Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

UNDANG UNDANG KESEHATAN

VIOSTIN DS MENGANDUNG DNA BABI

OLEH :
DITA ANDRA FERA
FITMIATI
LUSI ROSANTI
NABILA JASMON
VIVI ELMAYANI

AKADEMI FARMASI DWI FARMA


BUKITTINGGI
2019

Kasus DNA Babi Pada Obat, Viotin DS


Ilustrasi: BAS

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan suplemen makanan Viostin DS
produksi PT Pharos Indonesia dan Enzyplex tablet produksi PT Medifarma Laboratories terbukti
positif mengandung DNA babi. Dikutip dari laman resmi BPOM, yang mengandung DNA babi
adalah produk dengan nomor izin edar NIE POM SD.051523771 dengan nomor bets BN
C6K994H untuk Viostin DS dan NIE DBL7214704016A1 nomor bets 16185101 untuk Enzyplex
tablet. BPOM telah menginstruksikan PT. Pharos Indonesia dan PT Medifarma Laboratories
untuk menghentikan produksi dan atau distribusi produk dengan nomor bets tersebut.
Menanggapi instruksi tersebut, PT. Pharos Indonesia telah menarik seluruh produk Viostin DS
dengan NIE dan nomor bets tersebut dari pasaran, serta menghentikan produksi produk Viostin
DS. Begitu juga dengan PT Medifarma Laboratories yang telah menarik seluruh produk
Enzyplex tablet dengan NIE dan nomor bets tersebut dari pasaran. Meski instruksi BPOM telah
dipenuhi, mencuatnya kasus ini cukup menjadi perhatian masyarakat. Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) mengapresiasi sikap BPOM. Menurut Ketua Harian YLKI, Tulus
Abadi, sebagai tindakan antisisipasi, langkah BPOM adalah hal yang seharusnya dilakukan.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah hal itu cukup melindungi konsumen, dan bagaimana
pertanggungjawaban produsen terhadap konsumen yang telah menjadi korban mengonsumsi
kedua jenis obat dimaksud? Dalam rilis yang dikutip hukumonline, YLKI mendesak BPOM
untuk melakukan tindakan yang lebih luas dan komprehensif terkait kasus tersebut. Hal utama
yang perlu dilakukan adalah mengaudit secara komprehensif terhadap seluruh proses pembuatan
dari semua merek obat yang diproduksi oleh kedua produsen farmasi dimaksud. Menurut Tulus,
hal yang rasional jika ada potensi merek obat yang lain dari kedua produsen itu juga
terkontaminasi DNA babi. Tulus mengatakan bahwa audit komprehensif sangat penting untuk
memberikan jaminan perlindungan kepada konsumen, khususnya konsumen muslim. Sebab
berdasar UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, proses produksi dan konten obat
harus bersertifikat halal.

Di samping itu, Tulus mendesak PT. Pharos Indonesia dan PT. Medifarma Laboratories untuk
meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Indonesia akibat keteledoran dan atau
kesengajaannya memasukkan DNA babi yang sangat merugikan konsumen. “YLKI juga
mendesak kepada kedua produsen untuk memberikan kompensasi kepada konsumen yang telah
mengonsumsi obat tersebut, minimal mengembalikan sejumlah uang kepada konsumen sesuai
nilai pembeliannya,” ujarnya. Soal hukuman yang pantas, lanjut Tulus, YLKI mendesak BPOM
untuk memberikan sanksi yang lebih tegas dan keras kepada kedua produsen farmasi tersebut
karena telah banyak melanggar UU, baik UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
UU Jaminan Produk Halal, dan regulasi lainnya.

Untuk diketahui, Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa pelaku usaha dilarang
keras memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau
tidak sesuai standar yang diatur sesuai ketentuan peraturan perundangan. Pelanggaran atas
ketentuan ini bisa dipidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak
Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah). Sedangkan Pasal 18 ayat (1) UU tentang Jaminan Produk
Halal menyatakan bahwa bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) meliputi: a. bangkai; b. darah; c. babi; dan/atau d. hewan yang
disembelih tidak sesuai dengan syariat”. Sementara itu, Anggota Komisi IX DPR Nihayatul
Wafiroh mengatakan keterbukaan informasi mengenai kandungan makanan dan obat-obatan
merupakan hal serius yang harus dipenuhi oleh produsen. "Bukan hanya soal haram atau halal,
melainkan juga resistensi tubuh seseorang terhadap kandungan zat tertentu dalam makanan yang
mereka konsumsi," kata Ninik, panggilan akrabnya kepada Antara.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu memuji dan mendukung langkah BPOM untuk
menarik semua produk yang tidak memberikan informasi yang benar kepada konsumen. Menurut
Ninik, produsen memiliki hak penuh untuk mendapatkan informasi tentang kandungan apa pun
yang ada pada produk yang mereka konsumsi. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban
produsen makanan, obat-obatan atau suplemen untuk memberikan informasi tersebut. "Kami
akan meminta BPOM dan lembaga terkait untuk berhati-hati dalam memberikan izin edar suatu
produk di pasaran," tuturnya. (ANT)

Positif Mengandung DNA Babi

Viostin DS dan Enzyplex positif mengandung babi (Kapanlagi.com


Izin Edar Dicabut

Dalam pengembangan kasus tersebut, Badan POM RI telah memberikan sanksi berupa
peringatan keras kepada PT Pharos Indonesia dan PT Mediafarma Laborateries serta
memerintahkan untuk menarik kedua produk tersebut dari peredaran serta menghentikan proses
produksi. Badan POM RI juga telah mencabut nomor izin edar kedua produk tersebut.

Badan POM RI akan terus mengupayakan perbaikan sistem dan peningkatan kinerjanya dalam
melakukan pengawasan obat dan makanan untuk memastikan produk yang dikonsumsi oleh
masyarakat yang harus memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu.

Sebagai langkah antisipasi dan perlindungan konsumen, Badan POM RI menginstruksikan Balai
Besar/Balai POM di seluruh Indonesia untuk terus memantau dan melakukan penarikan produk
yang tidak memenuhi ketentuan, termasuk yang terdeteksi positif mengandung DNA babi,
namun tidak mencantumkan peringatan 'MENGANDUNG BABI'. Begitu juga dengan
masyarakat, jika masih menemukan produk Viostin dan Enzyplex di peredaran, agar segera
melaporkan kepada Badan POM RI. "Ini kasus pidana karena pelanggaran undang-undang.
Pembelajaran ke depan, perlu ada pembuktian secara pidana agar ada efek jera," lanjut Tulus.
Dia mengungkapkan bahwa produsen tak cuma harus menarik produknya saja, tetapi juga
memberikan ganti rugi atau kompensasi pada konsumen.
Jika dirunut, Tulus mengungkapkan setidaknya ada dua pasal dalam UU Nomor 8 Tahun 1999
tentang perlindungan konsumen yang diduga dilanggar dalam kasus ini.
Pasal pertama yakni pasal 4 menyebutkan bahwa konsumen memiliki 'hak atas informasi yang
benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.'
"Di sini produsen tidak menginformasikan kandungan produk. Konsumen punya hak pilih untuk
mengonsumsi obat atau tidak, " katanya.
Pasal kedua yang dilanggar adalah pasal 8 huruf f yakni 'Pelaku usaha dilarang memproduksi
dan/atau memperdagangkan barang dan/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/jasa tersebut'
Menurutnya, produsen tidak mencantumkan bahwa produk diduga mengandun DNA babi dalam
kemasan kedua produk tersebut. 
Melihat peristiwa ini, Tulus pun berkaca pada 2000-an silam saat produsen salah satu produk
penyedap makanan harus menarik produknya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta
produsen menarik produk karena positif mengandung lemak babi
Saat itu, produsen mau tidak mau menarik puluhan ribu ton produk yang sudah beredar di
pasaran.
"Kasus itu, produsen jadi tersangka," tambahnya.
Tulus pun menyarankan pada konsumen untuk melapor pada YLKI atau BPOM bila menemukan
adanya kerugian yang diderita.
Sementara itu, Kepala BPOM, Penny K. Lukito menuturkan, terkait penarikan produk pihaknya
telah bekerjasama dengan balai-balai BPOM di seluruh Indonesia. Pasalnya, obat sudah tersebar
dan perlu waktu untuk menarik produk secara menyeluruh.
Undang undang

Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal didalamnya mengatur

tentang:

1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan

halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan

yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di

samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin

kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan,

pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan

pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal

dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan

tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat,

dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.

3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam

menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH. Dalam menjalankan

wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan

LPH.

4. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat

Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan

kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh

LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI.

Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam

bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH
menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI

tersebut.

5. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan

Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-

Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran

pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan

belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas

untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.

Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen didalamnya mengatur

tentang:

HAK DAN KEWAJIBAN


Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen

Pasal 4

Hak konsumen adalah :

1. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;

2. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;

3. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;

4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

5. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa


perlindungan konsumen secara patut;

6. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;


7. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

8. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;

9. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA

Pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana


dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;

f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan


yang paling baik atas barang tertentu;

h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang
dicantumkan dalam label;

i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau
bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran

Anda mungkin juga menyukai