KEPERAWATAN
Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak
ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh
para pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi
dari suatu perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu
perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap
pelaksanakan isi dari perjanjian Yusuf Sofie. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi.
Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002
Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur
dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu:
1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian
profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep
dengan obat paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep,
apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih
tepat.
4. Apoteker wajib memberikan informasi:
o Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen.
o Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan
masyarakat.
Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi Apoteker. Dalam kode
itu diatur perihal kewajiban-kewajiban Apoteker, baik terhadap masyarakat, teman
sejawat dan tenaga kesehatan lainnya. Secara ringkas pokok-pokok kode etik itu
adalah, sebagai berikut: Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia, 2009
a Kewajiban Apoteker terhadap masyarakat:
1. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik di
dalam lingkungan kerjanya.
2. Seorang Apoteker dalam ragak pengabdian profesinya harus bersedia untuk
menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.
3. Seorang Apoteker hendaknya selalu melibatkan diri di dalam pembangunan
Nasional khususnya di bidang kesehatan.
4. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya
bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.
Suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala
penyakit, luka atau hewan, memperolok badan atau badan manusia.
Dari ketentuan tersebut di atas dapatlah kita gambarkan bahwa obat merupakan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah kesehatan manusia. Sehingga
pemahaman masalah penggunaan atau pemakaian obat perlu mendapatkan perhatian
serius, demi kesehatan dan keamanan bagi setiap orang yang menggunakan.
Kesalahan dalam pemakaian obat akan dapat mengancam jiwa paling tidak dalam
kadar yang rendah akan menyebabkan cacatnya fisik dan mental.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat
dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek,
Apoteker harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA). Ketentuan tersebut
terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2
ayat (1) dan (2).
Ayat 1 berbunyi:
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di
atas Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal
dengan mencantumkan:
Dalam pengelolaan Apotek dengan sendirinya diperlukan modal yang cukup besar
untuk menyiapkan bangunan gedung, penyediaan alatalat perlengkapan proyek Apotek
dan lain sebagainya. Untuk itu dalam mengelola Apotek terdapat beberapa jenis antara
lain Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia, 2000:
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh DR. Midian Sirait Direktur Jenderal
Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam
sambutannya pada upacara pembukaan Rapat Kerja Nasional Gabungan Perusahaan
Farmasi Indonesia di bidang Apotek pada tanggal 22 Februari 1986, menyatakan:
Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek perlu terus
melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi dan
mendukung penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek
pelayanan obat termasuk informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan
dirasakan realitas manfaatnya oleh masyarakat.
Apoteker sebagai pengelola Apotek bukan sebagai Pemilik Sarana Apotek, pengelolaan
keuangan harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kerja sama yang
baik dengan pemilik modal. Untuk mencapai hal dimaksud Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 5 tahun 1980, Pemilik Sarana Apotek dapat menyelenggarakan
Pengelolaan keuangan Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung:
CV.Ramadya Karya, 2005.
a. Pelayanan resep
Menurut Kongres nasional XVII ikatan Sarjaan Farmasi Indonesia pelayanan resep
adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dan
dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Prosedur tetap pelayanan resep Adelina Ginting. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Apotek Kota Medan Tahun 2008. www.repository.usu.ac.id.:
f. Edukasi
Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan pengetahuan
tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama pasien setelah
mendapat informasi, untuk tercapainya hasil pengobatan yang optimal Jusuf Hanifah, Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran ECG, 2001
g. Konseling
Sherzer dan Stone (1974) mendefinisikan konseling adalah suatu proses yang terjadi
dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena
masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja
professional, yaitu orang yang terlatih dan berpengalaman membantu orang lain
mengenai pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi. Bahwa
konseling adalah pemberian nasehat atau penasehatan kepada orang lain secara
individual yang dilakukan secara berhadapanh dari seorang yang mempunyai
kemahiran (konselor) kepada seorang yang mempunyai masalah (klien).
Adapun tujuan dari konseling pasien adalah mengoptimalkan hasil terapi obat dan
tujuan medis dari obat dapat tercapai, membina hubungan dengan pasien dan
menimbulkan kepercayaan pasien, menunjukkan perhatian kita kepada pasien,
membantu pasien dalam mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan penyakitnya,
mencegah dan mengurangi efek samping, toksisitas, resistensi antibiotika, dan
ketidakpatuhan pasien Erlizar SH. Hak dan Kewajiban Pasien.
http://m.serambinews.com/news/hak-dankewajiban- pasien/>[23 Desember 2012 Konseling dapat
dilakukan kepada:
Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang
berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di
rumah. Dalam pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada pasien/penderita,
bagaimana obat yang diinginkan pasien tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya
serta tidak ada tidaknya efek samping yang merugikan.
Tanggung jawab tugas apoteker di apotek adalah Kode Etik apoteker Di Indonesia, Jakarta:
Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2009:
b. Tanggung jawab apoteker untuk member informasi pada masyarakat dalam memakai
obat bebas terbatas (OTC)
Apoteker mempunyai tanggung jawab penuh dalam menghadapi kasus self medication
atau mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker menentukan apakah
self medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu pergi konsultasi ke
dokter atau tidak. Pengobatan dengan non resep jelas akan makin bertambah.
Terhadap pelayanan resep, sebaiknya ada motto “setiap resep yang masuk, keluarnya
harus obat” artinya yaitu apabila ada pasien membawa resep dokter ke apotek,
diusahakan agar pasien itu jadi membeli obatnya di apotek tersebut. Jangan sampai
hanya menanyakan harganya, lalu pergi ke apotek lain. Apabila terpaksa sampai
demikian, harus lah dicatat alas an-alasannya. Apakah dikarenakan si pasien kurang
mampu, kurang uangnya atau karena tidak mengerti/tidak dapat membaca resepnya,
apakah pelayanan kurang ramah, kurang luwes, dan sebagainya.
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha perlu pula untuk diketahui dimana telah
tertuang dalam Bab IV Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dari pasal 8 sampai dengan pasal 17. Dalam pasal 8 berbunyi sebagai
berikut:
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang, dan/atau
jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,
mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan /atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang berlaku.
b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat, atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut secara wajib menariknya dari
peredaran.
Etikad baik pelaku usaha atau produsen dalam hal ini sangat wajibkan, tidak semata-
mata mencari keuntungan. Pelaku usaha tidak boleh memasarkan barang tanpa
memberikan informasi yang jelas. Perlindungan konsumen diwujudkan dengan
diaturnya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha hal ini dilakukan untuk
memberikan perlindungan terhadap kesehatan, kenyamanan,keamanan baik bagi diri
konsumen maupun harta bendanya agar sesuai harga yang dibayarnya terhadap suatu
produk dengan mutu produk itu sendiri. Pengawasan dan Teknis dalam Perdagangan
yang mengikat negara yang menandatanganinya, untuk menjamin bahwa agar bila
suatu pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis atau standar teknis untuk
keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap konsumen, dan
pengujian serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak
diperlukan terhadap perdagangana internasional. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit.,
hal. 66.
http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-apoteker-definisi-hak.html