Anda di halaman 1dari 28

PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. PENDAHULUAN
Dalam kegiatan bisnis sehari-hari terdapat hubungan yang saling membutuhkan antara
pelaku usaha dengan konsumen (pemakai barang atau jasa). Kepentingan pelaku usaha adalah
untuk memperoleh laba dari transaksi dengan konsumen, sedangkan kepentingan konsumen
adalah untuk memproleh kepuasan melalui pemenuhan kebutuhannya terhadap produk
tertentu.
Dalam hubungan demikian seringkali terdapat ketidaksetaraan antara pelaku usaha
dengan konsumen. Konsumen biasanya berada pada posisi tawar yang lemah sehingga
memungkinkannya untuk dijadikan objek eksploitasi untuk meraup keuntungan yang sebesar-
besarnya oleh pelaku usaha yang secara sosial dan ekonomi memiliki posisi yang kuat
melalui promosi dan klausula baku1 yang seringkali merugikan konsumen. Akibatnya hak-
hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha tidak dapat terealisasikan dengan baik.
Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen sering kali disebabkan karena
tingkat pengetahuan hukum dan kesadaran konsumen akan haknya yang masih rendah,
kondisi seperti ini oleh pelaku usaha dimanfaatkan untuk meraup keuntungan sebesar-
besarnya dengan tidak mengidahkan kewajiban-kewajiban yang sudah seharusnya melekat
pada para pelaku usaha. Untuk itu perlu diimbangi dengan adanya upaya perlindungan
konsumen terhadap resiko kemungkinan kerugian akibat penggunaan produk (barang atau
jasa) melalui upaya pencegahan dari ketidakpastian atas mutu, jumlah dan keamanan.
Dan akhirnya, pada tanggal 20 April 1999 pemerintah berhasil mensahkan peraturan
perundang-undangan mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU PK). Undang-
undang tersebut merupakan landasan dasar bagi konsumen Indonesia untuk melindungi
dirinya dari tindakan pelaku usaha yang dapat merugikan.
Meskipun ditujukan untuk melindungi kepentingan konsumen, UU PK tidak bertujuan
untuk mematikan pelaku usaha. Sebab dengan adanya UU PK, pelaku usaha diharapkan lebih
termotivasi untuk meningkatkan daya saingnya dengan memperhatikan kepentingan
konsumen. Dalam pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan diundangkannya Undang-
undang tersebut adalah untuk:

1
Yaitu setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih
dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan / atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Contoh klausula baku yang tercantum dalam bukti transaksi
biasanya memuat “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar”.

1
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
Sedangkan asas yang dianut dalam UU PK sebagaimana dijelaskan dalam pasal 2 adalah:
1. Asas manfaat.
Dimaksudkan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua belah
pihak atau kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan.
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas keseimbangan.
Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti material ataupun.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen.
Penerapan asas ini diharapkan akan memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas kepastian hukum.
Dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.

2
B. PENGERTIAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA
B.1. Konsumen
Dalam kamus bahasa, istilah konsumen merupakan alih bahasa dari consumer
(Inggris-Amerika) yang secara harfiah berarti “seseorang yang membeli barang atau
menggunakan jasa”, atau “Seseorang atau suatu perusahaan yang membeli barang tertentu
atau menggunakan jasa tertentu”. Ada pula yang memberikan arti lain, yaitu konsumen yang
berarti “setiap orang yang menggunakan barang atau jasa”.
Dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dijelaskan
bahwa konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan”2.
Sekalipun semua orang mengerti bahwa sangat sulit untuk membuat suatu batasan
tentang pengertian konsumen tanpa memuat berbagai kekurangan didalamnya, R. Setiawan 3
mencoba memberikan batasan pengertian konsumen sebagai “setiap orang yang
mendapatkan secara sah dan menggunakan barang/jasa untuk suatu kegunaan tertentu”.
Dengan demikian yang dimaksud dengan “setiap orang” dalam batasan diatas adalah
orang alamiah maupun orang yang diciptakan oleh hukum (badan hukum). Unsur
“mendapatkan” juga digunakan dalam batasan ini, karena perolehan barang atau jasa oleh
konsumen tidak saja berdasarkan suatu hubungan hukum (perjanjian jual beli, sewa
menyewa, pinjam-pakai dan sejenisnya), tetapi juga mungkin terjadi karena pemberian
sumbangan, hadiah-hadiah atau yang lain, baik yang berkaitan dengan suatu hubungan
komersial maupun dalam hubungan lainnya (non-komersial). “Mendapatkan secara sah”
adalah mendapatkan suatu barang atau jasa dengan cara-cara yang tidak bertentangan dan
atau /melawan hukum. Selanjutnya unsur “kegunaan tertentu” memberikan tolok ukur
pembeda antara berbagai konsumen yang dikenal (konsumen antara dan konsumen akhir).
Tergantung untuk kegunaan apakah suatu barang atau jasa itu diperlukan. Apabila kegunaan
tertentu itu adalah untuk tujuan memproduksi barang atau jasa lain dan atau untuk dijual
kembali (tujuan komersial), maka kita akan berhadapan dengan konsumen antara. Apabila
kegunaan tertentu itu adalah untuk tujuan memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah
tangganya serta tidak untuk dijual kembali (tujuan non-komersial), maka konsumen tersebut
adalah konsumen akhir.

2
UU PK No. 8 Tahun 1999 menjelaskan bahwa pengertian konsumen yang dimaksud adalah konsumen akhir.
3
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Ctk. Keenam, Putra Abardin, Bandung, 1999, hlm. 68

3
David L. London dan Alberts Dellabitta, menyatakan bahwa konsumen akhir
mempunyai arti sebagai individu-individu yang melakukan pembelian untuk memenuhi
kebutuhan pribadinya atau konsumsi rumah tangganya.4

B. 2. Pelaku usaha (produsen)


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) definisi produsen adalah mereka yang
menghasilkan suatu bahan atau barang, atau mengelola suatu jasa untuk digunakan oleh pihak
lain (konsumen).
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan
usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasan pasal ini dijelaskan bahwa pelaku usaha
yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi,
importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.
Dengan demikian jelaslah bahwa pengertian pelaku usaha menurut UU PK sangat
luas, bukan hanya produsen melainkan hingga pihak terakhir yang menjadi perantara antara
produsen dan konsumen, seperti agen, distributor dan pengecer (konsumen perantara).
Ketentuan dalam Undang-undang di atas dapat kita jabarkan ke dalam beberapa syarat, yakni:
1. Bentuk atau wujud dari pelaku usaha:
 Orang perorangan, yakni setiap individu yang secara seorang diri melakukan
kegiatan usaha.
 Badan usaha, yakni kumpulan individu yang secara bersama-sama melakukan
kegiatan usaha. Badan usaha dapat dikelompokkan kedalam dua kategori, yakni:
 Badan hukum. Badan usaha yang dapat dikelompokkan ke dalam kategori
badan hukum adalah yayasan, perseroan terbatas dan koperasi.
 Bukan badan hukum. Jenis badan usaha selain ketiga bentuk badan usaha diatas
dapat dikategorikan sebagai badan usahan bukan badan hukum, atau
sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha secara insidentil. Misalnya,
pada saat mobil kita mogok karena terjebak banjir, ada tiga orang pemuda yang
menawarkan untuk mendorong mobil kita dengan syarat mereka diberi imbalan

4
M. Ali Mansyur, Penegakkan Hukum tentang Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan Perlindungan
Konsumen, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 79

4
Rp. 50.000,-. Tiga orang ini dapat dikategorikan sebagai badan usaha dan bukan
badan hukum.
2. Memenuhi salah satu kriteria di bawah ini :
 Didirikan dan berkedudukan di wilayah hukum Negara Republik Indonesia.
 Melakukan kegiatan di wilayah hukun Negara Republik Indonesia.
 Kegiatan usaha tersebut harus didasarkan pada perjanjian.

C. HAK DAN KEWAJIBAN


C.1. Hak dan Kewajiban Konsumen
Sebelum membahas mengenai hak konsumen, ada baiknya kita memahami dulu apa
pengertian hak. Dalam istilah bahasa Indonesia hak mempunyai beberapa arti, diantaranya:
milik, kewenangan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedangkan dalam bahasa hukum hak
adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu karena hal tersebut telah ditentukan oleh Undang-
undang atau peraturan lainnya.5 Dari sini dapat dikatakan bahwa hak adalah suatu kekuasaan
yang pemenuhannya dilindungi oleh hukum.
Adapun hak konsumen yang diatur dalam pasal 4 UU PK, yakni:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang
dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan komnpensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
5
Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan, PT. Pradnya paramita, Jakarta, 1991, hlm.
154. Dikutip kembali oleh Muyassarotussolichah, Aspek Hukum Dalam Bisnis, Ctk. Kedua, Program Studi
Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2009, hlm. 128.

5
Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UUPK lebih luas daripada
hak-hak dasar konsumen sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat John F.
Kennedy di depan kongres pada tanggal 15 Maret 1962, yaitu terdiri atas:6
a. Hak memperoleh keamanan;
b. Hak memilih;
c. Hak mendapat informasi;
d. Hak untuk didengar.
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang
dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember 1948, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia
(International Organization of Consumers Union - IOCU) ditambahkan empat hak dasar
konsumen lainnya, yaitu:7
a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
b. Hak untuk memperoleh ganti rugi;
c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Dari rumusan-rumusan hak konsumen tersebut, secara garis besar dapat dibagi dalam
tiga hak yang menjadi prinsip dasar, yaitu8:
a. Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian
personal, maupun kerugian harta kekayaan;
b. Hak untuk memperoleh barang dan/atau jasa dengan harga yang wajar;
c. Hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang
dihadapi.
Sedangkan kewajiban yang diatur dalam pasal 5 UU PK adalah:
a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan Barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

C.2. Hak dan Kewajiban Produsen

6
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Granfindo Persada Jakarta, 2007,
hlm. 38
7
Ibid; hlm. 39
8
Ibid; hlm. 47

6
Dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen disebutkan bahwa hak pelaku usaha adalah:
a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan / atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Hak-hak yang diberikan oleh Undang-undang kepada pelaku usaha merupakan
konsekuensi logis dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban sebagai pelaku usaha. Dan
implementasi dari kewajiban-kewajiban pelaku usaha inilah yang merupakan wujud dari
tanggung jawab pelaku usaha. Dengan kata lain pelaku usaha yang mengabaikan kewajiban-
kewajibannya adalah pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Karenanya layak untuk
mendapatkan sanksi.9
Dalam pasal 7 UU PK menyebutkan tetang kewajiban pelaku usaha, yaitu:
a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

9
M. Ali Mansyur, Penegakkan Hukum tentang Tanggung Gugat Produsen dalam Perwujudan Perlindungan
Konsumen, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm. 54

7
g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

D. TAHAPAN TRANSAKSI KONSUMEN


1. Tahap Pratransaksi
Pada tahap ini konsumen masih mencari keterangan di mana barang atau jasa
kebutuhannya dapat ia peroleh, berapa harganya dan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya. Pada tahap ini informasi tentang barang atau jasa memegang peranan
penting. Informasi yang benar dan bertanggungjawab (informative information)
merupakan kebutuhan pokok konsumen sebelum ia dapat mengambil keputusan untuk
mengadakan, menunda atau tidak mengadakan transaksi.
Putusan pilihan konsumen yang benar sangat tergantung pada kebenaran dan
bertanggung-jawabnya informasi yang disediakan kalangan usaha yang bersangkutan.
Apabila dikemudian hari terbukti bahwa konsumen membeli karena paksaan,
kekhilafan, atau penipuan, konsumen memiliki hak untuk membatalkan transaksi yang
telah dilakuakan (Pasal 1321 KUH Perdata).
1. Tahap Transaksi yang Sesungguhnya
Pada fase ini, transaksi konsumen dan produsen sudah terjadi. Sehingga pada tahap ini
para pihak menyepakati apa yang menjadi hak dan kewajiban masing-masing.
Kesepakatan ini kemudian dapat dituangkan ke dalam suatu perjanjian tertulist dan
tidak tertulis. Namun apabila nanti terjadi sengketa, maka kesepakatan yang dibuat
secara tertulis akan lebih mudah dibuktikan dibanding kesepakatan yang tidak dibuat
secara tidak tertulis.
2. Tahap Purnatransaksi
Tahap ini merupakan realisasi dari tahap transaksi. Pada tahap ini para pihak harus
melaksanakan semua kewajiban yang telah disepakati sebelumnya. Menurut bahasa
hukum, kewajiban yang harus dipenuhi adalah prestasi, dan pihak yang tidak memenuhi
kewajibannya dianggap melakukan wanprestasi. Dengan adanya wanprestasi, pihak
yang telah memenuhi kewajibannya memiliki hak untuk menuntut pihak yang
melakukan wanprestasi agar melakukan prestasinya.
Seringkali para pihak memiliki pemahaman yang berbeda mengenai isi perjanjian.
Adanya perbedaan pemahaman akan menimbulkan perbedaan penafsiran, yang pada
akhirnya akan menimbulkan konflik. Penyebab konflik biasanya menyangkut tiga hal,
yakni harga, kualitas dan kegunaan produk, serta layanan purna jual.
8
E. TANGGUNG JAWAB PRODUSEN TERHADAP HASIL PRODUKSI
Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila
dirugikan dalam menngkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang
menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier,
pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk,
bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan
kerugian bagi konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat,
dipegang (Tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam
kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen terhadap produk bukan hanya berupa
tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible. Dan yang termasuk dalam
pengertian produk di sini tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara
keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian produk yang cacat
(defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga
macam defect:
a. Production/manufacturing defects, apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan
persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
b. Design defects, apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat
yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk
tersebut lebih kecil dari risikonya.
c. Warning or instruction defects, apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan,
etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang
mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang
aman .
Tanggung jawab produk adalah istilah hukum berasal dari alih bahasa istilah product
liability, yakni tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacad atau
membahayakan orang lain). Dengan kata lain tanggung jawab produk timbul sebagai akibat
dari “product schade” yaitu kerugian yang disebabkan oleh barang-barang produk, yang
dipasarkan oleh produsen10. Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability) atau semua
kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan
orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang
10
Ibid, hlm. 52

9
dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, produsen telah
dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang
bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia
dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga
tidak dapat dipersalahkan padanya11. Tujuan peraturan perundang-undangan tentang
tanggung jawab produk adalah untuk12:
a. Menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau
b. Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat dihindari.
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal
yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban
itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa
hukum.13
Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang
timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk
bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:
a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya
wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.
b. Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul
sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.
Sedangkan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai
akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat
didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu
tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian
berdasarkan perbuatan melanggar hukum.14

a. Tuntutan berdasarkan wanprestasi


Ganti kerugian yang diperoleh karena adanya wanprestasi merupakan akibat tidak
dipenuhinya kewajiban utama atau kewajiban tambahan yang ada dalam suatu

11
AZ Nasution, Konsumen dan Hukum, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm. 174
12
Ibid, hlm.175
13
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.
101
14
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Granfindo Persada Jakarta,
2007, hlm. 127

10
perjanjian antara konsumen dengan produsen. Tuntutan untuk membayar ganti
kerugian di sini tidak lain daripada akibat penerapan klausula dalam perjanjian.
b. Tuntutan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum
Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan wanprestasi, tuntutan ganti
kerugian yang didasarkan pada perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului
dengan perjanjian antara produsen dengan konsumen, sehingga tuntutan ganti
kerugian dapat dilakukan oleh setiap pihak yang merasa dirugikan, walaupun tidak
pernah terdapat hubungan perjanjian antara produsen dengan konsumen sebelumnya.
Persoalan yang masih tersisa dari penyelesaian sengketa konsumen, baik melalui
saluran wanprestasi maupun saluran perbuatan melawan hukum adalah keduanya belum
dapat melindungi kepentingan konsumen dengan seadil-adilnya. Berkaitan dengan lemahnya
kedudukan konsumen ataupun karena tidak mempunyai pengetahuan dan saran yang cukup
untuk itu, maka dalam perkembangannya, pengadilan-pengadilan di Amerika Serikat
menempuh cara lain untuk mempergunakan prinsip pertanggungjawaban mutlak (strict
liability).
Strict liability adalah bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu
prinsip pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan pada
kesalahan (sebagaimana pada tort umumnya), tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku usaha
langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum
itu. Dengan prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka kewajiban produsen untuk mengganti
kerugian yang diderita oleh konsumen karena mengonsumsi produk yang cacat merupakan
suatu risiko, yaitu termasuk dalam risiko usaha. Karena itu, produsen harus lebih berhati-hati
dalam menjaga keselamatan dan keamanan pemakaian produk terhadap konsumen.
Di Indonesia konsep strict liability (tanggung jawab mutlak, tanggung jawab risiko)
secara implisit dapat ditemukan di dalam pasal 1367 dan Pasal 1368 KUHPerdata. Pasal 1367
KUHPerdata mengatur tentang tanggung jawab seseorang atas kerugian yang disebabkan
oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. Sedangkan Pasal 1368
KUHPerdata tentang tanggung jawab pemilik atau pemakai seekor binatang buas atas
kerugian yang ditimbulkan oleh binatang itu, meskipun binatang itu dalam keadaan tersesat
atau terlepas dari pengawasannya. Keadaan tersesat atau terlepas ini sudah menjadi faktor
penentu tanggung jawab tanpa mempersoalkan apakah ada perbuatan melepaskan atau
menyesatkan binatangnya. Dengan perkataan lain, pemilik barang dan pemilik atau pemakai

11
binatang dapat dituntut bertanggungjawab atas dasar risiko, yaitu risiko yang diambil oleh
pemilik barang atau pemilik/pemakai binatang15.
Meskipun sistem tanggung jawab pada product liability berlaku prinsip strict liability,
akan tetapi pihak produsen masih dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik
untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab
produsen tersebut adalah:
a. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan
oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian;
b. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan
untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;
c. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban
yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah;
d. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scintific an technical knowledge, state or
art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin cacat;
e. Dalam hal produsen dari suatu komponen, bahwa cacat tersebut disebabkan oleh
desain dari produk itu sendiri dimana komponen telah dicocokkan atau disebabkan
kesalahan pada petunjuk yang diberikan oleh pihak produsen tersebut;
f. Bila pihak yang menderita kerugian atau pihak ketiga turut menyebabkan terjadinya
kerugian tersebut (contributory negligence);
g. Kerugian yang terjadi diakibatkan oleh Acts of God atau force majeur.

F. PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA.


Perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha diatur dalam bab IV UU PK, yang
terdiri dari 10 pasal, dimulai dengan pasal 8 s/d pasal 17. Selain pelaku usaha pabrikan dan
pelaku usaha distributor (dan jaringannya), juga meliputi pelaku usaha periklanan. Pada
dasarnya seluruh larangan yang berlaku bagi pelaku usaha pabrikan juga dikenakan bagi para
pelaku usaha distributor, dan tidak semua larangan yang dikenakan bagi pelaku usaha
distributor dikenakan bagi pelaku usaha pabrikan. Satu hal yang juga perlu diperhatikan di
sini bahwa Undang-Undang secara tidak langsung juga mengakui adanya kegiatan usaha
perdagangan:
 Yang dilakukan secara individual;

15
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm.
115-119

12
 Dalam bentuk pelelangan, dengan tidak membedakan jenis atau macam barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
 Dengan pesanan;
 Dengan harga khusus dalam waktu dan jumlah tertentu.
Pada dasarnya Undang-Undang tidak memberikan perlakuan yang berbeda kepada
masing-masing pelaku usaha yang menyelenggarakan kegiatan usaha tersebut, sepanjang para
pelaku usaha tersebut menjalankan secara benar dan memberikan informasi yang cukup,
relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak menyesatkan konsumen yang akan
mempergunakan atau memakai atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang diberikan
tersebut.
Ketentuan pasal 8 merupakan ketentuan umum, yang berlaku secara general bagi
kegiatan usaha dari para pelaku usaha di Indonesia. Larangan tersebut meliputi kegiatan
pelaku usaha untuk melaksanakan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang dan/atau
jasa yang:
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal"
yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,

13
akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Secara garis besar laranngan yang dikenakan dalam pasal 8 Undang-Undang tersebut
dapat kita bagi ke dalam dua larangan pokok, yaitu:
1. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang
layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;
2. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, dan tidak akurat, yang
menyesatkan konsumen.
Larangan mengenai kelayakan produk, baik itu berupa barang dan/atau jasa pada
dasarnya berhubungan erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan tersebut. Kelayakan produk tersebut merupakan “standar minimum” yang
harus dipenuhi atau dimilki oleh suatu barang dan/atau jasa tertentu sebelum barang dan/atau
jasa tersebut dapat diperdagangkan untuk dikonsumsi oleh masyarakat luas. Standar
minimum tersebut kadang-kadang sudah ada yang menjadi “pengetahuan umum”, namun
sedikit banyaknya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut. Untuk itu, informasi menjadi
menjadi suatu hal yang penting bagi konsumen. Informasi yang demikian tidak hanya datang
dari pelaku usaha semata-mata, melainkan juga dari berbagai sumber lain yang dapat
dipercaya, serta dipertanggungjawabkan sehingga pada akhirnya konsumen tidak dirugikan,
dengan membeli barang dan/atau jasa yang sebenarnya tidak layak untuk diperdagangkan.16

G. KONSEPSI PERLINDUNGAN KONSUMEN


Sampai saat ini belum jelas apa yang dimaksud dan apa saja yang termasuk didalam
“cabang hukum” hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan
kajian masalah hukum konsumen tersebar dalam berbagai lingkungan hukum antara lain
perdata, pidana, administrasi, dan konvensi internasional.
Menurut Prof. Mochtar Kusumaatmadja batasan dari hukum konsumen adalah
“keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah
antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, di
dalam pergaulan hidup”.

16
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2000, hlm. 39

14
Asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen
itu terdapat di dalam berbagai hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis; antara lain
hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi dan hukum internasional,
terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.
Dari batasan tersebut jelaslah bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan
bagian dari hukum konsumen yang sifatnya lebih spesifik dan khusus. Hukum perlindungan
konsumen dibutuhkan apabila kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum tidak
seimbang.
Menurut Janus Sidabalok, sekurang-kurangnya ada empat alasan pokok mengapa
konsumen perlu dilindungi:17
1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana
yang diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.
2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif
penggunaan teknologi.
3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani
dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga
kesinambungan pembangunan nasional.
4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang
bersumber dari masyarakat konsumen.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK), perlindungan kosumen didefinisikan: “segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”
Perlindungan konsumen dalam undang-undang tersebut mempunyai cakupan yang
luas meliputi perlindungan terhadap konsumen barang dan jasa, yang berawal dari tahap
kegiatan untuk mendapatkan barang dan jasa hingga ke akibat-akibat dari pemakaian barang
dan jasa itu. Secara garis besar cakupan perlindungan konsumen dalam UU tersebut adalah:
1. Perlindungan terhadap kemungkinan diserahkan kepada konsumen barang dan/atau
jasa yang tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati atau melanggar ketentuan
undang-undang. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan mengenai
penggunaan bahan baku, proses produksi, proses distribusi, desain produk, dan
sebagainya, apakah telah sesuai dengan standar keamanan dan keselamatan
konsumen atau tidak. Dan persoalan tentang bagaimana konsumen mendapatkan
17
Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 6

15
penggantian jika timbul kerugian karena memakai atau mengonsumsi produk yang
tidak sesuai.
2. Perlindungan terhadap diberlakukannya kepada konsumen syarat-syarat yang tidak
adil. Dalam kaitan ini termasuk persoalan-persoalan promosi dan periklanan, standar
kontrak, harga, layanan purnajual, dan sebagainya. Hal ini berkaitan dengan perilaku
produsen dalam memproduksi dan mengedarkan produknya.
Pertama, mencakup persoalan barang atau jasa yang dihasilkan dan diperdagangkan,
dimasukkan dalam cakupan tanggung jawab produk, yaitu tanggung jawab yang dibebankan
kepada produsen karena barang yang diserahkan kepada konsumen itu mengandung cacat
didalamnya sehingga menimbulkan kerugian bagi konsumen, misalnya karena keracunan
makanan, barang tidak dapat dipakai untuk tujuan yang diinginkan karena kualitasnya
rendah, dan sebagainya.
Kedua, mencakup cara konsumen memperoleh barang dan atau jasa, yang
dikelompokkan dalam cakupan standar kontrak yang mempersoalkan syarat-syarat perjanjian
yang diberlakukan oleh produsen kepada konsumen pada waktu konsumen hendak
mendapatkan barang atau jasa kebutuhannya.

H. PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN


Prinsip-prinsip yang mun cul tentan g kedudukan konsumen dalam hubungan dengan
pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perkembangan sejarah
hukum perlindungan konsumen:
1. Let the buyer beware. Prinsip kehati-hatian ada pada konsumen. Hal ini dengan
adanya asumsi bahwa kedudukan konsumen dan pelaku usaha adalah seimbang,
sehingga konsumen tidak perlu ada proteksi. Prinsip ini mengandung kelemahan,
bahwa dalam perkembangan konsumen tidak mendapat informasi yang memadai yang
selanjutnuya mampu untuk menentukan pilihan terhadap produk konsumen baik
barang dan/atau jasa.
2. The due care theory, prinsip ini menyatkan bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk berhati-hati dalam memasyarakatkan produk. Selama berhati-hati dengan
produknya ia tidak dapat dipersalahkan. Pada prinsip ini berlaku pembuktian siapa
mendalilkan maka dialah yang membuktikan. Hal ini sesuai dengan jiwa pembuktian
pada hukum privat di Indonesia yaitu pembuktian ada pada penggugat, pasal 1865
KUHPerdata, yang secara tegas menyatakan, barangsiapa yang mendalilkan
mempunyai suatu hak atau untuk meneguhkan haknya atau membantah hak orang
16
lain, atau menunju kepada suatu peristiwa, maka ia diwajibkan membuktikan adanya
hak atau peristiwa tersebut.
3. The privity of contract, prinsip ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban
untuk melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka
telah terjalin suatu hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan diluar
hal-hal yang diperjanjikan. Artinya konsumen dapat menggugat berdasarkan
wanprestasi.

I. BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN KONSUMEN


Upaya-upaya atau bentuk-bentuk perlindungan yang memadai terhadap kepentingan
konsumen dapat dilakukan oleh banyak pihak, baik perlindungan secara individu,
perlindungan dari pemerintah, perlindungan dari pelaku usaha dan perlindungan organisasi
konsumen.

1. Perlindungan secara individual


Mengingat konsumen yang seringkali berada pada pihak yang menderita kerugian
akibat perilaku pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab serta masih banyak konsumen
yang tidak menyadari akan hak-haknya. Maka konsumen perlu diberdayakan melalui
pendidikan konsumen, khususnya kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya sebagai
konsumen. Pendidikan ini dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun
keterampilan yang diperlukan dalam memilih suatu produk sehingga dapat terhindar dari
kerugian akibat penggunaannya. Dengan pendidikan tersebut konsumen akan dapat
memberikan perlindungan terhadap dirinya sendiri dan dapat bertindak dengan benar ketika
merasa dirugikan.

2. Perlindungan dari pelaku usaha


Salah satu kewajiban pelaku usaha adalah “menjamin mutu barang dan/atau jasa
yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku”. Dengan kata lain, pelaku usaha harus memenuhi persyaratan
keamanan dan keselamatan sebagaimana ditentukan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pelaku
usaha bidang makanan atau pangan harus memperhatikan Undang-Undang No. 7 tahun 1996
tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan
serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,
bagi pelaku usaha yang bergerak dibidang Industri Rumah Tangga harus juga memperhatikan

17
Kep.BPOM No.hk.00.05.5.1640/PP.28/2004 tentang Prosedur Penerbitan Sertifikasi Produk
Pangan Industri Rumah Tangga

3. Perlindungan dari pihak pemerintah


Selain melindungi kepentingan konsumen melalui berbagai undang-undang, upaya
pemerintah untuk melindungi konsumen dari produk yang merugikan dapat dilaksanakan
dengan cara mengatur, mengawasi serta mengendalikan produksi, distribusi dan peredaran
produk, baik kesehatan maupun keuangannya. Dalam hal ini langkah-langkah yang dapat
ditempuh pemerintah adalah:
a. Registrasi dan penilaian;
b. Pengawasan dan distribusi;
c. Pengawasan distribusi;
d. Pembinaan dan pengembangan usaha;
e. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan tenaga.

4. Perlindungan organisasi konsumen


Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan pengakuan terhadap
keberadaan organisasi konsumen atau Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM), yang dituangkan dalam pasal 44 ayat (1). yaitu: “Pemerintah
mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.”
Kemudian dalam rangka melindungi kepentingan konsumen dan membela hak-hak konsumen
yang dirugikan, LPKSM bertugas:
a. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa;
b. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen;
d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan
atau pengaduan konsumen;
e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan
perlindungan konsumen.

18
J. PENYELESAIAN SENGKETA
Pada dasarnya penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan
atau diluar pengadilan. Dalam UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diatur dalam Bab X
pasal 45-48. Penyelesaian dengan cara non-peradilan bisa dilakukan melalui Alternatif
Resolusi Masalah (ARM) di BPSK, LPKSM, Direktorat Perlindungan Konsumen atau lokasi-
lokasi lain yang telah disetujui kedua belah pihak.
1) Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Pengadilan
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan diatur dalam pasal 48 UUPK,
yang menyatakan “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada
ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam
Pasal 45”.
Merujuk pada Pasal 46 ayat (1) UUPK, bentuk gugatan yang dapat dilakukan melalui
pengadilan ada 3 macam, yaitu:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentinyan yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan
dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasayang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit.
Dalam hukum perlindungan konsumen, secara umum proses beracara dalam menyelesaiakan
sengketa konsumen dan pelaku usaha mengenal adanay tiga macam gugatan, yaitu:
a. Small Claim, jenis gugatan yang dapat dilakukan oleh konsumen, sekalipun dilihat
secara ekonomis nilai gugatannya sangat kecil. Ada tiga alasan mengapa small claim
diijinkan dalam menyelesaoian sengketa konsumen,
 kepentingan dari pihak penggugat tidak dapat diukur semata karena nilai uang
kerugiannya;
 keyakinan bahwa pintu keadilan terbuka bagi siapa saja;
 untuk menjaga integritas badan-badan peradilan.
b. Class Action, adalah gugatan konsumen dimana korbanya lebih dari satu orang atau
gugatan yang dilakukan oleh sekelompok orang. Gugatan kelompok ini berdasarkan

19
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2002 dikenal dengan “gugatan perwakilan
kelompok”. Dalam UU Perlindungan Konsumen gugatan kelompok ini diatur dalam pasal
46 ayat 1 (b ). Pertanyaan muncul apakah LSM dapat menjadi wakil dari para
konsumen? dapat asalkan saja LSM tersebut juga berposisi sebagai korban. Apabila dia
tidak sebagai korban maka berdasar pasal 46 ayat 1 (c) (legal standing). Dalam Class
Action wajib memenuhi empat syarat yang ditetapkan dalam pasal 23 US Federal Of
Civil Procedure:
 Numerosity, jumlah penggugat harus cukup banyak.
 Commonality, adanya kesamaan soal hukum dan fakta antara pihak yang diwakili
dan pihak yang mewakili.
 Typicality, adanya kesamaan jenius tuntutan hukum dan dasar pembelaan yang
digunakan antara anggota yang diwakili dan yang mewakili.
 Adequacy o f Representation , adanya kemampuan klas yang mewakili dalam
mewakili pihak yang diwakili.
c. Legal Standing, adalah gugatan yang dilakukan sekelompok konsumen dengan
menunjuk pihak LSM yang dalam kegiatannya berkonsentrasi pada kegiatan
konsumen untuk mewakili kepentingan konsumen atau dikenal dengan Hak Gugat
LSM. LSM tersebut haruslah berbadan hukum atau yayasan. Hal ini diatur dalam
pasal 1 angka 9 UUPK dan secara teknis diatur dalam PP Nomor 59 Tahun 2001
tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
2) Penyelesaian Sengketa Melalui BPSK
BPSK dibentuk pemerintah di tiap-tiap daerah untuk menyelesaikan sengketa di luara
pengadilan secara murah, cepat dan sederhana. Secara teknis Penyelesaian Sengketa Melalui
BPSK diatur dalam Surak Keputusan (SK) Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
3) Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui ADR
Seperti dibahas pada bagain-bagian sebelumnya, selain melalui lembaga peradilan dan
BPSK, sengketa konsumen juga bisa diselesaikan melalui ADR. ADR yang paling umum
dilakukan adalah dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase.

20
21
22.00
Diambil dari situs Direktorat Perlindungan Konsumen http://pkditjenpdn.depdag.go.id/ 4 April 2009, 18
Keterangan:
Tid
ak Pol
Sel isi/
Me Ko Ha es PN
dia ns sil ai
si oli
da Tindak
si Lanjut
Me
Kebijak Anali Bu Kron Kebijak Peratur mu BP
an sis kti ologi an an ask SK
Pemeri Kasus s Internal Perund an
ntah angan
Aparat Kons Pelak
Pusat/D umen u
aerah Usah
a
Masala Ko Bukan Klarifika Ko
h nfi Masalah si Via nfi
Konsum rm Konsumen Surat rm
en asi asi
Reg
rist
er
Tel Datang Media/ Sur Lis
epo Langsun Internet at an
n g
Pengad
uan
Konsum
en
Prosedur Pengaduan18
PENGADUAN KONSUMEN
1. Konsumen mengadukan permasalahannya dalam lingkup perlindungan konsumen.
2. Konsumen dalam kapasitasnya sebagai konsumen akhir sesuai UUPK.
FASILITAS TERSEDIA
1. Melalui Telepon :
a. Penjelasan pokok permasalahan
b. Kewenangan Penanganan oleh DIrektorat Perlindungan Konsumen
c. Mendorong konsumen untuk bertindak langsung dengan bekal pemberian advis kepada
konsumen
d. Pengumpulan bukti pendukung
e. Pengaduan secara tertulis
f. Penjadwalan pertemuan dengan pejabat pelayanan pengaduan.
. Datang Langsung :
Konsumen membawa permasalahannya langsung ke Subdit Pelayanan Pengaduan di Direktorat
Perlindungan Konsumen dengan terlebih dahulu melakukan :
a. Pengisian Formulir Regristrasi Pengaduan
b. Menguraikan kronologis singkat permasalahan yang dihadapi
c. Petugas akan meng-croos cek dengan pendataan pengaduan dan bukti pendukung,
yang telah diisi oleh konsumen, dalam computer file.
d. Kelengkapan laporan akan ditandatangani oleh kedua belah pihak yaitu pejabat
penerima pengaduan dan konsumen yang mengadu.
e. Laporan pengaduan konsumen menjadi dasar pembuatan surat klarifikasi kepada
pelaku usaha.
f. Setiap surat yang terkirim, konsumen akan memperoleh tembusan.
. Media Massa :
Pengaduan dapat diterima oleh Subdit Pelayanan Pengaduan melalui Media massa khususnya
Surat Pembaca, untuk surat pembaca yang ditanggapi adalah:
a. Memiliki data identitas lengkap
b. Menimbulkan gejolak sosial
c. Berdampak pada kemanan, kenyamanan , dan keselamatan konsumen.
d. Atas pengaduan yang disampaikan melalui media cetak harus dikumpulkan dalam
kliping sebagai data awal yang akurat.
e. Mengundang kedua belah pihak antara pelaku usaha dan konsumen.
.
. Internet :

22
Pengaduan dari internet akan ditindak lanjuti dengan cara:
a. Klasifikasi permasalahan
b. Pengecekan identitas
c. Langsung ditanggapi via internet
BENTUK PENGADUAN :
Pengaduan masyarakat dapat disampaikan dalam bentuk tertulis, dikirim melalui surat dengan
syarat:
a. Diketahui alamat dan identitasnya
b. Dapat disampaikan dalam bahasa Inggris dan Indonesia
c. Masuk dalam kategori perlindungan konsumen
d. Selanjutnya diproses dalam register
e. Dikonfirmasi ulang
f. Proses selanjutnya mengikuti ketentuan diatas.
Pengaduan masyarakat dapat disampaikan dalam bentuk lisan, dikirim melalui surat dengan
syarat :
a. Mengisi/ diisikan dalam formulir pendaftaran
b. Dapat disampaikan dalam bahasa Inggris dan Indonesia
c. Masuk dalam kategori perlindungan konsumen
d. Selanjutnya diproses dalam register
e. Dikonfirmasi ulang
f. Proses selanjutnya mengikuti ketentuan diatas.
REGISTER
1. Proses register / regristrasi adalah proses dimana data dimasukkan dalam sistem filling
oleh petugas yang bersangkutan, sebagai berikut :
a. Pengelompokan komoditi pengaduan
b. Pembagian kasus kepada petugas yang bersangkutan
c. Pemberian nomor
d. Pendataan dalam filling
e. Pengolahan jawaban kasus
f. Pengiriman jawaban secara tertulis
. Tujuan register ini adalah untuk menciptakan alur komunikasi yang mudah untuk diakses
oleh siapapun
. Filling status kasus pada akhir penanganan perkara.

MASALAH KONSUMEN

23
PRINSIP : Mudah, Murah dan Cepat
Penentuan Perkara /masalah konsumen merupakan kunci terpenting dalam penanganan masalah
selanjutnya, dengan menggunakan dasar sebagai berikut :
1. Permasalahan Konsumen :
a. Ada kerugian konsumen
b. Konsumen adalah konsumen akhir
c. Ada pelaku usaha
d. Produk dapat terdiri atas barang dan atau jasa
1. Bukan Permasalahan Konsumen :
a. Klarifikasi melalui surat
b. Pemberitahuan tugas, wewenang, serta fungsi
2. Dianggap selesai
KONFIRMASI
Proses pengecekan kebenaran materi pengaduan
1. Pengiriman surat untuk meminta konfirmasi kepada konsumen
2. Pemberitahuan kepada aparat/pejabat yang bersangkutan
3. Penentuan jadwal pertemuan dengan konsumen, pelaku usaha dan keduanya dengan
Pejabat Penerima Pelayanan Pengaduan
4. Klarifikasi biasanya ditujukan kepada konsumen dan pengirim surat tembusan, serta
instansi/ dinas yang terkait.
5. Pejabat yang berwenang akan melakukan :
a. Penelusuran kebijakan dan peraturan pemerintah yang mendukung
b. Analisis permasalahan yang diadukan
. Klarifikasi kepada konsumen, dengan melakukan :
a. Permintaan bukti pendukung
b. Kronologis kejadian secara akurat
KLARIFIKASI
Proses jawaban pengaduan dilakukan setelah ada konfirmasi atas posisi pengaduan yang
masuk kepada pelaku usaha, untuk selanjutnya pelaku usaha melakukan sanggahan atas
pengaduan yang diadukan konsumen dengan mempersiapkan :
a. Data, hasil uji, dll.
b. Kebijakan internal perusahaan
c. Peraturan per –UU an yang mendukung.
d. Persiapan pembuktian terbalik dari Pelaku Usaha
MEDIASI

24
Madiasi adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ke tiga bersifat
netral dengan tujuan membantu penyelesaian sengketa dan tidak memiliki wewenang untuk
membuat keputusan
KONSILIASI
Konsiliasi adalah penyelesaian yang dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa
dengan didampingi pihak ke tiga yang bertindak pasif sebagai Konsiliator. Sedangkan proses
sepenuhnya diserahkan pada pihak yang bersengketa yaitu Pelaku Usaha dan Konsumen baik
menegani bentuk atau jumlah ganti ruginya.
Apabila kedua media ini tidak dapat menghasilkan satu bentuk keputusan maka dakan
ditempuh langkah tindak lanjut, berupa:
a. Pelimpahan ke BPSK
b. Ke jalur yuridis formil
Demikian mekanisme pelayanan pengaduan konsumen secara lengkap, hasil akhir akan dipilih
sendiri oleh para pihak untuk menyelesaikan permaslahannya tersebut.

Tata Cara Penyelesaian Melalui BPSK19


1. Konsiliasi:
a. BPSK membentuk sebuah badan sebagai pasif fasilitator;
b. Badan yang membiarkan yang bermasalah untuk menyelesaikan masalah mereka
secara menyeluruh oleh mereka sendiri untuk bentuk dan jumlah kompensasi;
c. Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan dinyatakan sebagai persetujuan
rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d. Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.
2. Mediasi:
a. BPSK membentuk sebuah fungsi badan sebagai fasilitator yang aktif untuk
memberikan petunjuk, nasehat dan saran kepada yang bermasalah;
b. Badan ini membiarkan yang bermasalah menyelesaikan permasalahan mereka
secara menyeluruh untuk bentuk dan jumlah kompensasinya;
c. Ketika sebuah penyelesaian dicapai, itu akan diletakkan pada persetujuan
rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
d. Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.

3. Arbitrasi:

19
Ibid

25
a. Yang bermasalah memilih badan CDSB sebagai arbiter dalam menyelesaikan
masalah konsumen;
b. Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan
permasalahan mereka;
c. BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;
d. Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling lama.
e. Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak
dapat mengajukan keluhan kepada pengadilan negeri dalam 14 hari setelah
penyelesaian di informasikan;
f. Tuntutan dari kedua belah pihak harus dipenuhi dengan persyaratan sebagai
berikut:
 Surat atau dokumen yang diberikan ke pengadilan adalah diakui atau dituntut
salah/palsu;
 Dokumen penting ditemukan dan di sembunyikan oleh lawan; atau;
 Penyelesaian dilakukan melalui satu dari tipuan pihak dalam investigasi
permasalahan di pengadilan.
g. Pengadilan negeri dari badan peradilan berkewajiban memberikan penyelesaian
dalam 21 hari kerja;
h. Jika kedua belah pihak tidak puas pada keputusan pengadilan/penyelesaian, mereka
tetap memberikan kesempatan untuk mendapatkan sebuah kekuatan hukum yang
cepat kepada pengadilan tinggi dalam jangka waktu 14 hari.
i. Pengadilan Tinggi badan pengadilan berkewajiban memberikan penyelesaian
dalam jangka waktu 30 hari.

Diagram Alur Tata Cara Penyelesaian Sengketa melalui BPSK


26
Pengajuan Pengaduan

Pengaduan Konsumen ke BPSK


Perma 1 Pengajuan ke PN
Tahun 21 Hr
Kerja
21 Hr kerja
UUPK Ps 55 Konsolidasi Mediasi Arbitrase
Putusan
Final dan Putusan
Mengikat ditolak
TidakSepak Putusan PN UUPK Ps 58 Para Pihak
at
Sepakat? 14 Hr
Putusan Kerja
Final dan UUPK Ps
Mengikat 56 14 Hr
Putusan Kerja
BPSK Memberikan Keputusan diterima
UUPK Ps 54 ayat 3 Para
pihak

Putusan
Ditolak Para
Putusan BPSK Pihak

Putusa 7 Hr Kerja 30 Hr
n UUPK Ps Kerja
Diterim 56 UUPK Ps
a 58
Para Para
Pihak Wajib Melaksanakan Putusan
Pihak

Putusan MA

BPSK
Tidakmeminta Bantuan Untuk Penyelidikan Kriminal
Pelaksanaan Putusan Dilaksanak UUPK Ps 56 (4)
an

Pengaduan Selesai Ditangani Pengaduan Selesai Ditangani

K. PENUTUP
27
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, hendaknya konsumen lebih kritis dan teliti serta banyak menggali informasi
mengenai hak dan kewajibannya sebagai konsumen, sehingga jika dirugikan oleh pelaku
usaha maka konsumen mengetahui apa yang harus dilakukan, serta menumbuhkan kesadaran
dalam diri konsumen bahwa jalan yang ditempuh oleh konsumen untuk memperoleh hak-
haknya tersebut juga merupakan bentuk solidaritas terhadap konsumen lain yang mungkin
juga akan dirugikan apabila konsumen tidak mengadukan kerugian yang dialaminya tersebut.

Daftar Pustaka
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2007. Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta
AZ Nasution, 1995.Konsumen dan Hukum, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
http://mahendraputra.net/wp-content/uploads/2008/12/bahan-kuliah-alternatif-penyelesaian-
sengketa-dagang-111.pdf/
http://pkditjenpdn.depdag.go.id
Janus Sidabalok, 2006. Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti,
Bandung
M. Ali Mansyur, 2007. Penegakan Hukum tentang Tanggung Gugat Produsen dalam
Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta
Muyassarotussolichah, 2009. Aspek Hukum Dalam Bisnis, Ctk. Kedua, Program Studi
Keuangan Islam (KUI) UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat
R. Setiawan, 1999. Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Ctk. Keenam, Putra A Bardin, Bandung
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

28

Anda mungkin juga menyukai