Anda di halaman 1dari 7

TUGAS FARMASI SOSIAL

‘’ PENARIKAN PEREDARAN OBAT ENZYPLEX ‘’

Di Susun Oleh :

Nama Anggota Kelompok :

1. Anggraeni Eka Puspitasari (C11800138)


2. Dwi Ratna Sari Fitri (C11800150)
3. Erika Wanda Pratama (C11800152)
4. Ferlia Setianifah Putri (C11800155)
5. Irma Nusa Nur Mazidah (C11800160)
6. Leni Melisa (C11800165)

Kelompok / Kelas : 4 / 4A

PROGRAM STUDI FARMASI PROGRAM SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GOMBONG

2021
I. Deskripsi Obat

Nama Produk Enzyplex


Bentuk Sediaan Tablet
Komposisi Amylase, Calcium Pantothenate, Cynacobalamin,
Dimethicon, Lipase, Pyridoxin HCl, Protease, Riboflvin,
Thiamine HCl
Nomor Izin Edar DBL7214704016A1
Nomor Bets 16185101
Tanggal Keputusan 29 Januari 2018
Penarikan
Sumber : https://www.pom.go.id

1
II. Pembahasan
Dalam perkembangan didunia bisnis, banyak terjadi kasus yang merugikan
konsumen. Salah satunya adalah produk farmasi, saat ini banyak beredar produk
farmasi di masyarakat yang belum mencantumkan label halal serta belum memproses
sertifikat halal untuk produk yang diproduksinya. Status halal dari produk-produk
farmasi tengah menjadi perhatian karena akan diberlakukannya sanksi sebagaimana
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal. Namun permasalahan muncul karena tidak semua obat-obatan memenuhi
syarat untuk berstatus halal. Beberapa di antaranya menggunakan bahan-bahan yang
belum masuk kategori halal. Hal ini jelas merugikan konsumen di Indonesia yang
mayoritas adalah agama Islam. Konsumen perlu berhati-hati dalam memilih produk,
boleh jadi produk tersebut tidak layak dikonsumsi. Produk yang mengandung bahan
yang berbahaya akan memberikan dampak bagi kesehatan.
Salah satu contoh kasus obat yang telah terbukti mengandung bahan babi yaitu
Enzyplex yang diproduksi oleh PT. Medifarma Laboratories yang tidak
mencantumkan peringatan “mengandung babi” dalam kemasan produk tersebut. Obat
Enzyplex adalah obat lambung yang digunakan untuk mengatasi kembung, perut
terasa penuh dan begah, sering kentut, mual-mual, nyeri ulu hati, dan untuk
melancarkan buang air besar. Komposisi Enzyplex yaitu mengandung beberapa
vitamin seperti vitamin A, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B6, vitamin C, vitamin D,
guna menyehatkan pencernaan, khususnya lambung dan usus. Selain itu, Enzyplex
juga membantu memetabolisme kerja pencernaan secara baik.
Pada kasus belakangan ini yaitu pada tahun 2018, obat Enzyplex ditarik Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dikarenakan adanya kesalahan proses rantai
makanan yang tidak halal dimana di dalam prosesnya terdapat DNA babi pada
cangkang luar di Enzyplex tersebut. Enzyplex yang awalnya menggunakan cangkang
dari sapi untuk mengurangi biaya mengganti dengan DNA babi dengan lebih murah.
Hal ini sangat disayangkan bagi para konsumen di Indonesia. Enzyplex tersebut
kemasannya tidak ada tercantum logo halal. Enzyplex oleh PT. Medifarma
Laboratories tidak mencantumkan peringatan “mengandung babi” dalam kemasan
produk tersebut.
Bahaya keamanan pangan yang termasuk kategori berbahaya ”yang haram dan
atau yang merugikan”, efek yang ditimbulkannya memang tidak tampak sebagimana

2
efek dari cemaran kimia, fisik dan mikrobiologi yang langsung berimplikasi pada
masalah kesehatan.
Menurut ilmu kedokteran mengetahui bahwa babi sebagai rumah dari banyak
macam parasit dan penyakit berbahaya, sistem biochemistry babi mengeluarkan hanya
2% dari seluruh kandungan uric acid, sedangkan 98% sisanya tersimpan dalam
tubuhnya. Penyakit-penyakit yang dapat di timbulkan apabila memakan babi sebagai
berikut: Anthrax, Ascaris Suum, Botulism, Brucella Suis, Cryptosporidiosis, dan lain-
lain.
Dalam kondisi konsumen yang banyak dirugikan, memerlukan peningkatan
upaya untuk melindunginya, sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Pada
hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan
perlindungan konsumen di Indonesia, yakni Undang-Undang Dasar 1945, sebagai
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa
pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi
yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang
memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat. Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya
Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk
memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan
jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.
Sesuai dengan Pasal 3 UUPK, tujuan dari perlindungan konsumen adalah
meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri, mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, meningkatkan pemberdayaan
konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan
konsumen.

3
Sesuai pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen yaitu “pemerintah bertanggung jawab atas pembinaan
penyelenggaraan perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak
konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku
usaha” dan sesuai pasal 8 huruf H Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen, yaitu: Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan


“halal” yang dicantumkan dalam label.

Di dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang


Pangan menyebutkan: “Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan kedalam
wilayah Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan
label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan”. Selanjutnya ayat (2) huruf e, label
sebagaiman dimaksudkan ayat (1) memuat sekurang-kurangnya mengenai keterangan
tentang halal. Penjelasan tentang pasal 30 ayat (2) huruf e menyebutkan: “Keterangan
halal untuk suatu produk pangan sangat penting untuk masyarakat Indonesia yang
mayoritas memeluk agama Islam”.

Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang


Jaminan Produk Halal yaitu “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di
wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal”. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 33
Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal yaitu :

1) Bahan yang digunakan dalam PPH terdiri atas bahan baku, bahan olahan,
bahan tambahan, dan bahan penolong.
2) Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari:
a. hewan,
b. tumbuhan,
c. mikroba,
d. atau bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi,
atau proses rekayasa genetik.
3) Bahan yang berasal dari hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
pada dasarnya halal, kecuali yang diharamkan menurut syariat.

4
III. Kesimpulan
1. Ketiadaan label halal pada produk farmasi dikarenakan adanya faktor-faktor yang
mempengaruhinya yaitu karena sulitnya mencari bahan pengganti untuk bahan
obat karena bahan obat-obatan 90 persen diimpor dari negara lain yang belum ada
jaminan kehalalannya. Dalam waktu dekat pihak produsen obat-obatan juga
mengalami kendala karena harus melakukan penelitian terhadap bahan baku
karena adanya kesulitan asal bahan juga memiliki kompleksitas tersendiri
sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama. Di sisi lain, peralatan yang
digunakan untuk proses produksi, lokasi produksi, pengolahan, penyimpanan,
pengemasan dan penjualan serta penyajiannya harus dibuat terpisah antara
bahan/produk yang sudah bersertifikat halal dan non-halal.
2. Perlindungan konsumen terhadap produk-produk farmasi yang tidak
mencantumkan label halal perlu ada 3 (tiga) sistem pengawasan yaitu preventif
dilakukan secara dini terhadap produk pangan halal, antara lain berupa kegiatan
pendaftaran. Dengan mengoptimalkan sistem preventif, penyelewengan sertifikasi
halal dapat diminimalisir sejak dini. Sehingga harapannya, potensi lembaga
penegak hukum dapat berjalan secara maksimal, efektif dan efisien. Sistem
pengawasan khusus. Sistem pengawasan khusus ini maksudnya adalah
pengawasan aktif terhadap kasus pangan, obatan-obatan dan kosmetika halal yang
dapat mengakibatkan dampak yang luas, yaitu tidak saja dalam segi kesehatan
tetapi juga dalam segi sosial dan ekonomi. Sistem pengawasan incidental yaitu
proses pengawasan yang dilakukan pihak penegak hukum terhadap keamanan dan
keselamatan pangan halal yang dilakukan dengan cara inspeksi mendadak (sidak).
3. Adanya kesalahan proses rantai makanan yang tidak halal dimana di dalam
prosesnya terdapat DNA babi pada cangkang luar di Enzyplex tersebut. Enzyplex
yang awalnya menggunakan cangkang dari sapi untuk mengurangi biaya
mengganti dengan DNA babi dengan lebih murah. Enzyplex tersebut kemasan nya
tidak ada tercantum logo halal.

5
DAFTAR PUSTAKA
Asri. (2016). Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Yang Tidak
Bersetifikat Halal. Jurnal IUS, Vol.4,(No. 2), pp.1-21.
Barkatullah, Abdul H. (2007). Urgensi Perlindungan Hak-Hak Konsumen Dalam Transaksi
Di E- Commerce. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, Vol.14, No.(2), pp.247–270.
BPOM. Daftar Produk Ditarik Atau Recall. Diakses pada 25 September 2021, dari
https://www.pom.go.id/new/view/direct/daftar-recall
Darnela, Lindra., & Saraspeni, Wiji. (2016). Perlindungan Konsumen terhadap Hak Atas
Informasi Harga Pada Menu Makanan , dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ( Studi Kasus di Warung Makan pada
Kawasan Malioboro ). Supermasi Hukum, Vol.5, (No.1), pp. 163–189. Retrieved
from
Fadhly, F. (2013). Ganti Rugi Sebagai Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Produk
Cacat. Arena Hukum, Vol.6,(No.2), pp.152–289.
Nurbaiti, S. (2013). Aspek Yuridis Mengenai Product Liability Menurut Undang-Undang
Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk Makanan Bersertifikat Halal. Jurnal
Dinamika Sosial Budaya, Vol.18,(No.2), pp.214–225.
Perlindungan Konsumen (Studi Perbandingan Indonesia - Turki). Jurnal Hukum Prioris,
Vol.3, (No.2), pp.71–94.
Rusli, T. (2012). TanggungJawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen. Pranata
Hukum, Vol.7, (No.1), pp.79–88.
Triasih, Dharu., Heryanti, B. Rini., & Kridasaksana, Doddy. (2016). Kajian Tentang
Nggeboe, F. (2015) Penyelesaian Hukum Bagi Konsumen Dari Produk Cacat
Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999. Legalitas, Vol. 7, (No.2), pp.44–73.

Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Sinar


Grafika, 2015.

Anda mungkin juga menyukai