1
Pasal 13 Undang-Undang No 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam rangka menjamin terwujudnya profesionalisme bagi institusi
Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta mengikuti dinamika dan
perkembangan hukum yang hidup di masyarakat (living law), diperlukan
adanya suatu pendekatan dalam pelaksanaan penanganan tindak pidana
yang dilaksanakan tidak melanggar hukum dan bersifat kontraproduktif
dengan penegakan hukum itu sendiri. Salah satu bentuknya adalah
penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif
yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula,
keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban, dimana pelaku
tindak pidana tersebut tidak lagi berorientasi pada pembalasan/retributif
dengan tujuan kepastian hukum, akan tetapi merupakan suatu
kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus
dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penyelidikan dan/atau
penyidikan berdasarkan keadilan dan kemanfaatan. Konsep keadilan
restoratif itu sendiri digunakan sebagai payung untuk mendeskripsikan
variasi program yang dapat melihat tindak pidana dan merespon dengan
perspektif restoratif (Zehr, 1990). Wujud implementasinya dapat dilihat
dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia Pasal 18 ayat (1) dimana dalam pelaksanaan tugas
anggota Polri dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri dengan
mempertimbangkan manfaat dan resiko untuk kepentingan umum. Hal
tersebut juga selaras dengan Program Presiden Republik Indonesia
melalui Agenda pembangunan nasional dalam RPJMN 2020-2024 yang
tertuang dalam Perpres No.18 Tahun 2020 RPJMN 2020-2024 RKP 2020
(PKR) dimana:
- Penegakkan hukum nasional sebagai perbaikan sistem hukum pidana
dan perdata.
- Penerapan keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Kemudian Kapolri merespon agenda pembangunan nasional tersebut
dengan mengeluarkan Program Kapolri yang dituangkan dalam Uji
Kelayakan dan Kepatutan Calon Kapolri di Hadapan Komisi III DPR RI
Tahun 2021 yaitu2 :
- Program Prioritas Kapolri Giat 12 yaitu Penerapan Restoratif Justice
Sebagai Bentuk Penyelesaian Perkara Untuk Menciptakan Penegakan
Hukum yang Berkeadilan.
- Rencana Aksi “Polri Mengedepankan Hukum Progresif dalam
Menyelesaikan Perkara Melalui Restoratif Justice yang Tidak Hanya
Melihat Aspek Hukum, Namun Juga Pada Kemanfaatan dan Keadilan”.
5
Eva Achjani Zulfa. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung : Lubuk Agung. 2011. Hal 74
bersifat umum. Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang
Penyidikan Tindak Pidana dimaknai sebagai sebuah standar atau
pedoman bagi Penyelidik dan/atau penyidik dalam melaksanakan
serangkaian kegiatan penegakan hukum. Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia ini bersifat normatif dalam mengakomodir hal-
hal yang bersifat keadilan restoratif sesuai aturan yang ditetapkan.
Buku
Makalah/Jurnal
Peraturan Perundang-undangan
KEADILAN RESTORATIF
MENUJU PENUNTUTAN YANG BERKEADILAN DAN
BERKEMANFAATAN
1
Jianhong Liu, PhD, The Roots Of Restorative Justice: Universal Process Or From
The west To The East?. Acta Criminologiae Et Medicinae Legalis Japonica 81:2
(2015).
2
Ibid
-6-
3
Hariman Satria. Restorative Justice: Paradigma Baru Peradilan Pidana. Jurnal
Media hukum Vol.25 No.1/Juni 2018.
4
Eva Achjani Zulfa, Restorative Justice in Indonesia: Traditional Value. Indonesia
Law Review No.1 Volume 2, May-August 2011.
-7-
5
Op.Cit, Jianhong.
-8-
BURHANUDDIN
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Selamat pagi dan Salam sejahtera untuk kita semua
Om swasti astu, Namo budaya, Salam kebajikan
Para Nara Sumber, seluruh undangan, segenap panitia dan peserta Webinar Nasional
yang berbahagia Puji dan Syukur ke Hadirat Allah Subhanahu wa ta’ala/ Tuhan Yang Maha
Esa atas rahmat-Nya sehingga kita dapat mengikuti kegiatan ini tanpa satu halangan apapun.
Dalam suasana pandemi Covid-19 yang mengharuskan kita mematuhi protokol kesehatan, mari
kita sama-sama berdoa agar pandemi ini segera berlalu sehingga kita dapat menikmati kembali
tatanan kehidupan normal seperti sedia kala. Apresiasi yang tinggi Saya sampaikan kepada
segenap panitia, sebagai respons terhadap pandemi, kegiatan ini dilaksanakan secara Webinar
sehingga meskipun sempat mengalami penundaan dan di tengah suasana pandemi akan tetapi
tetap bersemangat dalam melaksanakan aktivitas akademik berupa Webinar Nasional dengan
tema “Penegakan Hukum Menuju Peradilan Humanis dalam Perspektif Pidana.” Untuk itu
selaku pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia, saya menyampaikan terima kasih dan
apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pihak penyelenggara dari Program Doktor
Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang, yang telah bekerja keras dalam
menyelenggarakan kegiatan ini.
1
Pada kesempatan yang berbahagia ini ijinkan saya menyampaikan makalah yang
berjudul PEMBARUAN SISTEM PEMIDANAAN DALAM PRAKTIK PERADILAN
MODERN: Pendekatan Heuristika Hukum. Semoga kontribusi kecil saya ini dapat
bermanfaat untuk kita semua, khususnya bagi kolega sesama aparat penegak hukum,
praktisi, akademisi, dan segenap masyarakat di seluruh Indonesia.
A. PENDAHULUAN
Secara normatif, Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi. Dua fungsi yang
paling terkait dengan upaya mengurangi disparitas adalah fungsi peradilan dan fungsi
mengatur. Fungsi peradilan terutama berkaitan dengan fungsi Mahkamah Agung dalam
membina kesatuan dan konsistensi dalam penerapan hukum. Kemudian, fungsi mengatur
berkaitan dengan pengaturan lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan dan untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang
diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan.
Perma No.1 Tahun 2020 Perma Nomor 1 Tahun 2020 merupakan wujud dari
pelaksanaan fungsi Mahkamah Agung tersebut. Perma ini berupaya menjembatani
dikotomi pedoman pemidanaan dengan kemandirian Hakim melalui harmonisasi rentang
pemidanaan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 dengan upaya mewujudkan keadilan dan
kemanfaatan melalui penetapan suatu pedoman bagi para Hakim. Pedoman pemidanaan
memberi rujukan bagi Hakim untuk menilai fakta dan mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan, termasuk alur berpikir dalam penentuan fakta-fakta yang menentukan
sebelum menentukan berat ringannya pidana. Namun, harus dipahami bahwa Perma ini
tidak mengekang kemandirian Hakim, karena pada hakekatnya berisi checking-points
(control puten) dan ukuran pemidanaan sebagai guidance atau petunjuk bagi Hakim.
Bagaimanapun Hakim dapat memutus berbeda dari pedoman yang ada jika memang
2
terdapat hal-hal yang dianggap perlu dipertimbangkan lebih jauh dan belum diatur dalam
Perma.
Era Industri 4.0 (empat titik nol) ditandai dengan masifnya pemanfaatan teknologi
informasi untuk mendukung segi-segi kehidupan bermasyarakat. Kebutuhan masyarakat
era modern untuk mendapatkan informasi secara cepat dan akurat dijawab dengan
teknologi informasi yang memungkinkan kita, kapanpun dan dimanapun, dapat mengakses
informasi. Lembaga peradilan sangat perlu mengimplementasikan teknologi informasi
sebagai bagian dari perwujudan peradilan modern.
B. HEURISTIKA HUKUM
Teori Heuristika Hukum
Teori heuristika hukum yang akan saya kemukakan adalah sebagai upaya untuk
mencari solusi terhadap permasalahan-permasalahan hukum seperti ini. Pandangan
awal saya adalah Pengadilan seharusnya memutus dengan memperhatikan keadilan dan
kemanfaatan yang didasari pertimbangan yang lengkap dan konsisten. Karena, pada
akhirnya, proses peradilan harus memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi
masyarakat.
Definisi Heuristika
Heuristika berasal dari kata heuriskein (Yunani), dalam Bahasa Latin
heuristicus, yang berarti “to find out” atau “discover”, yaitu menemukan sesuatu1 .
Heuristika adalah serving to find out or discover atau berupaya menemukan (sesuatu
pengetahuan baru)2. Dalam pengertian lain, heuristika adalah “the branch of logic
1
Marc h. J. Romanyc & Francis Jeffry Pelletie, “What is A Heuristic?”, Comput Intell. Vol. I. 1985, hlm. 47.
2
C. Engel and G. Gigerenzer, “Law and Heuristics: An Interdisciplinary Venture”, dalam Heuristics and The
Law, Gerd Gigerenzer & Christoph Engel (Eds), Cambridge: The MIT Press, 2006, hlm. 2.
3
which treats of the art of discovery or invention” (cabang dari logika yang membahas
tentang seni menemukan suatu pengetahuan baru)3 .
Secara terminologis, definisi heuristika beragam. Ini dikarenakan heuristika
banyak dipakai dalam cabang-cabang pengetahuan berbeda, seperti komputasi,
psikologi, ilmu sosial, dan lainnya. Polya, matematikawan Stanford, mendefinisikan
heuristika sebagai “analytical thinking for problems that cannot be solved by the
calculus or probability theory—for instance, how to find a mathematical proof” (cara
berpikir analitik terhadap permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan metode
kalkulus atau teori probabilitas)4 .
Dalam Psikologi Gestalt, heuristika digambarkan sebagai perilaku yang
eksploratif, seperti dalam pencarian informasi dari berbagai sumber yang
memungkinkan. Dalam konteks ini, Herbert Simon dan Allen Newell memahami
heuristika sebagai pendekatan yang berupaya menemukan solusi atas suatu
permasalahan dalam ruang yang lebih luas5 . Artinya, heuristika tidak membatasi pada
pilihan-pilihan yang ditetapkan secara teoretis, namun juga menjajagi pilihan-pilihan
lain di luar itu yang bahkan mungkin belum terpikirkan sebelumnya. Senada dengan
itu, Steve Dale dalam penelitiannya menyimpulkan heuristika sebagai pendekatan
dalam penyelesaian masalah yang didasarkan pada pengalaman seseorang.
Dalam heuristika, pengalaman-pengalaman menjadi bahan utama dalam
menganalisis permasalahan dan menemukan solusi yang paling tepat. Heuristika
menyediakan strategi dalam menganalisis tanda-tanda yang ada dan/atau alternatif yang
memungkinkan dalam pengambilan keputusan.6 Heuristika menawarkan cara berpikir
yang lebih praktis, efektif, dan menyeluruh dalam memahami suatu permasalahan. Dari
proses itu, diharapkan dapat dicapai suatu resolusi yang diharapkan lebih efektif.
Namun demikian, penerapan heuristika harus lebih hati-hati, karena proses mental
(mental shortcut) yang hanya menekankan satu atau beberapa aspek saja dari suatu
permasalahan dapat memunculkan bias. Penekanan heuristika pada intuisi ini yang
harus disikapi secara bijak agar tidak memunculkan kesimpulan yang bias7.
3
Marc h. J. Romanyc & Francis Jeffry Pelletie, Op.Cit., hlm. 48.
4
C. Engel and G. Gigerenzer, Loc.Cit.
5
Ibid.
6
Steve Dale, “Heuristics and Biases – The Science Of Decision Making”, Business Information Review · June
2015, hlm. 1. (tersedia di laman: https://www.researchgate.net/ publication/281232107, diakses 25 Januari
2021).
7
Lihat Ibid.
4
Untuk mengatasi kemungkinan bias dalam kesimpulan dalam pengambilan
keputusan, maka heuristika harus diimplementasikan secara proporsional. Karena itu,
penerapan model heuristika dalam analisis dan penyelesaian suatu permasalahan harus
mampu mengidentifikasi fakta-fakta yang penting dan menentukan, sudut pandang
yang tepat, serta cakupan permasalahan yang signifikan8. Karena itu, dalam heuristika,
perlu disadari bahwa mempercepat proses pengambilan keputusan harus dilakukan
secara hati-hati.
Pengalaman-pengalaman masa lalu tetap perlu diperhatikan namun tidak dapat
selalu dijadikan sandaran dalam pengambilan keputusan saat ini karena situasinya
mungkin sangat jauh berbeda. heuristika tetap harus disandingkan dengan berbagai
aspek dan sudut pandang dalam memahami suatu permasalahan dan menemukan
solusinya secara cepat, tepat, dan efektif9. Heuristika: di ilmu hukum & ilmu sosial
Studi dalam ilmu-ilmu sosial telah banyak menerapkan model berpikir heuristik.
Bahkan, dalam matematika dan studi-studi tentang komputasi, heuristika banyak
digunakan dalam memecahkan permasalahan yang tidak dapat diselesaikan dengan
model logis-matematis dan/atau teori probabilitas yang umum dijadikan rujukan.
Studi mengenai hukum selama ini menunjukkan sulitnya menemukan solusi terbaik
bagi suatu permasalahan hukum. Permasalahan hukum sangat kompleks, informasi
yang tersedia tidak lengkap dan cenderung kontradiktif, terlalu banyak pihak yang
terlibat dengan misi yang berbeda, serta ketidakpastian yang mengitari permasalahan
hukum. Pemecahan yang diajukan cenderung intuitif atau didasarkan pada kebiasaan,
bukan pada kesesuaiannya dengan karakteristik permasalahan hukum yang ada.10 Studi
heuristika berupaya menjelaskan proses yang mendasari intuisi dan kebiasaan.
Heuristika ini seringkali bersifat tidak disadari namun studi yang sistematis
terhadapnya dapat membantu meningkatkan kemampuan dalam pengambilan
keputusan. Heuristika menekankan pendekatan rasional terhadap pengalaman dan
lingkungan yang terkait dalam pemecahan masalah. Di sinilah heuristika membantu
kita dalam memahami permasalahan dan mengambil keputusan di tengah situasi yang
penuh ketidakpastian.11
8
Marc H. J. Romanycia & Francis Jeffry Pelletier, Op.Cit., hlm. 57.
9
Steve Dale, Op.cit., hlm. 11
10
Gerd Gigerenzer, “Heuristcis”, dalam Heuristics and The Law, Gerd Gigerenzer & Christoph Engel (Eds),
Cambridge: The MIT Press, 2006, hlm. 17.
11
Ibid.
5
Model berpikir heuristika mengedepankan kreativitas dan keberanian menjajagi
berbagai kemungkinan dalam memecahkan suatu permasalahan. Wieacker memandang
heuristika sebagai kebalikan dari logika yang sifatnya kaku.12 Heuristika menggunakan
pendekatan analitik dalam menemukan solusi atas suatu permasalahan. Dalam
heuristika, informasi yang dapat diakses dihubungkan dengan simpulan terhadap
permasalahan yang dihadapi sebelumnya. Artinya heuristika menarasikan pengalaman
masa lalu dengan mengadaptasikan kondisi saat ini untuk kemudian menentukan solusi
apa yang dapat diambil. Heuristika membuka kemungkinan adanya solusi di luar
kebiasaan yang ada selama ini. Terkadang, solusi di luar kebiasaan tersebut lebih
optimal dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Kelebihan heuristika dalam
hal ini adalah prosedur pengambilan keputusan dapat lebih sederhana dan singkat
dibandingkan dengan prosedur logika yang cenderung kaku.13 Tversky & Kahneman
menggambarkan heuristika sebagai jalan pintas (short cut) dalam menyelesaikan
masalah.14
Heuristika menyederhanakan strategi dalam memperoleh dan mengolah
informasi sehingga dapat diandalkan dalam setiap pengambilan keputusan, baik yang
sifatnya periodikal maupun insidentil. Heuristika memberi ruang lebih luas dalam
mengembangkan kreativitas penyelesaian masalah. Seringkali, ketika berhadapan
dengan permasalahan hukum, kita sulit menemukan pemecahannya jika hanya
mengandalkan aturan hukum yang ada. Banyak ditemukan fakta bahwa penanganan
suatu perkara tidak bisa mengandalkan hanya pada ketentuan undang-undang semata,
misalnya dalam perkara korupsi yang nilai kerugiannya hampir sama dan memiliki
kemiripan dalam peranan si pelaku, hakim menjatuhkan sanksi pidana yang jauh
berbeda tanpa ada pertimbangan yang cukup sebagai alasan untuk menjatuhkan sanksi
yang lebih berat atau sebaliknya dalam kasus-kasus serupa.
Hakim memiliki kewenangan untuk menjatuhkan pidana dalam rentang
ancaman yang terendah sampai dengan batas ancaman yang tertinggi pada pasal tindak
pidana yang dinyatakan terbukti, namun hakim wajib untuk memberikan alasan dan
pertimbangan kenapa akhirnya menjatuhkan sanksi pidana tersebut. Disinilah fungsi
12
Wieacker dalam Thomas Hoffmann, “Heuristics in Legal Decision-Making”, Acta Baltica Historiae et
Philosophiae Scientiarum Vol. 8, No. 1 (Spring 2020) (tersedia di laman https:// www.ies.ee/bahps/acta-
baltica/abhps-8-1/03_Hoffmann-2020-1-03.pdf, diakses 25 Januari 2021), hlm 63.
13
Thomas Hoffmann, Ibid.
14
Tversky & Kahneman dalam Sudeep Bhatia, “The Power of the Representativeness Heuristic”, Paper on The
2015 Annual Meeting of The Cognitive Science Society (tersedia di laman
https://www.sas.upenn.edu/~bhatiasu/Bhatia%202015%20CogSci%20PP.pdf, diakses 24 Januari 2021).
6
dan peranan pedoman pemidanaan dalam Perma Nomor 1 Tahun 2020, yaitu untuk
memberikan tuntunan kepada para hakim tentang hal-hal yang harus dipertimbangkan
sebelum menentukan ukuran pidana.
Hukum itu bukan sekadar hitam dan putih, bukan pula sekadar menerapkan
aturan ke dalam perkara in konkreto. Lebih dari itu, hukum adalah sintesis terhadap
berbagai fakta hukum yang ada dalam suatu perkara (permasalahan) yang dihubungkan
dengan asas dan peraturan hukum yang ada, pengalaman-pengalaman yuris, dan tujuan
penegakan hukum. Bagi para yuris, menganalisis dan memahami keadaan dan
permasalahan hukum bukan pekerjaan mudah. Diperlukan berbagai pendekatan
(perspektif) dan ketajaman intuisi yang didasarkan pada pengalaman yang diperoleh
selama ini. Pengalaman-pengalaman tersebut pada hakekatnya sebagai “nutrisi” yang
memadai dalam menganalisis dan merumuskan pemecahan masalah di bidang hukum.
Pemahaman terhadap heuristika dapat disederhanakan sebagai berikut. Ketika
menghadapi suatu permasalahan, kita biasanya melihat aturan atau formula yang ada
untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam banyak kejadian, aturan atau formula
tersebut tidak dapat diterapkan untuk menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Dalam hal ini, diperlukan proses kreatif untuk menjajagi kemungkinkan lain di luar dari
aturan atau formula tersebut.
Di sini, seni berpikir dan menganalisis suatu permasalahan dikedepankan
dengan mencoba keluar dari pakem yang ada. Inilah yang disebut heuristika karena
berupaya menemukan solusi (breakthrough) yang secara aturan atau formula yang ada
tidak memungkinkan. Heuristika dapat diimplementasikan dalam hukum. Hukum
adalah sistem yang dinamis dan bersegi banyak. Dinamis dalam arti bahwa hukum
senantiasa berubah dan bergerak mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan
berhukum di masyarakat. Bersegi banyak berarti hukum bukanlah sesuatu yang sifatnya
tunggal, sebaliknya hukum terbentuk dan berdinamika sedemikian rupa karena
dipengaruhi oleh faktor-faktor di luarnya, seperti faktor politik, ekonomi, sosial,
budaya, psikologi, dan agama. Karena secara organik, hukum bersifat dinamis dan
bersegi banyak, maka memahami hukum tidak dapat mengandalkan logika tunggal an
sich.
Hukum tidak dapat dipahami hanya dari prinsip dan dogma hukum itu saja.
Lebih dari itu, memahami hukum harus memperhatikan aspek-aspek yang terkait.
Misalnya, dalam pemberantasan korupsi tidak dapat dipahami dan diatasi hanya dengan
mengandalkan peraturan dan penegakannya oleh aparat. Pemberantasan korupsi
7
membutuhkan upaya kolektif, mulai dari legislasi yang pro pemberantasan korupsi,
penciptaan budaya kerja yang nirkorupsi, pemahaman masyarakat untuk turut
mengawasi perilaku dan kinerja aparatur negara, serta sinergi antar penegak hukum.
Model Heuristis dalam memahami hukum Terobosan-terobosan dalam pemidanaan
diperlukan sebagai bagian dari pembaruan sekaligus menunjukkan karakter visioner
dari hukum. Hukum tidak boleh hanya fokus pada kebutuhan saat ini melainkan juga
bagaimana hukum harus mampu menjawab tantangan ke depan dalam upaya
mewujudkan ius constituendum (hukum yang dicitakan). Saya menyebutnya sebagai
Model Heuristis dalam memahami hukum. Hadirnya kedua Perma tersebut menegaskan
lompatan berpikir dalam upaya mengatasi kendala-kendala dalam penanganan perkara
pidana.
Tujuan akhir yang ingin dicapai adalah terwujudnya keadilan prosedural dan
keadilan substantif. Sebab, untuk mewujudkan keadilan substantif, keadilan prosedural
tidak boleh diabaikan. Lompatan berpikir ini tidak terjadi secara serta merta, melainkan
melalui proses dialektika yang cukup panjang dan telaah terhadap pelbagai norma dan
doktrin hukum yang berkembang. Dialektika yang terjadi tersebut diibaratkan sebagai
proses heuristik yang memadupadankan berbagai aspek hukum dan non hukum dalam
penormaan hukum sehingga dapat dihasilkan produk legislasi yang dapat menjawab
kebutuhan berhukum saat ini. Inilah yang saya sebut sebagai heuristika hukum, yaitu
cara pandang terhadap hukum yang mengedepankan kreatifitas dan seni. Karena,
hukum adalah seni pemecahan masalah (law is an art of legal problem solving).
Perma No.1 Tahun 2020: Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Salah satu upaya untuk memperkecil tingkat disparitas pemidanaan dalam
tindak pidana korupsi, khususnya penerapan Pasal 2 dan 3 adalah dengan
diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang–Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (Perma Tipikor). Sebelum Perma Tipikor disahkan, Mahkamah Agung melihat
pentingnya memperbarui model pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi (tipikor)
untuk setidaknya memberi pedoman umum dan/atau standar bagi Hakim dalam
menjatuhkan pidana.
Sistem pemidanaan terhadap tipikor diharapkan dapat memberi kepastian dalam
penerapan hukum yang pada akhirnya juga dapat mendorong terwujudnya kepastian
hukum, keadilan dan kemanfaatan bagi negara dan masyarakat. Sejak disahkannya UU
8
Tipikor hingga sebelum terbitnya Perma Tipikor muncul persoalan terkait dengan
disparitas pemidanaan meskipun hanya sebagian kecil yang tidak sejalan idealitas
hukum. Saat hampir bersamaan, publik menghendaki sistem peradilan pidana mampu
menciptakan pemidanaan yang ajeg terhadap para pelaku tipikor. Selain dimaksudkan
untuk mewujudkan kepastian dalam penegakan hukum, publik juga menghendaki ada
efek jera dari penerapan pemidanaan tersebut. Inilah yang sering kita istilahkan sebagai
gap antara das sollen dan das sein.
Paparan tersebut menggambarkan bahwa apa yang kita pahami sebagai hukum
sesungguhnya bukanlah wujud tunggal, melainkan bersegi banyak. Karena itu, tidak
tepat jika kita berbicara mengenai pembaruan sistem pemidanaan tipikor namun hanya
berkutat pada aspek-aspek intern hukum. Justeru aspek ekstern hukum banyak
memengaruhi sekaligus memberi bahan yang sangat lengkap dalam perumusan ulang
dan/atau pembaruan kerangka konsep dan kerangka kerja hukum.
Teori Sistem Hukum Lawrence M. Friedman
Lawrence M. Friedman mengemukakan bahwa hukum sebagai sebuah sistem
mencakup tiga subsistem, yaitu substansi hukum (legal substance), struktur hukum
(legal structure), dan budaya hukum (legal culture).15 Pandangan Friedman ini
mewarnai pelbagai pemikiran hukum yang berkembang di era postmodernisme dengan
karakter pemikiran yang kritis dan revolusioner dalam memahami hukum. Friedman
sendiri sebenarnya membedakan hukum (law) dan sistem hukum (legal system).
Hukum bagi Friedman adalah seperangkat aturan hukum yang dilaksanakan atau
diwujudkan penegakannya oleh aparatur negara yang berwenang untuk itu. Sementara
itu, sistem hukum berkaitan dengan penegakan hukum yang melibatkan tiga subsistem
tersebut di atas. Jika ditelaah, pandangan tersebut merupakan upaya untuk mendobrak
tradisi positivisme yang mempersempit pemahaman tentang hukum hanya kepada
norma yang diformalkan. Teori ini ingin menggugat bahwa berbicara hukum
seharusnya menjangkau sekaligus, isi hukum (perundang-undangan), struktur
penegakan hukum dan budaya hukum yang mengitarinya. Saya berpendapat, ini adalah
suatu lompatan pemikiran yang mengangkat tingkat pemahaman terhadap hukum pada
15
Lawrence M. Friedmann, The Legal System, New York: Russel Sage Foundation, 1975, hlm. 11-16.
Lawrence M. Friedmann, American Law, New York: W. W. Norton and Company, 1984, hlm. 5.
9
sebatas aturan formal an sich16 ke pemahaman yang lebih sistemik (mencakup
penegakan hukumnya juga).
Namun demikian, dalam tataran yang lebih makro, seperti pembentukan hukum
melalui program legislasi dan/atau pembaruan hukum yang sifatnya multifaset, saya
menawarkan gagasan baru yang saya sebut dengan teori heuristika hukum. Heuristika
hukum menjangkau aspek legislasi dan pembaruan. Legislasi berbicara tentang
kekuasaan politik dalam pembentukan perundang-undangan. Ini berarti bahwa legislasi
menempatkan hukum dan politik sebagai entitas yang saling bertautan dimana di
dalamnya juga tercakup aspek sosial, budaya, dan ekonomi. Sementara itu, pembaruan
hukum berbicara dalam cakupan yang lebih luas yaitu hukum yang akan datang
(iusconstituendum).
Sejak 20 tahun lalu, gagasan pembaruan hukum pidana materil dan formil telah
digagas. Keberadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan produk yang beberapa
bagaian di dalamnya sudah tidak sesuai lagi dengan dinamika saat ini, apalagi jika
melihat kebutuhan berhukum yang berkembang. Rancangan KUHP telah beberapa kali
disempurnakan, termasuk simposium yang sedemikian sering. Saat diajukan ke DPR,
rancangan tersebut belum disahkan. Harapan terbentuknya KUHP Nasional dan
pembaharuan KUHAP yang benar-benar mencerminkan citarasa hukum nasional
belum dapat terwujud.
Mandegnya pembahasan Rancangan KUHP dan KUHAP tersebut adalah
contoh nyata bahwa pembaruan hukum merupakan persoalan maha berat dalam hukum,
persoalan yang tidak dapat dilihat hanya dari sudut pandang dogmatika hukum. Kita
boleh berkutat dalam perdebatan mengenai prinsip-prinsip hukum yang ada, termasuk
bagaimana seharusnya merumuskan norma yang paling mewakili kehendak umum.
Namun, kita tidak boleh melupakan bahwa politik hukum dan pelibatan publik
(partisipasi publik) dalam pembaruan hukum juga sangat menentukan keberhasilan
pembaruan hukum itu sendiri. Artinya pula bahwa hukum itu sistem yang tidak
sederhana, tidak hanya berbicara penegakannya semata. Hukum, sebaliknya adalah
16
Pemikiran formalistik berakar dari paradigma positivisme hukum yang menekankan hukum adalah norma-
norma yang diformalkan. Di luar itu bukanlah hukum sehingga tidak memiliki daya mengikat yuridis. Paradigma
ini menempatkan hukum sebagai entitas logis-formal yang kaku sehingga tidak terbuka ruang tafsir lebih jauh
terhadapnya.
10
entitas yang sangat kompleks dan melibatkan sangat banyak anasir nonhukum yang
harus diselaraskan satu sama lain.
Dari paparan tersebut, saya mengajukan suatu gagasan pembaruan sistem
pemidanaan (yang juga nantinya mencakup aspek penormaan dan penegakan hukum)
harus memerhatikan lima variabel, yaitu: 1) filsafat hukum; 2) substansi hukum; 3)
struktur hukum; 4) kultur hukum; dan 5) politik hukum. Dari kelima varibel tersebut,
tiga di antaranya merupakan konsep Friedman (substansi, struktur, dan kultur hukum).
Lima variabel tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Kegagalan dalam harmonisasi
kelimanya berakibat pada kesulitan dalam mewujudkan pembaruan hukum yang
diharapkan. Jikapun terwujud, sifatnya partikular, tidak inklusif. Resume Heuristika
Hukum Variabel filsafat hukum menyangkut ide-ide dasar yang menjiwai pembentukan
asas, norma, dan peraturan hukum. Substansi hukum mencakup materi-materi dari
hukum, khususnya peraturanperaturan hukum yang ada sebagai landasan dalam
perwujudan tri gatra nilai hukum, yaitu kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam
pencapaian Tri Gatra nilai hukum tersebut, dalam hukum pidana melibatkan hukum
pidana materiil, hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana.
Struktur hukum adalah variabel yang berkaitan dengan institusi hukum beserta
aparatur yang ada di dalamnya. Struktur hukum memegang peranan penting dalam
memberi ruh terhadap peraturan-peraturan hukum agar implementasinya selaras
dengan ratio legis pembentukannya. Kultur hukum adalah ide-ide, tata nilai, sikap, dan
pandangan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum. Kultur hukum dapat
merupakan sumber hukum dimana nilai-nilai kultural yang ada dapat membentuk
norma hukum. Adapun politik hukum merupakan acuan kebijakan tentang hukum yang
akan diberlakukan guna mencapai tujuan negara. Politik hukum memiliki proyeksi ke
depan dan pada hakikatnya mencerminkan hukum yang dicitakan masyarakat. Gagasan
heuristika hukum saya ajukan sebagai sebuah pendekatan baru dalam memahami
hukum, baik pada tataran formulasi (penormaan), penegakan, maupun pembaruan
hukum. Gagasan ini terinspirasi dari konsepsi heuristika yang digunakan dalam studi-
studi ilmu sosial.
11
Clark Moustakas, Psikolog Humanis Amerika, memperkenalkan model berpikir
heuristik dalam penelitian eksploratif.17 Heuristika termasuk dalam studi yang bersifat
eksploratif terhadap satu permasalahan. Studi demikian jamak dalam riset-riset bidang
sosial. Pada 1985, Moustakas bersama Bruce Douglas mengembangkan model proses
studi heuristik yang mencakup tiga tahapan. Pertama, tahap immersion yang merupakan
tahap mengajukan pertanyaan, masalah, atau tema yang akan dibahas. Kedua, tahap
acquisition yang merupakan tahapan pengumpulan data hal pokok yang akan diteliti.
Ketiga, tahap realization yang merupakan sintesis pelbagai premis untuk mencapai
kesimpulan tertentu.
Pada tahun 1990, Moustakas mengembangkan model tersebut secara lebih
elaboratif hingga menjadi tujuh tahapan dalam penelitian dengan pendekatan
heuristik.18 Moustakas semula menggunakan kata heuristik untuk menjelaskan proses
pencarian pengetahuan secara mendalam untuk menemukan hakikat dan makna suatu
pengalaman. Heuristik selanjutnya berkembang menjadi metode reflektif-eksploratif.19
Inilah mengapa dalam heuristik, pengalaman pribadi bersanding dengan pengalaman
eksternal. Keduanya mengalami proses dialektika yang intensif sehingga memunculkan
suatu makna baru yang lebih lengkap. Hukum dalam arti perundang-undangan bersifat
statis sementara hukum sebagai entitas sosial bersifat dinamis. Dua keadaan ini tampak
kontradiktif, namun sesungguhnya dapat dipadupadankan dengan menyeleksi sisi-sisi
yang masih relevan sekaligus mengembangkan pemahaman baru yang dapat
mendekatkan apa yang kita sebut sebagai das sollen dan das sein. Di sini, ditekankan
rasionalisasi dari keadaan-keadaan yang ada (circumstances) sehingga tergambar
keselarasan dalam setiap penormaannya. Ini sejalan dengan konsepsi justice as fairness
Prof. yang dipaparkan John Rawls yang penekanannya pada prinsip rasionalitas,
kebebasan, dan kesamaan.20
Dasar pemikiran ini yang mendorong saya untuk menelaah secara sistematis
bagaimana proses penormaan yang menghasilkan Perma pemidanaan terwujud. Secara
makro, proses legislasi juga demikian. Namun untuk konteks Perma, cakupannya lebih
spesifik kepada upaya mengisi kekosongan norma hukum yang bersifat praktis dan
17
Mudjia Rahardjo, Studi Heuristik dalam Penelitian Kualitatif, Makalah, 2018, hlm. 1, (http://repository.uin-
malang.ac.id/2438/1/2438.pdf)
18
Ibid.
19
Lihat Ibid.
20
Raymond Wacks, Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal Theory, Third Edition, Oxford:
Oxford University Press, hlm. 223.
12
mendesak untuk segera diimplementasikan. Dari pemaparan tersebut, saya
menyimpulkan heuristika hukum sebagai paradigma terhadap hukum yang melihat
hukum sebagai entitas bersegi banyak, mencakup aspek hukum dan non hukum yang
memengaruhi proses penormaan, penegakan, dan pembaruan hukum guna mewujudkan
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi seluruh lapisan
masyarakat. Cakupan Heuristika Hukum
Cakupan heuristika hukum sebagaimana definisi tersebut di atas mencakup hal-
hal sebagai berikut: a) Hukum adalah entitas bersegi banyak, dimana sebagai bagian
dari sistem sosial, hukum bertautan dengan subsistem lain. Hukum mengampu peran
dalam mengintegrasikan pelbagai kepentingan dari subsistem sosial lainnya. b) Tiga
siklus hukum, mencakup tiga tahapan, yaitu penormaan, penegakan, dan pembaruan.
Tiga tahapan ini saling berkaitan satu sama lain dengan pembaruan sebagai tahapan
yang dapat mengubah bentuk dan isi hukum sesuai dengan kebutuhan yang ada pada
saat itu. c) Tujuan hukum, yaitu untuk mewujudkan keadilan dan kemanfaatan sebesar-
besar bagi seluruh lapisan masyarakat. Hukum tidak boleh hanya berkutat pada kekauan
penerapan norma namun harus lebih mengedepankan upaya mewujudkan keadilan dan
kemanfaatan sebagai idealitas hukum. Sebagai sebuah paradigma terhadap hukum,
heuristika hukum membagi pendekatan terhadap hukum pada dua aras utama, yaitu
pendekatan makro dan pendekatan mikro. Pendekatan makro hukum menekankan
telaah terhadap satu atau beberapa bidang hukum terkait secara umum. Arahnya adalah
lahirnya suatu sistem atau tatanan umum yang menjadi panduan dalam penerapan
hukum. sementara pendekatan mikro hukum menekankan telaah terhadap satu aspek
dalam bidang hukum tertentu yang bersifat praktis-operasional.
Terhadap kedua pendekatan tersebut, maka kerangka kerja dalam heuristika
hukum dibagi menjadi tiga kerangka kerja. Pertama, kerangka kerja filosofis, yaitu
adalah kerangka kerja yang fokus pada ide-ide dasar dalam hukum. Kerangka kerja ini
berada pada tataran sistem atau tatanan hukum. Kerangka kerja filosofis ini diterapkan
dalam pembaruan tatanan hukum. Kedua, kerangka kerja kompromistis, yaitu kerangka
kerja yang berupaya mengompromikan beberapa aspek dalam bidang hukum tertentu.
Kerangka kerja ini lebih menekankan upaya mendekatkan perbedaan-perbedaan yang
muncul atau setidak-tidaknya memberi prioritas terhadap satu aspek yang diharapkan
dapat memengaruhi aspek lainnya. Ketiga, kerangka kerja praktikal, yaitu berkutat pada
upaya merumuskan norma-norma baru yang bersifat praktis dan mendesak
penerapannya.
13
Heuristika Hukum Dalam Perma Nomor 1 Tahun 2020
Perma sebagai proses pemanfaatan teori Heuristika Hukum Perma Nomor 1
Tahun 2020 adalah representasi dari proses heuristik. Perma Nomor 1 Tahun 2020
adalah wujud dari seni menyelesaikan permasalahan disparitas putusan yang sekian
lama belum teratasi. Mengapa kemudian dengan Perma? Karena proses legislasi di
dewan memerlukan waktu lama sementara dalam praktik dibutuhkan kerangka
normatif yang cepat dan operasional.
Berikut beberapa gambaran mengapa Perma Nomor 1 Tahun 2020 merupakan
implementasi dari pendekatan heuristika hukum. Pertama, sebagian kecil putusan yang
ada menunjukkan adanya disparitas dalam pemidanaan tipikor. Terbitnya Perma
Nomor 1 Tahun 2020 merupakan penormaan dari pandangan agar setiap penjatuhan
pidana dilakukan dengan memperhatikan kepastian dan proporsionalitas pemidanaan.
Penormaan inilah yang dimaksud dalam heuristika hukum. Kedua, Perma Nomor 1
Tahun 2020 memberi kerangka kerja yang memudahkan bagi para Hakim dalam
mengadili perkara tipikor sehingga dapat menetapkan berat ringannya pemidanaan
(paling berat, berat, sedang, ringan) berdasar pertimbangan-pertimbangan yang lengkap
(terbukti tidaknya unsur pidana; kerugian keuangan negara; tingkat kesalahan, dampak,
dan keuntungan; rentang pemidanaan, serta hal-hal yang memberatkan dan
meringankan). Kerangka kerja ini yang dimaksud sebagai penegakan dalam perspektif
heuristika hukum. Ketiga, Perma Nomor 1 Tahun 2020 menentukan standardisasi
pemidanaan (paling berat, berat, sedang, ringan, dan paling ringan) dan ini dapat
menjadi pedoman bagi Hakim dalam memutus perkara.
Meskipun demikian, Hakim tetap memiliki kewenangan dan kemandirian untuk
dapat menentukan berat ringannya pidana menurut hati nuraninya jika apa yang termuat
dalam pedoman tersebut belum mengakomodir fakta penting lain yang terungkap di
persidangan. Ini merupakan pembaruan dalam perspektif heuristika hukum.
C. PENUTUP
Bapak Ibu Peserta Webinar nasional yang berbahagia,
Berdasar hal-hal yang telah dipaparkan tersebut di atas, Saya menyimpulkan
hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Pembaruan sistem pemidanaan dalam praktik peradilan modern dimaksudkan
untuk meminimalisir disparitas dalam pemidanaan namun tidak mengurangi
kemandirian Hakim. Dalam perspektif heuristika hukum, lahirnya Perma Nomor 1
14
Tahun 2020 telah menyelaraskan pelbagai aspek sistem pemidanaan dalam upaya
mewujudkan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat;
Kedua, Untuk mendukung pembaruan peradilan menuju peradilan modern,
lembaga peradilan harus mengimplementasikan teknologi informasi dalam administrasi
dan persidangan perkara dengan tetap memerhatikan ketentuan yang berlaku dalam
hukum acara.
Ketiga, Teori heuristika hukum dapat dijadikan sebagai pendekatan baru yang
melengkapi teori-teori hukum yang telah ada dalam pengembangan studi dan kebijakan
hukum, tidak hanya dalam bidang hukum pidana, namun juga pada bidang hukum lain;
Keempat, Sistem hukum mencakup banyak pemangku kepentingan (stakeholders).
Karena itu, penormaan, penegakan, dan pembaruan hukum harus melibatkan pemangku
kepentingan tersebut.
Terima kasih atas perhatian Bapak Ibu. Peserta Webinar. Semoga Allah Swt. Senantiasa
merahmati dan mengaruniai kesehatan kepada kita semua, amin ya rabbal alamin.
Billahi taufiq wal hidayah, Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
15
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman Hamidah, Fajar Dian Aryani, & Nayla Majestya, 2019, The Study of
Judges’ Disparity in Corruption Cases in Indonesia, Advances in Social Science, Education
and Humanities Research, Volume 429.
Abraham, Andre. 2018. Implikasi Disparitas Pemidanaan Terhadap Kepastian Hukum
Dalam Putusan Perkara Tindak Pidana Korupsi. Disertasi. Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Andalas Padang.
Akbari, Anugerah Rizki, Adery Ardhan Saputro, & Andreas Nathaniel Marbun. 2017.
Memaknai dan Mengukur Disparitas: Studi Terhadap praktik Pemidanaan Pada Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta: BP FH UI, USAID, MaPPI.
Ardiansyah, Irfan. “Pengaruh Disparitas Pemidanaan Terhadap Penanggulangan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Jurnal Hukum Respublica, Vol. 17 No. 1 Tahun 2017:
76 – 101.
C. Engel and G. Gigerenzer, “Law and Heuristics: An Interdisciplinary Venture”, dalam
Heuristics and The Law, Gerd Gigerenzer & Christoph Engel (Eds), Cambridge: The MIT
Press, 2006.
Friedmann, Lawrence M., The Legal System, New York : Russel Sage Foundation, 1975.
................., American Law, New York : W. W. Norton and Company, 1984.
Gerd Gigerenzer, “Heuristcis”, dalam Heuristics and The Law, Gerd Gigerenzer &
Christoph Engel (Eds), Cambridge: The MIT Press, 2006.
Lalitasari, Ajeng Arindita, Pujiyono, &Purwoto, Disparitas Pidana Putusan Hakim
dalam Kasus Korupsi yang Dilakukan Secara Bersama-Sama di Pengadilan Negeri Tindak
Pidana Korupsi Semarang, Diponegoro Law Journal, Volume 8, Nomor 3, Tahun 2019.
Langkun, Tama S., et.al.. 2014. Studi Atas Disparitas Putusan Pemidanaan Perkara
Tindak Pidana Korupsi, Policy Paper. Jakarta: ICW.
Manan, Bagir. 1999. ‘Reorientasi Politik Hukum Nasional’, Makalah.
Marc h. J. Romanyc & Francis Jeffry Pelletie, “What is A Heuristic?”, Comput Intell.
Vol. I. 1985. Rahardjo, Mudjia. 2018. Studi Heuristik dalam Penelitian Kualitatif, Makalah.
Raymond Wacks. 2008. Understanding Jurisprudence: An Introduction to Legal
Theory. Third Edition. Oxford: Oxford University Press.
Soekanto, Soerjono. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Sudeep Bhatia, “The Power of the Representativeness Heuristic”, Paper on The 2015
Annual Meeting of The Cognitive Science Society (tersedia di laman https://www.sas.upenn.
edu/~bhatiasu/Bhatia%202015%20CogSci%20PP.pdf).
Steve Dale, “Heuristics and Biases – The Science Of Decision Making”, Business
Information Review · June 2015, (tersedia di laman: https://www.researchgate.net/
publication/281232107).
Thomas Hoffmann, “Heuristics in Legal Decision-Making”, Acta Baltica Historiae et
Philosophiae Scientiarum Vol. 8, No. 1 (Spring 2020) (tersedia di laman https://www.ies.ee/
bahps/acta-baltica/abhps-8-1/03_Hoffmann-2020-1-03. pdf).
16
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA
KEDEPUTIAN BIDANG PENGKAJIAN DAN MATERI
INDONESIA
AS A MODERN STATE
SECTION BREAK
Insert the title of your subtitle Here
MENDASARI TATANAN SOSIAL MENDASARI TATANAN SOSIAL
MASYARAKAT BARAT MASYARAKAT TIMUR
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA
INDONESIA
AS A MODERN STATE
UNTUK WUJUDKAN
MASYARAKAT ADIL DAN MAKMUR
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA
SINERGITAS
PRODUK PRODUK
TATANAN SOSIAL TATANAN SOSIAL
MASYARAKAT BARAT MASYARAKAT TIMUR
1. REPUBLIK 1. KEKELUARGAAN
2. DEMOKRASI 2. RELIGIUSITAS
3. NOMOKRASI 3. KEBERSAMAAN
4. NEGARA KESEJAHTRAAN 4. MUSYAWARAH
5. SISTEM HUKUM MODERN SECTION BREAK 5. KEARIFAN LOKAL
Sasaran Nilai-Nilai Dalam Pancasila Pembangunan Nasional Sebagai Perwujudan Nilai Nilai Pancasila di Bidang Hukum dan HAM
berpedoman pada:
Landasan Filosofis Berbasis Negara Indonesia didirikan bukan untuk satu golongan Karakter Negara Hukum Pancasila
Nilai Dalam Pancasila tetapi untuk semua yang bertanah air Indonesia. 1.Berkarakter Gotong Royong ;
Penyelenggaraan negara didasarkan pada hikmat 2.Keseimbangan hak negara dengan hak individu ;
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. 3.Berkepastian hukum dan berkeadilan ;
4.Menjunjung tinggi religiusitas ;
5.Memadukan hukum sebagai sarana rekayasa sosial sekaligus merefleksikan nilai-nilai Pancasila
1. Penerimaan secara objektif nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ;
Negara Indonesia didirikan untuk bersungguh sungguh 2. Menguatkan kedudukan Pancasila sebagai sumber hukum tertinggi dalam tata peraturan perundang-
memajukan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. undangan di Indonesia ;
3. Menjadikan Pancasila sebagai sumber mewujudkan hukum yang berkeadilan substansial ;
4. Menjadikan Pancasila sebagai batu uji tertinggi materi peraturan perundang-undangan di Indonesia ;
5. Melakukan sinkronisasi dan uji ulang setiap produk peraturan perundang-undangan untuk tidak
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila;
6. Indonesia yang masih mengutamakan nilai-nilai nasionalisme (sebagai modal untuk menjaga
kelangsungan negara) pengutamaan hak individu warga negara tidak boleh mengurangi hak negara untuk
melakukan pengawasan dan pengaturan (command and control) atas warganya;
7. Dari perspektif yuridis, penyeimbangan kepentingan individu warga negara dengan negara bisa dibenarkan
dari konsepsi bahwa negara hukum Indonesia dikonsepsikan secara tegas sebagai negara hukum yang
menggabungkan secara integratif, nilai-nilai Pancasila, segi-segi positif rechtstaat yang mengedepankan
kepastian hukum dengan the rule of law yang mengedepankan rasa keadilan;
8. Pengembangan budaya hukum berbasis nilai-nilai Pancasila yang dipedomani semangat gotong-royong
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur ;
9. Dan Seterusnya…
Kembali
1. Disepakati bersama sebagai
Nilai Pancasila sbg
nilai-nilai yg bersifat das-
Weltanschauung
sollen; 2. Meta Yuridis
Landasan Pancasila
Norma Dasar Pancasila sebagai Grundnorm
(Pembukaan (Norma dasar)
UUD)
UUD 1945
6.Peraturan Pemerintah
7.Peraturan Presiden
BUKAN MERUPAKAN
RECHTSTAAT MAUPUNRULE OF LAW
NEGARA HUKUM PANCASILA :
Dipandu nilai-nilai religiusitas bangsa;
Mengakui hak-hak individu dengan tetap kedepankan kepentingan
bersama ;
Melindungi HAM;
Perjuangkan keadilan Sosial;
Padukan Hukum Sebagai Sarana Pembangunan yang Cerminkan
Budaya Bangsa
Perubahan Hukum berbasis Pancasila
dilakukan dengan Landasan
HUKUM PROGRESIF
MEMBICARAKAN
HUKUM PROGRESIF
MEMBICARAKAN
PENEGAKAN HUKUM
UNTUK MENDORONG
PERUBAHAN HUKUM
PENDEKATAN
INDUKTIF
Dasar Pemikiran
HUKUM PROGRESIF
Kebenaran
Hukum untuk Hukum selalu Kepastian Hukum Undang-undang
Kebaikan dalam Proses tidak identik tidak identik
Kehidupan Menjadi dengan Finalitas Kebenaran
Substansial
LANGKAH TERPADU DALAM
PEMBANGUNAN HUKUM
BERBASIS PANCASILA
HAL TERPENTING:
OBJEKTIVIKASI NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI MODAL UNTUK;
MENYEIMBANGKAN PENDIDIKAN-PENINGKATAN PENGEMBANGAN STUDI RELASI TUMBUH & PENEGAKAN HUKUM YANG
KEPENTINGAN HAM- KUALITAS SDM ANTAR AGAMA KEMBANGKAN BERKEADILAN
KEAMANAN NEGARA EKONOMI YANG
PARTISIPATIF DAN
BERKEADILAN
BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA
REPUBLIK INDONESIA
KEDEPUTIAN BIDANG PENGKAJIAN DAN MATERI
TERIMAKASIH
SALAM PANCASILA