Anda di halaman 1dari 39

BAB II

HAK KONSUMEN DALAM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A. Pengertian Konsumen

Dalam istilah pustaka ekonomi konsumen ada 2 yaitu konsumen akhir dan

konsumen antara, konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari

suatu produk sedangkan konsumen antara adalah konsumen menggunakan suatu

produk sebagai dari proses produksi lainnya.15

Dengan mempelajari perbandingan rumusan konsumen, kita perlu melihat

kembali pengertian konsumen dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, dimana konsumen itu adalah:

1. Setiap Orang

Artinya adalah setiap orang berstatus sebagai pemakai barang atau jasa.

Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang yang

individu atau juga termasuk badan hukum. Hal ini berbeda dengan pengertian

yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka (3), yang secara

eksplisit membedakan kedua hal diatas dengan menyebutkan kata-kata “orang

perorangan atau badan usaha”. Namun konsumen juga harus mencakup juga

badan usaha, dengan makna lebih luas dari badan hukum.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kata “orang” tidak diragukan.

Dalam undang-undang itu hanya digunakan kata “pemakai” yang dapat

diinterprestasikan baik secara orang perorangan maupun badan usaha. Undang-

15
Sentosa Sembiri, Himpunan Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen dan
Peraturan Perundang-Undangan yang berkait, PT. Nuansa Aulia, Bandung, Tahun 2006, hal. 38

27
28

undang Perlindungan Konsumen sendiri menggunakan kata “pelaku usaha” yang

bermakna luas, bahkan untuk kasus-kasus yang spesifik seperti dalam kasus

periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan itu

ditayangkan.

2. Pemakai

Sesuai dengan bunyi Pasal 1 Angka (2) Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan

ketentuan tersebut, sekaligus menunjukkan barang dan/ atau jasa yang dipakai

tidak serta merta dari hasil transaksi jual beli. Artinya yang diartikan sebagai

konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang

untuk memperoleh barang dan/ atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan

hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu diberikan contoh berikut.

Seseorang memperoleh paket hadiah atau parcel pada hari ulang tahunnya. Isi

paketnya makanan dan minuman kaleng yang dibeli si pengirim di pasar

swalayan. Pertanyaan, apakah penerima paket seorang konsumen juga? Jika ia

akan menggugat pasar swalayan itu, apakah ada dasar gugatan yang cukup kuat

baginya? Hal ini patut dipertanyakan. Jika menggunakan prinsip the privity of

contract tentu tidak ada hubungan kontraktual antara penerima hadiah dengan

pihak pasar swalayan karena si pembeli adalah orang lain.

Dengan demikian, Undang-Undang Perlindungan Konsumen sudah

selayaknya meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen. Konsumen

memang tidak sekedar pembeli, tetapi semua orang, (perorangan atau badan

usaha) yang mengkonsumsi jasa dan/ atau barang. Jadi yang paling penting
29

terjadinya transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang

dan/ atau jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

Mengartikan konsumen secara sempit, seperti halnya sebagai orang yang

mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan pelaku

usaha dan penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana.

3. Barang dan/ Jasa

Berkaitan dengan barang dan/ atau jasa, sebagai terminology tersebut

digunakan kata produk. Sekarang ini “produk” sudah berkonotasi barang atau

jasa. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai

benda, baik berwujud maupun tidak terwujud, baik bergerak maupun tidak

bergerak, baik dapat habis maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat

diperdagangkan maupun yang tidak dapat diperdagangkan, dipakai, dipergunakan

atau dimanfaatkan.

Sementara itu, jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk

pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh

konsumen. Pengertian :disediakan bagi masyarakat” artinya jasa itu harus

ditawarkan kepada masyarakat dan kata “ditawarkan” kepada masyarakat itu

harus ditafsirkan bagian dari transaksi konsumen.

4. Yang Tersedia dalam Masyarakat

Barang atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia

di pasaran (Pasal 9 Ayat (1) Huruf e Undang-Undang Perlindungan Konsumen).

Dalam perdagangan yang main kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi

dituntut oleh masyarakat


30

konsumen. Misalnya perusahaan pengembang (developer) perumahan

sudah bisa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi.

Bahkan untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, keberadaan barang yang

diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

5. Bagi Kepentingan Diri Sendiri, Keluarga, Orang Lain, Mahluk Hidup

Lain

Transaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain dan mahluk hidup lain. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk

diri sendiri dan keluarga tetapi juga ditujukan untuk barang dan/ atau jasa itu

diperuntukkan. Bagi orang lain, bahkan untuk mahluk hidup lain, seperti hewan

dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian

dari kepentingan, misalnya seseorang yang membelikan makanan untuk

kucingnya, berkaitan dengan kepentingan orang itu memiliki kucing yang sehat.

6. Barang dan/ atau Jasa Itu tidak Untuk Diperdagangkan

Pengertian konsumsi dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini

dipertegas yakni hanya konsumen akhir. Secara teoritis hal demikian cukup baik

untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen. Sebagai ilustrasi dapat

diberikan contoh seorang ibu rumah tangga membeli kompor elektronik dari

sebuah toko, karena sesuatu hal kompor yang belum, sempat dipakainya itu dijual

lagi kepada tetangganya. Ternyata alat itu rusak dan tetangganya mengajukan

keberatan terhadapnya. Timbul pertanyaan, apakah ibu yang telah membeli alat

itu dan menjualnya lagi kepada tetangganya, masih disebut konsumen menurut

kategori Undang-Undang Perlindungan Konsumen ? Jika pemilik toko


31

mengetahui si ibu menjual kompor itu kepada orang lain, apakah pemilik toko

dapat menolak gugatan si ibu tadi dengan alasan bahwa ibu itu bukan lagi sebagai

konsumen akhir. Dengan demikian, seharusnya batasan itu tidak perlu selaku yang

ditetapkan dalam undang-undang.

Uraian tersebut sekaligus menunjukkan, batasan konsumen dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan hak-hak yang diadopsi didalamnya

masih memerlukan pengujian-pengujian di lapangan. Dengan berpedoman pada

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok

Kekuasaan Kehakiman, sudah dapat diamanatkan bahwa hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

B. Hak-Hak Konsumen

Istilah “perlindungan konsumen”, berkaitan dengan perlindungan hukum.

Oleh karena itu perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun

materi yang mendapat perlindungan itu bukan sekedar fisik melainkan terlebih-

lebih haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen

sebenarnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum terhadap hak-hak

konsumen.

Secara umum dikenal ada empat hak dasar konsumen yaitu :

1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety)

2. Hak untuk mendapatkan informasi (the right to be informed)

3. Hak untuk memilih (the right to choose)

4. Hak untuk di dengar (the right to be hear)


32

Empat hak dasar ini diakui secara internasional. Dalam perkembangannya,

organisasi-organisasi konsumen yang bergabung dalam The International

Organization Of Consumers Union (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak,

seperti hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik serta sehat. Namun tidak

semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka

bebas menerima semua atau sebagian YLKI misalnya, memutuskan untuk

menambah satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar konsumen, yaitu hak

untuk mendapatkan lingkungan yang baik Sehat sehingga kesemuanya dikenal

sebagai panca hak konsumen.

Dalam rancangan akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen

yang disusun oleh Tim Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Departemen

Perdagangan (1992), hak-hak dasar ditambahkan lagi dengan hak untuk

mendapatkan “barang” sesuai dengan nilai tukar yang diberikan dan hak untuk

mendapatkan upaya penyelesaian hukum. Hak konsumen untuk mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dimasukan ke dalam Undang-

Undang Perlindungan Konsumen ini karena Undang-Undang Perlindungan

Konsumen secara khusus pengecualian hak-hak yang diatur dalam undang-

undang di bidang Hak-Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan dibidang

pengelolaan lingkungan.

Ada sembilan hak yang secara eksplisit dituangkan dalam Pasal 4 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, hak-hak konsumen itu sebagai berikut :16

1. Hak atas kekayaan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/ atau jasa.


16
Ibid, hal. 12
33

2. Hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan/ atau

jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan serta jaminan yang dijanjikan.

3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/ atau jasa.

4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya mengenai barang dan/ atau jasa

yang digunakan.

5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian

sengketa perlindungan konsumen secara patut

6. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen.

7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur, serta tidak

diskriminatif.

8. Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian, jika

barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai perjanjian atau tidak

sebagaimana mestinya.

9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan dan perundangan-undangan

yang lain

Disamping hak-hak yang diatur dalam Pasal 4, juga terdapat hak-hak

konsumen yang dirumuskan dalam Pasal-Pasal berikutnya khususnya dalam Pasal

7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur tentang kewajiban

pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan sesuatu yang bertimbal balik diam

hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.

Selain hak-hak yang disebutkan itu ada juga hak untuk dilindungi dari

perbuatan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang
34

dilakukan pengusaha sering dilakukan secara tidak jujur, yang dalam hukum

dikenal dengan terminology “ persaingan curang” (unfair competition) Akhirnya.

Jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis (mulai

yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut :

1. Hak Konsumen Mendapat Keamanan

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang

ditawarkan kepadanya. Produk barang atau jasa tidak boleh membahayakan jika

dikonsumsi sehingga tidak dirugikan baik secara jasmani maupun rohani. Dalam

barang dan/ atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha beresiko

sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, maka pemerintah selayaknya

mengadakan pengawasan secara ketat. Misalnya zat atau obat yang tergolong

dalam narkotika dan psikotropika.

Satu hal yang juga sering dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk

mendapatkan keamanan adalah penyediaan fasilitas umum, seperti pusat

perbelanjaan, hiburan, rumah sakit, dan perpustakaan belum cukup akomodatif

untuk menopang keselamatan pengunjungnya. Hal ini tidak saja bagi pengguna

produk barang atau jasa (konsumen) yang berfisik normal pada umumnya, tetapi

terlebih-lebih juga mereka yang cacat berjalan dan lanjut usia. Akibatnya besar

kemungkinan mereka ini tidak dapat leluasa berjalan dan naik tangga di tempat-

tempat umum karena tingkat resiko yang sangat tinggi.

2. Hak Untuk Mendapatkan Informasi Yang Benar


35

Setiap produk yang dikenalkan kepada konsumen harus disertai informasi

yang benar. Informasi ini disampaikan agar konsumen tidak sampai mempunyai

gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi itu dapat

disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen melalui iklan di

berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang). Informasi

ini harus diberikan secara sama bagi semua konsumen (tidak diskriminatif)

Dengan menggunakan teknologi tinggi dalam mekanisme produk barang

dan/ atau jasa akan menyebabkan makin banyaknya informasi yang harus dikuasai

oleh masyarakat konsumen. Adalah mustahil mengharapkan sebahagian besar

konsumen. Memiliki kemampuan dan kesepakatan akses informasi secara sama

besarnya. Apa yang dikenal dengan ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen

menerima informasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang

dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak wajar oleh pelaku usaha. Itulah

sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas

informasi yang benar, yang didalamnya tercakup juga hak atas informasi yang

benar dan hak atas informasi yang proposional dan diberikan secara tidak

diskriminatif.

3. Hak Untuk Didengar

Hak yang erat dengan kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi

adalah hak untuk di dengar. Hal ini disebabkan informasi yang diberikan oleh

pihak yang berkepentingan atau berkompeten sering tidak memuaskan konsumen.

Untuk itu, konsumen berhak mengajukan permintaan informasi lebih lanjut.


36

Dalam tata karma dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila

diminta oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media pengiklanan,

harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu. Pengaturan

demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik akan mengarah kepada langkah

positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar.

Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang penyiaran

dinyatakan, lembaga penyiaran wajib meralat isi siaran dan/ atau berita jika

terdapat kekeliruan atau terjadi sanggahan atas isi siaran dan/ atau berita.

Penyanggahan berita itu mungkin adalah konsumen dari produk tertentu.

Ralat atau pembetulan wajib dilakukan dalam waktu selambat-lambatnya satu kali

24 jam berikutnya atau pada kesempatan pertama ruang mata acara yang sama,

dalam bentuk serta cara yang sama dengan penyampaian isi siaran dan/ atau berita

yang disanggah. Ketentuan dalam Undang-Undang Penyiaran jelas menunjukkan

hak untuk didengar yang dalam doktrin hukum dapat diidentikkan dengan hak

untuk membela diri.

4. Hak Untuk Memilih

Dalam mengkonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan

pilihannya. la tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi

bebas untuk membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia bebas

menentukan produk mana yang akan dibeli. Hak untuk memilih ini erat kaitannya

dengan situasi pasar. Jika seseorang atau suatu golongan diberi hak monopoli

untuk memproduksi dan memasarkan suatu barang atau jasa, maka kemungkinan
37

besar konsumen kehilangan hak untuk memilih produk yang satu dengan produk

yang lain.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Praktek Larangan

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengartikan bahwa monopoli

sebagai penguasaan atas produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau

penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau suatu kelompok pelaku

usaha. Dampak dari praktek monopoli ini adalah persaingan usaha tidak Sehat

yang merugikan kepentingan umum (konsumen). Jika monopoli itu diberikan

kepada perusahaan yang tidak berorientasi pada kepentingan konsumen, akhirnya

konsumen pasti dipaksa untuk mengkonsumsi barang atau jasa tanpa dapat

berbuat lain. Dalam keadaan seperti itu pelaku usaha dapat secara sepihak

mempermainkan mutu barang dan harga yang dijual.

5. Hak Untuk Mendapatkan Produksi Barang dan/ atau Jasa Sesuai Dengan

Nilai Tukar Yang Diberikan.

Dengan hak ini konsumen harus dilindungi dari permainan tidak wajar.

Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas suatu barang dan/ atau jasa yang

dikonsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang harus dibayar sebagai

penggantinya. Namun, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar dengan menaikkan

harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan. Dalam situasi

demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari produk alternatif, yang boleh jadi

kualitasnya malah lebih buruk.

Akibat tidak berimbangnya posisi tawar antar pelaku usaha dan konsumen,

maka pihak pertama dapat saja membebankan biaya tertentu yang sewajarnya
38

tidak ditanggung konsumen. Praktek ini tidak terpuji dan lazim dikenal dengan

istilah externalities.

6. Hak Untuk Mendapat Ganti Rugi

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas suatu barang dan/ atau

jasa yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya, ia

berhak mendapat ganti rugi yang pantas. Jenis dan jumlah ganti rugi tentu saja

harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesempatan masing-masing

pihak.

Dalam uraian tentang hak untuk didengarkan dikatakan, Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran

mencantumkan ralat ini siaran dan/ atau berita yang disanggah pihak lain, hak

konsumen tidak berarti dengan sendirinya hilang. Lembaga penyiaran tidak

terbebas dari tanggung jawab atas tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang

dirugikan.

7. Hak Untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum

Hak untuk mendapatkan ganti rugi harus ditempatkan lebih tinggi dari

pada hak pelaku usaha untuk membuat klausula eksonerasi 17 secara sepihak

dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban hukum dari

pihak yang dipandang merugikan karena mengkonsumsi produk itu.

17
Munir Fuady, SH, MH, LLM, dalam bukunya Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang
Hukum Bisnis, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 55 dan 79, menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan klausula eksonerasi eseuppaloty adalah suatu klausula dalam bentuk
kontrak yang membebaskan salah satu pihak dan kewajibannya untuk mengganti kerugian yang
disebabkan oleh perbuatannya sendiri oleh karena itu klausula itu disebut juga klausula
pembebasan adalah jika seorang pasien dirawat sakit dan padahal pasien baru menandatangani
formulir rumah sakit dan kerugian yang diderita oleh pasien malpraktek dokter.
39

Hak untuk mendapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya juga meliputi

hak untuk mendapatkan kerugian, tetapi kedua hak tersebut tidak berarti identik.

Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus menempuh upaya

hukum terlebih dahulu. Sebaliknya setiap upaya hukum pada hakikatnya berisikan

tuntutan mengganti kerugian oleh salah satu pihak.

8. Hak Untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup Yang Baik Dan Sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik serta Sehat merupakan hak yang

diterima sebagai salah satu pihak dasar konsumen oleh berbagai organisasi

konsumen di seluruh dunia. Lingkungan hidup yang baik dan Sehat berarti sangat

luas, dan setiap makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Pasal

5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan

Lingkungan Hidup, hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan Sehat itu

dinyatakan secara tegas.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

menyatakan “setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang

baik dan sehat”. Dalam ketentuan itu jelas lingkungan hidup, selain Sehat juga

baik. Rumusan itu tidak berbeda dengan undang-undang yang lama yakni

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengertian “setiap orang” selalu mengacu kepada

manusia individu, juga kepada kelompok orang atau badan.

Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan

Sehat makin terkemuka akhir-akhir ini.


40

9. Hak Untuk Dilindungi Dari Akibat Negatif Persaingan Curang.

Persaingan usaha tidak Sehat dapat terjadi jika seseorang pengusaha

berusaha menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan

usahanya atau memperluas penjualan atau pemasarannya, dengan menggunakan

alat atau saran yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam

pergaulan perekonomian.

Walaupun persaingan terjadi antara pelaku usaha, dampak dari persaingan

itu selalu dirasakan oleh konsumen. Jika persaingan sehat, konsumen memperoleh

keuntungan. Sebaliknya, jika persaingan curang konsumen pula yang dirugikan.

Kerugian itu boleh jadi tidak dirasakan dalam jangka pendek, tetapi cepat atau

lambat, pasti terjadi. Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang

adalah permainan harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak

pelaku usaha lain yang mempunyai kekuatan lebih lemah dengan cara

membanting harga produk. Tujuannya untuk merebut pasar, an akhirnya produsen

saingannya akan berhenti memproduksi.

10. Hak Untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang

baru. Oleh karena itu, wajar bila masih banyak konsumen yang belum menyadari

hak haknya. Kesadaran akan hak sejalan dengan kesadaran hukum. Makin tinggi

tingkat kesadaran hukum masyarakat, makin tinggi penghormatannya pada hak-

hak dirinya dan orang lain. Upaya pendidikan konsumen tidak selalu harus

melewati jenjang pendidikan formal, tetapi dapat melalui media massa dan

kegiatan lembaga swadaya masyarakat.


41

Dalam banyak hal, pelaku konsumen terikat untuk memperhatikan hak

konsumen untuk mendapatkan “pendidikan konsumen” ini. Pengertian

“pendidikan” tidak harus diartikan sebagai proses formal yang dilembagakan.

Pada prinsipnya, makin kompleks teknologi yang diterapkan dalam menghasilkan

suatu produk maka makin banyak menuntut informasi yang lebih komperehensif

dengan tidak semata-mata menonjolkan unsur komersialisasi. Produsen mobil

misalnya, dalam memasarkan produk dapat menyisipkan program-program

pendidikan yang memiliki kegunaan praktis, seperti tata cara perawatan mesin,

pemeliharaan ban, atau penggunaan sabuk pengaman.

C. Batasan Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum konsumen terdiri dari rangkaian perundang-undangan yang

mengatur tentang prilaku orang dalam pergaulan hidup untuk memenuhi

kebutuhan hidup mereka. Orang-orang tersebut terutama dari penyediaan barang

(pengusaha) atau penyelenggara jasa yang merupakan kebutuhan hidup manusia

dan merupakan konsumen pengguna barang atau jasa tersebut. Batasan (definisi)

selalu diperlukan untuk memperjelas ruang lingkup dan pegangan dalam

pembahasan pokok permasalahan. Dengan mengikuti Batasan Hukum

Internasional sebagaimana yang dikemukakan Prof. Muchtar Kesumaatmadja,

batasan konsumen adalah “keseluruhan asas-asas berbagai pihak satu sama lain

berkaitan dengan barang dan jasa konsumen dalam pergaulan hidup.18

18
AZ. Nasution, Konsumen Dan Hukum, Tinjauan Sosial Ekonomi Dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 64
42

Asas-asas dan kaidah hukum tersebut terdapat dalam berbagai bidang

hukum baik tertulis maupun tidak tertulis, antara lain hukum pidana, hukum

dagang, hukum administrasi negara dan hukum Internasional, terutama konvensi-

konvensi yang berkaitan dengan kepentingan konsumen.

Adapun masih belum jelas dari pernyataan tersebut berkaitan dengan

kaidah-kaidah hukum perlindungan yang senantiasa bersifat mengatur. Apakah

kaidah memaksa, tetapi memberikan perlindungan kepada konsumen tidak

bermaksud memaksa, tetapi memberikan perlindungan konsumen? Untuk lebih

jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 38 KUH Pidana berikut ini.

“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan

seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli :

(1) Karena sengaja menyerahkan barang lain dari pada ditunjuk untuk dibeli,

(2) Mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan

menggunakan tipu muslihat”.

Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 pidana ini juga

memenuhi syarat untuk dimaksudkan ke dalam wilayah hukum perlindungan

konsumen, artinya ini persoalan bukan terletak dalam kaidah yang harus mengatur

atau memaksa.

Dengan demikian, seyogyanya dikatakan hukum konsumen berskala lebih

luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan konsumen

didalamnya. Kata aspek hukum sangat tergantung pada kemauan kita mengartikan

hukum termasuk juga hukum diartikan sebagai asas dan norma, salah satu bagian
43

dari hukum konsumen ini adalah aspek perlindungan, misalnya bagaimana

caranya mempertahankan hak-hak konsumen terhadap pihak lain.

Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen

yang memuat azas-azas atau kaidah-kaidah yang sifatnya mengatur dan juga

mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Pada dasarnya

kedudukan konsumen baik yang bergabung pada suatu organisasi apalagi

individu, tidak seimbang dengan kedudukan pengusaha. Oleh sebab itu adalah

memberikan perlindungan atau pengayoman kepada, masyarakat. Jadi sebenarnya

hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum

yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.19

Sejalan dengan batas hukum konsumen, maka hukum perlindungan

konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan penyedia

barang dan jasa konsumen. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya diluar

bidang hukum juga terdapat etika tertentu seperti termuat dalam regulasi sendiri

pengusaha (self regulation) dalam bentuk kode etik, kode pemasaran dan

sebagainya.

Hukum konsumen pada pokoknya lebih berperan dalam hubungan dan

masalah konsumen yang kondisi path pihaknya berimbang dalam kedudukan

sosial ekonomi, daya saing maupun tingkat pendidikan, Rasionya adalah

sekalipun tidak selalu tepat, bagi mereka yang kedudukannya seimbang demikian,

maka mereka masing-masing lebih mampu mempertahankan dan menegakkan

19
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo Jakarta, 2000, hal.
28
44

hak-hak mereka yang sah, Hukum perlindungan konsumen di butuhkan apabila

kondisi pihak-pihak yang mengadakan hubungan hukum yang bermasalah dalam

masyarakat itu tidak seimbang, secara kelompok apalagi individu, sangat lemah

dibandingkan dengan para penyedia kebutuhan konsumen, baik penyedia swasta

maupun pemerintahan (public).

D. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen.

Path era perdagangan bebas arus barang atau jasa dapat masuk ke semua

Negara dengan bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah satu persaingan

dimana konsumen dapat memiliki barang atau jasa karena jaminan kualitas

dengan harga yang wajar. Oleh karena itu pula perlindungan konsumen perlu

diarahkan pada pola kerjasama antar Negara, antar semua pihak yang

berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan yang harmonis

berdasarkan atas persaingan yang jujur.

Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang

harus dilindungi, seperti yang telah penulis kemukakan sebelumnya. Secara

universal hak-hak adalah hak yang melekat pada setiap konsumen. Aspek hukum

publik dan aspek hukum perdata, mempunyai peran dan kesempatan yang sama

untuk perlindungan kepentingan konsumen.

1. Aspek Hukum Perdata

Dalam kitab undang-undang Hukum Perdata terlihat perjalanan yuridis

seorang manusia sejak ia lahir sampai sejak yang bersangkutan meninggal. Dalam
45

hukum perdata lain bagaimana hubungan seseorang dengan keluarga, benda orang

lain dalam lapangan harta kekayaan dan ahli warisnya jika ia meninggal.

Kitab undang-undang Hukum perdata sendiri secara formal masih

menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang daya berlakunya,

pada tahun 1963 melalui surat edaran Mahkamah Agung RI No, 3/1963, diadakan

himbauan untuk tidak lagi menganggap kitab undang-undang Hukum perdata

sebagai undang-undang tetapi sebagai kitab hukum. Ini berarti kondifikasi ini

tidak lagi perlu diikuti secara kaku, cukup dipedomani saja. Hakim-hakim

diperbolehkan untuk menyimpan dan kitab itu sepanjang nilai-nilai masyarakat

bangsa Indonesia menghendaki demikian. Surat edaran itu juga mencabut

beberapa Pasal dari kitab tersebut.20

Kembali kepada uraian sebelumnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata memang sama sekali tidak pernah disebut-sebut kata “konsumen” istilah

lain yang sepadan seperti pembeli, penyewa dan siberhutang (debitur).

Ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jelas masih

umum untuk mengantisipasi perkembangan bidang hukum perdata yang sangat-

sangat dinamis, dinamika dimaksudkan dapat diamati, misalnya makin banyak

bentuk-bentuk perjanjian yang dibuat oleh para pihak atau individu lembaga.

Dinamika hukum perdata pada abad ke 19, antara lain dengan mencantumkan

kriteria perjanjian.21

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai sebutan tersendiri

yakni yang diatur diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Dalam Kitab
20
Sudaryanto, Hukum Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, 1999, hal.
16
21
Ibid, hal. 19
46

Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian bernama ini diatur dalam Bab V

sampai dengan Bab XVIII dari buku ke tiga KUH Perdata tentang perikatan.

Diluar itu adalah perjanjian tidak bernama. Dapatlah dibayangkan betapa banyak

jenis-jenis perjanjian yang belum ketiga belas bab itu.

Adanya asas kebebasan berkontrak (patij outonomie) mendorong pihak-

pihak yang terlibat dalam hubungan keperdataan melakukan inovasi jenis-jenis

perjanjian baru. Perjanjian sewa beli misalnya merupakan jenis perjanjian yang

termasuk jenis perjanjian yang tidak bernama versi kitab undang-undang hukum

Perdata.

Jenis-jenis itu juga semakin komplek, karena satu bentuk perjanjian

mengandung berbagai unsure perjanjian sekaligus. Perjanjian seperti itu disebut

dengan istilah contractus sui generic. Sebagai contoh adalah perjanjian yang

dibuat diantara perusahaan jasa perkawinan dan calon pengantin. Perusahaan

termasuk tersebut tidak saja memberikan jasa penyewaan ruangan pengantin,

penyajian makanan (catering), dokumen (foto/ vedio) bahkan sampai pada paket

acara bulan madunya.

Adanya hukum berupa perjanjian tertentu saja sangat membantu dalam

memperkuat posisi konsumen dalam berhadapan dengan pihak yang merugikan

hak-haknya. Perjanjian ini perlu dikemukakan karena merupakan salah satu

sumber lahirnya perikatan.

Perikatan dapat bersumber dari perjanjian dari perjanjian dari undang-

undang. Dalam hukum positif Indonesia, masalah perikatan secara umum diatur

dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perikatan dalam


47

kodifikasi adalah perikatan dalam lapangan hukum kekayaan. Artinya perikatan

tersebut diikatkan dengan hak-hak tertentu yang mempunyai nilai ekonomis. Jika

hak itu tidak terpenuhi, badan konsekuensi yuridis untuk menggantinya dengan

sejumlah uang tertentu. Jadi dalam hal tersebut selalu terkait kepentingan moral

kesusilaan.22

Perikatan yang berhubungan dengan kepentingan ekonomi ini disebut juga

dengan “perutangan” kata perutangan ini menunjukkan adanya hukum yang

terjadi antara debitur dan kreditur, yang terletak dalam lapangan kekayaan.

Pengaturan perikatan dalam kitab undang-undang hukum perdata

merupakan pengaturan secara umum saja hal ini ditegaskan dalam Pasal 1319

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; “Semua Perjanjian, baik yang mempunyai

nama yang khusus maupun yang tidak mempunyai nama tertentu, tunduk dalam

ketentuan-ketentuan umum yang termuat dalam bab yang lalu. Maksud kata-kata

“dalam bab ini dan bab yang lalu” adalah Bab II tentang perikatan-perikatan yang

dilahirkan dari perjanjian dan Bab I tentang perikatan pada umumnya.

Pengaturan yang bersifat umum tersebut dengan demikian juga mengikat

perikatan-perikatan yang dibuat dalam dunia perdagangan, khusus yang diatur

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, “Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata berlaku juga bagi hal-hal yang diatur dalam Kitab Undang-Undang ini,

sekedar di dalam Kitab undang-undang ini tidak diatur secara khusus

menyimpang. “Anak kalimat dari Pasal tersebut mengisyaratkan berlakunya asas

22
Syawali, Husni, dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, CV. Mandar Maju Bandung,
2000, hal. 23
48

“lex specialis derogate lege generali” (peraturan yang khusus mengesampingkan

peraturan umum)

Perikatan dapat terjadi karena dua sebab, yaitu karena adanya perjanjian

dan karena ada undang-undang (Pasal 1233 kitab Undang-Undang Hukum

Perdata). Dua pengertian ini sangat mempengaruhi perlindungan dan penyelesaian

sengketa hukum yang melibatkan kepentingan konsumen di dalamnya. Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menerima dan mengatur kedua sumber perikatan

ini. Dalam perikatan karena perjanjian, para pihak bersepakat untuk mengikat diri

melaksanakan kewajiban masing-masing, dan masing-masing memperoleh hak-

haknya. kewajiban para pihak tersebut dinamakan Prestasi. Pihak yang menerima

prestasi disebut kreditur, dan yang wajib menunaikan prestasi disebut debitur.

Dengan konsumen, dalam konsumen (consumer transaction), baik produsen

maupun konsumen, kedua-duanya dapat berdiri dalam posisi sebagai kreditur dan

debitur, bergantung dari sudut mana kita melihatnya.

Agar perjanjian itu memenuhi harapan kedua pihak, masing-masing perlu

memiliki itikad baik untuk memenuhi prestasinya secara bertanggung jawab

hukum disini berperan untuk memastikan bahwa kewajiban itu memang di

jalankan dengan tanggung jawab sesuai kesepakatan semula, jika terjadi

pelanggaran dari kesepakatan ini, atau yang lazim disebut wanprestasi maka pihak

yang dirugikan dapat menuntut pemenuhannya berdasarkan perjanjian tersebut

karena semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (I)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.


49

Tidak semua jenis perikatan yang dari perjanjian itu dapat dituntut

pemenuhannya. Hukum hanya mencakup perikatan-perikatan yang memenuhi

syarat, yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur dalam Pasal

1320, perikatan yang timbul dari perjudian misalnya, bukanlah perikatan yang

dapat dituntut pemenuhannya. Walaupun hutang karena kalah dalam perjudian itu

mempunyai nilai nominal uang tertentu, tetapi perikatan demikian tidak

memenuhi syarat kepentingan ekonomis, hanya kepentingan moral kesusilaan

semata. Itu pun dalam kepentingan moral kesusilaan yang berlaku diantara mereka

yang terlibat perjudian itu.

Perjanjian yang tidak dapat di tuntut pemenuhannya secara hukum seperti

contoh diatas berarti tidak mempunyai akibat hukum. batas-batas suatu perjanjian

itu berakibat hukum atau tidak ditentukan oleh hakim dengan berpedoman pada

peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Selain perjanjian, sumber perikatan lainnya adalah undang-undang

perikatan yang timbul karena undang-undang ini dibedakan dalam Pasal 1352

Kitab undang-undang Hukum perdata menjadi:

(1) Perikatan yang memang di tentukan oleh undang-undang.

(2) Perikatan yang timbul karena perbuatan orang.

Kriteria perikatan yang timbul karena perbuatan orang ini ada yang :

(1) Memenuhi ketentuan hukum, di sebut perbuatan taat hukum.

(2) Tidak memenuhi ketentuan hukum, di sebut perbuatan melawan hukum.

Kategori perikatan berupa perbuatan menurut hukum ini dalam Kitab

Undang-Undang.
50

Hukum Perdata ada dua yaitu:

(1) Wakil tanpa kuasa (zaakwaameming), diatur dalam Pasal 1354 s/d 1358.

(2) Pembayaran tanpa hutang, yang diatur dalam Pasal 1359 s/d 1364.

Dalam kaitan dengan hukum perlindungan konsumen, kategori kedua,

yaitu perbuatan melawan hukum, sangat penting untuk dicermati lebih lanjut

karena paling memungkinkan untuk digunakan oleh konsumen sebagai dasar

yuridis penuntutan terhadap pihak lawan sengketanya.

Perbuatan melawan hukum (onrechting daad) dicantumkan dalam Pasal

1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata kata “hukum “ (recht) pada istilah

“perbuatan melawan hukum” itu tidak dijelaskan dalam undang-undang, sehingga

memunculkan berbagai penafsiran ada penafsiran yang hanya melibatkan hukum

secara sempit yakni hanya terbatas pada undang-undang,23 namun adapula yang

menafsirkan secara luas, yaitu undang-undang ditambah dengan kesusilaan dan

kepatutan.

Penafsiran secara sempit menyangkut dua unsur pokok perbuatan melawan

hukum yaitu :

1. Unsur pelanggaran terhadap hak subjektif

2. Unsur perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku.

Pengertian hak subjektif seseorang yang bertentangan dengan kewajiban

hukum si pelaku ini sebenarnya merupakan perluasan dari pemahaman awal

tentang perbuatan melawan hukum. pengertian awal menyatakan bahwa perbuatan

melawan hukum adalah perbuatan (sekedar) melanggar hak-hak orang lain baru

23
Istilah Undang-Undang disini diartikan secara material, yakni mencakup semua
peraturan materinya mengikat secara umum
51

setelah 188324 unsur tersebut ditambah dengan kata-kata “perbuatan uang

bertentangan dengan kewajiban si pelaku”

Hak subjektif disini adalah hak subjektif yang diberikan oleh undang-

undang saja, tidak di luar itu. Jadi, sekalipun secara moral kepatuhan terjadi

pelanggaran hak subjektif, tetapi undang-undang (wet) tidak mengaturnya,

pelanggaran tidak termasuk perbuatan pelanggaran hukum. Dengan demikian,

onrechmatig sama dengan onwetmatig

Tentu saja tidak semua hak-hak subjektif yang muncul dalam kehidupan

manusia ini dapat segera di masukkan ke dalam undang-undang. Hukum, dalam

hal ini yang dimaksud adalah undang-undang, selalu berjalan tertinggal mengikuti

kenyataan. Proses penyusutan undang-undang ini tidak semudah yang di

bayangkan kebanyakan orang. Keterbatasan bahasa menyebabkan rumusan kata-

kata dalam undang-undang tidak mampu menampung, tetap saja apa yang

dirumuskan itu tidak dapat secara tepat mengantisipasi permasalahan-

permasalahan yang terjadi pada saat undang-undang itu diberlakukan dan masa-

masa sesudahnya. Dengan demikian, kiranya menyamakan orechmatig (melawan

hukum) dengan onwetmatig (melanggar undang-undang) menjadi isu

kontroversial.

Pandangan yang mengidentifikasikan kedua konsep tersebut dalam

prakteknya memunculkan banyak putusan pengadilan yang tidak adil. Dalam

kaitannya dengan topik tulisan ini yaitu mengenai perlindungan konsumen,

24
Shidarto, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT. Grasindo, Jakarta, 2000, hal.
85 mengutip Arrest H. R. tanggal 6 April 1883
52

kiranya dapat diketengahkan kasus Mesin Jahit Singer yang diputuskan tahun

1905 oleh Mahkamah Agung Belanda.25

Seorang pedagang menjual mesin jahit dengan nama “mesin jahit singer

yang disempurnakan”. Padahal mesin jahit tersebut bukan sama sekali produk dari

Singer yang terkenal itu. Dalam Man penawaran, kata “Singer” ditulisnya dengan

huruf yang besar-besar, sehingga konsumennya menjadi terkecoh, sementara

tulisan “yang telah disempurnakan” ditulisnya dengan huruf kecil-kecil.

Konsumen menggugat pedagang tadi dengan dalih melakukan perbuatan melawan

hukum.26 Hukum menolak gugatan tersebut dengan menafsirkan Pasal 1365 Kitab

undang-undang Hukum Perdata secara sempit.

Menurut Hakim perbuatan pedagang itu bukan merupakan melawan

hukum karena merupakan perbuatan yang lazim di dunia usaha, sekalipun

diakuinya hal itu bertentangan dengan tata karma kemasyarakatan.

Penafsiran yang sempit juga muncul dalam putusan Mahkamah Agung

Belanda pada tahun yang sama (1905), yang terkenal dengan nama putusan

Prospektus (prospectus aresst)27 Contoh kasus ini dikemukakan karena juga

berkaitan dengan masalah perlindungan konsumen.

Kasus bermula dari munculnya prospectus yang menggambarkan kinerja

suatu perseroan terbatas. Data prospectus ini mengutip pendapat dari seorang ahli

keuangan. Setelah membacanya ada seorang yang memutuskan membeli saham

perseroan tersebut, namun kemudian dia merasa tertipu. Data yang tercantum

dalam prospectus tersebut berbeda dengan kenyataan yang ada di perseroan itu.
25
Ibid, hal. 86
26
Ketika perkara ini terjadi, Undang-Undang Merek belum ada di Negeri Belanda
27
Ibid, hal. 86
53

pembeli ini lalu menggugat pemberi advis financial tadi ke pengadilan dengan

dasar Pasal 1365 KUH perdata. Hakim memutuskan perbuatan ahli keuangan itu

tidak termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum, walaupun ada kewajiban

moral dari isi pemberi advis financial itu untuk mengungkapkan fakta sejujurnya.

Dalam kasus ini menurut hakim pembeli lah yang harus waspada.

Dad berbagai putusan pengadilan yang terkenal sebagai contoh penafsiran

sempit satu putusan yang paling sering di kutip yang lazim disebut “kranleding

zut phen” (zut phence warer laiding).28 Kasus ini secara tidak langsung

menyangkut hubungan produsen dengan konsumen, tetapi antara perusahaan

asuransi dan seorang pemilik bangunan. Kasus bermula dari kejadian yang di

alami seorang yang berinisial NH. ia menyewa sebuah gudang yang terletak di

lantai sebuah gedung untuk menyimpan kulit-kulit yang diperdagangkannya suatu

ketika pipa leding gudang bocor cukup besar, dan jika dibiarkan terlalu lama akan

merusak kulit-kulit simpanannya untuk itu tidak ada jalan lain kecuali NH harus

menutup kran induk yang mengalirkan air ke gudang tersebut, sayangnya kran

tersebut terletak di dalam ruangan lain yang disewa oleh nona DV. berkali-kali

NH minta izin kepada nona DV untuk masuk ke ruangan kran induk ruangan

tersebut tetapi tidak dihiraukan nona DV. sehingga airpun membanjiri gudang dan

merusak barang simpanan NH. beruntung barang-barang tersebut diasuransikan

oleh NH, sehingga ia terbebas dari kerugian materi kendati demikian, Ismail

melalui asas subrogasi dalam hukum asuransi, giliran perusahaan asuransi yang

menggugat nona DV ke pengadilan dengan dalih nona DV itu melakukan

perbuatan melawan hukum. Setelah melalui proses yang cukup lama akhirnya
28
Ibid, hal. 87
54

hakim memutuskan menolak gugatan tersebut hakim tidak menampik alasan

bahwa penolakan nona DV membuka ruangannya itu bertentangan dengan

kesusilaan dan kewajiban social dalam hidup sehari-hari, namun ukuran tersebut

tidak tepat diterapkan sebagai onrechmatigedaad kerusakan pipa ledeng tersebut

sama sekali bukan karena kesalahan nona DV Penolakannya untuk tidak

membuka pintu juga tidak merupakan pelanggaran terhadap kewajiban hukum

yang diperintahkan undang-undang Hakim mengatakan, kewajiban hukum

memberikan pertolongan (untuk mencegah kerugian orang lain) hanya dikenal

dalam Pasal 531 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan perbuatan nona DV

tidak termasuk didalamnya.

Tahun 1919 terjadi landmark decision yang secara total mengubah

penafsiran sempit diatas menjadi penafsiran yang luas terhadap pengertian

melawan hukum. Putusan tersebut dikenal dengan kasus lindenbaum-cohen.

Ada dua perusahaan, yaitu lindenbaum dan cohen yang sama-sama

bergerak dalam bisnis percetakan. Dua perusahaan ini saling bersaing suatu ketika

pemilik lindenbaum menyuap salah satu pihak cohen Dari pegawai tersebut

lindenbaum berhasil mengetahui siapa-siapa saja langganan cohen dan berapa

harga yang di tawarkan kepada para pelanggan tadi informasi ini sangat berguna

bagi lendenbaum untuk merebut pelanggan-pelanggan cohen agar beralih

kepercetakannya. Upaya ini ternyata berhasil, pihak cohen menderita kerugian

besar. Setelah mengetahui ada kebocoran rahasia perusahaan, cohen lalu

menggugat lindenbaum dengan dalih perbuatan melawan hukum.


55

Dalam bantahannya, lindenbaum mengatakan dalam hukum (undang-

undang) hanya melarang orang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak

pidana. Apa yang dilakukan oleh lindenbaum tidak melanggar ketentuan hukum

perdata. Seandainya cohen dirugikan, seharusnya yang digugat bukan pihak

lindenbaum tetapi karyawannya itu sendiri.

Pengadilan Negeri Amsterdam melalui putusannya tanggal 24 Januari

1916 menolak bantahan cohen. Menurut hakim sekalipun tergugat tidak

melanggar ketentuan hukum pidana, ada kewajiban-kewajiban si karyawan untuk

menjaga rahasia yang dilanggar. Disamping itu, Cohen sebagai pesaing bisnis dari

pihak penggugat juga melakukan perbuatan melawan hukum yang jelas-jelas

merugikan pihak menggugat, karena menjebak karyawan menggugat dengan

menawarkan berbagai macam hadiah. Atas pertimbangan itu tergugat lalu

dikalahkan, pihak Cohen mengajukan naik banding ke Pengadilan Tinggi ternyata

pihak Cohen berhasil dan putusan pengadilan berdasarkan pertimbangan yang

sejalan dengan argumentasi pihak Cohen diatas pihak lindenbaum lalu

meneruskan kasus ini tingkat kasasi melalui putusan Mahkamah Agung, Belanda

tanggal 31 Januari 1919. putusan pengadilan tinggi dibatalkan kembali, dan

Mahkamah Agung sepakat dengan kesimpulan hakim pengadilan Negeri

Amsterdam.

Putusan Mahkamah Agung inilah yang menandai lahirnya yurispundensi

dalam lapangan hukum perdata yang akhirnya diterima dalam menafsirkan Pasal

1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahkan A. Pitlo, seorang sarjana

hukum terkemuka Belanda berpendapat putusan kasasi lindenbaum-Cohen adalah


56

putusan paling besar yang pernah terjadi dalam lapangan hukum perdata 29 sejak

itu perbuatan melawan hukum tidak lagi sekedar melanggar ketentuan undang-

undang tetapi juga kepantasan dalam pergaulan hidup dan kesusilaan.

Dengan demikian, dengan melakukan penafsiran secara luas tersebut,

keterbatasan peraturan perundang-undangan dalam hukum perdata tidak lagi dapat

dijadikan alasan untuk “membelenggu” hak-hak konsumen. Sepanjang unsur-

unsur Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terpenuhi, kesempatan

konsumen untuk menuntut hak-haknya senantiasa terbuka.

Masalah lain yang timbul dalam lapangan hukum perdata berkenaan

dengan perlindungan konsumen justru dalam rangka membagi beban

pembuktiannya. Asas pembuktian yang dianut Pasal 1865 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata masih menjadi kendala besar karena memasyarakatkan kepada

penggugat (dalam hal ini konsumen) untuk mengajukan bukti-bukti yang

mendukung gugatannya itu.

Dalam kondisi keterbatasan dari segi ekonomis, social, psikologi dan

politis, konsumen biasanya tidak memiliki kekuatan untuk tawar menawar yang

berimbang dengan para pelaku usaha. Penerapan azas pembalikan benang

pembuktian seperti dianut dalam Pasal maju, sekalipun masih perlu diuji mana

dijalankan dan praktis.

2. Aspek Hukum Publik


29
Ibid, hal. 89
57

Aspek hukum publik berperan dan dapat dimanfaatkan oleh negara,

pemerintah, instansi yang mempunyai peran dan kemenangan untuk melindungi

konsumen. Kemenangan dan peran tersebut dapat diwujudkan mulai dari :

Politik Will/ kemauan politik untuk melindungi kepentingan konsumen domestik

di dalam persaingan global dan atas persaingan tidak sehat. Birokrasi dengan

sadar dan senang hati menciptakan kondisi dengan berbasis jujur dalam

mewujudkan persaingan sehat.

Peraturan perizinan, diharapkan diikuti dengan pengawasan, pembinaan

dan pemberian sanksi yang pasti dan tegas apabila terjadi pelanggaran mengenai

syarat dan operasional dari perusahaan produsen.

Dari aspek hukum publik, termasuk didalamnya hukum administrasi

negara. Mempunyai sumbangan yang terbesar dalam rangka menghadapi

kepentingan konsumen. Sumbangan yang terbesar dalam rangka melindungi

kepentingan konsumen. Sumbangan yang terbesar dari hukum ini adalah

kemampuan kewenangan untuk mengawasi, membina dan mencabut izin apabila

terbukti :

- Melanggar ketentuan Undang-undang.

- Merugikan kepentingan umum konsumen.

E. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Sengketa konsumen adalah suatu sengketa yang salah satu pihaknya

haruslah konsumen. UUPK mengatur hal ini dalam Pasal 45 Bab X. Sengketa
58

konsumen dapat diselesaikan melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan

berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak.

Pasal 48 UUPK menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur

pengadilan mengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam pengadilan umum

dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 UUPK. Selain itu menurut ayat (1)

penyelesaian sengketa dapat pula dilakukan diluar pengadilan. Penyelesaian diluar

jalur pengadilan inilah yang dapat dilakukan dengan memanfaatkan Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana bunyi Pasal 49 sampai dengan

Pasal 58 UUPK.

Namun menurut penjelasan Pasal 45 ayat (2) penyelesaian sengketa di luar

pengadilan dapat pula diselesaikan secara damai oleh mereka yang bersengketa.

Yang dimaksud dengan cara damai adalah penyelesaian yang dilakukan kedua

belah pihak tanpa melalui pengadilan.30

Sebagai upaya untuk mempermudah konsumen dalam memperoleh hak-

haknya apabila haknya dilanggar ataupun dirugikan oleh pelaku usaha, maka

pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan berupa :

1. Keputusan Presiden RI Nomor 90 Tahun 2001 Tentang Pembentukan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

2. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI Nomor : 301/ MPP/

KEP/ 10/ 2001 Tentang Pengangkatan Pemberhentian Anggota Sekretariat

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

30
Sentosa Sembiring, Op. cit, hal. 48
59

3. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor :350/

MPP.Kep/ 12/ 2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen.

Untuk melaksanakan Pasal 49 ayat (1) UUPK, Pemerintah menerbitkan

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tentang

pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Pemerintah Kota

Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota Bandung,

Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota Malang, dan Kota

Makasar.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan yang

dibentuk khusus untuk menemani dan menyelesaikan sengketa konsumen antara

pelaku usaha dan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran

dan atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang/ atau

memanfaatkan jasa (Pasal 1 Nomor 8 Kepmen. Deperindag No. 350/ MPP/ Kep/

12/ 2001) melihat pada Kepmen di atas, maka BPSK didirikan untuk menangani

dan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara konsilitas, meditasi, dan

arbitrase.

Konsiliasi menurut Pasal 1 Nomor 9 dari peraturan tersebut, dinyatakan

konsiliasi adalah : proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan

dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan pihak yang bersengketa, dan

penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak. Nomor 10 Pasal tersebut

menyatakan bahwa mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar


60

pengadilan dengan perantara BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya

diserahkan kepada para pihak.

Sedangkan Arbitrase pada Pasal 1 Nomor II disebutkan bahwa arbitrase

adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal

ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian kepada

BPSK.

Apa yang dikemukakan di atas, kita dapat melihat bahwa peran dari BPSK

dalam ketiganya adalah berbeda. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 5 Peraturan

yang sama, yaitu penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi

dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh

Majelis yang bertindak pasif sebagai Konsiliator (ayat 1). Penyelesaian sengketa

konsumen dengan cara Mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang

bersengketa dengan didampingi oleh Majelis yang bertindak aktif sebagai

Mediator (ayat 2). Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase

dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh Majelis yang bertindak sebagai

Arbiter (ayat 3).

Sengketa yang diselesaikan dengan cara-cara tersebut di atas, wajib

diselesaikan selambat-lambatnya dalam Waktu 21 hari (dua puluh satu) hari kerja,

terhitung sejak permohonan diterima di sekretariat BPSK (Pasal 7 ayat 1) Namun

demikian, sekalipun Putusan BPSK ini bersifat finan dan mengikat (Pasal 53 ayat

3), akan tetapi keberatan atas keputusan masih dapat diajukan kepada pengadilan

Negeri (PN) dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan BFSK

disampaikan, Selanjutnya PN wajib memutusnya dalam jangka 21 (dua puluh


61

satu) hari (Pasal 58 ayat I) Terhadap putusan PN dapat diajukan kasasi ke

Mahkamah Agung (MA) dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak

Putusan PN diterimakan

Selanjutnya Mahkamah Agung wajib memutuskan perkara dalam jangka

waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diajukan (Pasal 58 ayat 1)

Sebagaimana dikemukakan di atas, BPSK. dibentuk untuk tujuan memudahkan

konsumen dalam menuntut hak-haknya apabila dirugikan. Oleh karena itu dalam

Bab VI Pasal 23 UUPK tentang tanggung Jawab Pelaku Usaha ditegaskan bahwa

pelaku usaha dapat digugat melalui BPSK atau badan peradilan di tempat

kedudukan konsumen, apabila ia menolak atau tidak menanggapi tuntutan ganti

rugi yang diajukan kepadanya.

Hal ini dapat dianggap memudahkan konsumen karena menurut tuntutan

suatu penelitian yang dilakukan oleh Badan Pembina Hukum Nasional

Departemen Kehakiman RI (1979), Yayasan Lembaga Konsumsi Indonesia

(1980), dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1992), secara umum

konsumen adalah pihak yang segan untuk berperan, apalagi apabila biaya yang

harus dikeluarkan lebih besar dari kemungkinan hasil yang akan diperoleh.31

Keuntungan lain dan konsumen dalam penyelesaian sengketa melalui jalur

ini adalah sebagaimana disebutkan Pasal 22 Kep. Menperidag No. 350, yaitu

bahwa pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen merupakan

beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini sering Juga dikatakan sebagai

pembuktian terbaik. Dikatakan sebagai pembuktian terbalik karena dalam kasus

biasa (perdata), pembukuan dibebankan kepada pihak yang mengadilkan.


31
AZ. Nasution, Op. cit, hal. 221
62

Dilihat dari namanya, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tidak hanya

melindungi konsumen. Walau pun tidak secara tegas, dinyatakan, UUPK juga

dimaksudkan untuk melindungi pelaku usaha yang beritikad baik. Dalam hal ini

tentu saja Pelaku Usaha yang jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan

kegiatan usahanya. Perlindungan hukum yang lebih memadai bagi konsumen

dilakukan oleh pemerintah dengan dibentuknya BPSK di 10 (sepuluh) daerah

tingkat II sebagaimana dikemukakan di atas, meskipun dalam kenyataannya tidak

mudah untuk melengkapinya.

Hal ini ternyata bahwa dari sepuluh BPSK yang direncanakan untuk

dibentuk, yang baru dapat diwujudkan adalah 8 (delapan) BPSK saja, yaitu :

Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan Ujung Pandang

(Makasar) Padahal tentu saja masyarakat menginginkan bahwa nantinya BPSK

akan benar-benar ada di setiap Daerah Tingkat II.

Dari BPSK. yang telah terbentuk itupun nampaknya belum banyak

dimanfaatkan oleh konsumen sehingga sampai saat ini belum banyak putusan

yang dihasilkan oleh BPSK-BPSK tersebut, walaupun dalam kenyataan sehari-

hari apabila kita membaca surat pembaca di surat kabar, banyak sekali keluhan

yang berisikan kerugian yang diderita yang disampaikan oleh mereka yang

sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai sengketa konsumen apabila keluhan

tersebut dituangkan ke dalam suatu gugatan dalam sengketa konsumen.

Apabila kita mencermati peraturan yang mengatur gugatan dalam sengketa

konsumen, maka sepintas lalu memang kita melihat bahwa sengketa yang di
63

bawah ke BPSK akan lebih cepat selesai dibandingkan apabila sengketa tersebut

dibawa ke pengadilan Negeri sebagai perkara perdata biasa.

Hal ini dikarenakan kasus tersebut harus penempuhan jalur Pengadilan

Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan pada sengketa dibawa ke BPSK,

walaupun setelah putusan dikeluarkan putusan tersebut telah bersifat final dan

mengikat, namun masih juga dapat diajukan ke Pengadilan Negeri, dan

selanjutnya ke Mahkamah Agung. Hal ini masih menyisihkan tanda-tanda akan

kata-kata final dan mengikat tersebut apabila dalam kenyataannya masih dapat

diajukan upaya- upaya selanjutnya.32

Kendala lain dari Kepmen. Deperindag No 350 tersebut di atas, adalah

apabila secara cermat kita membaca Pasal 15 ayat (2) yaitu : Permohonan

penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) (secara

tertulis maupun lisan) dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya. Ayat (3)

dan pasal tersebut menyatakan : permohonan penyelesaian sengketa konsumen

yang diajukan oleh ahli waris atau kuasanya sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2) dilakukan apabila konsumen :

1. Meninggal dunia

2. Sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan

sendiri baik secara tertulis ataupun lisan, sebagaimana dibuktikan dengan

surat keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP).

3. Belum dewasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

4. Orang asing (Warga Negara Asing).


32
Ibid, hal. 225
64

Dengan demikian, apabila kita membaca dengan cermat apa yang

termasuk dalam Pasal tersebut di atas, terutama dalam ayat (3), maka Pasal ini

membatasi hak konsumen untuk dibantu apabila konsumen hendak berada dalam

keadaan sebagaimana disyaratkan ayat (3) Pasal 15 tersebut. Sedangkan kita

mengetahui bahwa konsumen kita masih dalam taraf yang belum dapat diandalkan

untuk mengajukan sendiri masalah hukum yang dihadapinya tanpa bantuan orang

lain.

Sehubungan dengan hal tersebut, ada baiknya pula apabila kita melihat

kepada Pasal 44 UUPK, terutama pada ayat (2) yang menyebutkan bahwa

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan

untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen. Lebih jauh dari

Pasal tersebut juga dapat dilihat pada ayat (3) huruf d, yang menyatakan bahwa

tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan

membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima

keluhan atau pengaduan konsumen.

Dengan demikian apabila Pasal 15 ayat (3) benar-benar dijalankan, maka

maksud UUPK. yang bertujuan untuk antara lain memberdayakan konsumen tidak

akan dapat tercapai secara maksimal. Sebagai contoh. pernah terjadi suatu kasus

yang ditangani oleh BPSK di Bandung, dimana kasusnya ditolak oleh karena

konsumen yang memberi kuasa kepada orang lain tidak dapat memenuhi kriteria

sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 15 ayat (3) Kep. Men Deperindag No. 350

tersebut.
65

Oleh karena itu menjadi tugas kita bersama sebagai warga masyarakat

yang telah mengetahui keberadaan UUPK untuk turut membantu pemerintah

dalam mensosialisasikan keberadaan Undang-Undang tersebut sehingga

konsumen Indonesia dapat menjadi konsumen yang berdaya, kritis, dan dapat

memperjuangkan hak-haknya sebagaimana tujuan dari UUPK tersebut.

Anda mungkin juga menyukai