Anda di halaman 1dari 25

TUGAS ETIKA REGULASI FARMASI

Mata Kuliah : ETIKA REGULASI FARMASI


Program Studi : S-1 Farmasi Reguler Khusus
Dosen : Muhammad Afqary M.M. Apt
NAMA : IFTA MUHKAMAT
NIM : 19012024
KELAS : RK A

PELANGGARAN ETIKA FARMASI DI INDUSTRI FARMASI


1. Kesepakan antara pihak apoteker dengan PBF (Pedangang Besar Farmasi) dimana
keduanya mengadakan perjanjian kerjasama atas obat- obatan yang diproduksi agar
mendapatkan keuntungan lebih dibandingkan melaksanakannya melalui prosedur
normal pada umumnya.
Penyelesaian seharusnya seorang apoteker menjauhkan diri dari usaha
usaha untuk mencari keuntungan sendiri yang sangat bertentangan dengan martabat
dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.
2. Kasus DNA Babi pada obat, 2 Undang –Undang Dilanggar Produsen
Keterbukaan informasi mengenai kandungan makanan dan obat-obatan
merupakan hal serius yang harus dipenuhi oleh produsen. Badan Pengawasan Obat
dan Makanan menyatakan suplemen makanan Viosin Ds produksi PT Pharos
Indonesia dan Enzylex tablet produksi PT Medifarma Laboratories terbukti positif
mengandung DNA babi. Dengan nomor izin edar NIE POM SD.051523771 dengan
nomor bets BN C6K994H untuk Viostin DS dan NIE DBL 7214704016A1 nomor
bets 16185101 untuk Enzyplex tablet. BPOM menginstruksikan kedua produsen
menghentikan produksi dengan nomor bets tersebut.
Penyelesaian dalam upaya perlindungan untuk konusmen adalah selain
mengaudit secara komprehensif terhadap seluruh proses pembuatan dari semua
merk obat yang diproduksi oleh kedua produsen farmasi yanng dmaksud.
Dikarenakan khusus konsumen muslim, berdasarkan UU no.33 tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal, proses produksi dan koten oobat hars bersertifikat halal.
Bagi kedua produsen diberi sanksi karena telah banyak melanggar UU baik UU
No.8 tahun 1999 tetang Perlindngan Konsumen, UU, Jaminan Produk Halal, dan
regulasi lainya.
3. Kasus Obat Bius Tertukar
Kasus meninggalnya dua pasien Rumah Sakit Siloam Lippo Karawaci usai
diberi injeksi obat bius Buvanest Spinal buatan PT. Kalbe Farma, yang diduga
isinya tertukar dengan asam traneksamat-obat pengental darah, kasus ini dijadikan
sebagai momentum untuk melakukan audit secara berkala terhadap pelayanan
kesehatan di rumah sakit agar tidak mucul kasus serupa ditempat lain. Hal ini
merupakan pelanggaran serius.
Penyelesaian nya PT kalbe Farma selaku industri farmasi yang memproduksi
obat anestesi itu harus bertanggung jawab, bukan sekedar menarik peredaran obat
tersebut dipasaran. Begitu juga dengan Rumah Sakit Siloam yang menangani
langsung dua pasien tersebut. Jika terbukti melanggar, Kalbe Farma bisa dijerat UU
perlindungan Konsumen No.8 tahun 1999, sedangkan RS Siloam bisa dijerat UU
No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit. Tidak hanya fokus pada tertukarnya isi
obat, pihak berwenang yang melakukan investigasi juga harus melihat dari sisi
jaminan keamanan pelayanan kesehatan, kefarmasian dan penyelenggaraan rumah
sakit. Sebagai pihak produsen obat, PT Kalbe Farma wajib memberikan
kompensasi dan ganti rugi kepada keluarga korban.
4. Obat Generik Yang Disulap Menjadi Obat Paten
Pimpinan industri farmasi PT. Jaya Karunia Invesindo, Alfons Fritz Gerald
Arief Prayitno mengakui untuk membuat obat oplosan tersebut. Terlebih dahulu
arief mensurvei obat paten apa saja yang laku dipasaran yang akan dijadikannya
rujukan dalam membeli obat generik yang sudah kadaluarsa atau mendekati
kadaluarsa dalam jumlah yang banyak, kemudian meracik dan mengemas obat
tersebut menyerupai obat paten lalu diedarkan dengan harga yang sangat fantastis
sejak tiga tahun yang lalu. Sudah lebih dari 197 apotek yang menggunakan produk
yang dibuat oleh Arief.
Penyelesaiannya yaitu tentu saja hal yang dilakukan Arief ini sangat merugikan
bagi konsumen yang telah menggunakan produk Arief dimana seharusnya mereka
mendapatkan obat yang sesuai dan terjamin mutu dan khasiatnya ternyata mereka
mendapatkan obat oplosan yang kadaluarsa isinya. Belum lagi efek yang
ditimbulkan dari obat oplosan tersebut yang berbahaya bagi tubuh konsumen. Hal
telah melanggar UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Tersangka
harus mendapatkan tindak pidana yang sesuai karena telah melanggar pasal 196 Jo
Pasal 98 ayat 2 dan 3 dan/atau pasal 197 Jo Undang-Undang No 36 Tahun 2009
tentang kesehatan dan Pasal 8 ayat 1 huruf a dan d Undang-Undang No 8 Tahun 99
tentang perlindungan konsumen. Selain itu tersangka juga harus mempertanggung
jawabkan perbuatannya itu karena telah merugikan banyak konsumen baik apotek
maupun masyarakat yang membeli obat tersebut.

5. Apoteker A harus memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) hal ini
berfungsi bahwa apoteker tersebut telah resmi sebagai seorang tenaga kefarmasian
yaitu Apoteker.disamping STRA apoteker juga harus memiliki Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA) apabila bekerja difasilitas kesehatan. Dan harus memiliki Surat
Izin Kerja Apoteker (SIKA) ketika bekerja di fasilitas produksi atau distribusi atau
penyaluran kefarmasian. Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya bekerja di apotek
A tetapi juga bekerja di PBF A sehingga harus memiliki SIPA dan SIKA PJ PBF.
Penyelesaiannya Hal ini bertentangan dengan peraturan perundang undangan pasal
18 Permenkes 889/2011 yang menyatakan bahwa SIKA atau SIPA hanya oleh
digunakan untuk satu fasilitas kefarmasian artinya seorang apoteker dapat memiliki
SIPA dan SIKA untuk bekerja di dua tempat yang berbeda, hanya untuk satu
tempat dan satu profesi saja.
6. Pedagang Besar Farmasi Melanggar Aturan
Direktur Pengawasan Distribusi dan Pelayanan Obat Narkotika, Psikotropika,
Prekursor, dan Bahan Obat Hardaningsih mengatakan peraturan itu mewajibkan
pedagang obat memiliki sertifikasi CBOB. Sekitar 754 Pedagang Besar Farmasi
melanggar atau tidak memenuhi ketentuan (TMK). Bentuk pelanggarannya di
antaranya mengelola administrasi secara tidak tertib, gudang tidak memenuhi
persyaratan, dan menyalurkan obat secara panel atau penanggung jawab tidak
bekerja secara penuh, pengadaan obat dari jalur tidak resmi, menyalurkan obat
keras ke sarana tidak berwenang, tidak bertanggung jawab atas penyaluran obat
keras dalam jumlah besar, dan beroperasi di alamat yang tidak sesuai dengan izin.
Hardaningsih menjelaskan, jalur distribusi obat bermula dari pabrik, PBF,
kemudian masuk ke klinik dan rumah sakit. Sertifikasi itu dilakukan guna
menjamin keamanan obat. "Untuk penyaluran, penyimpanan, dan pengadaan, ada
petunjuk teknis yang harus diikuti supaya menjamin mutu sampai tangan terakhir,"
tutur Hardaningsih.
Penyelesaiannya seharusnya Pedagang Besar Farmasi wajib memiliki CPOB
dan dapat mengelola, mengolah bahan, menyimpan, mengadakan, mendistribusikan
obat sesuai dengan peratauran yang telah diberlakukan, serta melakukan kegiatan
distribusi atau pengolahan obat ditempat yang baik dari segi kesehatan terutama
kesehatan lingkungan disekitar tempat produksi.

PELANGGARAN ETIKA FARMASI DI INDUSTRI KOSMETIKA


1. Kosmetika palsu
Tentang penjualan kosmetik palsu yang terjadi di Indonesia yaitu, pada tahun
2018 lalu Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Bareskrim Polri
menggerebek ruko yang berfungsi sebagai pabrik kosmetik ilegal di Jalan Jelambar
Utama Raya Nomor 19A, Grogol Petamburan, Jakarta Barat. Dari hasil
penangkapan, polisi mengamankan satu tersangka berinisial H sebagai pemilik dan
produsen. BPOM menjelaskan H memfasilitasi tempat pembuatan sekaligus
memasarkan produk-produk ilegal itu. H mengaku, telah memproduksi kosmetik
palsu selama satu tahun dan mendapatkan keuntungan besar. Hak-hak yang diatur
dalam ketentuan perundang-undangan lainnya (pasal 4 UU No 8 Tahun 1999)
tentang Perlindungan Konsumen adalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan
konsumen.
Penyelesaiannya hal yang dilakukan H jelas melanggar Pasal 378 KUHP
tentang penipuan dan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek karena jelas barang-
barang yang diproduksi dan diperdagangkan menggunakan Merek terdaftar milik
pihak lain. Solusi agar tidak ada lagi korban adalah tindak pidana atau hukum
dibuat lebih tegas sehingga ada efek jera bagi oknum yang melakukan hal tersebut,
memaksimalkan pengawasan terhadap kosmetik palsu dan memberikan sosialisasi
kepada masyarakat tentang bagaimana membedakan komestik palsu dan kosmetik
asli. Untuk masyarakat adalah agar lebih cerdas dan lebih berhati-hati dalam
memilih kosmetik.
2. Kasus penggrebekan pusat kosmetik home industri di Purwokerto
Pada bulan Mei 2013 BPOM Semarang menyita bahan kosmetik yang
diperkirakan mengandung bahan obat yang terlarang di daerah Purwokerto tepatnya
di komplek Permata hijau. Kepala BPOM Semarang Yaitu Dra. Zulaimah Msi Apt,
menyebutkan bahan baku yang digunakan adalah berupa bahan kimia Obat (BKO)
seperti, obat-obatan jenis antibiotik, deksamethason, hingga hidroquinon untuk
dijadikan sebuah krim kecantikan. Penggrebekan rumah produksi krim kecantikan
ini, dilakukan karena belum memiliki izin produksi dari BPOM dan tidak memiliki
Apoteker penanggung jawab. Sementara penggunaan bahan baku kosmetik harus
mendapat pengawasan ketat, karena penggunaan bahan baku yang tidak semestinya
dapat membahayakan konsumen.
Penyelesaiannya Pada UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang/produk dan jasa. Produsen dengan jelas melanggar hak
konsumen sebagaimana yang tercantum pada pasal 4a dimana pabrik ini
memproduksi kosmetik bercampur bahan kimia obat yang dapat membahayakan
keselamatan konsumen. Dengan kasus ini pemilik rumah produksi krim kecantikan
wajib memberikan ganti rugi berupa material/immaterial kepada konsumen hingga
sembuh dan kembali ke keadaan semula. Dan bagi masyarakat harus menjadi
konsumen yang cerdas, tidak mudah percaya iklan, lebih teliti dalam memilih
produk kecantikan, selektif dalam iklan, dan mencari tahu informasi sumber
kosmetik yang aman dengan nomor izin edar yang berlaku.
3. penggrebekan pusat kosmetik home industri di Pontianak
terdapat banyak pelanggaran yang dilakukan oleh produsen pembuatan
kosmetika. Pelanggaran yang dilakukan mulai dari penggunaan bahan kosmetik
yang dilarang seperti merkuri (Hg), hidrokinon, asam retinoat, bahan pewarna
merah K.3 (CI 15585), merah K.10 (Rhodamin B), dan jingga K.1 (CI 12075) yang
merupakan zat warna sintetis untuk zat warna kertas, tekstil atau tinta. Apabila
bahan-bahan tersebut digunakan sebagai bahan kosmetik, maka akan menimbulkan
resiko dan efek yang tidak diinginkan.selain itu tidak terdaftarnya (ternotifikasi)
produk kosmetik ke BPOM, serta tidak jelasnya informasi yang ada pada kemasan
produk kosmetik.
Penyelesaiannya hendaknya pemerintah lebih meningkatkan pembinaan
mengenai CPKB kepada produsen-produsen kosmetik, terutama produsen
perseorangan yang tidak mempunyai keahlian khusus dalam memproduksi sediaan
farmasi yaitu kosmetik. Pembinaan ini hendaknya dilakukan oleh Farmasis yang
notabene mempunyai keahlian dan pengetahuan khusus tentang CPKB. Dan
produsen kosmetik pada kasus dapat dikenakan sanksi berlapis yaitu sanksi
administatif dan sanksi pidana sesuai peraturan yang berlaku dan mempertanggung
jawabkan perbuatannya.
4. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Jawa Barat menggerebek tiga lokasi
di wilayah Kecamatan Beji, Depok, yang diduga dijadikan tempat produksi dan
distribusi kosmetik ilegal. Ketiga wilayah tersebut yakni di Jalan H Iming yang
dimiliki oleh pria bernama Kastalangi, Jalan Urea. Di Jalan Jangkar, petugas
menggerebek sebuah rumah yang diduga dijadikan sebagai pabrik untuk
memproduksi kosmetik ilegal. Dari lokasi tersebut, petugas menyita 20 dus besar
yang terdiri dari ribuan kosmetik, mesin produksi, hingga label kosmetik.
Sementara di Jalan H Iming yang dimiliki oleh pria bernama Kastalangi. Disana,
petugas juga menyita lima dus besar yag diduga siap diedarkan di seluruh Indonesia
hingga Malaysia. Kosmetik tersebut diduga mengandung merkuri dan tak memiliki
izin edar.
Penyelesaiannya sebaiknya konsumen memerhatikan bahan-bahan yang
terkandung dalam kosmetik. Jika tidak mencantumkan bahan yang lengkap, sudah
dipastikan produk tersebut ilegal. Selain itu, perhatikan juga kode dan tanggal
kadaluarsanya dan hendaknya pemerintah lebih meningkatkan pembinaan
mengenai CPKB kepada produsen-produsen kosmetik, terutama produsen
perseorangan yang tidak mempunyai keahlian khusus dalam memproduksi sediaan
farmasi yaitu kosmetik. Pembinaan ini hendaknya dilakukan oleh Farmasis yang
notabene mempunyai keahlian dan pengetahuan khusus tentang CPKB. Dan
produsen kosmetik pada kasus dapat dikenakan sanksi berlapis yaitu sanksi
administatif dan sanksi pidana sesuai peraturan yang berlaku dan mempertanggung
jawabkan perbuatannya.
5. Toko Kosmetik Berkah yang beralamat di JMP Lt. I Blok 22 Surabaya menjual
kosmetik tidak terdaftar/ illegal dan mengandung bahan terlarang (Mercury).
Petugas Balai Besar POM Surabaya melakukan pemeriksaan ke toko tersebut dan
ditemukan produk kosmetik yang tidak terdaftar/ illegal sebagai berikut: Nama
Produk : Dr. Kayama Cream No. Registrasi : - Nama Produsen : Japan Clinic
Menurut keterangan pemilik toko bahwa kosmetik tersebut dibeli dari distributor
yang beralamat di Jl. Dharmahusada 23 Surabaya. Pada kasus ini, ditemukan
kosmetika illegal yang dijual oleh Toko Kosmetik Berkah yang menjual kosmetik
tanpa memiliki ijin edar dan mengandung bahan berbahaya
Penyelesaian masalah: memberikan sanksi administratif berupa peringatan kepada
industri yang memproduksi dan toko kosmetika, melakukan penarikan atau
pemusnahan terhadap produk, larangan untuk mengedarkan produk atau dilakukan
penarikan terhadap produk di peredaran, memberikan pembinaan &
pengawasankepada industri tersebut dan Dinkes juga berperan untuk memberikan
penyuluhan kepada masyarakat mengenai persyaratan dan keamanan sediaan
kosmetika
PELANGGARAN ETIKA FARMASI DI RUMAH SAKIT
1. Rumah sakit X menggunakan kode-kode tertentu untuk sediaan kosmetik, sehingga
pasien hanya dapat menebus resep di rumah sakit tersebut. Mereka bekerja sama
dengan suatu klinik kecantikan tertentu di Jakarta. Contohnya : CM 1, CM 2, CM 3,
CM 4, CM 5, CM6, CM 7, CM CL, CM HP1, CMHP 2, CM AZAP, CM ACNE,
dll. Penyelesaiannya Rumah sakit tersebut melanggar etika profesi, karena
pengkodean tersebut hanya dimengerti oleh apotek Rumah Sakit tersebut sehingga
pasien tidak dapat menebus resep di tempat lain.
2. membuat paket-paket obat untuk UGD. Yang terdiri dari antibiotik dan analgetik,
dengan harga yang berbeda-beda.Contoh : Paket A : Amoxycillin (No. X) dan
Asam Mefenamat (No. X)A0 : GenerikA1 : Amoxsan dan MefinalA2 : Supramox
dan MefixPaket lainnya : Paket B, C, D, E, F, G, H. Penyelesaiannya adanya paket-
paket tersebut melanggar etika farmasi karena kebebasan pasien dibatasi karena
hanya dapat menebus resep diapotek rumah sakit tersebut.
3. 3 sampai 5 orang asisten apoteker di Cebu, Filipina diduga melakukan kelalaian
dalam meracik (dispensing) obat resep dimana memberikan Eltroxin
(Levothyroxine) yang seharusnya memberikan antibiotik Cefalexin/sefaleksin.
Kelalaian ini mengakibatkan cedera fisik yang serius yang menyebabkan pasien
mengalami hipertiroidisme. kelalaian itu mengakibatkan cedera fisik yang serius
karena memberikan obat yang salah untuk infeksi saluran kemih, yang
menyebabkan pasien menderita hipertiroidisme. Alih-alih mengisi resep nya untuk
Sefaleksin, para asisten farmasi memberi pelanggannya Eltroxin (levothyroxine).
Sejak obat mengandung hormon dosis tinggi diberikan, seorang pasein bernama
Pheobe Tejero akhirnya didiagnosis dengan hipertiroidisme iatrogenik. Tejero
membeli obat-obatan pada tanggal 7 Desember 2016 dan berasumsi bahwa apa
yang telah diserahkan kepadanya oleh asisten apoteker adalah benar. Dia kemudian
mengkonsumsi semua obat selama 7 hari. Penyelesaiannya seharusnya pihak
farmasi mengecek kembali obat yang diberikan apakah sudah sesuai baik dari segi
dosis, jenis obat, jumlah obat dengan resep yang diberikan oleh dokter sehingga
dapat meminimalisir kesalahan dalam memberikan pelayanan kefarmasian kepasien
sehingga tidak ada lagi orang yang merasa dirugikan.
4. Pasien Operasi Otak Meninggal Dunia Akibat Salah Pemberian Obat
Loretta Macphrerson 65 Tahun seorang pasien pengidap kanker meninggal
dunia di ST. Charles Medical Centre, Oregon USA. Akibat kesalahan pemberian
obat oleh tenaga medis pada Desember 2014 . loretta seharusnya mendapatkan obat
anti kejang namun beliau justru mendapatkan obat pelumpuh. Dokter yang
menangani beliau meresepkan Fosfenitoin untuk mengurangi kejang tetapi seorang
tenaga kefarmasian keliru dengan mengisi kantong IV berlabel Fosfenitoin dengan
obat yang berisi Rocuronium atau obat untuk melumpuhkan. Hal tersebut
menyimpang dari kode etik apoteker indonesia pasal 7 tentang apoteker harus
menjadi sumber informasi tentang obat sesuai profesinya , pasal 9 tentang apoteker
harus mengutamakan kepentingan masyarakat , menghormati hak azasi pasien, dan
melindungi makhluk hidup insan, UU No 23 Tahun 1992 tentang pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan, distribusi, pengelolaan, pelayanan obat,
informasi obat, pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, UU No 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
5. pelanggaran etika di Rumah Sakit
seorang pasien mendapatkan resep paracetamol generik tetapi karena paracetamol
merk pedagang Y masih banyak dan mendekati tahun ED, maka obat tersebut
diganti dengan merk Y yang kandungannya sama tetapi harganya lebih mahal
dibanding obat generik. Tetapi memberikan informasi kepasien bahwa efek obat Y
lebih cepat dari obat yang diresepkan dokter, sehingga pasien menyetujuinya.
Berdasarkan PP No 51 Tahun 2009 Pasal 24 mengatakan bahwa apoteker tidak
salah tetapi menjadi salah karena telah membohongi pasien dengan mengganti obat
yang telah diresepkan dokter dengan alasan efek obat lebih cepat ketubuh, padahal
hanya karena stok obat Y yang berlebih dan mendekati ED, seharusnya hal tersebut
bisa dilakukan penyelidikan terkait penyebab jumlah obat yang berlebih digudang
dan melaporkannya dalam rapat komite farmasi dan terapi (KFT). Dan seharusnya
apoteker bertanggung jawab mencegah obat kadaluarsa atau mendekati kadaluarsa
sampai ketangan pasien.
6. pelanggaran etika farmasi dan kelalaian pihak Rumah Sakit Permata Bekasi
Rumah Sakit Permata Bekasi akui bagian farmasi lalai terkait verifikasi
pembelian vaksin- vaksin dari CV Azka Medical. Dari 7 jenis vaksin yang
diperiksa dan diduga palsu oleh Kementrian Kesehatan Rumah Sakit Permata
Bekasi hanya membeli satu jenis vaksin Pediacel yang diperuntukkan untuk
antisipasi DPT, HiB dan Polio dalam rentang waktu Oktober 2015 sampai Mei
2016 sebanyak 45 Vial atau kemasan botol kecil. Hal ini dikarenakan sulit
membedakan antara vaksin asli dan palsu dan dua kompetitornya menglami
kekosongan stok pediacel pada saat itu dan sebagai konpensasi atas kelalaian
tersebut Rumah Sakit Permata Bekasi melakukan vaksin ulang secara gratis kepada
pasien yang merasa dirugikan. Hal tersebut merupakan suatu pelanggaran
sehrausnya pihak Rumah Sakit Permata Bekasi dan Apoteker di Instalasi Farmasi
Rumah Sakit tersebut melakukan pengecekan yang benar, sebagaimana dengan UU
No 23 Tahun 1992 tentang pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan,
distribusi, pengelolaan, pelayanan obat, informasi obat, pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional, UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
7. Kasus pemberian obat kadaluarsa di RSUD DR. R. Koesma Tuban
Indah Sri Steyorini membeli obat Amoxan Drop Pediatric pada minggu 30
Juni 2013 untuk anaknya yang baru lahir di RSUD DR. R. Koesma Tuban. Obat
tersebut sudah 2x diminumkan kepada anaknya dan indah baru menyadari bahwa
obat tersebut telah kadaluarsa. Hal tersebut merupakan kesalahan Apoteker yang
lalai dalam pengecekan obat sehingga berdampak fatal pada bayi baru lahir,
seharusnya apoteker mengecek ulang obat tersebut dari mulai pengambilan obat,
pemberian label obat atau etiket obat, mengecek tanggal kadaluarsa sampai ketika
apoteker memberikan obat tersebut kepada pasien. Namun apoteker tidak
melakukan hal tersebut selain itu pada sistem penyimpanan obat yang kadaluarsa
dipelayanan juga terjadi kesalahan. Padahal apoteker bertanggung jawab pada
bagian management maupun pelayanan sehingga dapat meminimalisir kesalahan
tersebut dan hal tersebut tidak sesuai dengan kode etik profesi apoteker. Dan juga
merupakan pelanggaran dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan, distribusi, pengelolaan, pelayanan obat,
informasi obat, pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, UU No 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
8. Keracunan Lithium
Wanita usia 51 Tahun dengan gangguan mental, bipolar, hipotiroid, dan
parkinson. Kemudian diresepkan lithium karbonat 150 mg/kapsul namun pasien
salah diberikan obat karena obat yang diberikan dosisnya 2x lipat yaitu lithium
karbonat 300 mg/kapsul. Dokter yang menangani pasien tersebut tidak memeriksa
perubahan pada pasien setelah 3 hari diare namun setelah pemeriksaan selanjutnya
pasien sudah tidak mengalami diare lagi. Dan dari catatan symtom pasien sudah
membaik, hanya saja pasien mengalami keluhan peningkatan kontraksi otot dan
kekakuan otot sehingga kondisi tubuh pasien semakin memburuk. Dokter pun
menyarankan pasien untuk tes darah kadar lithium pasien tersebut yaitu 6,8 mEq/L
sehingg pasien mengalami dehidrasi berat dan gagal ginjal akut akibat toksisitas
lithium dan akhirnya dinyatakan meninggal. Dalam kasus ini pihak Instalasi
Farmasi Rumah Sakit telah lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga
kefarmasian yang seharusnya dapat memastikan obat yang diberikan dan diterima
oleh pasien sesuai dengan resep yang telah diberikan dokter. Hal tersebut
merupakan kesalahan Apoteker yang lalai dalam pengecekan obat sehingga
berdampak fatal.
penyelesaiannya seharusnya apoteker mengecek ulang obat tersebut dari
mulai pengambilan obat, pemberian label obat atau etiket obat, mengecek tanggal
kadaluarsa sampai ketika apoteker memberikan obat tersebut kepada pasien.
Namun apoteker tidak melakukan hal tersebut selain itu pada sistem penyimpanan
obat juga terjadi kesalahan. Padahal apoteker bertanggung jawab pada bagian
management maupun pelayanan sehingga dapat meminimalisir kesalahan tersebut
dan hal tersebut tidak sesuai dengan kode etik profesi apoteker. Dan juga
merupakan pelanggaran dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan, distribusi, pengelolaan, pelayanan obat,
informasi obat, pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, UU No 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Selain itu disini juga dokter pun salah
karna tidak memperhatikan kondisi pasien dengan seksama sehingga dokter
kehilangan kendali atas apa yang terjadi pada tubuh pasien.
9. Kasus ST. Mary Medical Centre
Nasib malang dialami dua orang wanita hamil di ST. Mary Medical Centre
pada pertengahan tahun 2009 yang lalu. Dalam rentang waktu yang bersamaan
mereka mendapatkan obat yang berfungsi untuk memaksa janin mati dari rahim .
dimana wanita pertama kehilangan bayi kembar mereka dan wanita yang
kedua(Tesome Sampson) melahirkan secara prematur dengan kondisi bayi
mengalami kerusakan otak yang cukup parah. Wanita yang kedua ini kemudian
menggugat Tenet Health Care Corporation sebagai induk dari ST. Mary Medical
Centre atas nasib malang putrinya yang baru lahir (Traniya). Tesome Sampson
yang seharusnya bedrest sejak kehamilannya menginjak bulan ke 5 seharusnya
mendapatkan obat progesteron suppositoria sebagaimana yang telah diresepkan
dokter tetapi staf rumah sakit keliru dengan memberinya Prostin obat untuk
menginduksi persalinan dan keguguran janin dari rahim. Hal tersebut merupakan
merupakan pelanggaran dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan, distribusi, pengelolaan, pelayanan obat,
informasi obat, pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, UU No 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
10. Kasus bayi nyaris meninggal akibat salah penyintikan obat di Aceh
Aceh, Desember 2013 seorang warga Gampong Meurandeh, Langsa Lama
bernama Mariana berusia 39 tahun pergi ke RSUD Langsa setelah mendapatkan
rujukan dari Dr. Nursal akibat diare yang dialami sang anak yang baru berusia 34
hari. Salah mendapatkan suntikan obat untuk anaknya yang menyebabkan bayinya
mengalami muntah muntah , lemas, kembung. Seharusnya obat yang diberikan
berupa Ranitidin dan Norages malah tertukar dengan pasien lain. Hal tersebut
merupakan pelanggaran terhadap intruksi Dr Nursal yang hanya mememrintah
melakukan infus tanpa suntik.
Dalam kasus ini pihak Instalasi Farmasi Rumah Sakit telah lalai dalam
menjalankan tugasnya sebagai tenaga kefarmasian yang seharusnya dapat
memastikan obat yang diberikan dan diterima oleh pasien sesuai dengan resep yang
telah diberikan dokter. Hal tersebut merupakan kesalahan Apoteker yang lalai
dalam pengecekan obat sehingga berdampak fatal seharusnya apoteker mengecek
ulang obat tersebut dari mulai pengambilan obat, pemberian label obat atau etiket
obat, mengecek tanggal kadaluarsa sampai ketika apoteker memberikan obat
tersebut kepada pasien.
Dan juga merupakan pelanggaran dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang
pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan, distribusi, pengelolaan, pelayanan
obat, informasi obat, pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, UU No
8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
11. Seorang nenek meninggal dunia setelah salah pemberian obat
Tahun 2013, Dawn Britton, nenek berusia 62 Tahun mengalami koma
setelah mengkonsumsi pil untuk penderita diabetes padahal dirinya menderita
Crohn atau peradangan saluran cerna. Seharusnya Dawn Brittonmenerima
prednisolon untukmeredakan Crohn justru beliau mendapatkan Glikazid setelah
menebusnya di Jhoot Pharmacy di Kinswood, Bristol. Dawn Britton kemudian
mengalami koma seblum akhirnya dinyatakan meninggal dunia karena mengalami
cedera otak hipoksia akibat hipoglikemia setelah mengkonsumsi glikazid yang
diberikan seorang apoteker. Dalam kasus ini pihak Instalasi Farmasi Rumah
Sakit telah lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga kefarmasian yang
seharusnya dapat memastikan obat yang diberikan dan diterima oleh pasien sesuai
dengan resep yang telah diberikan dokter. Hal tersebut merupakan kesalahan
Apoteker yang lalai dalam pengecekan obat sehingga berdampak fatal seharusnya
apoteker mengecek ulang obat tersebut dari mulai pengambilan obat, pemberian
label obat atau etiket obat, mengecek tanggal kadaluarsa sampai ketika apoteker
memberikan obat tersebut kepada pasien.
Dan juga merupakan pelanggaran dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang
pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan, distribusi, pengelolaan, pelayanan
obat, informasi obat, pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, UU No
8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
12. Koma setelah mengkonsumsi obat yang salah
Nyonya S baru saja melahirkan mengalami koma selama dua hari setelah
salah mengkonsumsi obat , seharusnya beliau mendapatkan Metilergotamin yang
berfungsi untuk mengontrol pendarahan pasca persalinan dan mempercepat
kembalinya kandungan (uterus) ke keadaan normal, sedangkan obat yang diberikan
mengandung Glibenclamide berfungsi sebgai antidiabetik.
Pasien mengalami koma karena tubuhnya tidak dapat mengatasi dengan cara
mengeluarkan hormon yang menaikkan kadar gula dalam darah karena pasien
bukan penderita diabetes. Dalam kasus ini pihak Instalasi Farmasi Rumah Sakit
telah lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga kefarmasian yang
seharusnya dapat memastikan obat yang diberikan dan diterima oleh pasien sesuai
dengan resep yang telah diberikan dokter. Hal tersebut merupakan kesalahan
Apoteker yang lalai dalam pengecekan obat sehingga berdampak fatal seharusnya
apoteker mengecek ulang obat tersebut dari mulai pengambilan obat, pemberian
label obat atau etiket obat, mengecek tanggal kadaluarsa sampai ketika apoteker
memberikan obat tersebut kepada pasien.
13. Seorang tenaga kefarmasian atau AA yang bekerja di rumah sakit sedang menerima
resep tetapi saat membaca resep tersebut AA tersebut melakukan kesalahan dalam
membaca resep. Penyelesaian : sebagai seorang tenanga kefarmasian baik itu
apoteker maupun asisten apoteker, jika kita mengalami kejadian salah saat baca
resep. Yang harus kita lakukan pertama mengecek ulang lagi resepnya (skrining
resep) apakah resep tersebut benar jika kita tidak dapat membaca jelas apa yang
terdapat dalam resep tersebut kita bisa mengonfirmasi kan kepada dokter yang
bersangkutan/dokter penulis resep tersebut untuk memastikan obat-obat apa saja yg
terdapat dalam resep tersebut.
14. Pada saat pelayanan informasi obat di instalasi farmasi rumah sakit yang dilakukan
oleh seorang apoteker. Suatu ketika ada ibu yang tidak paham cara pemakaian obat
yang akan ditebusnya. Lalu bagaiman cara kita sebagai petugas kefarmasian dalam
menangani kasus seperti itu? Agar sipasien dapat mengerti cara pemakaian obat
yang akan ditebusnya.
Penyelesaiannya sebagai tenaga kefarmasian dimana saat kita menemukan
kasus seperti itu kita dapat melakukan konseling obat atau memberikan edukasi
obat kepada pasien dimulai dari indikasi, kontra indikasi, efek samping, dosis, cara
penggunaan dan penyimpanan obat kepada pasien lewat face to face agar dapat
meningkatkan pengetahuan dan pemahaman pasien dalam penggunaan obat
tersebut sehingga meminimalisir pasien melakukan kesalah an dalam meminum
obat tersebut.
PELANGGARAN ETIKA KEFARMASIAN DI PUSKESMAS
1. Pelayanan kefarmasian oleh bidan atau mantri atau orang yang tidak
memiliki wewenang dan pengetahuan atau wawasan tentang dunia
kefarmasian
Beberapa puskesmas masih ada yang menyerahkan obat kepada pasien bukan
apoteker, melainkan bidan, mantri, perawat, atau orang awam tentang dunia farmasi
karena puskesmas tidak memiliki apoteker atau petugas kefarmasian. Dan masih
banyak juga puskesmas yang hanya memberikan obat kepada pasien secara
langsung tanpa menjelaskan cara pemakaian obat, dosis obat dan fungsi dari obat
yang diberikan itu apa. Tentu hal itu sangat merugikan bahkan berakibat fatal
terutama bagi pasien yang benar benar awam dan tidak mengerti sama sekali
tentang obat itu terutama cara pemakaiannya.
Penyelesaiannya sebaiknya kepala puskesmas lebih bijak lagi dan mengangkat
setidaknya satu atau dua orang petugas kefarmasian untuk bertugas dibagian depo
obat puskesmas sehingga pasien bisa memperoleh informasi yang jelas tentang obat
yang diberikan.
2. pemberian Salep Kedaluwarsa di puskesmas
salah satu puskesmas di Mojokerto melakukan kesalahan dengan
memberikan salep kedaluwarsa pada pasien. Hal ini terjadi akibat adanya
pelanggaran prosedur pengelolaan obat di puskesmas tersebut. Dimana seharusnya
obat obatan dapat disimpan menurut sistem FIFO dan FEFO selain itu sebaiknya
untuk obat yang kadaluarsa atau rusak disimpan terpisah sehingga tidak ada
kesalahan dalam mengambil obat. Penyelesaiannya seharusnya apoteker atau
petugas kefarmasian mengecek ulang obat tersebut dari mulai pengambilan obat,
pemberian label obat atau etiket obat, mengecek tanggal kadaluarsa sampai ketika
apoteker memberikan obat tersebut kepada pasien. Namun apoteker atau petugas
kefarmasian tidak melakukan hal tersebut selain itu pada sistem penyimpanan obat
yang kadaluarsa dipelayanan juga terjadi kesalahan. Padahal apoteker bertanggung
jawab pada bagian management maupun pelayanan sehingga dapat meminimalisir
kesalahan tersebut dan hal tersebut tidak sesuai dengan kode etik profesi apoteker.
Dan juga merupakan pelanggaran dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang pekerjaan
kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan, distribusi, pengelolaan, pelayanan obat,
informasi obat, pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, UU No 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen.
3. Puskesmas Pasar Rebo Serahkan Kasus Bayi Meninggal ke IDI
Kepala Puskesmas Kecamatan Pasa Rebo, Maryati Kasiman mengatakan, kasus
meninggalnya Razqa Alkholifi Pamudji (5 bulan) telah diserahkan ke Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) Jakarta Timur. Pihaknya juga menyerahkan kepada IDI untuk
melakukan pemeriksaan terhadap dokter yang saat itu menangani pasien balita
tersebut. Ia menjelaskan, dokter yang menangani pasien ini bernama Bono
Suwignyo. Orang tersebut merupakan dokter umum non pegawai negeri sipil (PNS)
yang baru bekerja sekitar lima tahun."Belum diketahui penyakit lain yang diderita
pasien hingga akhirnya meninggal dunia. Kami sudah laporkan ke IDI Jakarta
Timur untuk dilakukan pemeriksaan," katanya, Rabu (18/5).
Menurutnya, jika dalam pemeriksaan IDI ditemukan terjadi pelanggaran medis,
dokter tersebut akan dikeluarkan dari Puskemas Pasar Rebo. Terkait dengan
pelanggaran kode etik kedokteran akan diserahkan kepada Majelis Kode Etik
Kedokteran.Maryati menampik, adanya malapraktik atas Razqa Alkholifi Pamudji.
Bayi laki-laki tersebut diduga meninggal dunia karena penyebab lain yang harus
diselidiki lebih lanjut, termasuk dengan cara autopsi."Kami tidak melakukan
malapraktik, karena sudah menjalankan sesuai prosedur. Kami siap diperiksa polisi
maupun petugas terkait," lanjut Maryati.
Dikatakan Maryati, pada Rabu (11/5) lalu, korban diantar orangtuanya untuk
imunisasi DPT 3 di puskesmasnya. Karena demam tinggi, pada Minggu (15/5),
korban dibawa kembali ke puskemas ini untuk berobat. Pihaknya kala itu
menganjurkan keluarga korban untuk melakukan pengambilan sampel darah
balitanya itu pada Senin (16/5). Namun yang bersangkutan tidak hadir."Hari
Minggu itu kita tidak lakukan pengambilan darah karena pasien baru demam hari
kedua. Prosedurnya, pengambilan darah dilakukan setelah hari ketiga," terangnya.Ia
menambahkan, pengambilan sampel darah dilakukan jika ada faktor lain yang
menyebabkan kondisi gawat sangat tinggi. Bila kondisinya demikian, sampel darah
bisa diambil walaupun pasien baru menderita demam di hari pertama. Misalnya,
pendarahan, kejang, kaku kudukan dan kesadaran menurun.
4. Diduga Perawat Lalai karena Main Handphone, Pasien Meninggal
Kematian M. Rizki Syahputra di Puskesmas Panjang, Bandar Lampung. Nyawa
Rizki tak tertolong diduga gara-gara perawat puskesmas lalai dan asyik
bermain handphone (HP). Rizki yang baru berusia 14 tahun
menjadi korban kecelakaan tunggal pada Rabu (3/4). Ibu korban, Lisnawati,
menyesalkan tindakan perawat puskesmas yang lalai menangani korban kecelakaan
yang sedang dalam kondisi gawat darurat. Rizki dibawa warga ke Puskesmas
Panjang setelah terjadi kecelakaan tunggal. Ia dibawa ke ruang gawat darurat
sekitar pukul 15.30 WIB. Saat sampai puskesmas, korban hanya diberikan infus dan
obat luka. Setelah itu Rizki dibiarkan hingga keluarga datang pada pukul 17.00.
“Kalau memang tidak sanggup segera dirujuk ke rumah sakit umum,” kata
Lisnawati. Berdasarkan keterangan warga yang berobat di sana, Lisnawati
mendapat informasi selama anaknya di ruang gawat darurat puskesmas perawat
justru asyik bermain HP. Menurut Lisnawati seharusnya perawat langsung
mengambil tindakan dan penangan cepat langsung merujuk dan membawa ke
rumah sakit. Saat keluarga datang, korban sudah meninggal.
Pelayanan Puskesmas Panjang sudah sering dikeluhkan masyarakat setempat.
Perawat yang bertugas sering mengacuhkan pasien yang datang berobat.
Penanganan pasien yang sakit hanya diberikan pengobatan seadanya padahal
banyak pasien yang mengidap penyakit parah. Rizki mengalami kecelakaan di jalan
raya saat mengendarai motor supranya. Dalam perjalanan, menurut keterangan
warga, sebelum jatuh di aspal, ia terserempet mobil truk fuso. Saat terjatuh dari
motor, kondisi tubuhnya mengalami luka yang cukup parah. Warga yang
menyaksikan kecelakaan tersebut melarikan korban ke Puskesmas Panjang yang
dinilai terdekat. Pihak Puskesmas Panjang Belum bisa dikonfirmasi karena tidak
ada lagi petugas yang berjaga di tempat itu. Kepala Dinas Kesehatan Bandar
Lampung Edwin Rusli menyatakan akan menindak lanjuti adanya keluhan
masyarakat terkait dengan pelayanan kesehatan yang diberikan petugas di
Puskesmas Panjang.Ia berjanji jika keluhan masyarakat terbukti di lapangan, dinas
akan memberikan sanksi tegas kepada petugas yang bersangkutan. Kasus tersebut
akan dilaporkan kepada Wali Kota Bandar Lampung Herman HN. Penyelesaiannya
seharusnya para petugas kesehatan yang berjaga bisa membagi waktu antar urusan
pribadi termasuk bermain handphone dengan urusan pekerjaan. Dimana petugas
berada dipuskesmas berarti selama raganya dipuskemsas petugas tersebut
semaksimal mungkin memberikan pelayanan terbaiknya untuk kesembuhan dan
kesahatan pasien.
5. Kasus mayat di bopong,kepala dinas tanggerang siap terima sanksi
Kasus penolakan pelayanan jenazah oleh Puskemas Cikokol menyedot
perhatian banyak orang, dan memancing kemarahan publik. Hal tersebut membuat
walikota Tangerang kecewa akan pelayanan puskesmas kepada
masyarakat.Menanggapi kemarahan publik, Liza Puspadewi selaku kepala dinas
kesehatan Kota Tangerang menyampaikan permohonan maaf, kepada keluarga
korban dan juga kepada masyarakat. Permohonan maaf tersebut juga diikuti oleh
kesiapan dinas kesehatan kota Tangerang untuk memperbaiki layanan kesehatan di
Kota Tangerang agar bisa lebih baik dalam melayani masyarakat.
Selain menyampaikan permohonan maaf, Liza juga siap menerima sanksi yang
akan diberikan oleh walikota, sebagai bentuk tanggung jawab atas kelalaian dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Penyelesaiannya seharusnya sebagai fasilitas kesahatan puskesmas tesebut siap
dengan segala konsekuensi yang terjadi dilapangan termasuk pelayanan jenazah
tentu saja hal itu sangat bersinggungan dengan fungsi utama faskes tersebut yang
seharusnya memberikan pelayanan yang paripurna ke pasien sekalipun sudah
meninggal.
6. Pelaku Malpraktek Disidang
Sidang majelis keperawatan Banyuwangi menganggap Abdul Anam
melakukan kelalaian dalam memberikan tindakan medis. Anam, dianggap lalai
melakukan diagnose awal dan terlambat melakukan rujukan medis yang
membawa kerugiaan pada pasien bernama Jauhari pria berusia 60 tahun, warga
Dusun Umbulsari, Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo dimana Kulit di
sekujur tubuh melepuh dan kakinya lumpuh pasca disuntik dan menenggak obat
yang diberikan Abdul Anam, 28 November lalu. Meski kondisi parah, Anam
melarang keluarga korban melakukan rujukan ke puskesmas atau rumah sakit.
Selama tujuh hari, korban tidak makan karena tenggorokan dan gusi mengalami
peradangan. 
Ketua Persatuan Perawat Nasional Banyuwangi, Ahmad Sukarjo mengatakan,
kasus tersebut terpaksa dibawa dalam sidang majelis majelis mengkategorikan
kesalahan perawat Puskesmas Bajul Mati, Kecamatan Wongsorejo itu, sebagai
pelanggaran ringan.
Anam, diwajibkan menanggung seluruh biaya perawatan pasien hingga
sembuh yang dibuktikan dengan menandatangani surat pernyataan bermaterai.
Namun, dicabut atau tidaknya ijin praktek Anam menjadi wewenang Kepala
Dinas Kesehatan. Penyelesaiannya seharusnya sebelum menyuntik dan
memberikan obat, perawat harus menanyakan atau mendiagnose apakah pasien
menderita alergi terhadap obat tertentu. Bila muncul reaksi terhadap pemakaian
obat, katanya, perawat juga harus secepatnya membawa pasien ke puskesmas atau
rumah sakit. "Pasien baru menerima awat inap setelah tujuh hari kejadian ."
7. Perawat puskesmas yang Membantu Aborsi Terancam di Penjara
Mudjiati, pegawai Puskesmas Peneleh Surabaya yang menjadi terdakwa kasus
aborsi ilegal. Mudjiati yang dalam kasus ini membantu dr Suliantoro Halim
(terdakwa lain) melakukan aborsi janin. Menurut Mulyono, praktek aborsi itu
dilakukan terhadap tiga pasien, yakni Ade Tin Suertini, Indriwati Winoto dan Yuni
Kristanti. Aborsi terhadap Tin terjadi pada 16 Juni 2007 pukul 17.00WIB sampai
dengan 19.30 WIB di lokasi praktek dr Halim, Jl Kapasari Nomor 4
Surabaya.Dalam praktek ini, dr Halim meminta pasien membayar Rp 2 juta, namun
oleh Tin baru dibayar Rp 100 ribu. Peranan Mudjiati dalam kasus ini adalah
membantu memersiapkan peralatan untuk operasi aborsi dengan cara suction
(dihisap) menggunakan alat spet 50 cc. & ldquo; Adanya aborsi ini diperkuat
dengan visum et repertum Nomor 171/VI/2007 atas nama Ade dari RS
Bhayangkara Samsoeri Mertojoso,” kata Mulyono. st19.
Penyelesaian Mudjiati wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya karena
telah melanggar Pasal 348 (1) KUHP Jo Pasal 56 ke 1 KUHP jo Pasal 65 (1)
KUHP. Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Mulyono
SH, bahwa tindakan yang dilakukan nya telah menyalahi praktek kesehatan Pasal
15 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kesehatan.
8. Kasus Ibu Bayi Terlantar, Begini Penjelasan Kepala Puskesmas
Kasus kematian bayi 7 bulan bernama Icha Selfia, di Sidamulya, Brebes, yang
diduga diabaikan petugas Puskesmas masih berlanjut. Kepala Puskesmas
Sidamulya, dr. Arlinda Rosmelani Ia membantah tudingan bahwa anak buahnya
menolak menangani bayi Icha. Ia juga menyebut insiden itu bukanlah sepenuhnya
kesalahan petugas puskesmas. Ia menyebut ibu sang bayi juga berkontribusi pada
kematian putrinya. Pasalnya, saat datang ke puskesmas, ibu bayi Icha tidak
membawa satu pun kelengkapan administrasi. Padahal, petugas membutuhkan data
itu untuk dimasukkan ke dalam sistem informasi daerah (SIDA).
Pihak puskesmas juga selalu mengingatkan pasien dan keluarganya untuk
membawa data administrasi seperti kartu keluarga."Karena saat itu tidak bawa,
petugas kami minta dia ambil. Tapi dia tidak balik lagi," kata dia. Meski begitu,
Arlinda mengakui kesalahan yang dilakukan anak buahnya. Seharusnya, kata dia,
semua pasien sakit yang datang ke puskesmas harus dilayani dengan baik."Memang
kesalahan kami petugas di bagian depan tidak ada tenaga medis, jadi tidak bisa
mendeteksi. Paling tidak ada tenaga rekam medis," katanya. Sementara itu, Bupati
Brebes Idza Priyanti dan anggota DPRD Komisi IV, Selasa, 12 Desember 2017,
menggelar inspeksi mendadak (Sidak) ke puskesmas yang berada di Kecamatan
Wanasari tersebut. Idza juga meminta maaf kepada keluarga almarhumah atas
insiden yang terjadi. Ia menyebut apa yang terjadi saat itu adalah kesalahpahaman
antara petugas puskesmas dengan ibunda korban, Emiti.
penyelesaiannya Bupati Brebes Idza Priyanti memberikan sanksi tegas kepada
petugas puskesmas yang bertindak di luar prosedur."Tentu ada sanksinya sesuai
aturan yang berlaku. Yang bersangkutan (petugas puskesmas) juga sudah dipindah
ke bagian staff TU. Tak hanya petugas puskesmas saja yang mendapatkan sanksi,
Kepala Puskesmas pun demikian. "Untuk kepala puskesmas kita evaluasi
kinerjanya dan lakukan sanksi berupa pembinaan lebih lanjut. Guna mengantisipasi
hal itu terulang, Bupati langsung mengumpulkan 38 kepala Puskesmas dan ratusan
petugas pelayanannya untuk diarahkan dan patuh terhadap SOP.
9. IAI Desak Pemerintah Tugaskan Apoteker di Puskesmas
Pemberian obat oleh orang yang bukan menjadi apoteker atau asisten
apoteker memicu kesalahan vatal tersebut. Kejadian ini tidak sesuai dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 Tahun 2009 dan UU No. 36 Tahun 2009 Pasal
108 Tentang Kesehatan.
Menurut Wartana, kebijakan pemerintah mengatur terkait kefarmasian itu
karena obat adalah produk khusus. Karena sifatnya khusus, pengaturan, pemberian
dan yang melakukan juga wajib hukumnya memiliki keahlian di bidangnya.
Mencegah hal serupa terulang, pihaknya meminta agar pemerintah daerah,
pemerintah kota madya (pemkot) tidak menganggap masalah ini sebagai hal yang
sepele. Pemerintah daerah yang mengelola puskemas, klinik atau rumah sakit
kelipun harus mengikuti amanat regulasi tersebut.
Kondisi ini bukan baru ditemukan, namun krisis apoteker dan asisten
apoteker terjadi sejak lama. Untuk itu, pemerintah daerah ke depannya akan
memikirkan cara untuk merekrut apoteker atau asisten apoteker. Rencananya,
petugas khusus akan akan disebar pada puskemas yang tingkat kunjungan
pasiennya tinggi. “Kita tidak menutup mata dan memang sebagian besar di
puskemas terutama yang jauh dari kota itu tidak ada apoteker atau asisten apoteker.
Secara perlahan, kami akan programkan untuk menempatkan apoteker di puskemas
yang tergolong pelayanznnya tinggi,” jelasnya.
Diberitakan sebelumnya, Ketut Yasa (58), warga Kelurahan Penarukan,
Kecamatan Buleleng protes setelah mendapat obat salah ketika memeriksakan sakit
mata di Puskemas Buleleng Tiga. Setelah diperiksa oleh dokter, dia diberikan obat
tetes telinga oleh petugas yang bertugas di ruang pengambilan obat. Karena tidak
mengerti obat-obatan, tetes telinga itu tetap digunakan, sehingga sakitnya
bertambah parah. Dia kembali ke puskemas dan petugas kembali memberikan obat
tetes telinga. Merasa dirugikan, Yasa protes dan mengancam akan menempuh jalur
hukum jika pengelihatannya bertambah parah akibat kesalahan obat.
(mudiarta/balipost). Penyelesaiannya sebaiknya kepala puskesmas lebih bijak lagi
dan mengangkat setidaknya satu atau dua orang petugas kefarmasian untuk
bertugas dibagian depo obat puskesmas sehingga pasien bisa memperoleh informasi
yang jelas tentang obat yang diberikan.
10. kelalaian Apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas.
Kelalaian apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian berupa salah
obat, salah pasien dan salah nama pasien diakibatkan tingkat kunjungan pasien yang
begitu banyak dan masing-masing puskesmas hanya memiliki 1 (satu) apoteker
yang menjalankan pekerjaan kefarmasian di puskesmas. Tuntutan pasien yang ingin
segera mendapatkan obat dan kurangnya kesadaran pasien dalam mengantri untuk
mendapatkan obat sebagai salah satu faktor penyebab kelalaian apoteker di
puskesmas. Kelalaian berupa alergi obat dan aturan pakai obat diakibatkan apoteker
tidak dapat menjalankan seccara optimal pekerjaan kefarmasian dipuskesmas, resep
datang yang seharusnya dikaji oleh apoteker tidak dilaksanakan dengan baik,
apoteker biasanya hanya membaca resep dan langsung menyiapkan obat tanpa
memperhatikan dengan teliti persyaratan farmasetik berupa bentuk dan kekuatan
sediaan, dosis dan jumlah obat, stabilitas dan ketersediaan, aturan dan cara
penggunaan dan inkompabillitas, selain menyampingkan pengkajian farmasetik
apoteker juga tidak melakukan dengan baik persyaratan klinis yang ada dalam resep
yang seharusnya dikontrol terlebih dahulu. Alergi obat yang terdapat pada pasien
seharusnya apoteker menanyakan kepada pasien tentang riwayat pengobatan pasien
karena dokter tidak selamanya menayakan atau tidak mengetahui riwayat alergi obat
pada pasien.
Karena tidak ada kontrol oleh apoteker dalam pengkajian resep terutama dalam
persyaratan klinis yang meliputi ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan
obat, duplikasi pengobatan, alergi, interaksi dan efek samping obat, kontra indikasi
dan efek sedatif. Ada dua jenis Penegakan hukum akibat terjadinya kelalaian
apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas diselesaikan
dengan jalur di luar pengadilan, dengan mengedepankan hak-hak dari pasien atau
korban, dimana pasien yang mengalami kerugian akibat kelalaian apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, langsung diselesaikan dengan mengganti obat
yang salah dan apabila terjadi efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan
obat maka dilakukan pengobatan gratis sesuai dengan ketentuan. Apoteker yang
terbukti melakukan kelalaian dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian di berikan
sanksi administratif, perdata bahkan bisa masuk ranah pidana.
Penyelesaiannya Dalam kasus ini pihak Instalasi Farmasi Puskesmas telah lalai
dalam menjalankan tugasnya sebagai tenaga kefarmasian yang seharusnya dapat
memastikan obat yang diberikan dan diterima oleh pasien sesuai dengan resep yang
telah diberikan dokter. Hal tersebut merupakan kesalahan Apoteker yang lalai dalam
pengecekan obat sehingga berdampak fatal seharusnya apoteker mengecek ulang
obat tersebut dari mulai pengambilan obat, pemberian label obat atau etiket obat,
mengecek tanggal kadaluarsa sampai ketika apoteker memberikan obat tersebut
kepada pasien apakah sudah sesuai dengan resep. Dan juga merupakan pelanggaran
dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan,
penyimpanan, distribusi, pengelolaan, pelayanan obat, informasi obat,
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional, UU No 8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen. Sebagai pasien seharusnya kita sedikit bersabar dalam
menunggu antrean obat, supaya petugas kefarmasian tidak merasa diburu buru yang
berakibat salah mengambil obat dll.
PELANGGARAN ETIKA FARMASI DI INDUSTRI HERBAL
1. Obat Tradisional atau herbal Ilegal
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memusnahkan 245.570 kemasan
produk obat tradisional atau herbal ilegal senilai Rp7,3 miliar.Obat tradisional yang
terdiri dari 43 jenis obat itu disita dari sebuah Industri Herbal di Parung, Bogor
pada 2 Februari lalu. Obat tradisional ilegal itu mengandung bahan kimia obat
seperti Fenilbutazon, Sildenafil Sitrat, dan Parasetamol yang dapat membahayakan
kesehatan masyarakat.
Penyelesaiannya Tersangka harus mendapatkan tindak pidana yang sesuai
karena telah melanggar pasal 196 Jo Pasal 98 ayat 2 dan 3 dan/atau pasal 197 Jo
Undang-Undang No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan dan Pasal 8 ayat 1 huruf a
dan d Undang-Undang No 8 Tahun 99 tentang perlindungan konsumen dan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dengan Pasal 197
dan/atau 196 Selain itu tersangka juga harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya itu karena telah merugikan banyak konsumen baik apotek maupun
masyarakat yang membeli obat tersebut.
2. Obat tradisional atau herbal yang mengandung BKO
Industri Obat Tradisonal Atau Herbal di Bumi Ayu Kabupaten Brebes, Jawa
Tengah tertangkap tangan memproduksi Obat Tradisonal Atau Herbal yang
mengandung BKO dan tidak memiliki izin produksi selain itu industri Obat
Tradisonal Atau Herbal tersebut tidak memiliki Apoteker Penanggung Jawab
Produksi dan tidak memenuhi persyaratan CPOB. Ruang produksi sengaja di desain
seperti Bunker bawah tanah yang bertingkat dua.
Penyelesaiannya seharusnya Industri Obat Tradisonal Atau Herbal tersebut
telah memenuhi persyaratan CPOB dan minimalnya memiliki satu atau dua orang
Apoteker Penanggung Jawab Produksi selain itu mendaftarkan izin produksi
sehingga produksi yang dilakukan tidak ilegal. Selain itu Industri Obat Tradisonal
Atau Herbal wajib mempertanggung jawabkan perbuatannya pada ranah hukum
dan menarik segala produk yang telah diedarkannya juga memberikan kompensasi
kepada orang yang telah dirugikan atas produk tersebut.
3. Iklan Obat Herbal Bintang Toedjoe Masuk Angin
Saat ini obat herbal masuk angin dikuasai oleh dua produk, yaitu Tolak Angin
dan Bintang Toedjoe Masuk Angin. Tolak angin adalah produk dari PT.
SIDOMUNCUL yang sejak lama telah memasarkan obat-obatan herbal dan jamu.
Sedangkan salah satu anak perusahaan PT. KALBE FARMA, Tbk yaitu PT.
BINTANG TOEDJOE yang juga meluncurkan produk obat herbal masuk angin.
Iklan produk tersebut terlihat saling menjatuhkan dan membandingkan produknya
satu sama lain.Terlihat jelas bahwa iklan Bintang Toedjoe masuk angin menyindir
produk dari Tolak Angin dengan slogannya “Orang Bejo Lebih Untung Dari Orang
Pintar”, sedangkan Tolak Angin sendiri memiliki slogan “Orang Pintar Minum
Tolak Angin” kenyataannya Tolak Angin yang lebih dahulu memasarkan produk
obat herbal masuk angin di Indonesia bahkan sampai keluar negeri. Bahkan untuk
iklan terbaru produk Bintang Toedjoe menyinggung produk Tolak angin dengan
slogan “Orang bejo berinovasi, lalu orang pintar ngapain?” Bintang Toedjoe Masuk
Angin sebagai pendatang baru cukup berani menggunakan slogan yang secara tidak
langsung menyindir produk Tolak Angin sebagai market leader.
Dalam iklan ini juga terdapat Cita Citata mengenakan pakaian yang cukup
seksi sambil menyanyikan lagu yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan iklan,
juga bergoyang dengan gerakan yang “menggoda” sambil memegang busa pencuci
mobil. Jika dikaitkan dengan kode etik periklanan, iklan ini menyimpang dalam
aspek tatakrama salah satunya Pornografi dan Pornoaksi. Seperti yang terdapat
dalam Tata Krama Isi Iklan yang berbunyi “Iklan tidak boleh mengeksploitasi
erotisme atau seksualitas dengan cara apapun, dan untuk tujuan atau alasan
apapun.” KPI mengingatkan berdasarkan Pasal 43 Pedoman Perilaku Penyiaran dan
Pasal 58 Standar Program Siaran KPI Tahun 2012 maka ketentuan siaran iklan
harus tunduk pada Etika Pariwara Indonesia (EPI).
Iklan harus menghormati dan melestarikan nilai-nilai budaya Indonesia.
Budaya Indonesia yang menjujung norma kesopanan. Hal demikian dapat
memberikan pengaruh buruk terhadap khalayak terutama anak dan remaja.
Penyelesaiannya Seharusnya iklan ini tidak boleh dengan sengaja meniru iklan
produk pesaing sedemikian rupa sehingga dapat merendahkan produk pesaing,
ataupun menyindir atau membingungkan khalayak, karena dengan merendahkan
dan saling menjatuhkan akan membuat produk tersebut tidak percaya dan akan
terlihat buruk dimata konsumen. Maka dari itu bersainglah secara sehat dan
kreatifitas, bukannya bersaing dengan cara menyindir dan merendahkan produk
pesaing yang dapat melanggar peraturan periklanan dunia.
4. Produksi jamu palsu
bahan yang digunakan untuk membuat obat tradisional tersebut antara lain
tepung temulawak dan paracetamol. Selain bahan diracik di dalam baskom,
kemudian serbuk jamu dimasukkan dalam cangkang kapsul. Selain itu tersangka
juga memproduksi jamu dalam bentuk sachet yang dipres menggunakan alat pres
manual.
Penyelesaiannya Konsumen harus lebih berhati-hati dan jeli lagi dalam
memilih obat-obat tradisional. Dengan cara mengecek adanya bpom pada kemasan,
lalu di cek di situ BPOM yaitu, cekbpom.pom.go.id.

5. Seorang pria di Surabaya memproduksi jamu oba kuat ilegal dirumah. Pria
tersebut mengatakan, ada 2 bahan yang digunakan tersangka, yakni tepung
herbal dan sildenafil. Bahan terakhir ini, diakuinya berkhasiat memberikan
kekuatan lebih dalam berhubungan seks. Namun, dala proses produksi dan
pengedaran tersangka tidak mempunyai izin. Sehingga obat ini dianggap illegal
oleh polisi. Terlebih penggunaan sildenafil dianggap berbahaya apabila tidak
sesuai resep dokter. Jamu kuat ini telah diedarkan di Jawa Timur selama 2 tahun
dan meraup omzet Rp10-15 juta per-bulannya.
Penyelesaiannya untuk konsumen Pastikan anda membeli obat di Apotek,
bukan di took obat, Perhatikan kemasan obat, dan Periksa tanggal kadaluwarsa
obat dan izin edar.

Anda mungkin juga menyukai