Anda di halaman 1dari 9

STUDI KASUS

“ETIKA DALAM PRAKTEK PELAYANAN


KEFARMASIAN (KAJIAN ETIKA)”

DOSEN PENGAMPU :
Apt. Dra. Pudiastuti R.S.P, M.M

Disusun oleh:

Kelas C / Kelompok 4

Sri Wahyuni Moh.Ali.B (2020404552)

Widia Wati (2020404561)

Romdani Tri Januar (2020404539)

Virdayanti Dwi Amalia (2020404558)

Siti Zulaiqah (2020404550)

FAKULTAS FARMASI
PROGRAM PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2020
KASUS
Diketahui Apotek KN beberapa bulan yang lalu kedapatan menjual obat-obatan
psikotropika secara bebas sehingga dilakukan penutupan paksa oleh dinas-dinas/lembaga yang
berwenang. Kasat Narkoba Polresta Kompol RJT mengatakan pelaku penyalahgunaan obat
psikotropika di Apotek KN kondisinya memprihatinkan. Hal itu dapat dilihat salama
pemeriksaan terlihat jelas para pasien masih ketergantungan psikotropika.

Berdasarkan pemilahannya, mereka adalah korban psikotropika yang disalahgunakan,


TTK pada Apotek KN selalu memberikan obat psikotropika secara bebas kepada pasien tersebut
walaupun tanpa resep dokter, dengan alasan yang dibeli hanya dalam jumlah sedikit. TTK
memberikan obat tersebut secara bebas tanpa sepengetahuan apoteker pendamping atau apoteker
penanggung jawab sehingga dia merasa apa yang dilakukannya sudah benar. TTK tersebut
adalah S1 farmasi yang baru saja lulus.

Obat yang sering dibeli oleh pasien untuk disalahgunakan adalah Calmlet kerap diberikan
dokter sebagai obat penenang, sedangkan riklona untuk menambah stamina fisik agar lebih giat.
Mengingat tidak adanya resep dalam setiap pembelian obat, maka hal ini termasuk
penyalahgunaan. Dia mengacu pada UU No 5 tahun 1997 tentang psikotropika, bahwa ketentuan
pidana adalah penyalahgunaan.
PEMBAHASAN

1. Kajian Normatif
 TTK pada Apotek KN melakukan kesalahan, karena telah memberikan obat golongan
psikotropika secara bebas kepada pasien tanpa resep dokter yang akhirnya
disalahgunakan oleh pasien.
 Apoteker melakukan kesalahan karena dalam pemilihan TTK tidak tepat dan kurangnya
sosialisasi, pengarahan, serta penjelasan mengenai peredaran dan pelayanan terkait obat-
obat yang harus dengan resep dokter dan tidak menggunakan resep dokter.
 Kasat Narkoba Polresta Kompol RJT benar karena sebagai seorang penegak hukum telah
melakukan tugasnya dengan baik dalam memantau peredaran obat-obat terlarang
diapotek yang disalahgunakan terutama psikotropika, narkotika, dan OOT. “Dia mengacu
pada UU No 5 tahun 1997 tentang psikotropika, bahwa ketentuan pidana adalah
penyalahgunaan”.
 Dinas-dinas/lembaga yang berwenang benar, karena sudah melakukan tugasnya dengan
baik dan tepat untuk melakukan penutupan secara paksa Apotek KN agar kasus yang
ditemukan dapat ditindaklanjuti dan diselesaikan dengan baik oleh pihak Apotek.
2. Kajian Deskriptif
Dalam Studi kasus di atas diketahui bahwa perbuatan yang dilakukan oleh apotek merupakan
pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam
hal ini diatur dalam Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 24,
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Undang-Undang
RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.

a. Undang-Undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Pasal 24
(1)   Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional.
(2)   Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur oleh organisasi profesi.
(3)   Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.

b. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian


Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Teknis Kefarmasian
adalah tenaga yang membantu Apotker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker.

Bentuk pekerjaan kefarmasian yang wajib dilaksanakan oleh seorang Tenaga Teknis
Kefarmasian (menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/X/2002
adalah sebagai berikut:
(1) Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart profesinya.
(2) Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat.
(3) Menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan identitas serta data kesehatan
pasien.
(4) Melakukan pengelolaan apotek.
(5) Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.

c. Undang-Undang RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika


Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah
segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi
mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Pasal 3
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
(1) Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan;
(2) Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
(3) Memberantas peredaran gelap psikotropika
Pasal 8
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 14
(1) Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
8 hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan
dokter.
(2) Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
(3) Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
(4) Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
(5) Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dilaksanakan dalam hal :
a) Menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b) Menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c) Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6) Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya
dapat diperoleh dari apotek.
Pasal 36
(1) Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa
psikotropika untuk digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai bukti
bahwa psikotropika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan,
diperoleh secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5).
Pasal 37
(1) Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk
ikut serta dalam pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada
fasilitas rehabilitasi.
Pasal 51
(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif
terhadap pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga
penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas rehabilitasi yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a) Teguran lisan;
b) Teguran tertulis;
c) Penghentian sementara kegiatan;
d) Denda administratif;
e) Pencabutan izin praktik.
Pasal 60
(1) Barangsiapa :
a) Memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b) Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
atau
c) Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak
terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat
(2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat
(1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal
14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

d. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.


Bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi
lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan
saksama;
Pasal 1
(1) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.
(2) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
(3) Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.
Pasal 14
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar farmasi,
sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat
kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan
wajib disimpan secara khusus.
(2) Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi
pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan,
dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan
menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika
yang berada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan berupa:
a) Teguran;
b) Peringatan;
c) Denda administratif;
d) Penghentian sementara kegiatan; atau
e) Pencabutan izin.
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Pasal 43
(1) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat
menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(2) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:
a) Menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b) Menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika
melalui suntikan; atau
c) Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(3) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.

3. Kajian Konseptual
e. Apoteker penanggung jawab, pendamping, atau pengelola apotek dan seluruh staf yang
lain perlu dilakukan sosialisasi, penjelasan, dan evaluasi terkait peredaran dan pelayanan
obat-obat golongan psikotropika, narkotika, keras, dan OOT di Apotek sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, karena disini
kemungkinan TTK tersebut lupa/kurang begitu paham terkait pemberian obat
psikotropika kepada pasien, sehingga tidak terjadi kesalahan yang sama dilain hari.
 Apotek ditutup maka imbasnya kepada seluruh karyawan mulai dari Apoteker
penanggung jawab dan staf yang lain berhenti bekerja untuk sementara dan sehingga
mengakibatkan muncul pengangguran.
 Apotek ditutup maka pemilik apotek juga mengalami kerugian besar karena apoteknya
ditutup secara paksa.
 Apotek ditutup maka masyarakat sekitar apotek juga mengalami kerugian karena apotek
yang ada disekitarnya tutup dan harus memerlukan biaya lebih jika ingin membeli obat
ke Apotek dengan jarak lebih jauh.

4. Kesimpulan
 Apotek tetap ditutup tetapi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama agar para
pekerja bisa bekerja kembali dan tidak terjadi pengangguran.
 Tidak dilakukan tindak pidana terhadap TTK yang melakukan kesalahan karena
kejadian dilakukan bukan karena unsur kesengajaan melainkan kurangnya ilmu
pengetahuan dalam pelayanan kefarmasian di Apotek.

Anda mungkin juga menyukai