Anda di halaman 1dari 37

KODE ETK DAN DISIPLIN APOTEKER

INDONESIA (KEDAI)
SERTA PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN KEFARMASIAN

Tim Dosen Pengampu : Ahmad Musir


Daftar Pustaka /Referensi :
1. Kode Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia 2015, IAI Jakarta
2. Undang-udang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan
3. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian
4. Kasus Pelanggaran Etika dan Disiplin serta Hukum di Tempat Keja
Apoteker ( Pendukung)
5. Dll
MATERI PEMBELAJARAN :
I. Studi Kasus Hal Yang Harus Dilakukan dan Pelanggaran Etika Yang Terjadi di Berbagai Tempat
Praktek Apoteker Serta Cara Penanganannya.

II. 1. Pengertian Disiplin dan 22 Jenis Pelanggaran disiplin


2. Pembahasan Tentang Bentuk Pelanggaran Disiplin Apoteker
3. Sanksi Terhadap Pelanggaran Displin.

III. Studi Kasus Hal Yang Harus Dilakukan dan Pelanggaran Disiplin Yang Terjadi
di Berbagai Tempat Praktek Apoteker Serta Cara Penangannya.

IV. 1. Sasaran, Sumber Pengaduan dan Prosedur Pengaduan, Penelaahan Pengaduan,


Persiapan Persidangan, dan Keputusan serta Rehabilitasi.
2. Modul untuk Simulasi Persidangan Pelanggaran (Kode Etik dan Disiplin
Apoteker Indonesia (KEDAI ).

V. 1. Pengertian Apotek
2. Pengertian Apoteker
3. Kewenangan dan Kewajiban Apoteker
I . Studi Kasus Hal Yang Harus Dilakukan dan Pelanggaran Etika
Yang Terjadi di Berbagai Tempat Praktek Apoteker Serta Cara
Penanganannya.
Capaian Pembelajaran Matakuliah (CPMK) :
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan tentang pelanggaran Etika
terhadap KEDAI ( Kode Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia)

Tempat Kerja Profesi / Praktek Apoteker :


1. Tempat praktek di Apotek
2. Tempat praktek di Rumah Sakit dan Puskesmas
3. Tempat praktek di Industri Farmasi , Industri Obat Tradisional/Herbal
Dan Tempat Kerja di PBF ( Pedagang Besar Farmasi )

Ad. 1. Studi Kasus Pelanggaran Etika Yang Terjadi Pada Tempat


Praktek Apoteker di Apotek :
CONTOH KASUS :
KASUS 1 :

Obat Kadaluarsa Beredar di Apotek, Seorang ibu bernama Ny. M menjadi korban obat kedaluwarsa.
Warga Kelurahan Sudiang ini menuturkan, dia membeli obat seperti itu (kadaluarsa) di salah
satu apotek di Daya. Dia mencari obat diare. Saat itu, kata Ny. M, dirinya hendak membeli Lacto B,
suplemen makanan. Namun, oleh penjaga apotek, jenis obat tersebut dinyatakan habis. Penjaga apotek
tersebut, kemudian menawarkan Dialac yang tersimpan di dalam lemari pendingin. Menurut penjaga
apotek tersebut, Dialac memiliki komposisi dan kegunaan yang sama dengan Lacto B.
Ny. M mengatakan, setelah obat tersebut diminumkan ke anaknya dengan cara mencampur ke susu,
si buah hatinya mengalami muntah hingga lima kali. Ny. M mengaku panik. Dia pun kemudian membaca
seksama sampul Dialac tersebut. Hasilnya, suplemen makanan dengan nomor registrasi POM SI.044 216 731
tersebut memiliki masa kedaluwarsa 19 November 2017 sebagaimana yang tercantum di pembungkus obat .
Kesimpulan
Pada kasus yang terjadi di apotek tersebut, dimana seorang pasien diberikan obat yang sudah
kadaluarsa oleh pihak apotek, dapat dikategorikan ke dalam kasus pelanggaran kode etik apoteker.
Kode etik apoteker Indonesia itu sendiri merupakan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
dan nilai-nilai yang dianut dan menjadi pegangan dalam praktik kefarmasian. Di dalam Kode Etik
Apoteker Indonesia Bab II tentang Kewajiban Apoteker Terhadap Pasien, dimana pasal 9
berbunyi : Pasal 9 Seorang apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi
makhluk hidup insani.
Apoteker memiliki kewajiban dimana salah satu kewajibannnya yaitu seorang Apoteker harus
memastikan bahwa obat yang diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan,
khasiat, dan cara pakai obat yang tepat. Berdasarkan pasal di atas, apoteker sebagai mitra pasien
dalam menjalani pengobatan seharusnya lebih teliti, bertanggung jawab, dan lebih mementingkan
kepentingan dan keselamatan pasien.
KASUS 2
Apotek Unhalu berada di jalan Mandonga kota Kendari. Letaknya sangat strategis
berada di tengah kota, buka pelayanan tiap hari jam 16.00 – 22.00 . pasien sangat ramai
serta jumlah resep yang banyak dilayani. Setiap hari rata-rata 100 lembar resep. APA juga
merupakan PNS dan masuk apotek jam 19.30. Karena banyaknya pasien yang dilayani,
penyerahan obat oleh tenaga teknis kefarmasian tidak sempat memberikan informasi yang cukup
Kajian Menurut Undang – undang berdasarkan permasalahan diatas, kami menemukan beberapa
ketidak hubungan antara yang terjadi dengan yang terdapat di peraturan – peraturan yang berlaku
mengenai kesehatan dan pelayanan kesehatan. Peraturan-peraturan itu sebagai berikut :
1. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal5 (1 ).
“Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau” Pasal 8 “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah dan akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.
Pasal 108 (1)“ Praktek kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat bahan obat dan
obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” 2. Undang-undang
N0.8 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen Pasal4 (1)“Hak atas kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”. 3. Peraturan Pemerintah
N o. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian: Pasal 1.
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker”
Pasal20 “Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian” Pasal21 (1)“
Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian”. (2) “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep
dokter dilaksanakan oleh Apoteker” Pasal51 (1)“Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker” 4. Keputusan Menteri
Kesehatan No.1332/MENKES/PER/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemebrian Izin
Apotek Pasal 19. ( 1 ).
“Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotik, Apoteker
Pengelola Apotik harus menunjuk Apoteker pendamping.” (2)“
Apabila Apoteker Pengelola Apotik dan Apoteker Pendamping karena hal- hal tertentu
berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotik menunjuk .Apoteker Pengganti”
5. Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan
di Apotek Bab III tentang pelayanan, standar pelayanan kesehatan di apotek meliputi:
1. Pelayanan resep : apoteker melakukan skrining resep dan penyiapan obat
2. Apoteker memberikan promosi dan edukasi
3. Apoteker memberikan pelayanan kefarmasian (homecare)
Penyiapan obat Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh
apoteker disertai dengan informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga
keseahatan. (3.6) Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter
hewan kepada apoteker untuk menyediakan obat bagi pasien sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
S OLU SI
Apoteker yang telah bekerja dan menjadi Apoteker Penanggung Jawab di sebuah apotek, harus mengontrol dan bertanggung jawab
seluruhnya terhadap seluruh kegiatan kefarmasian yang ada di Apotek.Untuk membantu kerja tersebut, sebaiknya dibuat prosedur tetap
yang dibuat oleh apoteker dan digunakan secara bersama -sama oleh seluruh tenaga kesehatan yang ada di apotek, meliputi:
1. Pemastian bahwa praktek yang baik dapat tercapai setiap saat.
2. Adanya pembagian tugas dan wewenang antara apoteker dengan asisten apoteker.
3. Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja diapotek.
4. Dapat digunakan alat untuk melatih staf baru.
5. Membantu proses audit.

KESIMPULAN :

• Berdasarkan keterangan diatas, praktek kefarmasian di apotek melanggar beberapa ketentuan, yaitu : Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan pasal5, pasal 8 dan pasal 108 Tentang Kesehatan, Undang- Undang No. 8 Tahun 1998 pasal 4 Tentang
Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 pasal 1ayat 13, pasal 20, pasal 21 ayat 1 dan 2 dan pasal 19 ayat 1
Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/MENKES/PER/SK/X/2002 pasal19 ayat 1 dan 2 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar
Pelayanan diApotek, Kode etik apoteke rpasal3 dan5, Lafal sumpah atau Janji Apoteker.
KASUS 3
• Diketahui Apotek KN beberapa bulan yang lalu kedapatan menjual obat-obatan psikotropika
secara bebas sehingga dilakukan penutupan paksa oleh dinas-dinas / lembaga yang berwenang.
Kasat Narkoba Polresta Kompol Dodo Hendro Kusumo mengatakan pasien di Apotek KN,
Yogyakarta yang diserahkan ke Satnarkoba Polresta Yogyakarta kondisinya memprihatinkan.
Itu dapat dilihat salama pemeriksaan terlihat jelas para pasien masih ketergantungan psikotropika.
Berdasarkan pemilahannya,mereka adalah korban psikotropika yang harus disembuhkan,
penderita suatu penyakit yang disarankan dokter melalui resep untuk mengonsumsi dua jenis
psikotropika itu,misal karena insomnia dan depresi,dan juga karena efek kecelakaan sehingga
terkena sarafnya dan harus tergantung obat tersebut.
• Dengan resep dokter,mereka datang ke apotek untuk menebusnya.Calmlet kerap diberikan
dokter sebagai obat penenang,sedangkan riklona untuk menambah stamina fisik agar lebih giat.
Mengingat adanya resep itu,maka tidak termasuk penyalahgunaan.Dia mengacu pada UU No 5
tahun 1997 tentang psikotropika,bahwa ketentuan pidana adalah penyalahgunaan.Sementara,
para pasien itu hanya sebagai orang yang mau menebus obat berdasarkan resep dokter
( Tribunjogja.com,Agustus 2012 )

 
Permasalahan Kasus

1. Terkait standar pelayanan kefarmasian,sumpah dan kode etik Tenaga Teknis


Kefarmasian (TTK) di sektor pelayanan, apa yang seharusnya dilakukan
anda sebagai TTK pada saat bekerja di Apotek KN tersebut dan ternyata
dalam perjalannya Apoteker tersebut kedapatan menjual obat-obatan
psikotropika secara bebas ?

2. Apabila anda sebagai PSA ( Pemilik Sarana Apotek) sekaligus TTK di apotek
tersebut langkah kongkrit apa yang harus di lakukan untuk menyelesaikan
masalah di atas ?
 Dasar Hukum Pelanggaran
Dalam Studi kasus yang kedua perbuatan yang dilakukan oleh apotek merupakan
 pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam
hal ini diatur dalam Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 24,
Undang-undang No. 51Tahun 2009,  Undang-undang RI No. 51 Tahun 1997 tentang
Psikotropika dan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

1.   UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


  Pasal 24
(1)   Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional.
(2)    Ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur oleh organisasi profesi.
(3)   Ketentuan mengenai hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan,
dan standar prosedur operasional sebagaimana dimaksudpada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Menteri.

 
 
2.    UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
Pasal 1 
(1)  Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
(2)  Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang meningkat agar
 menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
(3)   Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.
Pasal 14

(1)   Narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi,pedagang besar farmasi,


sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan
 masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan
secara khusus.
(2)   Industri Farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah,
apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan Lembaga
ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
 pemasukan dan/atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
(4)   Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Menteri atas rekomendasi dari Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa:
a.       teguran;
b.      peringatan;
c.      denda administratif;
d.      penghentian sementara kegiatan; atau
e.      pencabutan izin.

Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Pasal 43
(3)  Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya
dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.

(4)  Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:


a.   Menjalankan praktek dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;
b.    Menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau
c.   Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan oleh dokter
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat diperoleh di apotek.
 
    PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
1. Menurut PP 51 tahun 2009 pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud
mencapai hasil yang pasti untuk menigkatkan mutu kehidupan pasien.
2.  Bentuk pekerjaan kefarmasian yang wajib dilaksanakan oleh seorang Tenaga Teknis
Kefarmasian (menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332/MENKES/X/2002
adalah sebagai berikut :
1.      Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standart  profesinya.
2.      Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan/pemakaian obat.
3.      Menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan idntitas serta data kesehatan pasien.
4.      Melakukan pengelolaan apotek.
5.      Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi.
 
1. Menurut PP 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Tenaga Teknis
Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan
kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi,
dan Tenaga Mnengah Farmasi/Asisten Apoteker.
2. Pelayanan Kefarmasian adalah bentuk pelayanan dan bentuk tanggung jawab langsung
profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk menigkatkan kualitas hidup
pasien (Menkes RI,2004)

   UU RI No. 51 Tahun 1997 tentang Psikotropika


Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah segala
kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan
sindroma ketergantungan.
Pasal 3
Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah :
a.     Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan
dan ilmu pengetahuan;
b.     Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c.     Memberantas peredaran gelap psikotropika
   
Pasal 8
Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.
Pasal 14
(1)    Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2)    Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepa-da apotek lainnya,
rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
(3)    Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
(4)   Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
(5)    Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam hal :
a. Menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. Menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6)    Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya
dapat diperoleh darin apotek.
Pasal 36
(1)    Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa psikotropika
untuk digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau perawatan.
(2)     Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa
psikotropika yang dimiliki, disim-pan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).
Pasal 37
(1)      Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta
dalam pengobatan dan/atau pera-watan.
(2)     Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas rehabilitasi.
Pasal 51
(1)    Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik obat,
pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas
rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
(2)    Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa :
a.       teguran lisan;
b.       teguran tertulis
c.       penghentian sementara kegiatan;
d.      denda administratif;
e.       pencabutan izin praktek.
Pasal 60
(1)   Barangsiapa :
a.    Memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b.    Memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi
standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
c.     Memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar
pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2)    Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(3)    Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4)    Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
fasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(5)    Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam


Pasal 14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama
(tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan.
Ad. 2. Studi Kasus Pelanggaran Etika Yang Terjadi
Pada Tempat Praktek Apoteker di Rumah Sakit
dan Puskesmas / Klinik
KASUS 1

Pak Anton mendapatkan resep dari Poliklinik Anak Rumah Sakit “Amanah”
untuk putranya yang berusia 8 tahun, Amoxicillin Dry syrup, menurut petugas
yang menyerahkan obat tersebut syrup ini habis dalam 4 hari dan harus diminum
terus selama 4 hari 3xsehari 1 sendok obat (5ml), tetapi ternyata setelah 2 hari
penyakitnya malah tambah parah sehingga harus opname.

Permasalahan
a. Pada kasus di atas apoteker belum memenuhi hak pasien karena belum
memberikan infomasi yang jelas dan benar mengenai obat yang diberikan
atau diresepkan oleh dokter dari cara pemakaian, penyimpanan,
efek samping.
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penggunaan obat yang dikonsumsi
sehingga memberi efek yang fatal atau buruk karena pasien tidak mendapatkan
kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan obat (produk).

b. Kajian Pelanggaran Etika oleh Apoteker Pelanggaran-pelanggaran yang terkait


mengenai Apoteker yang tidak memberikan informasi yang jelas kepada pasien adalah :

1. Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 7 : “Seorang Apoteker harus menjadi sumber
informasi sesuai dengan profesinya”. Pasal 9 : “Seorang Apoteker melakukan
praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati
hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insane”.

2. UU No. 23 Tahun 1992


tentang Kesehatan Yang menyatakan bahwa :
Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, dan
obat tradisional. 3. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlidungan Konsumen :

a) Pasal 4a Hak konsumen adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

b) Pasal 7b Kewajiban pelaku usaha adala : Memberikan informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. 4. SK Menkes RI
No 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.

Tujuan pelayanan farmasi ialah :


1. Melangsungkan pelayanan farmasi yang optimal baik dalam keadaan biasa
maupun dalam keadaan gawat darurat, sesuai dengan keadaan pasien maupun
fasilitas yang tersedia .
2. Menyelenggarakan kegiatan pelayanan profesional berdasarkan prosedur
kefarmasian dan etik profesi.
3. Melaksanakan KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi) mengenai obat
4. Menjalankan pengawasan obat berdasarkan aturan-aturan yang berlaku
5. Melakukan dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan
6. Mengawasi dan memberi pelayanan bermutu melalui analisa, telaah dan evaluasi pelayanan.

c ) Solusi Dalam pencegahan pelanggaran kode etik apoteker tersebut diperlukan strategi antara lain:

 Adanya kebijakan tentang pelayanan farmasi klinis dari pemerintah maupun pimpinan
rumah sakit bersangkutan
 Adanya dalam praktek KIE dalam pelayanan dfarmasi di rumah sakit.
 Adanya kegiatan riset dan pengembangan yang dilaksanakan serta pendidikan dan pelatihan
 Adanya auditing sebagai proses umpan balik untuk perbaikan dan memberi jaminan kualitas
yang dikehendaki
 Mempertinggi kemampuan untuk memberdayakan farmasi rumah sakit
 Kepentingan dan tujuan kegiatan farmasi klinis harus dimengerti dan disepakati
oleh petugas- petugas kesehatan.
 Menjalin hubungan baik antara profesi medis dan farmasi.
KESIMPULAN
1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban
segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek organisasi,
sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.

2. Dalam pelaksanaan pelayanan di Rumah Sakit pasti akan menghadapi berbagai kendala,
antara lain sumber daya manusia/tenaga farmasi di rumah sakit, kebijakan manajeman
rumah sakit serta pihak-pihak terkait yang umumnya masih dengan paradigma lama yang
“melihat” pelayanan farmasi di rumah sakit “hanya” mengurusi masalah pengadaan dan
distribusi obat saja. Oleh karena itu, dalam pelayanan farmasi di Rumah Sakit harus
meningkatakan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, antara lain : praktek KIE,
monitoring penggunaan obat.
KASUS 2
Bapak KY 58 tahun merupakan seorang pasien di Puskesmas mengeluhkan mata perih
dan merah karena terkena butiran pasir saat menggunakan motor  pada tanggal 2 Mei 2017
lalu datang kedokter dan diberikan resep.
Saat berada dirumah pasien baru membaca bahwa obat tetes yang diberikan tertulis
merupakan chlorampenicol 3% obat tetes telinga namun pasien beranggapan mungkin
obat tersebut bisa digunakan untuk tetes mata dan tetes telinga saat digunakan mata pasien
terasa semakin perih.

Pasiennya kemudian datang kembali ke dokter dipuskesmas dan mengeluhkan obat


yang diberikan, dokter pun mengganti resep namun ternyata saat sampai dirumah
membaca kembali obat tersebut merupakan tetes telinga lagi pasien pun masih
beranggapan bisa digunakan untuk tetes mata dan telinga namun saat diteteskan ke
mata pasien malah lebih perih dan sakit  serta pusing hingganya pasien pergi ke dokter
spesialis mata dengan keluarganya, setelah diperiksa  mata pasien masih normal
tapi tidak dapat dipastikan untuk kedepannya dan hal ini sangat membuat pasien
tidak nyaman dan akhirnya melakukan protes terhadap Puskesmas agar tidak
terjadi kejadian serupa.
Ad. 3. Tempat praktek di Industri Farmasi , Industri Obat Tradisional/Herbal
dan Pedagang Besar Farmasi

KASUS 1
Sebuah pabrik Obat Tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah
memproduksi mengandung BKO secara tanpa hak dan kewenangan.
Ruang produksi OT TI dan mengandung BKO tersebut didesain seperti
Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).

Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan :


1 Tersangka mencampur BKO ke dalam produk OT agar lebih manjur
2. Tersangk a mencampur sendiri BKO tersebut ke dalam produk OT yang sedang dibuat
3. Tersangka mengetahui bahwa perbuatannya mencampur BKO ke dalam
produk OT adalah melanggar Undang Undang
4. Sumber BKO adalah SUNARKO rekan kerjasama usaha produk OT,
yang juga merupakan pemodal perusahaan tersebut dengan modal 50% : 50%
5. Perusahaan yang dimiliki oleh Tersangka dan SUNARKO tidak memiliki
nama dan izin karena berada di bawah Koperasi Aneka Sari.
KAJIAN PELANGGARAN ETIKA DAN UNDANG-UNDANG

Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian


Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi Pasal 7
(1). Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker
penanggung jawab Pasal 9
(2) Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya
1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab

Pembahasan Dalam kasus tersebut di atas, pabrik obat tradisional tersebut tidak
mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi.
Hal ini menyebabkan produksi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOTB
(Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Sehingga pabrik tersebut
melanggar PP 51/2009 Pasal 7 (1) dan Pasal 9 (2).
KASUS 2 :
Kasus 2a
Dalam FI IV disebutkan bahwa tablet efedrin memiliki kadar yang dapat diterima adalah
90-100% efedrin anhydrat.
 Untuk memproduksi tablet efedrin 50 mg sebanyak 1.000.000 tab diperlukan 50 kg serbuk
efedrin anhydrat dengan penambahan berbagai bahan campuran lainnya.
 Hasil uji bagian QC didapat kadar efedrin 95,25%, KS/KB, WH memenuhi syarat sehingga
barang tersebut diluluskan.
 Tablet efedrin yang dibuat menjadi 1.047.500 tablet.  Hasil ini terjadi berulang-ulang.
 Telah dilakukan check proses, namun hasil sama.

Kasus 2b
Apoteker S, seorang Manajer roduksi suatu Industri farmasi diminta untuk memproduksi
sediaan Tablet Captoprl 25 mg. Sesuai dengan syarat standard dalam Farmakope Indonesia
edisi IV, syarat kadar Captopril tablet adalah 90 s.d. 110%. Guna memproduksi 100.000
tablet Captopril 25 mg
Apoteker S menimbang 2,300 kg sehingga tiap tablet mengandung
rata-rata 96,00%. Obat dapat diproduksi dan secara peraturan perundang-
undangan memenuhi syarat kadar. Apoteker S dibanggakan oleh pemilik
industri dan mendapat bonus besar karena produksi Captopril tablet
menghasilkan laba yang banyak.

Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker ?


• Cari komitmen pimpinan terhadap mutu.
• Lakukan validasi proses.
• Bobot keseragaman obat tablet efedrin 50 mg, walaupun range 95-110%,
akan tetapi harus ditimbang 50 mg jangan dikurangi
Kasus 3 :
Apoteker M menjadi penanggung jawab apotek di Kota A yang sekaligus sebagai pemilik
sarana apotek, suatu saat ia mendapatkan tawaran untuk menjadi penanggung jawab
PBF Z dan ia menerima tawaran tersebut. tanpa melepas status sebagai APA,
ia menjadi penanggung jawab PBF Z. 

Untuk mencapai target yang telah ditetapkan perusahaan (PBF Z), apoteker M melakukan


kerjasama dengan apotek miliknya untuk mendistribusikan obat ke klinik dan balai pengobatan
atau rumah sakit - rumah sakit, .Apotek akan mendapatkan fee dari kerjasama ini sebesar 2%
faktur penjualan.

Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur pengiriman,
faktur pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek,
pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua disiapkan dengan rapi sehingga setiap
ada pemeriksaan Badan POM tidak terlihat adanya penyimpangan secara administrasi.
TATA CARA PENANGANAN PELANGGARAN
 Sumber Pengaduan:
1. Pasien/Masyarakat.
2. Dokter /Tenaga Kesehatan lainnya.
3. Teman Sejawat.
4. Pengurus Cabang / Daerah
5. Instansi Pemerintah.

 MEDAI Daerah , menerima Pengaduan Tertulis yang :


- Cukup Bukti
- Berisi Kronologi
- Tempat dan Waktu Kejadian.

Selanjutnya tugas MEDAI Daerah, adalah:


- Menelaah Pengaduan, kalau perlu melakukan peninjauan lansung.
- Dalam 20 hari kerja sudah dibuat “Keputusan”,apakah Perkara akan diteruskan
untuk disidang atau tidak.
- “Kalau Tidak”, MEDAI D harus menulis kepada Pelapor dan PC/PD serta CC kpd MEDAI P.
“ Kalau Sidang”, Maka Sekretaris MEDAI D menyiapkan Sidang sesuai tata cara persidangan.
Bagaimana kalau terlapor tidak datang?
- Bilamana setelah 3 x Pemanggilan Terlapor tidak hadir dalam sidang maka MEDAI D dapat
melakukan sidang “inabsentia”.
- Selanjutnya hasil sidang di sampaikan kepada Terlapor, PC/PD dan MEDAI P.
- Bilamana Tersangka tidak terima keputusan MEDAI D, ybs dapat melakukan Banding ke MEDAI Pusat.
Sebetulnya kalau semua Apoteker mau menjalankan praktek profesi nya dengan baik dan benar
serta disiplin menjalankanya, maka itu berarti kita sudah mengamalkan Kode Etik dan sudah
terhindar dari Pelanggaran Disiplin Apoteker.

• Bilamana kita mengamalkan Kode Etik dan Pedoman Disiplin, maka apresiasi masyarakat
dan profesi Kesehatan lain akan menigkat.
• Bilamana sudah ada apresiasi masyarakatdan Profefesi Kesehatan lainnya,maka
itu artinya “TRUST” sudah muncul terhadap Apoteker.
• Bilamana Trust sudah muncul,maka masyarakat akan “membutuhkan” Apoteker.
• Kalau sudah menjadi kebutuhan maka kesejahteraan Apoteker akan meningkat.
• Karena dalam sistem JKN atau asuransi setiap profesi akan diberikan ‘reward’ sesuai dengan
kontribusi nya dalam meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan.

Kesimpulan
Tanpa pelaksanaan Kode Etik dan Disiplin Apoteker yang baik
dan benar maka Apoteker akan ditinggalkan dalam sistem JKN,
karena tidak memberi mamfaat terhadap total sistem.
Semoga ini tidak pernah terjadi.

Anda mungkin juga menyukai