para Ahli
Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan
memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, kemampuan
berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan, kemampuan mengelola
sumber daya manusia secara efektif, selalu sabar sepanjang karier, dan membantu member
pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
Adapun hak-hak apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam Pasal
6 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;
2. Melakukan pembelaan diri yang sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen;
3. Rehabilitasi nama baik apabila tidak terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan;
4. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kewajiban-kewajiban apoteker sebagai pelaku usaha pelayanan kefarmasian diatur dalam Pasal
7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/SK/X/2002 Tentang Ketentuan dan Tata Cara
Pemberian Izin Apotek dinyatakan bahwa:
1. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya
yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
2. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep dengan
obat paten.
3. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib
berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
4. Apoteker wajib memberikan informasi:
o Berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada konsumen.
o Penggunaan obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
Dalam melaksanakan hak dan kewajibannya, apoteker harus memenuhinya dengan iktikad baik
dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu, menjadi
alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian yang timbul
sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu, artinya apoteker harus bertanggung
jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam menjalankan kewajibannya.
Kode etik Apoteker Indonesia merupakan suatu ikatan moral bagi Apoteker. Dalam kode itu
diatur perihal kewajiban-kewajiban Apoteker, baik terhadap masyarakat, teman sejawat dan
tenaga kesehatan lainnya. Secara ringkas pokok-pokok kode etik itu adalah, sebagai
berikut: Kode Etik Apoteker Indonesia, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia, 2009
a Kewajiban Apoteker terhadap masyarakat:
1. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan memberikan contoh yang baik di dalam
lingkungan kerjanya.
2. Seorang Apoteker dalam ragak pengabdian profesinya harus bersedia untuk
menyumbangkan keahlian dan pengetahuannya.
3. Seorang Apoteker hendaknya selalu melibatkan diri di dalam pembangunan Nasional
khususnya di bidang kesehatan.
4. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya bagi
masyarakat dalam rangka pelayanan dan pendidikan kesehatan.
Sebetulnya informasi obat ini dapat diberikan oleh Dokter di ruang prakteknya, pada saat
Dokter menulis resep. Namun Dokter sering sibuk dengan banyaknya pasien yang harus
dilayani, sehingga pemberian informasi tentang penggunaan obat dan sebagainya kepada
pasien sangat mendesak. Disinilah peranan Apoteker lebih banyak diharapkan untuk
menjelaskan secara langsung tentang obat yang akan dipakainya Jusuf Hanafiah. Etika
Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Kedokteran ECG. 2001. Sebagaimana penulis
kemukakan di atas bahwa obat mempunyai hubungan yang erat sekali dengan tugas dan fungsi
Apotek, di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125 Tentang Wajib Daftar Obat.
Disebutkan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan
obat adalah:
Suatu bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,
mencegah, mengurangkan, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka
atau hewan, memperolok badan atau badan manusia.
Dari ketentuan tersebut di atas dapatlah kita gambarkan bahwa obat merupakan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah kesehatan manusia. Sehingga pemahaman masalah penggunaan
atau pemakaian obat perlu mendapatkan perhatian serius, demi kesehatan dan keamanan bagi
setiap orang yang menggunakan. Kesalahan dalam pemakaian obat akan dapat mengancam jiwa
paling tidak dalam kadar yang rendah akan menyebabkan cacatnya fisik dan mental.
1. Pengelolaan Apotek menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang No. 7 Tahun 1963 tentang Farmasi.
2. Tata cara pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Apoteker sebagaimana dimaksud ayat
1, diatur lebih lanjut oleh menteri Kesehatan.
3. Tugas dan tanggung jawab seorang Apoteker sebagaimana dimaksud ayat 1 dan ayat 2
dilaksanakan tanpa mengurangi tugas dan tanggung jawab seorang Dokter berdasarkan
ketentuan peraturan perundangundangan.
Dari ketentuan tersebut di atas, maka Apoteker mempunyai tanggung jawab yang berat dalam
mengelola Apotek, sehingga tidak semua Apoteker dapat mengelola Apotek, Apoteker harus
mempunyai Surat Izin Pengelolaan Apotek (SIPA). Ketentuan tersebut terdapat dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 279 tahun 1981 Pasal 2 ayat (1) dan (2).
Ayat 1 berbunyi:
Untuk memiliki surat Izin Pengelolaan Apotek, Apoteker mengajukan secara tertulis di atas
Kertas bermaterai cukup, kepada Menteri Kesehatan cq, Direktorat Jenderal dengan
mencantumkan:
Dalam pengelolaan Apotek dengan sendirinya diperlukan modal yang cukup besar untuk
menyiapkan bangunan gedung, penyediaan alatalat perlengkapan proyek Apotek dan lain
sebagainya. Untuk itu dalam mengelola Apotek terdapat beberapa jenis antara lain Shidarta.
Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia, 2000:
1. Dalam mengelola Apotek modal seluruhnya milik Apoteker sendiri;
2. Dalam mengelola Apotek, modal keseluruhan milik orang lain;
3. Dalam mengelola Apotek, modal sebagaian milik Apoteker dan pihak lain.
Tugas dan fungsi Apotek terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980,
dimana dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut:
1. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan;
2. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan
penyerahan obat atau bahan obat;
3. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan
masyarakat secara meluas dan merata.
Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh DR. Midian Sirait Direktur Jenderal Pengawas Obat
dan Makanan Departemen Kesehatan Republik Indonesia dalam sambutannya pada upacara
pembukaan Rapat Kerja Nasional Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia di bidang Apotek
pada tanggal 22 Februari 1986, menyatakan:
Sebagai salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan Apotek perlu terus
melakukan penataan-penataan, sehingga fungsi dan peranan semakin serasi dan mendukung
penyelenggaraan upaya-upaya kesehatan lainnya. Untuk itu aspek pelayanan obat termasuk
informasi obat kepada masyarakat harus lebih dominan dan dirasakan realitas manfaatnya oleh
masyarakat.
Apoteker sebagai pengelola Apotek bukan sebagai Pemilik Sarana Apotek, pengelolaan
keuangan harus diatur sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kerja sama yang baik dengan
pemilik modal. Untuk mencapai hal dimaksud Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun
1980, Pemilik Sarana Apotek dapat menyelenggarakan Pengelolaan keuangan Soerjono
Soekanto, Pengantar Hukum Kesehatan. Bandung: CV.Ramadya Karya, 2005.
Berdasarkan ketentuan di atas dapatlah kita tarik kesimpulan, bahwa pengelolaan Apotek
menjadi tugas dan tanggung jawab Apoteker. Apabila Apoteker tidak mempunyai sarana
Apotek, maka dapat mengadakan perjanjian kerja sama dengan pihak lain yang mempunyai
sarana Apotek dan dalam perjanjian kerja sama ini harus dilampirkan akte perjanjian kerja sama
antara pemilik modal dengan Apoteker.
1. Menyiapkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan sesuai dengan permintaan pada
resep
2. Menghitung kesesuaian dosis dan tidak melebihi dosis maksimum
3. Mengambil obat dengan menggunakan sarung tangan/alat/spatula/sendok
4. Menutup kembali wadah obat setelah pengambilan dan mengembalikan ke tempat
semula
5. Meracik obat (timbang, campur, kemas)
6. Mengencerkan sirup kering sesuai takaran dengan air yang layak minum
7. Menyiapkan etiket
8. Menulis nama dan cara pemakaian obat pada etiket sesuai dengan permintaan pada
resep
1. Memberikan informasi obat kepada pasien berdasarkan resep atau kartu pengobatan
pasien (medication record) atau kondisi kesehatan pasien baik lisan maupun tertulis
2. Melakukan penelusuran literature bila diperlukan, secara sistematis untuk memberikan
informasi
3. Menjawab pertanyaan pasien dengan jelas dan mudah dimengerti, tidak bias, etis dan
bijaksana baik secara lisan maupun tertulis
4. Mendisplai brosur, leaflet, poster atau majalah kesehatan untuk informasi pasien
5. Mendokumentasikan setiap kegiatan pelayanan informasi obat
f. Edukasi
Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan pengetahuan tentang
obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama pasien setelah mendapat informasi,
untuk tercapainya hasil pengobatan yang optimal Jusuf Hanifah, Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan, Jakarta: Kedokteran ECG, 2001
Adapun tujuan dari konseling pasien adalah mengoptimalkan hasil terapi obat dan tujuan medis
dari obat dapat tercapai, membina hubungan dengan pasien dan menimbulkan kepercayaan
pasien, menunjukkan perhatian kita kepada pasien, membantu pasien dalam mengatasi
kesulitan yang berkaitan dengan penyakitnya, mencegah dan mengurangi efek samping,
toksisitas, resistensi antibiotika, dan ketidakpatuhan pasien Erlizar SH. Hak dan Kewajiban
Pasien. http://m.serambinews.com/news/hak-dankewajiban- pasien/>[23 Desember
2012 Konseling dapat dilakukan kepada:
Untuk aktifitas ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan (medication record)
prosedur tetap pelayanan residensial (home care)
Tanggung jawab tugas apoteker di apotek adalah Kode Etik apoteker Di Indonesia, Jakarta:
Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2009:
a. Tanggung jawab atas obat dengan resep
Apoteker mampu menjelaskan tentang obat kepada pasien, sebab apoteker mengetahui”
b. Tanggung jawab apoteker untuk member informasi pada masyarakat dalam memakai obat
bebas terbatas (OTC)
Apoteker mempunyai tanggung jawab penuh dalam menghadapi kasus self medication atau
mengobati sendiri dan pemakaian obat tanpa resep. Apoteker menentukan apakah self
medication dari penderita itu dapat diberi obatnya atau perlu pergi konsultasi ke dokter atau
tidak. Pengobatan dengan non resep jelas akan makin bertambah.
Terhadap pelayanan resep, sebaiknya ada motto “setiap resep yang masuk, keluarnya harus
obat” artinya yaitu apabila ada pasien membawa resep dokter ke apotek, diusahakan agar
pasien itu jadi membeli obatnya di apotek tersebut. Jangan sampai hanya menanyakan
harganya, lalu pergi ke apotek lain. Apabila terpaksa sampai demikian, harus lah dicatat alas an-
alasannya. Apakah dikarenakan si pasien kurang mampu, kurang uangnya atau karena tidak
mengerti/tidak dapat membaca resepnya, apakah pelayanan kurang ramah, kurang luwes, dan
sebagainya.
Sebagai seorang pengelola, apoteker bertugas mencari tambahan langganan baru, membina
langganan lama, meningkatkan pelayanan dengan pembinaan karyawan, turut membantu
mencairkan piutang-piutang lama, mencari sumber pembelian yang lebih murah dengan jangka
waktu kredit yang lebih lama, dan sebagainya.
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang, dan/atau jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam, label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan /atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tertentu;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan
yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undagan yang berlaku.
b. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang rusak, cacat, atau bekas, dan tercemar
tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
c. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat,
atau bekas, dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
d. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut secara wajib menariknya dari peredaran.
Etikad baik pelaku usaha atau produsen dalam hal ini sangat wajibkan, tidak semata- mata
mencari keuntungan. Pelaku usaha tidak boleh memasarkan barang tanpa memberikan
informasi yang jelas. Perlindungan konsumen diwujudkan dengan diaturnya perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha hal ini dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap
kesehatan, kenyamanan,keamanan baik bagi diri konsumen maupun harta bendanya agar
sesuai harga yang dibayarnya terhadap suatu produk dengan mutu produk itu sendiri.
Pengawasan dan Teknis dalam Perdagangan yang mengikat negara yang menandatanganinya,
untuk menjamin bahwa agar bila suatu pemerintah atau instansi lain menentukan aturan teknis
atau standar teknis untuk keperluan keselamatan umum, kesehatan, perlindungan terhadap
konsumen, dan pengujian serta sertifikasi yang dikeluarkan tidak menimbulkan rintangan yang
tidak diperlukan terhadap perdagangan internasional.