INDONESIA (KEDAI)
SERTA PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN KEFARMASIAN
III. Studi Kasus Hal Yang Harus Dilakukan dan Pelanggaran Disiplin Yang Terjadi
di Berbagai Tempat Praktek Apoteker Serta Cara Penangannya.
V. 1. Pengertian Apotek
2. Pengertian Apoteker
3. Kewenangan dan Kewajiban Apoteker
I . Studi Kasus Hal Yang Harus Dilakukan dan Pelanggaran Etika
Yang Terjadi di Berbagai Tempat Praktek Apoteker Serta Cara
Penanganannya.
Capaian Pembelajaran Matakuliah (CPMK) :
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan tentang pelanggaran Etika
terhadap KEDAI ( Kode Etik dan Disiplin Apoteker Indonesia)
Obat Kadaluarsa Beredar di Apotek, Seorang ibu bernama Ny. M menjadi korban obat kedaluwarsa.
Warga Kelurahan Sudiang ini menuturkan, dia membeli obat seperti itu (kadaluarsa) di salah
satu apotek di Daya. Dia mencari obat diare. Saat itu, kata Ny. M, dirinya hendak membeli Lacto B,
suplemen makanan. Namun, oleh penjaga apotek, jenis obat tersebut dinyatakan habis. Penjaga apotek
tersebut, kemudian menawarkan Dialac yang tersimpan di dalam lemari pendingin. Menurut penjaga
apotek tersebut, Dialac memiliki komposisi dan kegunaan yang sama dengan Lacto B.
Ny. M mengatakan, setelah obat tersebut diminumkan ke anaknya dengan cara mencampur ke susu,
si buah hatinya mengalami muntah hingga lima kali. Ny. M mengaku panik. Dia pun kemudian membaca
seksama sampul Dialac tersebut. Hasilnya, suplemen makanan dengan nomor registrasi POM SI.044 216 731
tersebut memiliki masa kedaluwarsa 19 November 2017 sebagaimana yang tercantum di pembungkus obat .
Kesimpulan
Pada kasus yang terjadi di apotek tersebut, dimana seorang pasien diberikan obat yang sudah
kadaluarsa oleh pihak apotek, dapat dikategorikan ke dalam kasus pelanggaran kode etik apoteker.
Kode etik apoteker Indonesia itu sendiri merupakan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak
dan nilai-nilai yang dianut dan menjadi pegangan dalam praktik kefarmasian. Di dalam Kode Etik
Apoteker Indonesia Bab II tentang Kewajiban Apoteker Terhadap Pasien, dimana pasal 9
berbunyi : Pasal 9 Seorang apoteker dalam melakukan pekerjaan kefarmasian harus
mengutamakan kepentingan masyarakat dan menghormati hak asasi penderita dan melindungi
makhluk hidup insani.
Apoteker memiliki kewajiban dimana salah satu kewajibannnya yaitu seorang Apoteker harus
memastikan bahwa obat yang diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan,
khasiat, dan cara pakai obat yang tepat. Berdasarkan pasal di atas, apoteker sebagai mitra pasien
dalam menjalani pengobatan seharusnya lebih teliti, bertanggung jawab, dan lebih mementingkan
kepentingan dan keselamatan pasien.
KASUS 2
Apotek Unhalu berada di jalan Mandonga kota Kendari. Letaknya sangat strategis
berada di tengah kota, buka pelayanan tiap hari jam 16.00 – 22.00 . pasien sangat ramai
serta jumlah resep yang banyak dilayani. Setiap hari rata-rata 100 lembar resep. APA juga
merupakan PNS dan masuk apotek jam 19.30. Karena banyaknya pasien yang dilayani,
penyerahan obat oleh tenaga teknis kefarmasian tidak sempat memberikan informasi yang cukup
Kajian Menurut Undang – undang berdasarkan permasalahan diatas, kami menemukan beberapa
ketidak hubungan antara yang terjadi dengan yang terdapat di peraturan – peraturan yang berlaku
mengenai kesehatan dan pelayanan kesehatan. Peraturan-peraturan itu sebagai berikut :
1. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal5 (1 ).
“Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau” Pasal 8 “Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya
termasuk tindakan dan pengobatan yang telah dan akan diterimanya dari tenaga kesehatan”.
Pasal 108 (1)“ Praktek kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu
sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat bahan obat dan
obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” 2. Undang-undang
N0.8 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen Pasal4 (1)“Hak atas kenyamanan, keamanan,
dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa”. 3. Peraturan Pemerintah
N o. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian: Pasal 1.
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker”
Pasal20 “Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau Tenaga Teknis Kefarmasian” Pasal21 (1)“
Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian”. (2) “Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep
dokter dilaksanakan oleh Apoteker” Pasal51 (1)“Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau
instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker” 4. Keputusan Menteri
Kesehatan No.1332/MENKES/PER/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemebrian Izin
Apotek Pasal 19. ( 1 ).
“Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka Apotik, Apoteker
Pengelola Apotik harus menunjuk Apoteker pendamping.” (2)“
Apabila Apoteker Pengelola Apotik dan Apoteker Pendamping karena hal- hal tertentu
berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotik menunjuk .Apoteker Pengganti”
5. Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar Pelayanan
di Apotek Bab III tentang pelayanan, standar pelayanan kesehatan di apotek meliputi:
1. Pelayanan resep : apoteker melakukan skrining resep dan penyiapan obat
2. Apoteker memberikan promosi dan edukasi
3. Apoteker memberikan pelayanan kefarmasian (homecare)
Penyiapan obat Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh
apoteker disertai dengan informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga
keseahatan. (3.6) Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter
hewan kepada apoteker untuk menyediakan obat bagi pasien sesuai peraturan
perundangan yang berlaku.
S OLU SI
Apoteker yang telah bekerja dan menjadi Apoteker Penanggung Jawab di sebuah apotek, harus mengontrol dan bertanggung jawab
seluruhnya terhadap seluruh kegiatan kefarmasian yang ada di Apotek.Untuk membantu kerja tersebut, sebaiknya dibuat prosedur tetap
yang dibuat oleh apoteker dan digunakan secara bersama -sama oleh seluruh tenaga kesehatan yang ada di apotek, meliputi:
1. Pemastian bahwa praktek yang baik dapat tercapai setiap saat.
2. Adanya pembagian tugas dan wewenang antara apoteker dengan asisten apoteker.
3. Memberikan pertimbangan dan panduan untuk tenaga kesehatan lain yang bekerja diapotek.
4. Dapat digunakan alat untuk melatih staf baru.
5. Membantu proses audit.
KESIMPULAN :
• Berdasarkan keterangan diatas, praktek kefarmasian di apotek melanggar beberapa ketentuan, yaitu : Undang-Undang No. 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan pasal5, pasal 8 dan pasal 108 Tentang Kesehatan, Undang- Undang No. 8 Tahun 1998 pasal 4 Tentang
Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 pasal 1ayat 13, pasal 20, pasal 21 ayat 1 dan 2 dan pasal 19 ayat 1
Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/MENKES/PER/SK/X/2002 pasal19 ayat 1 dan 2 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek, Keputusan Menteri Kesehatan No.1027/MENKES/SK/IX/2004 Tentang Standar
Pelayanan diApotek, Kode etik apoteke rpasal3 dan5, Lafal sumpah atau Janji Apoteker.
KASUS 3
• Diketahui Apotek KN beberapa bulan yang lalu kedapatan menjual obat-obatan psikotropika
secara bebas sehingga dilakukan penutupan paksa oleh dinas-dinas / lembaga yang berwenang.
Kasat Narkoba Polresta Kompol Dodo Hendro Kusumo mengatakan pasien di Apotek KN,
Yogyakarta yang diserahkan ke Satnarkoba Polresta Yogyakarta kondisinya memprihatinkan.
Itu dapat dilihat salama pemeriksaan terlihat jelas para pasien masih ketergantungan psikotropika.
Berdasarkan pemilahannya,mereka adalah korban psikotropika yang harus disembuhkan,
penderita suatu penyakit yang disarankan dokter melalui resep untuk mengonsumsi dua jenis
psikotropika itu,misal karena insomnia dan depresi,dan juga karena efek kecelakaan sehingga
terkena sarafnya dan harus tergantung obat tersebut.
• Dengan resep dokter,mereka datang ke apotek untuk menebusnya.Calmlet kerap diberikan
dokter sebagai obat penenang,sedangkan riklona untuk menambah stamina fisik agar lebih giat.
Mengingat adanya resep itu,maka tidak termasuk penyalahgunaan.Dia mengacu pada UU No 5
tahun 1997 tentang psikotropika,bahwa ketentuan pidana adalah penyalahgunaan.Sementara,
para pasien itu hanya sebagai orang yang mau menebus obat berdasarkan resep dokter
( Tribunjogja.com,Agustus 2012 )
Permasalahan Kasus
2. Apabila anda sebagai PSA ( Pemilik Sarana Apotek) sekaligus TTK di apotek
tersebut langkah kongkrit apa yang harus di lakukan untuk menyelesaikan
masalah di atas ?
Dasar Hukum Pelanggaran
Dalam Studi kasus yang kedua perbuatan yang dilakukan oleh apotek merupakan
pelanggaran karena bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam
hal ini diatur dalam Undang-undang RI No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 24,
Undang-undang No. 51Tahun 2009, Undang-undang RI No. 51 Tahun 1997 tentang
Psikotropika dan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
2. UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan
di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila
disalahgunakan atau digunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama;
Pasal 1
(1) Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
(2) Ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk
menggunakan Narkotika secara terusmenerus dengan takaran yang meningkat agar
menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau
dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas.
(3) Penyalah Guna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.
Pasal 14
Pasal 38
Setiap kegiatan peredaran Narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Pasal 43
(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya
dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam
fasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pak Anton mendapatkan resep dari Poliklinik Anak Rumah Sakit “Amanah”
untuk putranya yang berusia 8 tahun, Amoxicillin Dry syrup, menurut petugas
yang menyerahkan obat tersebut syrup ini habis dalam 4 hari dan harus diminum
terus selama 4 hari 3xsehari 1 sendok obat (5ml), tetapi ternyata setelah 2 hari
penyakitnya malah tambah parah sehingga harus opname.
Permasalahan
a. Pada kasus di atas apoteker belum memenuhi hak pasien karena belum
memberikan infomasi yang jelas dan benar mengenai obat yang diberikan
atau diresepkan oleh dokter dari cara pemakaian, penyimpanan,
efek samping.
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan penggunaan obat yang dikonsumsi
sehingga memberi efek yang fatal atau buruk karena pasien tidak mendapatkan
kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan obat (produk).
1. Kode Etik Apoteker Indonesia Pasal 7 : “Seorang Apoteker harus menjadi sumber
informasi sesuai dengan profesinya”. Pasal 9 : “Seorang Apoteker melakukan
praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati
hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insane”.
a) Pasal 4a Hak konsumen adalah : Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.
b) Pasal 7b Kewajiban pelaku usaha adala : Memberikan informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, serta memberikan
penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. 4. SK Menkes RI
No 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
c ) Solusi Dalam pencegahan pelanggaran kode etik apoteker tersebut diperlukan strategi antara lain:
Adanya kebijakan tentang pelayanan farmasi klinis dari pemerintah maupun pimpinan
rumah sakit bersangkutan
Adanya dalam praktek KIE dalam pelayanan dfarmasi di rumah sakit.
Adanya kegiatan riset dan pengembangan yang dilaksanakan serta pendidikan dan pelatihan
Adanya auditing sebagai proses umpan balik untuk perbaikan dan memberi jaminan kualitas
yang dikehendaki
Mempertinggi kemampuan untuk memberdayakan farmasi rumah sakit
Kepentingan dan tujuan kegiatan farmasi klinis harus dimengerti dan disepakati
oleh petugas- petugas kesehatan.
Menjalin hubungan baik antara profesi medis dan farmasi.
KESIMPULAN
1. Hukum rumah sakit adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban
segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanaan kesehatan yaitu rumah sakit dalam segala aspek organisasi,
sarana, pedoman medik serta sumber-sumber hukum lainnya.
2. Dalam pelaksanaan pelayanan di Rumah Sakit pasti akan menghadapi berbagai kendala,
antara lain sumber daya manusia/tenaga farmasi di rumah sakit, kebijakan manajeman
rumah sakit serta pihak-pihak terkait yang umumnya masih dengan paradigma lama yang
“melihat” pelayanan farmasi di rumah sakit “hanya” mengurusi masalah pengadaan dan
distribusi obat saja. Oleh karena itu, dalam pelayanan farmasi di Rumah Sakit harus
meningkatakan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, antara lain : praktek KIE,
monitoring penggunaan obat.
KASUS 2
Bapak KY 58 tahun merupakan seorang pasien di Puskesmas mengeluhkan mata perih
dan merah karena terkena butiran pasir saat menggunakan motor pada tanggal 2 Mei 2017
lalu datang kedokter dan diberikan resep.
Saat berada dirumah pasien baru membaca bahwa obat tetes yang diberikan tertulis
merupakan chlorampenicol 3% obat tetes telinga namun pasien beranggapan mungkin
obat tersebut bisa digunakan untuk tetes mata dan tetes telinga saat digunakan mata pasien
terasa semakin perih.
KASUS 1
Sebuah pabrik Obat Tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah
memproduksi mengandung BKO secara tanpa hak dan kewenangan.
Ruang produksi OT TI dan mengandung BKO tersebut didesain seperti
Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).
Pembahasan Dalam kasus tersebut di atas, pabrik obat tradisional tersebut tidak
mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi.
Hal ini menyebabkan produksi tersebut tidak memenuhi persyaratan CPOTB
(Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik). Sehingga pabrik tersebut
melanggar PP 51/2009 Pasal 7 (1) dan Pasal 9 (2).
KASUS 2 :
Kasus 2a
Dalam FI IV disebutkan bahwa tablet efedrin memiliki kadar yang dapat diterima adalah
90-100% efedrin anhydrat.
Untuk memproduksi tablet efedrin 50 mg sebanyak 1.000.000 tab diperlukan 50 kg serbuk
efedrin anhydrat dengan penambahan berbagai bahan campuran lainnya.
Hasil uji bagian QC didapat kadar efedrin 95,25%, KS/KB, WH memenuhi syarat sehingga
barang tersebut diluluskan.
Tablet efedrin yang dibuat menjadi 1.047.500 tablet. Hasil ini terjadi berulang-ulang.
Telah dilakukan check proses, namun hasil sama.
Kasus 2b
Apoteker S, seorang Manajer roduksi suatu Industri farmasi diminta untuk memproduksi
sediaan Tablet Captoprl 25 mg. Sesuai dengan syarat standard dalam Farmakope Indonesia
edisi IV, syarat kadar Captopril tablet adalah 90 s.d. 110%. Guna memproduksi 100.000
tablet Captopril 25 mg
Apoteker S menimbang 2,300 kg sehingga tiap tablet mengandung
rata-rata 96,00%. Obat dapat diproduksi dan secara peraturan perundang-
undangan memenuhi syarat kadar. Apoteker S dibanggakan oleh pemilik
industri dan mendapat bonus besar karena produksi Captopril tablet
menghasilkan laba yang banyak.
Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur pengiriman,
faktur pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek,
pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua disiapkan dengan rapi sehingga setiap
ada pemeriksaan Badan POM tidak terlihat adanya penyimpangan secara administrasi.
TATA CARA PENANGANAN PELANGGARAN
Sumber Pengaduan:
1. Pasien/Masyarakat.
2. Dokter /Tenaga Kesehatan lainnya.
3. Teman Sejawat.
4. Pengurus Cabang / Daerah
5. Instansi Pemerintah.
• Bilamana kita mengamalkan Kode Etik dan Pedoman Disiplin, maka apresiasi masyarakat
dan profesi Kesehatan lain akan menigkat.
• Bilamana sudah ada apresiasi masyarakatdan Profefesi Kesehatan lainnya,maka
itu artinya “TRUST” sudah muncul terhadap Apoteker.
• Bilamana Trust sudah muncul,maka masyarakat akan “membutuhkan” Apoteker.
• Kalau sudah menjadi kebutuhan maka kesejahteraan Apoteker akan meningkat.
• Karena dalam sistem JKN atau asuransi setiap profesi akan diberikan ‘reward’ sesuai dengan
kontribusi nya dalam meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan.
Kesimpulan
Tanpa pelaksanaan Kode Etik dan Disiplin Apoteker yang baik
dan benar maka Apoteker akan ditinggalkan dalam sistem JKN,
karena tidak memberi mamfaat terhadap total sistem.
Semoga ini tidak pernah terjadi.