Anda di halaman 1dari 24

Analisis Kasus dan Penyusunan Strategi Penyelesaian Sengketa

Konsumen
BAB I
PENDAHULUAN

A. KASUS
11 Februari 2023: Bangkalan Zaenal Abidin, SHI. MH. Dosen Fakultas Syari'ah UIN
KHAS Jember, Sekretaris DPW APSI Jawa Timur sekaligus Partner Kantor Hukum
Fatmah Isroil & Associates menyampaikan beberapa poin penting terkait TEKNIK
PENYELESAIAN PRAKTIK HUKUM KONSUMEN Pada Pendidikan Profesi
Advokat ( PPA) kelas V diselenggarakan oleh DPW Apsi Jatim bekerja sama dengan
fakultas Islam UNIVERSITAS TRUNOJOYO Madura.

Sumber:
https://kumparan.com/arwinah/zaenal-abidin-s-h-i-m-h-paparkan-teknik-penyelesaian-
sengketa-konsumen-1zrFj7SO46b

B. LATAR BELAKANG

Karena ekonomi telah berkembang di berbagai bidang, produsen telah


mengembangkan berbagai macam barang dan jasa untuk digunakan oleh masyarakat
umum sebagai konsumen di sektor komersial dan industri. Selain itu, di era pasar
bebas saat ini, globalisasi dan perdagangan dunia telah memperluas arus dan arus
transaksi barang dan/atau jasa untuk menjembatani perbedaan batas antara satu negara
dengan negara lain, sehingga barang atau jasa yang ditawarkan sangat bervariasi
(bervariasi), tidak hanya produksi dalam negeri tetapi juga produksi dalam negeri.
Pelanggan sangat diuntungkan karena kebutuhan mereka akan barang atau jasa
yang diinginkan dapat terpenuhi, dan hal ini secara tidak langsung meningkatkan
kebebasan mereka untuk memilih berbagai jenis dan tingkatan barang dan jasa yang
sesuai dengan preferensi, kebutuhan, dan kemampuan mereka.
Namun, tidak pernah dianggap bahwa, sebaliknya, keadaan dan peristiwa serupa
kadang-kadang menimbulkan keseimbangan antara produsen dan konsumen,
menempatkan konsumen pada posisi yang kurang menguntungkan dalam hubungan
hukum mereka. Konsumen dijadikan objek aktivitas perusahaan agar pelaku usaha
dapat memperoleh keuntungan sebesar-besarnya melalui pemasaran, penjualan, dan
penerapan praktik atau kesepakatan standar industri.
Pemerintah telah menetapkan kebijakan dan membuat undang-undang terkait
konsumen untuk melindungi konsumen dari skenario dan kondisi ini. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang
sering disebut dengan UUPK merupakan perangkat hukum yang digunakan oleh
pemerintah untuk melindungi konsumen. Sebenarnya sebagian besar pelanggan
mengalami kerugian, namun mereka seringkali memilih untuk tidak menggugat atau
mengungkapkan upaya untuk mengajukan tuntutan ganti rugi agar pelaku usaha dan
produsen terhindar dari masalah. Akibatnya, jika timbul ketidaksepakatan konsumen,
penyelesaiannya akan memakan banyak waktu, tenaga, dan uang selain melelahkan
secara fisik dan mental. Faktor lainnya adalah kebanyakan dari mereka kurang
memahami atau tahu caranya
Konsumen seringkali memiliki kekuatan negosiasi yang lemah di Indonesia. Hal
ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, terbatasnya sumber keuangan
nasabah; selain itu, tidak banyak pilihan produk yang tersedia bagi konsumen. Kedua,
kurangnya pemahaman konsumen tentang perlunya mempertahankan haknya di
pengadilan atau di media sosial. Ketiga, pemimpin bisnis dan pemerintah masih
sangat berkuasa saat ini akibat mengabaikan pelanggan.
Beragam teknik bisnis yang digunakan untuk melakukan berbagai tugas
terkadang berpotensi merugikan pelanggan dan membuat mereka tidak berdaya.
Konsumen menjadi semakin kuat dan tertekan. Persaingan yang intens antara pemain
perusahaan adalah pendorong utama praktik bisnis yang buruk, tetapi pelanggan
biasanya tidak menyadari hal ini dan akibatnya, mereka lebih rentan
terhadapnya.Perilaku pelaku usaha tersebut di atas makin mendominasi konsumen
sebagai pengguna produk, dimana tindakan tersebut merupakan suatu yang tidak
kondusif maka dari itu sebelu-mnya telah dikatakan bahwa dengan diberlaku-kannya
UUPK merupakan upaya dalam memberi-kan jaminan bagi para konsumen apabila
terjadi sengketa.
Konflik antara konsumen akhir yang merupakan penengah utama barang
dan/atau jasa, dan pelaku usaha sebagai akibat dari perilaku pelaku usaha yang tidak
menguntungkan, merupakan inti dari perselisihan konsumen. Biasanya,
ketidaksepakatan ini dapat diselesaikan melalui sistem hukum, tetapi pelanggan harus
memberikan bukti kesalahan pelaku korporasi, yang tidak selalu sederhana. Karena
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tidak mengatur, upaya tambahan pembuktian
terbalik akan dibatasi oleh landasan hukum yang akan diterapkan. Selain itu, hal ini
juga dimungkinkan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang dianggap
sebagai cara penyelesaian sengketa konsumen yang paling efektif, cepat, dan
terjangkau.
Berdasarkan ketentuan peraturan yang ada, product liability telah diatur pada
pasal-pasal didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang selanjutnya akan
disebut KUH Perdata seperti dalam Pasal 1322, 1473, 1474, 1491, 1504 sampai dengan
1511. KUH Perdata tidak meng- atur secara lebih khusus dan rinci seperti dalam
UUPK. Secara umum KUHPerdata mengatur mengenai tindakan perbuatan
melanggar hukum. Menurut KUHPerdata, jika ada seseorang yang melakukan
tindakan yang melanggar hukum, maka orang tersebut diwajibkan untuk mem-berikan
ganti kerugian terhadap orang yang diru-gikan. Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata
ada empat syarat suatu perbuatan dapat dimasukkan dalam kualifikasi perbuatan
melanggar hukum, sebagai berikut:
1) adanya perbuatan melanggar hukum; perbuatan melanggar hukum dapat berupa
melanggar hak orang lain, bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat,
berla- wanan dengan kesusilaan dan berlawanan dengan sikap hati-hati yang
seharusnya di- indahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda
orang lain.
2) Adanya kesalahan;
kesalahan ini mempunyai tiga unsur, yaitu:
a. perbuatan yang dilakukan dapat dise- salkan;
b. perbuatan tersebut dapat diduga akibat-nya: dalam arti objektif: sebagai
manusia normal dapat menduga akibatnya; dalam arti subjektif:
sebagai se- orang ahli dapat menduga akibat- nya’
c. dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan cakap.
3) adanya kerugian;
pengertian menurut Nieuwenhuis adalah berkurangnya harta kekayaan pihak
yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (mela- kukan atau membiarkan)
yang melanggar norma oleh pihak lain. Kerugian yang dide-rita seseorang
secara garis besar dapat dibagi atas dua bagian yaitu kerugian yang menim-pa
diri dan kerugian yang menimpa harta benda seseorang, sedangkan kerugian
harta benda sendiri dapat berupa kerugian nyata yang dialami serta
kehilangan yang diharapkan.
4) Ada hubungan sebab akibat antara kesalahan dan kerugian. Pemikiran ini
masuk akal karena hanya orang yang keliru yang mengganti kerugian korban.
Hal ini menunjukkan bahwa beban pembuktian ada pada pihak yang
mengaku memiliki hak, dalam hal ini penggugat, dan tidak jatuh pada orang
yang tidak bersalah untuk mengganti kerugian yang dialami oleh orang lain.
5) Keempat persyaratan tersebut harus dipenuhi karena semuanya bersifat
inklusif dan terikat satu sama lain. Dengan kata lain, jika salah satu
kebutuhan tidak terpenuhi, individu tersebut akan dapat menghindari
kesalahan. Beban pembuktian konsumen bahwa pelaku usaha melakukan
kesalahan seringkali menjadi persoalan. Hal ini sering menyulitkan
pelanggan karena kasus konsumen akan dihentikan jika konsumen tidak
dapat membuktikannya.

C.Tujuan Penulisan
1) Memahami dan menerapkan konsep dan prinsip penyelesaian sengketa konsumen
2) Meningkatkan kemampuan analisis dan penyelesaian masalah dalam konteks
hukum konsumen.
BAB II
PEMBAHASAN
(ANALISIS KASUS)

1. Pengertian Hukum Konsumen, Hukum Perlindungan Konsumen, Konsumen


dan Pelaku Usaha

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan perundang-


undangan lainnya yang materinya juga ada yang mengatur tentang perlindungan
konsumen tidak ada yang merumuskan tentang pengertian atau definisi tentang
hukum konsumen dan hukum perlin- dungan konsumen. Istilah hukum konsumen
dan hukum perlindungan konsumen sudah seringkali kita dengar, namun belum jelas
benar apa yang masuk ke dalam materi keduanya, apakah beda keduanya identik.7
Hukum perlindungan konsumen atau ka- dangkala dikenal juga dengan hukum
konsumen (consumers law). Menurut Lowe, secara umum hukum konsumen dan
hukum perlindungan kon- sumen yakni “…rule of law which recognize the bar- gaining
weakness of the individual cannot unfairly exploited”.9 Jadi sebenarnya hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit
dipisahkan (berkaitan satu sama lain) dan ditarik batasnya. Terhadap hal tersebut.
A.Z. Nasution dapat memberikan sekedar penjelasan, bahwa hukum perlindungan
konsumen merupakan bagian dari hukum kon-sumen yang memuat asas-asas,
kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan
konsumen, adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan
kaidah- kaidah hukum yang meng-atur hubungan dan masalah antara berbagai pihak
satu sama lain berkaitan dengan barang dan/ atau jasa konsumen, di dalam pergaulan
hidup.10 Dalam hubungannya dengan pendapat AZ Nasution Shidarta berpendapat,
seyogyanya dikatakan, hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek
hukum yang terdapat kepentingan konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum diarti-
kan sebagai asas dan norma, salah satu bagian dari hukum konsumen ini adalah aspek
perlindungan-nya, misalnya bagaimana cara mempertahankan hak-hak konsumen
terhadap gangguan pihak lain.
Namun apabila dihubungkan dengan penger-tian perlindungan konsumen yang
dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat 1 UUPK, menurut penuis tentang definisi hukum
perlindungan konsumen, selain yang dikemukakan oleh AZ Nasution. Dapat
didefinisikan bahwa hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan aturan
hukum yang mengatur segala cara yang dapat dilakukan untuk menjamin adanya
kepastian hukum dan memberi perlindungan kepada pihak konsumen.
Dalam suatu dunia bisnis ada hubungan hukum antara konssumen dan pelaku
usaha. isti- lah konsumen. Dalam masyarakat umum disama- kan dengan pembeli,
penyewa, nasabah (pene-rima kredit), pokoknya langganan dari peng-usaha. Definsi
konsumen diatur dalam UUPK Pasal 1 Angka 2, konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan
diri sen-diri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.
Secara yuridis formal pengertian pelaku usaha dirumuskan di dalam ketentuan
Pasal 1 Angka 3 UUPK. Menurut ketentuan pasal terse-but, pelaku usaha adalah setiap
orang- perse-orangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam
wilayah hukum Negara Republik Indonesia bail sendiri maupun bersama-sama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Dari uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa antara seorang konsumen dan
seorang pe-laku usaha ada sebuah hubungan hukum. Hukum mengatur hubungan
antara orang yang satu de-ngan yang lain, antara orang dengan masyarakat, antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Jadi antara orang yang satu
dengan orang yang lain dan seterusnya ada hubungan yang diatur oleh hukum.13
Hubungan yang diatur oleh hukum itu yang kita namakan hubungan hukum.14
Setiap hubungan hukum yang diciptakan oleh hukum selalu mempunyai dua segi
yang isi- nya di satu pihak adalah hak sedangkan dipihak lain adalah kewajiban. Tidak
ada hak tanpa kewa- jiban, sebaliknya tidak ada kewajiban tanpa hak.15

2. Perlindungan Hukum Bagi Konsumen


Dengan adanya Undang-undang Perlin- dungan Konsumen, maka seharusnya
telah ter- cipta kepastian hukum yang diberikan oleh peme- rintah kepada pihak
konsumen. Berbagai kasus hukum yang terjadi yang pada intinya dapat merugikan
konsumen telah diatur semaksimal mungkin dalam undang-undang tersebut agar
mampu memberikan perlindungan yang pasti bagi keberadaan konsumen di tengah
dunia per- dagangan sebagai penikmat ataupun pengguna barang dan/ atau jasa yang
diberikan oleh para pelaku usaha di bidangnya. Walaupun pada kenyataannya
mungkin masih terdapat kelemah-an atau kekurangan dalam pelaksanaannya atau-pun
penerapannya akan tetapi paling tidak, undang- undang perlindungan konsumen ini
dapat men- jadi dasar atau pedoman bagi para pembeli (kon- sumen). Dalam
membahas masalah perlindung-an konsumen juga tak lepas dari hak dan kewa-jiban
kedua pihak baik konsumen maupun pelaku usaha. Jika terjadi sengketa konsumen,
hak mana sebenarnya yang dilanggar atau kewajiban yang mana yang tak terlaksana
baik itu di pihak konsu- men maupun di pihak pelaku usaha.

a. Hak dan kewajiban konsumen


Organisasi konsumen sedunia, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) juga
merumuskan hak- hak konsumen dalam 5 (lima) hak dasar konsumen. Hak-hak
tersebut adalah:16
1. The rights to protection of health and safety;
2. The rights to protection of economic interest;
3. The rights of redress;
4. The rights to get information and education;
5. The rights to representation (the rights to be heard)
Di Indonesia telah ada peraturan yang mengatur mengenai hak-hak
konsumen. Dalam Pasal 4 UUPK yang termasuk hak-hak konsumen adalah
sebagai berikut:
a.) Hak atas kenyamanan, keamanan dan kese- lamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/ atau jasa;
b.) Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa ter-sebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c.) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa
d.) Hak untuk didengar pendapat dan keluhan- keluhan atas barang dan/atau jasa yang di-
gunakan;
e.) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlin- dungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f.) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendi-dikan konsumen;
g.) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i.) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan per- aturan perundang-undangan.

Menurut pendapat Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo secara umum dikenal
sepuluh macam hak konsumen yang meliputi:17
1. Hak atas keamanan dan keselamatan;
2. Hak untuk memperoleh informasi;
3. Hak untuk memilih;
4. Hak untuk didengar;
5. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
6. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
7. Hak untuk memperoleh pendidikan kon- sumen;
8. Hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
9. Hak untuk mendapatkan barang sesuai de- ngan nilai tukar yang diberikannya;
10. Hak untuk mendapatkan upaya penyelesai- an hukum yang patut.

Pada intinya dari seluruh hak-hak konsu- men yang dirumuskan dalam Pasal 4 UUPK
terdapat 1 (satu) hak yang tidak terakomodir da- lam 10 (sepuluh) hak yang dikemukakan
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo yaitu hak untuk diper- lakukan dan dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Sebaliknya Pasal 4 UUPK justru tidak
mencantumkan secara khusus menge- nai hak untuk memperoleh kebutuhan hidup dan hak
untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Akan tetapi hak tersebut dapat
dimasukkan pada hak lain yang diatur dalam per- aturan perundng-undangan lainnya
seperti yang dimaksud dalam Pasal 4 Huruf i UUPK.

B Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha


Hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 UUPK, yang menyebutkan yang menjadi
hak- hak dari pelaku usaha adalah sebagai berikut:
a. hak untuk menerima pembayaran yang se- suai dengan kesepakatan mengenai
kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepa- tutnya di dalam penyelesaian hukum
seng- keta konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila ter-bukti secara hukum bahwa kerugian
konsu-men tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan per- aturan perundang-undangan lainnya.

Begitupun kewajiban pelaku usaha juga di-atur secara tegas dalam Pasal 6
UUPK yaitu meli-puti:
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskrimi- natif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berda-sarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau
jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jamin- an dan/atau
garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian
akibat pengguna- an, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan
perjanjian.

c. Sengketa Konsumen
Jika berbicara mengenai perlindungan kon- sumen, maka dapat ditarik garis
mengapa perlu adanya perlindungan?, yang pasti munculnya perlindungan karena ada
sebabnya yaitu adanya suatu sengketa konsumen. Sebelum menguraikan tentang
pengertian sengketa konsumen terlebih dahulu akan dikemukakan pengertian konflik,
agar mendapatkan gambaran tentang konflik.
jasama merupakan definisi dari konflik atau per- selissihan atau percekcokan.
Ronny Hanitijo juga memberikan pendapat mengenai definisi konflik, yang dimaksud
dengan konflik adalah situasi (keadaan) antara dua orang atau lebih yang mem-
perjuangkan tujuan mereka masing- masing yang tidak dapat dipersatukan dan dimana
tiap-tiap pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran rujukannya.
Berbeda menurut Lalu Husni, konflik dapat dimaknakan sebagai suatu kondisi
dimana pihak yang satu menghendaki agar pihak yang lain berbuat atau tidak berbuat
sesuai dengan yang diinginkan tetapi pihak lain men olak keinginan itu.23 Dengan
demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur dari suatu konflik atau seng-
keta adalah sebagai berikut:
a.) Adanya dua orang atau lebih pihak;
b.) Tujuan yang berbeda dari pihak-pihak de- ngan mana yang satu menghendaki agar
pihak yang lain berbuat atau bersikap sesuai dengan yang dikehendakinya;
c.) Pihak lain menolak keinginan tersebut atau keinginan tersebut tidak dapat
disatukan.
Seperti yang dikutip oleh Husni dalam Black’s Law Dictionary, perselisihan
memiliki beberapa bentuk, yakni conflicting evident, conflict of athority, conflict of
interest, conflict of law,conflict of personal law. Dari konflik yang terjadi akan terlihat
apakah berupa konlik kepentingan, konflik hukum, kon-flik sosial dalam lapangan
bisnis dan lain- lain.24 Setelah tahu apa itu sengketa atau konflik lalu apa itu sengketa
konsumen? UUPK tidak memberikan batasan apakah yang diartikan sebagai sengketa
konsumen atau apa definisinya. Namun frase “sengketa konsumen” dapat dilihat dalam
UUPK, yaitu:25
a.) Penyebutan sengketa konsumen sebagai ba- gian dari sebutan institusi administrasi
negara yang mempunyai kewenangan menyelesai- kan sengketa antara pelaku
usaha dan kon- sumen, dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) Pasal 1 butir 11 UUPK jo Bab XI UUPK.
b.) Penyebutan sengketa konsumen menyang-kut tata cara atau prosedur penyelesaian
seng- keta terdapat pada Bab X Penyelesaian Seng- keta. Pada bab ini digunakan
penybutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu: Pasal 45 Ayat (2) dan Pasal
48 UUPK.
Dalam hubungannya untuk memahami pengertian sengketa konsumen yang terirat di
dalam UUPK ada beberapa kata kunci, yaitu pertama, batasan konsumen dan pelaku
usaha; kedua, batasan penyelesaian sengketa konsumen. Dalam Pasal 1 butir 11 UUPK
adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dan konsumen. Dari keten- tuan itu saja sudah menunjukkan yang dimaksud sengketa
konsumen yaitu sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Sebenarnya secara resmi pengertian seng- keta konsumen dirumuskan di dalam Pasal 1
Angka 8 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rpublik Indonesia Nomor:
350/ MPP/Kep/12/2001, sengketa konsumen adalah sengketa antara plaku usaha dan
konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/ atau yang menderita
akibat mengkonsumsi barang dan/ atau manfaat jasa
1. Prinsip-Prinsip Tanggung Jawab

Pertanggungjawaban yang erat kaitannya dengan hubungan hukum yang timbul antara
kedua belah pihak yakni pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang
dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan men-jadi dua yakni:
a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya
wanpres- tasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-
hati;
b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul
sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang peng-usaha atas kegiatan
usahanya.
Mengenai pertanggungjawaban, didalam- nya terdapat prinsip tanggung jawab
yang meru- pakan hal yang sangat penting dan paling utama dalam hukum
perlindungan konsumen. Prinsip- prinsip tentang tanggungjawab merupakan peri- hal
yang sangat penting dalam perlindungan kon-sumen. Secara umum, prinsip-prisip
tanggung-jawab dalam hukum dapat kita bedakan menjadi 5 (lima), yakni:
1. Adanya kesalahan (liability based on fault);
2. Praduga selalu bertanggungjawab (presump- tion of liability);
3. Praduga selalu tidak bertanggungjawab
(pre-sumption of non-liability);
4. Adanya tanggung jawab mutlak (strict liabil- ity);
5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of li- ability).

1.) Kesalahan (liability based on fault)


Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability atau liability based
on fault) merupakan suatu prinsip yang umum dan ber-laku dalam hukum pidana dan
perdata. Di dalam KUH Perdata diatur dalam Pasal 1365, Pasal 1366 dan Pasal 1367,
prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang
dilakukan-nya. Tanggung jawab berdasarkan kesalahan (nrgligence adalah suatu prinsip
tanggungjawab yang bersifat subyektif, yaitu suatu tanggung jawab yang ditentukan
oleh perilaku produsen. Sifat subyektivitasnya muncul pada kategori bahwa yang
bersikap hati-hati (prudent person) mencegah timbulnya kerugian pada konsumen.
2.) Praduga selalu bertanggungjawab (pre- sumption of liability)
Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat se- lalu dianggap bertanggungjawab
(presumption of liability principle) sampai ia dapat membuktikan dia tidak bersalah,
jadi beban pembuktian ada pada tergugat.
3.) Praduga selalu tidak bertanggungjawab (presumption of non-liability)
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip praduga untuk selalu
bertanggungjawab. Prinsip praduga tidak selalu bertanggungjawab (presump-tion
non-liability principle), hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang
terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara commense dapat dibenarkan
4. Tanggung jawab mutlak (strict liability)
Strict liability adalah prinsip tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak
sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian yang memungkinkan untuk
dibebaskan dari tanggung jawab misalnya keadaan force majeur.31 Pada strict liability ada
hubungan kausal antara subjek yang bertyanggungjawab dengan kesalahannya (per- buatan
yang dilakukan). Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen
secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha khususnya para produsen barang
dan/jasa yang memasarkan produknya yang mengaki- batkan kerugian bagi konsumen.
Dalam perlin- dungan konsumen asas ini dikenal dengan prod-uct liability.
Jika terdapat hubungan perjanjian (privity of contract) antara pelaku usaha (pemberi
jasa) de- ngan konsumen, tetapi prestasi pemberi jasa ter- sebut tidak terukur sehingga
merupakan perjan- jian ikhtiar (inspannings verbinteniss) maka tang- gung jawab pelaku
usaha didasarkan pada pro- fessional liability (pertanggung jawaban profes- sional) yang
menggunakan tanggung jawab per- data secara langsung (strict liability) dari pelaku usaha
atau produsen atas kerugian yang telah di- derita oleh konsumen akibat dari penggunaan
jasa yang diberikan oleh pelaku usaha.
Berbeda jika dalam hal adanya hubungan perjanjian (privity of contract) antara
pelaku usaha dan konsumen, dan prestasi pemberi jasa tersebut terukur sehingga
merupakan perjanjian hasil (resultaats verbintenis) maka tanggung jawab pelaku usaha
didasarkan pada professional liabil-ity (pertanggungjawaban professional).
Pelaku usaha yang menggunakan tanggung jawab per-data atas perjanjian atau kontrak
(contractual li-ability) dari pelaku usaha atas kerugian yang di-alami
konsumen akibat menggunakan jasa yang diberikannya.
5. Pembatasan Tanggung Jawab (limitation of liability)
Prinsip ini oleh pelaku usaha dicantumkan sebagai klausula eksenorasi dalam
perjanjian stan-dar yang dibuatnya. Prinsip ini bertujuan mem-batasi nilai jumlah
ganti rugi. Dalam pelaksana-annya prinsip tanggung jawab dengan pembatas-an
dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tang-gung jawab.
1. Penerapan Strict Liability Dalam Sengketa Konsumen
Sebelumnya sudah dijelaskan bagaimana dan apa saja hak-hak konsumen. Saat
ini marak sekali terjadi kasus-kasus yang merugikan kon- sumen baik dari segi
produk maupun jasa. Sebagai contoh maraknya produk-produk yang memberi- kan
dampak kerugian bagi konsumen sebagai pengguna produk tersebut sebagai contoh
yakni kosmetik, makanan yang mengandung bahan yang berbahaya, ataupun obat-
obatan seperti ka-sus yang sempat menggemparkan beberapa wak-tu lalu yaitu
adanya vaksin palsu. Dalam hal ter-sebut pada kenyataannya, konsumen belum men-
dapat perlindungan secara maksimal. Hal tersebut juga sebagai bukti dari kurang
adanya perlin-dungan ditambah lagi kekurangtahuan konsumen akan suatu produk
karena hanya mendambakan “iming- iming” hasil akhir dari suatu produk atau-pun
“harga murah” yang justru merugikan me-reka sendiri.
Untuk memperoleh keuntungan yang besar, mayoritas produsen hanya
menjadikan konsumen sebagai sumber pendapatan usaha mereka tanpa
memperhatikan kualitas produk yang mereka pasarkan. Mereka intinya secara
gamblang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan yang telah ada yang
mengatur mengenai keamanan suatu produk yang mereka tawarkan, serta tata cara
atau proses pembuatan suatu produk dengan benar, tidak mencantumkan atau
memberikan informasi terhadap produk yang dijual pada la-bel atau kemasan, dan
tidak mematuhi berbagai macam ketentuan yang menyangkut dalam kaitannya
perlindungan konsumen. Tak dapat dipungkiri memang masyarakat pada umumnya
menghendaki produk-produk tertentu dalam harga yang relatif terjangkau atau
cenderung murah.
Yang menjadi pikiran seharusnya solusi apa dan upaya yang dapat dilakukan negara
Indone-sia untuk dapat memperkecil pelanggaran atau-pun kejahatan-kejahatan terhadap
konsumen ter-sebut padahal UUPK telah diundangkan bahkan dari tahun 1999. Namun
penerapannya masih belum bisa dilaksanakan secara maksimal. Dalam dunia hukum
dikenal adanya prinsip strict liabil-ity atau prinsip tanggung jawab mutlak dengan mana
para pelaku usaha (produsen) harus dapat bertanggungjawab terhadap kerugian yang di-
alami oleh konsumen tanpa harus membuktikan ada tidaknya kesalahan pada dirinya.
Prinsip tang- gung jawab mutlak (strict liability) merupakan prinsip tanggung jawab
yang tidak didasarkan pada aspek kesalahan (fault/negligence) dan hu- bungan kontrak
(privity of contract), tetapi dida- sarkan pada cacatnya produk (objective liability) dan
risiko atau kerugian yang diderita konsumen (risk based liability). Dikatakan bahwa tujuan
utama dari prinsip tanggung jawab mutlak adalah jamin-an atas konsekuensi atau akibat
hukum dari suatu produk yang mengakibatkan kerugian bagi kon- sumen.33
Pihak produsen seharusnya telah mene- rapkan prinsip tanggung jawab mutlak
(strict li- ability) terhadap produk-produk yang dihasil- kannya. Karena hal tersebut
merupakan kewajban produsen terhadap konsumen mengenai barang dan jasa yang
dihasilkan oleh produsen. Artinya pihak produsen memberikan jaminan kenyaman-an
terhadap barang yang dihasilkannya. Apabila ada konsumen yang merasa dirugikan
terhadap barang atau produk yang dihasilkan oleh pro-dusen maka pihak konsumen
dapat mengajukan gugatan ganti rugi terhadap produsen tersebut de-ngan berpedoman
terhadap peraturan yang ada. Biasanya konsumen berada dalam posisi yang lemah
karena mereka tidak mengetahui dan memahami tentang peraturan yang dapat mem-
berikan perlindungan terhadap konsumen.
Indonesia saat ini, seharusnya dapat mene- rapkan prinsip tanggung jawaban
mutlak (strict li- ability) untuk proses penyelesaian sengketa kon- sumen yang marak
terjadi dimasyarakat. Masya- rakat harus mendapatkan perlindungan secara maksimal
dalam berbisnis. Pihak konsumen harus berani mengajukan gugatan atau
mengadukan permasalahan jika mengalami kerugian terhadap suatu produk atau jasa
yang ditawarkan oleh pihak pelaku usaha. Salah satu cara yang dapat ditempuh oleh
konsumen yakni melalui jalur non litigasi, konsumen dapat melaporkan jika meng-
alami kerugian terhadap suatu produk kepada badan yang berwenang dalam
mengatasi penye-lesaian sengketa misalnya BPSK. BPSK sebagai badan yang
berwenang dalam menyelesaikan sengketa konsumen dapat memberikan masukan
atau solusi dalam menyelesaikan sengketa kon-sumen. Namun, jika konsumen
merasa harus mengajukan gugatan ke pengadilan maka konsu-men harus berani
karena telah mempunyai dasar atau pedoman peraturan meskipun dalam UUPK
belum diatur secara rinci dan jelas mengenai prin-sip tanggung jawab mutlak.
BAB III
Strategi Penyelesaian

A. Penyelesaian Sengketa Non Litigasi


1. Pengertian Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
Litigation (bahasa Inggris) artinya pengadilan. Jadi nonlitigasi adalah di luar pengadilan.
Sebagai bahan perbandingan, litigation (pengadilan), sebagian besar tugasnya adalah
menyelesaikan sengketa dengan menjatuhkan putusan (constitutive) misalnya menjatuhkan
putusan atas sengketa waris, perbuatan melawan hukum dan sebagian kecil tugasnya adalah
penangkalan sengketa dengan menjatuhkan penetapan pengadilan (deklaratoir) misalnya
penetapan wali, penetapan anak angkat dan lain-lain.1 Nonlitigasi sebagai kebalikan dari litigasi
(argumentum analogium) adalah untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan melalui
perdamaian dan penangkalan sengketa dengan perancangan kontrak yang baik.
Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi meliputi bidang yang sangat luas bahkan mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dapat diselesaikan secara hukum2. Penyelesaian sengketa secara
nonlitigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang didasarkan kepada hukum, dan
penyelesaian tersebut dapat digolongkan kepada penyelesaian ang berkualitas tinggi, karena
sengketa yang diselesaikan secara demikian akan dapat selesai tuntas tanpa meninggalkan sisa
kebencian dan dendam. Dengan demikian, penyelesaian sengketa secara nonlitigasi adalah
penyelesaian masalah hukum secara hukum dan nurani, sehingga hukum dapat dimenangkan dan
nurani orang juga tunduk untuk mentaati kesepakatan/ perdamaian secara sukarela tanpa ada
yang merasa kalah.
Penyelesaian sengketa melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang
bersifat “win-win solution”, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang
di akibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara
komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. Satu-satunya kelebihan
proses nonlitigasi ini sifat kerahasiaannya, karena proses persidangan dan bahkan hasil
keputusannya pun tidak dipublikasikan.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan dengan Alternative
Dispute Resolution (ADR). Ada yang mengatakan kalau Alternative Dispute Resolution
(ADR) ini merupakan siklus gelombang ketiga penyelesaian sengketa bisnis. Penyelesaian
sengketa bisnis pada era globalisasi dengan ciri “moving quickly”, menuntut cara-cara yang
“informal procedure and be put in motion quickly”. Alternative Dispute Resolution (ADR)
merupakan istilah yang pertama kali dimunculkan di Amerika serikat. Konsep ini merupakan
jawaban atas ketidakpuasan yang muncul di masyarakat Amerika Serikat terhadap sistem
pengadilan mereka. Ketidakpuasan tersebut bersumber pada persoalan waktu yang sangat lama
dan biaya mahal, serta diragukan kemampuannya menyelesaikan secara memuaskan.
Pada intinya Alternative Dispute Resolution (ADR) dikembangkan oleh para praktisi
hukum maupun para akademisi sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses
2. Ruang Lingkup Penyelesaian Sengketa Secara Non Litigasi
Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa sengketa yang timbul di antara pihak-pihak yang
terlibat dalam berbagai macam kegiatan bisnis atau perdagangan termasuk di dalamnya
meliputi pula unsur-unsur yang lebih luas, seperti pekerjaan, profesi, penghasilan, mata
pencaharian dan keuntungan. Dalam penjelasan ketentuan Pasal 66 UU No. 30 Tahun 1999
dirumuskan lebih lanjut tentang ruang lingkup kegiatan perdagangan, yang meliputi antara
lain kegiatan di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal (investasi),
industry dan hak kekayaan intelektual (HaKI). Dalam prakteknya sengketa bisnis mengalami
perkembangan dari waktu ke waktu.4 Pihak-pihak yang bersengketa dalam praktik dapat
melakukan beberapa pendekatan dalam mengelola sengketa yang dihadapi. Secara umum ada
beberapa pendekatan pengelolaan konflik atau sengketa yang terjadi5, yaitu :
a) Power Based,
Merupakan pendekatan pengelolaan sengketa dengan mendasarkan pada kekuatan atau
kekuasaan untuk memaksa seseorang untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Misalnya dengan cara mengancam, menakut-nakuti, uranin, boikot dan sebagainya.
Pendekatan ini umumnya dilakukan apabila satu pihak memiliki posisi dan akses yang lebih
kuat dari pihak yang lain.
b) Right Based,
Merupakan pendekatan pengelolaan sengketa dengan mendasarkan konsep hak (hukum),
yaitu konsep benar dan salah berdasarkan parameter yuridis melalui prosedur adjudikasi, baik
di pengadilan maupun arbitrase. Dengan demikian pencari keadilan yang ingin
menyelesaikan sengketanya harus terlebih dahulu mengajukan perkaranya ke pengadilan
yang berwenang atau melalui arbitrase. Pendekatan seperti ini umumnya mengarah pada
keadaan win-lose solution, di mana ada pihak yang dimenangkan dan ada pula pihak yang
dikalahkan di sisi lainnya.
c) Interest Based
Merupakan pendekatan pengelolaan sengketa dengan mendasarkan pada kepentingan atau
kebutuhan pihakpihak yang bersengketa, bukan melihat pada posisi masing-masing. Solusi
diupayakan mencerminkan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa secara mutual (win-
win solution). Termasuk pendekatan interest based diantaranya negosiasi, mediasi, dan
konsiliasi. Ruang lingkup penyelesaian sengketa nonlitigasi adalah seluas ruang lingkup cara
penyelesaian sengketa hukum kecuali hukum-hukum yang bersifat memaksa dan hukum
publik6. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ruang lingkup dari penyelesaian sengketa
nonlitigasi adalah meliputi perbuatan hukum atau uranin hukum yang dapat mendorong orang
untuk memilih penyelesaian persoalan hukumnya secara damai, karena para pihak menyadari
bahwa pilihan cara nonlitigasi adalah yang paling efektif, efisien dan aman bagi penuntasan
sengketanya. Untuk mencapai perdamaian tersebut, pilihan nonlitigasi dengan
mempertimbangkan pada bahan-bahan penjelasan pasal-pasal hukum, biaya-biaya litigasi,
pentingnya penyelesaian sengketa secara tuntas, tidak menyisakan dendam, dengan
menyentuh urani, dan tidak melukainya dengan debat.
3. Landasan Hukum Penyelesaian Sengketa Non Litigasi
Penyelesaian sengketa nonlitigasi pada dasarnya adalah cara penyelesaian sengketa yang
dilakukan melalui perdamaian. Landasan penyelesaian sengketanya adalah hukum, namun
konstruksi penyelesaiannya disesuaikan dengan kehendak para pihak dengan tujuan agar
para pihak merasa puas dengan cara penyelesaian sengketa tersebut. Penyelesaian sengketa
secara damai dilandasi adanya kesepakatan yang oleh para pihak dianggap paling baik.
Dianggap baik artinya bahwa walaupun jalan kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa ini
harus dilakukan dengan kesediaan untuk saling berkorban, maka pengorbanan ini dinilai
paling wajar dan dengan biaya yang tidak mahal, jika dibandingkan dengan penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi. Adapun landasan hukum penyelesaian sengketa nonlitigasi
dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara
sah, berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Ketentuan ini mengandung
asas perjanjian bersifat terbuka. Artinya, dalam menyelesaikan masalah, setiap orang
bebas memformulasikannya dalam bentuk perjanjian yang isinya apapun untuk dapat
dijalankan dalam rangka menyelesaikan masalah. Selanjutnya sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1340 KUHPerdata bahwa perjanjian hanya berlaku antara pihakpihak yang
membuatnya. Untuk penyelesaian sengketa nonlitigasi ketentuan tersebut menjadi
penting dalam hal mengingatkan kepada para pihak yang bersengketa bahwa kepadanya
diberikan kebebasan oleh hukum untuk memilih jalan dalam menyelesaikan masalahnya
yang dapat dituangkan dalam perjanjian, asal perjanjian itu dibuat secara sah, memenuhi
syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
2. Pasal 1266 KUHPerdata menyebutkan bahwa syarat batal dianggap selalu dicantumkan
dalam persetujuan tibal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Ketentuan tersebut penting untuk mengingatkan para pihak yang membuat perjanjian
dalam menyelesaikan masalahnya bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara konsekuen
oleh para pihak.
3. Pasal 1851 s/d 1864 KUHPerdata tentang Perdamaian. Bahwa perdamaian adalah
perjanjian, karenanya perjanjian perdamaian itu sah kalau dibuat memenuhi syarat-syarat
sahnya perjanjian dan dibuat secara tertulis. Perdamaian dapat dilakukan di dalam
Pengadilan maupun di luar Pengadilan. Dalam penyelesaian sengketa nonlitigasi,
perdamaian dibuat di luar Pengadilan yang lebih ditekankan yaitu bagaimana sengketa
hukum dapat diselesaikan dengan cara perdamaian di luar Pengadilan dan perdamaian itu
mempunyai kekuatan untuk dijalankan.
4. UU No. 30 Tahun 1999, menyebutkan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan kepada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis sebelum atau sesudah sengketa dengan menunjuk seorang atau lebih
arbiter untuk memberi putusan atas sengketa. Selanjutnya yang dimaksud dengan
alternatif penyelesaian sengketa adalah penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

4. Mekanisme Penyelesaian Sengketa Non Litigasi


Mekanisme penyelesaian sengketa yang dimaksud di sini mengenai tata cara atau proses
penyelesaian sengketa melalui nonlitigasi (negosiasi, mediasi dan arbitrase) dan lika-likunya,
seperti misalnya strategi dan tekniknya dari proses awal sampai diperoleh putusan akhir.
Cara tersebut akan diuraikan sebagaimana berikut ini :

a) Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dengan Negosiasi


Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa, untuk mendiskusikan
penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, sehingga tidak ada
prosedur baku, akan tetapi prosedur dan mekanismenya diserahkan kepada kesepakatan para
pihak yang bersengketa tersebut. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para
pihak, sifatnya informal, yang dibahas adalah berbagai aspek, tidak hanya persoalan hukum
saja. Supaya negosiasi dapat berhasil dengan baik dan memuaskan para pihak, maka seorang
negosiator harus menggunakan strategi dan taktik. Strategi-strategi negosiasi merupakan cara
dasar dalam mengendalikan hubungan kekuatan, pertukaran informasi, dan interaksi diantara
para pihak pelaku negosiasi. Menurut Garry Goodpaster, dikatakan meskipun mekanisme
negosiasi sangat kompleks dan beragam, namun secara esensial ada tiga strategi dasar
negosiasi yaitu :
1). Bersaing (competiting); Negosiasi dengan cara bersaing atau kompetitif, disebut juga “hard
bargaining” (tawar-menawar bersikeras), distributif, posisional, “zero-sum bargaining”
(menang tawar-menawar sebesar kekalahan pihak lawan) atau “win-lose bargaining” (tawar-
menawar menang kalah). Negosiasi bersaing mempunyai maksud memaksimalisasi
keuntungan yang didapat pelaku tawar-menawar kompetitif terhadap pihak lain, yaitu untuk
mencari kemenangan, berupaya mendapatkan harga termurah, laba yang besar, biaya rendah,
persyaratan yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan pihak lain.
2). Kompromi (compromising); Strategi negosiasi kompromi disebut juga “soft bargaining”
(negosiasi lunak), “win-some-lose-some” (mendapat dengan member) atau “take and give
bargaining”. Hal ini berarti bahwa salah satu pihak harus memberi ganti atas beberapa yang
diinginkan agar mendapat sesuatu. Pada prinsipnya satu pihak harus mengorbankan sesuatu
untuk mendapatkan kesepakatan, negosiator tidak mendapatkan semua yang diinginkannya,
tetapi hanya sebagian.
3). Kolaborasi pemecahan masalah (problem solving); Negosiasi berkolaborasi pemecahan
masalah (problem solving) disebut juga negosiasi integratif atau kepentingan (positive-sum
atau win-win). Strategi ini para pihak bertujuan memenuhi kepentingan sendiri , juga
kepentingan pihak mitra untuk memaksimalkan keuntungan, para pihak harus berkolaborasi
guna menyelesaikan problem dari penemuan tindakan bersama yang dapat mereka lakukan
guna memenuhi kepentingan masing-masing Terdapat beberapa hal yang sangat
mempengaruhi jalannya negosiasi, yaitu : (1) kekuatan tawar-menawar; (2) pola tawar-
menawar; (3) strategi dalam tawar menawar.
Melakukan negosiasi untuk menyelesaikan sengketa harus melalui tahapan-tahapan
sebagaimana pendapat Howard Raiffa9 (seperti dikutip oleh Suyud Margono) sebagai
berikut :
1). Tahap persiapan, Dalam mempersiapkan perundingan, hal pertama yang harus dipersiapkan
adalah apa yang dibutuhkan/ diinginkan. Dengan kata lain, negosiator harus mengenali dulu
kepentingan sendiri sebelum mengenali kepentingan pihak lain, misalnya seberapa
terbukanya informasi yang harus diberikan, dimana perundingan akan dilaksanakan, apa
sasaran yang diinginkan. Tahap ini sering diistilahkan dengan know yourself. Dalam tahap
persiapan ini, juga perlu menelusuri berbagai alternatif lainnya, apabila alternatif terbaik atau
maksimal tidak tercapai atau disebut BATNA (Best Alternative To A Negotiated
Agreement). Dalam tahap ini perlu juga menentukan hal-hal yang bersifat logistik, seperti
siapa yang harus bertindak sebagai perunding, perlukah menyewa perunding yang
mempunyai ketrampilan khusus, apabila perundingan bersifat internasional bahasa apakah
yang akan digunakan serta siapa yang bertanggung
jawab menyediakan penerjemah. Selanjutnya dilakukan simulasi (simulated role playing),
hal ini sangat bermanfaat dalam mempersiapkan strategi bernegosiasi.
2). Tahap tawaran awal (opening gambit), Dalam tahap ini seorang perunding melakukan strategi
tentang siapa yang harus lebih dahulu menyampaikan tawaran, bagaimana menyikapi
tawaran awal tersebut. Apabila ada dua tawaran dalam perundingan, biasanya midpoint (titik
diantara dua tawaran) merupakan solusi atau kesepakatan, sebelum midpoint dijadikan
kesepakatan hendaknya dibandingkan dengan level aspiration para pihak.
3). Tahap pemberian konsesi (the negotiated dance), Konsesi yang harus dikemukakan
tergantung pada konteks negosiasi dan konsesi yang diberikan oleh pihak lawan. Seorang
perunding harus melakukan kalkulasi yang tepat tentang agresifitas, seperti bagaimana
menjaga hubungan baik dengan pihak lawan, empati terhadap pihak lawan, dan fairness.
Negosiator mempunyai peranan penting dalam konsesi dan menjaga posisi tawar sampai
pada tingkat yang diinginkan.
4). Tahap akhir permainan (end play), Tahap akhir permainan ini meliputi pembuatan komitmen
atau membatalkan komitmen yang telah dinyatakan sebelumnya.

b) Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dengan Mediasi


Seperti halnya penyelesaian sengketa melalui negosiasi, maka penyelesaian sengketa melalui
mediasi juga memiliki beberapa tahapan yang harus dilalui. Menurut Jacqueline M. &
Nolan-Haley ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dalam mediasi, yaitu : (1)
screening; (2) mediator describes process and role of mediator; (3) mediator assists parties in
drafting agreement10. Dalam mekanisme penyelesaian sengketa menggunakan mediasi perlu
dikemukakan mengenai peran dan fungsi mediator sebagaimana yang dikemukakan
Lebih lanjut, mekanisme mediasi sebenarnya tergantung pada situasi sosial dan budaya
masyarakat dimana para pihak berada. Secara garis besar dapat dikemukakan tahapan-
tahapan mediasi sebagai berikut :
1) Tahap pembentukan forum. Pada awal mediasi, sebelum rapat antara mediator dan para pihak,
mediator menciptakan atau membentuk forum. Setelah forum terbentuk, diadakan rapat
bersama. Mediator memberi tahu kepada para pihak mengenai bentuk dari proses,
menjelaskan aturan dasar, bekerja berdasar hubungan perkembangan dengan para pihak dan
mendapat kepercayaan sebagai pihak netral, dan melakukan negosiasi mengenai
wewenangnya dengan para pihak, menjawab pertanyaan para pihak, bila para pihak sepakat
melanjutkan perundingan, para pihak diminta komitmen untuk mentaati aturan yang berlaku.
2) Tahap kedua: pengumpulan dan pembagian informasi. Setelah tahap awal selesai, maka
mediator meneruskannya dengan mengadakan rapat bersama, dengan meminta pernyataan
atau penjelasan pendahuluan pada masing-masing pihak yang bersengketa. Pada tahap
informasi, para pihak dan mediator saling membagi informasi dalam acara bersama dan
secara sendiri-sendiri saling bagi informasi dengan mediator, dalam acara bersama. Apabila
para pihak setuju meneruskan mediasi, mediator kemudian mempersilakan masing-masing
pihak menyajikan versinya mengenai fakta dan patokan yang diambil dalam sengketa
tersebut. Mediator boleh mengajukan pertanyaan untuk mengembangkan informasi, tetapi
tidak mengijinkan pihak lain untuk mengajukan pertanyaan atau melakukan interupsi
apapun. Mediator memberi setiap pihak dengar pendapat mengenai versinya atas sengketa
tersebut. Mediator harus melakukan kualifikasi fakta yang telah disampaikan, karena fakta
yang disampaikan para pihak merupakan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh
masingmasing pihak agar pihak lain menyetujuinya. Para pihak dalam menyampaikan fakta
memiliki gaya dan versi yang berbeda-beda, ada yang santai, ada yang emosi, ada yang tidak
jelas, ini semua harus diperhatikan oleh mediator. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi
terhadap informasi yang disampaikan oleh masing-masing pihak, untuk mengukuhkan bahwa
mediator telah mengerti para pihak, mediator secara netral membuat kesimpulan atas
penyajian masingmasing pihak, mengulangi fakta-fakta esensial menyangkut setiap
perspektif atau patokan mengenai sengketa.
3) Tahap ketiga, merupakan tahap penyelesaian masalah. Selama tahap tawar-menawar atau
perundingan penyelesaian problem, mediator bekerja dengan para pihak secara bersama-
sama dan terkadang terpisah, menurut keperluannya, guna membantu para pihak
merumuskan permasalahan, menyusun agenda untuk membahas masalah dan mengevaluasi
solusi. Pada tahap ketiga ini terkadang mediator mengadakan “caucus” dengan masing-
masing dalam mediasi. Suatu caucus merupakan pertemuan sendiri para pihak pada satu sisi
atau suatu pertemuan sendiri antara para pihak pada satu sisi dengan mediator13. Mediator
menggunakan caucus (bilik kecil) untuk mengadakan pertemuan pribadi dengan para pihak
secara terpisah, dalam hal ini mediator dapat melakukan tanya jawab secara mendalam dan
akan memperoleh informasi yang tidak diungkapkan pada suatu kegiatan mediasi bersama.
Mediator juga dapat membantu suatu pihak untuk menentukan alternatifalternatif untuk
menyelesaikannya, mengeksplorasi serta mengevaluasi pilihan-pilihan, kepentingan dan
kemungkinan penyelesaian secara lebih terbuka. Apabila mediator akan mengadakan caucus,
harus menjelaskan penyelenggaraan caucus ini kepada para pihak, menyusun perilaku
mediator sehubungan dengan caucus yang mencakup kerahasiaan yaitu mediator tidak akan
mengungkapkan apapun pada pihak lain, kecuali sudah diberi wewenang untuk itu. Hal ini
untuk menjaga netralitas dari mediator dan akan memperlakukan yang sama pada para pihak.
4) Tahap pengambilan keputusan. Dalam tahap ini para pihak saling bekerja sama dengan
bantuan mediator untuk memilih solusi yang dapat disepakati bersama atau setidaknya solusi
yang dapat diterima terhadap masalah yang diidentifikasi. Setelah para pihak
mengidentifikasi solusi yang mungkin, para pihak harus memutuskan sendiri apa yang akan
mereka setujui atau sepakati. Akhirnya para pihak yang sepakat berhasil membuat keputusan
bersama, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian. Mediator dapat membantu
untuk menyusun ketentuan-ketentuan yang akan dimuat dalam perjanjian agar seefisien
mungkin, sehingga tidak ada keuntungan para pihak yang tertinggal di dalam perundingan.

c) Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dengan Arbitrase


Mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase pada hakekatnya secara umum tidak
jauh berbeda dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Karena baik arbitrase
maupun litigasi sama-sama merupakan mekanisme adjudikatif, yaitu pihak ketiga yang
dilibatkan dalam penyelesaian sengketa tersebut sama-sama mempunyai kewenangan
memutuskan sengketa tersebut. Arbitrase termasuk adjudikatif privat sedangkan litigasi
termasuk adjudikatif public. Sehingga baik arbitrase maupun litigasi sama-sama bersifat win-
lose solution.
Meskipun demikian pada umumnya dalam dunia bisnis orang lebih memilih arbitrase
karena memiliki beberapa keunggulan daripada cara litigasi, seperti jaminan
kerahasiaan/pemeriksaan dilakukan tertutup, menghindari kelambatan prosedural
administrasi, mempunyai kebebasan memilih arbiter, bebas menentukan pilihan hukum, dan
tempat penyelenggaraan serta pelaksanaan putusan arbitrase, serta putusan arbitrase bersifat
final dan berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999, pada prinsipnya
mekanisme penyelesaian sengketa dengan arbitrase adalah melalui tiga tahapan yaitu, tahap
persiapan atau pra pemeriksaan, tahap pemeriksaan atau penentuan dan tahap pelaksanaan.
Tahap persiapan adalah tahap untuk mempersiapkan segala sesuatunya guna sidang
pemeriksaan perkara. Tahap persiapan antara lain meliputi :
1) Persetujuan arbitrase dalam dokumen tertulis;
2) Penunjukan arbiter;
3) Pengajuan surat tuntutan oleh pemohon;
4) Tahap kedua adalah tahap pemeriksaan, yaitu tahap mengenai jalannya sidang pemeriksaan
perkara, mulai dari awal pemeriksaan peristiwanya, proses pembuktian, sampai
dijatuhkannya putusan oleh arbiter. Selanjutnya adalah tahap pelaksanaan sebagai tahap
terakhir, yaitu tahap untuk merealisasi putusan arbiter yang bersifat final dan mengikat.
Pelaksanaan putusan dapat dilakukan secara sukarela maupun dengan paksa melalui eksekusi
oleh Pengadilan negeri. Setelah dikeluarkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, maka secara lex generalis ketentuan
mengenai penyelesaian sengketa nonlitigasi adalah berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999
termasuk arbitrase. Adapun mekanisme arbitrase menurut UU No. 30 Tahun 1999 adalah
sebagai berikut :
a) Permohonan arbitrase dilakukan dalam bentuk tertulis dengan cara menyampaikan surat
tuntutan kepada arbiter atau majelis arbitrase yang memuat identitas para pihak, uraian
singkat tentang sengketa yang disertai dengan lampiran bukti-bukti dan isi tuntutan yang
jelas. Kemudian surat tuntutan dan surat permohonan tersebut disampaikan kepada termohon
yang disertai perintah untuk memberikan tanggapan dan jawaban dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak diterimanya tuntutan oleh termohon, selanjutnya diteruskan kepada
pemohon. Bersamaan dengan itu, arbiter atau ketua majelis arbitrase memerintahkan kepada
para pihak untuk menghadap di muka sidang arbitrase dalam waktu 14 (empat belas)waban
surat tuntutan oleh termohon;
5) Perintah arbiter agar para pihak menghadap sidang arbitrase. hari terhitung sejak
dikeluarkannya surat perintah tersebut.
b) Pemeriksaan sengketa arbitrase harus dilakukan secara tertulis, kecuali disetujui para pihak
maka pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan. Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter
atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup. Jumlah arbiter harus ganjil, penunjukan 2
(dua) arbiter dilakukan oleh para pihak yang memiliki wewenang untuk memilih dan
menunjuk arbiter yang ketiga yang nantinya bertindak sebagai ketua majelis arbitrase.
Arbiter yang telah menerima penunjukan tersebut tidak dapat menarik diri, kecuali atas
persetujuan para pihak.
c) Dalam sidang pertama diusahakan perdamaian, bila dicapai kesepakatan maka arbiter atau
majelis arbitrase membuat suatu akta perdamaian yang sifatnya final dan mengikat para
pihak dan memerintahkan untuk memenuhi ketentuan perdamaian tersebut. Jika usaha
perdamaian tidak berhasil, maka pemeriksaan terhadap pokok sengketa akan dilanjutkan.
Pemeriksaan atas sengketa harus diselesaikan dalam waktu 180 (seratus delapan puluh) hari
sejak arbiter atau majelis arbitrase terbentuk. Jangka waktu ini dapat diperpanjang dengan
persetujuan para pihak apabila diperlukan.
d) Atas perintah arbiter atau majelis arbitrase atau atas permintaan para pihak dapat dipanggil
seorang atau lebih saksi atau saksi ahli untuk didengar kesaksiannya yang sebelumnya
disumpah. Saksi atau saksi ahli tersebut dapat memberikan keterangan tertulis atau didengar
keterangannya di muka sidang arbitrase yang dihadiri oleh para pihak atau kuasanya.
e) Putusan arbiter atau majelis arbitrase diambil berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan
keadilan dan kepatutan, putusan tersebut harus diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Putusan arbitrase bersifat final, mempunyai
kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Selanjutnya putusan tersebut didaftarkan
kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
BAB IV
PENUTUP
(REFLEKSI)

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya merupakan


“payung hukum” yang dapat melindungi hak- hak konsumen di berbagai bidang kehidupan. Namun,
saat ini jika kita lihat dan pahami mengenai UU tersebut, Undang-undang perlin- dungan konsumen
belum secara jelas mengatur mengenai prinsip tanggung jawab mutlak. Oleh sebab itu, masih banyak
kasus-kasus kerugian yang dialami oleh konsumen dimasyarakat. Untuk itu, diharapkan kepada
pemerintah agar dapat merevisi undang-undang tersebut karena pemerintah mempunyai kewajiban
untuk melindung masyarakat. Selain itu, berkaitan dengan hak-hak konsumen yang harus dilindungi
seba- gaimana yang diatur dalam undang-undang ter- sebut. Yang tak kalah penting adalah pelaku
usaha atau produsen seharusnya mempunyai itikad baik dalam menjual atau memasarkan produknya
sehingga tidak merugikan pihak konsumen.
DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, 2010, Hukum Keuangan Negara, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika.
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
AZ. Nasution, 1995, Penulisan karya Ilmiah Tentang Perlindungan Konsumen dan
Peradilan di Indo- nesia, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Kehakiman.
C. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang, 1983, Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Jakarta: Ichtiar Baru, Jakarta.
Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Jakarta: Universitas Indonesia Fakultas
Hukum Pascasarjana.
Gunawan Wijaya, 2003, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi,
Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Ronny Hanitijo, 1984, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Janus Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.
Lalu Husni, 2004, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Pengadilan
dan di Luar Pengadilan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
L.J. Van Apeldoorn, 1981, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita.
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty.
Nieuwenhuis, 1985, Pokok-pokok Hukum Perikatan, terjemahan Djasadin
Saragih, Surabaya: Uni- versitas Airlangga.
Purwahid Patrick, 1994, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir
dariPerjanjian dan UndangUndang), Bandung: Mandar Maju.
Shidarta, 2004, Hukum Perlindungan Konsumen In- donesia, Jakarta: Grasindo.
Yusuf Sofie, 2003, Penyelesaian Sengketa Konsumen, Bandung: PT Citra
Aditya Bakti.

JURNAL
Yudha Hadian Nur dan Dwi Wahyuniarti Prabowo, 2011, “Penerapan Prinsip
Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability) Dalam Rangka Perlindungan
Konsumen”, Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, volume 5, nomor 2, h.
TURNITIN MAX 20%

Anda mungkin juga menyukai