Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN,

UNDANG-UNDANG PANGAN, UNDANG UNDANG KESEHATAN,

GAMBARAN UMUM FORMALIN, BORAKS, DAN BPOM

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum Perlindungan Konsumen

1. Pengertian Perlindungan Konsumen

Perlindungan konsumen merupakan istilah yang digunakan untuk

menggambarkan perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen

dalam usahanya untuk memenuhi berbagai kebutuhannya dari hal-hal yang

dapat memicu kerugian oleh konsumen itu sendiri. Istilah ini dalam bidang

hukum masih relatif baru khususnya di Indonesia, sedangkan di negara maju,

hal ini mulai dibicarakan secara berbarengan dengan berkembangnya industri

dan teknologi.13

Menurut Business English Distionary, perlindungan konsumen adalah

protecting consumer against unfair or illegal traders. Perlindungan konsumen

adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan hukum yang

13
Janus Sidabolak, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2010), hlm. 9

12
diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya

dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri.14

Secara yuridis pengertian dari perlindungan konsumen telah tertuang

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen pada Pasal 1 butir 1 yang menyebutkan bahwa:“Perlindungan

konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk

memberikan perlindungan kepada konsumen.” Perlindungan konsumen ini

adalah suatu jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas

setiap produk barang berupa bahan makanan dan produk berupa jasa yang

dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Para produsen atau pelaku usaha saat

ini masih ada yang tidak mementingkan kesehatan dan keselamatan

konsumennya karena sering kita jumpai pelanggaran- pelanggaran yang

dilakukan oleh pihak produsen atau pelaku usaha.15

2. Tujuan Perlindungan Konsumen

Tujuan perlindungan konsumen yang dimuat dalam Pasal 3 Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menetapkan

enam tujuan perlindungan konsumen, yakni:16

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri;

14
Rosmawati, Pokok-pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (Depok: Prenada Media Group,
2018), hlm. 6
15
Ibid. hlm. 1-2
16
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Op. Cit., Pasal 3

13
2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,

dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur

kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyaman,

kemanan dan keselamatan konsumen.

Tujuan perlindungan konsumen sesungguhnya memiliki misi yang

mulia dan besar, maka dari itu tujuan perlindungan konsumen haruslah

mendapatkan dukungan dari para pihak yang bersangkutan dalam hal upaya

penyelenggaraan perlindungan konsumen, agar dapat terwujudnya suatu

kehidupan yang sejahtera dan layak bagi bangsa dan negara.17

3. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Sesungguhnya fungsi hukum dalam perihal konteks ekonomi yakni

menciptakan ekonomi dan pasar yang kompetitif. Berkaitan dengan hal ini,

17
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm.
27

14
senyatanya tidak ada pelaku usaha atau produsen tunggal yang mampu

mendominasi pasar, selama konsumen memiliki hak untuk produk barang

dan/atau jasa mana yang menawarkan kualitas dan harga yang bernilai terbaik.

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, kemafaatan, dan

kepastian hukum.18 Hukum pada hakikatnya yaitu sesuatu yang abstrak, tapi

dalam manifestinya bisa berwujud konkret.19 Az Nasution mendefinisikan

hukum konsumen yaitu keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang

mengatur hubungan dan permasalahan antara berbagai pihak satu dengan yang

lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen, di dalam kehidupan. 20

Hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-

kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalan hubungan dan

permasalahan penyediaan dan pemakaian produk barang dan/atau jasa antara

penyedia dan pemakaiaannya terhadap konsumen dalam kehidupan

bermasyarakat. Jelasnya hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan

peraturan perundang-undangan serta putusan-putusan hakim yang

substansinya mengatur tentang kepentingan konsumen.21

4. Pihak-pihak yang Berkaitan dengan Hukum Perlindungan Konsumen

18
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Gunung Agung, 2000), hlm. 85
19
Lili Rasidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), hlm. 79.
20
Maman Suherman, Aspek Hukum Dalam Ekonomi Global, (Ghalia Indonesia, 2002), hlm.
70
21
Rosmawati, Op.Cit, hlm. 6

15
Dalam hukum perlindungan konsumen terdapat pihak-pihak yang

berkaitan langsung dengan hukum perlindungan konsumen yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

a. Konsumen

Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer.

Secara harfiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap

orang yang sedang menggunakan barang.22 Begitu juga dalam Kamus

Bahasa Inggris-Indonesia yang memberi arti kata consumer sebagai

pemakai atau konsumen.23 Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia

mendefinisikan konsumen sebagai lawan produsen, yaitu pemakai

barang-barang hasil industri, bahan makanan, dan sebagainya.24

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan

beberapa istilah yang berkaitan dengan konsumen, yakni: pembeli,

penyewa, penerima hibah, peminjam, dan sebagainya. Selain itu adapun

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ditemukan istilah

tertanggung dan penumpang.

Mengenai definisi konsumen, hal tersebut juga telah diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 1 butir 2 yang menyebutkan, bahwa konsumen adalah setiap orang

22
Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 15.
23
Jhon M Echols dan Hasan Sadily, Kamus Bahasa Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
1995), hlm. 124.
24
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976),
hlm. 521.

16
yang memakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik

bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup

lainnya dan tidak untuk diperdagangkan.25

Konsumen dapat diartikan sebagai dua jenis, yaitu konsumen

individu, dan konsumen organisasi. Konsumen individu membeli dan

menggunakan barang dan/atau untuk kepentingan diri sendiri secara

pribadi, sedangkan konsumen organisasi membeli dan menggunakan

barang dan/atau jasa untuk kepentingan perusahaan atau bersama.

Dapat dikatakan bahwa semua orang adalah seorang konsumen

karena membutuhkan barang dan/atau jasa untuk mempertahankan

hidupnya sendiri, keluarga, ataupun untuk memelihara atau menjada harta

bendanya. Konsumen merupakan pihak yang memiliki peran penting

dalam transaksi jual-beli barang dan/jasa. Konsumen memiliki hubungan

kontraktual pribadi dengan produsen atau penjual. Konsumen bukan

hanya sebagai pembeli saja, tetapi yang mengkonsumsi barang dan/jasa

tersebut.26

b. Pelaku Usaha

25
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Op. Cit, Pasal 1 butir 2.
26
Diakses melalui web : https://perpuskampus.com/pengertian-hak-kewajiban-dan-
batasankonsumen/ , diakses pada tanggal 10 November 2021.

17
Dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen mendefinisikan, bahwa pelaku usaha

adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah bukan Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.27

Pelaku usaha bukan hanya diartikan sebagai pembuat atau pabrik

yang menghasilkan produk saja, akan tetapi mereka yang terkait dengan

penyampaian atau peredaran produk hingga sampai kepada konsumen.

Maka dengan demikian, jelas bahwa perlindungan konsumen sangat luas,

bukan hanya pelaku usaha melainkan hingga kepada pihak terakhir yang

menjadi perantara antara pelaku usaha dan konsumen, seperti agen,

distributor dan pengecer atau konsumen perantara.28

c. Pemerintah

Pemerintah perihal upaya perlindungan konsumen memiliki

peran yang penting selaku sebagai penengah di antara kepentingan

pelaku usaha dan kepentingan konsumen, agar masing-masing pihak

dapat berjalan seiring tanpa saling mengakibatkan kerugian satu lain.

Dalam pengawasan dan pembinaan penyelenggaraan perlindungan

27
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Op. Cit, Pasal 1 butir 3.
28
Abdul Atsar dan Rani Apriani, Op. Cit, hlm. 51

18
konsumen, pemerintah harus bertanggung jawab untuk menjamin

diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dijalankannya

kewajiban konsumen dan pelaku usaha sebagaimana yang sudah diatur

dalam Pasal 29 dan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen.

Peranan pemerintah dalam upaya pengawasan merupakan fungsi

yang sangat penting untuk melindungi masyarakat dari bahaya makanan

berformalin. Dikhawatirkan apabila tidak ada pengawasan yang baik,

konsumen tidak akan terlindungi dari bahan berbahaya tersebut. Maka,

jaminan yang dapat menekan pelaku usaha untuk dapat mengedarkan

makanan berformalin yaitu dengan mengeluarkan peraturan terkait

perlindungan konsumen. Pada akhirnya pemerintah sebagai penengah

dalam upaya mencari pemecahan masalah apabila telah terjadi sengketa

antara pelaku usahan dengan konsumen yang disebabkan pelanggaran

terhadap berbagai peraturan yang telah ditetapkan, justru mengakibatkan

kerugian terhadap konsumen.

Apabila ditinjau dari segi hak dan tanggung jawab dimana

masyarakat sebagai konsumen harus dilindungi oleh pemerintah, hal ini

sejalan dengan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 Undang-

19
Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

yang menyebutkan sebagai berikut:29

a) Pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan penyelenggaraan

perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen

dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan

pelaku usaha;

b) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan

konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh

Menteri dan/atau Menteri teknis terkait;

c) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordnasi

atas penyelanggaraan perlindungan konsumen;

d) Pembinaan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) meliputi upaya untuk;

a. Terciptanya iklim usaha dan timbulnya hubungan yang sehta

antara pelaku usaha dan konsumen,

b. Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyrakat,

c. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia serta meningkatnya

kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan

29
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Op. Cit, Pasal 29
konsumen.

e) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan penyelenggaraan

perlindungan konsumen diatur dengan peraturan pemerintah

5. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha

Secara umum hak bisa diartikan sebagai klaim atau kepemilikan

individu atau sesuatu, seorang individu dapat dikatakan memiliki hak apabila

dia memiliki klaim untuk melakukan tindakan dalam suatu cara tertentu atau

jika orang lain memiliki kewajiban melakukan tindakan dalam suatu cara

tertentu kepadanya. Hak dapat berasal dari sebuah sistem hukum yang

memungkinkan atau mengizinkan seseorang untuk bertindak dalam suatu

cara tertentu terhadapnya, ini yang disebut dengan hak hukum.

Kewajiban-kewajiban konsumen dan pelaku usaha dijelaskan untuk

memberi arahan mengenai apa yang seharusnya dilaksanakan untuk

mengimbangi hak konsumen maupun pelaku usaha untuk mendapatkan

upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

a. Hak dan Kewajiban Konsumen

Hak konsumen menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah sebagai berikut:30

1) Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jas;

2) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai


30
Ibid, Pasal 4.

16
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3) Hak atas informasi yang benar yang benar, jelas dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/jasa

yang digunakan

5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;

7) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

8) Hak untuk mendapat kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian,

apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

lainnya.

Berdasarkan hak-hak konsumen yang telah diberikan diatas,

perihal kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan

suatu hal yang paling diutamakan. Maka dari itu, untuk menjamin

bahwa suatu barang dan/atau jasa yang diedarkan memberikan

keamanan, kenyamanan serta tidak membahayakan, konsumen

diberikan hak untuk memilih barang dan/atau jasa yang dikehendakinya

dan jika terdapat penyimpangan yang merugikan konsumen berhak

17
mendapatkan advokasi, pembinaan, perlakuan yang adil dan

kompensasi

sampai ganti rugi.31

Pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen menjelaskan kewajiban konsumen, yaitu:

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi

keamanan dan keselamatan;

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang

dan/atau jasa;

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha

Hak-hak pelaku usaha diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:32

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan

mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

b. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan

31
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 30
32
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Op. Cit, Pasal 6

18
konsumen yang tidak beritikad baik;

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam

penyelesaian hukum sengketa konsumen;

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara

hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang

dan/atau jasa yang diperdagangkan;

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan

lainnya.

Bukan hanya konsumen, pelaku usaha pun juga memiliki

kewajiban yang harus diperhatikan dalam memperdagangkan barang

dan/atau jasa. Mengenai kewajiban pelaku usaha, sudah tertuang dalam

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, yaitu:33

a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi

dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan

penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur

serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang di produksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang


33
Ibid, Pasal 7.

19
dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau

mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan

dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau diperdagangkan;

f. Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila

barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen

tidak sesuai dengan perjanjian

6. Perbuatan yang Dilarang bagi Pelaku Usaha

Terdapat aturan mengenai perbuatan hukum yang dilarang bagi

pelaku

usaha berupa larangan yang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, meliputi:34

1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang

dan/atau jasa yang:

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang

dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau neto dan jumlah

dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau

etiket barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam

hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;


34
Ibid, Pasal 8.

20
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau

kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau

keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses

pengolahan, gaya mode atau penggunaan tertentu sebagaimana

dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa

tersebut;

f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket,

keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa

tersebut;

g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tersebut;

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduk secara halal, sebagaimana

pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang rang

memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau neto, komposisi,

aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan

alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang

menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan

barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku

21
2) Pelaku usaha dilarang menperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan

benar atas barang dimaksud;

3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan

yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa

memberikan informasi secara lengkap dan benar;

4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2)

dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib

menariknya dari peredaran

7. Tanggung Jawa Pelaku Usaha

Definisi tanggung jawab secara umum menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) bahwa tanggung jawab merupakan segala sesuatu yang

mewajibkan seseorang untuk menanggung, memikul jawab dan menanggung

segala akibatnya.35 Menyangkut dengan pelaku usaha dalam menjalankan

setiap kegiatan usahanya, maka setiap pelaku usaha harus berani

bertanggung jawab jika terjadi kecacatan terhadap suatu produk barang

dan/atau jasa yang menimbulkan kerugian pada konsumen.

Tanggung jawab pelaku usaha yang harus dijalani saat konsumen

menuntut kerugian berupa ganti rugi juga sudah tercantum berdasarkan Pasal

19 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentaang Perlindungan

35
KBBI Daring, diakses pada web: https://kbbi.web.id/sengketa, diakses pada tanggal 5
Januari 2022

22
Konsumen, yaitu:36

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,

pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang

dan/atau jasa yang diperdagangkan;

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis

atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian

santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan-perundangan yang

berlaku;

3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu (tujuh) hari

setelah tanggal transaksi;

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan;

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan

tersebut merupakan kesalahan konsumen.

8. Penyelesaian Sengketa Konsumen

Sengketa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti

pertentangan atau konflik.37 Konflik artinya terdapat oposisi atau

36
Ibid, Pasal 19.
37
KBBI Daring, Op.Cit.

23
pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau

organisasiorganisasi terhadap satu objek permasalahan.

a. Penyelesaian Sengketa pada Peradilan Umum

Penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan sudah

dijelaskan pada Pasal 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen, bahwa penyelesaian sengketa

konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang

peradilan umum yang berlaku dengan memperlihatkan ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen.

Dengan mengacu pada Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2)

UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,

bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh,

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam

anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan

sesuaidengan anggaran dasarnya. Gugatan yang diajukan oleh

sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya

masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

24
huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.38

b. Penyelesaian Sengketa pada Luar Pengadilan

Penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan dapat

dibagi menjadi dua yaitu: a) Penyelesaian sengketa secara damai, oleh

para pihak itu sendiri konsumen dan pelaku usaha atau produsen; b)

Penyelesaian sengketa melalui Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen dengan mempergunakan mekanisme konsiliasi, mediasi

atauar bitrase.39

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), merupakan

lembaga yang berwenang untuk menangani sengketa konsumen.

Adapun tugas dan wewenang lembaga tersebut berdasarkan Pasal 52

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, yakni:40

a) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen

dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b) Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c) Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;

d) Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

ketentuan dalam Undang-undang ini;

e) Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari

38
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Op. Cit, Pasal 46
39
Abdul Atsar dan Rani Apriani, Op. Cit., hlm. 88.
40
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Op. Cit, Pasal 52.

25
konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan

konsumen;

f) Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan

konsumen;

g) Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

h) Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap

orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap

Undangundang itu;

i) Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,

saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada

huruf g dan huruf h yang tidak bersedia memenuhi panggilan

badan penyelesaian sengketa konsumen;

j) Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat

bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k) Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di

pihak konsumen;

l) Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m) Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana

26
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen adalah merupakan lembaga yang dibentuk

oleh pemerintah yang diberi tugas dan wewenang seperti yang sudah

dijabarkan di atas. Dalam melakukan penyelesaikan sengketa diluar

pengadilan dapat dilakukan cara-cara sebagai berikut:41

a. Mediasi

Mediasi ialah proses penyelesaian sengketa dengan

perantara pihak ketiga yang disebut mediator, yaitu pihak yang

memberikan masukan-masukan kepada para pihak untuk

menyelesaikan sengketa mereka

b. Konsoliasi

Kata konsoliasi atau conciliation dalam bahasa Inggris dan

bahasa Indonesia memiliki arti perdamaian. Konsoliasi merupakan

suatu proses penyelesaian sengketa anatara para pihak yang

bersengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, dimana

pihak ketiga bersifat pasif atau konsuliator hanya melakukan

tindakan-tindakan seperti mengatur waktu dan tempat pertemuan

para pihak, mengarahkan subjek pembicaraan, membawa pesan

dari satu pihak ke pihak lain, dan memberikan pertimbangan

terhadap putusan kedua belah pihak yang bersengketa.42

41
Abdul Atsar dan Rani Apriani, Op. Cit., hlm. 90-91.
42
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Seri Hukum Bisnis:Hukum Arbitrase, (Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2000), hlm. 106.

27
Pada prinsipnya dalam Black Law Dictionary memberikan

pengertian bahwa konsultasi tidak berbeda jauh dengan

perdamaian sebagaimana diatur dalam Pasal 1851 sampai dengan

Pasal 1864 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata).

BPSK atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dalam

perihal ini bertugas sebagai konsoliator bertindak pasif dan

menyerahkan seluruhnya proses penyelesaian kepada para pihak

yang bersengketa, baik bentuk maupun jumlah ganti kerugiannya.

Konsoliator memanggil konsumen dan pelaku usaha yang

bersengketa, dan memanggil saksi-saksi serta saksi ahli, dan jika

diperlukan membuat forum konsiliasi bagi kedua belah pihak

untuk menjawa pertanyaan kedua belah pihak

c. Arbitrase

Menurut R. Subekti, arbitrase ialah penyelesaian suatu

perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit

(arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang

berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.43

Arbitrase merupakan lembaga penyelesaian sengketa bisnis

sebenarnya sudah lama ada dalam praktek perdagangan maupun

penanaman modal di Indonesia. Oleh karena itu, dengan lahirnya

43
Ajarotni Nasution, Masalah Hukum Arbitrase Online. (Jakarta: Badan Pembinaan Hukun
Nasional Kemenkumham RI), hlm.12

28
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS) merupakan

perkembangan penting bagi hukum nasional, sekaligus

memantapkan lembaga arbitrase dalam menyelesaikan

sengketasengketa dalam dunia usaha termasuk memperlancar

upaya

terciptanya perdagangan yang bebas dan kompetisi yang sehat.44

Dalam Pasal 1 butir 1 jo. Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa

perdata diluar pengadilan yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa baik sebelum timbul sengketa maupun setelah timbul

sengketa.

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase dilakukan

berdasarkan persetujuan para pihak yang bersangkutan dan

diajukan dengan cara membuat permohonan kepada BPSK

melalui sekretariat BPSK. BPSK yang telah menerima

permohonan dalam jangka waktu tiga hari kerja memanggil pelaku

usaha secara tertulis, yang memberitahukan mengenai jadwal dan

44
Hendarmin Djarab, Rudi Rizki, dan Lili Irahali, Prospek Dan Pelaksanaan Arbitrase Di
Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 135.

29
agenda sidang serta kewajiban pelaku usaha memberikan

jawaban-jawaban untuk disampaikan pada hari sidang pertama.45

B. Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan menurut Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan

Pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati

dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan

sebagai makanan atau minuman bagi konsumen, termasuk bahan

tambahan pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan,

pengolahan dan pembuatan makanan atau minuman. 46 Istilah pangan atau

food dalam kata Mandarin dituliskan dalam dua bagian, yang satu berarti

manusia atau human dan yang lain berarti baik atau good.47 Hal ini berarti

bahwa pangan sudah seharusnya bagus, bermutu, dan aman apabila

dikonsumsi oleh manusia sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk

pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan

air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai

makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan

tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan

dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau

45
Gusti Ayu Putu Rizky Putri Pratiwi dan Made Suksma Prijandhini Devi Salain,
“Pengaturan Arbitrase Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen”, (Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Udayana).
46
Guru Pendidikan “Sifat Umum dan Ketahanan Pangan Serta Penjelasannya” ,
https://www.gurupendidikan.co.id/sifat-umum-bahan-pangan-serta-penjelasannya/ , diakses pada 14
November 2021
47
Ibid.

30
minuman.48

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan

telah dijelaskan mengenai pengertian keamanan pangan yang terdapat

pada Pasal 1 butir 5, keamanan pangan kondisi dan upaya yang diperlukan

untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan

benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan

kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan,

dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. 49 Pengertian

mutu pangan telah disebutkan dalam UndangUndang Nomor 18 Tahun

2012 Tentang Pangan pada Pasal 1 butir 36, bahwa mutu pangan adalah

nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan Gizi

Pangan.50

Pada Pasal 67 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang

Pangan menyebutkan bahwa, keamanan pangan diselenggarakan untuk

menjaga Pangan tetap aman, higienis, bermutu, bergizi, dan tidak

bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat. 51

Kemudian, keamanan pangan dimaksudkan untuk mencegah

kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat

mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.52


48
Indonesia, Undang-Undang No 18 Tahun 2012 tentang Pangan, LN. 227 Tahun 2012,
TLN. 5360, Pasal 1 butir 1
49
Ibid, Pasal 1 butir 5.
50
Ibid, Pasal 1 butir 36
51
Ibid, Pasal 67 ayat (1).
52
Ibid, Pasal 67 ayat (2)

31
Jaminan keamanan pangan dan mutu pangan telah diatur dalam

UndangUndang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan pada Pasal 86

disebutkan, bahwa:

1) Pemerintah menetapkan standar Keamanan Pangan dan Mutu

Pangan;

2) Setiap Orang yang memproduksi dan memperdagangkan Pangan

wajib

memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan;

3) Pemenuhan standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan

sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penerapan sistem jaminan

Keamanan Pangan dan Mutu Pangan;

4) Pemerintah dan/atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi oleh

Pemerintah dapat memberikan sertifikat Jaminan Keamanan Pangan

dan Mutu Pangan;

5) Pemberian sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan

secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan dan/atau skala usaha;

6) Ketentuan mengenai standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan

diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Kemudian pada Pasal 87 dalam Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2012 Tentang Pangan disebutkan bahwa pemerintah dapat

menetapkan persyaratan agar pangan diuji di laboratorium sebelum di

32
edarkan dan pengujian tersebut dilakukan di laboraturium yang ditunjuk

oleh dan/atau yang telah memperoleh akreditasi dari pemerintah. 53 Pasal

88 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan menyebutkan

bahwa petani, nelayan, pembudi daya ikan, dan pelaku usaha pangan di

bidang pangan segar harus memenuhi persyaratan keamanan pangan dan

mutu pangan segar. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina,

mengawasi, dan memfasilitasi pengembangan usaha pangan

segar untuk memenuhi persyaratan teknis minimal keamanan pangan dan

mutu pangan. Selanjutnya mengenai penerapan persyaratan teknis

keamanan pangan dan mutu pangan segar dilakukan secara bertahap

sesuai dengan jenis pangan segar serta jenis dan/atau skala usaha.54

Pasal 89 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang

Pangan

menyebutkan larangan bagi setiap orang untuk memperdagangkan pangan

yang tidak sesuai dengan keamanan pangan dan mutu pangan yang

tercantum dalam label kemasan pangan. Pada Pasal 90 Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan menyebutkan larangan setiap

orang untuk mengedarkan pangan tercemar yang berupa:55

a. Mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat

membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;

53
Ibid, Pasal 87.
54
Ibid, Pasal 88.
55
Ibid, Pasal 90

33
b. Mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang

ditetapkan;

c. Mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau

proses Produksi Pangan;

d. Mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau

mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal

dari bangkai;

e. Diproduksi dengan cara yang dilarang; dan/atau

f. Sudah kedaluwarsa.

Berdasarkan ketentuan diatas pada huruf a, maka segala makanan

yang mengandung formalin merupakan pangan yang dilarang untuk

diedarkan.

C. Gambaran Umum Formalin

1. Pengertian Formalin

Formalin merupakan salah satu zat tambahan yang dilarang

untuk menjadi bahan tambahan pangan. Pengertian formalin dalam

Peraturan Menteri Kesehatan No. 33 Tahun 2012 Tentang Bahan

Tambahan Pangan merupakan salah satu bahan tambahan pangan

yang dilarang ditambahkan dalam makanan karena mempunyai efek

negatif bagi kesehatan manusia Formalin atau formaldehid dapat

bereaksi dengan cepat pada lapisan lender saluran pencernaan dan

saluran pernapasan. Formalin merupakan senyawa formalehida dalam

34
air dengan konsentrasi rata- rata 37% dan methanol 15%

kemudian sisanya adalah air. Bentuk fisik dari formalin adalah cair

bening dan baunya menyengat. Formalin sangat berbahaya bagi

kesehatan karena dapat menimbulkan efek jangka pendek dan jangka

panjang terutama pada sifatnya yanga kumulatif di dalam tubuh.

Formalin dapat menyebabkan kanker dan menimbulkan cacat56

Bahan yang dilarang penggunaannya sebagai bahan tambahan

pangan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 33 Tahun 2012 Tentang Bahan Tambahan Pangan yakni asam

borat dan senyawanya, asam salisilat dan gararamnya,

dietilpirokarbonat, dulsin, formalin, kalium bromat, kalium klorat,

kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon,

dulcamara, kokain, nitrobenzena, sinamil antranilat, dihidrosafrol, biji

tonka, minyak kalamus, minyak tansi, dan minyak sassafras.57

1) Bahaya Jangka Pendek (akut)

a) Bila terhirup dapat menimbulkan iritasi, kerusakan jaringan

dan luka pada saluran pernafasan, hidung dan tenggorokan;

b) Bila tersentuh kulit akan menimbulkan perubahan warna,

yakni kulit menjadi merah, mengeras mati rasa dan terbakar;


56
Feby Anggita Rachmadani Harahap, “Analisis Kadar Formalin Pada Ikan Segar di Pasar
Pagi Lawe Bulan Kutacane Kecamatan Babusalam Kabupaten Aceh Tenggara”, (Skripsi Sarjana
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Medan, 2019),. hlm. 11
57
Alfian Syera Nasution, “Analisis Keberadaan Formalin dan Gambaran Perilaku Penjual dan
Pembeli Terhadap Tahu Berformalin di Pasar Kota Pinang”, (Skripsi Sarjana Universitas Sumatera
Utara, Medan, 2019), hlm. 2.

35
c) Bila tersentuh mata dapat menimbulkan iritasi sehingga mata

memerah, sakit gatal-gatal penglihatan kabur dan

mengeluarkan air mata;

d) Bila tertelan maka mulut, tenggorokan dan perut terasa

terbakar, sakit, mual muntah dan diare, kemungkinan terjadi

perdarahan, sakit perut yang hebat, sakit kepala,

hipotensi(tekanan darah rendah), kejang atau tidak sadar

hingga koma.58

2) Bahaya Jangka Panjang (kronis)

a) Bila terhirup dalam jangka lama akan menimbulkan sakit

kepala, gangguan pernafasan, batuk-batuk radang selaput

lendir hidung mual mengantuk, luka pada ginjal, efek neuro

psikologis meliputi gangguan tidur dan cepat marah;

b) Bila tersentuh kulit akan terasa panas mati rasa gatal-gatal

serta

memerah, kerusakan jari tangan, pengerasan kulit dan radang

kulit, bila terkena mata dapat menyebabkan radang selaput

mata, bila tertelan dapat menimbulkan iritasi pada saluran

pernafasan, muntah-muntah dan kepala pusing, rasa terbakar

pada tenggorokan, penurunan suhu badan dan rasa gatal di

58
Feby Anggita Rachmadani Harahap, Op. Cit., hlm. 15.

36
dada.59

D. Tugas, Fungsi dan Kewenangan Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM)

BPOM memiliki tugas berdasarkan Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat dan

Makanan, yaitu tugas menyelenggarakan pemerintahan di bidang

Pengawasan Obat dan Makanan. Obat dan Makanan dimaksud terdiri atas

obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat

tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.60

Saat melaksanakan tugasnya, Badan Pengawas Obat dan

Makanan

(BPOM) menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:61

1. penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan

makanan;

2. pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan obat dan

makanan;

3. penyusunan dan penetapan norrna, standar, prosedur, dan kriteria di

bidang pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar;

4. pelaksanaan pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama

beredar;

59
Ibid.
60
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 80 Tahun 2017, Op. Cit, Pasal 2 ayat (1)
61
Ibid, Pasal 3 ayat (1)

37
5. koordinasi pelaksanaan pengawasan obat dan malanan dengan

instansi pemerintah pusat dan daerah;

6. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan obat

dan makanan;

7. pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan

perundang-undangan di bidang pengawasan obat dan makanan;

8. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan

administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan BPOM;

9. pengelolaan barang milik/ kekayaan negara yang menjadi tanggung

jawab BPOM;

10. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPOM; dan

11. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur

organisasi di lingkungan BPOM

Pengawasan sebelum beredar adalah dilakukan sebagai

tindakan

pencegahan untuk menjamin obat dan makanan yang beredar memenuhi

standardan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk

yang ditetapkan. Sedangkan pengawasan selama beredar ditujukan untuk

memastikan obat dan makanan yang beredar memenuhi standar dan

persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang

ditetapkan serta tindakan penegakan hukum.62


62
Ibid, Pasal 3 ayat (2) dan (3)

38
Kemudian Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

mempunyai kewenangan dalam melaksanakan tugas pengawasan obat

dan makanan, yakni:63

1. menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar

dan

persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian

obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan;

2. melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan obat dan

makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

dan

3. pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undang.

63
Ibid, Pasal 4

39

Anda mungkin juga menyukai