Anda di halaman 1dari 10

BAB III

ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS

BEREDARNYA PRODUK MAKANAN YANG MENGANDUNG

FORMALIN DAN BORAKS DI DAERAH JAKARTA TIMUR (STUDI

KASUS MIE KUNING YANG BEREDAR DI JATINEGARA)

Pada tanggal 22 Maret 2022, Penyidik PNS Balai Besar Pengawas Obat dan

Makanan di Jakarta bersama dengan Korwas PPNS Polda Metro Jaya dan Polres

Jakarta Timur serta berkolaborasi dengan Direktorat Penyidikan , Direktorat Intelijen

dan Direktorat Siber Obat dan Makanan melakukan Operasi OPSON XI Tahun 2022

guna menangkap pengusaha-pengusaha nakal yang melanggar peraturan perundang-

undangan dalam melaksanakan produksi atau usahanya. Dalam Operasi OPSON XI

Tahun 2022 tersebut ditemukan pengusaha yang memproduksi mie kuning dengan

kandungan formalin dan boraks di sebuah bangunan 5 lantai pada wilayah Jatinegara,

Jakarta Timur. Oleh karena itu,

Adapun tujuan penambahan formalin dan boraks yang merupakan bahan

yang dilarang ditambahkan pada makanan sesuai dengan ketentuan yang tertuang

pada Peraturan BPOM Nomor 7 tahun 2018 tentang Bahan Baku yang dilarang

dalam bahan pangan, yaitu untuk membuat tekstur mie kuning lebih kenyal sehingga

lebih disukai oleh konsumen. Oleh karena itu, terdapat hak-hak konsumen yang

40
diciderai pada kasus mie kuning yang mengandung formalin dan boraks adalah

sebagai berikut:

41
A. Hak-hak konsumen yang dilanggar pelaku usaha dalam kasus mie kuning

berkandungan formalin dan boraks menurut Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Dalam jual-beli yang terjadi pada dasarnya konsumen ingin mendapatkan

kepuasan terhadap barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Sedangkan, pelaku

usaha ingin memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dalam hubungan jual-beli

dengan konsumen. Keinginan itu akan terwujud jika kedua konsumen dan pelaku

usaha menjalankan hak dan kewajibannya dengan benar dan berlandaskan itikad

baik. Jika konsumen dan pelaku usaha tersebut tidak menjalankan kewajibannya

dan tidak berlandaskan itikad baik, maka akan menyebabkan kerugian.

Konsumen dapat menjadikan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen acuan untuk lebih pintar dan bijak sebelum

membeli, memakai dan/atau menggunakan barang dan/atau jasa. Tidak hanya

konsumen namun pelaku usaha juga dapat menjadikan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini sebuah acuan mengenai

kewajiban-kewajiban dan hak-haknya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 33

Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, formalin dan boraks adalahan

bahan tambahan pangan yang tidak boleh digunakan karena formalin pada

umumnya digunakan untuk membunuh kuman yang biasanya digunakan untuk

membersikan lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembasmi lalat dan berbagai

serangga lain, bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan

41
bahan peledak, pengawet mayat, sehingga benda apapun yang biasanya busuk,

menjadi tidak busuk, sedangkan boraks itu zat aktifnya Asam boraks yang

gunanya untuk pembuatan deterjen, mengurangi kesadahan air dan bersifat

antisepetik, sehingga jika bahan-bahan berbahaya ini ditambahkan ke makanan,

sehingga menjadikan dampak negatif bagi kesehatan konsumen yang

mengkomsumsi makanan tersebut.83 Namun masih banyak pelaku usaha yang

bergerak di bidang pangan menggunakan bahan formalin dan boraks sebagai

bahan tambahan pangan.

Seperti pada kasus mie kuning yang mengandung formalin dan boraks di

Jatinegara. Pada dasarnya Mie kuning dibuat dari tepung terigu dan telur, dimana

kedua komposisi utama ini kaya akan karbohidrat serta protein yang sangat

disukai oleh mikroorganisme selain itu kandungan Aw (activity water)/air bebas

pada mie kuning yang tinggi serta pH mie kuning yang ada di range 4,5-5

(berasam rendah), oleh karena beberapa faktor diatas, mie kuning menjadi produk

yang berisiko ditumbuhi mikroorganisme yang berikutnya akan menyebabkan

kerusakan pada mie kuning/busuk.84 Sehingga diperlukan bahan tambahan pangan

berupa formalin dan boraks agar mie kuning tersebut tidak mudah rusak/busuk.

Hal ini tentu sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

Pada kasus mie kuning di atas, hak-hak konsumen sebagaimana diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

(UUPK) sudah diabaikan oleh pelaku usaha. Dengan ditambahkannya bahan

83
Fatmawati Maria, Op. Cit., Pasal 3
84
Wawancara dengan BPOM pada 29 Desember 2022.

42
pangan berupa boraks dan formalin pelaku usaha sudah melakukan perbuatan

yang dilarang bagi pelaku usaha sebagaimana tertuang pada Pasal 8 ayat (3)

UUPK yaitu: “Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan

pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau memberikan

informasi secara lengkap dan benar”. Sejalan dengan perbuatan yang dilakukan

pelaku usaha atas dilanggarnya Pasal 8 ayat (3) UUPK tersebut artinya pelaku

usaha sudah tidak peduli akan kewajiban yang seharusnya dilakukannya sesuai

dengan UUPK.

Pada kasus mie kuning mengandung formalin dan boraks di Jatinegara

tersebut, terdapat hak-hak konsumen yang diciderai yaitu mengenai hak atas

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau

jasa sebagaimana tercantum pada Pasal 4 huruf a UUPK. Akibat Tindakan pelaku

usaha yang menambahkan bahan pangan berupa formalin dan boraks tersebut

akan membahayakan keselamatan konsumen dalam jangka pendek maupun

jangka panjang. Timbulnya penyakit yang membahayakan konsumen akibat dari

mengkonsumsi mie kuning yang mengandung formalin dan boraks adalah bentuk

tidak dipenuhinya hak-hak konsumen sebagaimana Pasal 4 huruf a UUPK.

Tindakan pelaku usaha juga telah mengabaikan kewajibannya sebagaimana diatur

pada Pasal 7 huruf a yaitu menjalankan kewajibannya dengan beritikad baik

dalam melakukan kegiatan usahanya.85

Hak konsumen lainnya yang tidak terpenuhi akibat mie yang

mengandung formalin dan boraks ini adalah sebagaimana tercantum pada Pasal 4

huruf c UUPK yang berbunyi ha katas informasi yang benar, jelas dan jujur
85
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, Op. Cit,, Pasal 7

43
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.86 Pelaku usaha cenderung

tidak memperdulikan hak konsumen tersebut dan memilih untuk menguntungkan

dirinya sendiri tanpa melihat dampak atau bahaya dari mengkonsumsi produk

yang mengandung formalin bagi Kesehatan konsumen. Dengan tidak dipenuhinya

Pasal 4 huruf c UUPK, artinya pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya

sebagaimana tercantum pada Pasal 7 huruf b, yaitu pelaku usaha tidak

memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan

pemeliharaan dengan semestinya.87

Terkait kasus mie kuning yang mengandung formalin dan boraks di

Jatinegara, konsumen memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi

dan/atau penggantian, jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan

perjajian atau tidak sebagaimana mestinya. Hal tersebut tertuang pada Pasal 4

huruf h UUPK. Hak tersebut wajib dipenuhi oleh pelaku usaha, dilihat dari

dampak yang ditimbulkan dari efek formalin dan boraks yang dikonsumsi

konsumen dan merugikan Kesehatan dan keselamatan jiwa konsumen sesuai

dengan ketentuan Pasal 7 huruf f UUPK.

Sudah sepatutnya para pelaku usaha memikirkan kesehatan dan

keselamatan konsumen dalam kegiatan usahanya dengan menggunakan naluri

sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran. Pada kasus mie kuning yang

mengandung formalin dan boraks ini, pelaku usaha pun melanggar ketentuan

mengenai perbuatan yang dilarang pelaku usaha yang diatur pada Pasal 8 huruf a,

86
Ibid. Pasal 4.
87
Ibid. Pasal 7.

44
dengan tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.88 Diciptakannya ketentuan hukum

mengenai perlindungan konsumen oleh pemerintah bukan hanya semata-mata

sebagai formalitas saja. Namun, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen ini memiliki tujuan yang mulia dan sudah seharusnya

kita sebagai warga negara yang baik untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut.

B. Upaya pengawasan Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM)

dalam kasus mie kuning yang mengandung formalin dan boraks terhadap

keselamatan konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen.

Untuk mengawasi penyelenggaraan perlindungan konsumen, Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah

mengaturnya sebagaimana tercantum pada Pasal 30 UUPK. Bahwa terhadap

pengawasan penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan ketentuan

peraturan perundang-undangannya diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat,

dan Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM).89 Upaya

pengawasan ini perlu dilakukan guna terselenggaranya perlindungan hak-hak

konsumen dan menghindari para pelaku usaha yang tidak memiliki itikad baik dan

berlaku curat yang membahayakan Kesehatan dan keselamatan konsumen.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) adalah lembaga pemerintah

non kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang pengawasan

88
Ibid. Pasal 8 huruf a
89
Ibid. Pasal 30.

45
obat dan makanan. BPOM dan Balai Besar Pengawasan Obat and Makanan

(BBPOM) adalah lembaga pemerintahan yang memiliki fungsi dan tugas yang

sama dalam hal pengawasan obat dan makanan. Tugas dan fungsi kedua lembaga

tersebut tertuang di dalam Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang

Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja

Lembaga Pemerintah Non Departemen, Balai Besar Pengawas Obat dan

Makanan.

Untuk mencapai kepastian hukum, BPOM membuat suatu peraturan yaitu

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 tentang

Bahan Tambahan Pangan yang bertujuan agar Bahan Tambahan Pangan (BTP)

dapat mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk

tujuan teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan,

pengemasan, penyimpanan dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan

atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan

tersebut, baik secara langsung atau tidak langsung.90 Berdasarkan ketentuan

tersebut, sudah jelas bahwa formalin bukan sebuah zat gizi yang dapat

memberikan energi, diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan

pemeliharaan Kesehatan. Pada kasus mie kuning yang mengandung boraks dan

formalin ini artinya BPOM menyampaikan bahwa boraks dan formalin tidak

diperbolehkan atau dilarang sebagai BTP karena kandungannya berbahaya bagi

Kesehatan dan keselamatan konsumen. Dengan adanya Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 33 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan yang

90
Indonesia, Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019
Tentang Bahan Tambahan Pangan, BNRI. 723 Tahun 2019, Pasal 2 ayat (2)

46
menyatakan boraks dan formalin adalah bahan berbahaya dan dilarang untuk

dijadikan bahan tambahan pangan.

Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah peneliti

jabarkan, terkait upaya pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM)

mengenai Bahan Tambahan Pangan telah disusun dan diatur sedemikian rupa di

dalam Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019

Tentang Bahan Tambahan Pangan terkait bahan tambahan pangan yang

diperbolehkan dan tidak diperbolehkan. Lebih jelasnya terdapat pada Pasal 22

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 Tentang

Bahan Tambahan Pangan mengenai pengawasan terhadap BTP yang dilakukan

oleh Kepala Badan. Berdasarkan hasil wawancara BPOM, BPOM menyatakan

bahwa temuan mie kuning mengandung formalin dan boraks di Jatinegara, BPOM

bekerja sama dengan Korwas PPNS Polda Metro Jaya dan Polres Jakarta Timur

melakukan penindakan terhadap sarana produksi yang memproduksi mie kuning

berformalin dan boraks tersebut pada 22 Maret 2022, Dari hasil penindakan

tersebut, berhasil disita barang bukti berupa ratusan kilogram mie kuning

mengandung formalin dan boraks, serbuk boraks dan formalin serta peralatan

terkait yang digunakan dalam produksi mie tersebut. Selain, itu penyidik juga

menyita sisa cairan yang mengandung formalin. Mie mengandung formalin dan

boraks tersebut dijual ke berbagai pasar tradisional di sekitar Jakarta Timur.

Terhadap barang bukti mie kuning mengandung formalin dan boraks dilakukan

pemusnahan oleh pemilik sarana produksi dengan disaksikan oleh penyidik

47
BPOM maupun kepolisian ; dan terhadap barang bukti formalin dan boraks yang

ditemukan di sarana produksi dilakukan penyitaan.91

Berkaitan dengan tugas dan wewenangnyapun BPOM secara rutin/berkala

malakukan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE), pendampingan, bimbingan

teknis terkait Cara-Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik (CPPOB) termasuk

penggunaan bahan-bahan yang diizinkan digunakan dalam pangan kepada pelaku

usaha yang berpotensi menggunakan formalin atau boraks dalam produksinya.

BPOM juga secara rutin mensosialisasikan bahan pengganti/subtitusi bahanbahan

berbahaya seperti formalin dan boraks diatas, contohnya Palata yang terbuat dari

bahan alami dari fermentasi pisang.92

91
Wawancara dengan BPOM pada 29 Desember 2022.
92
Ibid.

48

Anda mungkin juga menyukai