Anda di halaman 1dari 6

Nama : Aditia Karsa Ginting

NPM : 18400066
No UAS- 40-00210
Kelas : Reguler VII C Hukum Bisnis / Sore

UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA


UJIAN AKHIR SEMESTER

Mata Kuliah : Hukum Persaingan Usaha &


Perlindungan Konsumen
Semester : VII C Hukum Bisnis
Hari/Tanggal : Senin, 17 Januari 2022
Jam : 19.00 – 21.15 WIB
Dosen : Sri Menda Sinulingga, SH.,MH.

SOAL dan Jawaban :

1.Hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha lebih sering dilakukan secara
lisan (perjanjian lisan). Apakah hal tersebut tidak dilarang dalam ketentuan hukum
perdata ? Dan sebutkan pula apa yang menjadi objek hubungan hukum amtara konsumen
dan pelaku usaha, serta pengaturan pasalnya !

Jawab : Hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha lebih sering dilakukan secara lisan (perjanjian lisan),
hal ini tidak dilarang dalam ketentuan perdata karena :Berdasarkan ketentuan mengenai syarat sahnya suatu
perjanjian tersebut, tidak ada satupun syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang mengharuskan suatu perjanjian
dibuat secara tertulis. Dengan kata lain, suatu Perjanjian yang dibuat secara lisan juga mengikat secara hukum bagi
para pihak yang membuatnya Pasal 1338 KUH Perdata.: jika suatu perjanjian dilakukan secara lisan, maka akan
sulit dijadikan bukti jika suatu hari terjadi wanprestasi. Yang menjadi objek hubungan hukum antara konsumen dan
pelaku usaha yaitu : adanya hubungan pertanggung jawaban pelaku usaha kepada konsumen akibat barang/jasa yang
diproduksinya serta adanya hubungan perlindungan antara hak-hak dan kewajiabn konsumen dan pelaku usaha
dalam menjalankan hukum perlindungan konsumen secara optimisme:Alasan pokok terjadinya hubungan hukum
perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha yaitu kebutuhan akan barang dan atau jasa tertentu. Pelaksanaannya
senantiasa harus menjaga mutu suatu produk agar konsumen dapat menikmati penggunaan, pemanfaatan, dan
pemakaian barang dan atau jasa tersebut secara layak. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur hak dan kewajiban pelaku usaha.
2. Tuntutan ganti rugi konsumen terhadap pelaku usaha dapat terjadi karena dua hal.
Sebutkan dan jelaskan pula perbedaan signifikan antara kedua hal tersebut !

Jawab : Secara garis besar ada 2 kategori tuntutan ganti kerugian atas kerugian yang dialamioleh konsumen, yaitu
:a.Tuntutan berdasarkan Wanprestasi Berdasarkan wanprestasi. Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik
apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak
yangdirugikan. Tetapi ada kalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.

b.Tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad ) diatur dalam
ps. 1365 sampai dengan ps.1380 KUHPer. Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada
orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk menggantikerugian (ps. 1365 KUHPer).Perbedaan Signifikan
antara kedua hal yang menyebabkan Tuntutan ganti rugi konsumen kepada pelaku usaha yaitu : Tuntutan
berdasarkan Wanprestasi = terjadi karena pihak pelaku usaha tidak memenuhi hak dan kewajibannya (wanprestasi)
.- Tuntutan berdasarkan perbuatan melanggar hukum = terjadi karena adanya kerugian yang diterima atau terjadi
pada konsumen, sehingga konsumen meminta pertanggungjawaban untuk mengganti kerugian.

3. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah lembaga yang menyelesaikan


sengketa antara pelaku usaha dan konsumen diluar peradilan umum. Jelaskan
penyelesaian sengketa tersebut melalui tahapan apa saja!

Jawab : Alur penyelesaian sengketa konsumen dengan pelaku usaha—baik publik maupun privat—diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini disebutkan bahwa, penuntasan masalah
konsumen memiliki kekhasan. Pasalnya, pihak yang bersengketa bisa memilih beberapa lingkungan peradilan.
Lingkungan peradilan tersebut meliputi, penyelesaian di pengadilan dan luar pengadilan. Hal itu sesuai dengan Pasal
45 Ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang menyatakan bahwa penyelesaian perkara bisa
dilakukan melalui cara-cara berikut ini.

- Cara damai. Jalan damai untuk menyelesaikan sengketa konsumen tidak melibatkan BPSK ataupun pengadilan.
Antara konsumen dan pelaku usaha menuntaskannya secara kekeluargaan. Pun penyelesaiannya terlepas dari aturan
Pasal 1851-1864 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Di dalam pasal tersebut terdapat aturan syarat-syarat,
kekuatan hukum, serta perdamaian yang mengikat (dading).

- Cara menyelesaikan sengketa lewat pengadilan. Konsumen juga bisa memilih penyelesaian lewat pengadilan.
Upaya ini wajib mengikuti aturan-aturan di peradilan umum. Pun segala keputusannya berada di tangan majelis
yang menangani sengketa konsumen dan pelaku usaha.

- Penyelesaian perkara lewat BPSK. Cara ketiga adalah lewat BPSK. Berikut alur penyelesaian sengketa melalui
BPSK.

o Tahap Pertama—Pengajuan Gugatan

Pengajuan gugatan sebagaimana dijelaskan sebelumnya dapat dilakukan oleh konsumen atau sekelompok
konsumen. Permohonan tersebut diajukan ke BPSK terdekat dari tempat tinggal penggugat. Lokasi BPSK
biasanya di ibu kota kabupaten atau kotamadya. Jika konsumen tidak bisa mengajukan permohonan sendiri,
ia diperkenankan mengirim kuasanya. Begitu pula ketika penggugat meninggal dunia, sakit, atau lanjut
usia, pengaduan dapat dilakukan oleh ahli waris yang bersangkutan. Cara mengajukan permohonan gugatan
tersebut boleh secara lisan maupun tertulis. Asalkan semua itu memenuhi syarat undang-undang. Setelah
menentukan perwakilan, selanjutnya permohonan tertulis dikirimkan atau diserahkan ke sekretariat BPSK.
Sebagai bukti telah menerima, biasanya BPSK memberikan tanda terima tertulis. Sementara itu, khusus
permohonan lisan, sekretariat akan mencatat pengajuan penggugat di sebuah formulir. Di formulir itu
nantinya ada tanggal dan nomor pendaftaran. Lalu, bagaimana jika berkas permohonan tidak lengkap atau
keluar dari aturan Kemenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001? Dalam kasus ini, BPSK berhak menolak
pengajuan permohonan. Hal itu pun dilakukan ketika permohonan yang diajukan bukan wewenang BPSK.
Sebaliknya, kalau permohonan memenuhi kriteria, BPSK wajib memanggil tergugat (pelaku usaha).
Pemanggilan tersebut berupa surat tertulis yang dilampiri gugatan dari konsumen. Proses pemanggilan ini
berlangsung paling lama 3 hari sejak berkas pemohon masuk dan disetujui BPSK.

o Tahap Kedua Pemilihan Metode Penyelesaian Sengketa Konsumen Tahap berikutnya setelah tergugat
memenuhi panggilan kedua belah pihak menentukan metode penyelesaian perkara. Metode tersebut harus
disepakati keduanya. Berikut ini metode yang bisa dipilih.
- Mediasi. Proses ini digunakan untuk menyelesaikan sengketa konsumen di pengadilan melalui BPSK.
Fungsi BPSK hanya sebagai penasihat. Sementara penyelesaian masalah diserahkan kepada pihak yang
bersengketa.
- Konsiliasi. Metode konsiliasi digunakan dalam penuntasan masalah konsumen di luar pengadilan. Majelis
bertugas untuk mendamaikan pihak yang bersengketa. Namun, majelis hanya sebagai konsiliator (pasif).
Sementara itu, hasil putusan diserahkan kepada pihak penggugat dan tergugat.
- Arbitrase. Pada metode arbitrase, para majelis berlaku aktif dalam menyelesaikan perkara pihak yang
bersengketa. Khusus arbitrase, penyelesaian masalah dilakukan melalui pengadilan negeri dan kasasi
Mahkamah Agung. Karena itu, putusan akhir berada di tangan MA—pengaduan dianggap selesai di tahap
ini.
o Tahap Ketiga Putusan Sengketa Konsumen dan Pelaku Usaha
Putusan yang ditetapkan oleh majelis BPSK terdiri dari dua jenis berikut ini.
- Putusan BPSK untuk metode penyelesaian dengan konsoliasi dan mediasi. Putusan ini berisi perjanjian
damai tanpa disertai sanksi administratif. Perjanjian tersebut disepakati dan ditandatangani pihak yang
bersengketa.
- Putusan BPSK untuk metode arbitrase. Berbeda dengan konsiliasi dan mediasi, arbitrase memuat putusan
perkara perdata. Setiap putusan memuat duduk perkara disertai pertimbangan hukum.
Meski tiap jenis putusan berbeda hasil, BPSK harus mendahulukan musyawarah untuk mencapai mufakat.
Jika mufakat tak kunjung tercapai, langkah selanjutnya adalah mengambil suara terbanyak. Itu pun mesti
didasarkan pada kesepakatan pihak yang bersengketa. Putusan yang didapatkan minimal harus membuat
efek jera bagi pelaku usaha sehingga mau bertanggung jawab atas kerugian konsumen. Pun bersedia
mengganti rugi akibat pencemaran barang yang diperdagangkan. Aturan ini juga berlaku untuk produk
berupa jasa pelayanan.

4.Putusan BPSK bersifat “final dan mengikat” kemudian terdapat pula upaya upaya
keberatan dan dapat mengajukan banding dan kasasi. Jelaskan dalam pasal berapa hal
tersebut diatur? Dan bagaimana kesimpulan dan saran saudara seandainya skripsi
saudara terkait hal diatas.

Jawab : Menurut ketentuan Pasal 54 ayat 3 UUPK yang disebutkan bahwa Putusan BPSK sebagai hasil dan
penyelesaian sengketa konsumen secara mediasi atau arbitrase atau konsiliasi bersifat final dan mengikat.
Pengertian final berarti bahwa penyelesaian sengketa telah selesai dan berakhir. Sedangkan kata mengikat
mengandung arti memaksa dan sebagai sesuatu yang harus dijalankan oleh pihak yang diwajibkan untuk itu. Prinsip,
res judicata pro veritate hebetur, menyatakan bahwa suatu putusan yang tidak mungkin lagi untuk dilakukan upaya
hukum, dinyatakan sebagai putusan yang mempunyai kekuatan hukum pasti, namun jika pasal tersebut dihubungkan
dengan Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 Ayat (2) UUPK menyatakan bahwa terhadap putusan BPSK yang
menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha dapat diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri,
dan terhadap putusan Pengadilan tersebut dapat diajukan Kasasi kepada Mahkamah Agung. Hal ini bertentangan
dengan pengertian putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat tersebut, sehingga dengan demikian ketentuan
pasal-pasal tersebut saling kontradiktif.

Bagaimana jika hal tersebut menjadi bahan skripsi. Saya pribadi tertarik dengan hal diatas bahwasan Dalam
pelaksanaannya Pasal 56 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) UUPK ini menimbulkan dampak yang mengganggu
eksistensi BPSK dalam upaya memberikan perlindungan kepada konsumen, antara lain kesan negatif konsumen
terhadap keberadaan lembaga BPSK, jika akhirnya ke pengadilan juga. Pelaku usaha yang tidak puas terhadap
BPSK cenderung melanjutkan perkaranya ke Pengadilan, bahkan apabila perlu hingga ke Mahkamah Agung,
sehingga keberadaan BPSK 6 sebagai lembaga small claim court yang menyelesaikan sengketa konsumen secara
cepat, tidak formal dan biaya murah tidak tercapai. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen belum dapat
mencerminkan bentuk penyelesaian sengketa yang bersifat sederhana, murah dan cepat sehingga upaya penegakan
hak konsumen tidak optimal. Ketiga selain itu berkenan dengan penyelesaian sengketa konsumen yang disediakan
Undang-Undang Perlindungan Konsumen melalui Arbitrase telah memunculkan permasalahan baru berkenaan
dengan kontradiksi mengenai sikap pengadilan negeri menyikapi pengajuan keberatan terhadap putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen yang notabene merupakan putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat.

Saran, kalau menurut pribadi saya Harus dilakukan amandemen terhadap Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Hal ini dikarenakan karena dalam kedua undang-undang tersebut telah dicantumkan
secara jelas bahwa pengajuan keberatan diajukan ke Pengadilan Negeri (vide Pasal 58 UU No. 8 tahun 1999). Jika
upaya amandemen tersebut memang menjadi langkah yang akan dilakukan oleh Mahkamah Agung ke depan maka
dapat diikut sertakan pula untuk diubah yaitu waktu pemeriksaan dan penjatuhan putusan pada acara keberatan ini.
Tenggang waktu 21 hari untuk perkara keberatan BPSK adalah waktu yang sangat luar biasa singkat. Harus diakui
akan sangat sulit bagi majelis hakim untuk dapat berkerja profesional dengan batasan waktu pemeriksaan yang
sesingkat itu, terlebih dengan menumpuknya perkara-perkara lain yang ada.

5. Jelaskan Ruang lingkup yang mengatur Hukum Perlindungan Konsumen.

Jawab : Ruang Lingkup Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang
mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang
dan/atau jasa) konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.

6. Jelaskan Hak dasar Konsumen dan Sebutkan peran YLKI

Jawab : Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan. Hak untuk
mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.

Tugas utama dari YLKI yaitu mem- berikan nasihat kepada konsumen yang memerlukan. Pemberian nasihat kepada
kon- sumen ini maksudnya adalah pemberian nasihat dari YLKI kepada konsumen yang memerlukan secara lisan
atau tertulis agar konsumen dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.

7. Sebutkan larangan yang harus dihindari oleh pelaku usaha!

Jawab : Menurut Undang-Undang nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,hal-hal yang dilarang
bagi pelaku usaha:

Pasal 8

(1) pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangankan barangdan/jasa yang;


a.tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan danketentuan peraturan perundang-
undangan;

b.tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto, dan jumlah dalam hitungansebagaimana yang dinyatakan
dalam label atau etiket barang tersebut;c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam
hitunganmenurut ukuran yang sebenarnya;d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau
kemanjuransebagaimana dinyatakan dalam label, etiket, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;e. tidak sesuai
dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atauketerangan barang dan/atau jasa tersebut;f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklanatau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;g. tidak mencantumkan
tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;h.tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam
label; i.tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat
nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan,
nama dan alamat pelaku usaha serta keteranganlain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat; j.tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa indonesia
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas,dan tercemar tanpa memberikan
informasi secara lengkap dan benar atas barangdimaksud.

(3)Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yangrusak, cacat atau bekas dan
tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasisecara lengkap dan benar.

(4)Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarangmemperdagangkan barang dan/atau
jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

8.Jual beli online semakin berkembang saat ini. Bagaimana pendapat saudara apabila
pihak pelaku usaha memberi barang yang tidak sesuai yang dipesan, bagaimana
perlindungan hukum bagi konsumen? berikan contoh kasus dan penyelesaiannya.

Jawab :
Contoh Kasus Saya pernah belanja barang secara online disalah satu ecomerce, tapi barang yang saya terima tidak
sama dengan yang saya lihat di foto pada iklan yang dipajang.

berdasarkan pada Pasal 8 ayat (1) huruf f UU 8/1999 melarang pelaku usaha untuk memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,
keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

Ketidaksesuaian spesifikasi barang yang diterima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang
merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.

selaku konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UU 8/1999 tersebut berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi
dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU 8/1999 berkewajiban memberi kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.

Apabila pelaku usaha melanggar larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan janji
yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut, maka ia
dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU 8/1999 yang berbunyi:

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat
(2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.

9. Menurut saudara apakah selama ini konsumen sudah terlindungi?

Jawab : Dengan menilik berbagai kasus yang telah atau sedang terjadi di Indonesia, bisa
dikatakan bahwa perlindungan konsumen di negara ini masih sangat rendah. Hal ini cukup
kontradiktif mengingat Indonesia telah memiliki kebijakan tentang perlindungan konsumen,
yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK).

Secara garis besar, UU PK telah membatasi peran antar pelaku usaha dan konsumen, serta
mengatur mengenai hak-hak yang dimiliki oleh konsumen. Ada beberapa poin penting dalam
UUPK, yang perlu diketahui oleh masyarakat umum, baik konsumen maupun pelaku usaha.

Pertama, mengenai hak dan kewajiban yang dimiliki oleh para pelaku usaha dan konsumen.
Kedua, mengenai sanksi pidana bagi pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen. UU PK
mengatur mengenai sanksi hukum pidana, seperti yang terdapat pada Pasal 62 ayat 1 dan ayat 2.

Ketiga, kasus persengketaan konsumen dan pelaku usaha yang bisa dibawa ke ranah pengadilan,
dengan perantara lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dengan
pelaku usaha (Pasal 45). Sebagai realisasinya, Pemerintah telah membentuk Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) di beberapa kota di Indonesia seperti yang diamanatkan oleh Pasal
49 UU PK.

Anda mungkin juga menyukai