Anda di halaman 1dari 42

Tugas : Rangkuman UU dan Regulasi Farmasi

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 51 TAHUN 2009
TENTANG
PEKERJAAN KEFARMASIAN

BAB I Pasal 1
KETENTUAN UMUM 1. Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan termasuk
pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau
penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
2. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker
dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu
pelayananlangsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi
dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
4. Fasilitas Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang
digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah
sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek
bersama.
5. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.
6. Standar Kefarmasian adalah pedoman untuk
melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas
produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan
kefarmasian.
Pasal 4
Tujuan pengaturan Pekerjaan Kefarmasian untuk:
a. memberikan perlindungan kepada pasien dan
masyarakat dalam memperoleh dan/atau menetapkan
sediaan farmasi dan jasa kefarmasian;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu
penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta peraturan perundangan-undangan;
dan
c. memberikan kepastian hukum bagi pasien,
masyarakat dan Tenaga Kefarmasian.
BAB II Pasal 5
PENYELENGGARAAN
Pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian meliputi:
PEKERJAAN
KEFARMASIAN a. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan
Farmasi;
b. Pekerjaan Kefarmasian dalam Produksi Sediaan
Farmasi;
c. Pekerjaan Kefarmasian dalam Distribusi atau
Penyaluran Sediaan Farmasi; dan
d. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan
Farmasi.

Pasal 19
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian berupa :
a. Apotek;
b. Instalasi farmasi rumah sakit;
c. Puskesmas;
d. Klinik;
e. Toko Obat; atau
f. Praktek bersama.

Pasal 20
Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat
dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga
Teknis Kefarmasian.

Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada
Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menurut jenis Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 24
Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas
Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat:
a. mengangkat seorang Apoteker pendamping yang
memiliki SIPA;
b. mengganti obat merek dagang dengan obat generik
yang sama komponen aktifnya atau obat merek
dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;
dan
c. menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika
kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 26
(1) Fasilitas Pelayanan Kefarmasian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 huruf e dilaksanakan oleh
Tenaga Teknis Kefarmasian yang memiliki STRTTK
sesuai dengan tugas dan fungsinya.
(2) Dalam menjalankan praktek kefarmasian di Toko
Obat, Tenaga Teknis Kefarmasian harus menerapkan
standar pelayanan kefarmasian di Toko Obat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian di Toko Obat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan standar pelayanan kefarmasian di
toko obat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 27
Pekerjaan Kefarmasian yang berkaitan denganpelayanan
farmasi pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian wajib
dicatat oleh Tenaga Kefarmasian sesuai dengan tugas
dan fungsinya.

Pasal 28
Tenaga Kefarmasian dalam melakukan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
wajib mengikuti paradigma pelayanan kefarmasian dan
perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dengan
Peraturan Menteri.

Pasal 51
(1) Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan
oleh Apoteker.
(2) Apoteker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memiliki STRA.
(3) Dalam melaksanakan tugas Pelayanan Kefarmasian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Apoteker dapat
dibantu oleh Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah
memiliki STRTTK.

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 9 TAHUN 2017
TENTANG
APOTEK

BAB I Pasal 1
KETENTUAN UMUM 1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.
2. Surat Izin Apotek yang selanjutnya disingkat SIA
adalah bukti tertulis yang diberikan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota kepada Apoteker sebagai izin
untuk menyelenggarakan Apotek.
3. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya
disingkat SIPA adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh pemerintah daerah kabupaten/kota kepada
Apoteker sebagai pemberian kewenangan untuk
menjalankan praktik kefarmasian.
4. Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian yang
selanjutnya disingkat SIPTTK adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota kepada tenaga teknis kefarmasian
sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan
praktik kefarmasian.

Pasal 2
Pengaturan Apotek bertujuan untuk:
a. Meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di
Apotek;
b. Memberikan perlindungan pasien dan masyarakat
dalam memperoleh pelayanan kefarmasian di
Apotek; dan
c. Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian
dalam memberikan pelayanan kefarmasian di
Apotek.
BAB III Bagian Kesatu
PERIZINAN
Surat Izin Apotek
Pasal 12
(1) Setiap pendirian Apotek wajib memiliki izin dari
Menteri.
(2) Menteri melimpahkan kewenangan pemberian izin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa
SIA.
(4) SIA berlaku 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang
selama memenuhi persyaratan
Pasal 13
(1) Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan
permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 1.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan
kelengkapan dokumen administratif meliputi:
a. fotokopi STRA dengan menunjukan STRA asli;
b. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker;
d. fotokopi peta lokasi dan denah bangunan; dan
e. daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
(3) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak
menerima permohonan dan dinyatakan telah
memenuhi kelengkapan dokumen administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa
untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap
kesiapan Apotek dengan menggunakan Formulir 2.
(4) Tim pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
harus melibatkan unsur dinas kesehatan
kabupaten/kota yang terdiri atas:
a. tenaga kefarmasian; dan
b. tenaga lainnya yang menangani bidang sarana dan
prasarana.
(5) Paling lama dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak
tim pemeriksa ditugaskan, tim pemeriksa harus
melaporkan hasil pemeriksaan setempat yang
dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan
menggunakan Formulir 3.
(6) Paling lama dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja
sejak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerima
laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan
dinyatakan memenuhi persyaratan, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA dengan
tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Organisasi
Profesi dengan menggunakan Formulir 4.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) dinyatakan masih belum memenuhi
persyaratan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
harus mengeluarkan surat penundaan paling lama
dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja dengan
menggunakan Formulir 5.
(8) Tehadap permohonan yang dinyatakan belum
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada
ayat (7), pemohon dapat melengkapi persyaratan
paling lambat dalam waktu 1 (satu) bulan sejak surat
penundaan diterima.
(9) Apabila pemohon tidak dapat memenuhi
kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (8), maka Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota mengeluarkan Surat Penolakan
dengan menggunakan Formulir 6.
(10) Apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam
menerbitkan SIA melebihi jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Apoteker
pemohon dapat menyelenggarakan Apotek dengan
menggunakan BAP sebagai pengganti SIA.

Pasal 14
(1) Dalam hal pemerintah daerah menerbitkan SIA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6),
maka penerbitannya bersama dengan penerbitan
SIPA untuk Apoteker pemegang SIA.
(2) Masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA.

Bagian Kedua
Perubahan Izin
Pasal 15
(1) Setiap perubahan alamat di lokasi yang sama atau
perubahan alamat dan pindah lokasi, perubahan
Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek harus
dilakukan perubahan izin.
(2) Apotek yang melakukan perubahan alamat di lokasi
yang sama atau perubahan alamat dan pindah lokasi,
perubahan Apoteker pemegang SIA, atau nama
Apotek, wajib mengajukan permohonan perubahan
izin kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
(3) Terhadap Apotek yang melakukan perubahan alamat
di lokasi yang sama atau perubahan nama Apotek
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak perlu
dilakukan pemeriksaan setempat oleh tim pemeriksa.
(4) Tata cara permohonan perubahan izin bagi Apotek
yang melakukan perubahan alamat dan pindah lokasi
atau perubahan Apoteker pemegang SIA
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 36 TAHUN 2009
TENTANG
KESEHATAN

Menimbang: a. Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah


satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan
sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
b. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip
nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan
dalam rangka pembentukan sumber daya manusia
Indonesia.
c. Setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan
kesehatan pada masyarakat Indonesia akan
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi
negara.
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan hukum
dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti
dengan UndangUndang tentang Kesehatan yang
baru.
Mengingat: Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
BAB I Pasal 1:
KETENTUAN UMUM 1. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik,
mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis.
2. Perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan
peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
upaya kesehatan.
3. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional, dan kosmetika.
4. Pelayanan kesehatan promotif adalah suatu kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan
yang lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat
promosi kesehatan.
5. Pelayanan kesehatan preventif adalah suatu kegiatan
pencegahan terhadap suatu masalah
kesehatan/penyakit.
6. Pelayanan kesehatan kuratif adalah suatu kegiatan
dan/atau serangkaian kegiatan pengobatan yang
ditujukan untuk penyembuhan penyakit,
pengurangan penderitaan akibat penyakit,
pengendalian penyakit, atau pengendalian kecacatan
agar kualitas penderita dapat terjaga seoptimal
mungkin.

7. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan


dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan
bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat
berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang
berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal
mungkin sesuai dengan kemampuannya.
BAB III Pasal 5:
HAK DAN (2) Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
KEWAJIBAN pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau.
(3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung
jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang
diperlukan bagi dirinya.
BAB IV Pasal 17:
TANGGUNG JAWAB Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses
PEMERINTAH terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan
kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.
BAB V Pasal 21:
SUMBER DAYA (1)Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan,
DIBIDANG pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu
KESEHATAN tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan
pelayanan kesehatan.
Pasal 23:
(1) Tenaga kesehatan berwenang untuk
menyelenggarakan pelayanan kesehatan.
(3)Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan,
tenaga kesehatan wajib memiliki izin dari
pemerintah.
(4)Selama memberikan pelayanan kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang
mengutamakan kepentingan yang bernilai materi.
Pasal 24:
(3)Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan
kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur
operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 26:
(1)Pemerintah mengatur penempatan tenaga kesehatan
untuk pemerataan pelayanan kesehatan.
(3) Pengadaan dan pendayagunaan tenaga kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan memperhatikan:
a. jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
masyarakat;
b. jumlah sarana pelayanan kesehatan; dan
c. jumlah tenaga kesehatan sesuai dengan beban
kerja pelayanan kesehatan yang ada.
(4)Penempatan tenaga kesehatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap
memperhatikan hak tenaga kesehatan dan hak
masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang merata.
BAB VI Pasal 52:
UPAYA KESEHATAN (1)Pelayanan kesehatan terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b. pelayanan kesehatan masyarakat.
(2)Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi kegiatan dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 58:
(1)Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara
kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan
yang diterimanya.
Pasal 59:
(1)Berdasarkan cara pengobatannya, pelayanan
kesehatan tradisional terbagi menjadi:
a. pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan keterampilan; dan
b. pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan ramuan.
(2)Pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibina dan diawasi oleh
Pemerintah agar dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya serta tidak bertentangan
dengan norma agama.
(3)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan jenis
pelayanan kesehatan tradisional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 60:
(1)Setiap orang yang melakukan pelayanan kesehatan
tradisional yang menggunakan alat dan teknologi
harus mendapat izin dari lembaga kesehatan yang
berwenang.
Pasal 61:
(1)Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengembangkan, meningkatkan dan
menggunakan pelayanan kesehatan tradisional yang
dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan
keamanannya.
Pasal 74:
(1)Setiap pelayanan kesehatan reproduksi yang bersifat
promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif,
termasuk reproduksi dengan bantuan dilakukan
secara aman dan sehat dengan memperhatikan aspek-
aspek yang khas, khususnya reproduksi perempuan.
(2)Pelaksanaan pelayanan kesehatan reproduksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan tidak bertentangan dengan nilai agama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 78:
(1)Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana
dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi
pasangan usia subur untuk membentuk generasi
penerus yang sehat dan cerdas.
Pasal 82:
(1)Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya,
fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.
(2)Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap
darurat dan pascabencana.
(3)Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang
bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan
mencegah kecacatan lebih lanjut.
Pasal 83:
(1)Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan
pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan
nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut, dan
kepentingan terbaik bagi pasien.
Pasal 84:
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan
pelayanan kesehatan pada bencana diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 85:
(1)Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan
kesehatan, baik pemerintah maupun swasta wajib
memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan
kecacatan.
(2)Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan
pelayanan kesehatan pada bencana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien
dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.
Pasal 98:
Bagian Kelima Belas
Pengamanan dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan
(1)Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
(2)Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan,
mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat
dan bahan yang berkhasiat obat.
(3)Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan,
pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi
dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu
pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
(4)Pemerintah berkewajiban membina, mengatur,
mengendalikan, dan mengawasi pengadaan,
penyimpanan, promosi, dan pengedaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (3).
Pasal 99:
(1)Sumber sediaan farmasi yang berasal dari alam
semesta dan sudah terbukti berkhasiat dan aman
digunakan dalam pencegahan, pengobatan, dan/atau
perawatan, serta pemeliharaan kesehatan tetap harus
dijaga kelestariannya.
(2)Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan
sediaan farmasi yang dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya.
(3)Pemerintah menjamin pengembangan dan
pemeliharaan sediaan farmasi.
Pasal 100:
(1)Sumber obat tradisional yang sudah terbukti
berkhasiat dan aman digunakan dalam pencegahan,
pengobatan, perawatan, dan/atau pemeliharaan
kesehatan tetap dijaga kelestariannya.
(2)Pemerintah menjamin pengembangan dan
pemeliharaan bahan baku obat tradisional .
Pasal 101:
(1)Masyarakat diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mengolah, memproduksi, mengedarkan,
mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan
obat tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan
manfaat dan keamanannya.
(2)Ketentuan mengenai mengolah, memproduksi,
mengedarkan, mengembangkan, meningkatkan, dan
menggunakan obat tradisional diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 102:
(1) Penggunaan sediaan farmasi yang berupa narkotika
dan psikotropika hanya dapat dilakukan berdasarkan
resep dokter atau dokter gigi dan dilarang untuk
disalahgunakan.
(2) Ketentuan mengenai narkotika dan psikotropika
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 103:
(1)Setiap orang yang memproduksi, menyimpan,
mengedarkan, dan menggunakan narkotika dan
psikotropika wajib memenuhi standar dan/atau
persyaratan tertentu.
(2)Ketentuan mengenai produksi, penyimpanan,
peredaran, serta penggunaan narkotika dan
psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pasal 104:
(1)Pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari
bahaya yang disebabkan oleh penggunaan sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
khasiat/kemanfaatan.
(2)Penggunaan obat dan obat tradisional harus
dilakukan secara rasional.
Pasal 105:
(1)Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan baku
obat harus memenuhi syarat farmakope Indonesia
atau buku standar lainnya.
(2)Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan
kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
Pasal 106:
(1)Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat
diedarkan setelah mendapat izin edar.
(2)Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas
dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.
(3)Pemerintah berwenang mencabut izin edar dan
memerintahkan penarikan dari peredaran sediaan
farmasi dan alat kesehatan yang telah memperoleh
izin edar, yang kemudian terbukti tidak memenuhi
persyaratan mutu dan/atau keamanan dan/atau
kemanfaatan, dapat disita dan dimusnahkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 107:
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan
farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 108:
(1)Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XX Pasal 191:
HUKUM PIDANA Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik
pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat
dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda,
luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 196:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat
(3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197:
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda
paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).
Pasal 198:
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 26 TAHUN 2018
TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA
ELEKTRONIK SEKTOR KESEHATAN

Menimbang: a. Bahwa untuk percepatan dan peningkatan


penanaman modal dan berusaha sektor kesehatan,
perlu menerapkan pelayanan Perizinan Berusaha
terintegrasi secara elektronik;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan
ketentuan Pasal 88 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan
Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara
Elektronik Sektor Kesehatan;
Mengingat: Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang
Pelayanan Perizinan Terintegrasi Secara Elektronik
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6215);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PELAYANAN PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI
SECARA ELEKTRONIK SEKTOR KESEHATAN.

BAB I 1. Perizinan Berusaha adalah pendaftaran yang


KETENTUAN UMUM diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan
menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan diberikan
dalam bentuk persetujuan yang dituangkan dalam
bentuk surat/keputusan atau pemenuhan persyaratan
dan/atau komitmen.
2. Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
atau Online Single Submission yang selanjutnya
disingkat OSS adalah Perizinan Berusaha yang
diterbitkan oleh lembaga OSS untuk dan atas nama
menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau
bupati/wali kota kepada pelaku usaha melalui sistem
elektronik yang terintegrasi.
3. Pendaftaran adalah pendaftaran usaha dan/atau
kegiatan oleh Pelaku Usaha melalui OSS.
4. Izin Usaha adalah izin yang diterbitkan oleh lembaga
OSS untuk dan atas nama menteri, pimpinan
lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota setelah
Pelaku Usaha melakukan Pendaftaran dan untuk
memulai usaha dan/atau kegiatan sampai sebelum
pelaksanaan komersial atau operasional dengan
memenuhi persyaratan dan/atau komitmen.
5. Izin Komersial atau Operasional adalah izin yang
diterbitkan oleh Lembaga OSS untuk dan atas nama
menteri, pimpinan lembaga, gubernur, atau
bupati/wali kota setelah Pelaku Usaha mendapatkan
Izin Usaha dan untuk melakukan kegiatan komersial
atau operasional dengan memenuhi persyaratan
dan/atau komitmen.

6. Dokumen Elektronik adalah setiap informasi


elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui
komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki
makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
7. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang
terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan,
terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik
lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan
autentikasi.
8. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang
selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah lembaga
pemerintahan non kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
koordinasi penanaman modal.
9. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat
NIB adalah identitas Pelaku Usaha yang diterbitkan
oleh Lembaga OSS setelah Pelaku Usaha melakukan
Pendaftaran.

10.Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan


hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan
produksi atau pemanfaatan sumber daya produksi,
penyaluran obat, bahan obat, dan fitofarmaka,
melaksanakan pendidikan dan pelatihan, dan/atau
penelitian dan pengembangan.
11.Pedagang Besar Farmasi yang selanjutnya disingkat
PBF adalah perusahaan berbentuk badan hukum
yang memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan,
penyaluran obat dan/atau bahan obat dalam jumlah
besar sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
12.Sertifikat Produksi Industri Farmasi adalah
persetujuan untuk melakukan produksi,
pengembangan produk dan sarana produksi dan/atau
riset yang digunakan untuk pelaksanaan percepatan
pengembangan Industri Farmasi.
13.Sertifikat Produksi Industri Farmasi Bahan Obat
adalah persetujuan untuk melakukan produksi,
pengembangan produk dan sarana produksi dan/atau
riset yang digunakan untuk pelaksanaan percepatan
pengembangan Industri Farmasi bahan obat
14.Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker.
15.Surat Tanda Registrasi Apoteker yang selanjutnya
disingkat STRA adalah bukti tertulis apoteker yang
telah diregistrasi.
16.Surat Izin Apotek yang selanjutnya disingkat SIA
adalah bukti tertulis sebagai izin kepada apoteker
untuk menyelenggarakan Apotek.
17.E-Farmasi adalah sistem elektronik yang digunakan
dalam penyelenggaraan kefarmasian.
18.Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi yang
selanjutnya disingkat PSEF adalah badan hukum
yang menyediakan, mengelola, dan/atau
mengoperasikan EFarmasi untuk keperluan dirinya
dan/atau keperluan pihak lain
BAB III Bagian Kedua puluh dua
PERSYARATAN Pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik
Farmasi
Pasal 29:
(1)PSEF diselenggarakan oleh Pelaku Usaha non
perseorangan berbadan hukum.
(2)Persyaratan untuk memperoleh Pendaftaran PSEF
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
w terdiri atas:
a. STRA;
b. surat izin praktik apoteker;
c. dokumen proses bisnis aplikasi E-Farmasi;
d. perangkat untuk akses data ketersediaan sediaan
farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dengan
disertai petunjuk manualnya; dan
e. data Industri Farmasi, PBF dan/atau Apotek yang
bekerjasama dengan PSEF.

Bagian Kedua puluh tiga


Izin Apotek
Pasal 30:
(1)Apotek diselenggarakan oleh Pelaku Usaha
perseorangan.
(2)Pelaku Usaha perseorangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) yaitu apoteker.
(3)Persyaratan untuk memperoleh Izin Apotek
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf
x terdiri atas:
a. STRA;
b. surat izin praktik apoteker;
c. denah bangunan;
d. daftar sarana dan prasarana; dan
e. berita acara pemeriksaan.
BAB IV Bagian Kesatu
TATA CARA Penerbit Perizinan Berusaha
PENERBITAN IZIN Pasal 47:
(1)Perizinan Berusaha sektor kesehatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 diterbitkan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangannya.
(4)Perizinan Berusaha sektor kesehatan yang diterbitkan
oleh bupati/wali kota terdiri atas:
a. Izin UMOT;
b. Izin PRT Alat Kesehatan dan PKRT;
c. Sertifikat Produksi Pangan Rumah Tangga; d. Izin
Toko Alat Kesehatan;
d. Izin Operasional Klinik;
e. Izin Apotek;
f. Izin Toko Obat;
g. Izin Mendirikan Rumah Sakit Kelas C, Kelas D,
dan Kelas D Pratama;
h. Izin Operasional Rumah Sakit Kelas C, Kelas D,
dan Kelas D Pratama;
i. Izin Operasional Laboratorium Klinik Umum
Pratama; dan
j. Izin Penyelenggaraan Pengendalian Vektor dan
Binatang Pembawa Penyakit.
Pasal 48:
(1)Pelaksanaan kewenangan penerbitan Perizinan
Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
termasuk penerbitan dokumen lain yang berkaitan
dengan Perizinan Berusaha wajib dilakukan melalui
Lembaga OSS.
(2)Lembaga OSS untuk dan atas nama Menteri,
gubernur, atau bupati/wali kota menerbitkan
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3)Penerbitan Perizinan Berusaha oleh Lembaga OSS
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dalam bentuk Dokumen Elektronik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
informasi dan transaksi elektronik.
(4)Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disertai dengan Tanda Tangan Elektronik.
(5)Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3), berlaku sah dan mengikat berdasarkan
hukum serta merupakan alat bukti yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang informasi dan transaksi elektronik.
(6)Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat dicetak (print out).

Bagian Kedua Prosedur


Paragraf Kesatu
Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
Pasal 49:
(1)Pelaku Usaha wajib mengajukan permohonan izin
Usaha dan Izin Komersial atau Operasional melalui
OSS.
(2)Lembaga OSS menerbitkan NIB setelah Pelaku
Usaha melakukan Pendaftaran melalui pengisian data
secara lengkap dan mendapatkan NPWP.
(3)NPWP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didapat
dalam hal Pelaku Usaha yang melakukan
Pendaftaran belum memiliki NPWP.
(4)NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan
identitas berusaha dan digunakan oleh Pelaku Usaha
untuk mendapatkan Izin Usaha dan Izin Komersial
atau Operasional termasuk untuk pemenuhan
persyaratan Izin Usaha dan Izin Komersial atau
Operasional.
Pasal 50:
(1)Pelaku Usaha yang telah mendapatkan NIB
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat
diterbitkan Izin Usaha oleh Lembaga OSS.
(2)Penerbitan Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berdasarkan Komitmen sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai pelayanan perizinan berusaha
terintegrasi secara elektronik dan Komitmen Izin
Usaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri
ini.
Pasal 51:
(1)Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 dapat
melakukan kegiatan:
a. pengadaan tanah;
b. perubahan luas lahan;
c. pembangunan bangunan gedung dan
pengoperasiannya;
d. pengadaan peralatan atau sarana;
e. pengadaan sumber daya manusia;
f. penyelesaian sertifikasi atau kelaikan;
g. pelaksanaan uji coba produksi (commisioning);
dan/atau
h. pelaksanaan produksi.
(2)Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 namun belum
menyelesaikan:
a. Amdal; dan/atau
b. rencana teknis bangunan gedung, belum dapat
melakukan kegiatan pembangunan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
Pasal 52:
Pelaku Usaha yang akan mendapatkan Izin Komersial
atau Operasional yang diterbitkan oleh Lembaga OSS
wajib memiliki izin usaha dan Komitmen untuk
pemenuhan:
a. standar, sertifikat, dan/atau lisensi; dan/atau
b. pendaftaran barang/jasa, sesuai dengan jenis produk
dan/atau jasa yang dikomersialkan oleh Pelaku
Usaha melalui sistem OSS.
Pasal 54:
Lembaga OSS membatalkan Izin Usaha dan/atau Izin
Komersial atau Operasional yang sudah diterbitkan
dalam hal Pelaku Usaha tidak menyelesaikan
pemenuhan Komitmen Izin Usaha sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 dan/atau Izin Komersial atau
Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52.
Pasal 76:
(1)Pelaku Usaha yang telah memiliki NIB dan
memenuhi Komitmen sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pelayanan
perizinan terintegrasi secara elektronik, wajib
memenuhi Komitmen Izin Apotek/Izin Toko Obat.
(2)Pemenuhan Komitmen oleh Pelaku Usaha
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6
(enam) bulan.
(3)Untuk pemenuhan Komitmen sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pelaku Usaha menyampaikan
dokumen pemenuhan Komitmen melalui sistem
OSS.
(4)Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan
pemeriksaan lapangan paling lama 6 (enam) Hari
sejak Pelaku Usaha memenuhi Komitmen sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai pelayanan perizinan terintegrasi secara
elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(5)Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam melakukan
Pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) melibatkan unsur dinas kesehatan daerah
kabupaten/kota yang terdiri atas tenaga kefarmasian
dan tenaga lainnya yang menangani bidang sarana
dan prasarana.
(6)Dalam pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) Pemerintah Daerah kabupaten/kota
membuat berita acara pemeriksaan.
(7)Berdasarkan hasil evaluasi dan berita acara
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)
dinyatakan tidak terdapat perbaikan, Pemerintah
Daerah kabupaten/kota menyampaikan notifikasi
pemenuhan Komitmen Izin Apotek/Izin Toko Obat
paling lama 3 (tiga) Hari melalui sistem OSS.
(8)Dalam hal berdasarkan berita acara pemeriksaan
diperlukan perbaikan, Pemerintah Daerah
kabupaten/kota menyampaikan hasil evaluasi kepada
Pelaku Usaha melalui sistem OSS.
(9)Pelaku Usaha wajib melakukan perbaikan dan
menyampaikan kepada Pemerintah Daerah
kabupaten/kota melalui sistem OSS paling lama 1
(satu) bulan sejak diterimanya hasil evaluasi.
(10)Berdasarkan perbaikan yang disampaikan oleh
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
dan dinyatakan tidak terdapat perbaikan, Pemerintah
Daerah kabupaten/kota menyampaikan notifikasi
pemenuhan Komitmen Izin Apotek/Izin Toko Obat
paling lama 3 (tiga) Hari melalui sistem OSS.
(11)Penyampaian notifikasi pemenuhan Komitmen Izin
Apotek/Izin Toko Obat sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) atau ayat (10) merupakan pemenuhan
Komitmen Izin Apotek/Izin Toko Obat.
(12)Berdasarkan hasil evaluasi dan verifikasi
menyatakan Pelaku Usaha tidak memenuhi
Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyampaikan
notifikasi penolakan melalui sistem OSS.

Bagian Kelima
Pembayaran Biaya Perizinan Berusaha
Pasal 85:
(1) Perizinan berusaha dapat dikenakan biaya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibayarkan oleh Pelaku Usaha pada saat
penyampaian dokumen pemenuhan Komitmen.
(3) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai
bagian dari pemenuhan Komitmen.
(4) Pelaku Usaha yang telah melakukan pembayaran
biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
mengunggah bukti pembayaran ke dalam sistem
OSS.
(5) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban
pembayaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Izin Usaha dan Izin Komersial atau Operasional
yang telah diberikan dinyatakan batal.

BAB V Pasal 86:


MASA BERLAKU (1)Izin Usaha berlaku selama Pelaku Usaha
PERIZINAN menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. (2) Izin
BERUSAHA Komersial atau Operasional berlaku untuk jangka
waktu 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama
memenuhi persyaratan.
Pasal 87:
(1)Pelaku Usaha harus melakukan perpanjangan izin
komersial/operasional paling cepat 6 (enam) bulan
sebelum masa berlaku izin komersial/operasional
berakhir.
BAB VI Pasal 88:
PENGAWASAN ATAS (1)Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali kota wajib
PELAKSANAAN melakukan pengawasan atas:
PERIZINAN a. pemenuhan Komitmen;
BERUSAHA b. pemenuhan standar, sertifikasi, lisensi dan/atau
pendaftaran; dan/atau
c. usaha dan/atau kegiatan.
(2)Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dimulai sejak tanggal pernyataan Komitmen yang
tercantum dalam OSS.
(3)Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui pemeriksaan:
a. dokumen termasuk laporan kegiatan usaha;
b. ketenagaan;
c. sarana prasarana; dan/atau
d. lokasi/tempat.
(4)Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditemukan ketidaksesuaian atau
penyimpangan, Menteri, gubernur, dan/atau
bupati/wali kota mengambil tindakan.
(5)Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
berupa:
a. peringatan;
b. notifikasi pembatalan perizinan berusaha;
c. penghentian sementara kegiatan berusaha;
d. pengenaan denda administratif; dan/atau
e. pencabutan Perizinan Berusaha
BAB VII Pasal 90:
KETENTUAN Perizinan Berusaha yang telah diajukan oleh Pelaku
PERALIHAN Usaha sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan
belum diterbitkan Perizinan Berusahanya, diproses
melalui sistem OSS sesuai dengan ketentuan Peraturan
Menteri ini.
Pasal 91:
Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha
dan/atau Izin Komersial atau Operasional sebelum
Peraturan Menteri ini mulai berlaku dan memerlukan
Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional
yang baru untuk pengembangan usaha, diatur ketentuan
sebagai berikut:
a. pengajuan dan penerbitan Perizinan Berusaha untuk
pengembangan usaha dan/atau kegiatan atau
komersial atau operasional dilakukan melalui sistem
OSS dengan melengkapi data, Komitmen, dan/atau
pemenuhan Komitmen sesuai dengan ketentuan
Peraturan Menteri ini; dan
b. Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional
yang telah diperoleh dan masih berlaku sesuai
dengan bidang usaha dan/atau kegiatan tetap berlaku
dan didaftarkan ke sistem OSS.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 72 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

Kata Kunci: Rumah Sakit, Standar Pelayanan Kefarmasian,


Pelayanan Kefarmasian, Resep, Sediaan Farmasi,
Obat, Alat Kesehatan, Instalasi Farmasi, Apoteker,
Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK), Direktur
Jenderal, Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM), Menteri.
Pengertian: 1. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi
tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian.
2. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien.
3. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter
atau dokter gigi, kepada apoteker, baik dalam
bentuk paper maupun electronik untuk
menyediakan dan menyerahkan obat bagi
pasien sesuai peraturan yang berlaku.
4. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika.

5. Obat adalah bahan atau paduan bahan,


termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia.
6. Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus,
mesin dan/atau implan yang tidak mengandung
obat yang digunakan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan
meringankan penyakit, merawat orang sakit,
memulihkan kesehatan pada manusia, dan/atau
membentuk struktur dan memperbaiki fungsi
tubuh.
7. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan
yang ditujukan untuk penggunaan sekali pakai
(single use) yang daftar produknya diatur
dalam peraturan perundang-undangan.
8. Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana
fungsional yang menyelenggarakan seluruh
kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah
Sakit
9. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan
sumpah jabatan apoteker.

11.Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga


yang membantu apoteker dalam menjalani
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan
Analis Farmasi.
12.Direktur Jenderal adalah direktur jenderal pada
Kementerian Kesehatan yang bertanggung
jawab di bidang kefarmasian dan alat
kesehatan.
13.Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
yang selanjutnya disingkat Kepala BPOM
adalah Kepala Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang mempunyai tugas untuk
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang
pengawasan obat dan makanan
14.Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
15.Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.
Tujuan: a. Bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 58
Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 34 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 58 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit masih
belum memenuhi kebutuhan hukum di
masyarakat sehingga perlu dilakukan
perubahan;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit;
Proses:
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 74 TAHUN 2016
TENTANG
STANDAR PELAYANAN KEFARMASIAN DI RUMAH SAKIT

Kata Kunci: Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS),


Standar Pelayanan Kefarmasian ,Pelayanan
Kefarmasian, Sediaan Farmasi, Obat, Bahan
Medis Habis Pakai (BMHP), Apoteker, Tenaga
Teknis Kefarmasian (TTK), Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Menteri
Pengertian: 1. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya
disebut Puskesmas adalah unit pelaksana teknis
dinas kesehatan kabupaten/kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan
pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.
2. Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolok
ukur yang dipergunakan sebagai pedoman bagi
tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian.
3. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien
yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan
maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien
4. Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat
tradisional dan kosmetika.

5. Obat adalah bahan atau paduan bahan,


termasuk produk biologi yang digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia.
6. Bahan Medis Habis Pakai adalah alat kesehatan
yang ditujukan untuk penggunaan sekali pakai
(single use) yang daftar produknya diatur
dalam peraturan perundang-undangan
7. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan
sumpah jabatan Apoteker
8. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga
yang membantu Apoteker dalam menjalani
Pekerjaan Kefarmasian, yang terdiri atas
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, dan
Analis Farmasi
9. Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
yang selanjutnya disebut Kepala BPOM adalah
Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian
yang mempunyai tugas untuk melaksanakan
tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat
dan makanan.
10.Menteri adalah menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan.

Tujuan: a. Bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30


Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas, sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 36 Tahun 2016 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Puskesmas masih belum memenuhi
kebutuhan hukum di masyarakat sehingga
perlu dilakukan perubahan;
b. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Menteri Kesehatan tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas;
Proses:

Anda mungkin juga menyukai