Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

NASKAH AKADEMIK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM


PEMBENTUKAN PERATURAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANNGAN

Dosen :
Dr. A. Kahar Maranjaya, SH., MH

Disusun Oleh:
Gilang Pramana Putra (20210210100128)
Farizqi Nuwayyar Ayyasy (20210210100076)
Muhammad Fathan Raihan (20210210100081)
Bayu Imam Setiawan (20210210100147)

Mata Kuliah:
Ilmu Perundang-Undangan C

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Cireundeu, Kec. Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten 15419

Tahun Ajaran 2023/2024


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemampuan untuk
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Saya sangat bersyukur atas berkat-
Nya yang memungkinkan saya menyelesaikan makalah ini dengan baik. Doa dan
salam juga saya sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang syafaatnya kita
nantikan di akhirat.

Saya bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat kesehatan, baik fisik maupun mental,
yang memungkinkan saya menyelesaikan makalah dengan judul “Naskah Akademik
Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-
Undanngan"

Saya berharap makalah ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman pembaca,
dan saya siap untuk memperbaiki makalah ini agar menjadi lebih baik di masa depan.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan karena keterbatasan
pengalaman saya. Oleh karena itu, saya sangat menghargai masukan dan saran yang
membangun dari para pembaca untuk meningkatkan kualitas makalah ini.

Terima kasih atas perhatian dan semoga makalah ini memberikan manfaat yang
besar. Terima kasih.

Jakarta, 30 November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................................4
A. Latar Belakang....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................6
C. Tujuan Perumusan Masalah................................................................................6
BAB II
PEMBAHASAN...........................................................................................................7
A. Pengertian Naskah Akademik.............................................................................7
B. Dasar Hukum Pembentukan Naskah Akademik.................................................9
C. Muatan dan Bentuk Naskah Akademik............................................................10
D. Uraian Sistematika Naskah Akademik.............................................................11
E. Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang.........................18
BAB III
PENUTUP..................................................................................................................23
A. Kesimpulan........................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................24

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagasan rancangan undang-undang atau disebut tahap pralegislasi baik


dari usulan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah
(DPD), dan Pemerintah dilakukan melalui mekanisme Program Legislasi
Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas. Keberadaan Prolegnas merupakan
instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang disusun
secara terencana, terpadu, dan sistematis. Tidak kalah penting dari tahap
perencanaan Prolegnas (tahap hulu), tahap penyusunan, pembahasan sampai
dengan pengundangan (tahap pertengahan), hingga tahap penegakan atau
pelaksanaannya di masyarakat (tahap hilir) harus memperhatikan aspirasi dan
memastikan partisipasi masyarakat.

Persoalan yang seringkali muncul selama ini, bahwa DPR, DPD, dan
Pemerintah selaku penguasa pembentuk undang-undang dinilai kurang aspiratif
dan tidak partisipatif. Padahal, bagaimanapun tujuan dibentuknya undang-
undang untuk kesejahteraan umum seluruh rakyat Indonesia. Bertitik tolak dari
tujuan konstitusi dalam pembukaan (preambule) UUD 1945 alinea ke-IV dengan
tegas menyatakan bahwa: “untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara
Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”.
Landasan tersebut menegaskan adanya “kewajiban negara” dan “tugas
pemerintah” untuk melindungi dan melayani segenap kepentingan masyarakat,
guna terwujudnya kebahagiaan seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu secara
filosofis, yuridis, dan sosiologis pembentukan perundang-undangan merujuk

4
kepada tujuan negara yaitu: “memajukan kesejahteraan umum”, sebagaimana
dimaksud dalam pembukaan alinea ke-IV UUD 1945.

kewajiban untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam


kehidupan masyarakat melalui undang-undang yang dibuat oleh DPR, DPD, dan
Pemerintah baik yang menyangkut kepentingan ekonomi, sosial, budaya, hukum,
pendidikan maupun kepentingan politik. Sistem peraturan perundang-undangan
Indonesia sebagai suatu rangkaian unsur-unsur hukum tertulis yang saling
terkait, pengaruh memengaruhi, dan terpadu dan tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya yang dilandasi oleh falsafah Pancasila dan UUD 1945.1

Terkait dengan pembentukan undang-undang yang aspiratif dan partisipatif


ini, di dalamnya mengandung dua makna, yaitu: proses dan substansi. Proses
adalah mekanisme dalam pembentukan perundang-undangan yang harus
dilakukan secara transparan, sehingga dari aspirasi masyarakat dapat
berpartisipasi memberikan masukan-masukan dalam mengatur suatu
permasalahan. Substansi adalah materi yang akan diatur harus ditujukan bagi
kepentingan masyarakat luas, sehingga menghasilkan suatu undang-undang yang
demokratis, aspiratif, partisipatif dan berkarakter responsif/populistis. 2
Partisipasi, transparansi, dan demokratisasi dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat
dipisahkan dalam satu negara demokrasi.

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memahami naskah akademik serta
aspirasi masyarakat dalam penyusunan Prolegnas, peran partisipasi masyarakat
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, dan keterlibatan masyarakat
dalam pelaksanaan dan pengawasan terhadap undang-undang. Metode yang
digunakan dalam kajian ini adalah penelitian hukum (legal research). Bersifat
1
Ranggawijaya, Rosjidi. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia. Bandung: Penerbit
CV. Mandar Maju, hal.33
2
Mahfud, MD. 2010 Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh Konfigurasi Politik
terhadap Produk Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit Raja Grafindo, hal.363

5
deskriptif analitis terhadap data dan hasil penelitian, yang berupa hasil studi
dokumen yang menggambarkan secara utuh/menyeluruh dan mendalam hasil
analisis terhadap bahan-bahan hukum terkait dengan aspirasi dan partisipasi
masyarakat dalam pembentukan dan pengawasan peraturan perundang-
undangan. Selanjutnya, ditelaah dengan menggunakan welfare state theory atau
teori negara hukum kesejahteraan yang dijadikan sebagai Grand Theory analisis.
Spicker (1998) dalam. E. Suharto3 menyatakan negara hukum kesejahteraan
merupakan bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat, terutama
kelompok lemah seperti orang miskin, cacat, pengangguran dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian naskah akademik dapat dijelaskan secara komprehensif


dan mendalam?
2. Apa dasar hukum yang menjadi landasan pembentukan naskah akademik?
3. Bagaimana muatan naskah dan uraian sistematika naskah akademik ?
4. Bagaimana partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan dalam proses
pembentukan undang-undang melalui naskah akademik?

C. Tujuan Perumusan Masalah

1. Membahas dan merinci definisi naskah akademik untuk memperoleh


pemahaman yang jelas dan terinci terkait dengan konteksnya.
2. Menganalisis dan merinci dasar hukum yang melandasi pembentukan naskah
akademik untuk memahami konsep hukum yang mengaturnya.
3. Meneliti muatan dan merumuskan cara pengembangan uraian sistematika
naskah akademik.
4. Merumuskan strategi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat.

3
Santosa, Mas Achamad. 2001. Good Government dan Hukum Lingkungan. Jakarta: ICEL.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Naskah Akademik

Untuk pertamakali pengertian naskah akademik dikemukakan oleh Mochtar


Kusumaatmadja (1976) dengan istilah “Konsep Naskah RUU”. Kemudian Badan
Pembinaan Hukum Nasional pada 1979 secara resmi menggunakan istilah Naskah
Akademik sebagai ganti dari istilah Naskah Rancangan Undang-undang (1976),
dan Naskah Ilmiah Rancangan Undangundang (1977/1978).

Secara bahasa, Naskah berarti “rancangan” atau “tulisan yang masih dasar”,
dan Akademik memiliki arti yang bersifat ilmu pengetahuan”. Apabila dirangkai
maka Naskah Akademik memiliki pengertian rancangan berupa tulisan yang
masih dasar yang bersifat akademis atau ilmu pengetahuan. Sedangkan menurut
istilah, Jimly Asshiddiqqie membedakan antara Naskah Akademik, Naskah Politis
dan Naskah Hukum. Pertama, Naskah Akademik. Berbeda dengan bentuk atau
format rancangan Undang undang yang sudah resmi. Naskah rancangan akademis
disusun sebagai hasil kegiatan yang bersifat akademis sesuai dengan prinsip-
prinsip ilmu pengetahuan yang rasional, kritis, obyektif dan impersonal.4

Kedua, Naskah Politis. Setelah naskah akademik rancangan Undang undang


(academic draft) diputuskan oleh pemegang otoritas politik menjadi rancangan
Undang undang yang resmi, maka sejak itu berubahlah status rancangan Undang
undang itu menjadi naskah politik (political draft).

Ketiga, Naskah Hukum. Setelah rancangan Undang undang disetujui bersama


oleh DPR dan Pemerintah maka selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari harus
ditandatangani Presiden dan bila tidak ditandatangani dinyatakan sah berdasarkan

4
Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010.

7
ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD RI Tahun 1945. Sejak saat itu Naskah Politis
berubah menjadi Naskah Hukum. Bedanya dengan PERDA : Pada dasrnya
perancangan perda sama dengan proses perancangan undang-udang di tingkat
pusat yakni Perencanaan, Penyusunan, Pembahasan, Pengundangan, Sosialisasi.
Namun bedanya adalah dalam rancangan perda sebelum diundangkan terlebih
dahulu perda melewati proses evaluasi dan kalrifikasi yang dilakukan oleh
kementrian dalam negeri.

Sementara menurut pengertian yuridis, dalam Keputusan Kepala Badan


Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) No. G.159. PR. 09. 10 Tahun 1994 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademik Peraturan Perundang undangan,
Naskah Akademik adalah naskah awal yang memuat pengaturan materi materi
Perundang undangan bidang tertentu yang telah di tinjau secara sistemik, holistik
dan futuristik.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara


Mempersiapkan Rancangan Undang undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
dan Rancangan Peraturan Presiden, Naskah Akademik adalah naskah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar
belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, obyek atau arah pengaturan substansi rancangan Peraturan Perundang
undangan.

Dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor. M.


HH-01. PP. 01. 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Perundang undangan, naskah akademik adalah naskah yang
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar
belakang , tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup,
jangkauan, obyek atau arah pengaturan substansi rancangan Peraturan Perundang
undangan.

8
Pada Pasal 1 angka (11) UU No. 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa Naskah
Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi,
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi terhadap
permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Jadi, Naskah akademik tidak sama dengan Rancangan Undang-undang. 5


Naskah akademik merupakan naskah awal berdasarkan temuan penelitian ilmiah
yang dijadikan dasar menyusun RUU. Naskah akademik harus disertakan dalam
setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan (Ranper-UU). Sebab Naskah
Akademik merupakan bagian tak terpisahkan dari penyusunan peraturan
perundang-undangan yang memuat gagasan pengaturan serta materi substansial
Ranper-UU bidang tertentu sekaligus merupakan bahan pertimbangan dalam
pengajuan penyusunan Ranper-UU.

B. Dasar Hukum Pembentukan Naskah Akademik

1. UU no. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanbPerundang-undangan


dalam pasal 18 ayat (3) dinyatakan, bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara mepersiapkan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.”
2. Peraturan Presiden (Perpres) No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara
PPenyusunan dan pengelolaan Program Legislasi Nasional sebagai
pelaksanaan UU No. 10 Tahun 2004, pasal 13 menyebutkan bahwa , “Dalam
hal menteri lain atau pemimpin lembaga pemerintah non Departemen telah
menyusun naskah akademik rancangan undangundang, maka naskah

5
Ardhiwisastara, Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung,
2008.

9
akademik tersebut wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan
pembentukan rancangan undang-undang.
3. Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang.
4. Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor. M. HH-01.
PP. 01. 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik
Rancangan Peraturan Perundang undangan.
5. Pasal 1 angka (11) UU No. 12 Tahun 2011 dijelaskan bahwa Naskah
Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sebagai solusi
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

C. Muatan dan Bentuk Naskah Akademik

1. Muatan Naskah Akademik

Dalam Naskah Akademik harus mengandung muatan:6 (a) Urgensi dan


tujuan penyusunan; (b) Sasaran yang ingin diwujudkan; (c) Pokok pikiran,
lingkup atau obyek yang akan diatur; dan (d) Jangkauan serta arah pengaturan.
Di samping itu perlu dimasukkan dalam Naskah Akademik, unsur-unsur
seperti: (a) Hasil inventarisasi hukum positif; (b) Hasil inventarisasi persoalan
hukum actual; (c) Materi hukum yang akan disusun; (d) Konsepsi landasan,
alas hukum, dan prinsip yang akan digunakan; serta (e) Pemikiran tentang
norma yang akan dituangkan ke dalam pasal-pasal.

2. Bentuk Naskah Akademik

6
Chaidir, Ellydar & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010

10
Bentuk Naskah Akademik berdasarkan Lampiran I Undang undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 ialah sebagai berikut :

 JUDUL
 KATA PENGANTAR
 DAFTAR ISI
 BAB I PENDAHULUAN
 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS
 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG
UNDANGAN TERKAIT
 BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN UNDANG UNDANG, PERATURAN
DAERAH PROVINSI ATAU PERATURAN DAERAH KABUPATEN/
KOTA
 BAB VI PENUTUP
 DAFTAR PUSTAKA
 LAMPIRAN: RANCANGAN PERATURAN PERUNDANG
UNDANGAN

D. Uraian Sistematika Naskah Akademik

Pertama, Bab I Pendahuluan

Pendahuluan memuat latar belakang, sasaran yang akan diwujudkan,


identifikasi masalah, tujuan dan kegunaan, serta metode penelitian.7

a. Latar Belakang

Latar belakang memuat pemikiran dan alasanalasan perlunya penyusunan


Naskah Akademik sebagai acuan pembentukan Rancangan Undang-Undang

7
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor, 2011.

11
atau Rancangan Peraturan Daerah tertentu. Latar belakang menjelaskan
mengapa pembentukan Rancangan Undang- Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah suatu Peraturan Perundang-undangan memerlukan suatu
kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai teori atau pemikiran
ilmiah yang berkaitan dengan materi muatan Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah yang akan dibentuk. Pemikiran ilmiah tersebut
mengarah kepada penyusunan argumentasi filosofis, sosiologis serta yuridis
guna mendukung perlu atau tidak perlunya penyusunan Rancangan Undang-
Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.

b. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah memuat rumusan mengenai masalah apa yang akan


ditemukan dan diuraikan dalam Naskah Akademik tersebut. 8 Pada asarnya
identifikasi masalah dalam suatu Naskah Akademik mencakup 4 (empat)
pokok masalah, yaitu sebagai berikut:

1) Permasalahan apa yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa, bernegara,


dan bermasyarakat serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi.
2) Mengapa perlu Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut, yang berarti
membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut.
3) Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,
yuridis pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan
Peraturan Daerah.
4) Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan.

c. Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah


8
D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, dan Filsafat
Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta, PT. Refika Aditama, Bandung.

12
Akademik Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang
dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan
sebagai berikut:

1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan berbangsa,


bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi permasalahan
tersebut.
2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Undang- Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah sebagai dasar hokum penyelesaian atau solusi permasalahan
dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah.
4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan,
jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang atau
Rancangan Peraturan Daerah. Sementara itu, kegunaan penyusunan
Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan
pembahasan Rancangan Undang- Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah.

d. Metode

Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan


penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang
berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Penelitian hukum
dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris.
Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode
yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama)
data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan

13
pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil
penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normative
dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan
rapat dengar pendapat. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah
penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap
Peraturan Perundangundangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi
yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data
faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang diteliti.9

Kedua, Bab II Kajian Teoretis Dan Praktik Empiris

Bab ini memuat uraian mengenai materi yang bersifat teoretis, asas, praktik,
perkembangan pemikiran, serta implikasi sosial, politik, dan ekonomi, keuangan
negara dari pengaturan dalam suatu Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi,
atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bab ini dapat diuraikan dalam beberapa
sub bab berikut:

i. Kajian teoretis.
ii. Kajian terhadap asas/prinsip yang terkait dengan penyusunan norma.
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini juga memperhatikan berbagai
aspek bidang kehidupan terkait dengan Peraturan Perundang-undangan yang
akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian.
iii. Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta
permasalahan yang dihadapi masyarakat.
iv. Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam
Undang-Undang atau Peraturan Daerah terhadap aspek kehidupan
masyarakat dan dampaknya terhadap aspek beban keuangan negara.

9
Chaidir, Ellydar & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010

14
Ketiga, Bab III Evaluasi Dan Analisis Peraturan Perundangundangan
Terkait

Bab ini memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundangundangan terkait


yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan
Peraturan Daerah baru dengan Peraturan Perundang-undangan lain, harmonisasi
secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan
yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku
karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang
baru.

Kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan ini dimaksudkan untuk


mengetahui kondisi hukum atau peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai substansi atau materi yang akan diatur. Dalam kajian ini akan diketahui
posisi dari Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru. Analisis ini dapat
menggambarkan tingkat sinkronisasi, harmonisasi Peraturan Perundang-undangan
yang ada serta posisi dari Undang-Undang dan Peraturan Daerah untuk
menghindari terjadinya tumpang tindih pengaturan. Hasil dari penjelasan atau
uraian ini menjadi bahan bagi penyusunan landasan filosofis dan yuridis dari
pembentukan Undang- Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota yang akan dibentuk.10

Keempat, Bab IV Landasan Filosofis, Sosiologis Dan Yuridis

a. Landasan Filosofis

Menggambarkan bahwa Peraturan Perundang undangan yang dibentuk


mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber

10
Hadjon, Philipus M. & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 2009.

15
dari Pancasila dan Pembukaan Undang undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

b. Landasan Sosiologis

Menggambarkan bahwa Peraturan Perundang undangan yang di bentuk


untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek.
Menggambarkan fakta empiris perkembangan masalah dan kebutuhan
masyarakat dan negara.

c. Landasan Yuridis

Menggambarkan bahwa Peraturan Perundang undangan yang di bentuk


untuk mengatasi permasalahan. Sebenarnya landasan dalam undang-undang
itu ada 4, selain 3 landasan diatas yakni landasan politis. Landasan politis
tidak dimasukan ke dalam naskah akademik karena landasan politis lebih
cenderung kepada arah kebijakan.

Kelima, Bab V Jangkauan, Arah Pengaturan, Dan Ruang Lingkup Materi


Muatan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, Atau Peraturan
Daerah Kabupaten/Kota

Naskah Akademik pada akhirnya berfungsi mengarahkan ruang lingkup


materi muatan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang akan
dibentuk.11 Dalam Bab ini, sebelum menguraikan ruang lingkup materi muatan,
dirumuskan sasaran yang akan diwujudkan, arah dan jangkauan pengaturan.
Materi didasarkan pada ulasan yang telah dikemukakan dalam bab sebelumnya.
Selanjutnya mengenai ruang lingkup materi pada dasarnya mencakup:

11
Leyh, Gregory, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M. Khozim, Nusa
Media, Bandung, 2008.

16
d. ketentuan umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian istilah,
dan frasa;
e. materi yang akan diatur;
f. ketentuan sanksi; dan
g. ketentuan peralihan.

Keenam, Bab VI Penutup

Bab penutup terdiri atas subbab simpulan dan saran.

a. Simpulan

Simpulan memuat rangkuman pokok pikiran yang berkaitan dengan praktik


penyelenggaraan, pokok elaborasi teori, dan asas yang telah diuraikan dalam
bab sebelumnya.

b. Saran

Saran memuat antara lain:

I. Perlunya pemilahan substansi Naskah Akademik dalam suatu Peraturan


Perundang-undangan atau Peraturan Perundangundangan di bawahnya.
II. Rekomendasi tentang skala prioritas penyusunan Rancangan Undang-
Undang/Rancangan Peraturan Daerah dalam Program Legislasi
Nasional/Program Legislasi Daerah.
III. Kegiatan lain yang diperlukan untuk mendukung penyempurnaan
penyusunan Naskah Akademik lebih lanjut.

Ketujuh, Daftar Pustaka

Daftar pustaka memuat buku, Peraturan Perundangundangan, dan jurnal yang


menjadi sumber bahan penyusunan Naskah Akademik.

Kedelapan, LAMPIRAN. berisi RANCANGAN PERATURAN


PERUNDANG-UNDANGA

17
E. Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang

Kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan


peraturan perundang-undangan telah terakomodasi dalam ketentuan hukum
positif Pasal 96 UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Dengan dianutnya asas keterbukaan dalam undang-undang
tersebut12, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis
dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Masukan secara lisan
dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b.
kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

Sementara itu, yang dimaksud masyarakat adalah orang perseorangan atau


kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan undang-
undang. Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara
lisan dan/atau tertulis setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus
dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pembentukan peraturan


perundang-undangan, pada saat ini sudah mulai dikembangkan. Partisipasi yang
dilakukan masyarakat sebagai stakeholeders (pemangku kepentingan), dapat
dilakukan dengan memberikan masukan secara lisan dan tertulis dalam rangka
perencanaan, penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan perundang-
undangan sesuai dengan tata cara Tata Tertib DPR.

Partispasi masyarakat dalam pembahasan rancangan undang-undang juga


merupakan wujud penyelenggaraan pemerintahan yang baik sesuai dengan
prinsip-prinsip good governance (pemerintahan yang baik), diantaranya:

12
Dalam Penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terkait Asas Keterbukaan adalah bahwa dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian,
seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan
dalam pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

18
keterlibatan masyarakat, akuntabilitas, dan transparansi (Santosa, 2001:87).
Demikian juga menurut Rahardjo (1998:127) transparansi dan partispasi
masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan adalah menjaga netralitas.
Netralitas maksudnya berarti persamaan, keadilan, dan perlindungan bagi seluruh
pihak terutama masyarakat, mencerminkan suasana konflik antar kekuatan dan
kepentingan dalam masyarakat. Keputusan dan hasil peran serta mencerminkan
kebutuhan dan keinginan masyarakat dan menjadi sumber informasi yang
berguna sekaligus merupakan komitmen sistem demokrasi.

Penyerapan aspirasi masyarakat untuk mewujudkan perundang-undangan


yang menyejahterakan, dapat dilakukan dengan jalan membuka ruang partisipasi
seluruh komponen masyarakat. Sebagaimana yang disebutkan oleh Handoyo
(2008:163), ruang partisipasi tersebut meliputi:

1. Membuka akses informasi seluruh komponen masyarakat tentang proses


penyusunan suatu peraturan perundang-undangan;
2. Merumuskan aturan main (rule of the game) khususnya yang menyangkut
transparansi penyusunan dan perumusan Rancangan Peraturan Perundang-
Undangan;
3. Untuk langkah awal pelaksanaan pemantauan, perlu merumuskan secara
bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara mengakomodir aspirasi
masyarakat dalam Pembasahan Peraturan Perundang-Undangan.
4. Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menyusun kode etik
sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunan keanggotaannya
terdiri dari unsur DPR RI, masyarakat, akademisi, dan media massa;
5. Memperluas jaringan kerja sama di kalangan civil society yang selama ini
sifatnya melalui ad hoc. Jaringan kerja sama tersebut harus bersifat
permanen sekaligus ada pembagian tugas dan tanggung jawab memantau
proses perumusan kaidah hukum.

19
Demikianlah prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam meningkatkan
peran serta dan partisipasi aktif oleh masyarakat dalam pembentukan undang-
undang. Untuk itu, dalam kerangka normatif tersebut diatas, tentu perlu
diimplementasikan dalam tataran praktek.
Pada saat ini, banyak aturan hukum (undang-undang) yang dibuat oleh DPR
bersama oleh pemerintah; terlebih dahulu meminta masukan dari berbagai pihak,
termasuk organisasi masyarakat sipil dalam bidang masing-masing. Sebagaimana
yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pengaruh dari masyarakat sipil
dalam mengubah suatu hukum yang akan diberlakukan kepada masyarakat cukup
dominan (Manan, 2009:117). Oleh karena itu, dalam pembentukan suatu undang-
undang kebutuhan akan partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk
mengetahui aspirasi yang disampaikan, atas suatu rancangan undang-undang yang
berakibat langsung kepada kesejahteraan rakyat. Dalam analisis yang dilakukan
organisasi masyarakat sipil, ternyata ruang partisipasi masyarakat dalam
mewujudkan undang-undang yang menyejahterakan, setidaknya terdapat lima
tahapan. Menurut Ichwanuddin (2006:33), yaitu sebagai berikut:
“Pertama, tahap penyusunan program legislasi nasional, dimungkinkan
partisipasi masyarakat dalam tahap konsultasi dan komunikasi untuk
memberi masukan dan memantabkan program legislasi nasional, tetapi tidak
jelas siapa yang dimaksud dengan wakil masyarakat dalam forum tersebut,
ditunjuk oleh pembentuk undang-undang. Kedua, penyusunan prakarsa
rancangan undang-undang, ada dua tahap masyarakat bisa terlibat yaitu
dalam penyusunan naskah akademik dan forum konsultasi, namun keduanya
bersifat fakultatif tergantung dari niat dan kepentingan pembentuk undang-
undang untuk mengikutsertakan masyarakat. Ketiga, proses perancangan
undang-undang di DPR, DPD, dan pemerintah, partisipasi masyarakat dapat
dilakukan melalui peran perguruan tinggi yang bekerjasama dengan alat
kelengkapan DPR dalam membuat RUU. Adapun perancangan masyarakat

20
tergantung keikutsertaan kalangan civil society (masyarakat sipil) untuk
berpartisipasi. Adapun perancangan undang-undang oleh Deputi Perundang-
Undangan Sekretariat Jenderal DPR yang melibatkan kalangan akademisi
atau organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan. Keempat,
proses pengusulan di DPR dalam tahap ini, tidak ada peran serta masyarakat
karena sifatnya DPR hanya menyampaikan informasi saja. Kelima, dalam
pembahasan di DPR peran serta masyarakat terletak dalam Rapat Dengar
Pendapat Umum (RDPU) tetapi sayangnya RDPU tersebut, lebih banyak
inisiatif dari DPR sehingga tidak terlihat dari kelompok masyarakat mana
yang didengarkan dan dapat memberi masukan”.
Aturan yang lebih detail tentang proses partisipasi masyarakat diatur lebih
lanjut dalam Tata Tertib DPR, namun anggota DPR sebagai wakil rakyat yang
berasal dari partai politik tentu memiliki kepentingan dalam interaksi di lembaga
legislatif. Keterbukaan dari partisipasi dimaknai, kadangkala memiliki nuansa
politis sebagai upaya meningkatkan citranya sebagai politisi. Seringkali, maksud
dari partisipasi didominasi kepentingan politik dari partai politik atau
golongannya, dibandingkan kepentingan masyarakat. Disamping itu, paradigma
lama yang menyebutkan bahwa proses pembuatan kebijakan adalah kewenangan
dari lembaga perwakilan, tanpa perlu mengikutsertakan partisipasi masyarakat
ternyata masih kuat dikalangan elit politik. Lembaga perwakilan seperti DPR
memang memiliki kewenangan dalam pembuatan sebuah kebijakan nasional yaitu
fungsi legislasi selanjutnya, masyarakat ditempatkan sebagai objek yang telah
terwakili secara sah melalui wakilnya di DPR, sehingga otomatis masyarakat
telah ikut berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan.13
Dalam Prolegnas, ada 19 RUU prioritas Prolegnas yang telah disahkan
menjadi UU dibidang kesejahteraan sosial, yaitu: 1). UU No. 1 Tahun 2011
tentang Perumahan dan Kawasan Pemukiman; 2). UU No. 12 Tahun 2010 tentang

13
Terlihat bahwa ruang partisipasi publik dalam ikut pembuatan kebijakan tidaklah ada dikarenakan
lembaga legislatif adalah lembaga perwakilan masyarakat dalam pembuatan kebijakan

21
Gerakan Pramuka; 3). UU No. 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya; 4).
UU No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun; 5). UU No. 23 Tahun 2011
tentang Pengelolaan Zakat; 6). UU No. 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir
Miskin, 7). UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
8). UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi; 9). UU No. 7 Tahun 2011
tentang Penanganan Konflik Sosial; 10). UU No. 20 Tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran; 11). UU No. 11 Tahun 2013 tentang Keinsinyuran; 12).
UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal; 13). UU No. 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan; 14). UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan
Jiwa; 15). UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan; 16). UU No. 41 Tahun
2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan; 17). UU No. 29 Tahun 2014
tentang Pencarian dan Pertolongan; 18). UU No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak; dan 19). UU No. 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan
Keuangan Haji.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Naskah Akademik merupakan koridor kepakaran dalam penyusunan suatu


peraturan, perlu dipersiapkan agar peraturan perundang-undangan yang hendak
disusun tidak hanya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis tetapi juga
untuk menjamin peraturan itu telah memenuhi nilai-nilai filosofis, yuridis, dan

22
aspek-aspek sosial lainnya. Naskah Akademik merupakan bahan awal (first draft)
bagi perancangan suatu atauran, mempermudah legal drafter dalam merumuskan
normanoma hukum dan substansi suatu rancangan peraturan.

Aspirasi masyarakat dalam penyusunan Prolegnas harus diakomodir. Hal ini


sebagai salah satu instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang
yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis dengan memerhatikan dan
mempertimbangkan politik hukum nasional. Dengan meletakkan visi
pembangunan hukum di atas tujuan pembangunan nasional. DPR, DPD, dan
Pemerintah dalam melaksanakan fungsi legislasi harus memerhatikan dan
mengakomodir aspirasi masyarakat. Dimulai dari perencanaan dan pembentukan
perundang-undangan, yang mencakup tahapan: perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Keberadaan
Prolegnas sebagai desain dalam pembaharuan hukum nasional diharapkan mampu
mewujudkan kesejahteraan umum. Melalui perencanaan pembentukan undang-
undang yang baik, sehingga tercipta harmonisasi antara rencana prioritas
pembangunan jangka panjang nasional dengan prioritas Prolegnas yang
ditetapkan bersama DPR, DPD, dan Pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum, Cetakan Ketiga, Ghalia Indonesia, Bogor,
2011.

Ardhiwisastara, Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum,


Alumni, Bandung, 2008.

Asshiddiqie, Jimly, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara,


Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

23
Chaidir, Ellydar & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media,
Yogyakarta, 2010

Chaidir, Ellydar & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media,
Yogyakarta, 2010

D.H.M. Meuwissen, Meuwissen Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori


Hukum, dan Filsafat Hukum, terjemahan B. Arief Shidarta, PT. Refika
Aditama, Bandung.

Hadjon, Philipus M. & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan


Keempat, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2009.

Leyh, Gregory, Hermeneutika Hukum Sejarah, Teori, Dan Praktik, terjemahan M.


Khozim, Nusa Media, Bandung, 2008.

Mahfud, MD. 2010 Perkembangan Politik Hukum: Studi tentang Pengaruh


Konfigurasi Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Raja Grafindo.

Ranggawijaya, Rosjidi. 1998. Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia.


Bandung: Penerbit CV. Mandar Maju.

Santosa, Mas Achamad. 2001. Good Government dan Hukum Lingkungan.


Jakarta: ICEL.

24

Anda mungkin juga menyukai