Anda di halaman 1dari 2

Tugas.

1
Nama: Mita Asari
Nim: 041439139
PemeriksaanSidang Acara Cepat& Pemeriksaan acara singkat
1. Dalam RUU KUHAP ada isu hukum mengenai pemberlakuan konsep plea bargaining,
coba saudara analisa konsep plea bargaining dikaitkan dengan pemeriksaan acara singkat,
kemudian apa perbedaan konsep plea bargaining dengan restorative justice dalam hukum
pidana di Indonesia?
2. Menurut saudara apakah ada upaya hukum terhadap penetapan pidana denda pelanggaran
lalu lintas dalam Perma Nomor 12 Tahun 2016 tentang Tata Tata Cara Penyelesaian
Pelanggaran Lalu Lintas? Kalau ada apa upaya hukumnya?jika tidak ada upaya
hukumnya apa yang bisa dilakukan oleh Pelanggar jika keberatan terhadap pidana denda
yang dijatuhkan oleh Hakim?
Jawaban:
1. Plea bargaining idealnya merupakan bentuk negosiasi antara Penuntut Umum dan
Terdakwa yang mengakui kejahatannya agar hukumannya lebih ringan, sehingga
prosesnya cepat, mekanisme plea bargaining yang diberi judul jalur khusus dalam
penyelesaian perkara pidana. Dalam Pasal 199 RKUHAP disebutkan konsep mekanisme
plea bargaining ini ketika Penuntut Umum membacakan surat dakwaan dimana ancaman
pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 tahun penjara dan terdakwa mengakui segala
kesalahannya, maka Penuntut Umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara
pemeriksaan singkat. Seharusnya dalam konsep plea bargain terdapat negosiasi atau
tawar menawar (bargaining). Tapi, dalam RKUHAP tidak menerapkan metode tersebut,
tapi menekankan pada bagaimana plea bargaining hanya meringankan tuntutan. Ketika
konsep plea bargain dalam RKUHAP diadopsi, sesuai ketentuan Jaksa tidak
mempergunakan hukum acara biasa. Tetapi, menggunakan hukum acara pemeriksaan
singkat yang cukup menggunakan nota dan catatan umum guna mempercepat proses
beracara di pengadilan.
Dalam plea bargain, hakim masih memiliki peran besar menentukan prosesnya hingga
putusan. Kalau restorative justice itu pemulihan terhadap pelaku dan korban untuk
menghindari perkara pidana masuk ke pengadilan. Keberadaan Pasal 199 RKUHAP tidak
serta merta mengubah semua tatanan sistem peradilan pidana yang telah diterapkan.
Eksistensinya akan memberikan ruang tersendiri dalam praktik peradilan pidana,
khususnya bagi penyelesaian perkara tindak pidana yang ancamannya tidak lebih dari 7
tahun penjara agar proses beracara menjadi lebih cepat dan efisien karena ada pengakuan
bersalah terdakwa sebagai dasar hakim memperoleh keyakinan ketika memutuskan.
Pada plea bargain sendiri dijelaskan sebagai suatu negosiasi antara penuntut umum dan
terdakwa dengan syarat terdakwa mengakui kesalahannya. Lalu, bersedia menerima
ancaman hukuman yang ditetapkan UU, tapi dapat memperoleh hukuman yang lebih
ringan. Meski demikian, terdakwa akan kehilangan hak-hak konstitusionalnya, seperti
hak untuk dikonfrontasi dengan saksi-saksi. Apabila mengetahui hal itu dan terdakwa
tanpa adanya paksaan sepakat tetap ada peran pengadilan pasca negosiasi kedua belah
pihak tercapai yakni putusan hakim. Jadi, pihak yang terkait proses plea bargain bukan
terbatas pada penuntut umum dan terdakwa beserta penasihat hukumnya, tetapi juga
Majelis Hakim. Sebagai tambahan, dalam perkara yang berkenaan dengan keuangan,
maka dapat dihadirkan pula auditor atau badan pemeriksa keuangan di dalamnya.
Berbeda dengan restorative justice merupakan upaya pemulihan keadilan dari suatu
tindak pidana dengan fokus terhadap pelaku dan korban guna menghindari perkara
pidana masuk ke pengadilan. Artinya, ada proses “kesepakatan” yang dilakukan sebelum
bergulir ke meja hijau. Pihak-pihak yang terlibat restorative justice (keadilan restoratif)
yakni pelaku, korban, aparat penegak hukum, dan masyarakat. Keberhasilan
penyelesaiannya tidak diukur dengan dijatuhkannya sanksi pidana terhadap pelaku, tapi
seberapa jauh kerusakan atau penderitaan akibat tindak pidana dapat dipulihkan dan
diakhiri.
2. Proses penyelesaian perkara pelanggaran berdasarkan Perma No. 12 Tahun 2016 yaitu
pelanggar cukup melihat secara online atau dapat melihat langsung di papan
pengumuman yang ada di Pengadilan Negeri untuk mengetahui putusan atas pelanggaran
yang telah dilakukan. Setelah pelanggar mengetahui hasil putusan hakim yang biasanya
berupa denda yang harus dibayar, selanjutnya pelanggar dapat membayar denda tersebut
ke Bank BRI atau membayar langsung ke Kejaksaan untuk selanjutnya mengambil
barang bukti di Kejaksaan. Masih terdapat banyak kekurangan dalam penerapan Perma
No. 12 Tahun 2012, salah satunya terkait dengan pelaksanaan penyelesaian perkara
pelanggaran lalu lintas tanpa hadirnya pelanggar. Permasalahannya adalah bagaimana
jika pelanggar yang ditilang tidak merasa bersalah, pelanggar tidak dapat melakukan
pembelaan diri karena proses penyelesaian pelanggaran lalu lintas dilaksanakan tanpa
kehadiran pelanggar. Sesuai Perma No. 12 Tahun 2016, upaya hukum berupa perlawanan
(verzet) hanya dapat dilakukan ketika pidana yang dijatuhkan berupa pidana perampasan
kemerdekaan dan bukan pidana denda. Jadi apabila hanya dikenakan pidana denda, maka
pelanggar tidak dapat melakukan upaya hukum. Salah satu yang didapat dari penelitian
ini, yaitu terhadap putusan (yang sudah berkekuatan hukum tetap) termasuk dan tidak
terbatas pada putusan (verstek) perkara tilang yang menjatuhkan pidana denda, apabila
pelanggar merasa keberatan, tentu ada upaya hukum yang dapat dilakukan, yaitu upaya
hukum luar biasa (berupa Peninjauan Kembali)

Anda mungkin juga menyukai