Anda di halaman 1dari 8

Tugas Kasus

BPOM Grebek Pabrik Jamu Palsu

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan penggrebekan terhadap dua pabrik
jamu rumahan di Cisauk, Kabupaten Tangerang. Dari tempat kejadian, ditemukan produk jamu
palsu/jamu oplosan siap jual senilai miliaran rupiah.

"Hasil penggerebekan jamu oplosan pada Jumat(5/4) itu, ditaksir nilainya hampir Rp 2,8 miliar,"
kata Kepala BPOM Lucky S Slamet, usai pencanangan kelompok kerja nasional penanggulangan
obat tradisional mengandung bahan kimia obat (BKO), di Jakarta, Senin (6/4).
Lucky, sebagaimana dilansir Antara, menjelaskan bahwa di lokasi pertama ditemukan jamu
dengan merk Jawa Dwipa Tawon Klangkeng. Di kemasannya tertulis diproduksi oleh UD Putri
Kinasih Banyuwangi Jawa Timur.
"Padahal diproduksi di Tangerang, jadi ini palsu. Kita temukan juga yang masih di dalam drum
biru sekitar 109 drum masing-masing 125 liter. Lalu ada jamu masak dalam panci dan juga
dalam kemasan botol 600 ml dan 120 ml," jelas Lucky.
Selain palsu, ditemukan juga kandungan bahan kimia obat dalam campuran jamu yaitu
fenilbutazon, yang sebenarnya digunakan untuk pegal linu.
Sementara di pabrik kedua yang lokasinya tidak jauh dari pabrik rumahan pertama, ditemukan
enam produk jamu, yaitu Madu Klangkeng Jamu Tradisional Jawa Asli Cap Putri Sakti, obat
herbal pegal linu dan asam urat Madu Tawon Klangkeng. Selain itu, jamu Pegal Linu Mahkota
Dewa, Jamu Gali-Gali dan Jamu Amat Kuat.
"Yang kita temukan ada dua kelompok yaitu kelompok pegal linu ditambahkan fenilbutazon dan
kedua, obat kuat pria ditambahkan sildenasil. Sebenarnya kedua bahan kimia ini, benar kalau
digunakan dengan resep dokter. Tapi yang terjadi ditambahkan semudah mencampur gula dalam
adonan," tambah Lucky.
Sementara hasil temuan BPOM sejak Januari hingga Maret 2013 terhadap obat tradisional
mengandung bahan kimia obat senilai Rp 1,8 miliar. (TMA)

Pembahasan Kasus

Pada kasus obat tradisional diatas ditemukan jamu yang mengandung bahan kimia obat
(BKO) yaitu fenilbutazon dalam jamu pegal linu dan sildenafil dalam jamu kuat atau dalam hal
ini disebut dengan jamu palsu. Penambahan bahan kimia obat kedalam campuran obat tradisional
dilarang secara keras oleh pemerintah, dikarenakan penambahan bahan kimia obat tersebut
dosisnya tidak sesuai dengan dosis lazim, dapat dibawah atau melebihi dosis lazim, sehingga
dapat menyebabkan keracunan dan efek samping lain yang membahayakan konsumen.
Larangan penambahan bahan kimia obat ke dalam obat tradisional secara tegas diatur
dalam undang-undang, yaitu Permenkes No. 246 tahun 1990 tentang izin usaha industri obat
tradisional dan pendaftaran obat tradisional pasal 39 ayat 1 dan Permenkes No. 006 tahun 2012
tentang industri dan usaha obat tradisional pasal 37 bahwa industri obat tradisional (IOT) atau
industri kecil obat tradisional (IKOT) dilarang memproduksi segala jenis obat tradisional yang
mengandung bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat. Kemudian pada
Permenkes No. 006 tahun 2012 pasal 33 tentang industri dan usaha obat tradisional juga
menyatakan bahwa setiap industri dan usaha obat tradisional berkewajiban menjamin keamanan,
khasiat/manfaat dan mutu produk obat tradisional yang dihasilkan.
Selain menambahkan BKO, pelaku usaha juga memalsukan nama pabrik atau tempat
produksi pada kemasan produk. Pada kemasannya tertulis diproduksi oleh UD Putri Kinasih
Banyuwangi Jawa Timur, sementara produksi dilakukan di Tangerang, sehingga jamu tersebut
merupakan jamu palsu dan jelas tidak memiliki izin usaha dan izin edar. Menambahkan BKO
kedalam campuran obat tradisional dan pemalsuan informasi pada kemasan sangat bertentangan

dengan Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pasal 4 bahwa
konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa, pasal 7 bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, dan pasal 8 ayat 1 bahwa pelaku usaha dilarang
memproduksi atau memperdagangkan barang/jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga pelaku usaha dapat dikenakan sanksi berdasarkan Undang-undang No. 36 tahun
2009 tentang kesehatan pasal 196 bahwa Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau
persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal
98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dikarenakan obat tradisional tersebut mengandung BKO dan memalsukan informasi
tempat produksi, tentu sangat jelas bahwa usaha obat tradisional tersebut tidak memiliki izin
usaha dan tidak terdaftar. Hal ini sangat jelas berdasarkan Permenkes No. 246 tahun 1990
tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional, dinyatakan bahwa
dalam pendaftaran Obat Tradisional, obat tradisional harus memenuhi persyaratan :
1. Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia
2. Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi persyaratan
yang ditetapkan
3. Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai
obat
4. Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotika

Produk tersebut juga jelas tidak terdaftar dikarenakan berdasarkan Permenkes No. 246
tahun 1990 pasal 25 bahwa Pendaftaran Obat Tradisional diberikan kepada lndustri Obat
Tradisional (IOT) atau lndustri Kecil Obat Tradisional (IKOT) yang telah mendapatkan lzin
Usaha. Sementara izin usaha tidak akan diberikan jika pelaku usaha tidak memberikan informasi
lokasi industri yang benar, sebagaimana tercantum pada Permenkes No. 246 tahun 1990 pasal 16
dan pasal 20. Selanjutnya IOT dan IKOT wajib medapat izin Menteri kecuali uasaha jamu
racikan dan usaha jamu gendong sebagaimana dinyatakan pada Permenkes No. 246 tahun 1990
pasal 2.
Pelaku usaha dilarang keras memproduksi dan mengedarkan sediaan farmasi yang tidak
memiliki izin edar, informasi menyesatkan, dan tidak memenuhi persyaratan keamanan yang
sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 106
ayat 1 bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin
edar, ayat 2 bahwa Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi
persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan, dan ayat 3 bahwa pemerintah
berwenang mencabut izin edar dan memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan farmasi dan
alat kesehatan yang telah memperoleh izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga pelaku usaha dapat dikenakan sanksi berdasarkan Undang-undang No. 36 tahun
2009 tentang kesehatan pasal 197 bahwa Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).

Sehingga dalam kasus ini pelaku usaha banyak melakukan pelanggaran baik dalam
undang-undang obat tradisional, undang-undang perlindungan konsumen, dan undang-undang
kesehatan dalam produksi dan pengedaran obat tradisional seperti penambahan BKO, tidak
memiliki izin usaha dan izin edar.

Proses Hukum Penyimpangan Produksi Obat Tradisional oleh BPOM dan POLRI
Sebagai institusi yang mempunyai tugas pokok melakukan pengawasan terhadap obat dan
makanan, termasuk dalam kasus OT-BKO, Badan POM akan menindaklanjuti setiap pelanggaran
di bidang obat dan makanan dengan pemberian sanksi administratif dan sanksi pro-justitia /
penyidikan. Apabila dalam pengawasan rutin oleh bagian Pemdik BPOM atau berdasarkan
laporan masyarakat ditemukan suatu kasus, maka BPOM dapat memberikan sanksi administratif
berupa pemberian surat teguran, surat peringatan, pemusnahan produk, sampai pencabutan izin.
Pemilik sarana juga akan diminta membuat surat pernyataan yang menyebutkan bahwa pemilik
tidak akan mengulangi perbuatan melanggar hukum lagi, dan jika mengulangi perbuatannya
maka pemilik bersedia untuk diajukan ke pengadilan untuk proses pro justisia.
Sarana-sarana yang bermasalah seperti toko jamu tersebut biasanya diawasi dan diperiksa
kembali dalam kurun waktu minimal enam bulan. Jika pada saat pemeriksaan ulang yang
dilakukan, tidak ditemukan pelanggaran lagi, maka kasus tidak dilanjutkan. Namun, jika pada
saat pemeriksaan ulang masih ditemukan pelanggaran, maka pemilik akan diberikan sanksi
hukum atau pro justisia. Petugas Pemdik BPOM yang melakukan sidak pada saat itu dapat
melakukan tindakan tegas. Petugas dapat melakukan penanganan TKP dengan menggeledah dan
menyita barang bukti dari sarana tersebut. Tindakan-tindakan yang dilakukan nantinya
didokumentasikan dalam suatu Laporan Kejadian yang merupakan suatu laporan tertulis yang

dibuat oleh petugas tentang adanya suatu perstiwa yang diduga sebagai tindak pidana, baik yang
ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak
atau kewajiban berdasarkan undang-undang. Laporan Kejadian ini menjadi salah satu dasar
dalam membawa kasus ini ke pengadilan.
Laporan Kejadian ini nantinya akan diterima oleh Kepala Balai Besar POM untuk
ditindaklanjuti. Kepala Balai Besar POM akan mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya
Penyidikan kepada PPNS BPOM. Dengan adanya surat perintah ini, penyidikan terhadap suatu
kasus akan dimulai.
Dalam pelaksanaan tugas penyidikan ini, PPNS BPOM berada di bawah koordinasi dan
pengawasan penyidik POLRI. Jika perkara yang ditangani PPNS BPOM menyangkut beberapa
kewenangan atau menyangkut undang-undang diluar kewenangannya maka dapat dilakukan
pelimpahan penyidikan kepada penyidik POLRI. PPNS dan penyidik POLRI memantau proses
hukum selanjutnya sampai vonis yang ditetapkan. Adapun tahapan penyidikan kasus yang
melibatkan kerjasama antara penyidik BPOM dengan penyidik POLRI digambarkan dalam
skema berikut:

Berdasarkan skema di atas, setelah dibuat Laporan Kejadian maka tahap selanjutnya
dapat dilakukan investigasi awal yang merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk mencari
dan mengumpulkan bukti permulaan terhadap adanya dugaan suatu tindak pidana untuk dapat
mengungkap kasuskasus tindak pidana di bidang obat dan makanan, yang bermuara pada
diketahuinya aktor utama, modus operandi dan luas jaringannya. Investigasi ini dilakukan
dengan menggunakan SPDP (Surat Perintah Dimulainya Penyidikan) yang dikeluarkan Kepala
Balai Besar POM seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dalam Keputusan Bersama Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No
IIK.00.04.72.02578 tanggal 16 Agustus 2002 Pasal 5 Ayat 1 disebutkan bahwa dalam hal
ditemukan adanya kasus yang berindikasikan tindak pidana, maka BPOM dapat menangani
sesuai lingkup tugasnya dan dalam hal-hal tertentu BPOM dapat bersama POLRI atau
menyerahkan penanganan sepenuhnya kepada POLRI.
Penyidikan lebih lanjut dapat dilakukan melalui upaya paksa seperti pemanggilan,
penangkapan dan penahanan (dengan bantuan POLRI), serta penggeledahan dan penyitaan. Dari
hasil investigasi, dilakukan pemeriksaan terhadap saksi, ahli, maupun tersangka. Tahap akhir dari
penyidikan adalah penyelesaian dan pengiriman berkas perkara. Berkas perkara memuat iktisar
atau kesimpulan kasus yang ditangani yang dituangkan dalam resume yang telah ditentukan
penulisannya. Jika kesimpulan dari penyidikan tersebut tidak menunjukkan bukti yang kuat,
dianggap bukan merupakan suatu tindak pidana, maupun harus dihentikan demi hukum, maka
penyidik BPOM dapat mengeluarkan surat penghentian penyidikan (SP3). Namun, jika dari hasil
penyidikan disimpulkan bahwa kasus tersebut merupakan suatu tindak pidana maka kasus dapat
dilimpahkan kepada kejaksaan melalui Korwas PPNS.

Langkah selanjutnya dilakukan penyerahan perkara yaitu pelimpahan tanggung jawab


suatu perkara dari penyidik ke penuntut umum. Jika berkas perkara dirasa belum lengkap (P-19),
maka dilakukan investigasi kembali untuk melengkapi berkas. Jika berkas perkara telah lengkap
(P-21), maka tersangka dan barang bukti diserahkan ke pengadilan untuk menjalani proses
hukum.

Anda mungkin juga menyukai