Anda di halaman 1dari 15

Restorative Justice

(UU SPPA 2012 & KUHP 2023)


Oleh : Indra Wahyu Ramadhani, S.H.
Dosen Pengampu : Dr. Hj. Nurunnisa, S.H., M.H.
Mata Kuliah : Hukum Pidana Anak
Restorative Justice

Restorative Justice (RJ) adalah pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang
berfokus pada pemulihan kerugian, rekonsiliasi, dan rehabilitasi, bukan hanya pada
hukuman kepada pelaku kejahatan. Pendekatan ini menekankan pentingnya
memperbaiki dampak sosial, psikologis, dan emosional yang ditimbulkan oleh tindak
kriminal kepada korban, pelaku, dan masyarakat.
1. Pemulihan dan Keterlibatan Pihak
yang Terlibat
2. Pendekatan Kolaboratif
3. Alternatif dari Hukuman Tradisional
Beberapa poin penting tentang
Restorative Justice (RJ) dan 4. Pembangunan Masyarakat yang
relevansinya dalam sistem Lebih Aman
peradilan pidana: 5. Penerapan dalam Sistem Peradilan
Pidana
Implementasi Restorative Justice Dalam UU SPPA
Tahun 2012
Implementasi Restorative Justice (RJ) dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) tahun 2012 di
Indonesia dapat tercermin dalam berbagai aspek:

1. Prinsip-prinsip Restorative Justice dalam UU SPPA 2012: UU SPPA 2012 menekankan prinsip-prinsip RJ dalam
menangani anak sebagai pelaku kejahatan. Hal ini mencakup prinsip keadilan restoratif, tanggung jawab, pertobatan,
rekonsiliasi, dan penyelesaian yang melibatkan partisipasi korban, keluarga, dan masyarakat.
2. Prosedur Mediasi: UU SPPA 2012 memungkinkan proses mediasi antara pelaku dan korban sebagai bagian dari
alternatif penyelesaian sengketa. Proses ini dirancang untuk mencapai kesepakatan yang memulihkan kerugian yang
diakibatkan oleh tindakan pelaku.
3. Program Pemulihan dan Reintegrasi: UU SPPA 2012 mendorong pengembangan program-program rehabilitasi dan
reintegrasi bagi anak-anak yang terlibat dalam sistem peradilan pidana. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi
pemulihan pelaku, mengembalikan mereka ke masyarakat, dan mencegah terulangnya perilaku kriminal.
Restorative Justice UU SPPA 2012

Restorative Justice (RJ) merupakan pendekatan dalam sistem peradilan pidana yang menekankan rekonsiliasi, pertobatan,
dan restorasi hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat yang terkena dampak kejahatan. Dalam Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) tahun 2012, terdapat beberapa poin yang mendukung penerapan prinsip-
prinsip Restorative Justice:

1. Mediasi dan Pendekatan Alternatif: UU SPPA 2012 memberikan landasan bagi penggunaan mediasi sebagai salah
satu metode alternatif dalam menyelesaikan kasus-kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku kejahatan. Proses
mediasi ini bertujuan untuk mencapai kesepakatan yang menguntungkan semua pihak yang terlibat, seperti pelaku,
korban, dan masyarakat.
2. Pemulihan dan Rehabilitasi: Pendekatan rehabilitatif menjadi fokus dalam UU SPPA 2012. Hal ini mencakup
upaya-upaya pemulihan, baik bagi korban maupun pelaku, dengan memberikan kesempatan bagi pelaku untuk
bertobat, memperbaiki tindakan yang salah, serta memulihkan kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan mereka.
3. Partisipasi Korban dan Masyarakat: UU ini mendorong partisipasi aktif korban dan masyarakat dalam proses
peradilan pidana anak. Melibatkan korban dan masyarakat dalam proses pemulihan dan rekonsiliasi menjadi salah
satu aspek penting dalam pendekatan restoratif.
Restorative Justice KUHP 2023

UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga menjealaskan bahwa
restorative justice sebagaimana diatur dalam Pasal 54 yang mengatur pedoman pemidanaan wajib
mempertimbangkan pemaafan dari korban atau keluarga korban. KUHP juga membuka peluang bagi hakim
untuk memberikan pengampunan atau judicial pardon

Penerapan atau penekanan terhadap Restorative Justice dalam KUHP 2023 bisa menjadi bagian dari upaya
pembaruan hukum yang lebih mengutamakan pendekatan yang lebih restoratif, rehabilitatif, dan
memperhatikan perlindungan hak-hak individu terutama dalam konteks peradilan pidana.
Restorative Justice UU SPPA 2012

Diversi dan Keadilan Restoratif telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) lebih mengutamakan perdamaian dari pada proses hukum
formal. Perubahan yang hakiki antara lain digunakannya pendekatan Keadilan Restoratif
(Restorative Justice) melalui sistem diversi. UU SPPA mengatur mengenai kewajiban para
penegak hukum mengupayakan diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses
peradilan ke proses di luar peradilan pidana) pada seluruh tahapan proses hukum
Restorative Justice KUHP 2023

Kemudian UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
juga mengatur restorative justice walau tidak eksplisit. Yakni sebagaimana diatur dalam
Pasal 54 yang mengatur pedoman pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari
korban atau keluarga korban. KUHP juga membuka peluang bagi hakim untuk memberikan
pengampunan atau judicial pardon.
Perbandingan Implementasi Restorative Justice UU
SPPA 2012 dan KUHP 2023

Aspek UU SPPA 2012 UU KUHP 2023

Tindak pidana
yang dapat Semua tindak pidana, kecuali tindak pidana
diterapkan Tindak pidana tertentu yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

Kesepakatan
pelaku dan
korban Wajib Wajib

Proses Tidak diatur secara detail Diatur secara lebih detail


Restorative justice adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan dialog dan musyawarah
antara pelaku, korban, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mencapai penyelesaian yang adil dan damai.
Restorative justice bertujuan untuk memulihkan hubungan yang rusak akibat tindak pidana, sekaligus mencegah
terjadinya tindak pidana di masa depan. Pada dasarnya, restorative justice telah diakomodir dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU SPPA) sejak tahun 2012. Namun,
implementasi restorative justice dalam UU SPPA masih memiliki beberapa keterbatasan, antara lain:
1. Hanya dapat diterapkan pada tindak pidana tertentu, yaitu tindak pidana yang tidak menimbulkan kerugian
fisik atau kerugian yang tidak dapat pulih kembali.
2. Hanya dapat diterapkan jika pelaku dan korban setuju untuk mengikuti restorative justice.
3. Proses restorative justice tidak diatur secara detail dalam UU SPPA.

Untuk mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2022 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU KUHP) telah
melakukan beberapa perubahan, antara lain:
4. Restorative justice dapat diterapkan pada semua tindak pidana, kecuali tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
5. Restorative justice dapat diterapkan secara wajib jika pelaku dan korban setuju untuk mengikuti.
6. Proses restorative justice diatur secara lebih detail dalam UU KUHP.
Dampak Penerapan Restorative Justice
1. Restorative Justice (RJ) dalam sistem peradilan pidana memiliki dampak yang signifikan:

2. Rekonsiliasi: Mendorong pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku kejahatan, korban, dan masyarakat
terkena dampak.

3. Pemberdayaan: Memberi kesempatan kepada pelaku untuk bertanggung jawab, belajar dari kesalahan, dan
berkontribusi memperbaiki kerugian yang diakibatkan.

4. Pencegahan Kejahatan: Mengurangi potensi kejahatan ulang dengan fokus pada rehabilitasi dan perbaikan
perilaku.

5. Keadilan yang Komprehensif: Memastikan keadilan dengan memperbaiki kerugian korban, sementara
pelaku melakukan tanggung jawabnya.

6. Entengkan Beban Sistem Hukum: Memberikan alternatif penyelesaian di luar pengadilan untuk kasus-
kasus minor, mengurangi beban sistem peradilan.

7. Reintegrasi Sosial: Memfasilitasi proses pengembalian pelaku ke masyarakat dengan memperbaiki


kesalahan mereka.
Arah Perubahan Mekanisme Restorative Justice

Beberapa mekanisme peradilan pidana yang sejalan dengan keadilan restoratif yang perlu dikuatkan dalam sistem peradilan
pidana Indonesia ke depan :

1. Pemulihan Hak Korban

Sebagai program langsung (direct programme) keadilan restoratif, pemulihan korban berprinsip bahwa respons
terhadap kejahatan harus sebisa mungkin memulihkan hak korban

2. Mediasi Penal

Sebagai program langsung (direct programme) keadilan restoratif, mediasi penal membuka ruang bagi dialog korban,
pelaku, maupun masyarakat terkait untuk melakukan rekonsiliasi, pemulihan korban, serta perbaikan kerugian nyata
yang dialami korban

3. Diversi

Sebagai program langsung (direct programme) keadilan restoratif, Diversi merupakan alternatif penyelesaian perkara
di luar peradilan yang membuka peluang dialog dan keterlibatan korban, pelaku, maupun masyarakat terkait dalam
memperbaiki kerugian dan pemulihan korban.
Arah Perubahan Mekanisme Restorative Justice

4. Pidana Pengawasan

Sebagai program pendukung (enabler programme) keadilan restoratif, Pidana Pengawasan berpotensi
menghasilkan pemulihan korban ketika hakim mencantumkan syarat pemulihan korban oleh pelaku pada
putusannya

5. Pengesampingan Perkara Atas Kebijakan Penuntutan (Seponering)

Sebagai program pendukung (enabler programme) keadilan restoratif, Seponering dapat mendorong reintegrasi
(calon) pelaku pada masyarakat, serta mengurangi overcrowding lapas

6. Pemaafan Hakim (Judicial Pardon)

Sebagai program pendukung (enabler programme) keadilan restoratif, Pemaafan Hakim dapat menghadirkan
ruang bagi hakim untuk mendengarkan dan mempertimbangkan pendapat serta pandangan korban terkait kasus
yang dialaminya
Kesimpulan
Kesimpulannya, bahwa jika program RJ dilakukan di luar sistem peradilan pidana dan statusnya
didudukkan sebagai alternatif dari mekanisme peradilan, maka tingkat kepuasan para pencari keadilan
justru lebih tinggi jika mereka mengikuti program-program RJ ketimbang mengikuti sistem peradilan
pidana. Selain tingkat kepuasan yang lebih tinggi, penerapan program-program RJ di luar sistem
peradilan pidana juga diterima karena lebih efisien. Namun, pelaksanaan program-program RJ tidak
hanya dapat dilakukan di luar sistem peradilan pidana sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, maka
penting pula untuk dibahas mengenai program-program RJ pada setiap tahapan-tahapan peradilan
pidana serta bagaimana program-program RJ tersebut dapat diejawantahkan secara konkret dalam
kebijakan-kebijakan yang bersifat teknis dalam tiap-tiap tahapan sistem peradilan pidana. Hal ini amat
penting untuk dipahami, agar para penegak hukum tidak terjebak dengan cara pandang bahwa “RJ
sebatas mengesampingkan penanganan perkara pidana”, melainkan seharusnya memandang RJ sebagai
suatu pendekatan dalam penegakan hukum untuk menyempurnakan sistem peradilan pidana dengan
memberikan fokus pada pemulihan terhadap korban

Anda mungkin juga menyukai