Anda di halaman 1dari 16

KEJAKSAAN TINGGI BANTEN

KARYA TULIS ILMIAH

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Penilaian Lomba Karya Tulis Ilmiah Yang
Diselenggarakan Oleh Kejaksaan Tinggi Banten

Dalam Rangka:
HARI BHAKTI ADHYAKSA KE-62
Dengan Tema:
“Kepastian Hukum, Humanis Menuju Pemulihan Ekonomi”
Judul:
“RESTORATIVE JUSTICE”

Disusun Oleh:
Mugni
(NIM: 210360)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PRIMAGRAHA

2022.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita mungkin sering mendengar kata ‘keadilan’,
dalam berbagai permasalahan hukum tentu yang dicari adalah ‘keadilan’ itu sendiri.
Di dunia hukum terkenal yang namanya “Restorative Justice”, Restorative Justice
sederhananya merupakan suatu prinsip keadilan yang mengutamakan pada
pendekatan lebih ke arah musyawarah antara dua pihak, yaitu pelaku dan korban.
Tujuan dari keadilan restoratif ini adalah untuk mengembalikan keadaan hubungan
antara pelaku kejahatan dengan korban kejahatan, hal ini guna tidak ada lagi rasa
dendam antara keduanya, dengan syarat si pelaku kejahatan melakukan restitusi atau
ganti rugi atas perbuatan kejahatannya yang telah merugikan si korban, sehingga
korban bisa terbantu atas penderitaannya.1 Apabila pelaku kejahatan tidak bisa atau
tidak mampu memberikan restitusi maka tugas negara untuk membayar apa yang
telah menjadi hak korban kejahatan tersebut, meskipun masih harus melalui
penetapan hakim.
Keadilan restoratif pertama kali diperkenalkan oleh Albert Eglash yang dalam
tulisannya menyebutkan istilah reparation beliau menjelaskan bahwa Restorative
Justice merupakan suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan
retributif dan keadilan rehabilitatif.2 Dalam sejarah perkembangan hukum modern
penerapan Restorative Justice diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar
peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender
mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada.3 Prinsip ini
merupakan tindakan alternatif dalam melakukan hukuman kepada pelaku kriminal
anak, yang mana sebelum dilaksanakannya hukuman maka antara si pelaku dan

1
M. Alvi Syahrin 2018 – Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (The Implementation Of Restorative Justice Principles In Integrated
Criminal Justice System)/Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI/Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2018
2
https://nuraminsaleh.blogspot.com/2016/02/sejarah-perkembangan-restorative
justice.html
3
https://nuraminsaleh.blogspot.com/2016/02/sejarah-perkembangan-restorative-
justice.html

1
korban di izinkan untuk bertemu untuk menyusun usulan terkait hukuman yang akan
dijatuhkan kepada si pelaku sehingga akan menjadi pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan hukuman nantinya. Pada waktu itu prinsip ini dianggap sebagai
keuntungan dan manfaat bagi si korban pun si pelaku, karena prinsip ini berdasar pada
asas kekeluargaan sehingga dapat menurunkan residivis, dan diharapkan tidak ada
lagi rasa dendam diantara pelaku dan korban kejahatan, juga dikalangan pelaku
kejahatan anak dapat meningkatkan pertanggungjawaban anak dalam memberikan
restitusi pada pihak korban.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu restorative justice?
2. Bagaimana penyelesaian perkara melalui metode restorative justice?
3. Apa urgensi dari restorative justice?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu restorative justice
2. Mengetahui cara penyelesaian perkara dengan metode restorative justice
3. Mengetahui urgensi dari restorative justice

2
BAB II

PEMBAHASAN

Dalam peradilan pidana, seseorang dapat dipidana jika telah melakukan perbuatan
yang dilarang oleh hukum pidana sendiri, terdapat empat anasir pidana yaitu:

1. Adanya criminal art;


2. Adanya criminal responsibility/criminal liabity;
3. Merupakan schould/culpa;
4. Tidak adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar.

Kemudian dalam keadilan Restorative Justice terdapat ciri-ciri, salah satunya yang
dijelaskan oleh Muladi. Menurut Muladi ciri-ciri keadilan Restorative Justice adalah
sebagai berikut:

1. Kejahatan yang dirumuskan sebagai pelanggaran terhadap orang lain yang mana
dianggap sebagai konflik;
2. Konsen terhadap masalah pertanggungjawaban serta kewajiban untuk masa depan
yang akan datang;
3. Dibangunnya sifat normatif berdasarkan dialog dan negosiasi;
4. Adanya restitusi yang dijadikan sebagai sarana untuk perbaikan para pihak,
rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
5. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan antar hak, kemudian di nilai atas dasar hasil
akhir;
6. Lebih fokus pada perbaikan terhadap luka atau derita yang dirasakan oleh pihak
korban akibat kejahatan;
7. Fasilitator dalam proses restoratif adalah masyarakat;
8. Diakuinya peran korban dan pelaku, baik dalam merumuskan masalah maupun dalam
penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban, dalam hal ini pelaku di dorong untuk
bisa bertanggungjawab atas perbuatannya;
9. Pelaku dipertanggungjawabkan untuk memahami perbuatannya kemudian diarahkan
untuk ikut memutuskan yang terbaik;

3
10. Tindak pidana dipahami dalam keseluruhan konteks baik moral, sosial maupun
ekonomi;
11. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Dalam hal keadilan Restorative Justice seringkali sudah menjadi perdebatan di


kalangan para akademisi, penegak hukum, pun masyarakat. Hal ini terjadi karena
masyarakat menganggap kurangnya rasa keadilan bahkan tidak adanya rasa keadilan
dalam masyarakat.

Dalam membahas penerapan prinsip keadilan restoratif, maka dalam tulisan ini dibagi
dalam empat bagian.

1. Keadilan Restoratif Dinilai Dari Pendekatan Ontologi


Keadilan restoratif masuk dalam kategori pemidanaan, tetapi tidak hanya terpaku
pada ketentuan hukum pidana (formil maupun materiil).4 Dalam penerapan prinsip
keadilan restoratif harus dilihat dari segi kriminologi dan sistem pemasyarakatannya.
Pada faktanya, sistem pemidanaan yang berlaku dianggap belum sepenuhnya
menjamin keadilan terpadu, (integrated justice), yaitu keadilan bagi pelaku, korban,
dan keadilan untuk masyarakat. Hal inilah yang mendorong penerapan prinsip
keadilan restoratif.
Berbicara tentang keadilan restoratif, Jim Consedine mengatakan:
“Kita harus mengetahui sebuah filosofi yang mengubah sebuah hukuman menjadi
perdamaian, kesungguhan melawan pelanggar untuk menyembuhkan korban, dari
perebutan hak dan kekerasan bagi sebuah komunitas dan keseluruhan, tindakan
negatif dan keadilan atas perusakan. ... sebuah filosofi positif mencakup jangkauan
luas atas emosi manusia termasuk penyembuhan, pemberian maaf, kemurahan hati
dan perebutan-perebutan hak sejauh sanksi yang diberikan sesuai yang ditawarakan”.

4
M. Alvi Syahrin 2018 – Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (The Implementation Of Restorative Justice Principles In Integrated
Criminal Justice System)/Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI/Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2018

4
Karakteristik serta ciri-ciri paradigma peradilan restoratif tidak hanya berdimensi
tunggal, melainkan berdimensi tiga sekaligus, yang meliputi korban, pelaku dan
masyarakat.5
Bagir Manan menjelaskan substansi dari keadilan restoratif yang isinya mengenai
prinsip-prinsip, antara lain: membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban
serta kelompok masyarakat untuk menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana;
menempatkan pelaku, korban pun masyarakat untuk bekerja bersama dalam usaha
untuk menemukan penyelesaian atas suatu perkara yang dipandang adil bagi semua
pihak (win-win solutions).
Terkait sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah suatu sistem yang
digunakan dalam masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.
Menanggulangi disini berarti berusaha untuk mengendalikan masalah-masalah
kejahatan agar tetap sesuai dengan batas-batas toleransi masyarakat. Dianggap
berhasil suatu sistem peradilan pidana apabila adanya sebagian besar laporan maupun
keluhan masyarakat yang sebagai korban kejahatan dan berhasil diputuskan bersalah
serta dipidananya orang yang sebagai pelaku kejahatan.
Menurut Remington dan Ohlin, criminal justice system dapat diartikan sebagai
“pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana,
dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil dari interaksi antara
peraturan perundang-undangan, praktik administrasi, dan sikap atau tingkah laku
sosial.”6
Pengertian sistem ini sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang
dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu
dengan segala keterbatasannya.
Dibedakannya antara criminal justice system dengan criminal justice process oleh
Hagan. Menurutnya, criminal justice process merupakan berbagai tahap dari suatu

5
M. Alvi Syahrin 2018 – Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (The Implementation Of Restorative Justice Principles In Integrated
Criminal Justice System)/Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI/Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2018
6
M. Alvi Syahrin 2018 – Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (The Implementation Of Restorative Justice Principles In Integrated
Criminal Justice System)/Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI/Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2018

5
putusan yang dihadapkannya seorang tersangka pada proses yang akan membawanya
kepada penentuan putusan pidana bagi dirinya.
Sedangkan criminal justice system diartikan sebagai interkoneksi dari berbagai
keputusan setiap instansi yang terlibat dalam proses peradilan pidana. Menurut
Mardjono Reksodiputro, sistem peradilan pidana mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Mencegah masyarakat agar tidak menjadi korban kejahatan;
b. Menyelesaikan setiap kasus kejahatan yang terjadi serta menjatuhkannya sanksi
atau hukuman bagi orang yang bersalah agar masyarakat mempunyai rasa
kepuasan terhadap keadilan.
c. Berusaha agar tidak ada lagi pengulangan perbuatan kejahatan oleh mereka yang
pernah melakukannya.

Dalam sistem peradilan pidana, terdapat komponen-komponen yang bekerja sama


terhadap peradilan pidana diantaranya kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Dari keempat komponen tersebut diharapkan agar dapat bekerja
sama untuk membentuk integrated criminal justice system.

Muladi menegaskan bahwa makna dari integrated criminal justice system adalah
sinkronisasi atau kekompakkan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:

a. Structural syncronization (Sinkronisasi struktural) adalah kekompakan antar


lembaga penegak hukum;
b. Substance syncronization (Sinkronisasi substansi) adalah kekompakan dan
keselarasan yang sifatnya vertikal maupun horizontal yang berkaitan dengan
hukum positif;
c. Cultural syncronization (Sinkronisasi budaya) adalah kekompakan dalam
menghayati setiap pandangan hidup, setiap sikap secara menyeluruh yang
mendasari jalannya suatu sistem peradilan pidana.

Dalam sistem peradilan pidana dikenal dengan 3 (tiga) bentuk pendekatan, antara
lain:

a. Pendekatan normatif yang memandang keempat aparat penegak hukum


(kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi
pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat

6
komponen aparatur penegak hukum tersebut menjadi bagian yang tidak dapat
terpisahkan dari sistem penegakan hukum;
b. Pendekatan administrative memandang aparat penegak hukum sebagai organisasi
manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik yang bersifat horizontal
maupun vertikal yang terpenting sesuai dengan struktur organisasinya tersebut.
Dalam pendekatan ini maka digunakan sistem administrasi;
c. Pendekatan sosial memandang aparatur penegak hukum sebagai bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat dapat ikut
bertanggungjawab atas berhasil atau tidaknya keempat aparatur penegak hukum
tersebut dalam menjalakan tugas-tugasnya. Pendekatan ini yang digunakan adalah
sistem sosial.

Muladi mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana itu merupakan suatu


jaringan peradilan memakai penerapan hukum pidana materiil, pidana formil, juga
hukum pelaksanaan pidana. Maka kelembagaan ini harus dilihat dari konteks sosial.
Akan berbahaya jika sifat yang terlalu formal hanya dilandasi untuk kepentingan
kepastian hukum saja. Sehingga sistem peradilan pidana tidak seharusnya hanya
mengejar kebenaran formal saja tetapi juga kebenaran materiil atau nilai-nilai yang
hidup serta diakui oleh masyarakat.

2. Prinsip Keadilan Restoratif Sebagai Pembaharuan Hukum Pidana (Studi


Komperatif)
Di negara-negara maju sistem peradilan pidana keadilan restoratif merupakan
bagian dari inheren. Di Indonesia sendiri keadilan restoratif masih dimaknai sebagai
penjatuhan pidana, serta belum mencapai sasaran untuk pemulihan antara korban dan
pelaku baik setelah pemidanaan maupun sebelum pemidanaan.
Barlingen asal Belanda pada tahun 2000 beliau mengungkapkan tentang restorative
mediation, sebagai berikut:
“Dapat berubahnya pertemuan antara dua orang menjadi suatu konflik. Serta
konflik dapat berubah menjadi suatu tindakan melawan sistem hukum. Misal
banyaknya peristiwa, bagi dua belah pihak yang ikut terlibat, tentu tidaklah mudah
untuk menghapus atau menghindari pertemuan yang dimaksud. Korban tidak lagi
menghendaki untuk mengenang kembali situasi yang menyakitkan yang pernah

7
dialaminya, sementara pelaku kejahatan ingin melupakan perasaan bersalah. Untuk
menjamin pertemuan yang traumatis tentu tidak membawa konsekuensi negatif bagi
masa depan kedua belah pihak, baik korban kejahatan ataupun pelaku kejahatan, hal
ini harus diaturnya sistem pertemuan yang berbeda agar mereka tidak merasa
terbebani seperti halnya pertemuan-pertemuan sebelumnya, memungkinkan mereka
memasuki perasaan saling memahami antara satu sama lain.”
Dari gambaran yang diberikan oleh Marjie van Barlingen diatas maka dapatlah
kita memahami bahwasanya perlu adanya pihak ketiga untuk berinisiatif guna
memperbaiki hubungan kedua belah pihak. Inisiatif disini sangat diperlukan karena
antara kedua belah pihak bisa saja beralasan untuk menutup diri dari pihak ketiga.
Di negara Amerika Serikat dibentuk suatu departement Office of Victims of crime
yang kedudukannya dibawah departemen kehakiman, mencatat peningkatan
signifikan jumlah korban perkosaan yang ingin dipertemukan secara langsung tatap
muka dengan orang yang mencelakai mereka. Dalam suatu pertemuan tersebut, si
korban mempunyai kesempatan untuk mengungkapkan penderitaannya di depan
pelaku kejahatan bahwa akibat ulah dari si pelaku kejahatan tersebut betapa
hancurnya hidup mereka. Menerima fakta yang dihadapkan langsung sebagai akibat
perbuatan si pelaku kejahatan, maka atas dasar pengalaman tersebut di seluruh
Amerika Serikat telah ada sekitar 300 komunitas yang tergabung dalam apa yang
dinamakan Victim Offender Mediation (VOM).
Menurut J.O Halley Jepang dan Korea merupakan dua negara yang sukses
meminimalisir angka kejahatan yaitu dengan cara melakukan pendekatan-pendekatan
dengan instrument restorative justice.7 Pun negara-negara maju yang lain seperti
Amerika Serikat, Belanda dan Inggris juga memiliki instrument hukum melalui
restorative justice. Dalam banyaknya perkara pidana, stigma akibat penjatuhan
pidana pada dasarnya dapat dihapus melalui tindakan restoratif, karena selain
kompensasi dalam restitusi, restorasi dan rekonsiliasi memegang peranan penting
yaitu dapat menyembuhkan luka sosial akibat perbuatan kejahatan.

7
M. Alvi Syahrin 2018 – Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (The Implementation Of Restorative Justice Principles In Integrated
Criminal Justice System)/Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI/Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2018

8
Ekslusifitas serta keunikan peradilan restoratif di negara Jepang diungkapkan oleh
J.O Halley sebagai berikut:
“Jepang merupakan negara industri selain Korea, dimana menurunnya tingkat
kriminal selama satu setengah abad. Hal ini mungkin disebabkan karena semakin
membaiknya peraturan di negara tersebut kemudian juga adanya pengakuan akan
budaya serta kelonggaran-kelonggaran pemaafan dari pihak korban terhadap pihak
pelaku kejahatan. Ketika para pelaku kejahatan di Jepang mengakui kesalahannya
pada umumnya pihak korban menerima risiko ataupun ampunan yang diberikan
secara formal oleh hakim dan pengadilan. Di negara Jepang pengadilan kriminal pada
umumnya berkaitan dengan kontrol pengajaran tingkah laku kriminal dalam proses
pengakuan, tobat serta permintaan maaf, membangun komunitas yang merupakan
mekanisme sosial kontrol.”
Terdapat satu istilah hukum dalam pelaksanaan pidana yang dapat merangkum
cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process of law” adalah proses hukum yang adil
dan layak.8 Proses hukum yang adil dan layak merupakan sistem peradilan pidana,
selain kita harus melaksanakan prinsip penerapan hukum acara pidana yang sesuai
dengan asas-asasnya, dalam pidana kita juga harus didukung oleh batin diri sendiri
dengan prinsip penegak hukum yang selalu menghormati hak-hak setiap masyarakat.
Di Indonesia sendiri model peradilan pidana yang sesuai untuk diterapkan adalah
model keadilan restoratif. Model peradilan restoratif berusaha untuk memperbaiki
setiap insan manusia dengan cara mempertemukan kedua belah pihak secara langsung
tatap muka, antara pelaku kejahatan dan korban kejahatan di pengadilan pidana.
Kemudian ada beberapa indikator menuju ke arah model peradilan pidana yang
berupa keseimbangan kepentingan (kepentingan masyarakat, negara, dan korban
perkosaan) hal tersebut dipandang model yang mencerminkan nilai-nilai ideologi dan
nilai kebudayaan masyarakat Indonesia yang bercirikan selaras, serasi dan seimbang
yang mana seperti yang telah termaktub dalam sila-sila Pancasila.

8
M. Alvi Syahrin 2018 – Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (The Implementation Of Restorative Justice Principles In Integrated
Criminal Justice System)/Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI/Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2018

9
Made Sadhi Astute mengemukakan bahwa dalam teori pidana kebijaksanaan itu
berdasarkan pada Pancasila. Hal ini berarti Pancasila harus menggarami, dijadikan
sebagai penyedap arti, sifat, bentuk, serta tujuan dari pidana pun pemidanaan. Cita-
cita para pakar hukum pidana Indonesia adalah untuk menjalankan hukum yang hidup
dan berkembang di masyarakat dalam hal ini di bidang hukum pidana.
Dalam rangka pembaruan hukum pidana, maka yang harus dilakukan adalah
reorientasi terhadap segala aturan kolonial Belanda yang mana sering disebut telah
usang dan tidak adil (obsolute and unjust). Usaha pembaruan hukum pidana yang
dilandaskan pada nilai-nilai masyarakat merupakan salah satu upaya yang terus
menerus dilakukan, dan harus terus menghindarinya suatu tindakan yang
bertentangan dengan prinsip seperti proses peradilan yang lamban, tidak efisien dan
tidak akurat, hal-hal semacam itu haruslah dihindari serta urusan campur tangan
proses administrasi haruslah dijaga semaksimal mungkin.

3. Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Perlindungan Saksi dan Korban


Restorative justice merupakan model peradilan yang sangat ideal bagi sistem
peradilan di Indonesia, hal ini karena terdapat keseimbangan dalam prinsip keadilan
restoratif yaitu memperoleh perlindungan hukum, yang selain melindungi
kepentingan negara juga melindungi hukum terhadap pelaku perkosaan. Sedangkan
kita tahu bahwa hukum yang mempunyai keseimbangan seperti ini yang merupakan
cita cita suatu hukum itu sendiri (rechtsidee).
Terhadap korban, perlindungan hukum hendaknya bukan suatu integral dari
perlindungan hukum untuk masyarakat. Hal demikian sudah di atur dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban, yaitu
tersedianya hak hukum bagi pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis
serta bantuan hukum.
Hak-hak atas korban diatur dan dilindungi oleh Pasal 5 Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006, diantaranya:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan serta
dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

10
d. Mendapatkan penerjemah;
e. Bebas dari pernyataan menjerat;
f. dan lain-lain.9

Kemudian juga mengenai hak-hak Saksi misalnya:


a. hak untuk didengar pendapatnya;
b. hak atas restitusi;
c. hak untuk mendapatkan bantuan medis;
d. dan lain-lain.
Peradilan restoratif merupakan peradilan yang sebagaimana dikemukakan oleh
Muladi, yaitu diakuinya peran korban dan pelaku kejahatan tindak pidana baik dalam
proses penyelesaian hak-hak korban maupun dalam menentukan masalah. Restitusi
dan kompensasi dijadikan sebagai sarana bagi semua pihak, dan rekonsiliasi serta
restorasi dijadikan sebagai tujuan utamanya dalam peradilan restoratif.

4. Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak


Proses keadilan restoratif mempunyai eksistensi sebagai alternatif dalam
penyelesaian perkara pidana yang mana sangat ditentukan oleh budaya hukumnya,
baik dalam masyarakat ataupun dari aparatur penegak hukumnya sendiri. Keadilan
restoratif mengedepankan penyelesaian masalah antara pihak dalam perihal hubungan
sosial dan mengesampingkan untuk menghadapkan pelaku kejahatan kepada aparat
pemerintah.
Di Indonesia, sistem peradilan pidana anak yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, perubahan ini merupakan perubahan yang
sifatnya fundamental sebagai bentuk upaya untuk mengatasi kelemahan dari Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1997. Perubahan fundamentalnya yaitu digunakannya
pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana anak melalui sistem

9
M. Alvi Syahrin 2018 – Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (The Implementation Of Restorative Justice Principles In Integrated
Criminal Justice System)/Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI/Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2018

11
diversi. Dalam peraturan diversi para penegak hukum diwajibkan untuk
menyelesaikan perkara melalui jalur non-formal pada seluruh tahapan proses hukum.
Dalam Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menyatakan: “keadilan restoratif adalah penyelesaian
perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban,
dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.”
Dalam sistem peradilan pidana anak diwajibkan untuk mengutamakan pendekatan
keadilan restoratif. Yang mana sistem peradilan pidana anak meliputi:
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak;
b. Persidangan anak oleh pengadilan;
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan atau pendampingan.10

Pada ayat (2) huruf a dan b dalam Sistem Peradilan Pidana Anak wajib diupayakan
diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses pengadilan
ke luar pengadilan.

Alternatif Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Kekerasan dalam


Rumah Tangga
Persoalan mengenai kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan suatu
permasalahan yang tidak sederhana, perkara KDRT termasuk dalam kategori
persoalan yang kompleks, baik ditinjau dari sisi yuridis pun non-yuridis.11 Setiap
orang berhak atas perlindungan hukum, rasa aman, dan perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, yang mana itu
merupakan hak asasi manusia. Ketidaknyamanan dalam suatu keluarga salah satunya

10
M. Alvi Syahrin 2018 – Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (The Implementation Of Restorative Justice Principles In Integrated
Criminal Justice System)/Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI/Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2018
11
M. Rudi Hartono 2014 – Alternatif Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak
Kekerasan dalam Rumah Tangga/Jurnal ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.14
No.1 Tahun 2014

12
disebabkan karena adanya kekerasan dalam rumah tangga. Perlu adanya jaminan bagi
korban untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan hukum.
Penyelesaian perkara KDRT dapat di selesaikan diluar proses pengadilan yakni
dengan menerapkan prinsip restorative justice. Prinsip peradilan restorative justice
ini lebih mengedepankan perdamaian antara korban dan pelaku, saling memaafkan
satu sama lainnya dan memperbaiki kembali kehidupan rumah tangga mereka.

Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif dalam Penyelesaian Tindak Pidana dan


Pengaruhnya dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Dalam KUHP sistem hukuman pidana pada dasarnya masih mempertahankan
paradigma retributif, yakni memberikan pembalasan yang sesuai untuk kejahatan
yang telah dilakukan oleh pelaku serta masih fokus pada penuntutan pelaku kejahatan,
belum memperhatikan pemulihan kerugian.12
Memang, konsep keadilan restoratif pada dasarnya telah ada dan telah
dipraktekkan sejak dulu. Namun konsep keadilan restoratif belum diatur secara jelas
dalam sistem peradilan pidana Indonesia, yang dampaknya menempatkan posisi
hukum pada keadaan yang sulit dan dilematis mengingat penyelesaian perkara pidana
saat ini sangat formalistik dan legalistik.
Perlu diketahui bahwasanya dalam sistem hukum di Indonesia saat ini tidak
mengakui adanya mediasi dalam sistem peradilan pidana, akan tetapi dalam
prakteknya di lapangan banyak perkara pidana yang diselesaikan dengan mekanisme
pendekatan restoratif hal ini merupakan inisiatif dari para aparat penegak hukum
sebagai bagian dari upaya penyelesaian perkara.
Dalam konsep keadilan restoratif ini memberikan perhatian yang lebih kepada
korban dan pelaku. Pun otoritas untuk menentukan rasa keadilan masyarakat berada
di tangan para pihak bukan di tangan penguasa (negara). Sistem peradilan restoratif
melibatkan komunitas aparat penegak hukum, para korban, pelaku keluarga korban
ataupun pelaku serta masyarakat yang masih dianggap ada kaitannya dengan perkara.

12
Henny Saida Flora 2018 – Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif dalam Penyelesaian
Tindak Pidana dan Pengaruhnya dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia/Fakultas
Hukum Universitas Katolik St. Thomas Medan Sumatera Utara/UBELAJ, Volume 3
Number 2, October 2018 l 142

13
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Prinsip keadilan restoratif merupakan pemulihan hubungan baik antara pelaku dan korban
kejahatan, sehingga diharapkan agar tidak ada lagi dendam diantara keduanya. Hal ini
terlepas dari pelaku kejahatan sudah memberikan restitusi atau ganti kerugian kepada
korban kejahatan sehingga dapat terbantunya penderitaan yang dirasakan oleh korban
kejahatan akibat ulah pelaku kejahatan. Kemudian apabila pelaku kejahatan tidak dapat
mengganti restitusi, maka menjadi kewajiban negara untuk memberikan atau membayar
apa yang telah menjadi hak korban meskipun masih harus melalui penetapan hakim.

Penyelesaian perkara melalui metode restorative justice yaitu dengan cara


mempertemukan kedua belah pihak antara korban dan pelaku kejahatan di suatu tempat
tertentu di luar pengadilan. Pihak-pihak yang hadir dalam restorative justice adalah
korban, pelaku, keluarga korban/pelaku, dan pihak ketiga sebagai mediasi.

Urgensi dari restorative justice adalah mengembalikan hubungan korban dan pelaku
seperti keadaan semula sehingga diharapkan tidak ada lagi rasa dendam, kemudian
berusaha untuk meningkatkan rasa keadilan bagi masyarakat dalam hal ini khususnya
korban dan pelaku kejahatan melalui jalan alternatif yaitu restorative justice.

14
DAFTAR PUSTAKA

Internet/Website:

https://nuraminsaleh.blogspot.com/2016/02/sejarah-perkembangan-restorative
justice.html

Majalah:

M. Alvi Syahrin 2018 – Penerapan Prinsip Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan
Pidana Terpadu (The Implementation Of Restorative Justice Principles In
Integrated Criminal Justice System)/Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia RI/Majalah Hukum Nasional Nomor 1 Tahun 2018

Jurnal:

M. Rudi Hartono 2014 – Alternatif Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak


Kekerasan dalam Rumah Tangga/Jurnal ilmiah Universitas Batanghari Jambi
Vol.14 No.1 Tahun 2014

Henny Saida Flora 2018 – Keadilan Restoratif Sebagai Alternatif dalam Penyelesaian
Tindak Pidana dan Pengaruhnya dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia/Fakultas Hukum Universitas Katolik St. Thomas Medan Sumatera
Utara/UBELAJ, Volume 3 Number 2, October 2018 l 142

15

Anda mungkin juga menyukai