Anda di halaman 1dari 23

Sari kuliah

HUKUM
PERLINDUNGAN KONSUMEN

Disusun oleh :

H. MUH. HARTOYO, MH.

SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM (STIH)


ZAINUL HASAN KRAKSAAN
2018
BAB-I

PENDAHULUAN

1. Pengertian hukum Perlindungan Konsumen

Hukum :
Adalah sekumpulan aturan yang bersifat memaksa dan mempunyai sanksi.
Perlindungan konsumen
Adalah “Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen”. (Psl 1 butir 1 UU.No. 8 tahun 1999 )
Kesimpulan Hukum perlindungan konsumen
Adalah Himpunan peraturan yang mengatur tentang upaya2/langkah untuk mempertahankan
hak2 konsumen (pemakai barang dan atau jasa) dari gangguan pihak lain.

2. Sumber Hukum Perlindungan Konsumen


Hukum tertulis
1. UUD. 1945 PSL 27 DAN PSL 33.
2. UU. NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KOSUMEN (UUPK)
3. UU. No. 5 tahun 1999 tentang Larangan praktek monopoli dan persaingan tdk sehat
4. UU. No. 18 tahun 2012 tentang Pangan
5. UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
6. UU. No. 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup
7. UU. No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran
8. UU. Haki (hak cipta, merk dan paten)
9. UU. No. 11 Tahun 2008 tentang ITE diubah UU No. 19 tahun 2019
10. HK. Pidana, Perdata, Administrasi, HI
11. PP No. 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan sistem dan transaksi Elektronik
12. PP, KEPPRES, Kep menperindag, SE Dirjen perdagangan
13. Dll.

Hukum Tidak Tertulis


Kebiasaan
Sumber Hukum Internasional
1. Ecosoc (dewan ekonomi dan sosial PBB)
2. Resolusi PBB Tahun 1998 tentang adanya perlindungan Konsumen
3. WTO ( Word Trade Organization)
4. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
a. Meningkatnya kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri
b. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang atau jasa
c. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hak haknya sebagai konsumen
d. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum, dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
e. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
f. Meningkatkan kualitas barang dan atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen

5. Alasan pentingnya perlindungan konsumen


a. konsumen yang berada dalam posisi tawar yang lemah dalam segala hal.
b. Konsumen umumnya memiliki kesadaran hukum yg masih rendah
c. Pada Era Globalisasi banyak produk yg membanjiri pasar dalam negeri
d. Konsumen sbg obyek bisnis bagi PU, ditambah dng gencarnya tayangan iklan media
elektronik

6. Asas-asas hukum Perlindungan Konsumen

a. Manfaat

Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen


harus memberikan manfaat sebesar besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku
usaha secara keseluruhan.

b. Keadilan

Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh
haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

c. Asas Keseimbangan
Dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

d. Keamanan dan keselamatan konsumen

Dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada


konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.

e. Kepastian hukum

Dimaksudkan agar, baik perilaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara
menjamin kepastian hukum.

7. Lembaga-lembaga berkaitan dengan perlindungan Konsumen


a. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
b. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
c. Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan/minuman (BPOM)
d. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ( LPKSM) misalnya Yayasan
Perlindungan Konsumen Masyarakat (YPKM) atau Yayasan Lembaga konsumen
Indonesia (YLKI)
e. Dinas – dinas terkait di Prov/kab/kota tiap Pemda
f. dll

8. Contoh produk barang dan jasa yang pernah bermasalah


a. Produk barang : mie, tahu, bakso mengandung borak, susu mengandung milamin, dll.
b. Produk jasa: travel haji/umroh gagal memberangkatkan jamaah, hotel berbintang tapi
pelayanan dibawah standard, rumah sakit pelayanan mengecewakan pasien dll

BAB –II

KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

A. Konsumen
1. Arti konsumen
a. Istilah : Consumer (Inggris), Consument (Belanda)
b. Harfiah : orang atau perusahaan yang membeli barang tertentu atau menggunakan jasa
tertentu” .
c. UUPK Konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia
dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain , maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan” (Psl 1 butir 2)
2. Unsur-unsur konsumen
a. Konsumen adalah setiap orang Maksudnya adalah orang perorangan dan termasuk
juga badan usaha (badan hukum atau non badan hukum).
b. Konsumen sebagai pemakai Pasal 1 angka (2) UUPK hendak menegaskan bahwa
UUPK menggunakan kata “pamakai” untuk pengertian Konsumen sebagai Konsumen
akhir (end user). Hal ini disebabkan karena pengertian pemakai lebih luas, yaitu
semua orang mengkonsumsi barang dan/atau jasa untuk diri sendiri.
c. Barang dan/jasa : Barang yaitu segala macam benda (berdasarkan sifatnya untuk
diperdagangkan) dan dipergunakan oleh Konsumen. Jasa yaitu layanan berupa
pekerjaan atau prestasi yang tersedia untuk digunakan oleh Konsumen.
d. Barang dan/jasa tersebut tersedia dalam masyarakat : Barang dan/jasa yang akan
diperdagankan telah tersedia di pasaran, sehingga masyarakat tidak mengalami
kesulitan untuk mengkonsumsinya.
e. Barang dan/jasa digunakan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain atau
mahluk hidup lain. Dalam hal ini tampak adanya teori kepentingan pribadi terhadap
pemakaian suatu barang dan/jasa.
f. Barang dan/jasa tidak untuk diperdagangkan

Pengertian Konsumen dalam UUPK dipertegas, yaitu hanya Konsumen akhir,


sehingga maksud dari pengertian ini adalah konsumen tidak memperdagangkan
barang dan/jasa yang telah diperolehnya. Namun, untuk dikonsumsi sendiri.
3. Macam-macam konsumen :
Pelaku usaha (produsen) distributor agen pengecer pengguna (konsumen
akhir)
a. Konsumen Antara : adalah kosumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian
dari proses produksi suatu produk lainnya ( distributor - agen - pengecer)
b. Konsumen Akhir : adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk ( yang
dimaksud dalam undang-undang perlindungan konsumen adalah konsumen akhir)

4. Hak Kosnsumen
Berdasarkan Pasal 4 UUPK. Hak-hak konsumen adalah sbb :
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

5. Kewajiban Konsumen
Berdasarkan Pasal 5 UUPK Kewajiban Konsumen sbb :
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

B. Pelaku Usaha
1. Pengertian Pelaku Usaha
Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.(Psl 1 butir 3 )

2. Hak Pelaku Usaha (Psl 6 UUPK)


a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik.
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen.
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.

3. Kewajiban Pelaku Usaha (Psl 7)

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.


b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan
pemeliharaan.
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif.
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan.
f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan.
g. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

BAB –III

PERBUATAN YANG DILARANG BAGI PELAKU USAHA

 Larangan bagi PU dalam Kegiatan Produksi dan memperdagangkan Psl 8 UUPK


 Larangan bagi PU dalam Pemasaran Psl 9 s/d Psl 16
 Larangan bagi Pelaku Usaha Periklanan Psl 17

Pasal 8

(1) Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang di isyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang- undangan.
b. Tidak sesuai dengan berat bersih,isi bersih atau netto,jumlah dalam hitungan sebagaimana
yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.;
c. Tidak sesuai dengan ukuran,takaran timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya.
d. Tidak sesuai dengan kondisi,jaminan,keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label,etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
e. Tidak sesuai dengan mutu,tingkatan,komposisi,proses pengolahan,gaya,mode,atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut.
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label,etiket,keterangan,iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.
g.Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang baik atas barang tertentu.
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal,sebagaimana pernyataan " Halal"
yang di cantumkan dalam label.
i. Tidak memasang label atau membuat pejelasan barang yang memuat nama
barang,ukuran,berat/isi bersih atau netto,komposisi,aturan pakai,tanggal pembuatan,akibat
sampingan,nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang Rusak,cacat atau bekas,dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang yang dimaksut.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,cacat
atau bekas tercemar,dengan atau tanpa memberikan infomasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

Pasal 9

( 1 ) Pelaku usaha dilarang menawarkan,memproduksikan,mengiklankan suatu barang


dan/atau jasa secara tidak benar,dan/atau seolah olah :

a. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga,harga khusus,standar


mutu tertentu,gaya atau mode tertentu,karakteristik tertentu,sejarah atau guna tertentu.
b. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.
c.Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan /atau
sponsor,persetujuan,perlengkapan tertentu,keuntungan tertentu,ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu.
d. Barang dan/atau jasa tersebut di buat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor.perstujuan
atau afiliasi.
e. Barang dan/atau jasa tersebut tersedia.
f. Barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi.
g. Barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu.
i. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan,seperti aman,tidak berbahaya,tidak mengandung
resiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap .
k. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

( 2 ) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksut pada ayat ( 1 ) dilarang untuk di


perdagangkan.

( 3 ) Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat ( 1 ) dilarang melanjutkan


penawaran,promosi,dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10

Pelaku Usaha dalam menwarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk di perdagangkan
dilarang menawarkan,mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak
benar atau menyesatkan mengenai :
a. Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa .
b. Kegunaan suatu barang dan /atau jasa
c. kondisi,tanggungan,jaminan,hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa .
d.tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
e.Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa

Pasal 11.

Pelaku Usaha dalam melakukan penjualan melalui cara obral atau lelang,dilarang
mengelabuhi/menyesatkan konsumen dengan :
a. Menyatakan barang dan /atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu
tertentu.
b. Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah olah tidak mengandung cacat
tersembunyi.
c.Tidak berniat untuk menjual barang yang di tawarkan melainkan dengan maksut menjual
barang lain.
d. Tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksut menjual barang yang lain.
e.Tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu dalam jumlah cukup dengan maksut
menjual jasa yang lain.
f.Menaikan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12.

Pelaku Usaha dilarang menawarkan,mempromosikan atau mengiklankan suatu barang


dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu,jika pelaku
usaha tersebut tidak bermaksut untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah
yang di tawarkan,dipromosikan,atau di iklankan.

Pasal 13

( 1 ) Pelaku Usaha dilarang menawarkan,mempromosikan,atau mengiklankan suatu barang


dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain
secara cuma-cuma dengan maksut tidak memberikanya atau memberikan tidak sebagaiman
yang di janjikannya.

( 2 ) Pelaku Usaha dilarang menawarkan,mempromosikan atau meniklankan obat,obat


tradisional,suplemen makanan,alat kesehatan,dan/atau jasa pelayanan kesehatan dengan cara
menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.

Pasal 14

Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah melalui cara undian,dilarang untuk :
a. Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan
b.Mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa ;
c. Memberikan hadiah tidak sesuai yang diperjanjikan .
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang di janjikan.

Pasal 15.

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan fisik maupun psikis terhadap
konsumen.

Pasal 16.

Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk :
a.tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang di
janjikan.
b.Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Pasal 17

( 1 ) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang :


a. Mengelabuhi konsumen mengenai kualitas,kuantitas,bahan,kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan dan/atau jasa.
b. mengelabuhi jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa .
c.memuat informasi yang keliru,salah,atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa .
d.tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan/atau jasa .
e.mengeksploitasi kejadian dan/atau seseoarang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan.
f.melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang undangan mengenai periklanan.

( 2 ) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1)

Sanksi administratif Pasal 60

1. Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif


terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3, Pasal 20, Pasal 25, dan
Pasal 26.

 Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti
kerugian dari pelaku usaha kepada konsumen yang dirugikan akibat mengonsumsi
barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan
 Pasal 20, yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti rugi atas iklan yang
menyesatkan yang diproduksi dan segala akibat yang timbul dari iklan tersebut
 Pasal 25, yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti rugi atas tidak
disediakannya suku cadang dan/atau jaminan atau garansi atau fasilitas perbaikan
kepada konsumen.
 Pasal 26, yaitu tentang tanggung jawab pembayaran ganti rugi akibat pelaku usaha
tidak memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau dijanjikan.
2. Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
3. Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur lebih
lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Sanksi Pidana

Psl 61 Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Psl 62 ayat :

(1) Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 1 ayat 1 huruf a, huruf b, huruf c, huruf c,
ayat 2, dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat 1 huruf d dan huruf f
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 500.000.000.00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Pasal 63

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:

a. perampasan barang tertentu;


b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.

BAB –IV

KLAUSULA BAKU

 Pengertian

Dalam hukum perjanjian, istilah Klausula Baku disebut juga: “Klausula Eksonerasi”. Dimana
dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan klausa baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang
telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh
konsumen.
Klasula baku ini banyak digunakan dalam setiap perjanjian yang bersifat sepihak, dan dalam
bahasa umum sering disebut sebagai: “disclamer”, yang bertujuan untuk melindungi pihak
yang memberikan suatu jasa tertentu. Seperti jasa penjualan pada supermarket/mall, bank,
jasa angkutan (kereta api, pesawat terbang, kapal laut), jasa delivery dan lain sebagainya.

2. Contoh klausula baku

a) Formulir pembayaran tagihan bank dalam salah satu syarat yang harus dipenuhi atau
disetujui oleh nasabahnya menyatakan bahwa:

“ Bank tidak bertanggung jawab atas kelalaian atau kealpaan, tindakan atau keteledoran
dari Bank sendiri atau pegawainya atau koresponden, sub agen lainnya, atau pegawai
mereka”

b) Kuitansi atau / faktur pembelian barang, yang menyatakan :

“Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” ;

“Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan”

c) Perda No.5 Tahun 1999 tentang Perparkiran, yang mencantumkan klausula baku di setiap
tiket/karcis, ”pengelola parkir tidak bertanggungjawab terhadap kehilangan kendaraan”.

3.Klausula baku menurut UUPK

Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menetapkan


bahwa Klausula Baku yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian dilarang
bagi pelaku usaha, apabila :

1) Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha;

2) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen;

3) Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan uang yang dibayarkan atas
barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

4) Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli secara angsuran;

5) Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli konsumen;

6) Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta
kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

7) Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan
atau lanjutan dan / atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha
dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8) Menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan
hak tanggungan, hak gadai, hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;

4. Konsumen mendapatkan ganti rugi dengan adanya pernyataan klausa baku yang
melemahkan kedudukan konsumen

Contoh Kasus gugatan konsumen melawan PT SPI (operator Parkir) yang memenangkan
konsumen. Dalam putusan Peninjauan Kembali (PK) perkara No.124/PK/PDT/2007 yang
diajukan oleh PT SPI, Mahkamah Agung malah lebih menguatkan putusan kasasi, dan
menolak Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT SPI. Keputusan Mahkamah Agung
mengharuskan pengelola parkir mengganti kendaraan konsumen yang hilang di area parker
Lebih spesifik, keputusan Mahkamah Agung No. 124 Tahun 2007, yang mengharuskan
pengelola parkir mengganti kendaraan konsumen yang hilang di area parkir. Keputusan MA
ini dengan sendirinya semakin memperkuat posisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen
mengenai larangan pencantuman klausula baku (pasal 18). Sehingga klausula baku yang
tertera di setiap tiket parkir menjadi tidak berlaku lagi atau gugur. Dengan dimenangkannya
kasus tersebut diatas menjadi bukti konkrit tidak relevannya pencantuman klausula baku yang
mengalihkan tanggungjawab pelaku usaha.

BAB –V

TANGGUNGJAWAB PELAKU USAHA

Pengertian tanggung jawab produk (pelaku usaha), sebagai berikut, ”Tanggung


jawab produk adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke
dalam peredaran, yang menimbulkan/ menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat
pada produk tersebut.“
Di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen terdapat 3
(tiga) pasal yang menggambarkan sistem tanggung jawab produk dalam hukum perlindungan
konsumen di Indonesia, yaitu ketentuan Pasal 19 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen merumuskan tanggung jawab produsen sebagai berikut:
1.Pelaku Usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/
atau kerugian konsumen akibat mengkomsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau
diperdagangkan.
2.Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau
penggantian barang dan/ atau jasa yang sejenis atau secara nilainya, atau perawatan kesehatan
dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3.Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
4.Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasrkan pembuktian lebih lanjut
mengenai adanya unsure kesalahan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut
merupakan kesalahan konsumen.”

• Pasal 21 : (1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor
apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen
luar negeri. (2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila
penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa
asing
• Pasal 22 : “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan
beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk
melakukan pembuktian”.
• Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak
memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa
konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
• Pasal 24 (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila:
a. Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun
atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya
perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak
sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

Psl 24 (2) Pelaku usaha sbgmn dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli
barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas
barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25 (1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan
dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang
dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang
diperjanjikan.
Pasal 25 (2) Pelaku usaha tersebut bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau
gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut tidak menyediakan atau lalai menyediakan
suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan; tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan
atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26 Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau
garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27 Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen, apabila barang tersebut terbukti seharusnya tidak
diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; cacat barang timbul pada kemudian
hari; cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; kelalaian yang
diakibatkan oleh konsumen; lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28 Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban dan
tanggung jawab pelaku usaha.

BAB-VI

IKLAN/PARIWARA

1. Pengertian
Kamus umum bhs Indonesia Iklan artnya pemberitahuan, pencitraan diri Istilah lain
Pariwara. Reklami, promosi, advertensi Iklan adalah ”Pesan yang menawarkan atau
memperkenalkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat media” Tujuan
iklan adalah memperkenalkan produk dlm rangka meningkatkan penjualan (omset)

2. Pihak-pihak terkait dalam Periklanan (Pelaku Usaha Periklanan)

a. Pengiklan yaitu pemilik produk


b. Perusahaan Periklanan yaitu perusahaan yg membuat iklan
c. Media sebagai sarana yg digunakan yaitu media cetak dan elektronik

3. Larangan : dalam Suatu iklan tidak boleh menyerang atau melecehkan merek dagang
produk lain yg menjadi kompetitor, tapi yg ditonjolkan dlm iklan adalah kelebihan suatu
produk Demikian pula iklan politik Iklan rawan terjadi pelanggaran etika dan pelanggaran
hukum

4.Macam-macam pelanggaran

a. Pelanggaran etika ditangani Badan Pengawasan Periklanan, Persatuan Perusahaan


Periklanan Indonesia (PPPI). Contoh pelanggaran gambar porno pada iklan
b. Pelanggaran hukum ditangani BPSK atau pengadilan, contoh pelanggaran jam tayang,
mengelabuhi konsumen, Melanggar jam tayang, iklan rokok tanpa peringatan bahaya

4. Tanggung jawab dalam periklanan

PSL. 20 UUPK , Pelaku Usaha Periklanan bertanggungjawa atas iklan yang di produksi
dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Pelanggaran dikenakan sanksi
administratif Pasal 60

BAB-VII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Tugas Pemerintah dalam Perlindungan Konsumen adalah dalam Pembinaan dan


Pengawasan. Dalam hal pembinaan Pemerintah (intansi terkait) : mengeluarkan peraturan
perundang-undangan, PU diarahkan agar sesuai perundang-undangan, sehingga
hak/kewajiban baik konsumen maupun pelaku usaha terlaksana dengan baik

Pasal 29 Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan


konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha. Pembinaan oleh pemerintah atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan
oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.

Kemudian Dilakukan pengawasan. Yang dimaksud Pengawasan adalah : Proses pengamatan,


dan penilaian agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana
yang telah ditentukan, dan jika perlu mengambil tindakan korektif jika terjadi
penyimpangan.

Pasal 30

1. Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan


peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
2. Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat l dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
3. Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat
dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
4. Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 ternyata menyimpang dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri
dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
5. Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat disampaikan
kepada Menteri dan rnenteri teknis.
6. Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat l, ayat 2, dan
ayat 3 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Catatan : Pengawasan oleh pemerintah diwakili Badan Pengawasan Obat, makanan dan
minuman (BPOM) dan departemen terkait yang mengeluarkan izin produksi, perdagangan
dan peredaran suatu produk, sedangkan di daerah dinas-dinas terkait (Prov-kab/kota)

BAB VIII

TIGA PERMASALAHAN TRANSAKSI

1. Permasalahan pada tahapan Pra transaksi (perikatan seblum transaksi)

• Produk brng/jasa dikenalkan kpd konsumen melalui iklan PU periklanan bertnggung-


jawab thd. Iklan yg di produksi dan akibat yg ditimbulkan.
• Banyak iklan yg menyesatkan merugikan konsumen sebab barang/jasa tidak sesuai dng
kenyataan dan bahkan membahayakan konsumen
• Pelnggaran iklan : pelanggaran etika menjadi tanggung jawab KPI, Pelnggran Pidana
tanggung jawab B.POM, aparat kepolisian dst. Plnggran administrasi menteri terkait.
• Pelanggaran Pidana paling banyak produk obat-obatan ( mengumbar janji minuman
suplemen), obat mag, isotonik, kosmetik dll), produk kendaraan bermotor , bisnis online
dll
• Ancaman Pidana Psl 62 ayat (1) penjara maksimum 5 thn, atau denda maks Rp. 2M
2.Permasalahan pada tahapan pelaksanaan perjanjian

 Permasalahan adanya Perjanjian standard/baku atau klausula baku menyimpang dr asas


kebebasan berkontrak Psl 1320 jo 1337, jo 1338 KUHPer

 Klausul baku dlm praktek adalah PU secara sepihak menyiapkan perjanjian, konsumen
tidak ada pilihan hanya setuju atau tidak setuju
 Klausula Baku yang dilarang dlm UUPK trsbut dlm Psl 18 misalnya :
 a. "Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan" ;
 Barang tidak diambil dalam waktu 2 minggu dalam nota penjualan kami batalkan" ;
 Intinya pengalihan tanggungjawab dari PU ke Konsumen dilarang. Klausula baku
demikian itu batal demi hukum, merupakan tindak pidana Pasal 62 ayat (1) UUPK
 Kesimpulan : Psl 18, sebenarnya kontrak standar masih dibenarkan dlm rangka
mempercepat proses transaksi . Namun, UUPK melarang dengan tegas kontrak standar
yang isinya mengalihkan tanggungjawab PU kpd konsumen, contoh : Mahkamah Agung
telah mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali (PK) yang memutuskan bahwa
pengelola parkir harus mengganti rugi kendaraan yang dititipkan kepadanya
 Pengertian klausula baku terdapat dalam pasal 1 butir 10 yang menyatakan sebagai berikut
:
Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen

3.Permasalahan pada tahapan peralihan barang/layanan purna jual

• Masa garansi sangat terbatas, misal hanya dalam waktu 3 bulan


• Konsumen sering mengalami kesulitan mendapatkan suku cadang di pasaran
• Sertifikat rumah/tanah, molor dari waktu yg diperjanjikan
• Tanah kapling tidak dilengkapi sarana fasum (fasilitas umum)
• Janji Universitas terhadap lulusan tidak terbukti (lulus dijamin mendapat pekerjaan )

Sanksi terhadap pelanggaran layanan purna jual adalah Administratif

BAB IX

PEMBENTUKAN LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) : Dibentuk oleh


masyarakat yang mempunyai Wewenang pengawasan, penelitian. survey Advokasi,
Keanggotaan anggota masyarakat Kedudukan di kab/kota, Pemerintah mengakui
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

2. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) : Dibentuk oleh pemerintah


mempunyai Wewenang memberikan saran pertimbangan kepada pemerintah dalam
upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia, bertnggungjawab kepada
presiden. BPKN dibentuk dari unsur pemeritah unsur Pelaku Usaha unsur Akademisi
unsur Tenaga Ahli dan unsur LPKSM, paling sedikit 15 orang paling banyak 25 orang.
BPKN berkedudukan di Pusat
3. Badan Penyelesain sengketa Konsumen (BPSK): Dibentuk Guber-nur disahkan menteri
perdagangan, Wewenang menyelesaikan sengketa diluar pengdilan dan memberikan
konsultasi. Keanggotaan dari unsure pemerintah, unsur konsumen, dan unsure Pelaku
usaha, anggota setiap unsure paling sedikit 3 orang paling banyak 5 orang. BPSK
berkedudukan di Kab/Kota

BAB X

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

a. Pengertian sengketa konsumen

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak


memberikan batasan apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Definisi ”sengketa
konsumen” dijumpai pada Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yaitu Surat
Keputusan Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001, dimana yang
dimaksud dengan sengketa konsumen adalah: “sengketa antara pelaku usaha dengan
konsumen yang menutut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau yang menderita
kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa.”

Sengketa dapat juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi–


pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak
terganggu atau dilanggar.

b. Pihak-Pihak Dalam Sengketa Konsumen


Dalam sengketa konsumen maka pihak-pihak yang bersengketa adalah konsumen
disatu pihak dan Developer (Pelaku usaha) di pihak lain. Dimana konsumen sebagai
pengguna/pemakain barang/jasa dan Developer (pelaku usaha) sebagai penyedia barang atau
jasa.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyediakan
fasilitas penyelesaian sengketa konsumen melalui:

1) Penyelesaian sengketa secara damai


Yang dimaksud penyelesaian secara damai adalah apabila para pihak yang
bersengketa dengan atau tanpa kuasa/pendamping memilih cara-cara damai untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Cara damai tersebut berupa perundingan secara
musyawarah dan atau mufakat antar para pihak yang bersangkutan. Biasanya Yayasan
Lembaga Konsumen Indonesia berperan sebagai ”mediator”. Dengan cara penyelesaian
sengketa secara damai ini, sesungguhnya ingin diusahakan bentuk penyelesaian yang
”mudah, murah, dan (relatif) lebih cepat.”26 Dasar hukum penyelesaian tersebut terdapat
pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (Buku Ke-III, Bab 18, pasal
1851- pasal 1858 tentang perdamaian/dading) dan dalam Undang-Undang Perlindungan
Konsumen Nomor. 8 tahun 1999, pasal 45 ayat (2) jo. pasal 47.

2) Penyelesaian melalui lembaga atau instansi yang berwenang.


a) Di luar Pengadilan (melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen)
Penyelesaian di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan
mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk
menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita konsumen (pasal 47 Undang-
Undang Perlindungan Konsumen). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana
dimaksud pada pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Konsumen yang ingin menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara di luar
pengadilan maka bisa melakukan alternative resolusi masalah ke Badab Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK). Hal tersebut diatur dalam pasal 49 ayat (1) Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Pasal 47 Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga
menegaskan bahwa penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan diselenggarakan
untuk mencapai kesepakatan mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi
kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen. Dalam hal ini
bentuk jaminan yang dimaksud berupa pernyataan tertulis yang menerangkan bahwa tidak
akan terulang kembali perbuatan yang telah merugikan konsumen tersebut.

Ada beberapa macam cara BPSK dalam menyeleaikan sengketa


1. Konsiliasi
BPSK membentuk sebuah badan sbg. fasilitator (sifat pasif);
Badan tdk ikut memberikan solusi, tapi membiarkan para pihak menyelesaikan
masalah mereka sendiri.
Jika mereka dpt menyelesaikan dianggap sbg persetujuan rekonsiliasi yang diperkuat
oleh keputusan BPSK;
Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja.

2. Mediasi
BPSK membentuk sebuah badan sbg. mediator yang aktif untuk memberikan
petunjuk, solusi penyelesaian, nasehat dan saran kepada yang bermasalah;
Badan ini membiarkan para pihak menyelesaikan permasalahan mereka sendiri.
Jika mereka dpt menyelesaikan perselisihan maka diletakkan pada persetujuan
rekonsiliasi yang diperkuat oleh keputusan BPSK;
Penyelesaian dilaksanakan paling lama 21 hari kerja
3. Arbitrase
BPSK membentuk badan arbitrase sebagai arbiter sesuai pilihan mereka untuk
menyelesaikan masalah konsumen;
Kedua belah pihak seutuhnya membiarkan badan tersebut menyelesaikan
permasalahan mereka;
BPSK membuat sebuah penyelesaian final yang mengikat;
Penyelesaian harus diselesaikan dalam jangka waktu 21 hari kerja paling lama.
Ketika kedua belah pihak tidak puas pada penyelesaian tersebut, kedua belah pihak
dapat mengajukan keberatan kepada PN dalam jangka waktu 14 hari setelah
penyelesaian di informasikan;

• Ketua BPSK memberitahukan putusan majelis secara tertulis kepada alamat


konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari
kerja sejak putusan dibacakan.
• Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan,
konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima dan
menolak putusan BPSK.

• Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan
keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK dibacakan

• PN menyelesaikan sengketa paling lama 21 hari sejak di terima keberatan

• Jika ada pihak yang tidak puas thd putusan PN dlm waktu 14 hari dapat mengajukan
kasasi ke MA. Dlm waktu 30 hari MA menjatuhkan putusan

• Jika PU tdk mengajukan keberatan tapi tidak melaksanakan putusan maka BPSk
menyrahkan putusan tsb kepada penyidik

b) Di Pengadilan
Pada prinsipnya setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha
melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
atau melalui peradilan umum, apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen
secara damai dan penyelesaian di luar pengadilan (melalui Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen), maka gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut
dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana
sebagaimana di atur dalam Undang-Undang.
Kewenangan menyelesaikan sengketa konsumen melalui pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum dengan mengacu pada ketentuan yang berlaku di lingkungan
peradilan umum tersebut. Hal ini berarti tatacara pengajuan gugatan dalam masalah
perlindungan konsumen mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku.[2]
Pihak-pihak yang dapat mengajukan gugatan atau pelanggaran pelaku usaha melalui
pengadilan menurut Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen meliputi :
a) Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan.
b) Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama.
c) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu
berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan
tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan
konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.
d) Pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Seorang konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi langsung ke
pengadilan atau diluar pengadilan melalui lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat, sedangkan gugatan yang dilakukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
konsumen swadaya masyarakat maupun pemerintah atau instansi yang terkait hanya dapat
diajukan ke pengadilan.
BAB XI

SERTIFIKASI HALAL

1. Pengertian

Berdasarkan Pasal 4 UU No. 33 Tahun 2014 “Produk yang masuk, beredar, dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Sertifikat halal dikeluarkan
oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Sertifikat Halal adalah
pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal
tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. (Psl 1 butir 10 UU No. 33 Th 2014)

Psl 1 butir 5 “ Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum
terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. ( UU No. 33 Th
2004 2014 tentang Jaminan produk Halal).

2. Tujuan Penyelenggaraan Jaminan produk Halal

a. memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk


Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan

b. meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk
Halal.

Sebenarnya sertifikasi halal juga berdampak positif thd Pelaku Usaha, sebab konsumen
muslim di dunia ini jumlahnya sangat besar apalagi memasuki pasar bebas.

2. Bagaimana dng produk yg tidak halal ? Psl 26 (1) Pelaku usaha yang memproduksi
produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dikecualikan dari mengajukan
permohonan sertifikat halal. Ayat (2) Pelaku usaha tersebut wajib mencantumkan keterangan
tidak halal pada produk.

Psl 27 ayat (2 ) jika tidak mencantumkan label tidak halal dikenakan sanksi administrasi
berupa : a. teguran lisan; b. peringatan tertulis; atau c. denda administratif.

Pasal 5

(1) Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH.

(2) Penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri.

(3) Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dibentuk BPJPH yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri.

(4) Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.

3.Pihak yang berwenang mengeluarkan sertifikat halal


a. Ketentuan lama : menjadi kewenangan MUI penyelenggaranya LPPOM-MUI, dasar
hukum PP No. 69 Th 1999, kepmenag No. 518 dan 519 Th 2001, piagam kerjasama MUI
departemen kesehatan-departemen agama, masa berlaku 2 tahun, sefat sukarela.
b. Ketentuan baru : Kewenagnan pemerintah/kementrian agama, penyelenggara BPJPH,
dasar hukum UU No. 33 Th 2014 Tentang Sistem Jaminan Halal (SJH), PP belum terbit,
masa berlaku 4 tahun, sifat wajib.

4.Tata cara memperoleh sertifikat halal

1. PU mengajukan Permohanan ke BPJPH


2. BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan
Produk
3. LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada
BPJPH

a. BPJPH menyerahkan hasil pemeriksa- an kpd MUI


b. MUI sidang fatwa halal memutuskan maks 30 hari MUI menandatangani
keputusan halal diserahkan BPJPH sbg dasar penerbitan sertifikat
4. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal, paling lama 7 hari stlah kep MUI diterima

BAB XII

CLASS ACTION DAN LEGAL STANDING

A. CLASS ACTION – Gugatan Perwakilan kelompok

1. Pengertian class action

Adalah suatu tata cara pengajuan gugatan dalam mana satu orang atau lebih yg mewakili
kelompok mengajukan gugatan untuk diri-atau diri diri mereka sendiri, dan sekaligus
mewakili kelompok orang yg jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta, dasar
hukum, dan tuntutan antara wakil kelompok dan anggota kelompok dimaksud.

2. Syarat mengajukan class action

a. Jumlah anggota kelompok sangat banyak shg tidak efektif dan tidak efisien jika
masing-2 korban mengajukan gugatan secara sendiri-2.
b. Adanya kesamaan fakta/peristiwa , dasar hukum dan jenis tuntutan antara wakil
kelompok dan anggota kelompok.
c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan melindungi kelompk yg
diwakili.

3. Keuntungan gugatan class action

a. Bagi penggugat tidak mengeluarkan biaya banyak, sebab ditanggung bersama, apalgi
bagi yg awam hukum menjadi percaya diri, ini sangat adil terutama bagi rakyat kecil
b. Bagi pengusaha tidak banyak waktu tenaga pikiran dan biaya yg dikeluarkan untuk
menghadapi gugatan. Sehingga tdk mengurangi produktivitas kerja.
c. Bagi aparat penegak hukum tidak banyak waktu tenaga pikiran yg hanya dipakai untuk
menangani perkara konsumen, sehingga dapat menangnai perkara yg lain
5. Contoh gugatan class astion

Contoh class action : jumlah konsumen atau pelanggan PLN korban pemadaman aliran listrik
sebanyak 50 orang, mengajukan gugatan ke PLN cukup diwakili misalnya 2 orang diantara
korban

B.Legal standing (hak gugatan organisasi)

1. Pengertian

Legal standing seringkali disebut juga sebagai hak gugatan organisasi (ius standi).
Suatu organisasi (LSM) mengajukan gugatan mengatasnamakan Konsumen

2. Hak gugatan legal standing

a. organisasi tersebut tidak mengalami kerugian langsung; kerugian dalam konteks gugatan
organisasi (legal standing) lebih dilandasi suatu pengertian kerugian yang bersifat publik.

b. tuntutan organisasi (legal standing) tidak dapat berupa ganti kerugian berupa uang, kecuali
ganti kerugian yang telah dikeluarkan organisasi untuk penanggulangannya objek yang
dipermasalahkannya dan tuntutannya hanya berupa permintaan pemulihan (remedy) atau
tuntutan berupa perintah pengadilan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang
bersifat deklaratif

3. Syarat LSM dapt mengajukan Legal standing

Hak untuk melakukan gugatan legal standing di dalam sengketa perlindungan konsumen
diatur di dalam pasal 46 ayat 1 (satu) c, dengan ketentuan bahwa lembaga swadaya yang
melakukan gugatan tersebut adalah lembaga swadaya yang:

a. berbentuk badan hukum / yayasan;


b. dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk keperluan perlindungan kosumen, dan
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

4. Contoh gugatan Legal standing

• Contoh legal standing : LSM anti rokok mewakili publik menggugat ke PN. Disini
LSM mengatasnamakan konsumen. Penggugat 5 LSM yaitu :

1. YLKI
2. Yayasan jantung Indonesia
3. Yayasan lembaga menanggulangi maslah merokok
4. Yayasan wanita Indonsia tanpa tembakau
5. Yayasan kanker Indonesia.

Tergugat : perusahaan rokok, media massa, dan Persh. iklan Obyek gugatan : tergugat
melakukan pelanggaran jam tayang di televisi dan memuat gambar rokok/bungkus rokok di
media cetak
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

1. Adrian Sutedi, “Tanggung Jawab Produk dalam hukum Perlindungan Konsumen “


Ghalia, Indonesia, Bogor, 2008
2. Nasution, AZ, “Hukum Perlindungan Konsumen suatu Pengantar”, DayaWidya,
Jakarta, 1999
3. Shidarta, “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia”, Grasindo, edisi Revisi,
Jakarta, 2004
4. Sidabalok, Janus “Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia”, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2000
5. Yayasan Lembaga Konsumen (YLKI) “Panca Hak Konsumen” Jakarta, 1985
6. ------------------------ Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, 2000

B. PERATURAN PERUNDNDANG-UNDANGAN

 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)


 UU. No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
 PP. No. 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional indonesia
 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 350/MPP/Kep/12/2001
Tentang Pelaksanaan Tugas dan wewenang BPSK
 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.
634/MPP/Kep/9/2002 tentang Ketentuan dan tata cara Pengawasan barang dan atau
jasa yang beredar di pasar
 Rofiq Hidayat Kasus Iklan Nissan March Masuk Pengdilan, www, hukum
online.com, diakses pada Kamis 16 Maret 2017, pukul 11.30 WIB,

Anda mungkin juga menyukai