PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Pengertian perlindungan konsumen
Perlindungan konsumen diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 (UUPK 8/1999)
tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Hukum
perlindungan konsumen mengatur hak dan kewajiban konsumen, hak dan kewajiban
produsen/pelaku usaha, serta cara-cara mempertahankan hak dan menjalankan kewajiban itu
(Sidobalok, 2014:37).
a. Asas manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar- besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa
pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk menempatkan
salah satu pihak diatas pihak yang lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada
masing- masing pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang menjadi haknya. Dengan
demikian diharapkan bahwa pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat
bagi seluruh lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan berbangsa.
b. Asas keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen daan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa pengaturan
dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini, konsumen dan pelaku usaha (produsen)
dapat berlaku adil melalui perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu
UUPK mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
c. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. Asas ini
menghendaki agar konsumen, pelaku usaha (produsen), dan pemerintah memperoleh manfaat
yang seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen. Kepentingan
antara konsumen, pelaku usaha (produsen) dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara
seimbang sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Tidak ada salah satu pihak yang mendapat perlindungan atas kepentingannya yang
lebih besar dari pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.
d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan. Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan
memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi/dipakainya, dan sebaliknya bahwa produk itu
tidak akan mengancam ketentraman dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu
Undang-Undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan menetapkan
sejumlah larang yang harus dipatuhi oleh produsen dalam memproduksi dan mengedarkan
produknya.
e. Asas kepastian hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum. Artinya Undang-Undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang hak
dan kewajiban yang terkandung di dalam Undang-Undang ini harus diwujudkan dalam kehidupan
sehari-hari sehingga masing-masing pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara
bertugas dan menjamin terlaksananya Undang-Undang ini sesuai dengan bunyinya.
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya, tampak bahwa
perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia
Indonesia seutuhnya yang berlandasakan pada falsafah Negara Republik Indonesia.
C. Tujuan
Kelompok larangan yang pertama adalah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
produksi yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Menurut ketentuan
Pasal 8 angka 1 Undang-Undang Perlidnungan Konsumen, pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran
yang sebenarnya;
4. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan
dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
6. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi
penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tertentu;
8. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label;
9. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama
dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
di pasang/dibuat;
10. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kelompok larangan yang selanjutnya adalah larangan bagi pelaku usaha dalam kegiatan
pemasaran. Hal ini diatur dalam Pasal 9 hingga Pasal 16 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar dan atau seolah-
olah:
1. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu;
2. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
3. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu;
4. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan
atau afiliasi;
5. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
6. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
7. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
8. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
9. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
10. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
11. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Ketentuan yang menutup rangkaian perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha ini adalah
Pasal 17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan perbuatan yang dilarang
bagi pelaku usaha periklanan. Ketentuan ini menentukan pelaku usaha periklanan dilarang
memproduksi iklan yang:
1. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
2. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
3. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
4. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
5. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan
yang bersangkutan;
6. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Ayat (2) Pasal ini menentukan bahwa pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan
yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1).
Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum
perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen,diperlukan kehati-hatian
dalam menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat
dibebankan kepada pihak-pihak terkait. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum
dapat dibedakan sebagai berikut;
Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau liability based on
fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara
teguh. Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara
hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Mengharuskan terpenuhinya empat unsur
pokok, yaitu
a. adanya perbuatan;
Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku umum untuk
prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan (lihat Pasal 1367 KUH
Perdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious liability dan corporate liability.
Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktiin Ivukum pengangkutan
khususnya, dikenal empat variasi:
d. Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian.
3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab (presumption of nonliability);
Prinsip ini kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung
jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas dan pembatasan
demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan prinsip tanggung
jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua
terminologi di atas.
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability principle) sangat disenangi
oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi perjanjian standar yang dibuatnya.
Prinsip tanggung jawab pelaku usaha dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen Pasal 19 yaitu:
2. Ganti rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang
dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan
kesalahan.
H. Sanksi – sanksi
Hukum sebagai kaidah merupakan patokan mengenai sikap tindak atau perilaku yang
pantas. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan agar kaidah hukum dipatuhi adalah dengan
mencantumkan sanksi-sanskinya. Ketentuan mengenai sanksi diatur dalam UUPK di dalam Bab XIII
yang dimulai dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 63. UUPK membedakan antara sanksi administratif
dengan sanksi pidana sebagai berikut :
1. Sanksi Administratif
Sanksi administratif diatur dalam Pasal 60. Sanksi ini merupakan "hak khusus" yang diberikan
oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kepada Badan
Penyelesaian Perlindungan Konsumen (BPSK) atas tugas dan wewenang yang diberikan untuk
menyelesaikan segketa konsumen di luar pengadilan.
Sanksi administratif yang dapat dijatuhkan oleh BPSK berdasarkan Pasal 60 UUPK adalah
berupa penetapan ganti rugi setinggi-tingginya Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) terhadap
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap/dalam rangka tidak dilaksanakannya :
a. Pemberian ganti rugi oleh pelaku usaha kepda konsumen, dalam bentuk pengambilan uang atau
penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis, maupun perawatan kesehatan atau pemberian
santunan atas kerugian yang diderita oleh konsumen;
b. Terjadinya kerugian sebagai akibat kegiatan produksi iklan yang dilakukan oleh pelaku usaha
periklanan;
c. Pelaku usaha yang tidak dapat menyediakan fasilitas jaminan purna jual, baik dalam bentuk suku
cadang maupun pemeliharaannya, serta pemberian jaminan atau garansi yang telah ditetapkan
sebelumnya; juga berlaku terhadap pelaku usaha yang memperdagangkan barang dan/atau jasa.
2. Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan dijatuhkan oleh pengadilan
atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.
Ketentuan mengenai sanksi pidana dalam UUPK diatur dalam Pasal 62, undang-undang ini juga
mengatur bahwa ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat diberlakukam
dalam upaya penyelenggaraan perlindungan konsumen.
3. Sanksi Pidana Tambahan
Undang-undamg Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memungkinkan
diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi pidana pokok. Hal tersebut seperti yang
dicantumkan dalam Pasal 63 UUPK. Sanksi-sanksi pidana tambahan yang dapat dijatuhkan
berupa:
a. Perampasan barang tertentu;
b. Pengumuman keputusan hakim;
c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajibam penarikan barang dari peredaran;
f. Pencabutan izin usaha.
Daftar Pustaka:
https://journal.lldikti9.id/plenojure/article/download/352/227/
https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=hak+dan+kewajiban+konsumen&oq=hak+dan+kewajiban+konsu#d
=gs_qabs&t=1679035201887&u=%23p%3Dw5Usl1nyKosJ
https://id.123dok.com/article/sanksi-sanksi-hukum-perlindungan-konsumen.4yrddmjq
https://jurnalhukum.com/perbuatan-yang-dilarang-bagi-pelaku-usaha/
Buku Perilaku Konsumen Individu Indrawati, Ph.D.dkk