Anda di halaman 1dari 6

Bayu Novanto

2502050121
Hukum Pidana
Jawaban

1. Dalam Kasus ini pihak yang merasa dirugikan (Ardy Waluyo) akibat adanya wanprestasi bisa
menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak
yang melakukan wanprestasi (Dr. Wien Gunarso). Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang
nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut,
serta bunga. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata. Akibat terjadinya wanprestasi
tersebut maka langkah yang dapat diambil adalah melakukan somasi/teguran atas tindakan
ingkar janji tersebut. Somasi/teguran ini bermanfaat untuk mengingatkan pihak yang telah
wanprestasi terhadap kewajiban yang harus dipenuhi sesuai perjanjian.

Untuk menuntut pembatalan suatu kontrak dan ganti rugi Tidak dilaksanakannya kewajiban
kontrak tidak membuat Dr. Wien Gunarso serta merta (otomatis) berada dalam keadaan
wanprestasi. Untuk membuatnya berada dalam keadaan wanprestasi, Ardy Waluyo harus
melakukan langkah pendahuluan berupa penyerahan surat peringatan (somasi) kepada Dr. Wien
Gunarso. Dalam doktrin dan yurisprudensi, surat peringatan ini dikenal dengan somasi. Somasi
yang tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah akan membawa Dr. Wien Gunarso berada dalam
keadaan lalai, dan sejak saat itu semua akibat wanprestasi mulai berlaku terhadapnya. Dengan
terjadinya keadaan wanprestasi, maka terbitlah hak untuk menuntut pembatalan kontrak dan
ganti rugi. Karena tak ada ketentuan berapa kali somasi harus diajukan, maka dalam praktek,
somasi itu umumnya diajukan tiga kali yaitu: Somasi I, Somasi II, Somasi III bisa juga Somasi I
dan Somasi II (Terakhir). Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka Ardy Waluyo berhak
membawa persoalan itu ke pengadilan. Dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah
debitor wanprestasi atau tidak. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditor) kepada si
berutang (debitor) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah
disepakati antara keduanya. Somasi ini diatur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata dan Pasal 1243
KUHPerdata.1

1
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), pasal 1238.

1
2. Pasal yang dapat digunakan oleh penyidik untuk menetapkan Dr. Wien Gunarso sebagai
tersangka tertuang dalam Pasal 1238 KUHPerdata, yang menyebutkan “Debitur dinyatakan Ialai
dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan
sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya
waktu yang ditentuka.2 Seperti sudah disebutkan, wanprestasi berasal dari adanya
kesepatakan/perjanjian suatu perikatan hukum menyangkut suatu transaksi yang tidak dipenuhi
oleh salah satu pihak. Jadi, jika ada salah satu pihak yang gagal memenuhi janjinya untuk
menunaikan prestasi baik sengaja ataupun kelalaian, maka hal itu dapat dikatakan telah terjadi
cedera janji (wanprestasi). Akibat hukum wanprestasi, maka pihak yang dirugikan dapat
melakukan pemanggilan secara tertulis (somasi) dan menggugat ke pengadilan. Selain itu, pihak
yang melakukan wanprestasi berkewajiban melaksanakan prestasi sebagai berikut:
 Harus mengganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak lain yang memiliki hak
untuk menerima prestasi tersebut (Pasal 1243 BW);
 Harus Pemutusan kontrak yang dibarengi dengan pembayaran ganti kerugian (Pasal 1267
BW);
 Harus menerima peralihan resiko sejak wanprestasi tersebut terjadi (Pasal 1237 ayat (2)
BW); dan
 Harus menanggung biaya perkara jika perkara tersebut dibawa ke pengadilan (Pasal 181
ayat (2) HIR).

3. Dalam kasus ini, diketahui bahwa Dr. Wien Gunarso menggadaikan peralatan laboratorium itu
kepada Mita Bromili dan Agusman St yang berarti bahwa Dr Wien Ginarso telah memenuhi
unsur asas kepribadian (asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak
hanya untuk kepentingan perorangan). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan Pasal 1340.
Pasal 1315 menegaskan “pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perjanjian hanya
untuk kepentingan dirinya sendiri.” Pasal 1340 menegaskan “perjanjian hanya berlaku antara
para pihak yang membuatnya.” Dalam kasus ini pula Dr. Wien Gunawan telah melanggar asas
konsensualisme. Asas konsensualisme dapat disimpulkan melalui Pasal 1320 ayat 1. Bahwa
salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Dengan

2
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), pasal 1340.

2
adanya kesepakatan oleh para pihak, jelas melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa
juga disebut bahwa kontrak tersebut telah bersifat obligatoir yakni melahirkan kewajiban bagi
para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.Disini jelas bahwa Dr. Wien Gunarso telah
melanggar kontrak dengan mengambil keuntungan sepihak.

4. Kasus tersebut dapat digolongkan sebagai Concurcus karena telah memenuhi syarat-syarat
yang menyatakan adanya perbarengan tindak pidana, diantaranya:
a. Ada dua/ lebih tindak pidana dilakukan
b. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu orang (atau
dua orang dalam hal penyertaan)
c. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili
d. Bahwa dua/ lebih tindak pidana tersebut akan diadili sekaligus
Karena kasus tersebut concurcus, (dalam waktu antara dilakukannya dua tindak pidana tidaklah
ditetapkan satu pidana karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana itu).
Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara
dan kepada si pembuat akan dijatuhkan satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini tidak ada
pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana, karena dari beberapa delik itu tidak
dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total yang besar, tetapi cukup dengan satu pidana saja
tanpa memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang diancamkan pada masing-
masing tindak pidana.3

5. Undang – undang tidak dengan explisit menerangkan apa percobaan itu akan tetapi dari
kalimat diatas diketahui apa syarat – syarat percobaan. Syarat – syarat percobaan adalah :
1. Adanya niat/ kehendak dari pelaku.
2. Adanya permulaan pelaksanaan dari niat/kehendak itu.
3. Pelaksanaan tidak selesai semata – mata diluar niat/kehendak pelaku.
Dengan demikian kasus tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai percobaan melakukan tindak
pidana karena tidak memenuhi syarat kedua yaitu adanya permulaan pelaksanaan pembakaran
oleh Dr. Wien Gunarso.. Karena dengan kata terwujud lebih menunjukkan bahwa niat yang ada
pada pelaku sudah diwujudkan dalam suatu permasalahan pelaksanaan. Ketiga syarat diatas
3
Adami Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2: Penafsiran Hukum Pidana Dasar peniadaan pemberatan
& peringanan kejahatan aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Hal. 46.

3
haruslah terbukti terhadap adanya suatu perbuatan yang dianggap percobaan dengan perkataan
lain bahwa dianggap ada percobaan apabila memenuhi ketiga syarat diatas. Ada niat seseorang
untuk melakukan kejahatan dimana niat tersebut sudah terwujud dalam suatu permulaan
pelaksanaan dan perbuatan yang dilakukan itu tidak selesai semata – mata bukan kehendak atau
niat pelaku.

A. Penerapan asas transitoir ini sebagaimana diungkapkan E. Utrecth yang dikutip oleh
R.Soesilo yang memberikan tafsir terhadap perubahan undang-undang yang dimaksud dalam
Pasal 1 (2) KUHP yaitu teori formil dan teori materiil terbatas dan teori materiil tidak terbatas.
Teori formil menyatakan jika terjadi perubahan redaksi terhadap undang-undang pidana saja,
artinya pembatasan pada perubahan pada undang-undang yang memberikan keuntungan kepada
tersangka/terdakwa. Ahli hukum seperti Pompe, Hattum dan Hamel berpendapat bahwa
perkataan perundang-undangan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP adalah undang- undang dalam arti
materiil, bukan dalam arti formil. Menurut paham materiil, perubahan perundang-undangan yang
dimaksudkan dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP selain perubahan undang-undang juga perubahan
dalam perundang- undangan lain selain undang-undang yang telah menyebabkan suatu ketentuan
pidana yang pada hakikatnya secara tekstual tidak berubah, tetapi menjadi mempunyai pengetian
lain, faham ini sering juga disebut teori materiil terbatas. Faham ini diartikan sebagai tiap-tiap
perubahan sesuai dengan perubahan perasaan (keyakinan) hukum pada pembuat undang-undang.
Jadi dalam teori ini juga menerima perubahan undang-undang di luar undang-undang pidana
sepanjang mempengaruhi undang-undang pidana yang bersangkutan. Menurut teori ini, maka
tiap-tiap perubahan, baik dalam perasaan hukum dari pembuat undang-undang, maupun dalam
keadaan karena waktu, boleh diterima sebagai perubahan undang-undangn dalam arti kata Pasal
1 (2) KUHP. Pembatasannya adalah bahwa bila perubahan itu terjadi karena sifat sementara dari
suatu perundang-undangan maka dianggap bukan perubahan dalam arti Pasal 1 ayat (2) KUHP.
Sebagai contoh, terdapat perundang-undangan yang berlaku untuk sementara yang pasal-
pasalnya menentukan waktu dan perundang-undangan yang disesuaikan dengan keadaan-
keadaan yang berubah. Menurut Andi Hamzah terdapat putusan-putusan yang mengatakan
bahwa peraturan yang bersifat sementara jika dihapus tidak merupakan perubahan perundang-
undangan menurut Pasal 1 ayat (2) KUHP.

4
B. Berikut asas-asas yang dianut dalam buku 1 KUHP:
-Asas Universalitas merupakan asas yang menyatakan setiap orang yang melakukan perbuatan
pidanan dapat dituntut undang-undang hukum pidana Indonesia di luar wilayah Negara untuk
kepentingan hukum bagi seluruh dunia. Pada intinya menentukan bahwa ketentuan-ketentuan
hukum pidana indonesia berlaku bagi siapa saja, termasuk orang-orang asing yang di luar
indonesia. (KUHP Pasal 4 sub 4)
o Asas Perlindungan (Nasional Pasif) adalah asas yang memperluas berlakunya ketentuan-
ketentuan hukum pidana indonesia di luar wilayah indonesia berdasar atas kerugian
nasional amat besar yang diakibatkan oleh beberapa kejahatan sehingga siapa saja yang
termasuk orang asing yang melakukannya dimana saja pantas dihukum oleh Pengadilan
Indonesia. (Pasal 4 ayat 1 KUHP).
o Asas Nasional Aktif (Personal) merupakan ketentuan hukum bagi warga indonesia yang
melakukan tindak kejahatan di luar wilayah indonesia. Asas ini disebut nasional aktif
karena berhubungan dengan keaktifan berupa kejahatan dari seorang warga negara.
(Pasal 5 KUHP).
o Asas Teritorial adalah asas yang menganggap hukum pidana di indonesia berlaku di
wilayah republik indonesia, siapapun yang melakukan tindak pidana.(Pasal 2 KUHP).
o Asas Legalitas adalah asas yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
(Pasal 1 ayat 1 KUHP).

C. Perbedaan tindak pidana, kesalahan, pertanggungjawaban pidana, dan pidana:


 Tindak Pidana adalah Perbuatan yang dilarang dan diancam dengan sanksi pidana oleh
undang-undang bagi barang siapa yang dengan melawan hukum melanggar larangan
tersebut tanpa adanya alasan pembenar. Unsur-unsur tindak pidana: Ada Subyek Hukum;
Melakukan perbuatan memenuhi rumusan delik; Diancam dengan sanksi pidana;
Melawan hukum; Tidak ada alasan pembenar;
 Kesalahan adalah terdapatnya keadaan psikis tertentu pada seseorang yang melakukan
tindak pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang
dilakukan, yang sedemikian rupa hingga orang itu dapat dicela karena melakukan
perbuatan tadi. Untuk mengetahui adanya kesalahan pidana harus ada unsur unsur

5
kesalahan sebagai berikut: Ada tindak pidana; oleh orang yang mampu bertanggung
jawab; adanya hubungan batin antara orang dan tindak pidana, baik sengaja maupun
kelalaian (bentuk kesalahan) dan tidak ada alasan pemaaf;
 Pertangungjawaban pidana adalah sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan
yang akan di terima pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Pertanggungjawban
Pidana yang kita bahas di atas adalah yang berlaku general, di Indonesia
pertanggungjawaban pidana ada yang special (khusus) dimana ada pertanggungjawaban
pidana yang tidak memerlukan unsur kesalahan disebut dengan pertanggungjawaban
pidana mutlak (Strict liability) dikenal juga dalam sistem hukum common law sebagai
liability without fault atau tanggung jawab tanpa kesalahan; dan
 Pidana sendiri ialah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang yang
melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Undang-undang (hukum pidana),
sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.

Anda mungkin juga menyukai