Anda di halaman 1dari 6

2.

Sengketa Bisnis
 Pengertian Sengketa

Menurut Maxwell J. Fulton “a commercial disputes is one which arises during the course of
the exchange or transaction process is central to market economy”. Dalam kamus bahasa
Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik berarti adanya oposisi, atau
pertentangan antara kelompok atau organisasi terhadap satu objek permasalahan. 

Menurut Winardi, Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau
kelompok – kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu
objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dengan yang lain.           

Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang
berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat
menimbulkan akibat hukum antara keduanya. Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa
Sengketa adalah perilaku pertentangan antara kedua orang atua lembaga atau lebih yang
menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberikan sanksi hukum bagi salah
satu diantara keduanya.

Dari pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa Sengketa adalah perilaku pertentangan antara
kedua orang atau lembaga atau lebih yang menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya
dapat diberikan sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya.

Pertumbuhan ekonomi yang pesat dan kompleks melahirkan berbagai macam bentuk kerja
sama bisnis. Mengingat kegiatan bisnis yang semakin meningkat, maka tidak mungkin
dihindari terjadinya sengketa diantara para pihak yang terlibat.

Sengketa muncul dikarenakan berbagai alasan dna masalah yang melatar belakanginya,
terutama karena adanya conflict of interest diantara para pihak. Sengketa yang timbul
diantara para pihak yang terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan
dinamakan sengketa bisnis.

 Cara penyelesaian sengketa bisnis


Penyelesaian sengketa bisnis kebanyakan dilaksanakan menggunakan cara litigasi atau
penyelesaian sengketa melalui proses persidangan. Penyelesaian sengketa tersebut diawali
dengan pengajuan gugatan kepada pengadilan negeri dan diakhiri dengan putusan hakim.

 Pasal tentang penyelesaian sengketa bisnis


Menurut Undang-undang nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, pada pasal 1 angka 10, alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi, atau
penilaian ahli.
Menurut UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (UU Arbitrase) yang artinya adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Berdasarkan definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa arbitrase merupakan salah satu alternatif forum
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih oleh para pihak berdasarkan perjanjian.
Ketentuan ini berlaku bahwa pengadilan negeri tidak berwenang menyelesaikan masalah jika
kedua pihak menyepakati penyelesaian sengketa bisnis melalui jalur perdamaian. Undang-
Undang Nomor 30 tahun 1999 pasal 4 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa
menyatakan bahwa:
“Pengadilan Negeri tidak berwenang menyelesaikan sengketa para pihak yang telah terikat
di dalam perjanjian arbitrase, dan putusan arbitrase adalah final, artinya tidak dapat
dilakukan banding, peninjauan kembali atau kasasi, serta putusannya berkekuatan hukum
tetap bagi para pihak.”
Memilih jalur perdamaian diandaikan juga bahwa pihak pesengketa mengetahui dan
memahami aturan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini membantu agar
proses penyelesaian sengketa bisnis tetap berlandaskan ketentuan hukum, meskipun cara
yang dipakai adalah non-litigasi (arbitrase).
Jenis penyelesaian sengketa bisnis yang dapat dipakai dengan pendekatan arbitrase adalah
hanyalah yang menyangkut dengan perdagangan. Mengenai ini, dijelaskan lebih lengkap
berdasarkan ketentuan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa:
“Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui
arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat
diadakan perdamaian.”
 Contoh kasus
Indonesia harus menghadapi kemungkinan mendapat sanksi dari World Trade
Organization (WTO) sebesar US$350 juta atau sekitar Rp5 triliun atas permintaan Amerika
Serikat (AS).

Kejadian ini bermula ketika pemerintah menerapkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 86
Tahun 2013 tentang Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH). Di dalam ketentuan
itu, terdapat beberapa kebijakan baru, di antaranya pemerintah membatasi periode
permohonan dan masa berlaku persetujuan impor produk hortikultura dua kali dalam setahun
hingga pelarangan impor produk hortikultura pada masa panen.

Tak berhenti sampai situ, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan
Nomor 16 Tahun 2013 yang mempertegas bahwa realisasi impor hortikultura minimal 80
persen, ada pembatasan mengenai distribusi produk hortikultura impor, dan menggunakan
referensi harga cabai dan bawang merah untuk konsumsi.

Hanya saja, ketentuan yang ada di dalam dua beleid itu mengundang ketidakpuasan dari
negara mitra impor Indonesia.

Pada 8 Mei 2014, Selandia Baru ternyata meminta konsultasi dengan Indonesia terkait aturan
impor hortikultura dan produk hewani yang dianggap melanggar empat komponen penting
perjanjian perdagangan internasional. Namun, AS tiba-tiba ikut meminta konsultasi pada 20
Mei 2014 dan diikuti dengan Thailand, Uni Eropa, Australia, Kanada, dan Taiwan.

Kemudian di tanggal 18 Maret 2015, hanya Selandia Baru dan Amerika Serikat yang
meminta pembentukan panel untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sebelum meminta
pembentukan panel, kedua negara mengadu bahwa 18 ketentuan importasi Indonesia tidak
konsisten dengan Article XI:1 General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994)
dan Article 4.2 of the Agreement on Agriculture.

Namun setelah itu, Indonesia membela diri dengan mengatakan bahwa seluruh beleid itu
tidak bertentangan dengan ketentuan perdagangan internasional. Aturan-aturan itu
dibutuhkan Indonesia untuk menjamin kualitas produk halal dan kesehatan masyarakat sesuai
dengan Article XX dari GATT 1994. Di samping itu, Indonesia juga membatasi produk
impor itu dengan alasan untuk melindungi surplus dari produksi pertanian domestik.

Malangnya, pada 22 Desember 2016, panel WTO yang menyelesaikan sengketa tersebut
tetap menganggap bahwa 18 aturan impor Indonesia tetap tidak sesuai dengan Article XI:1
GATT 1994. Sebab, Indonesia tidak bisa membuktikan secara lebih jauh, bahwa pembatasan
itu benar-benar berdampak pada kualitas produk halal serta keamanan pangan yang diimpor.

Tapi, pemerintah tak serta merta menyerah. Pada 17 Februari 2017, Indonesia mengajukan
banding kepada badan penyelesaian sengketa WTO terkait potensi misinterpretasi aturan-
aturan perdagangan internasional yang dimaksud.

Karena kompleksnya sengketa yang dihadapi Indonesia dan dua negara tersebut, maka badan
pengkaji sengketa tidak bisa menyimpulkan putusan dalam waktu 60 hari, bahkan 90 hari
usai pengajuan banding sesuai ketentuan yang berlaku di WTO. Namun, kesimpulan tersebut
akhirnya didapat pada 9 November 2017.

Kembali lagi, Indonesia mengalami kekalahan dalam banding tersebut. Sehingga, mau tak
mau Indonesia harus mematuhi keputusan badan penyelesaian sengketa WTO untuk
mengubah ketentuan importasinya.

Pada 11 Januari 2018, Indonesia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat melaporkan badan
penyelesaian sengketa WTO bahwa Indonesia diberi tenggat waktu untuk mengubah
ketentuan yang dimaksud. Adapun, tenggat yang dimaksud adalah 22 Juli 2018. Namun, pada
14 Juni silam, Indonesia mengatakan butuh waktu delapan bulan untuk merevisi seluruh
peraturan yang ditetapkan.

Belum selesai waktu pemerintah untuk merevisi peraturan yang dimaksud, AS sudah
melancarkan serangan baru. Kali ini, ia meminta WTO untuk menjatuhkan sanksi US$350
juta karena tidak memenuhi tenggat yang ditetapkan. 

3. Kebangkrutan
 Pengertian Kebangkrutan
Kebangkrutan adalah suatu kondisi disaat perusahaan mengalami ketidakcukupan dana untuk
menjalankan usahanya atau dapat diartikan juga kebangkrutan sebagai kegagalan perusahaan
dalam menjalankan operasi perusahaan untuk menghasilkan laba.
 Ciri-ciri perusahaan yang akan bangkrut
Apapun yang menjadi penyebab usaha bangkrut tersebut sebenarnya masih dapat di antisipasi
dan di cari sebuah penanganan atau jalan keluar terbaik daripada harus langsung gulung tikar.
Karena jika anda menyadari ciri-ciri perusahaan akan bangkrut sedari awal, tentunya akan
lebih mudah dalam mencari beraga solusi jalan keluar. Walaupun anda menemukan ciri-ciri
tersebut di dalam perusahaan anda, bukan berarti anda bisa berpangku tangan dan menyerah
begitu saja. Carilah beberapa alternatif lain yang bisa mengatasi masalah anda. Berikut kami
rangkum ciri-ciri perusahaan anda akan mengalami kebangkrutan tersebut:
1. Menurunnya penjualan
Pertanda utama yang paling jelas adalah menurunnya penjualan, atau pemasukan
perusahaan. Ini bisa sekali terlihat oleh karyawan dari bagian mana pun. Penjualan
yang tersendat akan menghasilkan cash flow yang rendah. Tak perlu menjadi
karyawan bagian keuangan atau finance untuk bisa melihat tanda pertama ini.
Misalnya, karyawan bagian purchase atau produksi, saat permintaan dana untuk
melaksanakan proses produksi selalu mengalami kesulitan dan makin sulit saja, maka
itu sudah menjadi pertanda ada yang tak beres dengan cash flow perusahaan.
2. Hak karyawan mulai dikurangi
Tanda lain perusahaan akan bangkrut adalah saat hak-hak karyawan mulai dikurangi.
Misalnya saja, sebelumnya ada tunjangan makan atau tunjangan transport. Kemudian
secara mendadak, ada pengurangan nominal tunjangan, atau malah dihilangkan. Bisa
juga ada penundaan pembayaran hak karyawan, atau bahkan keterlambatan
pembayaran gaji. Kalau sudah begini, ada baiknya juga kita berinisiatif untuk
melakukan komunikasi dengan pihak perusahaan, mengenai penyebab keterlambatan
gaji atau pemotongan hak kita sebagai karyawan ini. Mungkin bisa juga ditawarkan
solusi-solusi yang bisa meringankan beban kedua belah pihak.
3. Bergantinya jajaran manajemen secara mendadak
Pergantian jajaran manajerial secara mendadak juga bisa menjadi salah satu ciri
perusahaan akan bangkrut, apalagi jika jabatan-jabatan yang diganti adalah jabatan
penting dalam struktur organisasi perusahaan. Pergantian jabatan–termasuk jika ada
rekrutmen baru untuk jabatan dan posisi-posisi penting–biasanya merupakan salah
satu tindakan antisipasi “penyelamatan kapal yang hendak tenggelam”. Biasanya
diharapkan, dengan manajemen yang baru di bawah pimpinan orang baru yang
dianggap lebih ahli, maka perusahaan akan bisa diperbaiki dan akhirnya
terselamatkan.
4. Banyak kebijakan berubah secara mendadak
Tak hanya jajaran manajer yang berubah dan berganti, banyak kebijakan juga akan
berubah, disesuaikan dengan kondisi darurat, juga menjadi pertanda perusahaan akan
bangkrut. ang paling jelas biasanya bisa dilihat pada penganggaran. Perusahaan yang
akan bangkrut biasanya melakukan pengetatan pengeluaran, memangkas biaya-biaya
yang dianggap tak perlu atau kurang efisien.
5. Pindah ke kantor yang lebih kecil
Ciri lain yang bisa mudah terlihat kalau perusahaan akan bangkrut adalah ketika harus
pindah ke bangunan atau ruang kantor yang lebih kecil dibandingkan yang lama.
Apalagi jika kantor masih menyewa tempat, bukan milik sendiri. Pindah kantor ke
bangunan atau ruangan yang lebih kecil atau lebih minimalis memang bisa
memangkas biaya di beberapa aspek, salah satunya biaya sewa. Ini juga merupakan
salah satu upaya perusahaan untuk menstabilkan kembali keuangan yang mungkin
sekarang sedang dalam kondisi sulit.

 Faktor penyebab kebangkrutan sebuah perusahaan


Terdapat tiga faktor penyebab kebangkrutan atau kegagalan perusahaan yaitu (Sartono,
1994):

1. Perusahaan yang menghadapi technically insolvent, jika perusahaan tidak dapat


memenuhi kewajibannya yang segera jatuh tempo tetapi asset perusahaan nilainya
lebih tinggi daripada hutangnya. 
2. Perusahaan yang menghadapi legally insolvent, jika nilai asset perusahaan lebih
rendah daripada nilai utang perusahaan. 
3. Perusahaan yang menghadapi kebangkrutan yaitu jika tidak dapat membayar
utangnya dan oleh pengadilan dinyatakan pailit.

Secara umum faktor-faktor penyebab kebangkrutan dijelaskan sebagai berikut (Reny,


2011:28):

1. Faktor Ekonomi. Faktor-faktor penyebab kebangkrutan dari sektor ekonomi adalah


gejala inflasi dan deflasi dalam harga barang dan jasa, kebijakan keuangan, suku
bunga dan devaluasi uang dalam hubungannya dengan uang asing serta neraca
pembayaran, surplus dalam hubungannya dengan perdagangan luar negeri. 
2. Faktor Sosial. Faktor sosial yang sangat berpengaruh terhadap kebangkrutan
cenderung pada perubahan gaya hidup masyarakat yang mempengaruhi permintaan
terhadap produk dan jasa ataupun cara perusahaan berhubungan dengan karyawan. 
3. Faktor Teknologi. Penggunaan teknologi informasi juga menyebabkan biaya yang
ditanggung perusahaan membengkak terutama untuk pemeliharaan dan implementasi
yang tidak terencana, sistemnya tidak terpadu dan para manajer pengguna kurang
profesional. 
4. Faktor Pemerintah. Kebijakan pemerintah terhadap pencabutan subsidi pada
perusahaan dan industri, pengenaan tarif ekspor dan impor barang yang berubah,
kebijakan undang-undang baru bagi perbankan atau tenaga kerja dan lain-lain. 
5. Faktor Pelanggan. Perusahaan harus mengidentifikasi sifat konsumen, untuk
menghindari kehilangan konsumen, juga untuk menciptakan peluang, menemukan
konsumen baru dan menghindari menurunnya hasil penjualan dan mencegah
konsumen berpaling ke pesaing. 
6. Faktor Pemasok. Perusahaan dan pemasok harus tetap bekerjasama dengan baik
karena kekuatan pemasok untuk menaikkan harga dan mengurangi keuntungan
pembelinya tergantung pada seberapa besar pemasok ini berhubungan dengan
perdagangan bebas. 
7. Faktor Pesaing. Perusahaan juga jangan melupakan persaingan karena kalau produk
pesaing lebih diterima di masyarakat, maka perusahaan akan kehilangan konsumen
dan hal tersebut akan berakibat menurunnya pendapatan perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai