Anda di halaman 1dari 9

Nama kelompok :

1. Pipit Ainur Rohmah (22201081275)

2. Kholis Mufaidatul Hikmah (22201081254)

3. Muhammad Aghits Fanani (22201081251)

4. Mohammad Sihabbudin (22201081281)

PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian perlindungan konsumen

Perlindungan Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang


mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang
dan/atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup (Shidarta, 2000:9).

Sedangkan menurut Sidobalok (2014:39), hukum perlindungan konsumen adalah


keseluruhan Peraturan dan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan
produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatur upaya-upaya
untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen.

Perlindungan konsumen diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK 8/1999)
tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Hukum
perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban
produsen/pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu
(Sidobalok, 2014:37).

Perintis adanya hukum perlindungan konsumen di Indonesia adalah Yayasan Lembaga


Konsumen Indonesia (YLKI) yang didirikan pada 11 Mei 1973. YLKI bersama dengan BPHN (Badan
Pembinaan Hukum Nasional) membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada
tahun 1990. Rancangan hukum perlindungan konsumen juga didukung oleh Departemen
Perdagangan atas desakan lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund)
sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mulai
berlaku sejak tanggal 20 April 2000 (Nasution, 1995:72).

B. Azas perlindungan konsumen

a. Asas manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa
pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan
salah satu pihak diatas pihak yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada
masing- masing pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan
demikian diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat
bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.
b. Asas keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen daan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan
dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha (produsen)
dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu
UUPK mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
c. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas ini
menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan pemerintah memperoleh manfaat
yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan
antara konsumen, pelaku usaha (produsen) dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara
seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang
lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan
memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu
tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu
Undang-Undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan
sejumlah larang yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memproduksi dan mengedarkan
produknya.
e. Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum. Artinya Undang-Undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak
dan kewajiban yang terkandung di dalam Undang-Undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara
bertugas dan menjamin terlaksananya Undang-Undang ini sesuai dengan bunyinya.
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa
perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya yang berlandasakan pada falsafah Negara Republik Indonesia.
C. Tujuan

Adapun tujuan perlindungan konsumen dapat dikemukakan sebagai berikut:


a. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan atau jasa.
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-
haknya sebagai konsumen.
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
f. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi
barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen

D. Hak dan Kewajiban Konsumen


Hak dan kewajiban pelaku konsumen adalah:
1. Hak konsumen:
a. Hak asas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa
b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
c. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau
jasa
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan atau jasa yang digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayanai secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila barang dan
atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

2. Kewajiban konsumen adalah:


a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan atau jasa, demi keamanan dan keselamtan;
b. beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

E. Hak dan kewajiban Pelaku Usaha


hak Kewajiban pelaku usaha adalah sebagai berikut:
1. Hak pelaku usaha adalah:
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang barang dan atau jasa yang diperdagangkan
b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak
baik
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan lainnya.

2. Kewajiban pelaku usaha adalah:


a. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak dikriminatif
d. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan atau jasa yang berlaku
e. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau mencoba barang dan
atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau
yang diperdagangkan;
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan;
g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

F. Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha

a. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi:

Kelompok larangan yang pertama adalah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
produksi yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Menurut ketentuan
Pasal 8 angka 1 Undang-Undang Perlidnungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya;
4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan
dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label;
9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama
dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
di pasang/dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

b. Larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran

Kelompok larangan yang selanjutnya adalah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
pemasaran. Hal ini diatur dalam Pasal 9 hingga Pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-
olah:

1. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
2. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
3. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
4. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan
atau afiliasi;
5. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
6. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
7. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
8. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
9. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
10. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

c. Larangan bagi pelaku usaha periklanan

Ketentuan yang menutup rangkaian perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha ini adalah
Pasal 17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan perbuatan yang dilarang
bagi pelaku usaha periklanan. Ketentuan ini menentukan pelaku usaha periklanan dilarang
memproduksi iklan yang:

1. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
2. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
3. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
4. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
5. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan
yang bersangkutan;
6. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Ayat (2) Pasal ini menentukan bahwa pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan
yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).

G. Tanggungjawab Pelaku Usaha

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum
perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,diperlukan kehati-hatian
dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat
dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum
dapat dibedakan sebagai berikut;

1. Kesalahan (liability based on fault);

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on
fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara
teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Mengharuskan terpenuhinya empat unsur
pokok, yaitu

a. adanya perbuatan;

b. adanya unsur kesalahan;

c. adanya kerugian yang diderita;

d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian

Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku umum untuk
prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan (lihat Pasal 1367 KUH
Perdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious liability dan corporate liability.

2. Praduga selalu bertanggung jawab (presumption of liability);

Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktiin Ivukum pengangkutan
khususnya, dikenal empat variasi:

a. Pengangkut dapat membebaskan diti dari tanggung jawab kalau ia dapat

membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya.

b. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat

membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk

menghindari timbulnya keragian.

c. Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat

membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya.

d. Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian.
3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability);

Prinsip ini kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung
jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan
demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

4. Tanggung jawab mutlak (strict liability);

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung
jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminologi di atas.

5. Pembatasan tanggung jawab (limitation of liability).

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi
oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi perjanjian standar yang dibuatnya.
Prinsip tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 19 yaitu:

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang

dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan

dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya

tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur

kesalahan.

H. Sanksi – sanksi

Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang
pantas. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar kaidah hukum dipatuhi adalah dengan
mencantumkan sanksi-sanskinya. Ketentuan mengenai sanksi diatur dalam UUPK di dalam Bab XIII
yang dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. UUPK membedakan antara sanksi administratif
dengan sanksi pidana sebagai berikut :
1. Sanksi Administratif
Sanksi administratif diatur dalam Pasal 60. Sanksi ini merupakan "hak khusus" yang diberikan
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kepada Badan
Penyelesaian Perlindungan Konsumen (BPSK) atas tugas dan wewenang yang diberikan untuk
menyelesaikan segketa konsumen di luar pengadilan.
Sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK berdasarkan Pasal 60 UUPK adalah
berupa penetapan ganti rugi setinggi-tingginya Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) terhadap
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/dalam rangka tidak dilaksanakannya :

a. Pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepda konsumen, dalam bentuk pengambilan uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian
santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;
b. Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha
periklanan;
c. Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik dalam bentuk suku
cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan
sebelumnya; juga berlaku terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa.
2. Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan
atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Ketentuan mengenai sanksi pidana dalam UUPK diatur dalam Pasal 62, undang-undang ini juga
mengatur bahwa ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diberlakukam
dalam upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen.
3. Sanksi Pidana Tambahan
Undang-undamg Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan
diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana pokok. Hal tersebut seperti yang
dicantumkan dalam Pasal 63 UUPK. Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan
berupa:
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman keputusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajibam penarikan barang dari peredaran;
f. Pencabutan izin usaha.
Daftar Pustaka:
https://journal.lldikti9.id/plenojure/article/download/352/227/
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=hak+dan+kewajiban+konsumen&oq=hak+dan+kewajiban+konsu#d
=gs_qabs&t=1679035201887&u=%23p%3Dw5Usl1nyKosJ
https://id.123dok.com/article/sanksi-sanksi-hukum-perlindungan-konsumen.4yrddmjq
https://jurnalhukum.com/perbuatan-yang-dilarang-bagi-pelaku-usaha/
Buku Perilaku Konsumen Individu Indrawati, Ph.D.dkk

Anda mungkin juga menyukai