Anda di halaman 1dari 13

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER PSIKOLOGI FORENSIK

“Restorative Justice”

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Ujian Tengah Semester

Dosen Pengampu: Ratri Kartikaningtyas, M.Psi, Psi

Disusun oleh :

David Efrido

46116210005

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MERCU BUANA

2019

1
PEMBAHASAN

A. Definisi Restorative Justic

James Dignan menguraikan sisi historis keadilan restoratif (restorative justice),


dengan mengatakan bahwa the term restorative justice is ussualy attributed to Albert
Eglash (1977), who sought to differentiate between what he saw as three distinct forms of
criminal justice. The first is concerned with “retributive justice”, in wich the primary
emphasis is on punishing offender for what they have done. The second relates to what he
called “distributive justice” in wich the primary emphasis is on the rehabilitation of
offenders. The third is concerned with “restorative justice”, which he broadly equated
with the principle of restitution (Dignan, 2005:94). Karena itu pembicaraan tentang
restorative justice tidak dapat dilepaskan dari seorang yang bernama Albert Eglash yang
pada tahun 1977 membagi tiga kategori peradilan pidana yakni retributive justice,
distributive justice dan restorative justice. Singkatnya konsep restorative justice pertama
kali diperkenalkan oleh Albert Eglash. Namun demikian jauh sebelum Albert Eglash
mengemukakan gagasannya, peradaban dan tradisi Arab Kuno, Yunani, Romawi Kuno
dan Hindustan sebetulnya telah mengenal keadilan restoratif khusus dalam kejahatan
penghilangan nyawa. Meskipun pada saat itu tidak menggunakan istilah keadilan
restoratif tetapi paling tidak terdapat pendekatan restoratif.
Demikian pula di kalangan masyarakat Budha, Tao dan Konfusius yang jauh-jauh hari
telah mendorong keadilan restoratif dalam menyelesaikan masalah hukum mereka,
melalui semboyan “he who atones is forgiven” artinya dia yang menebus, diampuni.
Ditegaskan oleh John Braithwaite, restorative justice it grounding in traditions of justice
from the ancient Arab, Greek, and Roman civilization, Indian Hindus, Taoist, and
Confucian that accepted a restorative approach even to homicide, for whom “he who
atones forgiven” (Braithwaite, 1998:323).
Restorative justice atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut keadilan restoratif
merupakan suatu jalan untuk menyelesaikan kasus pidana yang melibatkan masyarakat,
korban, dan pelaku kejahatan dengan tujuan agar tercapai keadilan bagi seluruh pihak
sehingga diharapkan terciptanya keadaan yang sama seperti sebelum terjadinya kejahatan
dan mencegah terjadinya kejahatan lebih lanjut.

2
Terdapat banyak variasi bentuk pendekatan yang digunakan dalam penerapan Restorative
Justice. Secara umum model-model tersebut, sebagaimana dipaparkan oleh (Zulfa,
2011:88- 92), dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) bentuk utama yang dikenal, sebagai
berikut:
1. Victim offender mediation adalah salah satu bentuk pendekatan restoratif, di mana
dibuat suatu forum yang mendorong pertemuan antara pelaku dan korban yang
dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.
Bentuk ini dirancang untuk mencari kebutuhan yang menjadi prioritas korban,
khususnya kebutuhan untuk didengar keinginan-keinginannya mengenai:
a) bentuk tanggungjawab pelaku;
b) kebutuhan akan pengobatan atau pendampingan bagi korban; dan
c) keinginan korban untuk didengarkan pelaku terhadap dampak tindak pidana bagi
kedua pihak dan berdiskusi tentang penanganan, usaha perbaikan dari dampak yang
diderita oleh keduanya.
2. Adapun conferencing adalah bentuk penerapan pendekatan Restorative Justice yang
dikembangkan di New Zealand, dan merupakan reaksi dari proses penyelesaian
perkara pidana secara tradisional yang ada di suku Maori, penduduk asli bangsa
Negara tersebut. Bentuk ini kemudian diadopsi oleh banyak Negara seperti Australia,
Afrika Selatan, Amerika Serikat dan beberapa Negara Eropa. Dalam bentuk
conferencing ini penyelesaian perkara bukan hanya melibatkan pelaku dan korban
langsung (primary victim), tetapi juga korban secara tidak langsung (secondary victim)
seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku. Dari
beberapa model conferencing yang berkembang, model yang disebut Family Group
Conference(FCG) menjadi model yang berkembang terkait dengan penanganan
perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Dalam model ini penyelesaian akhir
difokuskan pada upaya pemberian pelajaran atau pendidikan kepada pelaku atas
perbuatannya terhadap korban.
3. Circles adalah bentuk penerapan Restorative Justice yang diadopsi dari praktek di
Kanada, di mana para pihak yang terlibat meliputi pelaku, korban, keluarga, dan pihak
lain yang terlibat termasuk di dalamnya penegak hukum. Berbeda dengan dua model
sebelumnya, dalam model ini, setiap anggota masyarakat yang merasa berkepentingan
dengan perkara tersebut dapat datang dan ikut berpartisipasi. Dalam hal ini, Circles
didefinisikan sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dengan tindak pidana secara
meluas.

3
B. Latar Belakang Restorative Justice

Wesley Cragg mengaitkan kemunculan restorative justice dengan teori retributif atau
pembalasan dalam hukum pidana. Menuut Cragg teori pembalasan pada dasarnya kurang
begitu berhasil dalam menekan terjadinya kejahatan. Lebih parahnya lagi tidak mampu
memperbaiki kerugian yang diderita oleh korban. Karena itu ada sebuah upaya untuk
mengubah paradigma pemidanaan dari pembalasan menuju restoratif atau pemulihan
(Cragg, 1992:138-140). Dalam perkembangannya konsep restorative justice tersebut terus
berevolusi dengan berbagai istilah dan menjadi model yang dominan dalam peradilan
pidana pada sebagian besar sejarah umat manusia dari segala bangsa (Braithwaite,
1998:324). Demikian pula John Braithwaite menyebut bahwa restorative justice pada
awalnya dianggap sebagai model alternatif yang ditujukan untuk peradilan anak.
Dikatakan demikian karena model ini menitik beratkan pada keadilan dan kesejahteraan
atau antara antara rehabilitasi dan retribusi (Braithwaite, 2002:10). Menghukum pelaku
kejahatan adalah penting dilakukan tetapi tidak boleh melupakan upaya perbaikan pada
mental pelaku. Atas gagasan ini Kathleen Daly menyebut restorative justice is a set of
ideals about justice the assumes a generous, emphatetic, supportive, and rational human
spirit (Sullivan dan Tifft, 2006:134). Joanna Shapland dengan mengutip argumentasi
Marshall mendefinsikan restorative justice sebagai process whereby all the parties with a
stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the
aftermath of the offence and its implication for the future (von Hirsch, et.all, 2003:197).
Keadilan restoratif adalah sebuah proses dimana para pihak (pelaku-korban) yang terlibat
dalam kejahatan secara bersama-sama mengatasi tindakan tersebut termasuk
menyelesaikan dampaknya di masa mendatang. Wayne R. LaFave menempatkan keadilan
restoratif sebagai bagian dari teori pemidanaan. LaFave kemudian mengatakan,
restorative justice its said, creates an avenue to bring criminals and their victims together
rather than keep them apart (LaFave, 2010:27). Dengan demikian keadilan restoratif
adalah berusaha membawa pelaku dan korban kejahatan agar secara bersama-sama
membahas penyelesaian masalah mereka.
Latar belakang filosofis lahirnya Restorative Justice di Indonesia adalah memiliki
keterkaitan dengan Anak bahwasanya Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam
konstitusi Indonesia anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa
negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang

4
serta atas perlndungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, kepentingan
terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup
umat manusia. Adapun substansi yang diatur dalam undang-undang ini, antara lain,
mengenai penempatan Anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang mendasar dalam undang-
undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai keadilan Restorative dan Diversi
yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan Anak dari proses peradilan
sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang bermasalah dengan hukum
dan diharapkan Anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Oleh karena
itu, sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka mewujudkan hal tersebut.
Proses itu harus bertujuan pada terciptanya Keadilan restorative, baik bagi Anak maupun
bagi Korban. Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak
yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta
menciptakan satu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan
melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki,
rekonsiliasi, dan menentramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Dari kasus yang
muncul, ada kalanya Anak berada dalam status saksi dan/atau korban sehingga Anak
Korban dan/atau Anak Saksi juga diatur dalam undang-undang ini. Khusus mengenai
sanksi terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu telah mencapai
umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan
dan pidana. Mengingat ciri dan sifat yang khas pada anak dan demi perlindungan terhadap
Anak, perkara anak yang berhadapan dengan hukum wajib disidangkan di pengadilan
pidana anak yang berada di lingkungan peradilan umum. Proses peradilan perkara Anak
sejak ditangkap, ditahan, dan diadili pembinaannya wajib dilakukan oleh pejabat khusus
yang memahami masalah anak. Namun, sebelum masuk proses peradilan, para penegak
hukum, keluarga, dan masyarakat wajib mengupayakan proses penyelesaian di luar jalur
pengadilan, yakni melakukan Diversi berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak ini mengatur mengenai keseluruhan
proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum mulai tahap
penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani pidana.
Arah peradilan pidana di Indonesia pada saat ini mengalami pergeseran dari retributif ke
restoratif-rehabilitatif atau daad-dader-strafrecht atau model keseimbangan kepentingan.
Hal ini terkonfirmasi melalui UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, yang dalam Pasal 6 jo Pasal 8 menekankan pada konsep keadilan

5
restoratif melalui diversi. Kedua konsep ini memungkinkan penyelesaian perkara anak ke
luar peradilan pidana. Namun demikian tidak semua tindak pidana yang dilakukan oleh
anak dapat diselesaikan di luar pengadilan (diversi) kecuali terpenuhi dua syarat yaitu
tindak pidana diancam pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana (residivis).
Inti dari keadilan restoratif yaitu:
 Pertama, dalam penyelesaian perkara anak diupayakan agar pelaku dan
keluarganya serta korban dan keluarganya dapat duduk bersama untuk
membicarakan penyelesaian masalah termasuk pemulihan kepada korban
(restitution in integrum).
 Kedua, keadilan restoratif hakikatnya adalah memberi hukuman kepada pelaku
tetapi hukuman tersebut bersifat mendidik sehingga memberi manfaat baik kepada
pelaku maupun korban. Hal ini sejalan dengan adugium delinquens per iram
provocatus puniri debet mitius.
 Ketiga, peraturan a quo menggunakan dua pendekatan yakni pendekatan mediasi
korban dan pelaku (victim offender mediation) seperti yang diterapkan di Amerika
Utara serta pendekatan yang menekankan pada ganti kerugian dan pemulihan
(court based restitutive and reparative measure), seperti yang dipraktikan di
Inggris.

C. Kelebihan dan Kekurangan Restorative Justice beserta Pro dan Kontra

Kelebihan dari konsep restorative justice menurut Dr. Sukardi, SH, M.Hum ini yaitu
antara lain :
 Dapat memulihkan kerugian, kerusakan atau penderitaan korban serta
memberikan rasa adil bagi korban.
 Dapat menghilangkan stigma negative bagi pelaku di mata masyarakat,
terutama bagi korban dan keluarganya.
 Dapat mengembalikan hubungan baik antara pelaku, korban, keluargannya
serta masyarakat di masa yang akan datang.
 Mendidik pelaku untuk bertanggungjawab atas perbuatannya.
 Prosesnya relative cepat dan biaya ringan.
Kemudian kelemahan dari konsep ini antara lain :

6
 Tidak ada keseragaman hukuman (sanksi) yang dapat dipandang tidak adil
bagi si miskin.
 Perbedaan Nilai perbuatan baik-jahat tidak lagi menjadi penting, perbuatan
dapat dinilai dengan materi.
 Dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu, untuk keuntungan pribadi,
ataau menjadi mata pencaharian.
 Tidak ada unifikasi dalam proses peradilan pidana, karena akan berbeda tiap
daerah.
Penerapan Konsep Restorative justice dalam hukum pidana
Substansi dari konsep restorative justice yang dapat membedakan dengan
konsep criminal justice menurut Ahmad Ali adalah :
1) Bahwa Kejahatan adalah pelanggaran terhadap rakyat dan hubungan antara warga
masyarakat.
2) Pelanggaran menciptakan kewajiban
3) Keadilan mencakup para korban, para pelanggar, dan warga masyarakat di dalam
suatu upaya untuk meletakkan segala sesuatunya secara benar.
4) Focus sentralnya : para korban membutuhkan pemulihan kerugian yang dideritanya
(baik secara fisik, psikologis, dan materi) dan pelaku bertanggung jawab untuk
memulihkannya (biasanya dengan cara pengakuan bersalah, permohonan maaf dan
rasa penyesalan dari pelaku dan pemberian kompensasi ataupun restitusi).
Hakekat dari konsep keadilan restorasi ini, sesungguhnya adalah penghargaan
terhadap harkat dan martabat manusia. Manusia adalah makhluk pribadi dan makhluk
sosial yang tidak luput dari kesalahan dan kehilafan. Persoalannya adalah orang yang
berwenang atau berhak memberikan hukuman terhadap orang lain yang dianggap
melakukan kejahatan atau melanggar aturan hukum, belum tentu lebih baik dari orang
yang dihukum, bahkan belum tentu hukum yang dijadikan dasar memiliki integritas
keadilan. Di dalam filsafat ketuhanan, maka Tuhanlah yang paling adil, paling bersih
dari kesalahan, paling kuasa dan paling kekal. Oleh karena itu hanya Tuhanlah yang
paling pantas memberikan hukuman. Selain itu, manusia harus memiliki sifat saling
memaafkan, saling memperbaiki dan saling melindungi di antara sesama. Bagi korban
yang dirugikan, akan lebih bermanfaat jika kerugiannya diganti, diobati atau
dikembalikan seperti sedia kala. Dan terhadap pelaku, diberikan kesempatan untuk

7
sadar dan memperbaiki kekeliruan yang telah dilakukan, serta mengintegrasikan
kembali hubungan baik antara korban dan pelaku.

D. Contoh Kasus

Siswa PAUD Dianiaya Anak TK Termasuk Kasus Restorasi Justice


TEMPO.CO, Kediri – Lembaga Perlindungan Anak meminta polisi tak mempidanakan
siswa Taman Kanak kanak pelaku penganiayaan terhadap bocah PAUD di Kediri.
Penerapan restorasi justice dianggap paling tepat menyelesaikan kasus ini.

Kisah penganiayaan murid TK terhadap adik kelasnya yang masih duduk di bangku
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Kecamatan Wates, Kabupaten Kediri pekan lalu
mengundang perhatian masyarakat luas. Di tengah kegeraman warga kepada pelaku,
aktivis perlindungan anak meminta polisi tak gegabah melakukan penyidikan.

“Jangan sampai ada yang dihukum,” kata Ulul Hadi, juru bicara Lembaga Perlindungan
Anak Kediri, Selasa 27 September 2016.

Siswa PAUD berusia empat tahun di Kecamatan Wates menjadi korban penganiayaan
brutal kakak kelasnya. Akibatnya ia terluka di seluruh bagian wajah dan kepala dengan
cukup parah. Penganiayaan terjadi saat bocah PAUD pamit keluar kelas untuk buang air
kecil di kamar mandi. Di saat bersamaan ada kakak kelasnya yang juga hendak ke
kamar mandi yang sama. Diduga karena saling berebut, bocah malang itu dihajar habis-
habisan di kamar mandi.

Beruntung kejadian itu cepat diketahui salah satu gurunya yang mendapati korban
sudah terluka parah dengan wajah berdarah-darah. Peristiwa itu terjadi pada Rabu, 21
September 2016 dan tak diketahui masyarakat luas. Hingga saat ini keluarga korban tak
bersedia memberikan keterangan. Mereka justru menolak peristiwa ini dipublikasikan
dengan alasan tak ingin menarik perhatian masyarakat. Berembus kabar pihak keluarga
sudah berdamai dengan keluarga pelaku yang berjanji membiayai pengobatannya
hingga tuntas. Demikian pula pihak sekolah bersikap sama.

Hadi mengatakan usia pelaku dan korban yang masih sangat kanak-kanak tak harus
menjadi pertimbangan utama polisi dalam menyelesaikan kasus ini. Mencari penyebab
pemicu perilaku brutal dinilai jauh lebih penting dibanding menerapkan hukuman

8
kepada mereka. Hadi menyarankan polisi menerapkan restorative justice dalam
melakukan diversi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Sebab, konsep
tersebut melibatkan berbagai pihak terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh
anak. “Jangan fokus pada tindakannya, tapi penyebabnya,” kata Hadi.

Dia berharap polisi yang telah memulai melakukan penyidikan kasus ini juga
memperhatikan kondisi psikologis anak, terutama saat melakukan pemanggilan atau
pemeriksaan keterangan. Apalagi saat ini desakan masyarakat yang geram atas
penganiayaan brutal itu juga cukup kuat. Sementara itu hingga kini polisi belum
bersedia menjelaskan sejauh mana hasil penyelidikan kasus ini. Melalui pesan singkat,
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Kediri Ajun Komisaris Aldy Sulaeman
mengatakan sudah dalam tahap penyidikan. Perwira polisi ini juga tidak menjelaskan
siapa yang menjadi tersangka dalam kasus ini.

Setali tiga uang, Kasubag Humas Polres Kediri Ajun Komisaris Bowo Wicaksono juga
berdalih belum mendapat penjelasan detil dari Unit Pelayanan Perempuan dan Anak
yang menanganinya. Namun dia memastikan kasus ini mendapat perhatian polisi untuk
diselidiki. “Detailnya saya tanyakan dulu,” katanya.

E. Pendapat dari sudut pandang Psikologi

Apabila merunut dari Hakekat dari konsep keadilan restorasi ini, sesungguhnya
adalah penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia. Manusia adalah makhluk
pribadi dan makhluk sosial yang tidak luput dari kesalahan dan kehilafan. Persoalannya
adalah orang yang berwenang atau berhak memberikan hukuman terhadap orang lain
yang dianggap melakukan kejahatan atau melanggar aturan hukum, belum tentu lebih
baik dari orang yang dihukum, bahkan belum tentu hukum yang dijadikan dasar memiliki
integritas keadilan dan dikaitkan dengan unsur psikologi contoh kasus diatas memiliki
banyak sudut pandang.

Dan pandangan dari sisi psikologi dalam Restorative Justice yaitu konsep yang
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan untuk melihat faktor psikis korban dan juga
melihat mental perilaku yang muncul sebelum dan sesudah terjadinya suatu kasus hukum
pidana, erat juga dengan definisi dari Teori Fungsi Katz (1960) yang dimana Teori ini
berkeyakinan bahwa perilaku itu mempunyai fungsi untuk menghadapi dunia luar
individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya.

9
Oleh sebab itu didalam kehidupan manusia, perilaku itu tampak terus-menerus dan
berubah secara relatif.

Apabila dari unsur psikososial erat kaitannya dengan nilai konsep diri menurut Harter
bahwasanya makna dari konsep diri adalah gambaran keseluruhan dari kemampuan dan
karakter khusus kita. Yang disini berkmana bagaimana kita merasakan diri kita. Dan
Konsep diri juga mempunyai keterkaitan dengan harga diri dikarenakan harga diri adalah
bagian dan cakupan dari evaluasi diri dan konsep diri. Dengan artian, harga diri juga
berpengaruh pada pertumbuhan kemampuan kognitif anak yang dimana berguna untuk
menggambarkan dan mendefinisikan diri mereka dan faktor psikososial/emosional sendiri.
Emosi adalah reaksi terhadap pengalaman yang diimplementasikan dengan perubahan
fisiologis dan tingkah laku. Misalnya, rasa marah akan diikuti dengan tindakan
melampiaskan kemarahannya. Karakteristik pola reaksi emosional seseorang di mulai dari
berkembangnya masa bayi dan merupakan elemen dasar kepribadian. Namun seiring
tumbuhnya anak, beberapa respons emosional dapat berubah. Kemungkinan dasar inilah
yang menjadi penyebab utama contoh kasus yang ada diatas.

Dan menurut Erikson salah satu elemen yang penting dari tingkatan psikososial adalah
perkembangan mengenai persamaan ego, suatu perasaan sadar yang kita kembangkan
melalui proses interaksi sosial. Perkembangan ego akan selalu berubah berdasarkan
pengalaman dan informasi baru yang didapatkan seseorang sebagai hasil dari interaksinya
dengan orang lain. Ego yang sempurna menurut Erikson adalah yang mengandung tiga
aspek utama yaitu:

 Faktualitas: Yaitu kumpuan fakta dan data yang dapat diverifikasi dengan
metode kerja yang digunakan, sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungan.
 Universalitas: Berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan atau sense of reality,
menggabungkan hal yang praktis dan konkrit dengan pandangan mengenai
seluruh semesta.
 Aktualitas: Yaitu suatu cara untuk memperkuat hubungan dengan orang lain agar
mencapai tujuan bersama.

Erikson juga mempercayai bahwa kemampuan untuk memotivasi sikap dan perbuatan
seseorang dapat memicu suatu perkembangan menjadi positif, hal inilah yang kemudian
mendasari penyebutan teorinya sebagai Teori Perkembangan Psikososial.

10
Dan contoh kasus diatas juga lekat dengan tipikal pola asuh dari Orang Tua terhadap anak
yang kemungkinan salah, Pola asuh mempunyai peranan yang sangat penting bagi
perkembangan perilaku moral pada anak, karena dasar perilaku moral pertama di peroleh
oleh anak dari dalam rumah yaitu dari orang tuanya. Proses pengembangan melalui
pendidikan disekolah tinggal hanya melanjutkan perkembangan yang sudah ada. Menurut
Baumrind (dalam Santrock, 2002: 257-258) ada empat macam bentuk pola asuh yang
diterapkan oleh masing-masing orang tua, bentuk-bentuk pola asuh itu adalah, pola asuh
otoriter, pola asuh demokrasi, pola asuh penelantaran dan pola asuh permisif.

Proses Pola Asuh menjadi tonggak utama dalam perkembangan anak dikarenakan
Pendidikan bagi seorang anak merupakan salah satu kebutuhannya untuk masa depan.
Pendidikan pertama yang diperoleh anak diawal kehidupanya berasal dari keluarga
khususnya orangtua, dimana pendidikan yang diberikan itu bisa dalam bentuk pola asuh,
sikap atau tingkah laku yang ditampilkan oleh orang tua terhadap anak dalam kehidupan
sehari-hari. Orang tua diharapkan mampu menerapkan pola asuh yang bisa
mengembangkan segala aspek perkembangan anak usia dini baik kognitif, fisik motorik,
bahasa, seni maupun moral sedini mungkin. Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam
berinteraksi, membimbing, membina, dan mendidik anak-anaknya dalam kehidupan
sehari-hari dengan harapan menjadikan anak sukses menjalani kehidupan ini. Hal ini
sejalan dengan pendapat Euis (2004:18) “Pola asuh merupakan serangkaian interaksi
yang intensif, orangtua mengarahkan anak untuk memiliki kecakapan hidup”. Sedangkan
(Maccoby dalam Yanti, 2005:14) mengemukakan istilah pola asuh orangtua untuk
menggambarkan interaksi orangtua dan anak-anak yang didalamnya orangtua
mengekspresikan sikapsikap atau perilaku, nilai-nilai, minat dan harapan-harapanya
dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Sedangkan Khon Mu’tadin
(2002) menyatakan bahwa pola asuh merupkan interaksi antara anak dan orangtua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik, membimbing dan
mendisiplinkan serta melindungi anak sehingga memungkinkan anak untuk mencapai
tugas-tugas perkembangannya. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
pola asuh orangtua adalah proses interaksi orangtua dengan anak dimana orangtua
mencerminkan sikap dan perilakunya dalam menuntun dan mengarahkan perkembangan
anak serta menjadi teladan dalam menanamkan perilaku.

Dan menurut Teori perkembangan kognitif Vygotsky yaitu teori dimana anak ketika
belajar mendapat pengaruh besar dari orang tua dan orang-orang di sekitarnya. Karena

11
pada dasarnya anak-anak jika diajari oleh orang tua dan orang-orang yang sudah terlatih
maka anak akan lebih memahami dan mengerti apa yang sedang ia lakukan dan pelajari
dan mampu beradaptasi. Di dalam teori ini, Vygotsky juga menekankan bagaimana
proses-proses perkembangan mental yang dialami oleh anak. Teori vygotsky adalah teori
kognisi sosio-budaya yang memfokuskan bagaimana perkembangan kognitif diarahkan
oleh budaya dan interaksi sosial. Jadi, budaya dan interaksi sosial lebih penting dan lebih
fokus terhadap perkembangan kognitif pada anak menurut Vygotsky.

12
Daftar Pustaka

Dr. Sukardi, S. M. (JANUARI 2016). EKSISTENSI KONSEP RESTORATIVE JUSTICE


DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA. LEGAL PLURALISM,
VOLUME 6 NOMOR 1, Hal 22-49.

Jannah, H. (n.d.). BENTUK POLA ASUH ORANG TUA DALAM MENANAMKAN


PERILAKU MORAL PADA ANAK USIA DI KECAMATAN AMPEK. Pesona
PAUD, Vol I, No 1.

Prayitno, K. P. (2012). Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis


Filosofis dalam penegakan Hukum In Concreto). Jurnal Dinamika Hukum, 407-420
Vol.12 No 3.

Satria, H. (Juni 2018). Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana. Jurnal Media
Hukum, Vol.25 No.1.

13

Anda mungkin juga menyukai