertanggungjawaban, maupun jenis sanksi pidana.
2. Dalam rangka pembuatan konsep Rancangan KUHP nasional, hukum pidana adat
(khususnya adat Yogyakarta) yang masih hidup untuk daerah – daerah tertentu dapat
dijadikan dasar oleh pengadilan untuk memutus suatu pelanggaran ataupun kejahatan
termasuk masalah. Korupsi yang merupakan kejahatan koorporasi. Sanksi Hukum adat
dapat masuk dalam sistem hukum nasional dan diakui eksistensinya dalam menangani
masalah korupsi dengan melibatkan pihak aparat penegak hukum, pemuka adat, dan pihak
yang dirugikan dalam pemberian sanksi yang sesuai dengan nilai – nilai Pancasila
terutama nilai keadilan dan kepatutan.

Saran
Sanksi Hukum adat (khususnya adat Yogyakarta) diharapkan dapat masuk dalam
Sistem hukum nasional dan menyesuaikan dengan kesepakatan antara pihak yang
dirugikan dengan pemuka adat (ada pembaharuan dalam pemberian sanksi) untuk
menangani masalah Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini, Tidak hanya sanksi Adat
Yogyakarta yang menerapkan sanksinya terhadap tindak pidana korupsi tetapi Sanksi Adat
dari berbagai daerah dapat masuk dan bergabung untuk memberantas tuntas Tindak Pidana
Korupsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Barda Nawawi Arief. Kebijakan Hukum Pidana (Penal Policy)

Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan


Penyusunan Konsep KUHP Baru.Jakarta. Kencana Prenada Media. 2008. Hlm. 96.

Bryan A Garner.Black’s Law Dictionary.ST.Paul Minn. 1999 (seventh edition). P.391.

Dominikus Rato.2009. Pengantar Hukum Adat. Yogyakarta. LaksBang Pressindo.

I Gede AB Wiranata.2005. Hukum Adat Indonesia, Perkembangnya dari Masa ke Masa.


Bandung. Citra Aditya Bakti.

Gusti I Ketut Sutha.1987.Bunga Rampai Beberapa Aspekta Hukum Adat. Yogyakarta.


Liberty.Hlm.11.

Muladi. 1985. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung : Alumni

Soepomo. Bab-bab Tentang Hukum Adat. Jakarta. Pradnya Paramita. 1982. Hlm.110.

Soerojo Wignjodipuro.1982. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta. Gunung


Agung.

Utrecht. 1994. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana 1. Surabaya. Pustaka Tinta Mas.
Hlm.7.

Anda mungkin juga menyukai