Anda di halaman 1dari 58

KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENANGANAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN


KEADILAN RESTORATIF

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah


Swt, Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan karunianya,
sehingga kita masih diberikan kesehatan walaupun ditengah pandemi
Covid-19 yang sampai saat ini belum berakhir, namun tetap bersemangat
dalam melaksanakan aktivitas akademik berupa Webinar Nasional dengan
tema “Penegakan Hukum Menuju Peradilan Humanis dalam Perspektif
Pidana.”
Untuk itu atas nama pimpinan Polri, saya menyampaikan terima
kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pihak penyelenggara
dari Program Doktor Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang,
yang telah bekerja keras dalam menyelenggarakan kegiatan ini.

Para Peserta Webinar sekalian,


Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban, menegakan
hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat dalam rangka memelihara keamanan dalam negeri.1

1
Pasal 13 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam rangka menjamin terwujudnya profesionalisme bagi institusi
Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta mengikuti dinamika dan
perkembangan hukum yang hidup di masyarakat (living law), diperlukan
adanya suatu pendekatan dalam pelaksanaan penanganan tindak pidana
yang dilaksanakan tidak melanggar hukum dan bersifat kontraproduktif
dengan penegakan hukum itu sendiri. Salah satu bentuknya adalah
penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif
yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,
keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban, dimana pelaku
tindak pidana tersebut tidak lagi berorientasi pada pembalasan/retributif
dengan tujuan kepastian hukum, akan tetapi merupakan suatu
kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus
dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penyelidikan dan/atau
penyidikan berdasarkan keadilan dan kemanfaatan. Konsep keadilan
restoratif itu sendiri digunakan sebagai payung untuk mendeskripsikan
variasi program yang dapat melihat tindak pidana dan merespon dengan
perspektif restoratif (Zehr, 1990). Wujud implementasinya dapat dilihat
dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia Pasal 18 ayat (1) dimana dalam pelaksanaan tugas
anggota Polri dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri dengan
mempertimbangkan manfaat dan resiko untuk kepentingan umum. Hal
tersebut juga selaras dengan Program Presiden Republik Indonesia
melalui Agenda pembangunan nasional dalam RPJMN 2020-2024 yang
tertuang dalam Perpres No.18 Tahun 2020 RPJMN 2020-2024 RKP 2020
(PKR) dimana:
- Penegakkan hukum nasional sebagai perbaikan sistem hukum pidana
dan perdata.
- Penerapan keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Kemudian Kapolri merespon agenda pembangunan nasional tersebut
dengan mengeluarkan Program Kapolri yang dituangkan dalam Uji
Kelayakan dan Kepatutan Calon Kapolri di Hadapan Komisi III DPR RI
Tahun 2021 yaitu2 :
- Program Prioritas Kapolri Giat 12 yaitu Penerapan Restoratif Justice
Sebagai Bentuk Penyelesaian Perkara Untuk Menciptakan Penegakan
Hukum yang Berkeadilan.
- Rencana Aksi “Polri Mengedepankan Hukum Progresif dalam
Menyelesaikan Perkara Melalui Restoratif Justice yang Tidak Hanya
Melihat Aspek Hukum, Namun Juga Pada Kemanfaatan dan Keadilan”.

Para hadirin yang berbahagia,


Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang mengefektifkan
proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang dalam
menetapkan dan merumuskan kebijakan penanganan tindak pidana
untuk keberhasilan tujuan dari penyelidikan dan/atau penyidikan yang
dilaksanakan oleh Polri itu sendiri demi keadilan dan kemanfaatan
berdasarkan hukum dengan menggunakan pendekatan keadilan restoratif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di sisi lain
permasalahan sistem peradilan pidana melalui pendekatan ekonomi
mempunyai tujuan untuk mempertahanan hukum (pidana) tetap
berdasarkan Ultimum Remedium, sehingga prosedur Out of Court
Settlement maupun Afdoening Buiten Process adalah arah terfokus dari
keadilan restoratif yang menghendaki pemulihan kembali seperti tidak
adanya pidana. Dalam menyelesaikan permasalahan hukum di luar
pengadilan juga dapat dilakukan melalui pendekatan Economic Analysis of
Law (EAL) yang bertujuan akhir untuk meningkatkan manfaat yang
2
Makalah “Transformasi Menuju Polri yang PRESISI : PREDIKTIF, RESPONSIBILITAS, TRANSPARANSI
BERKEADILAN”, disampaikan oleh Komjen Pol. Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si pada Uji Kelayakan dan
Kepatutan Calon Kapolri di Hadapan Komisi III DPR RI.
terukur bagi social welfare maximization. Sehingga suatu penghapusan
pidana dari kewenangan aktif penyidik terhadap pemahaman “tindakan
lain” dalam konteks Out of Court Settlement sesuai asas keadilan restoratif
adalah tindakan yang “Doelmatigheid” yang dibenarkan secara hukum.
Polri sebagai salah satu gerbang terdepan dalam proses Pra-Ajudikasi
Sistem Peradilan Pidana memberikan legitimasi keadilan restoratif sebagai
pelaksana program PRESISI (Prediktif, Responsibilitas, Transparansi
Berkeadilan)3.

Konsep Keadilan restoratif menurut Prof. Mahfud MD, yaitu


pendekatan dalam penegakan hukum pidana yang mengusahakan
penyelesaian secara damai dengan menjadikan hukum sebagai
pembangun harmoni yang bukan sekedar mencari menang dan kalah dan
bukan sekedar untuk menghukum pelaku dengan maksud membangun
kondisi keadilan dan keseimbangan antara pelaku kejahatan, korban
kejahatan dan masyarakat4.
Penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan penggunaan
keadilan restoratif pada dasarnya terfokus pada upaya
mentransformasikan kesalahan yang dilakukan pelaku dengan upaya
perbaikan, termasuk didalam upaya ini adalah perbaikan hubungan
antara para pihak yang terkait dengan peristiwa tersebut. Hal ini di
implementasikan dengan adanya perbuatan yang merupakan gambaran
dari perubahan sikap para pihak dalam upaya mencapai tujuan bersama
yaitu perbaikan. Para pihak yang sering diistilahkan sebagai stakeholder
disini merupakan pihak-pihak yang berkaitan baik langsung maupun
3
Sistem Peradilan Pidana : Economic Analysis of Law & Keadilan Restoratif, disampaikan oleh Prof. Dr.
Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. sebagai Pembicara pada Diskusi Panel dengan Tema “Penegakan Hukum
melalui Pendekatan Restoratif”, pada hari Senin, tanggal 05 April 2021, Jam 13.45-16.00 WIB, di Aula
Gedung Awaloedin Djamin Lt.9, Mabes Polri, Jalan Trunojoyo No.3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
4
Penegakan Hukum dengan Keadilan Restoratif, disampaikan oleh Prof. Dr. Mahfud MD, sebagai Pembicara
pada Diskusi Panel dengan Tema “Penegakan Hukum melalui Pendekatan Restoratif”, pada hari Senin,
tanggal 05 April 2021, Jam 13.45-16.00 WIB, di Aula Gedung Awaloedin Djamin Lt.9, Mabes Polri, Jalan
Trunojoyo No.3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
tidak langsung dengan tindak pidana yang terjadi . Stakeholder utama
disini adalah pelaku (yang menyebabkan terjadinya tindak pidana),
korban (sebagai pihak yang dirugikan dan masyarakat dimana peristiwa
itu terjadi). Melalui identifikasi permasalahan secara bersama-sama dan
mencari akar permasalahannya , maka kebutuhan yang dipersyaratkan
sebagai upaya perbaikan serta kewajiban-kewajiban yang timbul
karenanya, upaya perbaikan timbul5. Bentuk mediasi dari “Restorative
Justice” juga tidak selalu menghasilkan ganti rugi, bisa juga segala
sesuatu yang pada pokoknya disepakati pihak korban dan pelaku.

Para Hadirin Sekalian yang Saya hormati,


Di Indonesia sendiri, semangat keadilan restoratif dalam peraturan
perundang-undangan dapat dilihat dari :
1. UU No. 11 / 2012 (Sistem Peradilan Pidana Anak)
Diversi, Psl 5 (1) wajib pendekatan restorative justice bagi anak.
2. UU No. 1 / 46 (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
• Psl 81 KUHP  Penundaan penuntutan (Perma No 1/1956)
mempertangguhkan.
• Psl 82 KUHP  Kewenangan menuntut pelanggaran diancam
denda menjadi hapus.
3. UU No. 8/1981 (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana)
• Psl 7 (1) J KUHAP  Mengadakan Tindakan Lain Menurut
Hukum yang Bertanggung Jawab
• Psl 98 KUHAP  Penggabungan Perkara Pidana & Perdata
Psl 109 (2) KUHAP  Penghentian Penyidikan
Kemudian seiring dengan pergeseran paradigma keadilan, Badan
Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia telah
memperbaharui Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang
Manajemen Penyidikan Tindak Pidana menjadi Peraturan Kapolri Nomor 6
Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana sebagai petunjuk induk
yang berisi langkah-langkah penyelidikan dan/atau penyidikan yang

5
Eva Achjani Zulfa. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung : Lubuk Agung. 2011. Hal 74
bersifat umum. Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang
Penyidikan Tindak Pidana dimaknai sebagai sebuah standar atau
pedoman bagi Penyelidik dan/atau penyidik dalam melaksanakan
serangkaian kegiatan penegakan hukum. Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia ini bersifat normatif dalam mengakomodir hal-
hal yang bersifat keadilan restoratif sesuai aturan yang ditetapkan.

Bahkan sebelumnya, Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia


sebelumnya telah menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor:
SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan
Restoratif (Restorative Justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana yang
mengakomodir keadilan restoratif. Dimana dalam surat edaran tersebut,
terdapat konsep keadilan restoratif dalam kegiatan penyelidikan dan/atau
penyidikan guna mewujudkan kepentingan umum dan rasa keadilan bagi
masyarakat, akan tetapi surat edaran ini belum memiliki kekuatan
hukum untuk dipedomani oleh masyarakat dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang penempatannya di Berita Negara Republik
Indonesia. Selain itu surat edaran ini belum mengatur jenis-jenis tindak
pidana yang dapat dilakukan berdasarkan keadilan restoratif dan belum
mengatur teknis pelaksanaannya seperti bentuk persyaratan, tata cara,
maupun pengawasan serta hal-hal teknis lainnya, sehingga diperlukan
suatu produk yang berkekuatan hukum sebagai pedoman bagi penyelidik,
penyidik dan/atau penyelenggara fungsi reserse kriminal dalam
melaksanakan keadilan restoratif tersebut sehingga berguna untuk
mengatur kehidupan masyarakat yang lebih luas.

Dengan mempertimbangkan proses analisa dan evaluasi terhadap


pelaksanaan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dan
memperhatikan perkembangan hukum yang semakin dinamis saat ini,
serta sebagai bagian dari Program Prioritas Kapolri Tahun 2021-2024
untuk mengedepankan keadilan restoratif sebagai upaya untuk
mewujudkan rasa keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat melalui
penegakan hukum, maka Polri menyusun suatu peraturan kepolisian
tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif.
Peraturan ini diharapkan dapat menjadi pedoman dalam penerapan
keadilan restoratif dalam proses penyelidikan dan/atau penyidikan tindak
pidana. Sehingga penyelidik, penyidik dan/atau penyelenggara fungsi
reserse kriminal dalam menerapkan keadilan restoratif tidak ada keragu-
raguan maupun ketidakseragaman dalam penerapannya. Penerapan
keadilan restoratif ini tidak hanya pada tingkat pusat/mabes tetapi juga
sampai tingkat kewilayahan, sehingga seluruh tingkat polda sampai
dengan tingkat polres untuk mengedepankan keadilan restoratif dalam
menangani perkara tindak pidana sesuai dengan aturan yang berlaku.
Mendasari atas ketentuan dan dinamika perkembangan hukum di
Indoensia, sehingga Polri menyusun Peraturan Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana
Berdasarkan Keadilan Restoratif diharapkan dapat mendorong kinerja
penyelidik, penyidik dan/atau penyelenggara fungsi reserse kriminal
sesuai dengan harapan Kapolri dalam rangka transformasi penegakan
hukum Polri yang PRESISI.

Para Peserta Webinar,


Dalam pelaksanaan keadilan restoratif dalam tingkat penyelidikan
dan/atau penyidikan, Polri dari bulan Januari sampai Agustus 2021 telah
melaksanakan penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif
sebanyak 5165 kasus dan terus meningkat sejak tahun 2018. Pendekatan
keadilan restoratif juga ternyata telah ada dan dipraktikkan oleh berbagai
bangsa di dunia. Misalnya di Belanda, dimana penyelesaian perkara di
luar pengadilan menjadi asas utama yang menjadi diskresi bagi Penuntut
Umum berdasarkan psl 167 wetbook van straf vordering (KUHAP Belanda).
Hal tersebut juga dilakukan di negara Selandia Baru dimana sama-sama
negara yang konsisten menerapkan keadilan restoratif dengan cara
membina narapidana yang berbasis masyarakat seperti : kerja sosial,
pengawasan hukuman 6 bulan – 2 tahun, dan tahanan rumah.
Negara Cina sendiri merupakan negara bersistem hukum sosialis
yang juga mengadopsi prinsip keadilan restorative. Dalam penanganan
perkara ini dapat dilihat dalam hukum acara pidana Cina amandemen
tahun 2012 (criminal procedure law of the people Republic of China 2012
amendment). Adapun prinsip keadilan restoratif tersebut dilaksanakan
melalui rekonsiliasi yang dapat dilaksanakan pada setiap tahapan proses
penanganan perkara pidana baik itu saat penyidikan, penuntutan,
maupun tahap persidangan.
Adapun model rekonsiliasi pidana di Cina terdiri atas 3, yaitu:
a. Rekonsiliasi antara korban dan pelaku;
b. Mediasi yang dilaksanakan oleh komite mediasi;
c. Mediasi yang diselenggarakan oleh lembaga keamanan publik,
kejaksaan, dan pengadilan

Bapak Ibu Peserta Webinar nasional yang berbahagia,


Penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif
merupakan sebuah wujud dari kemanfaatan hukum itu sendiri serta
keadilan yang harus diterima masyarakat.
Tentunya, kami juga berharap, bahwa adanya kebijakan atau
terobosan dalam penanganan tindak pidana ini dapat lebih mendekatkan
keadilan kepada masyarakat serta kemanfaatan hukum itu sendiri bisa
dirasakan langsung sekaligus bentuk pembaharuan hukum pidana
sebagai bentuk keadilan restoratif yang tentunya tetap bersesuaian
dengan asas dalam hukum acara pidana, yaitu sederhana, cepat, dan
biaya ringan.

Demikianlah beberapa hal yang dapat saya sampaikan, semoga Allah


SWT, Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa memberikan kekuatan,
bimbingan, dan perlindungan kepada kita semua sehingga dapat
memberikan kerja dan karya nyata yang terbaik bagi masyarakat, bangsa,
dan negara.
Sekian dan terima kasih.

Jakarta, September 2021


KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

JENDERAL POLISI Drs. LISTYO SIGIT PRABOWO, M.Si.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Manan, Bagir. (2008). Restorative Justice Refleksi Dinamika Hukum.


Jakarta: Perum Percetakan.

Raharjo, Satjipto. (2009). Hukum Progresif. Jogjakarta : Genta Publishing.

Zulfa, Achjani. (2009). Keadilan Restorative Justice di Indonesia, Disertasi


pada UKI.

Sudarsono, Teguh. (2009). ADR Kontraksi Penyelesaian Masalah dan


Sengketa melalui Restorative Justice Model dalam Sistem Peradilan
Hukum Pidana. Jakarta : Mulya Angkasa.

Raharjo, Satjipto. (2010). Penegakan Hukum Progresif. Jogjakarta :


Kompas Media Nusantara.

Achjani Zulfa, Eva. (2011). Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung:


Lubuk Agung.

Makalah/Jurnal

Transformasi Menuju Polri yang “Presisi” (Prediktif-Responsibilitas-


Transparansi Berkeadilan” disampaikan oleh Kapolri Komjen Drs.
Listyo Sigit Prabowo, M.Si disampaikan pada uji kelayakan dan
kepatutan Calon Kapolri di hadapan Komisi.

Commander Wish Kepala Kepolisian Negara Repubik Indonesia tanggal


28 Januari 2021 di ruang Pusdalsis Lantai 5 Gedung Utama Mabes
Polri.

Laporan Hasil Pelaksanaan Rapat Kerja Teknis Bareskrim Polri dengan


Tema “Transformasi Penegakan Hukum Polri yang Presisi guna
mendukung pemulihan ekonomi nasional” yang dilaksanakan pada
tanggal 5-6 April 2021.

Sistem Peradilan Pidana : Economic Analysis of Law & Keadilan Restoratif,


disampaikan oleh Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. sebagai
Pembicara pada Diskusi Panel dengan Tema “Penegakan Hukum
melalui Pendekatan Restoratif”, pada hari Senin, tanggal 05 April
2021, Jam 13.45-16.00 WIB, di Aula Gedung Awaloedin Djamin Lt.9,
Mabes Polri, Jalan Trunojoyo No.3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Restorative Justice untuk Kondusifitas Politik Hukum dan Keamanan


(Menkopolhukam) oleh Prof. Dr. M. Mahfud MD, disampikan pada
rapat kerja teknis Bareskrim Polri pada 5 April 2021.

Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyidikan Tindak Pidana oleh Dr.


Ekawati Kristianingsih, S.H., M.Hum. (Dosen PTIK/STIK)
disampaikan pada Rapat Kerja Teknis Bareskrim pada 5 April 2021.

Restorative Justice oleh Prof. Eddy O.S. Hiariej (Wamen Kumham)


disampaikan pada Rapat Kerja Teknis Bareskrim pada 5 April 2021.

Penerapan Restorative Justice dalam Perspektif Hukum dan Perspektif


Menejerial hasil penelitian PTIK/STIK tahun 2017.

Restorative Justice dan Penegakan Hukum oleh Adrianus Meliala (Dosen


PTIK/STIK).

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang


Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209).

Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika, 2008.

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun


2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018


tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana.
JAKSA AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

KEADILAN RESTORATIF
MENUJU PENUNTUTAN YANG BERKEADILAN DAN
BERKEMANFAATAN

Jakarta, 28 Juni 2021

Pertama-tama dan yang paling utama marilah kita panjatkan


puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa yang
telah melimpahkan segala rahmat, taufik, dan kasih sayang-Nya
kepada kita semua sehingga pada kesempatan ini, walaupun
ditengah keterbatasan akibat adanya pandemi Covid-19 yang
belum usai, namun tetap bersemangat melaksanakan aktivitas
akademik berupa Webinar Nasional dengan tema “Penegakan
Hukum Menuju Peradilan Humanis dalam Perspektif Pidana”
Untuk itu, atas nama pribadi maupun Pimpinan Kejaksaan,
saya menyampaikan apresiasi yang setinggi-tingginya serta
terimakasih kepada pihak penyelenggara dari Program Doktor
Universitas 17 Agustus Semarang, yang telah bekerja keras dalam
menyelenggarakan kegiatan ini.

Para Peserta Webinar sekalian,


Saat ini penyelesaian perkara pidana dalam prakteknya
seringkali berjalan tidak sesuai dari tujuan hukum serta rasa
-2-

keadilan yang berkembang di masyarakat, bahkan kehilangan


kemanfaatan hukumnya, seolah-olah semua penyelesaian perkara
pidana harus dihukum penjara. Penegakan hukum hanya berkutat
pada kekakuan pasal-pasal. Praktik seperti ini bersumber pada
paradigma pemidanaan yang masih berorientasi pada sifat
pembalasan, sehingga efek yang terjadi adalah penumpukan
perkara akibat proses yang lamban dan berlarut-larut hingga over
kapasitas lembaga pemasyarakatan, terlebih hak-hak korban
masih kurang diperhatikan. Padahal hukum pidana kita menganut
asas ultimum remedium, yaitu proses pemidanaan adalah upaya
terakhir, saya ulangi, adalah upaya yang terakhir, sehingga
sesungguhnya dapat ditempuh upaya lain, seharusnya.
Hakikat hukum selain bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum, juga memberikan keadilan dan kemanfaatan. Tidak hanya
dalam hukum materiil itu sendiri namun juga dalam proses
penegakannya (formil). Refleksi nilai-nilai ini salah satunya dapat
kita gali dalam dasar negara kita yaitu Pancasila yang berkaitan
dengan nilai kemanusiaan, musyawarah mufakat dan keadilan
sosial.

Para hadirin yang berbahagia,


Untuk menjawab berbagai tantangan zaman dan kritik terhadap
proses penegakan hukum pidana, sejumlah pakar mulai
memformulasikan suatu konsep baru dalam ilmu hukum. Konsep
ini adalah restorative justice. Pengertian Keadilan Restoratif sendiri
-3-

adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan


pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait
untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.
Semangat keadilan restoratif sebenarnya bukanlah hal baru, ia
digali dan ditemukan dari berbagai nilai kebijaksanaan yang
tersebar di berbagai belahan dunia. Namun secara konsep,
Restorative Justice sendiri pertama kali diangkat ke forum ilmiah
sekitar tahun 1977 sebagai istilah penyelesaian perkara, yang pada
mulanya dilakukan di Amerika Utara dalam bentuk mediasi antar
pihak korban dan pelaku dalam kasus pidana.
Filosofi pendekatan restorative justice yang utama adalah
Pertama healing and respectful dialogue (pemulihan dan dialog
yang dibangun dengan saling menghormati antara para pihak),
Kedua forgiveness (pengampunan), Ketiga responsibility
(tanggung jawab), Keempat apology (memberi maaf) dan Kelima
adalah making amends (memperbaiki kesalahan).
Konsep pendekatan keadilan restoratif (restorative
justice) merupakan suatu pendekatan yang lebih menitik-beratkan
pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku
tindak pidana serta korbannya sendiri. Mekanisme tata acara dan
peradilan pidana yang berfokus pada pemidanaan diubah menjadi
proses dialog dan mediasi untuk menciptakan kesepakatan atas
-4-

penyelesaian perkara pidana yang lebih adil dan seimbang bagi


pihak korban dan pelaku.
Restorative justice itu sendiri memiliki makna keadilan yang
merestorasi atau memulihkan. Di dalam proses peradilan pidana
konvensional dikenal adanya restitusi atau ganti rugi terhadap
korban, sedangkan restorasi memiliki makna yang lebih luas.
Restorasi meliputi pemulihan hubungan antara pihak korban
dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas
kesepakatan bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban
dapat menyampaikan mengenai kerugian yang dideritanya dan
pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya, melalui
mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun
kesepakatan-kesepakatan lainnya.
Pemulihan menjadi kata kunci disini sehingga penghukuman
pelaku tidak lagi bertujuan untuk balas dendam, namun ada tujuan
lebih besar yang ingin dicapai, yaitu pulihnya keadaan dan harmoni
masyarakat seperti sebelum terjadinya kejahatan atau tindak
pidana.

Para Hadirin Sekalian yang Saya Hormati,


Apabila kita melihat dari sisi historis, maka konsep
Restorative Justice pertama kali diajukan oleh Albert Eglash pada
-5-

tahun 19771, menurutnya keadilan restoratif merupakan prinsip


restitusi dengan melibatkan korban dan pelaku dalam proses yang
bertujuan mengamankan reparasi bagi korban dan rehabilitasi
pelaku. Kemudian studi yang lebih mendalam dilakukan pada awal
tahun 1970 di Ontario, Kanada yang saat itu menjadi fenomena
internasional. Diawali dari program Victim Offender
Reconciliation Programe (VORP), yang selanjutnya dilakukan
sejumlah program serupa di berbagai negara, yaitu Indiana,
Amerika Serikat. Para akademisi menyadari gerakan ini berawal
dari ketidakpuasan warga negara terhadap sistem hukum yang
tidak adil. Orang-orang mulai menyadari nilai-nilai dari tradisi
hukum pidana dari berbagai kebudayaan. Tidak hanya di Amerika
Utara, namun sejumlah negara yaitu Australia dan Selandia Baru
mulai mempelajari berbagai tradisi dan kebijaksanaan hukum dari
Suku Aborigin dan Suku Maori2.
Namun demikian apabila kita perhatikan lebih jauh lagi ke
belakang, pendekatan restorative justice ternyata telah ada sejak
umat manusia bermasyarakat dan memulai peradaban, mulai dari

1
Jianhong Liu, PhD, The Roots Of Restorative Justice: Universal Process Or From
The west To The East?. Acta Criminologiae Et Medicinae Legalis Japonica 81:2
(2015).
2
Ibid
-6-

Arab Kuno, Yunani, Romawi Kuno, hingga wilayah Hindustan 3.


Kitab hukum kuno seperti Code Of Hammurabi, Book of Ur Nammi
Sumeria, Law Of Twelve Table Roman, serta Laws Of Ethelbert Of
Kent juga telah mengenal konsep keadilan restoratif.
Bahkan tidak hanya di Barat, namun sejumlah negara di Asia
diketahui juga telah menerapkan nilai-nilai restorative justice ini,
walaupun masih secara tradisional. Bahkan ditemukan fakta bahwa
“penggunaan kekerasan (use of force)” tidak dikenal dalam
masyarakat tradisional kebanyakan. Penerapan sanksi adalah lebih
sebagai upaya untuk mengembalikan “keseimbangan”4.

Para Peserta Webinar


Pendekatan keadilan restoratif ternyata telah ada dan
dipraktekkan oleh berbagai bangsa di dunia. Di Tiongkok misalnya
nilai restorative justice dapat dilihat pada Filsafat Konfusius yaitu
konsep Ren dan Li serta Asas Wu Song dan penjagaan harmoni.
Bahkan dalam masyarakat Budha, Tao dan Konfusius terdapat
semboyan “dia yang menebus, diampuni”. Termasuk di India juga
tercantum dalam Code Of Manu, dan Arthashastra Kautilya.
Didalam Islam juga dikenal istilah Qisas dan Diyat yaitu

3
Hariman Satria. Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana. Jurnal
Media hukum Vol.25 No.1/Juni 2018.
4
Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice in Indonesia: Traditional Value. Indonesia
Law Review No.1 Volume 2, May-August 2011.
-7-

“mengampuni” dan “memaafkan”. Seorang ahli hukum dari


Tiongkok, Jianhong Liu, Phd5 berpendapat restorative justice
adalah insting dan kesadaran umum dari umat manusia.
Konsep Restoratif Justice telah dikenal sejak jaman Majapahit
melalui buku Kutara Manawa (KUHP Majapahit), zaman kekuasaan
Sultan Iskandar Muda melalui Qonun Mangkuta Alam juga buku
Simbur Cahaya yang merupakan kitab UU Hukum Adat di
Sumatera Selatan dan berbagai hukum adat yang tersebar di
nusantara. Pelibatan masyarakat telah lama diterapkan untuk
menegakkan hukum.
Dalam perkembangannya, prinsip keadilan restorative telah
ada dalam instrumen internasional antara lain adalah.
- Deklarasi PBB tentang Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan untuk
Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan Kekuasaan tahun
1989;
- Konvensi Tentang Hak-Hak Anak tahun 1989;
- Peraturan Minimum Standar PBB untuk Administrasi Peradilan
Anak tahun 1985 atau lebih dikenal sebagai Beijing Rules;
- Pedoman PBB untuk Pencegahan Kenakalan Remaja tahun
1990 atau Riyadh Guidelines;
- Peraturan Minimum Standar PBB untuk Tindakan Non-
Penahanan tahun 1990 atau Tokyo Rules;

5
Op.Cit, Jianhong.
-8-

- Peraturan PBB untuk Perawatan Tahanan Perempuan dan


Tindakan Non-Penahanan untuk Pelanggar Perempuan atau
lebih dikenal sebagai Bangkok Rules;

Sejumlah peraturan internasional tersebut hendaknya dapat


mendorong negara-negara untuk mempromosikan keterlibatan
masyarakat yang lebih besar ketika menanggapi pelanggaran, dan
untuk meningkatkan pengalihan dan alternatif pemenjaraan.
Seperti dari apa yang disampaikan diatas, telah jelas bahwa
spirit restorative justice sesungguhnya telah ada sejak awal
peradaban manusia dengan berbagai perkembangannya, yang
tersebar di berbagai belahan dunia dan telah terkristalisasi
menjadi perspektif dan konsep hukum baru seperti yang kita
kenal saat ini.

Para Hadirin Sekalian yang Saya Hormati,


Tujuan pemidanaan saat ini juga telah bergeser, dari
pembalasan menjadi penghilangan stigma dan membebaskan rasa
bersalah pelaku. Kejahatan saat ini dipandang sebagai konflik yang
harus diselesaikan antara pelaku dan korban sehingga harmoni
masyarakat dapat dipulihkan.
Konsep keadilan restoratif di Indonesia sendiri baru dijumpai
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak yang menyebutkan “Keadilan Restoratif
adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan
-9-

pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait


untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan
menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan.”
Secara umum , terdapat 5 (lima) prinsip keadilan restoratif atau
yang disebut dengan Five Prinsiples of Restorative Justice, yaitu:
- Prinsip yang menekankan terhadap bahaya dan konsekuensi
yang ditimbulkan oleh tindak pidana, baik kepada korban,
masyarakat, dan kepada pelakunya;
- Prinsip yang menekankan kepada perlindungan terhadap
tempat dari tindakan yang terjadi, seperti terhadap keluarga
pelaku, dan masyarakat sekitarnya;
- Prinsip yang menekankan kepada proses kolaboratif yang
inklusif;
- Prinsip pelibatan para pihak tertentu dalam kasus-kasus
tertentu, seperti pelaku, korban, keluarga, dan komunitas
masyarakat yang dianggap secara sah dapat terlibat di
dalamnya; dan
- Prinsip memperbaiki kesalahan;
Prinsip-prinsip tersebut harus selalu diaplikasikan sebagai
upaya pembangunan hukum kita, sehingga tujuan luhur dari hukum
itu sendiri dapat terwujud yaitu kepastian, keadilan dan
kemanfaatan.
- 10 -

Bapak Ibu Peserta Webinar yang Saya Hormati,


Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan
kekuasaan negara dibidang penuntutan. Oleh karena itu,
Kejaksaan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban
hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum serta
mengindahkan norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan,
dengan tetap wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum, dan
keadilan yang hidup didalam masyarakat.
Selain itu pada Pasal 8 Ayat (4) UU Nomor 16 tahun 2004
tentang Kejaksaan juga disebutkan:
“Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Jaksa
senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan
norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta wajib
menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang
hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan
dan martabat profesinya.”
Pasal ini merupakan landasan yuridis adanya penemuan
hukum oleh Jaksa, yang salah satunya adalah melalui penghentian
penuntutan melalui keadilan restoratif.

Para Hadirin Sekalian yang Saya Hormati


Jaksa Agung memiliki tugas dan wewenang untuk
mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
Undang-undang dengan memperhatikan asas peradilan cepat,
- 11 -

sederhana, dan biaya ringan, serta menetapkan dan merumuskan


kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan
yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan
hukum dan hati nurani, termasuk penuntutan dengan
menggunakan pendekatan keadilan restoratif yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyelesaian perkara diluar pengadilan yang dikenal di
Indonesia saat ini adalah: Afkoop (denda damai/pranata hukum
transaksi pasal 82 KUHP), Deponering (pasal 35 huruf c UU
Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan) dan Diversi (UU SPPA).
Restoratif Justice dikembangkan jangkauannya dalam
penyelesaian perkara di luar pengadilan. Penerapan asas
oppurtunitas pada beberapa negara di dunia dapat dilakukan untuk
perkara kecil (trivial cases), usia lanjut (old age), dan kerugian
sudah diganti (damage has been settled).
Rasa keadilan masyarakat yang berkembang saat ini
menghendaki penanganan kasus-kasus yang relatif ringan dan
beraspek kemanusiaan seperti pencurian yang nilai kerugiannya
minim, Jaksa harus dapat menuntut atau bersikap dengan
berpedoman kepada keadilan restoratif. Jaksa harus mampu
menciptakan harmoni, kedamaian, ketertiban dan kesejahteraan
bagi masyarakat. Jaksa juga harus menggunakan hati nurani dalam
menjalankan tugasnya, tidak bisa hanya text book karena
- 12 -

sesungguhnya apa yang dilakukan adalah refleksi dari keadilan itu


sendiri.
Mendasari atas ketentuan dan perkembangan tersebut,
Kejaksaan telah mereformulasi kebijakan penegakan hukum
melalui terbitnya Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020
tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif,
sebagai panduan untuk para Jaksa menerapkan keadilan restoratif
selain itu kami juga menerbitkan Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian
Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Kita tidak ingin kejadian yag dialami nenek Minah dan kakek
Samirin terjadi lagi dan berharap melalui aturan ini, Kejaksaan
harus dapat menyeimbangkan antara aturan yang berlaku
(rechtmatigheid) dengan interpretasi yang bertumpu pada tujuan
atau asas kemanfaatan (doelmatigheid) ketika suatu perkara
dilanjutkan atau diperiksa Pengadilan yang diharapkan dapat
menghadirkan keadilan secara lebih dekat kepada masyarakat.
Penegakan hukum tidak hanya terpaku pada pasal-pasal formal
namun juga harus berdasarkan hati nurani. Penuntut umum tidak
hanya sekedar mencocokkan perbuatan dengan peraturan pidana
yang ada namun juga harus dapat memikirkan cara penyelesaian
sebaik-baiknya. Hadirkan rasa adil itu dalam masyarakat.
- 13 -

Para Peserta Webinar sekalian


Dalam menerapkan keadilan restoratif, tentunya terdapat
sejumlah pertimbangan ketika menentukan pilihan penyelesaian
perkara dengan pendekatan keadilan restoratif, yaitu:
- Kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang
dilindungi;
- Penghindaran stigma negatif;
- Penghindaran pembalasan;
- Respon dan keharmonisan masyarakat, dan;
- Kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum;
Didalam Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang
Penghentian Penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif, juga
telah menetapkan sejumlah syarat pelaksanaan antara lain:
- Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
- Tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau
diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun,
dan ;
- Tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai
kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih
dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Selain syarat tersebut, terdapat syarat lain yang harus dipenuhi
juga adanya pemulihan kembali pada keadaan semula yang
dilakukan oleh Tersangka, baik dengan cara:
- 14 -

• Mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana


kepada korban;
• Mengganti kerugian Korban;
• Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
atau
• Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak
pidana;
• Telah ada kesepakatan perdamaian antara korban dan
Tersangka, serta masyarakat merespon positif.
Hingga akhir tahun 2020 Kejaksaan telah melakukan
Penghentian Perkara berdasarkan Keadilan Restoratif di seluruh
Indonesia sebanyak 222 perkara yang berhasil dihentikan dan di
tahun 2021 sebanyak 46 perkara.

Bapak Ibu Peserta Webinar nasional yang Berbahagia,


Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif
merupakan sebuah pengejawantahan dari kewenangan
perundang-undangan yang dimiliki Kejaksaan sekaligus respon
atas rasa keadilan masyarakat yang berkembang saat ini. Hal ini
sekaligus merupakan perwujudan asas dominus litis yang dimiliki
Kejaksaan.
Tentunya, kami juga berharap, bahwa adanya kebijakan ini
dapat lebih mendekatkan keadilan kepada masyarakat sekaligus
- 15 -

bentuk pembaharuan hukum pidana sebagai alternatif


penyelesaian perkara yang tentunya tetap bersesuaian dengan
asas dalam hukum acara pidana yaitu sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
Demikianlah beberapa hal yang dapat saya sampaikan,
semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, senantiasa
memberikan kekuatan, bimbingan, dan perlindungan kepada kita
semua sehingga dapat memberikan kerja dan karya nyata yang
terbaik bagi masyarakat, bangsa, dan negara.
Sekian dan terima kasih.

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

BURHANUDDIN
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

PEMBARUAN SISTEM PEMIDANAAN


DALAM PRAKTIK PERADILAN MODERN:
Pendekatan Heuristika Hukum

Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Selamat pagi dan Salam sejahtera untuk kita semua
Om swasti astu, Namo budaya, Salam kebajikan

Yang saya hormati:

Para Nara Sumber, seluruh undangan, segenap panitia dan peserta Webinar Nasional
yang berbahagia Puji dan Syukur ke Hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala/ Tuhan Yang Maha
Esa atas rahmat-Nya sehingga kita dapat mengikuti kegiatan ini tanpa satu halangan apapun.
Dalam suasana pandemi Covid-19 yang mengharuskan kita mematuhi protokol kesehatan, mari
kita sama-sama berdoa agar pandemi ini segera berlalu sehingga kita dapat menikmati kembali
tatanan kehidupan normal seperti sedia kala. Apresiasi yang tinggi Saya sampaikan kepada
segenap panitia, sebagai respons terhadap pandemi, kegiatan ini dilaksanakan secara Webinar
sehingga meskipun sempat mengalami penundaan dan di tengah suasana pandemi akan tetapi
tetap bersemangat dalam melaksanakan aktivitas akademik berupa Webinar Nasional dengan
tema “Penegakan Hukum Menuju Peradilan Humanis dalam Perspektif Pidana.” Untuk itu
selaku pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia, saya menyampaikan terima kasih dan
apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pihak penyelenggara dari Program Doktor
Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang, yang telah bekerja keras dalam
menyelenggarakan kegiatan ini.

1
Pada kesempatan yang berbahagia ini ijinkan saya menyampaikan makalah yang
berjudul PEMBARUAN SISTEM PEMIDANAAN DALAM PRAKTIK PERADILAN
MODERN: Pendekatan Heuristika Hukum. Semoga kontribusi kecil saya ini dapat
bermanfaat untuk kita semua, khususnya bagi kolega sesama aparat penegak hukum,
praktisi, akademisi, dan segenap masyarakat di seluruh Indonesia.

A. PENDAHULUAN

Kemandirian hakim pada prinsipnya mengandung dua pengertian, yaitu


kemandiran dalam berfikir dan kemandiran dalam membuat keputusan. Dua hal tersebut
tidak mungkin untuk dibatasi karena di situlah ruhnya kemandirian yudisial, sedangkan
pengaturan berada pada wilayah metodologi atau cara dalam membangun pemikiran dan
menentukan keputusan. Landasan berpikir pembentukan pedoman pemidanaan tersebut
adalah untuk memberikan panduan bagi para hakim agar lebih komprehensif dalam
mempertimbangkan parameter-parameter pemidanaan sebelum menjatuhkan putusan
dengan tidak membatasi kemandirian Hakim.

Secara normatif, Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi. Dua fungsi yang
paling terkait dengan upaya mengurangi disparitas adalah fungsi peradilan dan fungsi
mengatur. Fungsi peradilan terutama berkaitan dengan fungsi Mahkamah Agung dalam
membina kesatuan dan konsistensi dalam penerapan hukum. Kemudian, fungsi mengatur
berkaitan dengan pengaturan lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan dan untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan.

Perma No.1 Tahun 2020 Perma Nomor 1 Tahun 2020 merupakan wujud dari
pelaksanaan fungsi Mahkamah Agung tersebut. Perma ini berupaya menjembatani
dikotomi pedoman pemidanaan dengan kemandirian Hakim melalui harmonisasi rentang
pemidanaan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dengan upaya mewujudkan keadilan dan
kemanfaatan melalui penetapan suatu pedoman bagi para Hakim. Pedoman pemidanaan
memberi rujukan bagi Hakim untuk menilai fakta dan mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan, termasuk alur berpikir dalam penentuan fakta-fakta yang menentukan
sebelum menentukan berat ringannya pidana. Namun, harus dipahami bahwa Perma ini
tidak mengekang kemandirian Hakim, karena pada hakekatnya berisi checking-points
(control puten) dan ukuran pemidanaan sebagai guidance atau petunjuk bagi Hakim.
Bagaimanapun Hakim dapat memutus berbeda dari pedoman yang ada jika memang

2
terdapat hal-hal yang dianggap perlu dipertimbangkan lebih jauh dan belum diatur dalam
Perma.

Era Industri 4.0 (empat titik nol) ditandai dengan masifnya pemanfaatan teknologi
informasi untuk mendukung segi-segi kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan masyarakat
era modern untuk mendapatkan informasi secara cepat dan akurat dijawab dengan
teknologi informasi yang memungkinkan kita, kapanpun dan dimanapun, dapat mengakses
informasi. Lembaga peradilan sangat perlu mengimplementasikan teknologi informasi
sebagai bagian dari perwujudan peradilan modern.

Mekanisme peradilan modern berbasis elektronik yang merupakan amanat Cetak


Biru Peradilan 2010 – 2035, mulai digagas sejak dua tahun yang lalu. Administrasi
Peradilan elektronik diberlakukan melalui Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun
2018 tentang Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik, kemudian
ditindaklanjuti dengan menambahkan fitur e-litigasi melalui Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi dan Persidangan Perkara di Pengadilan Secara
Elektronik.

B. HEURISTIKA HUKUM
Teori Heuristika Hukum
Teori heuristika hukum yang akan saya kemukakan adalah sebagai upaya untuk
mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan hukum seperti ini. Pandangan
awal saya adalah Pengadilan seharusnya memutus dengan memperhatikan keadilan dan
kemanfaatan yang didasari pertimbangan yang lengkap dan konsisten. Karena, pada
akhirnya, proses peradilan harus memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi
masyarakat.
Definisi Heuristika
Heuristika berasal dari kata heuriskein (Yunani), dalam Bahasa Latin
heuristicus, yang berarti “to find out” atau “discover”, yaitu menemukan sesuatu1 .
Heuristika adalah serving to find out or discover atau berupaya menemukan (sesuatu
pengetahuan baru)2. Dalam pengertian lain, heuristika adalah “the branch of logic

1
Marc h. J. Romanyc & Francis Jeffry Pelletie, “What is A Heuristic?”, Comput Intell. Vol. I. 1985, hlm. 47.
2
C. Engel and G. Gigerenzer, “Law and Heuristics: An Interdisciplinary Venture”, dalam Heuristics and The
Law, Gerd Gigerenzer & Christoph Engel (Eds), Cambridge: The MIT Press, 2006, hlm. 2.

3
which treats of the art of discovery or invention” (cabang dari logika yang membahas
tentang seni menemukan suatu pengetahuan baru)3 .
Secara terminologis, definisi heuristika beragam. Ini dikarenakan heuristika
banyak dipakai dalam cabang-cabang pengetahuan berbeda, seperti komputasi,
psikologi, ilmu sosial, dan lainnya. Polya, matematikawan Stanford, mendefinisikan
heuristika sebagai “analytical thinking for problems that cannot be solved by the
calculus or probability theory—for instance, how to find a mathematical proof” (cara
berpikir analitik terhadap permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan metode
kalkulus atau teori probabilitas)4 .
Dalam Psikologi Gestalt, heuristika digambarkan sebagai perilaku yang
eksploratif, seperti dalam pencarian informasi dari berbagai sumber yang
memungkinkan. Dalam konteks ini, Herbert Simon dan Allen Newell memahami
heuristika sebagai pendekatan yang berupaya menemukan solusi atas suatu
permasalahan dalam ruang yang lebih luas5 . Artinya, heuristika tidak membatasi pada
pilihan-pilihan yang ditetapkan secara teoretis, namun juga menjajagi pilihan-pilihan
lain di luar itu yang bahkan mungkin belum terpikirkan sebelumnya. Senada dengan
itu, Steve Dale dalam penelitiannya menyimpulkan heuristika sebagai pendekatan
dalam penyelesaian masalah yang didasarkan pada pengalaman seseorang.
Dalam heuristika, pengalaman-pengalaman menjadi bahan utama dalam
menganalisis permasalahan dan menemukan solusi yang paling tepat. Heuristika
menyediakan strategi dalam menganalisis tanda-tanda yang ada dan/atau alternatif yang
memungkinkan dalam pengambilan keputusan.6 Heuristika menawarkan cara berpikir
yang lebih praktis, efektif, dan menyeluruh dalam memahami suatu permasalahan. Dari
proses itu, diharapkan dapat dicapai suatu resolusi yang diharapkan lebih efektif.
Namun demikian, penerapan heuristika harus lebih hati-hati, karena proses mental
(mental shortcut) yang hanya menekankan satu atau beberapa aspek saja dari suatu
permasalahan dapat memunculkan bias. Penekanan heuristika pada intuisi ini yang
harus disikapi secara bijak agar tidak memunculkan kesimpulan yang bias7.

3
Marc h. J. Romanyc & Francis Jeffry Pelletie, Op.Cit., hlm. 48.
4
C. Engel and G. Gigerenzer, Loc.Cit.
5
Ibid.
6
Steve Dale, “Heuristics and Biases – The Science Of Decision Making”, Business Information Review · June
2015, hlm. 1. (tersedia di laman: https://www.researchgate.net/ publication/281232107, diakses 25 Januari
2021).
7
Lihat Ibid.

4
Untuk mengatasi kemungkinan bias dalam kesimpulan dalam pengambilan
keputusan, maka heuristika harus diimplementasikan secara proporsional. Karena itu,
penerapan model heuristika dalam analisis dan penyelesaian suatu permasalahan harus
mampu mengidentifikasi fakta-fakta yang penting dan menentukan, sudut pandang
yang tepat, serta cakupan permasalahan yang signifikan8. Karena itu, dalam heuristika,
perlu disadari bahwa mempercepat proses pengambilan keputusan harus dilakukan
secara hati-hati.
Pengalaman-pengalaman masa lalu tetap perlu diperhatikan namun tidak dapat
selalu dijadikan sandaran dalam pengambilan keputusan saat ini karena situasinya
mungkin sangat jauh berbeda. heuristika tetap harus disandingkan dengan berbagai
aspek dan sudut pandang dalam memahami suatu permasalahan dan menemukan
solusinya secara cepat, tepat, dan efektif9. Heuristika: di ilmu hukum & ilmu sosial
Studi dalam ilmu-ilmu sosial telah banyak menerapkan model berpikir heuristik.
Bahkan, dalam matematika dan studi-studi tentang komputasi, heuristika banyak
digunakan dalam memecahkan permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan
model logis-matematis dan/atau teori probabilitas yang umum dijadikan rujukan.
Studi mengenai hukum selama ini menunjukkan sulitnya menemukan solusi terbaik
bagi suatu permasalahan hukum. Permasalahan hukum sangat kompleks, informasi
yang tersedia tidak lengkap dan cenderung kontradiktif, terlalu banyak pihak yang
terlibat dengan misi yang berbeda, serta ketidakpastian yang mengitari permasalahan
hukum. Pemecahan yang diajukan cenderung intuitif atau didasarkan pada kebiasaan,
bukan pada kesesuaiannya dengan karakteristik permasalahan hukum yang ada.10 Studi
heuristika berupaya menjelaskan proses yang mendasari intuisi dan kebiasaan.
Heuristika ini seringkali bersifat tidak disadari namun studi yang sistematis
terhadapnya dapat membantu meningkatkan kemampuan dalam pengambilan
keputusan. Heuristika menekankan pendekatan rasional terhadap pengalaman dan
lingkungan yang terkait dalam pemecahan masalah. Di sinilah heuristika membantu
kita dalam memahami permasalahan dan mengambil keputusan di tengah situasi yang
penuh ketidakpastian.11

8
Marc H. J. Romanycia & Francis Jeffry Pelletier, Op.Cit., hlm. 57.
9
Steve Dale, Op.cit., hlm. 11
10
Gerd Gigerenzer, “Heuristcis”, dalam Heuristics and The Law, Gerd Gigerenzer & Christoph Engel (Eds),
Cambridge: The MIT Press, 2006, hlm. 17.
11
Ibid.

5
Model berpikir heuristika mengedepankan kreativitas dan keberanian menjajagi
berbagai kemungkinan dalam memecahkan suatu permasalahan. Wieacker memandang
heuristika sebagai kebalikan dari logika yang sifatnya kaku.12 Heuristika menggunakan
pendekatan analitik dalam menemukan solusi atas suatu permasalahan. Dalam
heuristika, informasi yang dapat diakses dihubungkan dengan simpulan terhadap
permasalahan yang dihadapi sebelumnya. Artinya heuristika menarasikan pengalaman
masa lalu dengan mengadaptasikan kondisi saat ini untuk kemudian menentukan solusi
apa yang dapat diambil. Heuristika membuka kemungkinan adanya solusi di luar
kebiasaan yang ada selama ini. Terkadang, solusi di luar kebiasaan tersebut lebih
optimal dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Kelebihan heuristika dalam
hal ini adalah prosedur pengambilan keputusan dapat lebih sederhana dan singkat
dibandingkan dengan prosedur logika yang cenderung kaku.13 Tversky & Kahneman
menggambarkan heuristika sebagai jalan pintas (short cut) dalam menyelesaikan
masalah.14
Heuristika menyederhanakan strategi dalam memperoleh dan mengolah
informasi sehingga dapat diandalkan dalam setiap pengambilan keputusan, baik yang
sifatnya periodikal maupun insidentil. Heuristika memberi ruang lebih luas dalam
mengembangkan kreativitas penyelesaian masalah. Seringkali, ketika berhadapan
dengan permasalahan hukum, kita sulit menemukan pemecahannya jika hanya
mengandalkan aturan hukum yang ada. Banyak ditemukan fakta bahwa penanganan
suatu perkara tidak bisa mengandalkan hanya pada ketentuan undang-undang semata,
misalnya dalam perkara korupsi yang nilai kerugiannya hampir sama dan memiliki
kemiripan dalam peranan si pelaku, hakim menjatuhkan sanksi pidana yang jauh
berbeda tanpa ada pertimbangan yang cukup sebagai alasan untuk menjatuhkan sanksi
yang lebih berat atau sebaliknya dalam kasus-kasus serupa.
Hakim memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pidana dalam rentang
ancaman yang terendah sampai dengan batas ancaman yang tertinggi pada pasal tindak
pidana yang dinyatakan terbukti, namun hakim wajib untuk memberikan alasan dan
pertimbangan kenapa akhirnya menjatuhkan sanksi pidana tersebut. Disinilah fungsi

12
Wieacker dalam Thomas Hoffmann, “Heuristics in Legal Decision-Making”, Acta Baltica Historiae et
Philosophiae Scientiarum Vol. 8, No. 1 (Spring 2020) (tersedia di laman https:// www.ies.ee/bahps/acta-
baltica/abhps-8-1/03_Hoffmann-2020-1-03.pdf, diakses 25 Januari 2021), hlm 63.
13
Thomas Hoffmann, Ibid.
14
Tversky & Kahneman dalam Sudeep Bhatia, “The Power of the Representativeness Heuristic”, Paper on The
2015 Annual Meeting of The Cognitive Science Society (tersedia di laman
https://www.sas.upenn.edu/~bhatiasu/Bhatia%202015%20CogSci%20PP.pdf, diakses 24 Januari 2021).

6
dan peranan pedoman pemidanaan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2020, yaitu untuk
memberikan tuntunan kepada para hakim tentang hal-hal yang harus dipertimbangkan
sebelum menentukan ukuran pidana.
Hukum itu bukan sekadar hitam dan putih, bukan pula sekadar menerapkan
aturan ke dalam perkara in konkreto. Lebih dari itu, hukum adalah sintesis terhadap
berbagai fakta hukum yang ada dalam suatu perkara (permasalahan) yang dihubungkan
dengan asas dan peraturan hukum yang ada, pengalaman-pengalaman yuris, dan tujuan
penegakan hukum. Bagi para yuris, menganalisis dan memahami keadaan dan
permasalahan hukum bukan pekerjaan mudah. Diperlukan berbagai pendekatan
(perspektif) dan ketajaman intuisi yang didasarkan pada pengalaman yang diperoleh
selama ini. Pengalaman-pengalaman tersebut pada hakekatnya sebagai “nutrisi” yang
memadai dalam menganalisis dan merumuskan pemecahan masalah di bidang hukum.
Pemahaman terhadap heuristika dapat disederhanakan sebagai berikut. Ketika
menghadapi suatu permasalahan, kita biasanya melihat aturan atau formula yang ada
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam banyak kejadian, aturan atau formula
tersebut tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Dalam hal ini, diperlukan proses kreatif untuk menjajagi kemungkinkan lain di luar dari
aturan atau formula tersebut.
Di sini, seni berpikir dan menganalisis suatu permasalahan dikedepankan
dengan mencoba keluar dari pakem yang ada. Inilah yang disebut heuristika karena
berupaya menemukan solusi (breakthrough) yang secara aturan atau formula yang ada
tidak memungkinkan. Heuristika dapat diimplementasikan dalam hukum. Hukum
adalah sistem yang dinamis dan bersegi banyak. Dinamis dalam arti bahwa hukum
senantiasa berubah dan bergerak mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan
berhukum di masyarakat. Bersegi banyak berarti hukum bukanlah sesuatu yang sifatnya
tunggal, sebaliknya hukum terbentuk dan berdinamika sedemikian rupa karena
dipengaruhi oleh faktor-faktor di luarnya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial,
budaya, psikologi, dan agama. Karena secara organik, hukum bersifat dinamis dan
bersegi banyak, maka memahami hukum tidak dapat mengandalkan logika tunggal an
sich.
Hukum tidak dapat dipahami hanya dari prinsip dan dogma hukum itu saja.
Lebih dari itu, memahami hukum harus memperhatikan aspek-aspek yang terkait.
Misalnya, dalam pemberantasan korupsi tidak dapat dipahami dan diatasi hanya dengan
mengandalkan peraturan dan penegakannya oleh aparat. Pemberantasan korupsi

7
membutuhkan upaya kolektif, mulai dari legislasi yang pro pemberantasan korupsi,
penciptaan budaya kerja yang nirkorupsi, pemahaman masyarakat untuk turut
mengawasi perilaku dan kinerja aparatur negara, serta sinergi antar penegak hukum.
Model Heuristis dalam memahami hukum Terobosan-terobosan dalam pemidanaan
diperlukan sebagai bagian dari pembaruan sekaligus menunjukkan karakter visioner
dari hukum. Hukum tidak boleh hanya fokus pada kebutuhan saat ini melainkan juga
bagaimana hukum harus mampu menjawab tantangan ke depan dalam upaya
mewujudkan ius constituendum (hukum yang dicitakan). Saya menyebutnya sebagai
Model Heuristis dalam memahami hukum. Hadirnya kedua Perma tersebut menegaskan
lompatan berpikir dalam upaya mengatasi kendala-kendala dalam penanganan perkara
pidana.
Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terwujudnya keadilan prosedural dan
keadilan substantif. Sebab, untuk mewujudkan keadilan substantif, keadilan prosedural
tidak boleh diabaikan. Lompatan berpikir ini tidak terjadi secara serta merta, melainkan
melalui proses dialektika yang cukup panjang dan telaah terhadap pelbagai norma dan
doktrin hukum yang berkembang. Dialektika yang terjadi tersebut diibaratkan sebagai
proses heuristik yang memadupadankan berbagai aspek hukum dan non hukum dalam
penormaan hukum sehingga dapat dihasilkan produk legislasi yang dapat menjawab
kebutuhan berhukum saat ini. Inilah yang saya sebut sebagai heuristika hukum, yaitu
cara pandang terhadap hukum yang mengedepankan kreatifitas dan seni. Karena,
hukum adalah seni pemecahan masalah (law is an art of legal problem solving).
Perma No.1 Tahun 2020: Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Salah satu upaya untuk memperkecil tingkat disparitas pemidanaan dalam
tindak pidana korupsi, khususnya penerapan Pasal 2 dan 3 adalah dengan
diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang–Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Perma Tipikor). Sebelum Perma Tipikor disahkan, Mahkamah Agung melihat
pentingnya memperbarui model pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi (tipikor)
untuk setidaknya memberi pedoman umum dan/atau standar bagi Hakim dalam
menjatuhkan pidana.
Sistem pemidanaan terhadap tipikor diharapkan dapat memberi kepastian dalam
penerapan hukum yang pada akhirnya juga dapat mendorong terwujudnya kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi negara dan masyarakat. Sejak disahkannya UU

8
Tipikor hingga sebelum terbitnya Perma Tipikor muncul persoalan terkait dengan
disparitas pemidanaan meskipun hanya sebagian kecil yang tidak sejalan idealitas
hukum. Saat hampir bersamaan, publik menghendaki sistem peradilan pidana mampu
menciptakan pemidanaan yang ajeg terhadap para pelaku tipikor. Selain dimaksudkan
untuk mewujudkan kepastian dalam penegakan hukum, publik juga menghendaki ada
efek jera dari penerapan pemidanaan tersebut. Inilah yang sering kita istilahkan sebagai
gap antara das sollen dan das sein.
Paparan tersebut menggambarkan bahwa apa yang kita pahami sebagai hukum
sesungguhnya bukanlah wujud tunggal, melainkan bersegi banyak. Karena itu, tidak
tepat jika kita berbicara mengenai pembaruan sistem pemidanaan tipikor namun hanya
berkutat pada aspek-aspek intern hukum. Justeru aspek ekstern hukum banyak
memengaruhi sekaligus memberi bahan yang sangat lengkap dalam perumusan ulang
dan/atau pembaruan kerangka konsep dan kerangka kerja hukum.
Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa hukum sebagai sebuah sistem
mencakup tiga subsistem, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum
(legal structure), dan budaya hukum (legal culture).15 Pandangan Friedman ini
mewarnai pelbagai pemikiran hukum yang berkembang di era postmodernisme dengan
karakter pemikiran yang kritis dan revolusioner dalam memahami hukum. Friedman
sendiri sebenarnya membedakan hukum (law) dan sistem hukum (legal system).
Hukum bagi Friedman adalah seperangkat aturan hukum yang dilaksanakan atau
diwujudkan penegakannya oleh aparatur negara yang berwenang untuk itu. Sementara
itu, sistem hukum berkaitan dengan penegakan hukum yang melibatkan tiga subsistem
tersebut di atas. Jika ditelaah, pandangan tersebut merupakan upaya untuk mendobrak
tradisi positivisme yang mempersempit pemahaman tentang hukum hanya kepada
norma yang diformalkan. Teori ini ingin menggugat bahwa berbicara hukum
seharusnya menjangkau sekaligus, isi hukum (perundang-undangan), struktur
penegakan hukum dan budaya hukum yang mengitarinya. Saya berpendapat, ini adalah
suatu lompatan pemikiran yang mengangkat tingkat pemahaman terhadap hukum pada

15
Lawrence M. Friedmann, The Legal System, New York: Russel Sage Foundation, 1975, hlm. 11-16.
Lawrence M. Friedmann, American Law, New York: W. W. Norton and Company, 1984, hlm. 5.

9
sebatas aturan formal an sich16 ke pemahaman yang lebih sistemik (mencakup
penegakan hukumnya juga).
Namun demikian, dalam tataran yang lebih makro, seperti pembentukan hukum
melalui program legislasi dan/atau pembaruan hukum yang sifatnya multifaset, saya
menawarkan gagasan baru yang saya sebut dengan teori heuristika hukum. Heuristika
hukum menjangkau aspek legislasi dan pembaruan. Legislasi berbicara tentang
kekuasaan politik dalam pembentukan perundang-undangan. Ini berarti bahwa legislasi
menempatkan hukum dan politik sebagai entitas yang saling bertautan dimana di
dalamnya juga tercakup aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Sementara itu, pembaruan
hukum berbicara dalam cakupan yang lebih luas yaitu hukum yang akan datang
(iusconstituendum).
Sejak 20 tahun lalu, gagasan pembaruan hukum pidana materil dan formil telah
digagas. Keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan produk yang beberapa
bagaian di dalamnya sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika saat ini, apalagi jika
melihat kebutuhan berhukum yang berkembang. Rancangan KUHP telah beberapa kali
disempurnakan, termasuk simposium yang sedemikian sering. Saat diajukan ke DPR,
rancangan tersebut belum disahkan. Harapan terbentuknya KUHP Nasional dan
pembaharuan KUHAP yang benar-benar mencerminkan citarasa hukum nasional
belum dapat terwujud.
Mandegnya pembahasan Rancangan KUHP dan KUHAP tersebut adalah
contoh nyata bahwa pembaruan hukum merupakan persoalan maha berat dalam hukum,
persoalan yang tidak dapat dilihat hanya dari sudut pandang dogmatika hukum. Kita
boleh berkutat dalam perdebatan mengenai prinsip-prinsip hukum yang ada, termasuk
bagaimana seharusnya merumuskan norma yang paling mewakili kehendak umum.
Namun, kita tidak boleh melupakan bahwa politik hukum dan pelibatan publik
(partisipasi publik) dalam pembaruan hukum juga sangat menentukan keberhasilan
pembaruan hukum itu sendiri. Artinya pula bahwa hukum itu sistem yang tidak
sederhana, tidak hanya berbicara penegakannya semata. Hukum, sebaliknya adalah

16
Pemikiran formalistik berakar dari paradigma positivisme hukum yang menekankan hukum adalah norma-
norma yang diformalkan. Di luar itu bukanlah hukum sehingga tidak memiliki daya mengikat yuridis. Paradigma
ini menempatkan hukum sebagai entitas logis-formal yang kaku sehingga tidak terbuka ruang tafsir lebih jauh
terhadapnya.

10
entitas yang sangat kompleks dan melibatkan sangat banyak anasir nonhukum yang
harus diselaraskan satu sama lain.
Dari paparan tersebut, saya mengajukan suatu gagasan pembaruan sistem
pemidanaan (yang juga nantinya mencakup aspek penormaan dan penegakan hukum)
harus memerhatikan lima variabel, yaitu: 1) filsafat hukum; 2) substansi hukum; 3)
struktur hukum; 4) kultur hukum; dan 5) politik hukum. Dari kelima varibel tersebut,
tiga di antaranya merupakan konsep Friedman (substansi, struktur, dan kultur hukum).
Lima variabel tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Kegagalan dalam harmonisasi
kelimanya berakibat pada kesulitan dalam mewujudkan pembaruan hukum yang
diharapkan. Jikapun terwujud, sifatnya partikular, tidak inklusif. Resume Heuristika
Hukum Variabel filsafat hukum menyangkut ide-ide dasar yang menjiwai pembentukan
asas, norma, dan peraturan hukum. Substansi hukum mencakup materi-materi dari
hukum, khususnya peraturanperaturan hukum yang ada sebagai landasan dalam
perwujudan tri gatra nilai hukum, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam
pencapaian Tri Gatra nilai hukum tersebut, dalam hukum pidana melibatkan hukum
pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana.
Struktur hukum adalah variabel yang berkaitan dengan institusi hukum beserta
aparatur yang ada di dalamnya. Struktur hukum memegang peranan penting dalam
memberi ruh terhadap peraturan-peraturan hukum agar implementasinya selaras
dengan ratio legis pembentukannya. Kultur hukum adalah ide-ide, tata nilai, sikap, dan
pandangan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Kultur hukum dapat
merupakan sumber hukum dimana nilai-nilai kultural yang ada dapat membentuk
norma hukum. Adapun politik hukum merupakan acuan kebijakan tentang hukum yang
akan diberlakukan guna mencapai tujuan negara. Politik hukum memiliki proyeksi ke
depan dan pada hakikatnya mencerminkan hukum yang dicitakan masyarakat. Gagasan
heuristika hukum saya ajukan sebagai sebuah pendekatan baru dalam memahami
hukum, baik pada tataran formulasi (penormaan), penegakan, maupun pembaruan
hukum. Gagasan ini terinspirasi dari konsepsi heuristika yang digunakan dalam studi-
studi ilmu sosial.

11
Clark Moustakas, Psikolog Humanis Amerika, memperkenalkan model berpikir
heuristik dalam penelitian eksploratif.17 Heuristika termasuk dalam studi yang bersifat
eksploratif terhadap satu permasalahan. Studi demikian jamak dalam riset-riset bidang
sosial. Pada 1985, Moustakas bersama Bruce Douglas mengembangkan model proses
studi heuristik yang mencakup tiga tahapan. Pertama, tahap immersion yang merupakan
tahap mengajukan pertanyaan, masalah, atau tema yang akan dibahas. Kedua, tahap
acquisition yang merupakan tahapan pengumpulan data hal pokok yang akan diteliti.
Ketiga, tahap realization yang merupakan sintesis pelbagai premis untuk mencapai
kesimpulan tertentu.
Pada tahun 1990, Moustakas mengembangkan model tersebut secara lebih
elaboratif hingga menjadi tujuh tahapan dalam penelitian dengan pendekatan
heuristik.18 Moustakas semula menggunakan kata heuristik untuk menjelaskan proses
pencarian pengetahuan secara mendalam untuk menemukan hakikat dan makna suatu
pengalaman. Heuristik selanjutnya berkembang menjadi metode reflektif-eksploratif.19
Inilah mengapa dalam heuristik, pengalaman pribadi bersanding dengan pengalaman
eksternal. Keduanya mengalami proses dialektika yang intensif sehingga memunculkan
suatu makna baru yang lebih lengkap. Hukum dalam arti perundang-undangan bersifat
statis sementara hukum sebagai entitas sosial bersifat dinamis. Dua keadaan ini tampak
kontradiktif, namun sesungguhnya dapat dipadupadankan dengan menyeleksi sisi-sisi
yang masih relevan sekaligus mengembangkan pemahaman baru yang dapat
mendekatkan apa yang kita sebut sebagai das sollen dan das sein. Di sini, ditekankan
rasionalisasi dari keadaan-keadaan yang ada (circumstances) sehingga tergambar
keselarasan dalam setiap penormaannya. Ini sejalan dengan konsepsi justice as fairness
Prof. yang dipaparkan John Rawls yang penekanannya pada prinsip rasionalitas,
kebebasan, dan kesamaan.20
Dasar pemikiran ini yang mendorong saya untuk menelaah secara sistematis
bagaimana proses penormaan yang menghasilkan Perma pemidanaan terwujud. Secara
makro, proses legislasi juga demikian. Namun untuk konteks Perma, cakupannya lebih
spesifik kepada upaya mengisi kekosongan norma hukum yang bersifat praktis dan

17
Mudjia Rahardjo, Studi Heuristik dalam Penelitian Kualitatif, Makalah, 2018, hlm. 1, (http://repository.uin-
malang.ac.id/2438/1/2438.pdf)
18
Ibid.
19
Lihat Ibid.
20
Raymond Wacks, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal Theory, Third Edition, Oxford:
Oxford University Press, hlm. 223.

12
mendesak untuk segera diimplementasikan. Dari pemaparan tersebut, saya
menyimpulkan heuristika hukum sebagai paradigma terhadap hukum yang melihat
hukum sebagai entitas bersegi banyak, mencakup aspek hukum dan non hukum yang
memengaruhi proses penormaan, penegakan, dan pembaruan hukum guna mewujudkan
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi seluruh lapisan
masyarakat. Cakupan Heuristika Hukum
Cakupan heuristika hukum sebagaimana definisi tersebut di atas mencakup hal-
hal sebagai berikut: a) Hukum adalah entitas bersegi banyak, dimana sebagai bagian
dari sistem sosial, hukum bertautan dengan subsistem lain. Hukum mengampu peran
dalam mengintegrasikan pelbagai kepentingan dari subsistem sosial lainnya. b) Tiga
siklus hukum, mencakup tiga tahapan, yaitu penormaan, penegakan, dan pembaruan.
Tiga tahapan ini saling berkaitan satu sama lain dengan pembaruan sebagai tahapan
yang dapat mengubah bentuk dan isi hukum sesuai dengan kebutuhan yang ada pada
saat itu. c) Tujuan hukum, yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan sebesar-
besar bagi seluruh lapisan masyarakat. Hukum tidak boleh hanya berkutat pada kekauan
penerapan norma namun harus lebih mengedepankan upaya mewujudkan keadilan dan
kemanfaatan sebagai idealitas hukum. Sebagai sebuah paradigma terhadap hukum,
heuristika hukum membagi pendekatan terhadap hukum pada dua aras utama, yaitu
pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro hukum menekankan
telaah terhadap satu atau beberapa bidang hukum terkait secara umum. Arahnya adalah
lahirnya suatu sistem atau tatanan umum yang menjadi panduan dalam penerapan
hukum. sementara pendekatan mikro hukum menekankan telaah terhadap satu aspek
dalam bidang hukum tertentu yang bersifat praktis-operasional.
Terhadap kedua pendekatan tersebut, maka kerangka kerja dalam heuristika
hukum dibagi menjadi tiga kerangka kerja. Pertama, kerangka kerja filosofis, yaitu
adalah kerangka kerja yang fokus pada ide-ide dasar dalam hukum. Kerangka kerja ini
berada pada tataran sistem atau tatanan hukum. Kerangka kerja filosofis ini diterapkan
dalam pembaruan tatanan hukum. Kedua, kerangka kerja kompromistis, yaitu kerangka
kerja yang berupaya mengompromikan beberapa aspek dalam bidang hukum tertentu.
Kerangka kerja ini lebih menekankan upaya mendekatkan perbedaan-perbedaan yang
muncul atau setidak-tidaknya memberi prioritas terhadap satu aspek yang diharapkan
dapat memengaruhi aspek lainnya. Ketiga, kerangka kerja praktikal, yaitu berkutat pada
upaya merumuskan norma-norma baru yang bersifat praktis dan mendesak
penerapannya.

13
Heuristika Hukum Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2020
Perma sebagai proses pemanfaatan teori Heuristika Hukum Perma Nomor 1
Tahun 2020 adalah representasi dari proses heuristik. Perma Nomor 1 Tahun 2020
adalah wujud dari seni menyelesaikan permasalahan disparitas putusan yang sekian
lama belum teratasi. Mengapa kemudian dengan Perma? Karena proses legislasi di
dewan memerlukan waktu lama sementara dalam praktik dibutuhkan kerangka
normatif yang cepat dan operasional.
Berikut beberapa gambaran mengapa Perma Nomor 1 Tahun 2020 merupakan
implementasi dari pendekatan heuristika hukum. Pertama, sebagian kecil putusan yang
ada menunjukkan adanya disparitas dalam pemidanaan tipikor. Terbitnya Perma
Nomor 1 Tahun 2020 merupakan penormaan dari pandangan agar setiap penjatuhan
pidana dilakukan dengan memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan.
Penormaan inilah yang dimaksud dalam heuristika hukum. Kedua, Perma Nomor 1
Tahun 2020 memberi kerangka kerja yang memudahkan bagi para Hakim dalam
mengadili perkara tipikor sehingga dapat menetapkan berat ringannya pemidanaan
(paling berat, berat, sedang, ringan) berdasar pertimbangan-pertimbangan yang lengkap
(terbukti tidaknya unsur pidana; kerugian keuangan negara; tingkat kesalahan, dampak,
dan keuntungan; rentang pemidanaan, serta hal-hal yang memberatkan dan
meringankan). Kerangka kerja ini yang dimaksud sebagai penegakan dalam perspektif
heuristika hukum. Ketiga, Perma Nomor 1 Tahun 2020 menentukan standardisasi
pemidanaan (paling berat, berat, sedang, ringan, dan paling ringan) dan ini dapat
menjadi pedoman bagi Hakim dalam memutus perkara.
Meskipun demikian, Hakim tetap memiliki kewenangan dan kemandirian untuk
dapat menentukan berat ringannya pidana menurut hati nuraninya jika apa yang termuat
dalam pedoman tersebut belum mengakomodir fakta penting lain yang terungkap di
persidangan. Ini merupakan pembaruan dalam perspektif heuristika hukum.

C. PENUTUP
Bapak Ibu Peserta Webinar nasional yang berbahagia,
Berdasar hal-hal yang telah dipaparkan tersebut di atas, Saya menyimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Pembaruan sistem pemidanaan dalam praktik peradilan modern dimaksudkan
untuk meminimalisir disparitas dalam pemidanaan namun tidak mengurangi
kemandirian Hakim. Dalam perspektif heuristika hukum, lahirnya Perma Nomor 1

14
Tahun 2020 telah menyelaraskan pelbagai aspek sistem pemidanaan dalam upaya
mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat;
Kedua, Untuk mendukung pembaruan peradilan menuju peradilan modern,
lembaga peradilan harus mengimplementasikan teknologi informasi dalam administrasi
dan persidangan perkara dengan tetap memerhatikan ketentuan yang berlaku dalam
hukum acara.
Ketiga, Teori heuristika hukum dapat dijadikan sebagai pendekatan baru yang
melengkapi teori-teori hukum yang telah ada dalam pengembangan studi dan kebijakan
hukum, tidak hanya dalam bidang hukum pidana, namun juga pada bidang hukum lain;
Keempat, Sistem hukum mencakup banyak pemangku kepentingan (stakeholders).
Karena itu, penormaan, penegakan, dan pembaruan hukum harus melibatkan pemangku
kepentingan tersebut.

Terima kasih atas perhatian Bapak Ibu. Peserta Webinar. Semoga Allah Swt. Senantiasa
merahmati dan mengaruniai kesehatan kepada kita semua, amin ya rabbal alamin.
Billahi taufiq wal hidayah, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, September 2021

KETUA MAHKAMAH AGUNG RI

Prof. Dr. H. Muhammad Syarifuddin, S.H., M.H.

15
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman Hamidah, Fajar Dian Aryani, & Nayla Majestya, 2019, The Study of
Judges’ Disparity in Corruption Cases in Indonesia, Advances in Social Science, Education
and Humanities Research, Volume 429.
Abraham, Andre. 2018. Implikasi Disparitas Pemidanaan Terhadap Kepastian Hukum
Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Andalas Padang.
Akbari, Anugerah Rizki, Adery Ardhan Saputro, & Andreas Nathaniel Marbun. 2017.
Memaknai dan Mengukur Disparitas: Studi Terhadap praktik Pemidanaan Pada Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta: BP FH UI, USAID, MaPPI.
Ardiansyah, Irfan. “Pengaruh Disparitas Pemidanaan Terhadap Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Jurnal Hukum Respublica, Vol. 17 No. 1 Tahun 2017:
76 – 101.
C. Engel and G. Gigerenzer, “Law and Heuristics: An Interdisciplinary Venture”, dalam
Heuristics and The Law, Gerd Gigerenzer & Christoph Engel (Eds), Cambridge: The MIT
Press, 2006.
Friedmann, Lawrence M., The Legal System, New York : Russel Sage Foundation, 1975.
................., American Law, New York : W. W. Norton and Company, 1984.
Gerd Gigerenzer, “Heuristcis”, dalam Heuristics and The Law, Gerd Gigerenzer &
Christoph Engel (Eds), Cambridge: The MIT Press, 2006.
Lalitasari, Ajeng Arindita, Pujiyono, &Purwoto, Disparitas Pidana Putusan Hakim
dalam Kasus Korupsi yang Dilakukan Secara Bersama-Sama di Pengadilan Negeri Tindak
Pidana Korupsi Semarang, Diponegoro Law Journal, Volume 8, Nomor 3, Tahun 2019.
Langkun, Tama S., et.al.. 2014. Studi Atas Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara
Tindak Pidana Korupsi, Policy Paper. Jakarta: ICW.
Manan, Bagir. 1999. ‘Reorientasi Politik Hukum Nasional’, Makalah.
Marc h. J. Romanyc & Francis Jeffry Pelletie, “What is A Heuristic?”, Comput Intell.
Vol. I. 1985. Rahardjo, Mudjia. 2018. Studi Heuristik dalam Penelitian Kualitatif, Makalah.
Raymond Wacks. 2008. Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal
Theory. Third Edition. Oxford: Oxford University Press.
Soekanto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sudeep Bhatia, “The Power of the Representativeness Heuristic”, Paper on The 2015
Annual Meeting of The Cognitive Science Society (tersedia di laman https://www.sas.upenn.
edu/~bhatiasu/Bhatia%202015%20CogSci%20PP.pdf).
Steve Dale, “Heuristics and Biases – The Science Of Decision Making”, Business
Information Review · June 2015, (tersedia di laman: https://www.researchgate.net/
publication/281232107).
Thomas Hoffmann, “Heuristics in Legal Decision-Making”, Acta Baltica Historiae et
Philosophiae Scientiarum Vol. 8, No. 1 (Spring 2020) (tersedia di laman https://www.ies.ee/
bahps/acta-baltica/abhps-8-1/03_Hoffmann-2020-1-03. pdf).

16
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA
KEDEPUTIAN BIDANG PENGKAJIAN DAN MATERI

PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL


BERDASARKAN PANCASILA

PROF. DR. ADJI SAMEKTO, M.HUM.


DEPUTI BIDANG PENGKAJIAN DAN MATERI
BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA

INDONESIA
AS A MODERN STATE

MENGADOPSI GAGASAN MENGADOPSI GAGASAN


TATANAN SOSIAL TATANAN SOSIAL
BERDASAR FILSAFAT BARAT
SECTION BREAK BERDASAR FILSAFAT TIMUR

Insert the title of your subtitle Here


BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA

THE ART OF PHILOSOPHY:

FILSAFAT BARAT: FILSAFAT TIMUR:


1. MENEKANKAN HAK-HAK INDIVIDUAL 1. MENEKANKAN PADA KEBERSAMAAN (TOGETHERNESS)
2. ADA PEMISAHAN ANTARA AGAMA DAN FILSAFAT 2. TIDAK ADA PEMISAHAN ANTARA AGAMA DAN FILSAFAT
3. DIBANGUN SECARA DIALEKTIS 3. DIBANGUN SECARA DIALEKTIS
4. MENCASI DAN MEMBUKTIKAN KEBENARAN EMPIRIK 4. PASRAH DAN PERCAYA
5. SANGAT DINAMIS DALAM PARADIGMA ARISTOTELIAN 5. SANGAT MENGEDEPANKAN KEABADIAN (ETERNALITY)

SECTION BREAK
Insert the title of your subtitle Here
MENDASARI TATANAN SOSIAL MENDASARI TATANAN SOSIAL
MASYARAKAT BARAT MASYARAKAT TIMUR
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA

INDONESIA
AS A MODERN STATE

MENGADOPSI GAGASAN MENGADOPSI GAGASAN


TATANAN SOSIAL TATANAN SOSIAL
BERDASAR FILSAFAT BARAT BERDASAR FILSAFAT TIMUR

INDONESIA DIDIRIKAN BERDASAR:


1.KETUHANAN YANG MAHA ESA
2.KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
3.PERSATUAN INDONESIA
SECTION BREAK
4.KERAKYATAN
5.KEADILAN SOSIAL
Insert the title of your subtitle Here

UNTUK WUJUDKAN
MASYARAKAT ADIL DAN MAKMUR
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA

SINERGITAS

PRODUK PRODUK
TATANAN SOSIAL TATANAN SOSIAL
MASYARAKAT BARAT MASYARAKAT TIMUR

1. REPUBLIK 1. KEKELUARGAAN
2. DEMOKRASI 2. RELIGIUSITAS
3. NOMOKRASI 3. KEBERSAMAAN
4. NEGARA KESEJAHTRAAN 4. MUSYAWARAH
5. SISTEM HUKUM MODERN SECTION BREAK 5. KEARIFAN LOKAL

Insert the title of your subtitle Here


MENJADI LANDASAN
A MODERN STATE INDONESIA
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA

INDONESIA AS A MODERN STATE:


1. BUKAN NEGARA SEKULER ;
2. BUKAN NEGARA KETUHNANAN ;
3. TIDAK PERNAH MENINGGALKAN TUNTUNAN MORAL ;
4. NEGARA TIDAK BISA MENG-IMPOSE KEBAIKAN
BERBASIS SUATU AGAMA
DI RUANG PUBLIK, KECUALI ADA KESEPAKATAN
SECTION BREAK
Insert the title of your subtitle Here
PEMBANGUNAN NASIONAL
BERDASARKAN PANCASILA

Tujuan: Membangun Syarat Mutlak Pembangunan Modal Utama


Masyarakat Adil dan Makmur Nasional Pembangunan Nasional Sasaran Pembangunan Nasional
Menurut Pancasila

Memperluas pasar 1. UUD NRI 1. Bidang Mental, Agama,


Unsur-unsur masyarakat adil dalam negeri dengan 2. Bidang Kebudayaan, Penelitian
2. Kepercayaan,
makmur: menaikkan daya beli Pendidikan
Kemampuan, Keuletan
1. Terjaminnya sandang pangan rakyat: Bangsa 3. Bidang Ekonomi Kesejahteraan,
dan papan Kesehatan
3. TNI-POLRI
Tercukupinya bahan 4. Bidang Pertahanan & Keamanan
2. Ada jaminan kesehatan & 4. Perusahaan Nasional 5. Bidang Pengelolaan SDA &
pendidikan tiap warga Negara baku industrI nasional
Perusahaan Daerah Lingkungan Hidup
yang digali dari Bumi
3. Adanya jaminan hari tua setiap 5. Keunggulan SDM, 6. Bidang Hukum & HAM
Republik Indonesia
warga Negara Penguasaan teknologi, 7. Bidang Produksi & Pertanahan
Kekayaan Alam 8. Bidang Distribusi & Perhubungan
4. Jaminan setiap warga Negara
9. Bidang Kemaritiman
dapat mengembangkan
10. Bidang Komunikasi Dan Informasi
kehidupan kerohaniannya
Nilai-Nilai Pancasila dalam Pembangunan Bidang Hukum dan HAM

Sasaran Nilai-Nilai Dalam Pancasila Pembangunan Nasional Sebagai Perwujudan Nilai Nilai Pancasila di Bidang Hukum dan HAM
berpedoman pada:
Landasan Filosofis Berbasis Negara Indonesia didirikan bukan untuk satu golongan Karakter Negara Hukum Pancasila
Nilai Dalam Pancasila tetapi untuk semua yang bertanah air Indonesia. 1.Berkarakter Gotong Royong ;
Penyelenggaraan negara didasarkan pada hikmat 2.Keseimbangan hak negara dengan hak individu ;
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. 3.Berkepastian hukum dan berkeadilan ;
4.Menjunjung tinggi religiusitas ;
5.Memadukan hukum sebagai sarana rekayasa sosial sekaligus merefleksikan nilai-nilai Pancasila
1. Penerimaan secara objektif nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ;
Negara Indonesia didirikan untuk bersungguh sungguh 2. Menguatkan kedudukan Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi dalam tata peraturan perundang-
memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. undangan di Indonesia ;
3. Menjadikan Pancasila sebagai sumber mewujudkan hukum yang berkeadilan substansial ;
4. Menjadikan Pancasila sebagai batu uji tertinggi materi peraturan perundang-undangan di Indonesia ;
5. Melakukan sinkronisasi dan uji ulang setiap produk peraturan perundang-undangan untuk tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila;
6. Indonesia yang masih mengutamakan nilai-nilai nasionalisme (sebagai modal untuk menjaga
kelangsungan negara) pengutamaan hak individu warga negara tidak boleh mengurangi hak negara untuk
melakukan pengawasan dan pengaturan (command and control) atas warganya;
7. Dari perspektif yuridis, penyeimbangan kepentingan individu warga negara dengan negara bisa dibenarkan
dari konsepsi bahwa negara hukum Indonesia dikonsepsikan secara tegas sebagai negara hukum yang
menggabungkan secara integratif, nilai-nilai Pancasila, segi-segi positif rechtstaat yang mengedepankan
kepastian hukum dengan the rule of law yang mengedepankan rasa keadilan;
8. Pengembangan budaya hukum berbasis nilai-nilai Pancasila yang dipedomani semangat gotong-royong
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur ;
9. Dan Seterusnya…

Kembali
1. Disepakati bersama sebagai
Nilai Pancasila sbg
nilai-nilai yg bersifat das-
Weltanschauung
sollen; 2. Meta Yuridis
Landasan Pancasila
Norma Dasar Pancasila sebagai Grundnorm
(Pembukaan (Norma dasar)
UUD)

UUD 1945

5. Perundangan di Bawah UUD 1945 Legally Binding

Undang Undang / Perpu

6.Peraturan Pemerintah

7.Peraturan Presiden

8.Peraturan Daerah Provinsi

9.Peraturan Daerah Kab / Kota


NEGARA HUKUM PANCASILA
MEMBENTUK KONSEP NEGARA HUKUM BARU
BERSUMBER DARI PANCASILA

BUKAN MERUPAKAN
RECHTSTAAT MAUPUNRULE OF LAW
NEGARA HUKUM PANCASILA :
 Dipandu nilai-nilai religiusitas bangsa;
 Mengakui hak-hak individu dengan tetap kedepankan kepentingan
bersama ;
 Melindungi HAM;
 Perjuangkan keadilan Sosial;
 Padukan Hukum Sebagai Sarana Pembangunan yang Cerminkan
Budaya Bangsa
Perubahan Hukum berbasis Pancasila
dilakukan dengan Landasan
HUKUM PROGRESIF
MEMBICARAKAN
HUKUM PROGRESIF
MEMBICARAKAN
PENEGAKAN HUKUM
UNTUK MENDORONG
PERUBAHAN HUKUM

PENDEKATAN
INDUKTIF
Dasar Pemikiran
HUKUM PROGRESIF

Kebenaran
Hukum untuk Hukum selalu Kepastian Hukum Undang-undang
Kebaikan dalam Proses tidak identik tidak identik
Kehidupan Menjadi dengan Finalitas Kebenaran
Substansial
LANGKAH TERPADU DALAM
PEMBANGUNAN HUKUM
BERBASIS PANCASILA

HAL TERPENTING:
OBJEKTIVIKASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI MODAL UNTUK;

MENYEIMBANGKAN PENDIDIKAN-PENINGKATAN PENGEMBANGAN STUDI RELASI TUMBUH & PENEGAKAN HUKUM YANG
KEPENTINGAN HAM- KUALITAS SDM ANTAR AGAMA KEMBANGKAN BERKEADILAN
KEAMANAN NEGARA EKONOMI YANG
PARTISIPATIF DAN
BERKEADILAN
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA
KEDEPUTIAN BIDANG PENGKAJIAN DAN MATERI

TERIMAKASIH
SALAM PANCASILA

Anda mungkin juga menyukai