0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
1 tayangan2 halaman
1. Teori penunjukan kembali terjadi ketika kaidah hukum perdata internasional asing menunjuk kembali ke hukum forum awal.
2. Kualifikasi dalam hukum perdata internasional melibatkan pengklasifikasian fakta dan hukum untuk menentukan hukum mana yang berlaku.
3. Ketertiban umum dalam hukum Indonesia mencakup berbagai aspek seperti ketertiban, kesejahteraan, dan keamanan masyarakat.
1. Teori penunjukan kembali terjadi ketika kaidah hukum perdata internasional asing menunjuk kembali ke hukum forum awal.
2. Kualifikasi dalam hukum perdata internasional melibatkan pengklasifikasian fakta dan hukum untuk menentukan hukum mana yang berlaku.
3. Ketertiban umum dalam hukum Indonesia mencakup berbagai aspek seperti ketertiban, kesejahteraan, dan keamanan masyarakat.
1. Teori penunjukan kembali terjadi ketika kaidah hukum perdata internasional asing menunjuk kembali ke hukum forum awal.
2. Kualifikasi dalam hukum perdata internasional melibatkan pengklasifikasian fakta dan hukum untuk menentukan hukum mana yang berlaku.
3. Ketertiban umum dalam hukum Indonesia mencakup berbagai aspek seperti ketertiban, kesejahteraan, dan keamanan masyarakat.
1. Penunjukan kembali (remission, ruckverweisung, terugverwijzing) yaitu
penunjukan oleh kaidah HPI asing kembali ke arah lex fori. Teori Penunjukan Kembali disebabkan berkenaan dengan status personil yang ditentukan menurut prinsip nasionalitas dan prinsip domisili. Berhubungan dengan adanya dua sistem yang masing-masing berbeda ini maka timbullah renvoi atau penunjukan kembali. Dalam proses ini penunjukan pertama berlangsung dari kaidah hukum perdata internasional forum ke arah kaidah hukum perdata internasional asing, karena sebelumnya diketahui kaidah hukum perdata internasional asing itu dalam penunjukkan kedua akan menunjuk kembali ke arah lex fori. 2. Dalam Hukum Perdata Internasional diperlukan kualifikasi, artinya fakta-fakta harus berada di bawah kategori hukum tertentu ( subsumption of facts under categories of law ). Dengan demikian, fakta-fakta diklasifikasikan, dimasukkan kedalam pengertian hukum yang ada. Di dalam HPI, selain fakta yang dikualifikasikan,kaidah hukum pun perlu juga dikualifikasi ( classification of law ). Di dalam HPI, adadua macam kualifikasi, yaitu: (1) .Kualifikasi Fakta (classification of facts)Kualifikasi yang dilakukan terhadap sekumpulan fakta dalam suatu peristiwahukum untuk ditetapkan menjadi satu / lebih peristiwa hukum berdasarkan kategorihukum dan kaidah-kaidah hukum dari sistem hukum yang seharusnya berlaku, disebutsebagai Kualifikasi Fakta. (2). Kualifikasi Hukum (classification of law)Sedangkan penggolongan atau pembagian seluruh kaidah hukum tertentu yangtelah ditetapkan sebelumnya, disebut sebagai Kualifikasi Hukum. Kualifikasi merupakan proses untuk memutus perkara Perdata Internasional dengan cara menyalin fakta sehari-hari ke dalam istilah-istilah hukum yang akan digunakan. Dalam melakukan kualifikasi ini terdapat beberapa teori yaitu teori kualifikasi berdasarkan Lex Fori, Lex Cause, Kualifikasi bertahap, dan juga Kualifikasi Otonom. 3. Dalam kaidah hukum yang dianut di Indonesia sendiri, ketertiban umum dipakai dalam berbagai variasi seperti: 1) ketertiban umum yang dikenal dalam perjanjian, dan membatasi bidang seseorang untuk bertindak secara leluasa. Ketentuan semacam ini diatur dalam 23 AB yang diambil dari Code Civil Perancis; 2) ketertiban umum dalam arti ketertiban, kesejahteraan, dan keamanan; 3) ketertiban umum yang dipasangkan dengan istilah kesusilaan baik, misalnya dalam membatasi kebebasan berkontrak; 4) ketertiban umum diartikan sebagai ketertiban hukum; 5) ketertibam umum disinonimkan dengan istilah keadilan; 6) ketertiban umum dapat diartikan dalam acara pidana, bila hendak diutarakan bahwa pihak penuntut umum harus didengar; 7) ketertiban umum diartikan bahwa hakim diwajibkan untuk mempergunakan pasal-pasal yang ada di Undang-undang tertentu. Ketertiban umum dalam Pasal 23 AB yang terkait dengan masalah perjanjian, disandingkan dengan istilah kesusilaan baik. Jika dibandingkan dengan Pasal 6 CC Perancis maka Pasal 23 AB ini agak lebih luas, karena dalam Pasal 23 AB ini, di samping istilah overenkomsten (perjanjianperjanjian), juga digunakan istilah handelingen. Jadi bukan saja perjanjianperjanjian yang dibatasi, melainkan juga perbuatan-perbuatan lain yang bukan perjanjian juga tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum. Ketentuan dalam Pasal 23 AB meliputi semua perjanjian dan perbuatan hukum lainnya yang terjadi di wilayah Negara Indonesia. Jadi bukan hanya perjanjian- perjanjian antara para warga Negara Indonesia yang harus tunduk kepada ketentuan ini, melainkan juga perjanjian dengan orang asing atau perbuatan orang asing yang terjadi di Indonesia; begitu juga perjanjian-perjanjian atau perbuatan hukum yang terjadi di luar negeri, diliputi oleh ketentuan ini. Hubungan antara Pasal 23 AB dan pengertian ketertiban umum yang dikenal dalam HPI, menurut van Brakel perlu diadakan perbedaan. Keduanya terdapat titik tolak yang sama, tetapi dalam perumusannya dan isinya terdapat perbedaan. Pada perumusan Pasal 23 AB, di samping istilah ketertiban umum disebut pula kesusilaan baik, tetapi dalam HPI pengertian ketertiban umum tidak mencakup kesusilaan baik. Isi ketertiban umum dalam Pasal 23 AB dan HPI juga berlainan. Isi Pasal 23 AB dapat dianggap lebih luas daripada pengertian ketertiban umum mengenai HPI. Dalam Pasal 23 AB, semua ketentuan yang bersifat hukum memaksa tak dapat dikesampingkan, tetapi dalam konsep ketertiban umum HPI tidak semua ketentuan yang bersifat hukum memaksa tersebut dianggap masuk dalam pengertian tersebut. Apa yang menurut hukum nasional intern sebagai ketertiban umum, belum tentu dianggap HPI sebagai ketertiban umum. 4. Teori Objektif yakni, perbuatan hukum yang terjadi bertentangan dengan jiwa dan tujuan hukum nasional. Kemudian Teori Subjektif adalah mengenai niat yang buruk perbuatan hukum yang dilakukan dan hal ini haruslah terang benderang sehingga terlihat upaya “penyelundupan” itu dilakukan.