Anda di halaman 1dari 11

BAB 2 PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

A. Pendahuluan.
Pengertians Konsumens dalam aistilah ayuridis formil dijelaskan dalam lUndang- lundang
lnomor 8 ltahun l1999 ltentang Undang -undang aPerlindungan lKonsumen Pasal 12 yang
berbunyi, ‘Konsumen ialah setiap orang, pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia didalam
Masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga oranglain, maupun makhluk hidup
lain, dan tidak untuk diperdagangkan.’1 Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata
consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). sPengertian dari
consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata
consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan
penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana
pengguna tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer
sebagai pemakai atau konsumen.2 Konsumen tercipta dari hubungan antara individu dengan
individu lainnya yang terhubung melalui suatu kegiatan bernama ‘transaksi’. Untuk menjaga
keseimbangan alur kehidupan bermasyarakat ini, dibutuhkan hukum lsebagai alat kontrol
sosial yang mampu menetapkan tingkah laku, perilaku manusia agar tidak menyimpang hingga
mengganggu ketenangan individu lainnya. Adapun, tujuan dari dihadirkannya Hukum dalam
aspek ini adalah sebagai perwujudan perlindungan baik terhadap konsumen maupun
produsen. Kasus produk cacat yang beredar di masyarakat sering kali terjadi akibat kurangnya
inspeksi yang dilakukan oleh produsen terhadap produk yang mereka hasilkan. Ini juga
disebabkan oleh pengawasan yang tidak efektif dari produsen serta dari instansi atau lembaga
yang bertanggung jawab atas pengawasan tersebut. Dalam konteks hukum perdata yang
berlaku, konsumen yang mengalami kerugian karena produk atau barang cacat berhak
mengajukan tuntutan baik kepada produsen maupun kepada pedagang tempat barang tersebut
dibeli. Tuntutan ini diajukan atas dasar adanya perbuatan melawan hukum oleh produsen atau
pihak lain yang terlibat dalam proses produksi atau distribusi produk atau barang cacat, sesuai
dengan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). 3

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, 'perlindungan' berasal dari kata 'lindung', yang
memiliki arti melindungi, mencegah, mempertahankan, dan mengamankan. Dalam hukum,
perlindungan diperlukan untuk memastikan bahwa setiap hak dan kewajiban yang muncul
dari interaksi dan kegiatan manusia dapat terlaksana dengan baik. Perlindungan hukum
merupakan suatu bentuk perlindungan kepada subjek hukum, baik secara preventif maupun
represif, sebagai manifestasi dari kumpulan aturan hukum. Kebutuhan akan perlindungan
konsumen muncul karena posisi konsumen sering kali lebih lemah dibandingkan dengan
pelaku usaha. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara
eksplisit mendefinisikan pelaku usaha sebagai individu atau badan usaha, dengan atau tanpa
bentuk badan hukum, yang didirikan dan beroperasi di wilayah hukum Indonesia, baik secara
mandiri maupun bersama-sama dalam rangka menjalankan aktivitas usaha di berbagai bidang
ekonomi.4 Dengan pengertian yang dijelaskanl pelaku usaha diberikan oleh Undang-Undang di
atas, dapat diketahui bahwa pengertiannya sangatlah luas karena pelaku usaha tidak hanya
terbatas kepadal pemilik perusahaan yang terdaftar sebagai badan hukum, tetapi pemilik
perusahaan yang kecil-kecil pun termasuk, seperti pemilik toko, pemilik bengkel, bahkan
1
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999l lTentang lPerlindungan Konsumendd
2
lA.Z. Nasution, lHukum lPerlindungan lKonsumen lSuatu lPengantar, (Jakarta : Diadit Media, 2001), hal. 13.
3
Husnil Syawalil danl Nenil Sri lImayaniyati, lHukum lPerlindungan Konsumen, Bandung, Mandar Maju, 2000, hal.53
4
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumendd
pemilik warung sekalipun dapat digolongkan sebagai pelaku usaha. Perbuatan yang dilarang
bagi para pelaku usaha diatur dalam BAB IV Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen
yang terdiri dari dari 10l pasal, dimulai dengan Pasal 8 sampai dengan Pasal 17. Sebagai
penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas
akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga,
yaitu konsumen, sama seperti lseorang produsen.5d

Satjipto Raharjo6 mendefinisikanl Perlindungan Hukum ialah pemberian sikap pengayoman


pada hak asasi manusia yang dirugikan oleh oranglain dan perlindungan tersebut diberikan
kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati seluruh haknya sebagaimana terdapat
dalam aturan hukum yang berlaku. Hukum Perlindungan Konsumen membahas mengenai asas
dan kaidah hukum yang mengatur interaksi dan permasalahan konsumen. Dalam pasal 1
angka 1 Undang Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatakan
bahwa ‘perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberi perlindungan kepada konsumen’. Adapun asas yang dimaksud dalam
pengaturan hukum ini adalah Asas kemanfaatan,d asas Keadilan, Keseimbangan, keamanan,
keselamatan konsumen dan asas kepastian Hukum. Asas adalah fondasi dari suatu aturan atau
dasar pemikiran yang dijadikan acuan berpikir dan bentuk prinsip yang dipegang teguh.
Sudikno Mertokusumo merumuskan asas hukum dengan mengemukakan bahwa pikiran dasar
yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkrit yang terdapat
dalam dan dibelakang setiap sistem hukum yangl terjelma dalam peraturan perundang-
undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan
mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.7

Asas hukum merupakan aspek penting untuk menentukan isi dari suatu norma hukum, asas
hukum yang dibentuk harus dapat dijadikan pedoman dalam perumusan suatu norma. Asas
kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam UUPK ini adalah menegaskan bahwa segala Upaya
dalam pelaksanaan perlindungan konsumen dapat memberikan manfaat besar bagi
kepentingan konsumen maupun pelaku usaha secara keseluruhan. Kemudian asas keadilan
dimaksudkan agard partisipasi dan minat seluruh rakyat dapat diwujudkan sepenuhnya dan
memberi kesempatan pada konsumen dan pelaku usaha untuk mendapatkan haknya serta
melaksanakan kewajibannya.l Asas keseimbangan ada untuk memberikan keseimbangan atas
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Asas keseimbangan merupakan salah
satu asas dalam hukum perjanjian sebagaimana halnya dalam transaksi konsumen yang
didasarkan kepada hubungan yang bersifat kontraktual yang menempatkan kreditur dan
debitur dalam posisi dan kedudukan yang sama, layaknya dalam suatu perjanjian timbal balik.
Dalam suatu perjanjian timbal balik, dimana masing-masing pihak mempunyai hak dan
kewajiban, antara satu pihak dengan pihak lainnya tidak satu pun yang berada di posisi diatas
dibanding dengan pihak lainnya. Masing-masing pihak ada pada posisi dan kedudukan yang
sederajat. asas keseimbangan ini diwujudkan dengan ditetapkannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha untuk melaksanakan transaksi konsumen dengan itikad baik. Khusus dalam
kaitannya dengan klausula baku, undang-undang ini telah memberikan batasan
pemberlakuannya sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUPK untuk mewujudkan asas
keseimbangan dalam posisi tawar (bargaining power) yang tidak seimbang. Asas keamanan
dan keselamatan konsumen ditujukan untuk memberikan jaminan terkait keselamatan dan
keamanan konsumen dalam proses penggunaan dan/atau pemanfaatan barang dan/atau jasa
5
lJanus Sidabalok, Hukum lPerlindungan lKonsumen di lIndonesia. (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010)dd
6
lNasution AZ, 1999, lHukum lPerlindungan lKonsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta.
7
lSudikno lMertokusumo, lPenemuan Hukum, Edisi Kedua, (Yogyakarta : Liberty, 2006), halaman 34.
yang dikonsumsi. Kemudian asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen dapat menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam pelaksanaan perlindungan
konsumen yang merupakan bagian dari sikap perwujudan negara hukum (rechtstaat).

Berdasarkand asas yang dijadikan dasar pembentukan pola pikir dari Undang Undang
Perlindungan Konsumen diatas, terdapat pula tujuan yang harus dicapai melalui UUPK
sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 3 yakni, :
a. Meningkatkanl kesadaran, dan kemandirian konsumen dalam melindungi dirinya.
b. Mengangkatl martabat dan harkat konsumen dengan menghindarkannya dari efek negatif
pemakaian barang dan/atau jasa.
c. Membantu meningkatkanl pemberdayaan konsumen dalam menentukan dan menuntut
haknya sebagai Konsumen.
d. Menciptakanl suatu sistem perlindungan konsumen yang mengandung asas kepastian
hukum, dan transparansi.
e. Menumbuhkan kesadaran bagi pelaku usaha mengenai pentingnya pemenuhan hak
Konsumen hingga tumbuh sikap jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Membantu peningkatan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi.

Secara Umum, diketahui pula empat hak dasar bagi konsumen yang diakui secara internasional
diatur dalam The International Organization Of Consumers Union yang terdiri atas :

a. Hakl Untuk lmendapat Keamanan (The Rights to Safety).


b. Hakl Untuk lmendapat Informasi (The Rights to Be Informed).
c. Hakl Untuk lMemilih (The Rights to Choose).
d. Hakl Untuk ldidengar (The Rights to be Heard).

Keempat hak dasar diatas mewakili hak konsumen dan kewajiban konsumen yang secara
langsung diatur dalam pasal 4 Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 tahun 1999
yang berisikan,

1. Hak atas Kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
Jasa.
2. Hak Untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur terikat kondisi barang dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya.
5. Hak mendapatkan advokasi, perlindungan dan Upaya Penyelesaian sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan.
7. Hak untuk dilayani secara benar dan jujur.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai.
9. dan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang undangan.

Di Indonesia, untuk melindungi konsumenl dari ketidakadilan dalam suatu perjanjian standar,
hal tersebut diatur dalam Undang-Undangl Perlindungan Konsumen. Pasal 18 UU Perlindungan
Konsumen melarang pelaku usaha membuat klausula standar yang merugikan konsumen,
termasuk pengalihan tanggung jawab, penolakan pengembalian barang atau uang, dan lainnya.
Selain regulasi, perlindunganl konsumen juga dapat dilakukan melalui peradilan. Hakim dapat
menggunakan prinsip itikad baik, kepatutan, dan penyalahgunaan keadaan sebagai dasar
pengawasan terhadap perjanjian standar. Pentingnya peran konsultan hukum dan notaris
dalam pembuatan perjanjian standar juga ditekankan, di mana mereka harus bertanggung
jawab secara moral untuk memberikan nasihat yang adil kepada kliennya. Perjanjian standar,
umumnya berisi klausula standar yang dirumuskan sepihak oleh pembuat perjanjian. Fokus
utama banyak pihak adalah pada klausula eksonerasi dalam perjanjian standar. Namun, tidak
semua klausula dalam perjanjian standar berisi klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi
dalam perjanjian standar sering kali menempatkan konsumen dalam posisi yang tidak
menguntungkan, menimbulkan kecenderungan eksploitasi oleh pihak yang lebih kuat.

B. Sengketa lKonsumen.
Dalam bahasa Inggris, kata "sengketa" diartikan sebagai "conflict" atau "disputes". Menurut
Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, sengketa diartikan sebagai persepsi perbedaan kepentingan
atau divergensi kepentingan yang dirasakan, serta keyakinan bahwa tujuan-tujuan dari pihak-
pihak yang bersengketa tidak dapat tercapai secara bersamaan. Perbedaan kepentingan ini
berkaitan dengan perbedaan kebutuhan atau tuntutan masing-masing pihak. Secara khusus,
definisi sengketa konsumen dijelaskan dalam Keputusan Menteri Perdagangan Republik
Indonesia No. 350/MPP/Kep/12/2001, yang mendefinisikan sengketa konsumen sebagai
konflik antara pelaku usaha dengan konsumen terkait tuntutan ganti rugi akibat kerusakan,
pencemaran, atau kerugian yang dialami akibat penggunaan barang atau jasa.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia tidak


mendefinisikan secara spesifik istilah 'sengketa konsumen'. Namun, pemahaman tentang
sengketa konsumen bisa didapatkan dari berbagai pasal di dalam undang-undang tersebut,
misalnya Pasal 1 ayat 11 yang membahas tentang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Badan ini bertugas mengelola dan menyelesaikan konflik antara konsumen dan pelaku usaha.
Oleh karena itu, sengketa konsumen dapat dipahami sebagai konflik atau perselisihan yang
terjadi antara konsumen dengan pelaku usaha. Sengketa ini biasanya muncul karena
ketidakpuasan konsumen terhadap suatu produk atau jasa, atau kerugian yang dialami akibat
penggunaannya. Sengketa konsumen dapat meliputi kerugian yang disebabkan oleh cedera
pribadi, kerusakan fisik pada produk itu sendiri, atau kerugian ekonomi. Konflik atau sengketa
ini sering kali berakar pada hal-hal yang tidak diharapkan atau tidak diperkirakan oleh
konsumen sebelumnya. Pemerintah Indonesia mengesahkan ‘Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Perlindungan Konsumen (UUPK)’ pada 20 April 1999, yang mulai berlaku efektif sejak 20
April 2000. Sebelum implementasi UUPK, Indonesia belum memiliki peraturan yang
komprehensif dan menyeluruh mengenai perlindungan konsumen. Peraturan yang ada
sebelumnya tidak cukup untuk melindungi konsumen secara langsung. Dengan adanya UUPK,
dibentuk tiga lembaga non-pemerintah untuk melaksanakan perlindungan konsumen,
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat 1 UUPK. Ketiga lembaga tersebut adalah Badan
Perlindungan Konsumen Nasional, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat
(LPKSM), dan Badan Penyelesaian Sengketa lKonsumen (BPSK).

Problematika lperlindungan terhadap hak konsumen lsangat perlu diperhatikan, banyak hak
konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha dan menimbulkan sengketa hukum serta
permasalahan hukum baru. Konsumen dapat mengajukan keluhannya melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen disingkat BPSK. Pembentukan BPSK bertujuan untuk
melindungi konsumen dan pelaku usaha dengan sistem yang mengandung kepastian hukum
dan transparansi. BPSK adalah sebuah lembaga non struktural yang beroperasi di tingkat
Kabupaten dan Kota, bertugas untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen di luar
sistem pengadilan. Lembaga ini terdiri dari perwakilan dari pemerintah, konsumen, serta
pelaku usaha. Tujuan dari pembentukan BPSK adalah untuk menyederhanakan dan
mempercepat proses penyelesaian sengketa, serta memberikan kepastian hukum kepada
konsumen dalam menuntut hak-hak sipil mereka terhadap pelaku usaha yang bermasalah.
BPSK juga bertujuan untuk menyediakan akses informasi dan menjamin perlindungan hukum
yang adil bagi baik konsumen maupun pelaku usaha. Sesuai dengan mandat dari Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Pemerintah
Nomor 57 Tahun 2001, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) didirikan. dNamun,
BPKN mulai berfungsi pada tanggal 5 Oktober 2004, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
150 Tahun 2004. Sebagai lembaga independen, BPKN memiliki peran penting dalam
memberikan nasihat dan rekomendasi kepada pemerintah terkait pengembangan
perlindungan konsumen di Indonesia. Aktivitas utama BPKN meliputi penyusunan skenario
kebijakan perlindungan konsumen jangka panjang, memastikan prioritas perlindungan
konsumen yang efektif di masa depan, serta mengusulkan perbaikan dan amandemen pada
Undang-undang Perlindungan Konsumen. BPKN juga memberikan pertimbangan kepada
pemerintah untuk penyempurnaan undang-undang tersebut. Badan Perlindungan Konsumen
Nasional (BPKN) memegang peran penting dalam sejumlah area terkait perlindungan
konsumen. Tugas utamanya mencakup memberikan saran dan rekomendasi kepada
pemerintah terkait kebijakan perlindungan konsumen. BPKN juga bertanggung jawab untuk
meneliti dan mengkaji peraturan-peraturan di bidang perlindungan konsumen. Selain itu,
badan ini melakukan penelitian atas barang dan jasa yang berkaitan dengan keselamatan
konsumen, serta mendorong pertumbuhan lembaga perlindungan konsumen yang mandiri.
BPKN juga aktif dalam menyebarkan informasi mengenai perlindungan konsumen dan
menggalakkan sikap pro-konsumen. Tugasnya juga mencakup menerima keluhan dan aduan
perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen mandiri, atau dari
pelaku usaha. Selain itu, BPKN melakukan survei untuk memahami kebutuhan konsumen lebih
dalam. Melalui kegiatan-kegiatan ini, BPKN berupaya meningkatkan standar perlindungan
konsumen dan memastikan bahwa hak-hak konsumen dihormati dan dilindungi.

BPKNl yangl beranggotakanl unsur lpemerintah, lpelaku lusaha, lLPKSM, lakademisi, dan
ltenaga ahli, lsaat ini terdiri dari 17 anggotal dan didukung oleh beberapa staf sekretariat.
lBPKN berlokasi di Jakarta dan telah menetapkan tugas serta tata kerjanya sesuai Keputusan
Ketua BPKN No. 02/BPKN/Kep/12/2004. terakhir, lLembaga Perlindungan Konsumen
Swadaya Masyarakat (LPKSM) merupakan organisasi masyarakat yang berfokus pada
perlindungan konsumen. Sesuai Undang-undang Perlindungan Konsumen, dLPKSM memegang
peranan penting dalam mendorong perlindungan konsumen. Disamping diatur dalam Pasal 44
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, perihal yang menyangkut
LPKSM diatur juga dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumenl Swadaya Masyarakat. sLPKSM adalah lembaga non pemerintah yang
terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai lkegiatan menangani perlindungan
konsumen. Tugas utama LPKSM meliputi lpenyebaran informasi untuk meningkatkan
kesadaran konsumen tentang hak, kewajiban, dan kehati-hatian dalam mengonsumsi barang
dan jasa. LPKSM juga memberikan nasihat kepada konsumen, bekerja sama dengan instansi
terkait untuk perlindungan konsumen, membantu konsumen dalam memperjuangkan hak-hak
mereka, termasuk menerima pengaduan, dan melakukan pengawasan bersama pemerintah
dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen, terdapat sekitar 200 lembaga
LPKSM yang tersebar di berbagai provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia, dengan 107 di
antaranya telah diakui secara resmi dengan pemberian Tanda Daftar Lembaga Perlindungan
Konsumen. lLPKSM memiliki posisi strategis dalam mewujudkan perlindungan konsumen di
Indonesia, tidak hanya sebagai suara kepentingan konsumen tetapi juga memiliki hak untuk
mengajukan gugatan (legal standing) dalam kasus-kasus yang menyangkut kepentingan
konsumen. Gugatan ini dapat diajukan oleh LPKSM yang telah terdaftar sebagai Badan Hukum
atau Yayasan dengan tujuan perlindungan konsumen dalam anggaran dasarnya. Gugatan oleh
LPKSM hanya dapat diajukan ke Badan Peradilan Umum, sesuai dengan Pasal 46 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. LPKSM juga mengawasi lembaga-lembaga perlindungan
konsumen daerah di seluruh Indonesia.

Dalam hukum Indonesia, istilah "tanggung jawab" sering digunakan sebagai terjemahan dari
"responsibility" dan "liability" dalam bahasa Inggris, meskipun beberapa sarjana hukum
membedakan antara "responsibility" (tanggung jawab) dan "liability" (tanggung gugat).
Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) menggunakan istilah tanggung jawab untuk
mengacu pada ganti rugi dalam hukum pidana maupun perdata. 8 Sebelum UU No. 8 Tahun
1999 diberlakukan, tanggung gugat atas cacat produk diatur berdasarkan hukum perikatan. Ini
mencakup tanggung gugat berdasarkan hukum perjanjian, yang mensyaratkan adanya privity
of contract dan mengakui cacad tersembunyi sebagai bagian dari wanprestasi khusus. Juga,
tanggung gugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum diatur oleh Pasal 1365 BW, yang
memerlukan adanya perbuatan yang melanggar hukum, hubungan kausal antara kerugian dan
perbuatan, kesalahan pelaku, dan kriterium relativitas. Dalam perlindungan konsumen, UUPK
mengatur tentang tanggung gugat pelaku usaha, dimulai dari Pasal 19 hingga 28. UUPK tidak
menganut prinsip tanggung gugat mutlak, namun menetapkan bahwa pelaku usaha
bertanggung jawab atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat barang
atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. Beban pembuktian dalam gugatan ganti rugi
terletak pada pelaku usaha.9

Perlindungan konsumen juga diatur melalui perijinan dan penindakan atas pelanggaran yang
mempengaruhi konsumen, termasuk pengaturan administratif dan pidana. Dengan berlakunya
UUPK, dpembuktian kesalahan pelaku usaha tidak lagi menjadi beban penggugat,
memudahkan konsumen dalam menuntut hak mereka. Instrumen hukum yang dapat
dimanfaatkan konsumen meliputi hukum perdata dan publik, termasuk administrasi dan
pidana. Di bidang administrasi, pemerintah mengeluarkan ketentuan yang membebankan
kewajiban tertentu pada pelaku usaha, yang secara langsung maupun tidak langsung
menguntungkan konsumen. Meskipun Indonesia tidak menganut prinsip tanggung gugat
mutlak, UUPK mengatur tentang tanggung jawab produk dalam Pasal 7 hingga 11. Pelanggaran
terhadap pasal-pasal ini dianggap sebagai tindak pidana menurut Pasal 62 UUPK, dengan Pasal
19 ayat (1) secara eksplisit menetapkan tanggung jawab pelaku usaha dalam memberikan
ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, atau kerugian yang dialami konsumen.

C. Penyelesaianl Sengketal lKonsumen.


Secara snormatif, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
melalui Pasal 45 ayat (2) telah menentukan penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa. Penyelesaian sengketa konsumen tersebut dapat ditempuh melalui pengadilan
atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Konsumen
dapat menggugat pelaku usaha di peradilan umum secara perorangan atau secara
berkelompok (class action). Penjelasannya mengemukakan bahwa penyelesaian sengketa

8
lGunawan Widjajal dan Achmad Yani, 2000, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
9
lJanah Sidabalok, 2006, Hukum Perlindungan lKonsumen di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tak menutup kemungkinan untuk
menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud
dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak
yang bersengketa antara pelaku usaha dengan konsumen tanpa melalui pengadilan atau BPSK
dan tidak bertentangan dengan undang-undang ini. Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen (UUPK) menyatakan bahwa konsumen memiliki hak untuk menggugat produsen
atau distributor jika mereka menolak, tidak merespon, atau tidak memenuhi tuntutan ganti
rugi.

Dalam kasus seperti ini, konsumen dapat menyelesaikan perselisihan melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau dengan mengajukan gugatan ke pengadilan di
tempat kedudukan konsumen. Pasal 45 UUPK sejalan dengan hal ini, menetapkan bahwa:
1. Konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga penyelesaian
sengketa atau melalui pengadilan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar
pengadilan, tergantung pada kesepakatan sukarela dari pihak-pihak yang terlibat.
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
4. Jika penyelesaian sengketa di luar pengadilan dipilih dan gagal, gugatan melalui pengadilan
dapat ditempuh jika salah satu pihak atau kedua pihak menyatakan kegagalan tersebut.

Dengan demikian, UUPK memberikan dua pilihan dalam penyelesaian sengketa konsumen:
1. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha,
seperti BPSK.
2. Melalui peradilan umum.

Sebelumnya dalam ayat (1) ditetapkan setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat
pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan
pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Secara
umum, dalam menyelesaikan perselisihan, pihak-pihak yang terlibat cenderung memilih
penyelesaian secara internal dan kekeluargaan melalui musyawarah untuk mufakat, tanpa
keterlibatan pihak ketiga. Penyelesaian melalui cara ini merupakan refleksi dari budaya Timur,
khususnya di Indonesia, yang berlandaskan prinsip gotong-royong dan filosofi Pancasila.
Dalam kontrak atau perjanjian, sering kali disepakati mekanisme penyelesaian sengketa yang
mengutamakan musyawarah kekeluargaan. Jika metode ini tidak berhasil, barulah
dipertimbangkan alternatif lain seperti peradilan, arbitrase, atau metode penyelesaian
sengketa lainnya.

Susanti Adi Nugroho menjabarkan bahwa ada dua proses utama dalam penyelesaian sengketa:
litigasi di pengadilan dan kerjasama di luar pengadilan. Litigasi cenderung adversarial, bisa
menimbulkan masalah baru, lambat, mahal, dan sering menimbulkan permusuhan. Di sisi lain,
penyelesaian di luar pengadilan menawarkan solusi win-win, menjaga kerahasiaan, lebih cepat
dan komprehensif, serta mempertahankan hubungan baik antar pihak. Kelebihan utama
metode nonlitigasi ini adalah kerahasiaannya, karena proses dan hasilnya tidak
dipublikasikan.10 R.Subekti mengutarakan bahwa proses penyelesaian sengketa yang berlarut-
larut tidak diinginkan oleh pengusaha yang memprioritaskan kecepatan. Bagi mereka,
menunggu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap sangat merugikan, karena
10
lSusanti Adi Nugoroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan Hukumnya, (Jakarta : Kencana, 2017), hal. 1-
2.
mengurangi bunga atas modal. Mereka juga merasakan kebutuhan akan penyelesaian oleh ahli
dalam bidang usaha dan perdagangan. Penyelesaian sengketa nonlitigasi mengutamakan
proses perdamaian dan pencegahan sengketa melalui perancangan kontrak yang baik. Metode
ini mencakup berbagai aspek dan dianggap sebagai cara penyelesaian yang paling aman dan
berkualitas tinggi, memungkinkan penyelesaian tuntas tanpa meninggalkan kebencian atau
dendam. Penyelesaian sengketa nonlitigasi dianggap sebagai penyelesaian masalah hukum
yang berdasarkan hukum dan nurani, memungkinkan kemenangan hukum dan kepatuhan
sukarela terhadap kesepakatan atau perdamaian, dengan perasaan yang seimbang di antara
semua pihak terlibat.11 Dengan demikian, penyelesaian secara damai ini justru yang terlebih
dahulu harus diusahakan. Dalam praktiknya, penyelesaian secara damai merupakan prioritas
dan pilihan utama yang dilakukan, baik secara bi partiet oleh konsumen dan pelaku usaha
maupun jika persengketaan tersebut diwakilkan melalui penasihat hukum atau advokat.
Termasuk juga dilakukan oleh sejumlah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang bertugas menangani dan
menyelesaikan sengketa antar pelaku usaha dan konsumen184 sebagai lembaga non struktural
yang berkedudukan di daerah Kabupaten/Kota dan mempunyai fungsi menyelesaikan sengketa
konsumen di luar pengadilan.12 Konsumen yang merasa dirugikan dapat mengajukan
penyelesaian sengketa ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), baik secara tertulis
maupun lisan melalui sekretariat BPSK. Permohonan ini juga dapat diajukan oleh ahli waris
atau kuasa konsumen dalam kasus tertentu, seperti kematian, sakit, usia lanjut,
ketidakdewasaan, atau jika konsumen adalah warga negara asing. Permohonan tertulis yang
diterima oleh BPSK akan diberikan bukti tanda terima, sedangkan permohonan lisan dicatat
oleh sekretariat BPSK dalam format yang tersedia dan harus ditandatangani atau distempel
oleh konsumen, ahli warisnya, atau kuasanya. Berkas permohonan, baik tertulis maupun tidak
tertulis, dicatat oleh sekretariat BPSK dengan tanggal dan nomor registrasi. Permohonan
tertulis harus memenuhi kriteria tertentu, termasuk nama dan alamat lengkap konsumen,
pelaku usaha, detail barang atau jasa yang diadukan, bukti pembelian, serta informasi tentang
tempat, waktu, dan tanggal penerimaan barang atau jasa. Juga dapat mencantumkan saksi, foto
barang atau jasa, jika ada. Setelah permohonan diterima, proses persidangan dimulai. Ketua
BPSK akan memanggil pelaku usaha tertulis beserta salinan permohonan, paling lambat tiga
hari kerja setelah permohonan diterima. Surat panggilan harus mencantumkan detail tentang
hari, waktu, dan tempat persidangan, serta kewajiban pelaku usaha untuk memberikan
jawaban tertulis. Persidangan pertama dijadwalkan paling lambat tujuh hari kerja sejak
permohonan diterima. Dalam proses konsiliasi, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) memainkan peran kunci sebagai mediator yang menghubungkan konsumen dengan
pelaku usaha. Tugasnya meliputi pemanggilan konsumen, pelaku usaha, saksi, dan pakar jika
diperlukan, serta menyediakan ruang dialog mengenai legislasi yang berkaitan dengan
perlindungan konsumen. BPSK memberikan kesempatan bagi konsumen dan pelaku usaha
untuk menyelesaikan sengketa secara mandiri, dengan BPSK bertindak sebagai fasilitator dan
mediator. Mereka menerima dan memutuskan hasil dari perundingan tersebut. Dalam proses
mediasi, BPSK berfungsi sebagai penasihat, dengan penyelesaian konflik diserahkan
sepenuhnya kepada kedua belah pihak yang terlibat. Metode ini menawarkan pendekatan
alternatif dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang bertujuan untuk mencapai
resolusi yang lebih harmonis dan kolaboratif antara konsumen dan pelaku usaha. 13 Dalam
perlindungan hukum, dengan adanya BPSK, diharapkan bisa memberikan perlindungan hukum
11
lR. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung : Bumicipta, 1977), hal. 189
12
lIndonesia, Undang Undang tentang Perlindungan Konsumen, UU No. 8 Tahun 1999.
kepada konsumen dan mengantarkannya untuk menjadi konsumen mandiri yang mengetahui
dan menyadari hak dan kewajibannya. Demikian dengan pelaku usaha agar menjadi pelaku
usaha yang jujur, tangguh dan bertanggung-jawab sehingga apa yang ditetapkan dalam
lUndang-Undangl sebagail kewajibanl pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasall 7 UUPK
dapatl terlaksana dengan baik.

Dalam sudut pandang yuridis, penyelesaian sengketa melalui mekanisme pengadilan, yang
secara terminologis dikenal sebagai 'litigasi', merupakan prosedur yang dilaksanakan dalam
kerangka sistem peradilan formal. Terminologi 'litigasi' bersumber dari istilah 'litigation'
dalam bahasa Inggris, yang secara literal diinterpretasikan sebagai proses pengadilan. Fungsi
esensial pengadilan dalam konteks ini adalah untuk melakukan pemeriksaan dan adjudikasi
atas sengketa yang diajukan. Sebagaimana dengan analisis Susanti Adi Nugroho, proses litigasi
cenderung menghasilkan hasil yang adversarial, yang tidak selalu mencerminkan kesepakatan
yang mengakomodasi kepentingan bersama, sering kali menimbulkan dilema baru, bersifat
protracted dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya signifikan, kurang responsif, dan
berpotensi menciptakan antagonisme di antara para pihak yang terlibat.Subjek yang merasa
hak-haknya dilanggar dan dirugikan harus mengikuti proses hukum yang telah ditetapkan, dan
tidak diizinkan untuk melakukan tindakan sendiri (eigen rechting). Mereka berhak untuk
menginisiasi gugatan di pengadilan sebagai sarana untuk mendapatkan resolusi yang sesuai
dengan kerangka hukum yang berlaku. Prosedur untuk mengajukan dan menyelesaikan kasus
perdata melalui pengadilan, yaitu litigasi, diatur secara spesifik dalam hukum acara perdata.
Hukum acara perdata mengatur secara terperinci tata cara pelaksanaan tindakan baik oleh
individu maupun oleh pengadilan itu sendiri, untuk menjamin bahwa implementasi hukum
perdata dilaksanakan dengan efektif dan adil.14

Penyelesaian sengketa konsumen di peradilan umum di Indonesia mengikuti proses yang


berawal dari pengajuan gugatan. Hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia beroperasi
pada asas bahwa hakim bersikap pasif dan menunggu, artinya inisiatif untuk berperkara
berasal dari pihak-pihak yang berkepentingan. Ini diwujudkan dalam Pasal 1865 KUH Perdata,
yang mengharuskan seseorang yang mengklaim hak atau ingin membuktikan atau membantah
suatu hak orang lain untuk menunjukkan dan membuktikan hak atau peristiwa tersebut.
Dalam konteks sengketa konsumen, ini berarti penggugat harus membuktikan adanya
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dari pihak yang digugat. Pasal 46 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 menyebutkan bahwa gugatan dapat
diajukan oleh konsumen yang dirugikan, ahli waris, sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen, atau pemerintah dalam kasus kerugian materi yang besar atau
korban yang tidak sedikit. Penggugat biasanya adalah konsumen yang berhubungan
kontraktual dengan produsen, yang dapat termasuk beberapa pihak berbeda. Gugatan
umumnya diajukan secara tertulis, disertai dengan pembayaran administrasi yang ditentukan
oleh ketua pengadilan. Dalam proses pemeriksaan pembuktian, penggugat harus membuktikan
beberapa hal, seperti adanya hubungan kontrak, bagian dari kewajiban yang tidak dipenuhi
oleh produsen, dan kerugian yang timbul bagi konsumen. Cara pembuktian ini diatur oleh
undang-undang dan meliputi penggunaan surat, saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.
Prinsip dasar dalam pembuktian adalah memberikan dasar yang cukup kepada hakim untuk
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. Dalam tanggung jawab atas
suatu produk, konsumen yang berada dalam hubungan kontrak jual beli harus membuktikan
13
Bustamar, O. :, Syariah, F., Bukittinggi, I., Paninjauan, J., & Bukittinggi, G. 2. (n.d.). SENGKETA KONSUMEN DAN TEKNIS
PENYELESAIANNYA PADA BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK).
14
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung : Sumur Bandung, Cetakan VI, 1975), hal. 13.
wanprestasi dari produsen. Secara umum, pihak yang menyatakan suatu peristiwa memiliki
beban pembuktian. Namun, untuk mencapai keadilan, praktik pembuktian harus dilakukan
dengan adil, di mana pihak yang paling sedikit dirugikan oleh proses pembuktian haruslah
yang dibebani tugas tersebut. Ini mengharuskan hakim untuk bertindak arif, bijaksana, dan
tidak berat sebelah dalam memberikan beban pembuktian.

Dalam penyelesaian sengketa konsumen di sistem peradilan umum Indonesia, terdapat


regulasi khusus yang memisahkannya dari norma-norma yang biasa diterapkan dalam hukum
acara perdata. Perbedaan ini terutama terlihat dalam hal kewenangan pengadilan, seperti yang
terdapat dalam perbandingan antara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Negeri
Jakarta Utara. Umumnya, kewenangan ini diatur oleh Pasal 118 ayat (1) HIR dan Pasal 142 ayat
(1) RBg, yang menyebutkan bahwa pengajuan gugatan harus dilakukan di Pengadilan Negeri
tempat domisili tergugat. Prinsip ini, yang dikenal sebagai actor sequitur forum rei, mengatur
bahwa pengadilan yang wilayah hukumnya mencakup domisili tergugat adalah yang
berwenang dalam menangani sengketa perdata. Akan tetapi, spesifik untuk sengketa
konsumen, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur
pengecualian dalam Pasal 23. Pasal ini menegaskan bahwa pelaku usaha yang tidak memenuhi
atau merespons tuntutan ganti rugi dari konsumen, sesuai dengan Pasal 19 ayat (1) hingga (4)
UU, bisa dihadapkan ke pengadilan atau lembaga penyelesaian sengketa konsumen yang
berada di tempat kedudukan konsumen. Hal ini menunjukkan perbedaan yang mencolok dari
prinsip-prinsip yang biasanya diterapkan dalam hukum acara perdata.15

15
Shidarta. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Bustamar, O., Syariah, F., Bukittinggi, I., Paninjauan, J., & Bukittinggi, G. (n.d.). Sengketa
Konsumen dan Teknis Penyelesaiannya Pada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Mertokusumo, S. (2006). Penemuan Hukum (Edisi Kedua). Yogyakarta: Liberty.
Nasution, A. Z. (1999). Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Daya Widya.
Nasution, A. Z. (2001). Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media.
Nugoroho, S. A. (2017). Penyelesaian Sengketa Arbitrase Dan Penerapan Hukumnya. Jakarta:
Kencana.
Prodjodikoro, W. (1975). Hukum Acara Perdata di Indonesia (Cetakan VI). Bandung: Sumur
Bandung.
Shidarta. (2004). Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Sidabalok, J. (2006). Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti.
Subekti, R. (1977). Hukum Acara Perdata. Bandung: Bumicipta.
Syawalil, H., & Imayaniyati, N. S. (2000). Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar
Maju
Widjaja, G., & Yani, A. (2000). Hukum Tentang Perlindungan Konsumen. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai