Anda di halaman 1dari 15

Pengertian Apoteker Definisi Hak, Kewajiban, Tugas,

Wewenang dan Tanggung jawab Menurut para Ahli


11:54:00

KEPERAWATAN

Pengertian Apoteker adalahBerdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.


1027/Menkes/SK/IX/2004, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus pendidikan
profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai
apoteker. Apoteker pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah diberi surat izin
apotek (SIA). Izin apotek berlaku seterusnya selama apoteker pengelola apotek yang
bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan sebagai seorang apoteker. Apoteker
pengelola apotek harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan:

1. Ijazah apoteker telah terdaftar di Departemen Kesehatan


2. Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai apoteker
3. Memiliki Surat Izin Kerja dari Menteri Kesehatan (SIK)
4. Sehat fisik dan mental untuk melaksanakan tugas sebagai apoteker
5. Tidak bekerja di perusahaan farmasi atau apotek lain

Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan


menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat,
kemampuan berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan,
kemampuan mengelola sumber daya manusia secara efektif, selalu sabar sepanjang
karier, dan membantu member pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan.

Hak dan Kewajiban Apoteker

Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak
ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat oleh
para pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi
dari suatu perjanjian. Jadi, perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu
perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap
pelaksanakan isi dari perjanjian Yusuf Sofie. Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Korporasi.
Jakarta: Ghalia Indonesia. 2002
Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur
dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu:

1. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak


baik;
2. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
3. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
4. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur


dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,
yaitu:

1. Beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya.


2. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/ atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
4. Menjamin mutu barang dan/ atau jasa yang diproduksi dan diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/ atau jasa yang berlaku;
5. Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan mencoba barang
dan/ atau jasa tertentu serta memberikan jaminan atas barang yang dibuat dan/
atau diperdagangkan;
6. Memberikan kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/ atau jasa yang
diperdagangkan; Selain itu, sebagai pelayanan kefarmasian kewajiban apoteker
juga diatur dalam Pasal 15
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan
Tata Cara Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:

1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian
profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep
dengan obat paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep,
apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih
tepat.
4. Apoteker wajib memberikan informasi:
o Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen.
o Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan
masyarakat.

Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan


iktikad baik dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi
kewajiban itu, menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti
segala kerugian yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu,
artinya apoteker harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau
kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya.

Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi Apoteker. Dalam kode
itu diatur perihal kewajiban-kewajiban Apoteker, baik terhadap masyarakat, teman
sejawat dan tenaga kesehatan lainnya. Secara ringkas pokok-pokok kode etik itu
adalah, sebagai berikut: Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan
Sarjana Farmasi Indonesia, 2009
a Kewajiban Apoteker terhadap masyarakat:

1. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik di
dalam lingkungan kerjanya.
2. Seorang Apoteker dalam ragak pengabdian profesinya harus bersedia untuk
menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.
3. Seorang Apoteker hendaknya selalu melibatkan diri di dalam pembangunan
Nasional khususnya di bidang kesehatan.
4. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya
bagi masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.

b. Kewajiban Apoteker terhadap teman sejawatnya:

1. Seorang Apoteker harus selalu menganggap sejawatnya sebagai saudara


kandung yang selalu saling mengingatkan dan saling menasehatkan untuk
mematuhi ketentuan-ketentuan kode etik.
2. Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari setiap tindakan yang dapat
merugikan teman sejawatnya, baik moril maupun materiil.
3. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk
meningkatkan kerja sama yang baik dalam memelihara, keluhuran martabat
jabatan, kefarmasian, mempertebal rasa saling mempercayai di dalam
menunaikan tugasnya.

c. Kewajiban Apoteker terhadap sejawat petugas kesehatan lainnya:

1. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk


meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai, menghargai dan
menghormati sejawat yang berkecimpung di bidang kesehatan.
2. Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakannya atau perbuatan
yang dapat mengakibatkan berkurang / hilangnya kepercayaan masyarakat
kepada sejawat petugas kesehatan.
3. Melihat kemampuan Apoteker yang sesuai dengan pedidikannya, menunjukkan
betapa pentingnya peranan Apoteker dalam meningkatkan kesehatan
masyarakat, yaitu dengan memberikan suatu informasi yang jelas kepada pasien
(masyarakat). Contoh : Penggunaan obat aturan pakai, akibat yang ditimbulkan
oleh obat dan sebagainya. Karena mengingat sebagaian besar masyarakat tidak
mengetahui hal tersebut, sehingga pemberian informasi yang jelas dan tepat
sangat dibutuhkan demi keamanan dan keselamatan pemakai obat.
Sebetulnya informasi obat ini dapat diberikan oleh Dokter di ruang prakteknya, pada
saat Dokter menulis resep. Namun Dokter sering sibuk dengan banyaknya pasien yang
harus dilayani, sehingga pemberian informasi tentang penggunaan obat dan sebagainya
kepada pasien sangat mendesak. Disinilah peranan Apoteker lebih banyak diharapkan
untuk menjelaskan secara langsung tentang obat yang akan dipakainya Jusuf Hanafiah.
Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001. Sebagaimana penulis
kemukakan di atas bahwa obat mempunyai hubungan yang erat sekali dengan tugas
dan fungsi Apotek, di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125 Tentang
Wajib Daftar Obat. Disebutkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Pasal 1 ayat
(1) yang dimaksud dengan obat adalah:

Suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala
penyakit, luka atau hewan, memperolok badan atau badan manusia.

Dari ketentuan tersebut di atas dapatlah kita gambarkan bahwa obat merupakan
sesuatu yang berhubungan dengan masalah kesehatan manusia. Sehingga
pemahaman masalah penggunaan atau pemakaian obat perlu mendapatkan perhatian
serius, demi kesehatan dan keamanan bagi setiap orang yang menggunakan.
Kesalahan dalam pemakaian obat akan dapat mengancam jiwa paling tidak dalam
kadar yang rendah akan menyebabkan cacatnya fisik dan mental.

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 tentang


tanggungjawab apoteker, apoteker diserahi tanggung jawab secara penuh dalam
mengelola Apotek, ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal 4 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 26 Tahun 1981 tentang Pengelolaan dan Perizinan Apotek. Pasal 4
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 berbunyi:

1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker dan


dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963
tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker sebagaimana
dimaksud ayat 1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1 dan
ayat 2 dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang
Dokter berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan.

Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat
dalam mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek,
Apoteker harus mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA). Ketentuan tersebut
terdapat dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2
ayat (1) dan (2).

Ayat 1 berbunyi:
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di
atas Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal
dengan mencantumkan:

1. Nama dan alamat Apotek pemohon;


2. Nama Perguruan Tinggi tempat Apoteker dan Tanda Lulus sebagai Apoteker;
3. Nomor dan tanggal Surat Izin Kerja;
4. Keterangan tempat kerja bagi mereka yang telah bekerja.
5. Surat Keterangan telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk mengelola
Apotek, yang diberikan oleh Perguruan Tinggi atau Apoteker yang telah memiliki
Surat Izin Pengelolaan Apotek yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal;
6. Pas foto ukuran 4 x 6.

Dalam pengelolaan Apotek dengan sendirinya diperlukan modal yang cukup besar
untuk menyiapkan bangunan gedung, penyediaan alatalat perlengkapan proyek Apotek
dan lain sebagainya. Untuk itu dalam mengelola Apotek terdapat beberapa jenis antara
lain Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia, 2000:

1. Dalam mengelola Apotek modal seluruhnya milik Apoteker sendiri;


2. Dalam mengelola Apotek, modal keseluruhan milik orang lain;
3. Dalam mengelola Apotek, modal sebagaian milik Apoteker dan pihak lain.
Tugas dan fungsi Apotek terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 1980, dimana dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut:

1. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah


jabatan;
2. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk,
pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat;
3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh DR. Midian Sirait Direktur Jenderal
Pengawas Obat dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam
sambutannya pada upacara pembukaan Rapat Kerja Nasional Gabungan Perusahaan
Farmasi Indonesia di bidang Apotek pada tanggal 22 Februari 1986, menyatakan:

Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek perlu terus
melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi dan
mendukung penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek
pelayanan obat termasuk informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan
dirasakan realitas manfaatnya oleh masyarakat.

Apoteker sebagai pengelola Apotek bukan sebagai Pemilik Sarana Apotek, pengelolaan
keuangan harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kerja sama yang
baik dengan pemilik modal. Untuk mencapai hal dimaksud Pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 5 tahun 1980, Pemilik Sarana Apotek dapat menyelenggarakan
Pengelolaan keuangan Soerjono Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung:
CV.Ramadya Karya, 2005.

Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa pengelolaan


Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker. Apabila Apoteker tidak mempunyai
sarana Apotek, maka dapat mengadakan perjanjian kerja sama dengan pihak lain yang
mempunyai sarana Apotek dan dalam perjanjian kerja sama ini harus dilampirkan akte
perjanjian kerja sama antara pemilik modal dengan Apoteker.
Tugas dan Kewenangan Apoteker

a. Pelayanan resep
Menurut Kongres nasional XVII ikatan Sarjaan Farmasi Indonesia pelayanan resep
adalah suatu proses pelayanan terhadap permintaan tertulis dokter, dokter gigi, dan
dokter hewan kepada apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Prosedur tetap pelayanan resep Adelina Ginting. Penerapan Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Apotek Kota Medan Tahun 2008. www.repository.usu.ac.id.:

1. Melakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan resep yaitu nama dokter,


nomor izin praktetk, alamat, tanggal penulisan resep, tanda tangan atau paraf
dokter serta nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
2. Melakukan pemeriksaan kesesuaian farmasetik yaitu: bentuk sediaan,
dosis, frekuensi, kekuatan, stabilitas, inkompabilitas, cara dan lama pemberian
obat
3. Mengkaji aspek klinis yaitu: adanya alergi, efek samping, interaksi kesesuaian
(dosis, durasi, jumlah obat dan kondisi khusus lainnya). Membuatkan kartu
pengobatan pasien (medication record)
4. Mengkonsultasikan ke dokter tentang masalah resep apabila diperlukan.

b. Menyediakan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

1. Menyiapkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan


permintaan pada resep
2. Menghitung kesesuaian dosis dan tidak melebihi dosis maksimum
3. Mengambil obat dengan menggunakan sarung tangan/alat/spatula/sendok
4. Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan mengembalikan ke
tempat semula
5. Meracik obat (timbang, campur, kemas)
6. Mengencerkan sirup kering sesuai takaran dengan air yang layak minum
7. Menyiapkan etiket
8. Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai dengan permintaan
pada resep

c. Penyerahan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan

1. Melakukan pemeriksaan akhir sebelum dilakukan penyerahan


2. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien
3. Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien
4. Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi obat
5. Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan diparaf oleh apoteker
6. Menyiapkan resep pada tempatnya dan mendokumentasikan

d. Pelayanan komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)


Apoteker hendaknya mampu menggalang komunikasi dengan tenaga kesehatan
lainnya, termasuk kepada dokter

e. Pelayanan informasi obat


Kegiatan pelayanan obat yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi dan
konsultasi secara akurat, tidak bias, factual, terkini, mudah dimengerti, etis dan
bijaksana.

Prosedur tetap pelayanan informasi obat:

1. Memberikan informasi obat kepada pasien berdasarkan resep atau kartu


pengobatan pasien (medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan
maupun tertulis
2. Melakukan penelusuran literature bila diperlukan, secara sistematis untuk
memberikan informasi
3. Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias,
etis dan bijaksana baik secara lisan maupun tertulis
4. Mendisplai brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan untuk informasi pasien
5. Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat

f. Edukasi
Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan pengetahuan
tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama pasien setelah
mendapat informasi, untuk tercapainya hasil pengobatan yang optimal Jusuf Hanifah, Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: Kedokteran ECG, 2001

Prosedur tetap swamedikasi:

1. Mendengarkan keluhan penyakit pasien yang ingin melakukan swamedikasi


2. Menggali informasi dari pasien meliputi:
o tempat timbulnya gejala penyakit
o seperti apa rasanya gejala penyakit
o kapan mulai timbul gejala dan apa yang menjadi pencetusnya
o sudah berapa lama gejala dirasakan
o ada tidaknya gejala penyerta
o pengobatan yang sebelumnya sudah dilakukan
3. Memilihkan obat yang sesuai dengan kerasionalan dan kemampuan ekonomi
pasien dengan menggunakan obat bebas, obat bebas terbatas dan obat wajib
apotek
4. Memberikan informasi tentang obat yang diberikan kepada pasien meliputi: nama
obat, tujuan pengobatan, cara pakai, lamanya pengobatan, efek samping yang
mungkin terjadi, serta hal-hal yang harus dilakukan oleh pasien dalam
menunjang pengobatan. Bila sakit berlanjut/lebih dari 3 hari hubungi dokter
5. Mendokumentasikan data pelayanan swamedikasi yang telah dilakukan

g. Konseling
Sherzer dan Stone (1974) mendefinisikan konseling adalah suatu proses yang terjadi
dalam hubungan tatap muka antara seorang individu yang terganggu oleh karena
masalah-masalah yang tidak dapat diatasinya sendiri dengan seorang pekerja
professional, yaitu orang yang terlatih dan berpengalaman membantu orang lain
mengenai pemecahan-pemecahan terhadap berbagai jenis kesulitan pribadi. Bahwa
konseling adalah pemberian nasehat atau penasehatan kepada orang lain secara
individual yang dilakukan secara berhadapanh dari seorang yang mempunyai
kemahiran (konselor) kepada seorang yang mempunyai masalah (klien).

Adapun tujuan dari konseling pasien adalah mengoptimalkan hasil terapi obat dan
tujuan medis dari obat dapat tercapai, membina hubungan dengan pasien dan
menimbulkan kepercayaan pasien, menunjukkan perhatian kita kepada pasien,
membantu pasien dalam mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan penyakitnya,
mencegah dan mengurangi efek samping, toksisitas, resistensi antibiotika, dan
ketidakpatuhan pasien Erlizar SH. Hak dan Kewajiban Pasien.
http://m.serambinews.com/news/hak-dankewajiban- pasien/>[23 Desember 2012 Konseling dapat
dilakukan kepada:

1. pasien dengan penyakit kronik seperti: diabetes, TB dan Asma


2. pasien dengan sejarah ketidakpatuhan dalam pengobatan
3. pasien yang menerima obat dengan indeks terapi sempit yang memerlukan
pemantauan
4. pasien dengan multiregimen obat
5. pasien lansia
6. pasien pediatric melalui orang tua dan pengasuhnya
7. pasien yang mengalami Drug Related Problems prosedur tetap konseling:
o Melakukan konseling sesuai dengan kondisi penyakit pasien
o Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien/keluarga pasien
o Menanyakan tiga pertanyaan kunci menyangkut obat yang dikatakan
dokter kepada pasien dengan metode open-ended question:
 apa yang telah dokter katakana mengenai obat itu
 cara pemakaian, bagaimana dokter menerangkan cara pemakaian
 apa yang diharapkan dalam pemakaian ini
o Memperagakan dan menjelaskan mengenai pemakaian obat-obatan
tertentu (inhaler, supostoria,dll)
o Melakukan verifikasi akhir meliputi:
 mengecek pemahaman pasien
 mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah yang berhubungan
dengan cara penggunaan obat untuk mengoptimalkan tujuan terapi
o Melakukan pencatatan konseling yang dilakukan pada kartu pengobatan
h. Pelayanan Residensial (home care)
Pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada pasien yang dilakukan di rumah
khususnya untuk kelompok lanjut usia dan pasien penyakit kronis, serta pasien dengan
pengobatan paliatif

Jenis layanan home care:

1. informasi penggunaan obat


2. konseling pasien
3. memantau kondisi pasien pada saat menggunakan obat dan kondisinya setelah
menggunakan obat serta kepatuhan pasien dalam meminum obat home care
dapat dilakukan dengan 2 cara;
o dengan kunjungan langsung ke rumah
o melalui telepon

Untuk aktifitas ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan (medication


record) prosedur tetap pelayanan residensial (home care)

1. Menyeleksi pasien melalui kartu pengobatan


2. Menawarkan pelayanan residensial
3. Mempelajari riwayat pengobatan pasien
4. Menyepakati jadwal kunjungan
5. Melakukan kunjungan ke rumah pasien
6. Melakukan tindak lanjut dengan memanfaatkan sarana komunikasi yang ada
atau kunjungan berikutnya, secara berkesinambungan
7. Melakukan pencatatan dan evaluasi pengobatan

Tanggung Jawab Apoteker

Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat atas dasar resep dan yang
berhubungan dengan itu, serta pelayanan obat tanpa resep yang biasa dipakai di
rumah. Dalam pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada pasien/penderita,
bagaimana obat yang diinginkan pasien tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya
serta tidak ada tidaknya efek samping yang merugikan.

Tanggung jawab tugas apoteker di apotek adalah Kode Etik apoteker Di Indonesia, Jakarta:
Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2009:

a. Tanggung jawab atas obat dengan resep


Apoteker mampu menjelaskan tentang obat kepada pasien, sebab apoteker
mengetahui”

1. Bagaimana obat tersebut digunakan


2. Reaksi samping obat yang mungkin ada
3. Stabilitas obat dalam bermacam-macam kondisi
4. Cara dan rute pemakaian obat

b. Tanggung jawab apoteker untuk member informasi pada masyarakat dalam memakai
obat bebas terbatas (OTC)

Apoteker mempunyai tanggung jawab penuh dalam menghadapi kasus self medication
atau mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker menentukan apakah
self medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu pergi konsultasi ke
dokter atau tidak. Pengobatan dengan non resep jelas akan makin bertambah.

Terhadap pelayanan resep, sebaiknya ada motto “setiap resep yang masuk, keluarnya
harus obat” artinya yaitu apabila ada pasien membawa resep dokter ke apotek,
diusahakan agar pasien itu jadi membeli obatnya di apotek tersebut. Jangan sampai
hanya menanyakan harganya, lalu pergi ke apotek lain. Apabila terpaksa sampai
demikian, harus lah dicatat alas an-alasannya. Apakah dikarenakan si pasien kurang
mampu, kurang uangnya atau karena tidak mengerti/tidak dapat membaca resepnya,
apakah pelayanan kurang ramah, kurang luwes, dan sebagainya.

Sebagai seorang pengelola, apoteker bertugas mencari tambahan langganan baru,


membina langganan lama, meningkatkan pelayanan dengan pembinaan karyawan, turut
membantu mencairkan piutang-piutang lama, mencari sumber pembelian yang lebih
murah dengan jangka waktu kredit yang lebih lama, dan sebagainya.

Kecendrungan masyarakat konsumen hanya bersandar kepada sejumlah lembaga


advokasi konsumen, sesuai dengan pasal 44 UUPK, yaitu dengan adanya pengakuan
pemerintah terhadap lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
mempunyai kegiatan yang meliputi, penyebaran informasi dalam rangka meningkatkan
kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi
barang dan jasa, memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya,
bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindunga konsumen,
membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, dan termasuk menerima keluhan
atau pengaduan konsumen.

Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha perlu pula untuk diketahui dimana telah
tertuang dalam Bab IV Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen dari pasal 8 sampai dengan pasal 17. Dalam pasal 8 berbunyi sebagai
berikut:

a. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau


jasa yang :

1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam
hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang, dan/atau
jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya,
mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan /atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang berlaku.

b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat, atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut secara wajib menariknya dari
peredaran.

Etikad baik pelaku usaha atau produsen dalam hal ini sangat wajibkan, tidak semata-
mata mencari keuntungan. Pelaku usaha tidak boleh memasarkan barang tanpa
memberikan informasi yang jelas. Perlindungan konsumen diwujudkan dengan
diaturnya perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha hal ini dilakukan untuk
memberikan perlindungan terhadap kesehatan, kenyamanan,keamanan baik bagi diri
konsumen maupun harta bendanya agar sesuai harga yang dibayarnya terhadap suatu
produk dengan mutu produk itu sendiri. Pengawasan dan Teknis dalam Perdagangan
yang mengikat negara yang menandatanganinya, untuk menjamin bahwa agar bila
suatu pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis atau standar teknis untuk
keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap konsumen, dan
pengujian serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang tidak
diperlukan terhadap perdagangana internasional. Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, op.cit.,
hal. 66.

http://www.landasanteori.com/2015/10/pengertian-apoteker-definisi-hak.html

Anda mungkin juga menyukai