Anda di halaman 1dari 33

TINJAUAN UMUM HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999


TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Konsumen

a. Pengertian Konsumen

Konsumen dalam ketentuan Pasal 1 Angka 2 UUPK,

mengatur bahwa:

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau


jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain
tidak untuk diperdagangkan”

Ketentuan yang menyatakan “Konsumen adalah setiap orang

pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat”,

apabila dihubungkan dengan anak kalimat yang menyatakan “bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup

lain”, tampak ada kerancuan di dalamnya. Demikian pula dengan

penggunaan istilah “pemakai” menimbulkan kesan barang tersebut

bukan milik sendiri, walaupun sebelumnya telah terjadi transaksi jual

beli. Jika seandainya, istilah yang digunakan, “setiap orang yang

memeroleh” maka secara hukum akan memberikan makna yang lebih

tepat, karena apa yang diperoleh dapat digunakan untuk kepentingan

sendiri maupun untuk orang lain.1

Pada kepustakaan ekonomi dikenal dengan istilah konsumen

1
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen,
Rajagrafindo Persada, Jakarta hlm. 4-5.

1
akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau

pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara

adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian

dari proses produksi suatu produk lainnya. 2 Sehingga, dari perbedaan

inilah jika dikaitkan dengan apa yang diatur di dalam UUPK, maka

konsumen yang dimaksud dalam UUPK adalah Konsumen Akhir. 3

Namun, ada hal yang perlu dikritisi terkait cakupan konsumen

dalam UUPK yang sempit. Bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai

konsumen sesungguhnya bukan hanya terbatas pada subjek hukum

yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang

juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang

mengonsumsi barang dan/atau jasa serta tidak diperdagangkan. Oleh

karena itu, lebih tepat jika pasal ini menentukan “setiap pihak yang

memeroleh barang dan/atau jasa” yang dengan sendirinya tercakup

orang dan badan hukum.4

b. Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak konsumen dalam ketentuan Pasal 4 UUPK, mengatur

bahwa:

“ Hak atas konsumen adalah:


a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa

2
Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
3
Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
4
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Ibid.

2
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan
upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian atau sebagaimana
mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan.”

Hak-hak konsumen dalam ketentuan Pasal 4 UUPK lebih luas

jika dibandingkan dengan hak-hak dasar konsumen sebagaimana

pertama kali dikemukakan oleh J.F. Kenedy di depan kongres pada

tanggal 15 maret 1962, yang terdiri atas: 5

1) Hak memeroleh keamanan;

2) Hak memilih;

3) Hak mendapat informasi;

4) Hak untuk didengar.

Hak-hak di atas merupakan bagian dari Deklarasi Hak-Hak

Asasi Manusia yang dicanangkan PBB pada tanggal 10 Desember

1948, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (International

Organization of Consumer Union – IOCU) ditambahkan empat hak

5
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, ibid., hlm. 38-39.

3
dasar lainnya, yaitu:6

1) Hak untuk memeroleh kebutuhan hidup;

2) Hak untuk memeroleh ganti rugi;

3) Hak untuk memeroleh pendidikan konsumen;

4) Hak untuk memeroleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat.

Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap

atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai

berikut:7

1) Hak perlindungan kesehatan dan keamanan (recht op

bescherming van zijn gezendheid en veiligheid);

2) Hak perlindungan kepentingan ekonomi (recht op bescherming

van zijn economische belangen);

3) Hak mendapat ganti rugi (recht op schadevergoeding);

4) Hak atas penerangan (recht op voorlichting en vorming);

5) Hak untuk didengar (recht om te worden gehord).

Bagaimanapun rumusan hak-hak konsumen, secara garis

besar oleh ketentuan UUPK sendiri telah menghimpun 3 (tiga)

prinsip yang merupakan hak-hak konsumen, antara lain: 8

1) Hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari

kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta

kekayaan;

6
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, ibid., hlm. 39.
7
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, ibid., hlm. 39-40.
8
Ahmadi Miru, 2013, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di
Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 112.

4
2) Hak untuk memeroleh barang dengan harga yang wajar; dan

3) Hak untuk memeroleh penyelesaian yang patut terhadap

permasalahan yang dihadapi.

Apabila konsumen benar-benar dilindungi, maka hak-hak

konsumen yang disebutkan di atas harus dipenuhi, baik oleh

pemerintah maupun oleh pelaku usaha, karena pemenuhan hak-hak

konsumen tersebut akan melindungi konsumen dari kerugian dari

berbagai aspek.9

Oleh karena dalam UUPK sendiri telah memberikan hak-hak

kepada konsumen, maka tentunya tidak terlepas akan adanya

kewajiban yang dibebankan kepada konsumen. Pasal 5 UUPK,

mengatur bahwa:

“Kewajiban konsumen, adalah:


a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi
keamanan dan keselamatan;
b. Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian
barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa
perlindungan konsumen secara patut.”

Kewajiban konsumen membaca atau mengikuti petunjuk

informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang

dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan,merupakan hal yang

penting mendapat pengaturan. Hal ini untuk memberikan

konsekuensi kepada pelaku usaha tidak bertanggung jawab, jika

9
Ibid.

5
konsumen yang bersangkutan menderita akibat mengabaikan

kewajiban ini.10 Kewajiban konsumen untuk beriktikad baik hanya

tertuju pada transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini tentu

saja disebabkan karena bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat

merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan

produsen.11

Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar

yang disepakati dengan pelaku usaha, adalah hal yang sudah biasa

dan sudah semestinya demikian.12

Kewajiban lain yang perlu mendapat penjelasan lebih lanjut

adalah kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum

sengketa perlindungan konsumen secara patut. Adanya kewajiban

ini diatur dalam UUPK dianggap tepat, sebab kewajiban ini adalah

untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan secara patut. Hak ini akan lebih

mudah diperoleh jika konsumen mengikuti upaya penyelesaian

sengketa secara patut.13

2. Pelaku Usaha

a. Pengertian Pelaku Usaha

10
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 48.
11
Ibid., hlm. 49.
12
Ibid.
13
Ibid., hlm. 49-50

6
Dalam ketentuan Pasal 1 Angka (3), mengatur bahwa:

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan


usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan
badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.”

Definisi pelaku usaha dalam ketentuan Pasal 1 Angka 3

UUPK tersebut, pelaku usaha tidak harus suatu badan hukum, tetapi

dapat pula orang perseorangan. Menurut definisi tersebut, UUPK

berlaku baik bagi pelaku usaha ekonomi kuat, maupun bagi pelaku

usaha ekonomi lemah (usaha kecil menengah). Pelaku usaha

menurut UUPK juga tidak terbatas pada pelaku usaha perorangan

yang berkewarganegaraan Indonesia atau badan hukum Indonesia,

tetapi juga pelaku usaha perorangan yang bukan

berkewarganegaraan Indonesia atau pelaku usaha badan hukum

asing, sepanjang mereka melakukan kegiatan usahanya dalam

wilayah hukum negara Republik Indonesia.14

Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK

memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam

masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat

dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished

product), penghasil bahan baku, pembuat suku cadang, setiap orang

yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan


14
Susanti Adi Nugroho, 2011, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau
Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
hlm. 67.

7
mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain

yang membedakan dengan produk asli pada produk tertentu,

importer suatu produk pangan dengan maksud untuk dijualbelikan,

disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi lain

dalam transaksi perdagangan, pemasok (supplier), dalam hal

identitas dari produsen atau importer tidak dapat ditentukan. 15

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Pasal 6 UUPK, mengatur bahwa:

“Hak pelaku usaha adalah:


a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari
tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang daitur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.”

Hak untuk menerima pembayaran sesuai kondisi dan nilai

tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan

bahwa pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi

barang dan/atau jasa yang dijualnya kepada konsumen tidak sesuai

menurut harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau

jasa yang sama.16

15
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 8-9.
16
Ibid., hlm. 50.

8
Kewajiban konsumen yang berhubungan dengan hak pelaku

uaha pada Huruf b, huruf c dan huruf d tersebut adalah kewajiban

konsumen untuk mengikuti upaya penyelesaian sengketa. 17

Terkait hak yang diatur lebih lanjut dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan lainnya,seperti hak-hak yang diatur dalam

Undang-Undang Perbankan, Undang-Undang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dan undang-undang

lainnya.18

Adapun kewajiban pelaku usaha dalam ketentuann Pasal 7

UUPK, mengatur bahwa:

“Kewajiban pelaku usaha adalah:


a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan
jujur serta tidak diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar
mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian
apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian.”

Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan

salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian sebagaimana

diatur dalam ketentuan Pasal 1338 Ayat (3) Kitab Undang-Undang


17
Ibid.
18
Ibid.

9
Hukum Perdata.19 Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beriktikad

baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi

konsumen, diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi

pembelian barang dan/atau jasa.20

Kewajiban pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang

benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang

dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan disebabkan karena informasi di samping merupakan

hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi atau informasi yang

tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat

produk (cacat informasi) yang akan sangat merugikan konsumen. 21

Pelaku usaha juga dilarang untuk membeda-bedakan

konsumen dalam memberikan pelayanan. Selain itu, pelaku usaha

juga dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada

konsumen.22

Terkait kewajiban pelaku usaha untuk memberikan

kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau

garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan, yang

dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang

dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau

19
Ibid., hlm. 52.
20
Ibid., hlm. 54.
21
Ibid., hlm. 55.
22
Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 7 Huruf c.

10
kerugian.23

c. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

Bentuk tanggung jawab pelaku usaha dalam ketentuan

UUPK, antara lain:

Pasal 19

(1) “Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi


atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian
konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa
yang dihasilkan atau diperdagangkan;
(2) Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat
berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santutan yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
(3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu
7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi;
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan
adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.”

Memperhatikan substansi Pasal 19 (1) dapat diketahui bahwa

tanggung jawab pelaku usaha, meliputi:24

1) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan;

2) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran; dan

3) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.

Berdasarkan hal ini, maka adanya produk barang dan/atau

jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar

pertanggungjawaban pelaku usaha, melainkan tanggung jawab


23
Ibid., Pasal 7 Huruf e.
24
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 126.

11
pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami konsumen. 25

Memperhatikan ketentuan Pasal 19 Ayat (2), konsumen

hanya mendapatkan salah satu bentuk penggantian kerugian yaitu

ganti kerugian atas harga barang atau hanya berupa perawatan

kesehatan, padahal konsumen bukan hanya kerugian atas harga

barang tetapi juga kerugian yang timbul dari biaya perawatan

kesehatan.26

Kelemahan dalam kententuan Pasal 19 Ayat (3) yang sangat

merugikan konsumen adalah bahwa pemberian ganti kerugian dalam

tenggang waktu hanya 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

Sehingga, apabila telah melewati tenggang waktu setelah tanggal

transaksi, konsumen tidak akan mendapatkan pengantian kerugian

dari pelaku usaha.27

Pasal 20

“Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang


diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan
tersebut.”

Seharusnya pelaku usaha hanya bertanggung jawab terhadap

akibat yang timbul oleh kreasinya sendiri, sehingga bukan

menyangkut informasi yang disampaikannya. Soal kesalahan

informasi yang disampaikan, seharusnya pihak yang bertanggung

jawab adalah pelaku usaha pemesan iklan yang bersangkutan.

Kemungkinan pelaku usaha periklanan dapat dimintakan tanggung


25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid., hlm. 126-127

12
jawab apabila informasi yang diterimanya dari pelaku usaha

pemesan iklan diketahuinya tidak benar, namun pelaku usaha

periklanan tetap mempromosikan iklan yang dimaksud. 28

Pasal 21

(1) “Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat


barang yang diimpor, apabila importasi barang tersebut
tidak dilakukan agen atau perwakilan produsen luar negeri;
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa
asing apabila penyedia jasa asing tersebut tidak dilakukan
oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.”

Substansi Pasal 21 tepat dalam rangka memberikan

perlindungan kepada konsumen, karena sebagaimana diketahui

UUPK hanya tertuju pada pelaku usaha yang menjalankan usahanya

di Indonesia, dan karenanya importer harus bertanggung jawab

sebagai pembuat barang impor dan/atau sebagai penyedia jasa

asing.29

Pasal 22

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam


kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 Ayat
(4), Pasal 20 dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung
jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa
untuk melakukan pembuktian.”

Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan system

pembuktian terbalik.30 Ketentuan yang memberikan beban

pembuktian terbalik kepada pelaku usaha dalam kasus pidana

berlaku khusus menyimpangi ketentuan umum (KUHAP), namun

28
Ibid., hlm. 151
29
Ibid., hlm. 153.
30
Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 22.

13
harus tetap dijaga agar jangan sampai aturan ini disalahgunakan

untuk melakukan pemerasan terhadap pelaku usaha.

Pasal 23

“Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi


tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Ayat (1),
Ayat (2), Ayat (3) dan Ayat (4) dapat digugat melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen atau mengajukan ke
badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”

Ketentuan pasal ini merupakan salah satu hal baru dalam

dunia peradilan di Indonesia, dan dapat dikatakan sebagai langkah

maju yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam

memberdayakan konsumne menuntut haknya atas ganti kerugian

terhadap pihak pelaku usaha.

Pasal 24

(1) “Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada


pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa
melakukan perubahan apapun atas barang dan/atau
jasa tersebut;
b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak
mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa
yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai
dengan contoh, mutu dan komposisi;
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dibabaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi
dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain
yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali
kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas
barang dan/atau jasa tersebut.”

Adanya pegaturan Pasal 24 Ayat (1) tersebut, makaa pelaku

usaha yang menjual barang dan/atau jasa keapda pelaku usaha lain

14
akan tetap berntanggun jawab atas tuntutan ganti kerugian dan/atau

gugatan konsumen yang bersangkutan. Adapun menyangkut Pasal

24 Ayat (2), menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, tanpa

adanya pengaturan dalam pasal ini pembebasan tanggung jawab

seperti itu secara otomatis berlaku. Secara “a contrario” sudah jelas

dari pengaturan Pasal 24 Ayat (1) juga dapat berarti bahwa apabila

pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa dari produsen

(pelaku usaha-pihak pertama) menjual kembali setelah melakukan

perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut, maka pelaku

produsen dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti

kerugian dan/atau gugatan konsumen.31

Pasal 25

(1) “Pelaku usaha yang memproduksi barang yang


pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu
sekaurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan
suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib
memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau ganti
rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha
tersebut:
a. Tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku
cadang dan/atau fasilitas perbaikan;
b. Tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau
garansi yang diperjanjikan.”

Sesuai ketentuan ini, pelaku usaha wajib menyediakan suku

cadang dan/atau fasilitas purna jual, demikian pula wajib memenuhi

jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan, sepanjang

31
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 156-157.

15
pelaku usaha yang bersangkutan memproduksi barang yang

pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-

kurangnya 1 (satu) tahun.32

Pasal 26

“Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi


jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang
diperjanjikan.”

Ketentuan pasal ini sesungguhnya tanpa mendapat

pengaturan dalam Undang-Undang pelindungan Konsumen, sudah

ada ketentuan tentang wanprestasi dalam BW. Satu-satunya maksud

pengaturan kembali ini adalah agar substansi ketentuan tersebut

masuk ke sistem perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Pasal 27

“Pelaku usaha yang memproduksi baranf dibebaskan dari


tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen,
apabila:
a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau
tidak dimaksudkan utnuk diedarkan;
b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai
kualifikasi barang;
d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak
barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang
diperjanjikan.”

Cacat yang timbul di kemudian hari adalah sesudah tanggal

yang mendapat jaminan dari pelaku usaha sebagaimana

diperjanjikan, baik tertulis maupun lisan. 33 Sedangkan, yang

32
Ibid., hlm. 157.
33
Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 27 Huruf b

16
dimaksud dengan kualifikasi barang adalah ketentuan standarisasi

yang telah ditetapkan pemerintah berdasarkan kesepakatan para

pihak.34 Selain itu, dalam ketentuan Pasal 27 Huruf e, jangka waktu

yang diperjanjikan itu adalah masa garansi.35

Dalam ketentuan Pasal 27 ini, salah satu hal yang

menyebabkan Pelaku Usaha terbebas dari tanggung jawabnya

adalah adanya kesalahan sendiri dari konsumen. Menurut doktrin di

Amerika Serikat, Inggris dan Belanda, termasuk dalam pengertian

kesalahan sendiri ini (contributory negligence) adalah kesalahan

orang yang menjadi tanggung jawabnya, misalnya pegawai atau

anggota keluarga dari konsumen.36

Pasal 28

“Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur “kesalahan” dalam


gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada Pasal 19,
Pasal 22 dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab
pelaku usaha.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ini, bahwa beban

pembuktian unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian

merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini

memberikan konsekuensi hukum bahwa pelaku usaha yang dapat

membuktikan kerugian bukan merupakan kesalahannya terbebas

dari tanggung jawab ganti kerugian.37

34
Ibid., Pasal 27 Huruf c.
35
Ibid., Pasal 27 Huruf e.
36
Nurhayati Abbas, 2011, Tanggung Jawab Produk Terhadap Konsumen dan
Implementasinya Pada Produk Pangan, ASPublishing, Makassar, hlm. 156.
37
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 167.

17
Tanggung jawab pelaku usaha ditinjau dari prinsip

keseimbangan dengan konsumen, merupakan bentuk intervensi yang

bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada konsumen

dengan cara membatasi sekaligus menyeimbangkan posisi tawar-

menawar para pihak, sebagaimana diatur dalam pasal 18 UUPK. 38

Dalam hukum perdata, ganti kerugian hanya diwajibkan

kepada pelaku usaha kepada pihak yang dirugikan apabila telah

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 39

1) Telah terjadi kerugian bagi konsumen;

2) Kerugian tersebut memang adalah sebagai akibat perbuatan

pelaku usaha;

3) Tuntutan ganti rugi telah diajukan gugatannya oleh pihak yang

menurut UUPK berhak mengajukan gugatan (Pasal 46 Ayat (1));

4) Telah ada putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap

sehingga telah dapat dilaksanakan, putusan tersebut dapat

berupa hasil kesepakatan antara pelaku usaha dan konsumen

yang telah menyelesaikan sengketanya melalui penyelesaian

damai, atau berupa putusan arbitrase Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK) atau berupa putusan pengadilan.

Secara umum, gugatan ganti kerugian dibagi dalam 2 (dua)

38
Khardin, 2019, “Perlindungan Pengguna YouTube Terhadap Iklan Yang Tidak
Dapat Dilewatkan Ditinjau Dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Etika
Pariwara Indonesia”, Sarjana Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar,
hlm. 42, sebagaimana dikutip dari Abdurrahman Konoras, 2017, Jaminan Produk Halal di
Indonesia Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen, Rajagrafindo Persada, Depok, hlm. 25.
39
Susanti Adi Nugroho, op.cit.,hlm. 165.

18
kategori. Kedua bentuk gugatan ganti kerugian tersebut adalah

sebagai berikut:40

1) Gugatan Berdasarkan Wanprestasi

Apabila gugatan ganti kerugian didasarkan pada wanprestasi,

maka terlebih dahulu tergugat dengan penggugat (produsen dengan

konsumen) terikat suatu perjanjian. Dengan demikian, pihak ketiga

(bukan sebagai pihak dalam perjanjian) tidak dapat menggugat ganti

kerugian dengan alasan wanprestasi.

Gugatan ganti kerugian yang diperoleh karena adanya

wanprestasi merupakan akibat tidak dipenuhinya kewajiban utama

atau kewajiban tambahan yang berupa kewajiban atas prestasi

utama atau kewajiban jaminan/garansi dalam perjanjian. 41 Bentuk-

bentuk wanprestasi dapat berupa:42

a) Sama sekali tidak memenuhi prestasi;

b) Prestasi yang dilakukan tidak sempurna;

c) Terlambat memenuhi prestasi;

d) Melakukan apa yang ada dalam perjanjian dilarang untuk

dilakukan.

Beberapa hal yang kemungkinan dapat digugat oleh pihak

yang dirugikan akibat wanprestasi, yaitu:43

a) Pembatalan (pemutusan) perjanjian;

40
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 127-128.
41
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit. hlm.128.
42
Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm. 74.
43
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, loc.cit.

19
b) Pemenuhan Perjanjian;

c) Pembayaran ganti kerugian;

d) Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian;

e) Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian.

2) Gugatan Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum

Berbeda dengan tuntutan ganti kerugian yang didasarkan

pada perikatan yang lahir dari perjanjian (karena terjadinya

wanprestasi), gugatan ganti kerugian yang didasarkan pda

perbuatan melanggar hukum tidak perlu didahului dengan perjanjian

antara produsen dan konsumen, sehingga gugatan ganti kerugian

dapat dilakukan oleh setiap yang dirugikan, walaupun tidak pernah

terdapat hubungan perjanjian antara produsen dan konsumen. 44

Perbuatan melanggar hukum sangat penting untuk dicermati lebih

lanjut karena paling memungkinkan untuk digunakan oleh konsumen

sebagai dasar yuridis penuntutan terhadap pihak lawan

sengketanya.45

Untuk dapat menggugat ganti kerugian berdasarkan

Perbuatan Melanggar Hukum, maka harus memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:46

44
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 129.
45
Abdul Halim Barkatullah, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoretis
dan Perkembangan Pemikiran, FH Unlam Press, Banjarmasin, hlm. 32.
46
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 130.

20
a) Ada Perbuatan Melanggar Hukum

Perbuatan melanggar hukkum tidak hanya sekedar melanggar

undang-undang, melainkan perbuatan melanggar hukum tersebut

dapat berupa:47

(1) Melanggar hak orang lain;

(2) Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat;

(3) Berlawanan dengan kesusilaan baik; dan

(4) Berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan

dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain.

b) Adanya kerugian

Walaupun kerugian dapat berupa kerugian atas diri (fisik)

seseorang atau kerugian yang menimpa harta benda, namun jika

dikaitkan dengan ganti kerugian, maka keduanya dapat dinilai

dengan uang (harta kekayaan). Demikian pula karena kerugian harta

benda dapat pula berupa kehilangan keuntungan yang diharapkan,

maka pengertian kerugian seharusnya adalah berkurangnya atau

tidak diperolehnya harta kekayaan pihak yang satu, yang disebabkan

oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar

norma pihak orang lain.48

Ganti kerugian dalam UUPK, hanya meliputi pengembalian

uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau

setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

47
Ibid.
48
Ibid., hlm. 133.

21
santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.49

c) Hubungan Sebab Akibat

Di Indonesia, teori adequat (“apa yang dapat diperkirakan

sebelumnya” atau “akibat yang menurut akal sehat diharapkan dapat

timbul dari suatu perbuatan”) yang dianut adalah bahwa akibat

tersebut disebabkan oleh faktor yang secara yuridis relevan, yakni

dapat menimbulkan akibat itu, karena pada dasarnya adequat

diartikan sebagai penyebab yang wajar dapat diduga menimbulkan

akibat.50

d) Ada kesalahan

Kesalahan ini memiliki 3 (tiga) unsur, yaitu:

(1) Perbuatan yang dilakukan dapat disesalkan;

(2) Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya;

(a) Dalam arti objektif: sebagai manusia normal dapat menduga

akibatnya;

(b) Dalam arti subjektif: sebagai seorang ahli dapat menduga

akibatnya;

(3) Dapat dipertanggungjawabkan: debitur dalam keadaan cakap.

Bentuk-bentuk tanggung jawab yang telah diautur dalam

UUPK merupakan penjabaran lebih lanjut dari prinsip-prinsip yang

ada dalam mewujudkan tanggung gugat produk yang kesemuanya

49
Ibid., hlm. 136.
50
Ibid., hlm. 140.

22
telah termuat di dalam penjabaran pasal-pasal UUPK tersebut.

Prinsip-prinsip ini yakni, antara lain: 51

1. Pertanggungjawaban Kontraktual (Contractual Liability)

Pertanggungjawaban kontraktual artinya pertanggungjawaban

yang timbul karena adanya hubungan hukum antara pelaku usaha

dan konsumen yang didasarkan pada perjanjian. Tanggung jawab

tersebut adalah tanggung jawab perdata yang timbul karena adanya

wanprestasi dari perjanjian tersebut.

2. Pertanggungjawaban Produk (Product Liability)

Pertanggungjawaban Produk (Product Liability) adalah

tanggung jawab perdata secara langsung (strict liability) dari pelaku

usaha (produsen barang) atas kerugian yang dialami konsumen

akibat menggunakan atau mengonsumsi barang yang dihasilkannya.

3. Pertanggungjawaban Profesional (Proffesional Liability)

Pertanggungjawaban profesional adalah tanggung jawab

perdata yang dapat didasarkan pada tanggung jawab perdata secara

langsung (strict liability), ataupun tanggung jawab perdata atas dasar

perjanjian atau kontrak (contractual liability) dari pelaku usaha

(pemberi jasa), atas kerugian yang dialami konsumen akibat jasa

yang diberikannya.

4. Pertanggungjawaban Pidana (Criminal Liability)

Tanggung jawab pidana pelaku usaha (baik barang dan/atau

51
Sri Redjeki Hartono, 2007, Penegakan Hukum Tentang Tanggung Gugat Produsen
Dalam Perwujudan Perlindungan Konsumen, Genta Press, Yogyakarta, hlm. 61-65

23
jasa) atas terganggunya keselamatan dan keamanan masyarakat

(konsumen).

3. Perlindungan Konsumen

a. Pengertian Perlindungan Konsumen

Dalam ketentuan Pasal 1 Angka 1 UUPK, mengatur bahwa:

“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang


menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi
perlindungan kepada konsumen.”

Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin

adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk

meniadakan tindak kesewenang-wenangan yang merugikan pelaku

usaha hanya demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. Hal

ini untuk membuktikan bahwa meskipun undang-undang ini disebut

sebagai Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) namun

bukan berarti kepentingan pelaku usaha tidak ikut menjadi perhatian,

teristimewa karena keberadaan perekonomian nasional banyak

ditentukan oleh pelaku usaha.52

Menurut AZ Nasution sendiri, merumuskan bahwa Hukum

Konsumen yaitu rangkaian peraturan perundang-undangan yang

memuat asas dan kaidah yang berkaitan hubungan dan masalah-

masalah konsumen. Namun, terjadi pergeseran rumusan oleh Az

Nasution sendiri yang merumuskan bahwa Hukum Konsumen adalah

keseluruhan asas dan kaidah hukum yang mengatur kaitan dengan


52
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 1.

24
barang dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup. 53

b. Asas Perlindungan Konsumen

Menurut Agus Brotosusilo, asas atau prinsip yang harus

mendasari pengaturan mengenai perlindungan konsumen adalah

prinsip keadilan dalam berinteraksi dan berinterrelasi antara pelaku

usaha dengan konsumen.54 Dalam ketentuan Pasal 2 UUPK, telah

diatur bahwa:

“Perlindungan Konsumen berasaskan manfaat, keadilan,


keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta
kepastian hukum.”

Asas Manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa

segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen

harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 55

Asas Keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat

dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan

kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memeroleh haknya dan

melaksanakan kewajibannya secara adil.56

Asas Keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan

keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan

53
Abdurrahman Konoras, 2017, Jaminan Produk Halal di Indonesia Perspektif
Hukum Perlindungan Konsumen, Rajagrafindo Persada, Depok, hlm. 15.
54
Endang Sri Wahyuni, 2003, Aspek Hukum Sertifikasi dan Keterkaitannya Dengan
Perlindungan Konsumen, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 85.
55
Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 2.
56
Ibid.

25
pemerintah dalam arti materil dan spiritual.57

Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen dimaksudkan

untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada

konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.58

Asas Kepastian Hukum dimaksudkan agar pelaku usaha

maupun konsumen menaati hukum dan memeroleh keadilan dalam

menyelenggaraka perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.59

c. Tujuan Perlindungan Konsumen

Pasal 3 UUPK, mengatur bahwa

“Perlindungan konsumen bertujuan:


a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian
konsumen untuk melindungi diri;
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkan dari akses negative pemakaian barang
dan/atau jasa;
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai
konsumen;
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan
informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh
sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau
jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan
keselamatan konsumen.”
57
Ibid.
58
Ibid.
59
Ibid.

26
Keenam tujuan khusus perlindungan konsumen di atas,

apabila dikelompokkan kedalam 3 (tiga) tujuan hukum secara umum,

maka tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan terlihat pada

rumusan Huruf c, dan Huruf e. sementara tujuan untuk memberikan

kemanfaatan dapat terlihat dalam rumusan Huruf a, Huruf b,

termasuk Huruf c, huruf d dan Huruf f. terakhir tujuan khusus yang

diarahkan pada tujuan kepastian hukum terlihat dalam rumusan

Huruf d. pengelompokkan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena

seperti yang dapat dilihat bahwa dalam rumusan Huruf a sampai

dengan Huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasi sebagai

tujuan ganda.60

4. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dalam ketentuan Pasal 45, mengatur bahwa:

(1) “Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku


usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
lembaga peradilan yang berada di lingkungan peradilan
umum;
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau luar pengadilan berdasarkan pilihan
sukarela para pihak yang bersengketa;
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada Ayat (2) tidak menghilangkan tanggung
jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang;
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa
konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan
hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
60
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 34.

27
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak
yang bersengketa.”

Melalui ketentuan Pasal 45 Ayat (1), dapat diketahui bahwa

untuk menyelesaikan sengketa konsumen, terdapat 2 (dua) pilihan,

yaitu:61

a. Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara

konsumen dan pelaku usaha; dan

b. Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Selain itu, Pasal 45 Ayat (2), membagi penyelesaian sengketa

konsumen menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:62

a. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan;

1) Penyelesaian sengketa secara damai oleh para pihak sendiri;

2) Penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berwenang,

yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) dengan menggunakan mekanisme arbitrase,

konsiliasi dan mediasi;

b. Penyelesaian sengketa konsumen melalui proses litigasi

(pengadilan).

Dalam ketentuan Pasal 46 UUPK, mengatur bahwa:

(1) “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan


oleh:
a. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang
bersangkutan;
b. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan
yang sama;
c. Lembaga perlindungan konsumen swadaya
61
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 224.
62
Susanti Adi Nugroho, op.cit., hlm. 98.

28
masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk
badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan
didirikannya organisasi tersebut adalah untuk
kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya;
d. Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan
mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau
korban yang tidak sedikit;
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen,
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat,
atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
Huruf b, Huruf c atau Huruf Huruf d, diajukan pada
peradilan umum;
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang
besar dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana
dimaksud pada Ayat (1) Huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.”

Dalam ketentuan ini, khususnya pada ketentuan Pasal 46

Ayat (1) huruf b, mengakui adanya gugatan kelompok atau class

action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh

konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara

hukum, salah satu di antaranya adalah bukti transaksi. 63

Dalam ketentuan Pasal 47 UUPK, mengatur bahwa:

“Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan


diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai
bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan
tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.”

Bentuk jaminan yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah

berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak akan

terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen

63
Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 46 Ayat (1) Huruf b

29
tersebut.64

Terkait penyelesaian sengketa melalui pengandilan, maka hal

ini diatur dalam ketentuan Pasal 48 UUPK yang mengatur bahwa:

“penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan


mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang
berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam pasal 45.”

Penunjukkan Pasal 45 dalam hal ini, lebih banyak tertuju pada

kententuan tersebut dalam Ayat (4). Artinya, penyelesaian sengketa

konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila: 65

a. Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa

konsumen di luar pengadilan; atau

b. Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para

pihak yang bersangkutan.

Satu hal yang perlu diingat, bahwa cara penyelesaian

sengketa melalui pengadilan menggunakan hukum acara yang

umum berlaku selama ini, yaitu HIR/RBg.66

5. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pasal 1 Angka 11 mengatur bahwa yang dimaksud dengan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan

yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara

pelaku usaha dan konsumen. BPSK sendiri mempunyai kedudukan


64
Ibid., Pasal 47.
65
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit., hlm. 234
66
Ibid.

30
di tingkat kotamadya atau kabupaten.67

Pemerintah membentuk suatu badan baru, yaitu Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk penyelesaian

sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan adanya BPSK, maka

penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan secara cepat,

mudah dan murah. Cepat karena undang-undang menentukan

dalam tenggang waktu 21 hari kerja, BPSK wajib menyelesaikan

putusannya. Mudah karena prosedur administrative dan proses

pengambilan putusan yang sangat sederhana. Murah terletak pada

biaya perkara yang terjangkau.68

Adapun tugas dan wewenang dari BPSK pada kententuan

Pasal 52 UUPK, mengatur bahwa:

“Tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa


Konsumen, meliputi:
a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa
konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase
atau konsiliasi;
b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula
baku;
d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi
pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini;
e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis,
dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa
perlindungan konsumen;
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau
setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran
67
M. Sofyan Lubis, 2009, Mengenal Hak Konsumen dan Pasien, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, hlm. 80.
68
Susanti Adi Nugroho, op.cit., hlm. 99.

31
terhadap undang-undang ini;
i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku
usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang sebagaimana
dimaksud pada Huruf g dan Huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen;
j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen
atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau
pemeriksaan;
k. Memutuskan dan menetapkan atau tidak adanya kerugian
pihak konsumen;
l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-udang ini.”

Pada ketentuan ini khususnya pada Huruf a tentang berbagai

bentuk penyelesaian sengketa konsumen yang menjadi tugas dan

wewenang BPSK, yakni:

1. Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata

di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa.

Arbitrase ini sendiri ditangani langsung oleh Badan Arbitrase

Nasional Indonesia. Kelebihan penyelesaian sengketa melalui

arbitrase ini adalah putusannya langsung final, mempunyai

kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan

arbitrase ini memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila

pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela,

maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke

pengadilan.69

2. Konsiliasi memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, yakni


69
Ahmadi Miru, op.cit., hlm. 159-160.

32
menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan

pendapatnya tentang sengketa yang disampaikan oleh para

pihak. Namun, pendapat dari konsiliator tersebut tidak mengikat

sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase sehingga

menyebabkan penyelesaiannya sangat tergantung pada

kesukarelaan para pihak.70

3. Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus didahului dengan

kesepakatan para pihak, baik sebelum maupun setelah

timbulnya sengketa. Mediasi merupakan cara penyelesaian

sengketa yang menggunakan pihak ketiga sebagai mediator

yang dipilih oleh para pihak. Jasa yang diberikan oleh mediator

adalah menawarkan dasar-dasar penyelesaian sengketa, namun

tidak memberikan putusan atau pendapat tehadap sengketa

yang sedang berlangsung. Sehingga, hasil penyelesaian dalam

bentuk kompromi terletak sepenuhnya pada kesepakatan para

pihak, dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri

sengketa secara final dan tidak pula mengikat secara mutlak tapi

tergantung pada iktikad baik untuk memenuhi secara sukarela. 71

70
Ibid., hlm. 162-163.
71
Ibid., hlm. 165.

33

Anda mungkin juga menyukai