Anda di halaman 1dari 6

UAS HUKUM BISNIS

FITRA WIJAYANTO (2021011068)


Dari sudut pandang produsen
Karena saya pernah bekerja di bidang manufaktur maka bisa saya katakan bahwa setiap barang yang
keluar dari pabrik untuk didistribusikan adalah barang-barang yang sudah melalui tahap QC terlebih
dahulu. Dan proses QC tersebut tidaklah hanya 1x melainkan beberapa kali sesuai dengan jumlah
tahapan produksi yang dilalui barang tersebut sebelum akhirnya masuk ke WH untuk seterusnya
didistribusikan.
Dari sudut pandang konsumen
Sebagai konsumen hak kita dilindugi oleh Hak konsumen dalam Pasal 4 UUPK 8/1999, diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Hak atas keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
2. Hak untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang.
3. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang yang sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
dan jaminan barang
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang yang digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
6. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup.
7. Hak untuk memperoleh ganti kerugian.
8. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
9. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen.
Didalam soal disebutkan bahwa mendapatkan produk dengan kualitas yang tisak seperti biasanya. Ini
tentu adalah opini serius dari konsumen atas penilaian subjektif terhadap kualitas barang hasil produksi
unilever yang dibeilinya. Tentunya kita memiliki hak untuk mengemukakan pendapat danhak-hak lainnya
sesuai dengan hak konsumen dalam paparan diatas. Namun perlu diingat selain memiliki hak tentu kita
(konsumen) pun memiliki kewajiban.
Adapun kewajiban konsumen tertuang dalam Kewajiban konsumen dalam Pasal 5 UUPK 8/1999, yaitu:
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang
demi keamanan dan keselamatan.
2. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang.
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Dari sudut pandang pribadi
Konsumen berhak untuk menempuh jalur hukum dengan catatan bahwa memang betul terbukti bahwa
unilever menjual barang yang tidak sesuai dengan informasi yang disampaikan pada kemasan. Jika
memang terbukti demikian maka unilever tersangkut dengan Pasal 8-17 Undang-Undang No.8 Tahun
1999 dan konsumen mempunyai hak atas ganti rugi sesuai dengan yang tertera pada pasal yang
disebutkan tadi. Saran saya pribadi sebelum menempuh jalur hukum, baiknya adukan dulu keluhan yang
dialami ke lembaga perlindungan konsumen (BPKN) agar mendapat saran yang lebih tepat atas
penyelesaian masalah

Narasi kasus
● Pertama berdiri resto A.G.S
● Seletah perceraian berdiri resto N.S
● Masuk pengadilan
● Resto AGS vs N.S (produk sama, nama berbeda, logo berbeda)
● Keputusan pengadilan ( N.S tidak bersalah)
Yang menjadi permasalahan disini adalah penggunaan nama SUHARTI pada 2 usaha ayam goreng yang
berbeda. Sedkit infoirmasi perihal kasus tersebut sebelumnya usaha pasangan suami istri tersebut
baik-baik saja sampai akhirnya suaminya berselingkuh dan mereka berpisah. Malangnya bagi ibu Suharti
semua usaha menjadi hak milik suaminya.
● Suaminya menggunakan merk N.S dengan logo ayam
● Istrinya menggunakan merk A.G.S dengan logo wajahnya sendiri.
Jika suatu ide diwujudkan dalam bentuk nyata selama pernikahan sehingga menjadi kekayaan
intelektual, maka merujuk pada Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, kekayaan intelektual tersebut menjadi
harta bersama dari kedua suami dan istri. setelah perceraian, pasangan suami istri tersebut diputus oleh
pengadilan dapat mempergunakan merek yang sama untuk usaha rumah makan ayam goreng mereka,
yang dalam perjalanannya kemudian para pihak membedakan dengan nama SUHARTI untuk rumah
makan milik istri, dan NY. SUHARTI untuk rumah makan milik suami.
Bisnis dan pajak tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Di mana ada potensi keuntungan ekonomis,
di situ biasanya akan ada kegiatan bisnis. Di mana pun ada bisnis di situ ada pajak yang mewakili
kepentingan negara.

Semua kegiatan berbisnis tidak akan luput dari kewajiban pajak. Untuk penyerahan barang dan atau jasa
yang dilakukan akan ada kewajiban memungut, menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN). Untuk itu terdapat berbagai kewajiban administratif yang harus dijalankan seperti membuat Faktur
Pajak, mengisi Surat Setoran Pajak (SSP) kemudian menyetorkannya ke kas negara melalui bank
persepsi atau kantor pos dan mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dan kemudian melaporkannya ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di mana pengusaha tersebut terdaftar. Bila dalam menjalankan bisnisnya
diperoleh keuntungan, maka yang bersangkutan harus membayar Pajak Penghasilan (PPh). Belum lagi
kewajiban memotong atau memungut PPh atas penghasilan pihak lain melalui mekanisme withholding
tax.

Contoh sederhana yang pernah saya temukan saat saya masih bekerja di BSD disalah satu
FOODCOURT disana. Terkadang saya melihat petugas pajak menempelkan sticker besar ke restoran
yang menunggak pajak reklame dan itu mengganggu pemandangan tampak depan dari restoran terkait.
Alhasil calon konsumen lebih selektif dalam memilih tempat. Mungkin yang semula ingin makan di tempat
tersebut karena melihat sticker besar tersebut maka mengubah tujuannya ke tempat lain yang
menurutnya mempunyai tampak depan yang lebih baik. Demikian paparan pengalaman pribadi dari saya
PENGANTAR

Biasanya utang piutang selalu dilakukan dengan perjanjian agar para pihak di dalamnya terikat
secara hukum. Dalam KUHPerdata, utang piutang dapat dilakukan dengan perjanjian pinjam
meminjam. Pasal 1754 KUHPerdata menyebutkan bahwa jika itu adalah pinjam-meminjam maka
perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu
barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan
ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.

diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa si berutang dinyatakan lalai/cidera
janji apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis (somasi) atau berdasarkan
dari perikatannya sendiri dianggap lalai karena telah lewat dari waktu yang ditentukan.

Jika ada sengeketa perihal piutang tentu terlebih lagi dengan jelas melanggar perjanjian jual beli
(yang berkekuatan hukum) yang telah disepakati bersama. Maka jelaslah sudah bahwa kasus ini
bisa di lanjutkan ke pengadilan. Pengadilan yang saya maksud disini adalah PENGADILAN NIAGA.
Kenapa harus niaga? Karena sesuai dengan fungsinya pengadilan niaga yaitu

● Pengadilan khusus yang berada di lingkungan pengadilan umum yang mempunyai


kompetensi untuk memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan
kewajiban pembayaran utang.

Tentu ada, mengutip dari tanggapan Dr. Wirawan, CPA dalam diskusi kelas sesi 13. “Penyelesaian
terbaik melalui mediasi, arbitrase ( penyelesaian diluar pengadilan ) karena lebih cepat.lebih efisien
baik dari sisi waktu dan biaya”

Sepakat dengan pernyataan Dr. Wirawan, CPA diatas, Jika ingin menghindari biaya pengadilan yang
relatif mahal dalam penyelesaian sengekta ini. Maka saya juga menyarankan melalui proses Non Litigasi.
Apa yang dimaksud dengan penyelesaian non litigasi Penyelesaian melalui non litigasi ialah penyelesaian
sengketa yang dilakukan menggunakan cara-cara yang ada di luar pengadilan atau menggunakan
lembaga alternatif penyelesaian sengketa. Di Indonesia, penyelesaian non litigasi ada dua macam, yakni
● Arbitrase dan
● Alternatif Penyelesaian Sengketa
Bagaimana para pihak dapat menyelesaikan sengketanya pada lembaga arbitrase? Penyelesaian
sengketa melalui lembaga arbitrase harus terlebih didahului dengan kesepakatan para pihak secara
tertulis untuk melakukan penyelesaian menggunakan lembaga arbitrase. Jika Para pihak tidak bisa
mencapai mufakat dengan jalan mediasi, maka selanjutnya harus menyepakati dan mengikat diri terlebih
dahulu untuk menyelesaikan perselisihan yang akan terjadi oleh arbitrase sebelum terjadi perselisihan
yang nyata dengan menambahkan klausul pada perjanjian pokok. Namun apabila para pihak belum
memasukkannya pada kkalusul perjanjian pokok, para pihak dapat melakukan kesepakatan apabila
sengketa telah terjadi dengan menggunakan akta kompromis yang ditandatangani kedua belah pihak dan
disaksikan oleh Notaris.
Penyelesaian sengketa dengan menggunkan lembaga arbitrase akan menghasilkan Putusan Arbitrase.
Menurut undang-undang nomor 30 tahun 1999, arbiter atau majelis arbitrase untuk segera menjatuhkan
putusan arbitrase selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak selesainya pemeriksaan sengketa oleh
arbiter. Jika didalam putusan yang dijatuhkan tersebut terdapat kesalahan administratif, para pihak dalam
waktu 14 hari terhitung sejak putusan dijatuhkan diberikan hak untuk meminta dilakukannya koreksi atas
putusan tersebut. Putusan arbitrase merupakan putusan pada tingkat akhir ( final ) dan langsung
mengikat para pihak. Putusan arbitrase dapat dilaksanakan setelah putusan tersebut didaftarkan arbiter
atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri. Setelah didaftarkan, ketua pengadilan negeri diberikan
waktu 30 hari untuk memberikan perintah pelaksanaan putusan arbitrase.

Terima kasih Pak Wirawan atas bimbingan di semester 2 dan semester 3 ini, semoga bapak selalu dalam
sehat dan kita bisa berjumpa lagi di kesempatan selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai