HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Disusun oleh :
PENDAHULUAN
Hukum :
Adalah sekumpulan aturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi.
Perlindungan konsumen
Adalah “Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen”. (Psl 1 butir 1 UU.No. 8 tahun 1999 )
Kesimpulan Hukum perlindungan konsumen
Adalah Himpunan peraturan yang mengatur tentang upaya2/langkah untuk mempertahankan
hak2 konsumen (pemakai barang dan atau jasa) dari gangguan pihak lain.
a. Manfaat
b. Keadilan
Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
c. Asas Keseimbangan
Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.
e. Kepastian hukum
Dimaksudkan agar, baik perilaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.
BAB –II
A. Konsumen
1. Arti konsumen
a. Istilah : Consumer (Inggris), Consument (Belanda)
b. Harfiah : orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu” .
c. UUPK Konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain , maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” (Psl 1 butir 2)
2. Unsur-unsur konsumen
a. Konsumen adalah setiap orang Maksudnya adalah orang perorangan dan termasuk
juga badan usaha (badan hukum atau non badan hukum).
b. Konsumen sebagai pemakai Pasal 1 angka (2) UUPK hendak menegaskan bahwa
UUPK menggunakan kata “pamakai” untuk pengertian Konsumen sebagai Konsumen
akhir (end user). Hal ini disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu
semua orang mengkonsumsi barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.
c. Barang dan/jasa : Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk
diperdagangkan) dan dipergunakan oleh Konsumen. Jasa yaitu layanan berupa
pekerjaan atau prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh Konsumen.
d. Barang dan/jasa tersebut tersedia dalam masyarakat : Barang dan/jasa yang akan
diperdagankan telah tersedia di pasaran, sehingga masyarakat tidak mengalami
kesulitan untuk mengkonsumsinya.
e. Barang dan/jasa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau
mahluk hidup lain. Dalam hal ini tampak adanya teori kepentingan pribadi terhadap
pemakaian suatu barang dan/jasa.
f. Barang dan/jasa tidak untuk diperdagangkan
4. Hak Kosnsumen
Berdasarkan Pasal 4 UUPK. Hak-hak konsumen adalah sbb :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
5. Kewajiban Konsumen
Berdasarkan Pasal 5 UUPK Kewajiban Konsumen sbb :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
B. Pelaku Usaha
1. Pengertian Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.(Psl 1 butir 3 )
BAB –III
Pasal 8
(1) Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang :
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di isyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang- undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih,isi bersih atau netto,jumlah dalam hitungan sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.;
c. Tidak sesuai dengan ukuran,takaran timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi,jaminan,keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label,etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
e. Tidak sesuai dengan mutu,tingkatan,komposisi,proses pengolahan,gaya,mode,atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,etiket,keterangan,iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
g.Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang baik atas barang tertentu.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,sebagaimana pernyataan " Halal"
yang di cantumkan dalam label.
i. Tidak memasang label atau membuat pejelasan barang yang memuat nama
barang,ukuran,berat/isi bersih atau netto,komposisi,aturan pakai,tanggal pembuatan,akibat
sampingan,nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang Rusak,cacat atau bekas,dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksut.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,cacat
atau bekas tercemar,dengan atau tanpa memberikan infomasi secara lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.
Pasal 9
Pelaku Usaha dalam menwarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk di perdagangkan
dilarang menawarkan,mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak
benar atau menyesatkan mengenai :
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa .
b. Kegunaan suatu barang dan /atau jasa
c. kondisi,tanggungan,jaminan,hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa .
d.tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
e.Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa
Pasal 11.
Pelaku Usaha dalam melakukan penjualan melalui cara obral atau lelang,dilarang
mengelabuhi/menyesatkan konsumen dengan :
a. Menyatakan barang dan /atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu
tertentu.
b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah olah tidak mengandung cacat
tersembunyi.
c.Tidak berniat untuk menjual barang yang di tawarkan melainkan dengan maksut menjual
barang lain.
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksut menjual barang yang lain.
e.Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu dalam jumlah cukup dengan maksut
menjual jasa yang lain.
f.Menaikan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12.
Pasal 13
Pasal 14
Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah melalui cara undian,dilarang untuk :
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan
b.Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa ;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai yang diperjanjikan .
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang di janjikan.
Pasal 15.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan fisik maupun psikis terhadap
konsumen.
Pasal 16.
Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :
a.tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang di
janjikan.
b.Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
( 2 ) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1)
Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti
kerugian dari pelaku usaha kepada konsumen yang dirugikan akibat mengonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
Pasal 20, yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti rugi atas iklan yang
menyesatkan yang diproduksi dan segala akibat yang timbul dari iklan tersebut
Pasal 25, yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti rugi atas tidak
disediakannya suku cadang dan/atau jaminan atau garansi atau fasilitas perbaikan
kepada konsumen.
Pasal 26, yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti rugi akibat pelaku usaha
tidak memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau dijanjikan.
2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan.
Sanksi Pidana
Psl 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Psl 62 ayat :
(1) Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c,
ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:
BAB –IV
KLAUSULA BAKU
Pengertian
Dalam hukum perjanjian, istilah Klausula Baku disebut juga: “Klausula Eksonerasi”. Dimana
dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan klausa baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Klasula baku ini banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang bersifat sepihak, dan dalam
bahasa umum sering disebut sebagai: “disclamer”, yang bertujuan untuk melindungi pihak
yang memberikan suatu jasa tertentu. Seperti jasa penjualan pada supermarket/mall, bank,
jasa angkutan (kereta api, pesawat terbang, kapal laut), jasa delivery dan lain sebagainya.
a) Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau
disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa:
“ Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran
dari Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai
mereka”
“Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan”
c) Perda No.5 Tahun 1999 tentang Perparkiran, yang mencantumkan klausula baku di setiap
tiket/karcis, ”pengelola parkir tidak bertanggungjawab terhadap kehilangan kendaraan”.
2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;
3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas
barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli secara angsuran;
5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli konsumen;
6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan
atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8) Menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
4. Konsumen mendapatkan ganti rugi dengan adanya pernyataan klausa baku yang
melemahkan kedudukan konsumen
Contoh Kasus gugatan konsumen melawan PT SPI (operator Parkir) yang memenangkan
konsumen. Dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) perkara No.124/PK/PDT/2007 yang
diajukan oleh PT SPI, Mahkamah Agung malah lebih menguatkan putusan kasasi, dan
menolak Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT SPI. Keputusan Mahkamah Agung
mengharuskan pengelola parkir mengganti kendaraan konsumen yang hilang di area parker
Lebih spesifik, keputusan Mahkamah Agung No. 124 Tahun 2007, yang mengharuskan
pengelola parkir mengganti kendaraan konsumen yang hilang di area parkir. Keputusan MA
ini dengan sendirinya semakin memperkuat posisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mengenai larangan pencantuman klausula baku (pasal 18). Sehingga klausula baku yang
tertera di setiap tiket parkir menjadi tidak berlaku lagi atau gugur. Dengan dimenangkannya
kasus tersebut diatas menjadi bukti konkrit tidak relevannya pencantuman klausula baku yang
mengalihkan tanggungjawab pelaku usaha.
BAB –V
• Pasal 21 : (1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor
apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen
luar negeri. (2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila
penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa
asing
• Pasal 22 : “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan
beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian”.
• Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
• Pasal 24 (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun
atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak
sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.
Psl 24 (2) Pelaku usaha sbgmn dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli
barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas
barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25 (1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan
dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang
dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Pasal 25 (2) Pelaku usaha tersebut bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau
gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut tidak menyediakan atau lalai menyediakan
suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan
atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26 Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau
garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen, apabila barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; cacat barang timbul pada kemudian
hari; cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; kelalaian yang
diakibatkan oleh konsumen; lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha.
BAB-VI
IKLAN/PARIWARA
1. Pengertian
Kamus umum bhs Indonesia Iklan artnya pemberitahuan, pencitraan diri Istilah lain
Pariwara. Reklami, promosi, advertensi Iklan adalah ”Pesan yang menawarkan atau
memperkenalkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat media” Tujuan
iklan adalah memperkenalkan produk dlm rangka meningkatkan penjualan (omset)
3. Larangan : dalam Suatu iklan tidak boleh menyerang atau melecehkan merek dagang
produk lain yg menjadi kompetitor, tapi yg ditonjolkan dlm iklan adalah kelebihan suatu
produk Demikian pula iklan politik Iklan rawan terjadi pelanggaran etika dan pelanggaran
hukum
4.Macam-macam pelanggaran
PSL. 20 UUPK , Pelaku Usaha Periklanan bertanggungjawa atas iklan yang di produksi
dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pelanggaran dikenakan sanksi
administratif Pasal 60
BAB-VII
Pasal 30
Catatan : Pengawasan oleh pemerintah diwakili Badan Pengawasan Obat, makanan dan
minuman (BPOM) dan departemen terkait yang mengeluarkan izin produksi, perdagangan
dan peredaran suatu produk, sedangkan di daerah dinas-dinas terkait (Prov-kab/kota)
BAB VIII
Klausul baku dlm praktek adalah PU secara sepihak menyiapkan perjanjian, konsumen
tidak ada pilihan hanya setuju atau tidak setuju
Klausula Baku yang dilarang dlm UUPK trsbut dlm Psl 18 misalnya :
a. "Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan" ;
Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan" ;
Intinya pengalihan tanggungjawab dari PU ke Konsumen dilarang. Klausula baku
demikian itu batal demi hukum, merupakan tindak pidana Pasal 62 ayat (1) UUPK
Kesimpulan : Psl 18, sebenarnya kontrak standar masih dibenarkan dlm rangka
mempercepat proses transaksi . Namun, UUPK melarang dengan tegas kontrak standar
yang isinya mengalihkan tanggungjawab PU kpd konsumen, contoh : Mahkamah Agung
telah mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang memutuskan bahwa
pengelola parkir harus mengganti rugi kendaraan yang dititipkan kepadanya
Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 yang menyatakan sebagai berikut
:
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen
BAB IX
BAB X
2. Mediasi
BPSK membentuk sebuah badan sbg. mediator yang aktif untuk memberikan
petunjuk, solusi penyelesaian, nasehat dan saran kepada yang bermasalah;
Badan ini membiarkan para pihak menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.
Jika mereka dpt menyelesaikan perselisihan maka diletakkan pada persetujuan
rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja
3. Arbitrase
BPSK membentuk badan arbitrase sebagai arbiter sesuai pilihan mereka untuk
menyelesaikan masalah konsumen;
Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan
permasalahan mereka;
BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;
Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling lama.
Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak
dapat mengajukan keberatan kepada PN dalam jangka waktu 14 hari setelah
penyelesaian di informasikan;
• Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK dibacakan
• Jika ada pihak yang tidak puas thd putusan PN dlm waktu 14 hari dapat mengajukan
kasasi ke MA. Dlm waktu 30 hari MA menjatuhkan putusan
• Jika PU tdk mengajukan keberatan tapi tidak melaksanakan putusan maka BPSk
menyrahkan putusan tsb kepada penyidik
b) Di Pengadilan
Pada prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
atau melalui peradilan umum, apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen
secara damai dan penyelesaian di luar pengadilan (melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen), maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana di atur dalam Undang-Undang.
Kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku di lingkungan
peradilan umum tersebut. Hal ini berarti tatacara pengajuan gugatan dalam masalah
perlindungan konsumen mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku.[2]
Pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan atau pelanggaran pelaku usaha melalui
pengadilan menurut Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen meliputi :
a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan
tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Seorang konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi langsung ke
pengadilan atau diluar pengadilan melalui lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat, sedangkan gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
konsumen swadaya masyarakat maupun pemerintah atau instansi yang terkait hanya dapat
diajukan ke pengadilan.
BAB XI
SERTIFIKASI HALAL
1. Pengertian
Berdasarkan Pasal 4 UU No. 33 Tahun 2014 “Produk yang masuk, beredar, dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Sertifikat halal dikeluarkan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sertifikat Halal adalah
pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal
tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. (Psl 1 butir 10 UU No. 33 Th 2014)
Psl 1 butir 5 “ Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum
terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. ( UU No. 33 Th
2004 2014 tentang Jaminan produk Halal).
b. meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk
Halal.
Sebenarnya sertifikasi halal juga berdampak positif thd Pelaku Usaha, sebab konsumen
muslim di dunia ini jumlahnya sangat besar apalagi memasuki pasar bebas.
2. Bagaimana dng produk yg tidak halal ? Psl 26 (1) Pelaku usaha yang memproduksi
produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan
permohonan sertifikat halal. Ayat (2) Pelaku usaha tersebut wajib mencantumkan keterangan
tidak halal pada produk.
Psl 27 ayat (2 ) jika tidak mencantumkan label tidak halal dikenakan sanksi administrasi
berupa : a. teguran lisan; b. peringatan tertulis; atau c. denda administratif.
Pasal 5
(2) Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.
(3) Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.
BAB XII
Adalah suatu tata cara pengajuan gugatan dalam mana satu orang atau lebih yg mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk diri-atau diri diri mereka sendiri, dan sekaligus
mewakili kelompok orang yg jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta, dasar
hukum, dan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.
a. Jumlah anggota kelompok sangat banyak shg tidak efektif dan tidak efisien jika
masing-2 korban mengajukan gugatan secara sendiri-2.
b. Adanya kesamaan fakta/peristiwa , dasar hukum dan jenis tuntutan antara wakil
kelompok dan anggota kelompok.
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan melindungi kelompk yg
diwakili.
a. Bagi penggugat tidak mengeluarkan biaya banyak, sebab ditanggung bersama, apalgi
bagi yg awam hukum menjadi percaya diri, ini sangat adil terutama bagi rakyat kecil
b. Bagi pengusaha tidak banyak waktu tenaga pikiran dan biaya yg dikeluarkan untuk
menghadapi gugatan. Sehingga tdk mengurangi produktivitas kerja.
c. Bagi aparat penegak hukum tidak banyak waktu tenaga pikiran yg hanya dipakai untuk
menangani perkara konsumen, sehingga dapat menangnai perkara yg lain
5. Contoh gugatan class astion
Contoh class action : jumlah konsumen atau pelanggan PLN korban pemadaman aliran listrik
sebanyak 50 orang, mengajukan gugatan ke PLN cukup diwakili misalnya 2 orang diantara
korban
1. Pengertian
Legal standing seringkali disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi).
Suatu organisasi (LSM) mengajukan gugatan mengatasnamakan Konsumen
a. organisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung; kerugian dalam konteks gugatan
organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik.
b. tuntutan organisasi (legal standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali
ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang
dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau
tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
bersifat deklaratif
Hak untuk melakukan gugatan legal standing di dalam sengketa perlindungan konsumen
diatur di dalam pasal 46 ayat 1 (satu) c, dengan ketentuan bahwa lembaga swadaya yang
melakukan gugatan tersebut adalah lembaga swadaya yang:
• Contoh legal standing : LSM anti rokok mewakili publik menggugat ke PN. Disini
LSM mengatasnamakan konsumen. Penggugat 5 LSM yaitu :
1. YLKI
2. Yayasan jantung Indonesia
3. Yayasan lembaga menanggulangi maslah merokok
4. Yayasan wanita Indonsia tanpa tembakau
5. Yayasan kanker Indonesia.
Tergugat : perusahaan rokok, media massa, dan Persh. iklan Obyek gugatan : tergugat
melakukan pelanggaran jam tayang di televisi dan memuat gambar rokok/bungkus rokok di
media cetak
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
B. PERATURAN PERUNDNDANG-UNDANGAN