Anda di halaman 1dari 21

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER HUKUM KONTRAK

RANGKUMAN MATERI HUKUM KONTRAK

DISUSUN OLEH :
PETRUS KANISIUS EKO KRISTANTO
E0019333

HUKUM KONTRAK (A)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET

0
DAFTAR ISI

BAB I HUKUM PERIKATAN………………………………………………………2


1.1 PENGERTIAN PERIKATAN……………………………………………..2
1.2 PERIKATAN DALAM ARTI SEMPIT…………………………………..2
1.3 SISTEM PENGATURAN HUKUM PERIKATAN………………………2
1.4 DASAR HUKUM PERIKATAN…………………………………………..3
1.5 UNSUR-UNSUR PERIKATAN…………………………………………....3
1.6 JENIS-JENIS PERIKATAN…………………………………………….....4
1.7 PERBUATAN LALAI……………………………………………………...7
1.8 WANPRESTASI……………………………………………………………7
1.9 HAPUSNYA PERIKATAN………………………………………………..8
BAB II HUKUM PERJANJIAN……………………………………………………...10
2.1 DEFINISI PERJANJIAN………………………………………………….10
2.2 ASAS-ASAS PERJANJIAN………………………………………………10
2.3 SYARAT SAH PERJANJIAN…………………………………………….11
2.4 SUBJEK DAN OBJEK PERJANJIAN…………………………………...12
2.5 HAPUSNYA PERJANJIAN………………………………………………13
2.6 PEMBATALAN PERJANJIAN…………………………………………..13
BAB III PENGERTIAN KONTRAK…………………………………………………14
3.1 DEFINISI KONTRAK……………………………………………………..14
3.2 ASAS BERKONTRAK…………………………………………………….14
3.3 PENGATURAN HUKUM KONTRAK…………………………………...16
3.4 UNSUR BERKONTRAK…………………………………………………..17
3.5 PENAFSIRAN HUKUM……………………………………………………17
3.6 PENAFSIRAN PERJANJIAN……………………………………………..17
3.7 JENIS-JENIS PERJANJIAN………………………………………………18
3.8 TAHAPAN BERKONTRAK………………………………………………18
3.9 AKIBAT SUATU PERJANJIAN…………………………………………..19
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………20

1
BAB I
HUKUM PERIKATAN

1.1. PENGERTIAN PERIKATAN


Perikatan adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah
perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal
yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut
kenyataannya dapat berupa perbuatan. Misalnya jual beli barang, dapat berupa peristiwa
misalnya lahirnya seorang bayi, matinya orang, dapat berupa keadaan, misalnya letak
pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau bersusun. Karena hal yang
mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-
undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian,
perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan
hukum( legal relation).

1.2. PERIKATAN DALAM ARTI SEMPIT


Perikatan yang dibicarakan dalam buku ini tidak akan meliputi semua perikatan dalam
bidang- bidang hukum tersebut. Melainkan akan dibatasi pada perikatan yang terdapat dalam
bidang hukum harta kekayaan saja,yang menurut sistematika Kitab Undang- Undang hukum
Perdata diatur dalam buku III di bawah judul tentang Perikatan. Tetapi menurut sistematika
ilmu pengetahuan hukum, hukum harta kekayaanitu meliputi hukukm benda dan hukum
perikatan, yang diatur dalam buku II KUHPdt di bawah judul Tentang Benda. Perikatan
dalam bidang harta kekayaan ini disebut Perikatan dalam arti sempit.

1.3 SISTEM PENGATURAN HUKUM PERIKATAN


Pengaturan hukum perikatan menganut sistem terbuka. Artinya setiap orang bebas melakukan
perjanjian, baik yang sudah diatur maupun belum diatur dalam undang-undang.
Pasal 1338 KUHPdt : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”
Ketentuan tersebut memberikan kebebasan para pihak untuk :
- Membuat atau tidak membuat perjanjian;
- Mengadakan perjanjian dengan siapapun;
- Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
- Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.

2
1.4 DASAR HUKUM PERIKATAN
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut.
Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
Perikatan yang timbul undang-undang. Perikatan yang timbul dari undang-undang dapat
dibagi menjadi dua, yaitu
a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum
(onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

1.5 UNSUR-UNSUR PERIKATAN


1. Subjek Perikatan atau pelaku perikatan setiap pelaku perikatan yang mengadakan
perikatan harus ada kebebasan menyatakan kehendaknya sendiri, tidak ada paksaan
dari pihak manapun tidak ada penipuan dari salah satu pihak tidak ada kehilafan
pihak-pihak yang bersangkutan.

2. Wewenang Berbuat dalam perikatan harus ada wewenang berbuat menurut hukum
yang biasanya disebut ijab-qobul, persetujuan adalah pernyataan saling memberi dan
menerima secara riil yang mengikat kedua pihak yang telah memenuhi syarat.

3. Objek Perikatan Atau Prestasi objek perikatan dalam hukum perdata selalu berupa
benda, terdapat beberapa syarat benda dijadikan objek perikatan. Syarat tersebut
adalah benda dalam perdagangan benda tertentu atau dapat ditentukan, benda
bergerak atau tidak bergerak berwujud atau tidak berwujud, benda itu tidak dilarang
oleh Undang-Undang atau benda halal benda itu ada pemiliknya dan dalam
penguasaan pemiliknya, benda itu dapat diserahkan oleh pemiliknya, benda itu dalam
penguasaan pihak lain berdasarkan hak yang sah.

Menurut Pasal 1234 KUH Perdata prestasi itu dibedakan atas :


a. Memberikan sesuatu
b. Berbuat sesuatu
c. Tidak berbuat sesuatu

4. Tujuan Perikatan adalah untuk terpenuhinya prestasi bagi kedua belah pihak.

3
Hak dan kewajiban pihak- pihak
Karena perikatan ini timbul berdasarkan ketentuan undang- undang, maka hak dan kewajiban
tersebut dapat diperinci sebagai tersebut di bawah ini :
1. Hak dan kewajiban yang mewakili, ia berkewajiban mengerjakan segala sesuatu yang
termasuk urusan itu sampai selesai, dengan memberikan pertanggungjawaban.
2. Hak dan kewajiban yang diwakili, yang diwakili atau yang berkepentingan
berkewajiban memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil itu atas namanya, membayar ganti
rugi, atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh pihak yang mengurus kepentingan itu

Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), berbunyi: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya
untuk menggantikan kerugian tersebut.”
Dari bunyi Pasal tersebut, maka dapat ditarik unsur-unsur PMH sebagai berikut:
ada perbuatan melawan hukum;
ada kesalahan;
ada hubungan sebab akibat antara kerugian dan perbuatan;
ada kerugian.

1.6 JENIS - JENIS PERIKATAN


1. Perikatan bersyarat (Pasal 1253 – 1267 KUHPer)
Perikatan bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih
akan datang dan masih belum tentu akan terjadi.
Ada 2 macam perikatan bersyarat :
a. perikatan dengan syarat tangguh, yaitu perikatan ini baru lahir jika peristiwa yang
dimaksud atau disyaratkan itu terjadi. Perikatan lahir pada detik terjadinya peristiwa tersebut.
Contoh : saya berjanji akan menyewakan rumah saya kalau saya dipindahkan keluar negeri.
Artinya saya baru akan menyewakan rumah jika saya dipindahkan keluar negeri, jika saya
tidak dipindahkan, maka tidak ada perikatan untuk menyewakan rumah saya.
b. perikatan dengan syarat batal, yaitu perikatan yang sudah ada akan berakhir jika
peristiwa yang dimaksud itu terjadi.
Contoh : saat ini saya menyewakan rumah saya kepada A dengan ketentuan sewa-menyewa
ini akan berakhir jika anak saya yang ada di luar negeri pulang ke tanah air.

4
2. Perikatan dengan ketetapan waktu (Pasal 1268 – 1271 KUHPer)
Perikatan ini tidak menangguhkan lahirnya perikatan, hanya menangguhkan pelaksanaannya,
ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan itu.
Contoh : saya akan menyewakan rumah saya per 1 Januari 2012 atau sampai 1 Januari 2012,
maka perjanjian itu adalah suatu perjanjian dengan ketetapan waktu.
Contoh lainnya: saya akan menjual rumah saya dengan ketentuan bahwa penghuni yang
sekarang meninggal dunia. Memang hampir sama dengan perjanjian bersyarat tetapi
perjanjian tadi adalah perjanjian dengan ketetapan waktu karena hal orang meninggal adalah
sesuatu yang pasti akan terjadi di masa depan. Sementara perjanjian bersyarat adalah sesuatu
yang belum pasti akan terjadi di masa depan.

3. Perikatan manasuka (alternatif) (pasal 1272 – 1277 KUHPer)


Dalam perikatan manasuka si berutang(debitur) dibebaskan menyerahkan salah satu dari dua
barang atau lebih yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si
berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian lagi dari barang
yang lain. Hak memilih barang ini ada pada si berutang, jika hak ini tidak secara tegas
diberikan oleh si berpiutang.
Contoh : saya mempunyai tagihan seratus ribu rupiah pada seorang petani. Sekarang saya
mengadakan suatu perjanjian dengannya bahwa ia akan saya bebaskan dari utangnya jika ia
menyerahkan kudanya atau 100kg berasnya.

Apabila 1 dari 2 barang itu musnah atau tidak dapat lagi diserahkan, maka perikatan itu
menjadi perikatan murni atau perikatan bersahaja.
Jika semua barang itu hilang atau musnah akibat si berutang, maka si berutang wajib
membayar harga barang yang hilang terakhir
Jika hak pilih ada pada si berutang, dan salah satu barang hilang atau musnah bukan akibat
salahnya si berutang, si berpiutang wajib mendapat barang yang satu lagi.
Jika salah satu barang hilang akibat salahnya si berutang, maka si berpiutang boleh memilih
barang yang satu lagi atau harga barang yang sudah hilang.
Jika kedua barang hilang atau salah satu hilang akibat kesalahan si berutang, maka si
berpiutang boleh memilih sesuai pilihannya.
Asas-asas di atas berlaku juga jika barang lebih dari dua ataupun perikatan untuk melakukan
suatu perbuatan.

5
4. Perikatan tanggung-menanggung atau solider (Pasal 1278 – Pasal 1295
KUHPer)
Adalah perikatan yang terdapat beberapa orang di salah satu pihak (lebih dari satu debitur
atau lebih dari satu kreditur).
Dalam hal terdapat lebih dari satu debitur maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk
memenuhi seluruh utang. Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah seorang
debitur, membebaskan debitur lainnya.
Dalam hal beberapa orang di pihak kreditur, maka tiap-tiap kreditur berhak menuntut
pembayaran seluruh utang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang kreditur,
membebaskan si berutang terhadap kreditur-kreditur lainnya.

5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296-1303
KUHPer)
Dapat atau tidak dapat dibaginya suatu perikatan adalah tergantung dari apakah barang nya
dapat dibagi atau tidak serta penyerahannya dapat dibagi atau tidak.
Meskipun barang atau perbuatan yang dimaksudkan sifatnya dapat dibagi, tetapi jika
penyerahan atau pelaksanaan perbuatan itu tidak dapat dilakukan sebagian-sebagian, maka
perikatan itu harus dianggap tidak dapat dibagi.

6. Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1304 – 1312 KUHper)


Perikatan dimana si berutang untuk jaminan pelaksanaan perjanjiannya, diwajibkan
melakukan sesuatu apabila perikatan awalnya tidak terpenuhi. Atau dengan kata lain,
perikatan yang ada hukumannya jika debitur tidak melakukan kewajibannya.
Contoh : A melakukan suatu perjanjian dengan B yang berprofesi sebagai kontraktor untuk
membangun sebuah apartemen. Pembangunan itu dalam perjanjian harus selesai selama 2
tahun. Jika terlambat B akan dikenakan denda untuk mengganti kerugian yang diderita A
sebesar 20juta rupiah per bulan keterlambatannya.
Perikatan dengan ancaman hukuman walaupun mirip dengan perikatan manasuka (karena ada
dua prestasi yang harus dipenuhi), sangatlah berbeda satu sama lain, karena dalam perikatan
dengan ancaman hukuman sebenarnya prestasinya hanya satu, kalau ia lalai melakukan
prestasi tersebut barulah muncul prestasi yang ditentukan sebagai hukuman.
Hukuman yang ditentukan biasanya sangatlah berat, bahkan terlampau berat. Menurut Pasal
1309 KUHPer, hakim bisa saja mengubah hukuman tersebut, bila perikatan awalnya sudah
dilakukan sebagian.
Ataupun jika perikatannya belum dilakukan sama sekali, hakim dapat menggunakan Pasal
1338 ayat 3 dimana suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

6
1.7 PERBUATAN LALAI (INGEBREKKESTELLINGS)
Debitur dinyatakan lalai ketika : tidak memenuhi prestasi, terlambat berprestasi, berprestasi
tapi tidak sebagaimana mestinya.
Pada umumnya wanprestasi dinyatakan baru terjadi apabila ada pernyataan lalai dari pihak
debitur dan kreditur.
Pernyataaan lalai bertujuan untuk menetapkan tenggang waktu kepada debitur untuk
memenuhi prestasinya dengan sanksi tanggung gugat atas kerugian yang dialami kreditur.
Debitur perlu diberi peringatan tertulis yang isinya peringatan untuk memenuhi prestasi
dalam waktu yang ditentukan jika debitur tidak memenuhinya maka debitur dianggap lalai
peringatan ini dapat bersifat resmi ataupun tidak resmi peringatan resmi dapat dilakukan
melalui pengadilan yang biasanya disebut somasi, sementara peringatan yang tidak resmi
biasanya melalui telegram maksimal atau disa mpaikan sendiri oleh kreditur kepada debitur
dengan tanda terima atau biasa disebut ingebrekestelling. Contoh bentuk pernyataan lalai
adalah akte, eksploit dsb.

1.8 WANPRESTASI
Wanprestasi artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disepakati dalam perikatan. Tidak
dipenuhinya kewajiban oleh debitur karena dua kemungkinan yaitu karena kesalahan debitur
baik sengaja ataupun lalai dan karena keadaan memaksa yaitu diluar kemampuan debitur jadi
debitur tidak bersalah.
a. Kewajiban debitur : adalah memenuhi dan melakukan prestasi dengan baik dan tepat
waktu.
b. Bentuk wanprestasi : debitur sama sekali tidak berprestasi, keliru berprestasi,
terlambat berprestasi.
c. Macam-macam wanprestasi : debitur sama sekali tidak menyanggupi prestasi,
melaksanakan prestasi namun tidak sempurna, melaksanakan prestasi tapi terlambat
memenuhi, serta melaksanakan suatu pelanggaran dalam perjanjian.
d. Akibat hukum wanprestasi : membayar ganti rugi, membatalkan perjanjian,
pengalihan risiko, membayar biaya perkara jika sampai di pengadilan.
e. Hak kreditur dalam wanprestasi : melakukan pemenuhan , ganti rugi, pembubaran
pemutusan, pembatalan, pemenuhan ditambah ganti rugi pelengkap, dan pembubaran
ditambah ganti rugi pelengkap.
f. Hak-hak debitur dalam wanprestasi : adanya Overmacht, adanya wanprestasi dari
kreditur, kreditur melepaskan haknya dalam waktu tertentu.

7
1.9 HAPUSNYA PERIKATAN
Menurut ketentuan pasal 1381 KUHPdt, ada sepuluh cara hapusnya perikatan, yaitu:
1. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUHPerdata)
Yaitu pelunasan utang (uang, jasa, barang) atau tindakan pemenuhan prestasi oleh debitur
kepada kreditur.
Misalnya perjanjian jual beli sepeda. A membeli sepeda milik B, maka saat A membayar
harga sepeda dan sepeda tersebut diserahkan B kepada A yang berarti lunas semua kewajiban
masing-masing pihak (A dan B) maka perjanjian jual beli antara A dan B dianggap
berakhir/hapus.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/konsinyasi (Pasal
1404-14012 KUHPerdata)
Yaitu suatu cara hapusnya perikatan dimana debitur hendak membayar utangnya namun
pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka kreditur bisa menitipkan pembayaran melalui
Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
Misalnya, A punya utang kepada B. Akhirnya A membayar utang tersebut kepada B tapi B
menolak menerimanya. Dalam kondisi demikian, A bisa menitipkan pembayaran utangnya
tersebut melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat nanti pengadilan yang akan
meneruskannya kepada B.
Jika menitipkan melalui pengadilan ini sudah dilakukan, maka utang-piutang antara A dan B
dianggap sudah berakhir.
3. Novasi/pembaharuan utang (Pasal 1425-1435 KUHPerdata)
Adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur dimana perikatan yang sudah ada
dihapuskan dan kemudian suatu perikatan yang baru.
Misalnya, A punya utang Rp. 1.000.000,- kepada B, tapi A tidak sanggup bayar utangnya
tersebut. Lalu B mengatakan bahwa B tidak perlu lagi membayar utangnya sebesar Rp.
1.000.000,- tersebut, melainkan cukup bayar Rp. 500.000,- saja, dan utang dianggap lunas.
Dalam hal ini perjanjian utang piutang antara A dan B yang sebesar Rp. 1.000.000,-
dihapuskan dan diganti perjanjian utang piutang yang sebesar Rp. 500.000, – saja.
4. Perjumpaan utang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUHPerdata).
Yaitu penghapusan utang masing-masing dengan jalan saling memperhitungkan utang yang
sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur dan kreditur.
Misalnya A punya utang kepada B sebesar Rp. 500.000,- tapi pada saat yang sama B juga
ternyata punya utang kepada A sebesar Rp. 500.000,-. Dalam hal demikian maka utang
masing-masing sudah dianggap lunas karena “impas”, dan perjanjian utang-piutang dianggap
berakhir.
5. Konfisio/percampuran utang (Pasal 1436-1437 KUHPerdata).
Adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai
kreditur menjadi satu.

8
Misalnya, A punya utang kepada B. Ternyata karena berjodoh A akhirnya menikah dengan B.
Dalam kondisi demikian maka terjadilah percampuran utang karena antara A dan B telah
terjadi suatu persatuan harta kawin akibat perkawinan. Padahal dulunya A mempunyai utang
kepada B.
6. Pembebasan utang (Pasal 1438-1443 KUHPerdata).
Yaitu pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur bahwa debitur dibebaskan dari utang-
tangnya.
Misal, A punya utang kepada B. Tapi B membebaskan A dari utangnya tersebut.
7. Musnahnya barang terutang (Pasal 1444-1445 KUHPerdata)
Yaitu perikatan hapus dengan musnahnya atau hilangnya barang tertentu yang menjadi
prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya kepada kreditur. Musnahnya
barang yang terutang ini digantungkan pada dua syarat (Miru dan Pati, 2011: 150):
Musnahnya barang tersebut bukan karena kelalaian debitur;
Debitur belum lalai menyerahkan kepada kreditor.
8. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUHPerdata)
Yang dimaksud “batal demi hukum” di dalam Pasal 1446 KUHPerdata adalah “dapat
dibatalkan”. (Komandoko dan Raharjo, 2009: 11).
Misalnya, suatu perjanjian yang dibuat oleh seseorang yang belum dewasa (belum cakap
hukum) perjanjian tersebut bisa dimintakan kebatalannya melalui pengadilan. Dan saat
dibatalkan oleh pengadilan maka perjanjian tersebut pun berakhir.
9. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUHPerdata)
Artinya syarat-syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala
sesuatu pada keadaan semula yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian. Misalnya
perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban
umum (Pasal 1337 KUHPerdata) adalah batal demi hukum.
10. Lewatnya waktu/daluwarsa (Pasal 1946-1993 Bab VII Buku IV KUHPerdata)
Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu
atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

9
BAB II
HUKUM PERJANJIAN

2.1 DEFINISI PERJANJIAN


a. Menurut Pasal 1318 KUH Perdata, perjanjian adalah “Suatu persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau
lebih.”
b. Menurut Subekti : “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji pada
seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.”
c. Menurut Doktrin adalah hubungan hukum dalam bidang harta kekayaan diantara dua
orang atau lebih, dimana pihak yang satu atau debitur wajib melakukan suatu prestasi
sedangkan pihak yang lain kreditur berhak atas prestasi tersebut.
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, di mana
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih.

2.2 ASAS ASAS PERJANJIAN


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan ada lima azas dalam hukum perjanjian :
1. Asas Kebebasan (Freedom of Contract)
Azas kebebasan dalam hukum perjanjian memandang bahwa setiap pihak bebas untuk
menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian atau tidak, bebas mengadakan
perjanjian dengan siapa pun, bebas menentukan isi perjanjian, cara pelaksanaan, serta syarat-
syarat perjanjian, dan bebas menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Asas tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan mengalami perkembangan pada zaman
Pertengahan (Rennaisance) dengan latar belakang paham individualisme yang memandang
bahwa setiap orang bebas memperoleh apa saja yang dia kehendaki. Pelopor paham ini
adalah Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
Pasal 1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai azas kebebasan bahwa: “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.”
2. Asas Konsensualisme (Concensualism)
Azas ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut sah apabila ada kesepakatan, yakni
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini
termaktub dalam pasal 1320 ayat (1) KUHP, berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Azas ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum Romawi mengenal azas contractus
verbis literis dan contractus innominat, sebuah perjanjian dianggap terjadi apabila memenuhi
suatu bentuk yang ditetapkan.

10
Sementara hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian riil dan perjanjian formal. Disebut
perjanjian riil apabila perjanjian tersebut dibuat dan dilaksanakan secara kontan dan disebut
perjanjian formal apabila perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis.
3. Asas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum berkaitan dengan
akibat dari perjanjian tersebut, pihak ketiga (hakim, dll.) harus menghormati substansi
perjanjian dan tidak boleh melakukan intervensi. Asas kepastian hukum tersebut termaktub
dalam pasal 1338 ayat (1) KUHP.
4. Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas ini memandang bahwa pelaksanaan substansi perjanjian antara kedua belah pihak
didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik. Itikad baik tersebut dibedakan menjadi dua,
yaitu nisbi dan mutlak.
Itikad baik nisbi berkaitan dengan sikap dan tingkah laku subjek perjanjian secara nyata,
sedangkan itikad baik mutlak memandang bahwa penilaian itikad baik menyangkut ukuran
objektif dan tidak memihak berdasarkan norma-norma yang ada. Asas ini termasuk dalam
pasal 1338 ayat (3) KUHP.
5. Asas Kepribadian (Personality)
Asas ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan kepentingan
diri sendiri. Sebagaimana termaktub dalam pasal 1315 KUHP yang berbunyi: “Pada
umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya
sendiri,” dan ditegaskan dalam pasal 1340: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang
membuatnya.”
Dengan demikian, sebuah perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak. Kecuali, ada kasus
khusus sebagaimana disebutkan dalam pasal 1317 KUHP: “Dapat pula perjanjian diadakan
untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”

2.3 SYARAT SAH PERJANJIAN


Agar perjanjian sah secara hukum, maka harus memenuhi syarat-syarat sah perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu;
a) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
b) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c) suatu pokok persoalan tertentu;
d) suatu sebab yang tidak terlarang.

11
Keempat syarat tersebut dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok, yaitu :
a) Syarat Subjektif
Syarat subjektif yaitu suatu syarat yang menyangkut subjek-subjek perjanjian itu, dengan kata
lain syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah
sepakat mereka mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat
perjanjian.
b) Syarat objektif
Syarat objektif adalah syarat yang menyangkut objek perjanjian itu, meliputi suatu hal
tertentu dan suatu sebab yang halal. Syarat yang ketiga dan syarat yang keempat merupakan
syarat objektif, syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu akibatnya batal demi
hukum.

2.4 SUBJEK DAN OBJEK PERJANJIAN


Pengertian Subyek Hukum
Pengertian subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai hak
dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan
pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-
hak.
Dalam menjalankan perbuatan hukum, subyek hukum memiliki wewenang. Wewenang
subyek hukum ini di bagi menjadi dua. Pertama, wewenang untuk mempunyai hak
(rechtsbevoegdheid) dan Kedua, wewenang untuk melakukan (menjalankan) perbuatan
hukum dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1. Pembagian Subyek Hukum
1) Manusia
Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai
subyek hukum yaitu Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan Kedua,
kewenangan hukum. Dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi
subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kendungan (Pasal 2 KUH Perdata),
namun tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan
perbuatan hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah
dewasa (berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang-orang yang tidak cakap
melakukan perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah
pengampuan, seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata).
2) Badan Hukum
Menurut sifatnya badan hukum ini dibagi menjadi dua yaitu:

12
3) Badan hukum publik, yaitu badan hukum yang di dirikan oleh pemerintah.
Contohnya : Provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga dan bank-bank negara
2. Badan hukum privat, adalah badan hukum yang didirikan oleh perivat (bukan
pemerintah)
Contohnya : Perhimpunan, Perseroan Terbatas, Firma, Koprasi, Yayasan.

Pengertian Obyek Hukum


Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau segala
sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat pula
disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang atau tiap-
tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Benda itu sendiri dibagi menjadi dua yaitu benda
berwujud dan benda tidak berwujud.

2.5 HAPUSNYA PERJANJIAN


a. Ditentukan di dalam perjanjian oleh para pihak. Batas berlakunya perjanjian
ditentukan oleh Undang-Undang.
b. Terjadinya suatu peristiwa tertentu
c. Hapusnya perjanjian
d. Pernyataan menghentikan perjanjian
e. opzegging
f. Putusan hakim
g. Tujuan perjanjian telah tercapai
h. Dengan persetujuan para pihak

2.6 PEMBATALAN PERJANJIAN


3 alasan pembatalan perjanjian Pasal 1321 KUH Perdata:
a) Kekhilafan/kesesatan (dwaling);
b) Paksaan (dwang);
c) Penipuan (bedrog).

13
BAB III
PENGERTIAN KONTRAK

3.1 DEFINISI KONTRAK


Menurut Subekti, perikatan adalah suatu perhubungan antara dua orang atau dua pihak dalam
bidang hukum kekayaan yang berdasarkan pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari
pihak lain, dan dari pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Istilah
kontrak mempunyai pengertian yang lebih sempit dibanding perjanjian yaitu kontrak
ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis. Selain itu, secara umum kontrak
adalah suatu perjanjian tertulis yang dituangkan dalam suatu dokumen dan biasanya bersifat
komersil.

3.2 ASAS BERKONTRAK


Terdapat tiga asas penting menurut nieuwenhuis yaitu :
a. Asas kebebasan berkontrak menurut bentuk dan isinya;
b. Asas daya mengikat kontrak ;
c. Asas bahwa perjanjian hanya menciptakan perikatan di antara para pihak yang
berkontrak atau bisa disebut asas kausa.

Dalam Seminar tentang Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang


diselenggarakan oleh BPHN pada tahun 1981 dinyatakan bahwa asas-asas kontrak
berlandaskan pada :
a. Kebebasan berkontrak
b. Konsensualisme
c. Pacta sunt servanda/kepastian hukum
d. Kepribadian
e. Moral
f. Kebiasaan
g. Itikad baik
h. Kepercayaan

14
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak hal ini telah diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 bw yaitu semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya
Namun perlu diingat kembali bahwa kebebasan berkontrak ini tidak boleh menyalahi aturan
seperti aturan dalam undang-undang ataupun aturan dalam kesepakatan yang telah dibuat,
pembatasan dalam.
Kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak yang berkontraksi memiliki
posisi bergaining position yang seimbang
b. Asas konsensualisme
Dalam hukum perjanjian berlaku suatu asas yang dinamakan asas konsensualisme. Asas
konsensualisme ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1320 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, perikatan ini berasal dari kata latin “Consensus” yang berarti untuk suatu
perjanjian disyaratkan adanya kesepakatan. Arti asas konsensualisme adalah pada dasarnya
perjanjian sudah lahir sejak dari terciptanya kesepakatan.
c. Asas kepastian hukum
Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
yang menerangkan : “Segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
undang bagi mereka yang membuatnya”. Sebenarnya yang dimaksudkan oleh Pasal tersebut,
tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak.
d. Asas Itikad Baik
Itikad baik dalam pelaksanaan kontrak adalah berarti kepatuhan, yaitu penilaian terhadap
tindak tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah dijanjikan dan bertujuan
untuk mencegah kelakuan yang tidak patut dan sewenang-wenang dari salah satu pihak.
e. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan ini mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan
perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.
f. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat
untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim
diikuti. Diatur dalam Pasal 1339 jo. Pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
g. Asas Moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak
menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur.

15
h. Asas Kepribadian
Diatur dalam Pasal 1315 KUHPerdata “Dalam perjanjian pada umumnya hanya mengikat
para pihak yang mengadakanperjanjian” pengecualian pada Pasal 1317 KUHPdt dan Pasal
1318 KUHPdt.

3.3 PENGATURAN HUKUM PERJANJIAN/KONTRAK


Hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri dari 18 bab dan 631 pasal.
Dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Secara lebih
terperinci[[5]]
1) Perikatan pada umumnya (Pasal 1233 – 1312)
2) Perikatan yang dilahirkan dari perjanjian (Pasal 1313 – 1351).
3) Hapusnya perikatan (Pasal 1381 – 1456).
4) Jual beli ( Pasal 1457 – 1540).
5) Tukar menukar (Pasal 1541 – 1546).
6) Sewa Menyewa ( Pasal 1548 – 1600).
7) Persetujuan untuk melakukan pekerjaan(Pasal 1601 – 1617).
8) Persekutuan ( Pasal 1618 – 1652).
9) Badan Hukum (Pasal 1653 – 1665).
10) Hibah (Pasal 1666 – 1693).
11) Penitipan barang ( Pasal 1694 – 1739).
12) Pinjam pakai (Pasal 1740 – 1753).
13) Pinjam-meminjam (Pasal 1754 – 1769).
14) Bunga tetap atau abadi (Pasal 1770 – 1773)
15) Perjanjian untung-untungan (Pasal 1774 – 1791).
16) Pemberian Kuasa (Pasal 1792 – 1819).
17) Penanggung utang (Pasal 1820 – 1850).
18) Perdamaian (Pasal 1851 – 1864 KUHPerdata) .

16
3.4 UNSUR BERKONTRAK
Terdapat tiga unsur terpenting dalam berkontrak, yaitu:
a. Essentialia : hal yang sangat penting dalam kontrak. contohnya seperti harga
dalamjual beli.
b. Naturalia : hal yang mengatur/ hal yang sudah diatur dalam Undang-undang.
c. Accidentalia: hal yang ditambahkan oleh pihak yang bersangkutan dalam kontrak.

3.5 PENAFSIRAN HUKUM


a. Penafsiran Gramatikal : penafsiran yang bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan
atau tata bahasa dalam peraturan perundang-undangan. Penafsiran sistematis : penafsiran
yang meninjau dengan susunan yang berhubungan dengan Pasal-Pasal lainnya.
b. Penafsiran Historis : penafsiran yang meninjau Berdasarkan sejarah hukumnya.
c. Penafsiran Sosiologis Atau Teologis : penafsiran yang bersangkutan dengan
memperhatikan perubahan-perubahan di masyarakat.
d. Penafsiran Resmi : penafsiran dengan dilakukan berdasarkan ketentuan undang-
undang.
e. Penafsiran Nasional : penafsiran yang didasarkan dengan sistem hukum yang berlaku
f. Penafsiran Ekstensif : yaitu penafsiran yang dilakukan dengan memperluas arti kata-
kata yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan Penafsiran restriktif : yaitu
penafsiran yang dilakukan dengan cara mempersempit arti kata-kata yang terdapat dalam
suatu perundang-undangan
g. Penafsiran Analogis : penafsiran yang dilakukan menggunakan ibarat atau kiasan
sesuai dengan asas hukum nya
h. Penafsiran A Contrario : Penafsiran yang didasarkan pada perlawanan antara masalah
yang dihadapi dengan masalah yang diatur dalam undang-undang

3.6 PENAFSIRAN PERJANJIAN


Penafsiran perjanjian penafsiran perjanjian telah diatur dalam bagian keempat Bab kedua
Buku 3 KUHP Perdata. Langkah-langkah penafsiran perjanjian sesuai dengan Pasal 1342
KUHP Perdata yaitu:
a. Kata-kata dalam suatu perjanjian harus jelas tidak diperkenankan adanya ambiguitas
ataupun penyimpangan dari penafsiran
b. Kata-katanya jelas dan sedikit memberikan kemungkinan untuk memberikan beda
tafsir.
c. Jika kata-kata dalam persetujuan tidak jelas maka harus diselidiki kembali maksud
pihak yang membuat perjanjian

17
d. Menafsirkan maksud para pihak yang melakukan perjanjian harus memperhatikan
itikad baik

3.7 JENIS-JENIS PERJANJIAN


a. Perjanjian Timbal Balik. Perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua
belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.
b. Perjanjian Sepihak . Perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu pihak saja
sedangkan pada pihak yg lain hanya ada hak-hak saja. Misalnya seperti pemberian hadiah
c. Perjanjian Cuma-cuma. Perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu
pihak saja. Misalnya hibah.
d. Perjanjian Atas Beban. Perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu merupakan
kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut
hukum.
e. Perjanjian Konsensual. Perjanjian dimana di antara kedua belah pihak tercapai
persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan.
f. Perjanjian Riil. Di dalam KUH Perdata ada juga perjanjian yang hanya berlaku
sesudah terjadi penyerahan barang. Perjanjian ini dinamakan perjanjian riil. Misalnya
perjanjian penitipan barang, pinjam pakai.
g. Perjanjian Bernama (Benoemd). Perjanjian bernama (khusus) adalah perjanjian yang
mempunyai nama sendiri. Maksudnya perjanjian tersebut diatur dan diberi nama oleh
pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi sehari-hari.
Perjanjian ini diatur dalam Bab V sampai dengan Bab XVIII KUH Perdata.
h. Perjanjian Tidak Bernama (Onbenoemd Overeenkomst). Perjanjian-perjanjian yang
tidak diatur dalam KUH Perdata, tetapi terdapat dalam masyarakat. Perjanjian ini seperti
perjanjian pemasaran, perjanjian kerja sama. Di dalam praktiknya, perjanjian ini lahir adalah
berdasarkan asas kebebasan berkontrak mengadakan perjanjian.
i. Perjanjian Formil. Perjanjian yang sudah disepakati harus dituangkan ke dalam
bentuk tertentu, atau Perjanjian baru sah selain adanya kesepakatan para pihak juga harus
dituangkan dalam bentuk akta otentik/tertulis. Contoh: Perjanjian hibah dengan akta notaris.

3.8 TAHAPAN BERKONTRAK


 Prakontrak : Negosiasi > MoU > studi kelayakan > negosiasi lanjutan
 Kontrak : Penulisan naskah awal > perbaikan naskah > penulisan naskah akhir
> penandatanganan
 Pascakontrak : Pelaksanaan > Penafsiran > Penyelesaian sengketa

18
3.9 AKIBAT SUATU PERJANJIAN
 Menurut Pasal 1338 KUH Perdata
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

19
DAFTAR PUSTAKA

BUKU :
 Subekti, R. 1994. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Bogor: Politeia.
 Muhammad, A. Kadir. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
 Projodikoro, W. 1993. Azas-azas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur

INTERNET :
http://blogmharyanto.blogspot.com
http://rima-suryani.blogspot.co.id/2014/11/makalah-hukum-perikatan.html
http://berbagai-ilmuku.blogspot.com/2016/03/makalah-hukum-perjanjian.html
http://hukumperjanjiandankontrak.blogspot.com/
https://www.kajianpustaka.com/2019/02/pengertian-asas-dan-jenis-perjanjian.html
http://alyaza26.blogspot.com

20

Anda mungkin juga menyukai