Anda di halaman 1dari 45

1

BAB II
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER DI APOTEK

2.1 Tinjauan Mengenai Apotek


2.1.1 Pengertian Apotek, Tugas dan Fungsi Apotek, Ketentuan Umum
dan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Apotek
A. Pengertian Apotek
Definisi Apotek menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek, Apotek didefinisikan
sebagai sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh Apoteker. Pelayanan kefarmasian adalah suatu
pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Depkes R.I, 2014).
Standar pelayanan kefarmasian di Apotek meliputi:
1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai yang meliputi perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan
pelaporan.
2. Pelayanan farmasi klinik yang meliputi pengkajian resep,
dispensing, pelayanan infomasi obat (PIO), konseling, pelayanan
kefarmasian di rumah (home pharmacy care), pemantauan terapoi
obat (PTO), dan monitoring efek samping obat (MESO). (Depkes
RI, 2014)
B. Tugas dan Fungsi Apotek
Tugas dan fungsi Apotek dalam melaksanakan kegiatan
pelayanan kefarmasian kepada pasien yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian dan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017
tentang Apotek, menyebutkan mengenai tugas dan fungsi Apotek antara
lain :
2

1. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah


mengucapkan sumpah jabatan Apoteker
2. Sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian
3. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi
4. Sarana pengamanan dan pengadaan sediaan farmasi
5. Sarana penyimpanan, pendistribusian atau penyaluran obat, serta
pengelolaan obat
6. Sarana pelayanan obat atas resep dokter dan pelayanan informasi
obat
7. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai; dan
8. Pelayanan farmasi klinik, termasuk di komunitas. (Depkes R.I,
2009; Menkes, 2017)
C. Ketentuan Umum dan Peraturan Perundang-undangan tentang Apotek
Pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam
memberikan pelayanan kefarmasian di Apotek. Adapun peraturan
perundang-undangan tentang Apotek antara lain:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan
2. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2106 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun
2017 tentang Apotek
5. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek Tahun
2019
6. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor
3

922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara


Pemberian Izin Apotek
7. Peraturan Menteri kesehatan Nomor 31 Tahun 2016 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
889/Menkes/PER/V/ 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin
Kerja Tenaga Kefarmasian.
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 tahun
2017 tentang Apotek
9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
10. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
11. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor
12. Peraturan kepala badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan
Prekursor Farmasi Dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi
13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang
Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika,
Psikotropika dan Prekursor Farmasi.
14. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
15. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 347/Menkes/SK/VII/1990
tentang Obat Wajib Apotek
16. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 924/Menkes/Per/X/1993
tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.2
17. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1176/Menkes/Per/X/1999
tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.3
18. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 319/Menkes/Per/X/1993
tentang kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep
19. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1191/Menkes/SK/IX/2002
tentang Perubahan atas Peraturan menteri Kesehatan Nomor
918/Menkes/Per/X/1993 tentang Pedagang Besar Farmasi
20. Surat Edaran Kepala Direktorat jenderal Pengawasan Obat dan
4

Makanan No. PO.02.01.2.4.99.2004, tentang Batas Waktu peredaran


Obat.

2.1.2 Persyaratan Apotek dan Persyaratan APA


A. Persyaratan Apotek
Pendirian Apotek sesuai dengan peraturan menteri Kesehatan
Nomor 9 tahun 2017 tentang Apotek, dapat dilakukan oleh Apoteker
dengan modal sendiri dan/atau modal dari pemilik modal baik
perorangan maupun perusahaan. Selain itu, diatur dalam peraturan
tersebut, dalam hal Apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama
dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap
dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan. Adapun
persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu Apotek menurut Permenkes
No.9 Tahun 2017 antara lain:
1. Lokasi Apotek
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran
Apotek di wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat
dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian.
2. Bangunan Apotek
Persyaratan bangunan Apotek:
a. Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan,
kenyamanan, dan kemudahan dalam pemberian pelayanan
kepada pasien serta perlindungan dan keselamatan bagi semua
orang termasuk penyandang cacat, anak-anak dan orang lanjut
usia.
b. Bangunan Apotek harus bersifat permanen
c. Bangunan bersifat permanen sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat merupakan bagian dan/atau terpisah dari pusat
perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor, rumah
susun, dan bangunan yang sejenis.
3. Sarana, Prasarana, dan Peralatan
5

Bangunan Apotek memiliki ruang dengan sarana, prasarana dan


peralatan yang memiliki fungsi masing-masing untuk menunjang
pelaksanaan pelayanan kefarmasian di Apotek. Berikut merupakan
sarana ruangan di Apotek dilengkapi dengan peralatan yang sesuai
dengan fungsi ruangan tersebut (Menkes R.I, 2016; Menkes RI,
2017):
a. Ruangan penerimaan resep sekurang-kurangnya terdiri dari
tempat penerimaan resep, 1 (satu) set meja dan kursi, serta 1
(satu) set komputer. Ruang penerimaan resep ditempatkan pada
bagian paling depan dan mudah terlihat oleh pasien.
b. Ruang pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara
terbatas) meliputi rak obat sesuai kebutuhan dan meja peracikan.
Di ruang peracikan sekurang-kurangnya disediakan peralatan
peracikan, timbangan obat, air minum (air mineral) untuk
pengencer, sendok obat, bahan pengemas obat, lemari pendingin,
termometer ruangan, blanko salinan resep, etiket dan label obat.
Ruang ini diatur agar mendapatkan cahaya dan sirkulasi udara
yang cukup, dapat dilengkapi dengan pendingin ruangan (air
conditioner). Ruangan penyerahan sediaan farmasi dan alat
kesehatan berupa konter penyerahan obat yang dapat
digabungkan dengan ruangan penerimaan resep di Apotek.
c. Ruang penyerahan obat berupa konter penyerahan obat yang
dapat digabungkan dengan ruang penerimaan resep
d. Ruang konseling untuk pasien dengan buku referensi berupa
buku standar informasi obat, kumpulan peraturan perundang-
undangan, dokumen pelayanan kefarmasian berupa formulir
Pelayanan Informasi Obat (PIO), serta buku catatan konseling,
formulir catatan pengobatan pasien, formulir Monitoring Efek
Samping Obat (MESO), formulir Home Pharmacy Care.
Formulir catatan pengobatan pasien memuat mengenai catatan
riwayat penggunaan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan atas
6

permintaan tenaga medis dan catatan pelayanan Apoteker yang


diberikan kepada pasien.
e. Ruangan penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan
terdapat lemari dan rak untuk penyimpanan obat, lemari
pendingin, lemari untuk penyimpanan narkotika dan
psikotropika yang sesuai dengan ketentuan pada perundang-
undangan, pendingin ruangan, serta pengatur suhu untuk lemari
pendingin dan ruangan (termohigrometer). Lemari penyimpanan
narkotika dan psikotropika harus dapat menjaga keamanan,
khasiat, dan mutu obat, sehingga terdapat persyaratan khusus
dalam penyimpanan obat tersebut. Lemari khusus penyimpanan
narkotika dan psikotropika harus memenuhi persyaratan yaitu:
1) Lemari terbuat dari bahan yang kuat
2) Tidak mudah dipindahkan dan memiliki 2 buah kunci yang
berbeda
3) Diletakkan pada tempat yang aman dan tidak terlihat umum
4) Kunci lemari disimpan oleh Apoteker penanggung jawab
Apotek atau Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang
dikuasakan
f. Ruangan administrasi dan penyimpanan data terdapat surat
pesanan obat, kartu stok obat, salinan resep, faktur dan nota
penjualan, buku catatan obat narkotika, buku pesanan obat
narkotika, dan laporan obat narkotika.
g. Ruangan lainnya yang dibutuhkan dalam pelayanan Apotek
4. Ketenagaan
Berdasarkan Peraturan menteri Kesehatan Republik Indonesia no.73
tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek,
pelayanan kefarmasian di Apotek diselenggarakan oleh Apoteker,
dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau Tenaga Teknis
Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi, Surat Izin
Praktik atau Surat Izin Kerja.
7

a. Apoteker pemegang SIA dalam menyelenggarakan Apotek dapat


dibantu oleh Apoteker lain, Tenaga Teknis Kefarmasian dan/atau
tenaga administrasi.
b. Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian sebagaimana
dimaksud pada ayat (a) dan ayat (b) wajib memiliki surat izin
praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
B. Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek (APA)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73 tahun
2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apoteker
Pengelola Apotek (APA) adalah seorang Apoteker yang telah diberikan
Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA). Sesuai dengan Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 9 tahun 2017 tentang Apotek,
Apoteker Pengelola Apotek harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Warga Negara Indonesia
2. Ijazahnya telah terdaftar di Departemen Kesehatan
3. Telah mengucapkan Sumpah/Janji Apoteker
4. Memiliki Surat Penugasan/SP (sekarang bernama SIPA/Surat Izin
Praktek Apoteker) dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia
5. Mendapat persetujuan dari Dinas Kesehatan Provinsi bila pindah
dari kota/kabupaten lain
6. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk
melaksanakan tugasnya sebagai Apoteker
7. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi
Apoteker Penanggungjawab Apotek di Apotek lain
8. Rekomendasi dari organisasi profesi

2.1.3 Tugas dan Tanggung Jawab APA


Apoteker Pengelola Apotek (APA) dalam menjalankan pelayanan
kefarmasian di Apotek menurut Hartono (1998) mempunyai tugas dan
tanggung jawab antara lain:
8

1. Membuat visi dan misi.


2. Membuat strategi, tujuan, sasaran dan program kerja.
3. Membuat dan menetapkan peraturan atau Standar Prosedur Operasional
(SPO) pada setiap fungsi kegiatan di Apotek.
4. Membuat sistem pengawasan dan pengendalian SPO serta program
kerja pada setiap fungsi kegiatan di Apotek
5. Merencanakan, melaksanakan, mengendalikan, dan menganalisis hasil
kinerja operasional dan kinerja keuangan Apotek.
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 73 tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek menjelaskan tugas dan
wewenang Apoteker sebagai Apoteker Pengelola Apotek, yaitu:
1. Pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker Pengelola
Apotek (APA).
2. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan
keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
3. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generik yang ditulis di
dalam resep dengan obat paten.
4. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis di dalam
resep, Apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat
yang lebih tepat.
5. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan
penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan cara penggunaan
obat secara tepat, aman, rasional atas permintaan masyarakat.
6. Apabila Apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan
atau penulisan resep yang tidak tepat, Apoteker harus memberitahukan
kepada dokter penulis resep.
Menurut World Health Organization (WHO), tugas Apoteker dalam
memberikan pelayanan kefarmasian dikenal dengan “Nine Star of
Pharmacist” yang meliputi:
1. Care giver
Apoteker memberikan pelayanan dengan berinteraksi terhadap pasien
9

dan mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan


secara berkesinambungan
2. Decision Maker
Apoteker memiliki kemampuan dalam pengambilan keputusan dengan
menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan efisien.
3. Communicator
Apoteker harus memiliki kemampuan dalam berkomunikasi dengan
pasien atau profesi kesehatan lainnya yang sehubungan dengan terapi
pasien. Maka dari itu, Apoteker diharapkan untuk memiliki kemampuan
berkomunikasi yang baik.
4. Manager
Apoteker harus dapat mengelola sumber daya (SDM, fisik dan
keuangan), dan informasi secara efektif. Apoteker juga harus mengikuti
kemajuan teknologi informasi dan bersedia untuk berbagi informasi
mengenai obat ataupun hal-hal yang berhubungan dengan obat.
5. Leader
Apoteker diharapkan mampu menjadi pemimpin dalam hal pengambilan
keputusan dan mengelola hasil keputusan. Hal yang harus diperhatikan
dalam pengambilan dan pengelolaan keputusan adalah mampu
mengkomunikasikan keputusan yang diambil serta berani dalam
mengambil keputusan yang efektif untuk melaksanakan pelayanan
kefarmasian di Apotek.
6. Life-long Learner
Apoteker harus secara aktif dan terus meningkatkan pengetahuan, sikap
dan keterampilan profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing
Professional Development).
7. Teacher
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk membantu pendidikan dan
pelatihan generasi berikutnya dan masyarakat. Apoteker sebagai guru
tidak hanya membagi ilmu pengetahuan pada yang lainnya, tapi juga
memberi peluang pada praktisi lainnya untuk memperoleh pengetahuan
10

dan menyesuaikan keterampilan yang telah dimilikinya.


8. Researcher
Apoteker dalam memberikan pelayanan kefarmasian harus berdasarkan
bukti (ilmiah, praktek farmasi, sistem kesehatan) yang efektif dalam
memberikan terapi dengan tujuan penggunaan obat secara rasional
dalam tim pelayanan kesehatan.
9. Entrepreneur
Apoteker diharapkan dapat terjun menjadi wirausaha dalam
mengembangkan kemandirian serta membantu dalam mensejahterakan
masyarakat.

2.1.4 Struktur Organisasi Apotek dan Pengelolaan Apotek


Struktur organisasi bertujuan untuk menjelaskan hubungan antar
personal dan untuk menegaskan peran, tugas, kewajiban dan wewenang tiap
personal. Penentuan struktur organisasi sebuah Apotek dapat disesuaikan
dengan tingkat kebutuhan dan volume aktivitas Apotek tersebut. Apotek
dengan volume aktivitas yang kecil, dapat menggunakan bentuk struktur
organisasi yang lebih sederhana dengan melakukan perangkapan fungsi
kegiatan, selama resiko kerugian dapat dihindari dan dapat dikendalikan
(Umar, 2007).
Kepengurusan sebuah Apotek secara umum terdiri dari PSA
(Pemilik Sarana Apotek), seorang APA (Apoteker Pengelola Apotek),
Apoteker pendamping, asisten Apoteker, tenaga administrasi atau tata
usaha, serta kasir. PSA dan APA memiliki kedudukan sejajar, dimana
seorang PSA dan APA merupakan mitra kerja yang memiliki kedudukan
yang sama dalam menjalankan suatu Apotek. Salah satu contoh struktur
organisasi Apotek dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut.
11

Gambar 2.1 Struktur Organisasi di Apotek

2.1.5 Studi Kelayakan Pendirian Apotek


Studi kelayakan (Feasibility Study) Apotek adalah suatu rancangan
secara komprehensif mengenai rencana pendirian Apotek baru untuk
melihat kelayakan usaha baik dari pengabdian profesi maupun sisi bisnis
ekonominya. Tujuannya adalah untuk menghindari penanaman modal yang
tidak efektif dan berguna untuk mengetahui apakah Apotek yang didirikan
cukup layak atau dapat bertahan dan memberi keuntungan secara bisnis.
Dalam studi kelayakan diperlukan perhitungan yang matang sehingga
Apotek yang akan didirikan nanti tidak mengalami kerugian.
Tingkat keberhasilan dari suatu studi kelayakan dipengaruhi oleh 2
faktor yaitu kemampuan sumber daya internal (kecakapan manajemen,
kualitas pelayanan, produk yang dijual, kualitas karyawan), lingkungan
eksternal yang tidak dapat dipastikan (pertumbuhan pasar, pesaing,
pemasok, perubahan peraturan). Secara umum studi kelayakan dari suatu
usaha mencakup 4 aspek penilaian yaitu:
A. Aspek Manajemen
Dalam aspek manajemen terdapat 3 hal yang diperhatikan antara
lain strategi manajemen, bentuk dan tata letak bangunan, dan jenis
12

produk yang akan dijual (Umar, 2007).


1. Strategi manajemen
Strategi manajemen merupakan strategi yang akan digunakan untuk
mengubah kondisi yang ada saat ini (current condition) menjadi
kondisi saat yang akan datang (future condition) dalam periode
tertentu. Strategi manajemen meliputi visi (cita-cita yang akan
dicapai oleh pendiri atau pemilik), misi (cara-cara untuk
memperoleh sasaran), SOP (tata cara melaksanakan suatu kegiatan
yang berlaku sesuai dengan peraturan).
2. Bentuk dan tata letak bangunan
Bentuk bangunan harus dapat menggambarkan identitas perusahaan
yang bertujuan untuk membentuk opini konsumen, interior dan
eksterior sesuai dengan target konsumen yang akan dilayani. Bentuk
dan tata letak bangunan Apotek harus sesuai dengan peraturan yang
berlaku, hal ini terkait dengan bentuk bangunan, sistem tata letak
barang, estetika barang, penyusunan barang yang rapi dan teratur,
kesesuaian dengan peraturan yang berlaku serta sifat dari masing-
masing barang.
3. Jenis produk yang dijual
Jenis produk yang akan dijual harus disesuaikan dengan target
konsumen. Apabila target konsumen adalah golongan menengah
sampai atas, maka barang yang akan dijual adalah barang dengan
kualitas dan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan barang
untuk golongan menengah ke bawah.
B. Aspek Teknis
Dalam penilaian aspek teknis terdapat beberapa hal yang
menjadi pertimbangan yaitu (Umar, 2007):
1. Lokasi dan lingkungan sekitarnya
Lokasi yang dikatakan strategis berkaitan dengan jarak lokasi
dengan supplier dan jarak lokasi dengan domisili konsumen yang
relatif dekat dan mudah dicapai dengan berbagai macam jenis
13

transportasi, bentuk dan luas bangunan untuk mempermudah


pengembangan usaha seperti praktik dokter dan laboratorium klinik,
nyaman dan aman dari tindak kriminal serta prospek pertumbuhan
pasarnya relatif cepat dan besar (jumlah konsumen dan daya beli
atau income perkapita relatif tinggi).
2. Bentuk badan usaha
Bentuk badan usaha yang ditetapkan harus jelas, misalnya koperasi
dan perseroan terbatas (PT).
3. Struktur organisasi
Pembentukan struktur organisasi dimaksudkan untuk memberikan
gambaran mengenai jumlah dan jenis pekerjaan yang dilaksanakan,
fungsi, tugas dan wewenang atau tanggung jawab seperti pekerjaan,
persyaratan jabatan pada setiap jenis pekerjaan dan hirarki
pengambilan keputusan.
C. Aspek Pasar
Analisis pasar bertujuan untuk mengetahui seberapa besar luas
pasar, pertumbuhan permintaan dan pangsa pasar (market share) produk
bersangkutan. Hal yang harus diperhatikan dalam aspek pasar yaitu
bentuk pasar (persaingan sempurna, monopoli, oligopoli, monopsoni),
potensi pasar, target pasar (individual, koperasi, reseller) dan target
konsumen. Potensi pasar dapat dianalisis dengan menggunakan analisis
SWOT.
Analisis SWOT adalah teknik identifikasi berbagai faktor secara
sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strength)
dan peluang (Opportunity), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (Weakness) dan ancaman (Threats). Proses
pengambilan keputusan strategi selalu berkaitan dengan pengembangan
misi, tujuan, strategi dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian,
perencanaan strategi harus menganalisa faktor- faktor strategi
perusahaan (kekuatan, peluang, kelemahan dan ancaman) dalam kondisi
14

saat ini. Analisis SWOT menggunakan matriks SWOT seperti yang


dapat dilihat pada Gambar 2.2. Matriks ini menggambarkan secara jelas
bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan
dan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang
dimilikinya (Freddy, 2009).

Gambar 2.2 Matriks SWOT


1. Strategi SO (Strength-Opportunity)
Strategi ini menggunakan kekuatan internal perusahaan untuk
memanfaatkan peluang eksternal. Apabila perusahaan mempunyai
kelemahan utama pasti perusahaan akan berubah menjadikan
kelemahan tersebut menjadi kekuatan. Jika perusahaan menghadapi
ancaman utama, perusahaan akan berusaha menghindari ancaman
jika berkonsentrasi pada peluang yang ada.
2. Strategi WO (Weakness-Opportunity)
Strategi ini bertujuan untuk memperbaiki kelemahan internal
perusahaan dengan memanfaatkan peluang eksternal yang ada. Salah
satu alternatif strategi WO adalah dengan perusahaan melakukan
perekrutan dan pelatihan staf dengan kemampuan dan kualifikasi
yang dibutuhkan.
3. Strategi ST (Strength-Threat)
Strategi ini dilakukan dengan menggunakan kekuatan perusahaan
untuk menghindari ancaman jika keadaan memungkinkan atau
15

meminumkan ancaman eksternal yang dihadapi. Ancaman eksternal


ini tidak selalu harus dihadapi sendiri oleh perusahaan tersebut,
bergantung pada masalah ancaman yang dihadapi.
4. Strategi WT (Weakness-Threat)
Posisi ini sangat menyulitkan perusahaan, akan tetapi tidak menutup
kemungkinan bagi perusahaan untuk mengatasi posisi yang
menyulitkan ini. Perusahaan harus memperkecil kelemahan atau jika
memungkinkan perusahaan akan menghilangkan kelemahan internal
serta menghindari ancaman eksternal yang ada guna pencapaian
tujuan perusahaan. (Freddy, 2009)
D. Aspek Keuangan
Penilaian aspek keuangan dalam studi kelayakan suatu Apotek
dapat dilakukan dengan beberapa metode analisis yaitu:
1. Payback period (PP)
PP merupakan suatu pengukuran periode yang diperlukan dalam
menutupi kembali biaya investasi dengan menggunakan aliran kas
(laba bersih) yang akan diterima. Berikut merupakan rumus
perhitungan PP (Seto, 2008):
Jumlah nilai investasi
PP = x 1 Tahun
Jumlah kas yang masuk per tahun
Jika nilai PP telah ditetapkan dengan menggunakan rumus diatas,
maka dilakukan penentuan kelayakan suatu proyek/usaha sebagai
berikut.
a. Bila waktu PP yang diperoleh kurang dari PP yang ditetapkan
maka proyek tersebut layak dilaksanakan.
b. Bila waktu PP yang diperoleh lebih dari PP yang ditetapkan
maka proyek tersebut tidak layak dilaksanakan.
c. Bila waktu PP yang diperoleh waktunya sama dengan PP
yang ditetapkan maka proyek tersebut boleh dilaksanakan atau
tidak.

2. Return of Investment (ROI)


16

ROI adalah pengukuran besaran tingkat pengembalian (1%) yang


akan diperoleh selama periode investasi dengan cara
membandingkan jumlah nilai laba bersih per tahun dengan nilai
investasi. Adapun rumus perhitungan ROI yang digunakan sebagai
berikut (Seto, 2008):
Nilai Laba Bersih
ROI = x 1 Tahun
Nilai investasi
Penentuan kelayakan suatu proyek atau usaha berdasarkan nilai ROI
yang diperoleh dari rumus diatas adalah sebagai berikut.
a. Bila nilai ROI yang diperoleh lebih dari bunga pinjaman, maka
proyek tersebut layak dilaksanakan.
b. Bila nilai ROI yang diperoleh kurang dari bunga pinjaman, maka
proyek tersebut tidak layak dilaksanakan.
c. Bila nilai ROI yang diperoleh sama dengan bunga pinjaman,
maka proyek tersebut layak dilaksanakan atau tidak.
3. Net Present Value (NPV)
NPV adalah analisis untuk mengetahui apakah nilai arus kas yang
akan masuk selama periode investasi (NPV2) lebih besar atau lebih
kecil dibandingkan dengan nilai investasi yang dikeluarkan (NPV1)
serta untuk mengukur besarnya selisih (ΔNPV) dari NPV2 dengan
NPV1 selama periode investasi. Adapun rumus perhitungan sebagai
berikut:
ΔNPV = NPV2 – NPV1
Penentuan kelayakan suatu proyek berdasarkan nilai ROI adalah
sebagai berikut:
a. Bila penggunaan discount factor (df) yang sama dengan
pinjaman memberikan hasil ΔNPV positif, maka proyek tersebut
layak dilaksanakan.
b. Bila penggunaan discount factor (df) yang sama dengan
pinjaman memberikan hasil ΔNPV negatif, maka proyek
tersebut tidak layak dilaksanakan.
17

c. Bila penggunaan discount factor (df) yang sama dengan


pinjaman memberikan hasil ΔNPV 0, maka proyek tersebut
layak dilaksanakan atau tidak.
4. Internal Rate of Return (IRR)
IRR adalah pengukuran besaran tingkat suku bunga (discount factor)
yang diperoleh dengan cara memperbaharui aliran kas yang akan
diterima selama periode investasi. Nilai IRR harus lebih besar dari
tingkat suku bunga pasar karena investasi mempunyai banyak resiko
seperti resiko investasi gedung, mesin, kendaraan dan lain-lain.
Metode yang digunakan untuk mencari IRR dari arus kas yang akan
diterima selama periode investasi adalah metode coba-coba (trial
and error) (Umar, 2007). Langkah-langkah untuk mencari IRR
adalah sebagai berikut:
a. Menghitung NPV2 selama periode investasi dengan df yang
sama dengan suku bunga pinjaman (df1). NPV2 yang diperoleh
kemudian dikurangi dengan NPV1 sehingga diperoleh Δ1.
b. Bila Δ1 yang diperoleh negatif, maka trial yang kedua
dihentikan dan proyek dinyatakan tidak layak.
c. Bila Δ1 yang diperoleh positif, maka NPV2 dihitung kembali
dengan df yang lebih besar (df2) sampai memperoleh nilai Δ2
yang paling mendekati 0 positif (+) atau negatif (-)
d. Dihitung nilai IRR dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
Δ1
IRR = (df 1) + [ x (df2 − df1)]
( Δ1 ) + ( Δ 2 )
e. Jika nilai iRR kurang dari suku bunga bank, maka proyek
tersebut tidak layak dilaksanakan. Sebaliknya jika nilai IRR
lebih dari suku bunga bank, maka proyek tersebut layak untuk
dilaksanakan (Seto,2008)
5. Break Event Point (BEP)
Tujuan analisis BEP adalah untuk mencari titik impas Apotek atau
break event point, hal ini merupakan volume penjualan dimana total
18

pendapatan atau penjualan sama dengan total biaya. Pada titik impas
Apotek tidak mendapat laba maupun menderita kerugian. Fungsi
analisis BEP adalah untuk merencanakan jumlah penjualan yaitu
pada jumlah penjualan berapa yang dapat menghasilkan laba atau
untuk menutup biaya variabel dan biaya tetap yang dikeluarkan
Apotek. Selain itu untuk merencanakan jumlah laba yaitu berapa
banyak jumlah keuntungan atau kerugian yang akan diperoleh
Apotek, ketika total penjualan dan biayanya mencapai tingkat
tertentu. Adapun cara perhitungan analisis BEP adalah sebagai
berikut:
Biaya tetap
Titik empas (BEP) = Biaya Variabel atau
1−( )
Volume Penjualan
Biaya tetap
Titik empas (BEP) = HPP
1−( )
Omzet

2.1.6 Tata Cara Pendirian Apotek


Tata cara pendirian Apotek diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan No.14 tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk
Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Resiko Sektor
Kesehatan. Terdapat beberapa persyaratan umum dan persyaratan khusus
yang harus dilengkapi dalam pendirian Apotek. Adapun persyaratan
tersebut antara lain:
A. Persyaratan Umum
1. Apotek dapat diselenggarakan oleh pelaku usaha perseorangan atau
non perseorangan. Pelaku usaha perseorangan adalah Apoteker,
sedangkan pelaku usaha non perorangan dapat berupa Perseroan
Terbatas, yayasan dan/atau koperasi. Pelaku usaha non perorangan
melampirkan dokumen Surat perjanjian kerjasama dengan Apoteker
yang disahkan oleh notaris.
2. Data Penanggung Jawab Teknis meliputi KTP, STRA, dan SIPA.
19

3. Bukti Pembayaran Pendapatan Anggaran Daerah (PAD)


4. Durasi pemenuhan persyaratan paling lambat 30 (tiga puluh) hari
sejak pelaku usaha mengajukan permohonan.
5. Durasi pemberian izin Apotek paling lama 9 (sembilan) hari sejak
dokumen dinyatakan lengkap.
6. Izin Apotek berlaku mengikuti masa berlaku SIPA penanggung
jawab, maksimal 5 (lima) tahun.
B. Persyaratan Khusus
1. Lokasi
Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan
pelayanan dan komoditi lainnya diluar Sediaan Farmasi (misalnya di
pusat perbelanjaan, apartemen, perumahan) dengan tetap memenuhi
persyaratan kesehatan.
2. Bangunan
Bangunan, sarana dan prasarana, peralatan dan pengaturan ruang
Apotek harus memperhatikan fungsi:
a. Keamanan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan dalam
pemberian pelayanan
b. Perlindungan dan keselamatan bagi semua orang termasuk
penyandang disabilitas, anak-anak, dan lanjut usia, dan;
c. Keamanan dan mutu obat, sediaan farmasi lain, alat kesehatan
dan BMHP dan komoditi lain yang dikelola.
Apotek paling sedikit memiliki ruang yang berfungsi ruang
penerimaan resep, ruang pelayanan resep dan peracikan, ruang
penyerahan obat, ruang konseling, ruang penyimpanan obat, sediaan
farmasi lain, alat kesehatan dan BMHP dan komoditi lain dan ruang
arsip beserta peralatannya yang mengacu pada Peraturan Menteri
Kesehatan tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek.
3. Sumber Daya Manusia/ Ketenagaan
Apotek harus memiliki penanggung jawab teknis dengan kualifikasi
Apoteker dan merupakan Warga Negara Indonesia. Dalam
20

menjalankan tugasnya, Apoteker penanggung jawab dapat dibantu


oleh Apoteker lain dan/atau TTK, asisten tenaga kefarmasian
dan/atau tenaga administrasi. Jumlah Apoteker dan tenaga lain
disesuaikan dengan jam operasional Apotek dan mempertimbangkan
analisa beban jam kerja. Jika Apotek membuka layanan 24 (dua
puluh empat) jam, maka harus memiliki paling sedikit 2 (dua) orang
Apoteker. Seluruh Apoteker dan/atau TTK harus memiliki Surat Izin
Praktik. Seluruh tenaga kefarmasian dan nonkefarmasian yang
bekerja di Apotek wajib bekerja sesuai dengan standar profesi,
standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi,
menghormati hak pasien, serta mengutamakan mutu dan
keselamatan pasien sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
4. Sarana, Prasarana dan Peralatan
Apotek wajib memasang di dinding bagian depan bangunan secara
jelas dan mudah dibaca berupa:
a. Papan nama Apotek yang memuat informasi paling sedikit nama
Apotek, nomor Izin Apotek dan alamat Apotek.
b. Papan nama praktik Apoteker yang memuat informasi paling
sedikit nama Apoteker, nomor SIPA dan jadwal praktik
Apoteker.
Prasarana Apotek paling sedikit terdiri dari instalasi air bersih,
instalasi listrik, sistem tata udara, dan sistem proteksi kebakaran.
Peralatan Apotek meliputi semua peralatan yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pelayanan kefarmasian seperti rak obat, alat peracikan,
bahan pengemas obat, lemari pendingin, meja, kursi, komputer,
sistem pencatatan mutasi obat, formulir catatan pengobatan pasien
dan peralatan lain sesuai dengan kebutuhan. Sarana, prasarana dan
peralatan Apotek harus dalam kondisi terpelihara dan berfungsi
dengan baik mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Kemenkes RI, 2017 dan
Kemenkes RI, 2021).
21

Apotek yang didirikan harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan


sesuai dengan peraturan yang berlaku. Setiap Apotek wajib memiliki izin
dari Menteri. Menteri kemudian melimpahkan kewenangan pemberian izin
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Izin ini berupa Surat Izin
Apotek (SIA) yang berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang selama
memenuhi persyaratan. Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus
mengajukan permohonan tertulis kepada Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota. Permohonan tersebut harus ditandatangani oleh Apoteker
disertai dengan kelengkapan dokumen administratif meliputi:
1. Fotokopi STRA dengan menunjukkan STRA asli
2. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)
3. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker
4. Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan
5. Daftar prasarana, sarana, dan peralatan.
Setelah pengajuan SIA dalam waktu 6 hari kerja sejak menerima
permohonan dan dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen
administratif, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim
pemeriksa yang terdiri dari tenaga kefarmasian dan tenaga lainnya yang
menangani bidang sarana dan prasarana untuk melakukan pemeriksaan
terhadap kesiapan Apotek. Selanjutnya, paling lama dalam waktu 6 hari
kerja sejak tim pemeriksa ditugaskan, tim pemeriksa harus melaporkan hasil
pemeriksaan yang dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Selanjutnya paling lama dalam waktu
12 hari kerja sejak Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerima laporan,
apabila Apotek dinyatakan memenuhi persyaratan, Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat menerbitkan SIA dengan tembusan kepada Direktur
jenderal, Kepala Dinas kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan Organisasi Profesi (Kemenkes,
2017).
Apabila Apotek masih belum memenuhi persyaratan, Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota harus mengeluarkan surat penundaan paling lama
22

dalam waktu 12 hari kerja. Permohonan yang dinyatakan belum memenuhi


persyaratan dapat melengkapi persyaratan paling lambat dalam waktu 1
bulan sejak surat penundaan diterima. Namun, apabila pemohon tidak dapat
memenuhi kelengkapan persyaratan maka Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota dapat mengeluarkan Surat Penolakan. Apabila Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan SIA melebihi jangka waktu, Apoteker
pemohon dapat menyelenggarakan Apotek dengan menggunakan BAP
sebagai pengganti SIA. Penerbitan SIA dilakukan bersamaan dengan
penerbitan SIPA untuk Apoteker pemegang SIA dan masa berlaku SIA
mengikuti masa berlaku SIPA. Setiap perubahan alamat di lokasi,
perubahan Apoteker pemegang SIA, atau nama Apotek harus dilakukan
perubahan izin kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Kemenkes RI,
2017).

2.1.7 Pengelolaan Sediaan Farmasi, alat kesehatan dan bahan medis


habis pakai
Pengelolaan sediaan farmasi, termasuk alat kesehatan dan Bahan
Medis Habis Pakai (BMHP) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku. Pengelolaan sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP tersebut, meliputi: perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, serta pencatatan dan
pelaporan (Menkes RI, 2016).
1. Perencanaan
Perencanaan merupakan tahap awal untuk menetapkan jenis dan
jumlah sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang sesuai dengan
kebutuhan. Tujuan dari perencanaan, yaitu:
a. Untuk mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah sediaan farmasi,
alat kesehatan dan BMHP yang mendekati kebutuhan.
b. Untuk meningkatkan penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP secara rasional.
c. Untuk menjamin ketersediaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan
23

BMHP.
d. Untuk menjamin stok sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP
agar tidak berlebih.
e. Efisiensi biaya.
f. Untuk memberikan dukungan data bagi estimasi pengadaan,
penyimpanan dan biaya distribusi sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP (Kemenkes RI, 2019).
Tahapan perencanaan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP dimulai dari persiapan sebelum menyusun rencana
kebutuhan lalu dilanjutkan dengan pengumpulan data yang berdasarkan
pada data penggunaan periode sebelumnya (data konsumsi), sisa stok
dan morbiditas. Kemudian, dilakukan penetapan jenis dan jumlah
sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang direncanakan
menggunakan metode perhitungan kebutuhan. Setelah itu, dilakukan
evaluasi dari perencanaan yang telah dilakukan dan jika diperlukan
dilakukan revisi dari rencana kebutuhan tersebut (Kemenkes RI, 2019).
Metode dan strategi perencanaan dapat ditujukan untuk
penggunaan, menyiapkan dan menyesuaikan biaya, perencanaan, serta
pengembangan pelayanan. Pemilihan metode perhitungan kebutuhan
berdasarkan pada penggunaan sumber daya dan data yang ada
(Kemenkes RI, 2019). Berikut ini merupakan beberapa metode
perencanaan:
a. Metode Konsumsi
Pada metode konsumsi, perhitungan dilakukan berdasarkan analisa
data konsumsi sediaan farmasi periode sebelumnya ditambah stok
penyangga (buffer stock), stok waktu tunggu (lead time stock) dan
memperhatikan sisa stok. Buffer stock mempertimbangkan
kemungkinan adanya perubahan pola penyakit dan kenaikan jumlah
kunjungan. Jumlah buffer stock bervariasi antara 10% sampai 20%
dari kebutuhan atau tergantung kebijakan Apotek. Sedangkan, lead
time stock adalah stok sediaan farmasi yang dibutuhkan selama
24

waktu tunggu sejak sediaan farmasi tersebut dipesan hingga sediaan


farmasi datang dan diterima. Dalam melakukan perhitungan metode
konsumsi, perlu disiapkan beberapa data antara lain: daftar nama
sediaan farmasi, stok awal, penerimaan, pengeluaran, sisa stok,
daftar sediaan farmasi yang hilang atau rusak ataupun kadaluarsa,
kekosongan sediaan farmasi, pemakaian rata-rata sediaan farmasi
per tahun, lead time stock, buffer stock, dan pola kunjungan
(Kemenkes RI, 2019). Berikut ini merupakan rumus dari
perhitungan metode konsumsi:
A = (B + C + D) − E
Keterangan:
A : rencana pengadaan
B : pemakaian rata-rata per bulan
C : buffer stock
D : lead time stock
E : sisa stok
b. Metode Morbiditas
Metode morbiditas merupakan perhitungan kebutuhan sediaan
farmasi berdasarkan pada pola penyakit, dimana metode ini
memperkirakan kebutuhan sediaan farmasi berdasarkan jumlah,
kejadian penyakit dan mempertimbangkan pola standar pengobatan
untuk penyakit tertentu. Faktor yang perlu diperhatikan adalah
perkembangan pola penyakit dan lead time (Kemenkes RI, 2019).
Berikut ini merupakan langkah-langkah dalam metode morbiditas:
1) Mengumpulkan data yang diperlukan
Dalam melakukan perhitungan metode morbiditas, perlu
dipersiapkan data perkiraan jumlah populasi dimana populasi
dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan beberapa
kelompok umur, serta pola morbiditas penyakit meliputi jenis
penyakit per tahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur
yang ada dan frekuensi kejadian masing-masing penyakit per
25

tahun untuk seluruh populasi pada kelompok umur yang ada.


2) Menghitung kebutuhan jumlah sediaan farmasi
Perhitungan dilakukan dengan cara jumlah kasus dikalikan
dengan jumlah sediaan farmasi sesuai pedoman pengobatan
dasar. Jumlah kebutuhan sediaan farmasi yang akan datang
dihitung dengan mempertimbangkan faktor pola penyakit, lead
time dan buffer stock (Kemenkes RI, 2019).
c. Metode Proxy Consumption
Metode proxy consumption merupakan metode perhitungan
kebutuhan sediaan farmasi dengan menggunakan data konsumsi,
kejadian penyakit, serta permintaan atau penggunaan ataupun
pengeluaran sediaan farmasi dari Apotek yang telah memiliki sistem
pengelolaan sediaan farmasi dan mengekstrapolasikan tingkat
kebutuhan berdasarkan cakupan populasi atau tingkat layanan yang
diberikan. Metode proxy consumption dapat digunakan untuk
perencanaan pengadaan di Apotek baru yang tidak memiliki data
konsumsi di tahun sebelumnya (Kemenkes RI, 2019).
Dalam melakukan perencanaan, perlu dilakukan analisis rencana
kebutuhan obat untuk menjamin ketersediaan obat dan efisiensi
anggaran. Berikut ini merupakan beberapa cara untuk melakukan
evaluasi perencanaan:
a. Analisis ABC
Analisis ABC dilakukan dengan mengelompokkan obat berdasarkan
pada kebutuhan dana, diantaranya:
1) Kelompok A adalah kelompok obat dengan jumlah nilai rencana
pengadaaan yang menunjukkan penyerapan dana sekitar 70%
dari jumlah dana obat keseluruhan.
2) Kelompok B adalah kelompok obat dengan jumlah nilai rencana
pengadaaan yang menunjukkan penyerapan dana sekitar 20%
dari jumlah dana obat keseluruhan.
3) Kelompok C adalah kelompok obat dengan jumlah nilai rencana
26

pengadaaan yang menunjukkan penyerapan dana sekitar 10%


dari jumlah dana obat keseluruhan (Kemenkes RI, 2019).
b. Analisis VEN
Analisis VEN dilakukan dengan mengelompokkan obat berdasarkan
manfaat setiap jenis obat terhadap kesehatan untuk meningkatkan
efisiensi dari penggunaan dana, kelompok tersebut adalah sebagai
berikut:
1) Kelompok V (Vital) adalah kelompok obat yang dapat
menyelamatkan jiwa (life saving), seperti obat syok anafilaksis.
2) Kelompok E (Esensial) adalah kelompok obat yang bekerja pada
sumber penyebab penyakit dan paling dibutuhkan pada
pelayanan kesehatan, seperti obat analgesik, antibiotik,
antidiabetik, antikonvulsan, dan lain sebagainya.
3) Kelompok N (Non Esensial) adalah kelompok obat penunjang,
yaitu obat-obat yang bekerja ringan dan dipergunakan untuk
mengatasi keluhan ringan atau menimbulkan kenyamanan,
seperti suplemen (Kemenkes RI, 2019).
c. Analisis Kombinasi
Analisis kombinasi digunakan untuk melakukan pengurangan obat
dengan menetapkan prioritas pengadaan obat, terutama jika
anggaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan. Dimana obat
yang termasuk kategori A dari analisis ABC adalah obat yang benar-
benar diperlukan untuk penanggulangan penyakit terbanyak,
statusnya harus E dan sebagian V dari VEN. Sebaliknya, jenis obat
dengan status N harusnya masuk kategori C (Kemenkes RI, 2019).
Tabel 2.1 Metode Kombinasi
A B C
V VA VB VC
E EA EB EC
N NA NB NC
27

Mekanismenya adalah sebagai berikut:


1) Obat kategori NA menjadi prioritas pertama untuk dihilangkan
atau dikurangi dari rencana kebutuhan dan apabila dana masih
kurang, maka obat kategori NB menjadi prioritas selanjutnya,
kemudian obat kategori NC menjadi prioritas berikutnya. Jika
pendekatan ini telah dilakukan dan dana yang tersedia masih
kurang, maka dilakukan langkah selanjutnya.
2) Pendekatannya sama dengan pengurangan obat kategori NA, NB
dan NC, dimulai dengan pengurangan obat kategori EA, EB dan
EC (Kemenkes RI, 2019).
2. Pengadaan
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan
yang telah direncanakan dan disetujui, dengan cara melakukan
pemesanan dan pembelian. Pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP harus melalui jalur resmi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan sehingga dapat menjamin kualitas dari pelayanan
kefarmasian (Kemenkes RI, 2019). Pengadaan harus memperhatikan
beberapa hal berikut ini:
a. Sediaan farmasi, serta alat kesehatan dan BMHP diperoleh dari
Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan Penyalur Alat Kesehatan (PAK)
yang memiliki izin.
b. Setiap sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang dibeli
terjamin kualitas, legalitas dan keasliannya.
c. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP yang dipesan datang
tepat waktu.
d. Dokumen terkait sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP mudah
ditelusuri.
e. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP lengkap sesuai dengan
perencanaan (Kemenkes RI, 2019).
Waktu pengadaan sediaan farmasi dilakukan berdasarkan
kebutuhan dengan mempertimbangkan hasil analisa dari beberapa
28

data, yaitu: sisa stok dengan memperhatikan waktu (tingkat kecukupan


sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP), kapasitas sarana
penyimpanan, serta lead time (Kemenkes RI, 2019).
Pengadaan sediaan farmasi dilaksanakan berdasarkan surat
pesanan yang ditandatangani oleh Apoteker pemegang Surat Izin
Apotek (SIA) dengan mencantumkan nomor Surat Izin Praktek
Apoteker (SIPA). Surat pesanan dibuat rangkap 2, dimana tidak boleh
dalam bentuk faksimili maupun fotokopi. Satu rangkap surat pesanan
diserahkan kepada distributor dan 1 rangkap sebagai arsip Apotek.
Apabila surat pesanan tidak bisa dilayani baik sebagian ataupun
seluruhnya, maka Apotek harus meminta surat penolakan pesanan dari
distributor. Pengadaan sediaan farmasi yang mengandung prekursor
farmasi atau Obat-Obat Tertentu (OOT) dilakukan dengan
menggunakan surat pesanan khusus dan dibuat rangkap 2. Surat pesanan
narkotika hanya dapat diperoleh dari PT. Kimia Farma Trading and
Distribution, dimana surat pesanan narkotika dan psikotropika dibuat
rangkap 3 (Kemenkes RI, 2019).
Surat pesanan dapat dibuat dengan menggunakan sistem
elektronik. Sistem elektronik yang digunakan harus dapat menjamin
ketertelusuran produk dalam batas waktu 5 tahun terakhir dan harus
tersedia sistem backup data secara elektronik. Surat pesanan secara
elektronik yang dikirimkan ke distributor harus dipastikan diterima oleh
distributor, yang dapat dibuktikan melalui adanya pemberitahuan secara
elektronik dari pihak distributor bahwa pesanan tersebut telah diterima.
Apabila terjadi kekurangan jumlah akibat kelangkaan stok pada
distributor dan terjadi kekosongan stok di Apotek, maka Apotek dapat
melakukan pembelian kepada Apotek lain (Kemenkes RI, 2019).
3. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis, spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.
29

Penerimaan dilakukan melalui pemeriksaan kesesuaian fisik obat


dengan faktur pembelian ataupun Surat Pengiriman Barang (SPB)
yang sah. Penerimaan obat harus dilakukan oleh Apoteker dan apabila
Apoteker berhalangan hadir, maka penerimaan dapat didelegasikan
kepada Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) yang ditunjuk oleh
Apoteker dan dilengkapi dengan surat pendelegasian (Kemenkes RI,
2019). Pemeriksaan yang dilakukan saat penerimaan obat diantaranya:
a. Kondisi kemasan, segel dan label atau penandaan dalam keadaan
baik.
b. Kesesuaian nama, bentuk, kekuatan sediaan obat, isi kemasan antara
arsip surat pesanan dengan obat yang diterima.
c. Kesesuaian antara fisik obat dengan faktur pembelian ataupun SPB,
meliputi: kebenaran nama produsen, nama pemasok, nama obat,
jumlah, isi kemasan, bentuk dan kekuatan sediaan obat; serta nomor
bets dan tanggal kadaluarsa (Kemenkes RI, 2019).
Apabila dari hasil pemeriksaan ditemukan ketidaksesuaian
antara obat yang diterima dengan surat pesanan maupun faktur, maka
obat tersebut dikembalikan langsung pada saat penerimaan. Jika
pengembalian tidak dapat dilaksanakan pada saat penerimaan (misalnya,
pengiriman melalui ekspedisi), maka dibuatkan berita acara yang
menyatakan penerimaan tidak sesuai dan disampaikan untuk
dikembalikan kepada distributor. Sedangkan apabila hasil pemeriksaan
dinyatakan sesuai dan kondisi kemasan baik, maka Apoteker atau TTK
yang mendapat delegasi wajib menandatangani faktur dengan
mencantumkan nama lengkap, nomor SIPA/SIPTTK dan stempel
Apotek (Kemenkes RI, 2019).
4. Penyimpanan
Penyimpanan bertujuan untuk memelihara mutu obat,
menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga
ketersediaan, serta memudahkan pencarian dan pengawasan.
Penyimpanan obat, alat kesehatan dan BMHP harus dilakukan
30

pencatatan pada kartu stok, yang meliputi: nama, bentuk dan kekuatan
sediaan obat, jumlah persediaan, tanggal, nomor dokumen dan sumber
penerimaan, nomor bets dan kadaluarsa setiap penerimaan, jumlah yang
diterima, nomor dokumen dan tujuan penyerahan, jumlah yang
diserahkan, serta paraf petugas Apotek yang mengerjakannya.
Pencatatan dapat dilakukan secara manual maupun elektronik dengan
sistem tervalidasi yang dapat ditelusuri dan dicetak (Kemenkes RI,
2019). Penyimpanan harus memperhatikan beberapa hal berikut
(Menkes RI, 2016):
a. Obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik dan apabila isi
dipindahkan pada wadah lain dalam hal pengecualian atau darurat,
maka harus dapat mencegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah minimal berisi nama
obat, nomor bets dan tanggal kadaluarsa.
b. Semua obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai agar keamanan
dan stabilitasnya terjamin.
c. Tempat penyimpanan obat tidak boleh digunakan untuk menyimpan
barang lain yang menyebabkan kontaminasi.
d. Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk
sediaan dan kelas terapi obat, serta disusun secara alfabetis.
e. Pengeluaran obat menggunakan sistem FEFO (First Expired First
Out) dan FIFO (First In First Out).
Aspek khusus yang perlu diperhatikan pada penyimpanan adalah
sebagai berikut (Kemenkes RI, 2019):
a. Obat farmasi High Alert
Obat High Alert merupakan obat yang harus diwaspadai karena
dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan dan beresiko tinggi
menyebabkan dampak yang tidak diinginkan, obat tersebut
diantaranya:
1) Obat resiko tinggi, yaitu obat yang bila terjadi kesalahan dapat
mengakibatkan kecacatan atau bahkan kematian, seperti insulin,
31

antidiabetik oral atau obat kemoterapeutik.


2) Obat look alike sound alike (LASA) atau Nama Obat Rupa
Ucapan Mirip (NORUM), yaitu obat dengan nama, kemasan,
label, ataupun bunyi ucapannya sama, seperti tetrasiklin dan
tetrakain. Penetapan obat- obat yang termasuk LASA dilakukan
oleh Apotek berdasarkan obat- obat yang tersedia, dimana pada
penyimpanannya tidak diletakkan berdekatan dan diberi label
khusus.
3) Elektrolit konsentrasi tinggi, seperti natrium klorida dengan
konsentrasi lebih dari 0,9% dan magnesium sulfat injeksi.
Penyimpanan obat high alert diletakkan terpisah, mudah dijangkau
dan tidak harus terkunci, serta diberikan label high alert untuk
menghindari kesalahan.
b. Obat Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi
Penyimpanan narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi terpisah
dari obat lain, serta harus mampu menjaga keamanan, khasiat dan
mutu. Narkotika atau psikotropika harus disimpan pada lemari
khusus yang berada dalam pengawasan Apoteker. Lemari tersebut
harus mempunyai 2 kunci yang berbeda, dimana satu kunci
dipegang oleh Apoteker dan kunci lainnya dipegang oleh petugas
lain yang dikuasakan.
5. Pemusnahan
Obat yang kadaluarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai
dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluarsa atau
rusak yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh
Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh
Apoteker dan disaksikan oleh TTK lain yang memiliki Surat Izin Kerja
Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK). Pemusnahan didokumentasikan
dalam bentuk berita acara pemusnahan. Sedangkan, untuk resep yang
telah disimpan melebihi jangka waktu 5 tahun dapat dimusnahkan.
32

Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker minimal disaksikan oleh


petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan lain
yang didokumentasikan dalam bentuk berita acara pemusnahan resep
dan selanjutnya dilaporkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
(Kemenkes RI, 2019).
6. Pengendalian
Pengendalian persediaan merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan untuk memastikan sasaran yang diinginkan tercapai sesuai
dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi
kelebihan maupun kekurangan atau kekosongan stok di Apotek.
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah
persediaan sesuai dengan kebutuhan pelayanan melalui pengaturan
sistem pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran yang bertujuan untuk
menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan, kerusakan,
kadaluarsa, kehilangan maupun pengembalian pesanan. Pengendalian
persediaan dilakukan dengan menggunakan kartu stok, baik secara
manual maupun elektronik (Kemenkes RI, 2019). Pengendalian
persediaan obat terdiri dari (Kemenkes RI, 2019):
a. Pengendalian ketersediaan
Kekosongan atau kekurangan obat di Apotek dapat terjadi karena
perencanaan yang kurang tepat maupun perubahan kebijakan
pemerintah. Untuk mengatasi hal tersebut, Apoteker dapat
melakukan hal-hal berikut:
1) Melakukan analisa perencanaan sebelum pemesanan atau
pembelian obat.
2) Mengganti obat merek dagang dengan merek dagang lain atau
obat generik yang kandungannya sama atas persetujuan dokter
atau pasien.
3) Melakukan Stock opname (SO) sediaan farmasi, alat kesehatan
dan BMHP yang ada di Apotek secara berkala minimal setiap 6
bulan sekali, khusus untuk psikotropika dan narkotika minimal
33

setiap 1 bulan sekali.


b. Pengendalian penggunaan
Pengendalian penggunaan obat dilakukan untuk mengetahui jumlah
penerimaan dan pemakaian obat sehingga dapat memastikan
kebutuhan dalam satu periode. Kegiatan pengendalian penggunaan
mencakup:
1) Memperkirakan atau menghitung pemakaian rata-rata dalam
periode tertentu, dimana jumlah stok ini disebut stok kerja.
2) Menentukan stok optimum (stok yang disediakan agar tidak
mengalami kekurangan atau kekosongan), stok pengaman (stok
yang disediakan untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang
tidak terduga, misal keterlambatan pengiriman) dan lead time.
3) Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk
memonitor keluar masuknya sediaan farmasi, alat kesehatan dan
BMHP di Apotek. Pencatatan dapat dilakukan dalam bentuk
digital maupun manual. Pencatatan dalam bentuk manual
biasanya menggunakan kartu stok.
c. Penanganan apabila terjadi kerusakan, recall dan kadaluarsa
1) Pemusnahan dan penarikan obat yang tidak dapat digunakan
harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
2) Penarikan obat yang tidak memenuhi standar atau ketentuan
peraturan perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar
berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM (mandatory recall)
maupun secara sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary recall)
dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
Penarikan BMHP dilakukan terhadap produk yang izin edarnya
dicabut oleh Menteri.
3) Pemusnahan dilakukan apabila produk tidak memenuhi
persyaratan mutu atau rusak, kadaluarsa dan dicabut izin
edarnya.
34

7. Pencatatan
Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk
memonitor keluar masuknya sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP
di Apotek. Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan,
meliputi: pengadaan (surat pesanan dan faktur), penyimpanan (kartu
stok), penyerahan (nota atau struk penjualan), pemusnahan (berita
acara), dan pencatatan lain yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Pencatatan akan memudahkan dalam melakukan penelusuran apabila
terdapat mutu sediaan farmasi yang di bawah standar dan harus ditarik
dari peredaran (Kemenkes RI, 2019).
8. Pelaporan
Pelaporan merupakan kumpulan catatan dan pendataan kegiatan
administrasi sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP, ditujukan
kepada pihak yang berkepentingan. Pelaporan terdiri dari pelaporan
internal dan pelaporan eksternal. Dimana pelaporan internal merupakan
pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, seperti
pelaporan keuangan, pelaporan barang dan pelaporan lainnya.
Sedangkan, pelaporan eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk
memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku meliputi pelaporan narkotika, psikotropika dan
pelaporan lainnya (Kemenkes RI, 2019).

2.1.8 Pelayanan Farmasi Klinis


Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan yang diberikan oleh
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan resiko terjadinya efek samping obat yang bertujuan untuk
keselamatan pasien (patient safety) sehingga terjaminnya kualitas hidup
pasien (quality of life). Pelayanan farmasi klinik yang dilakukan, meliputi:
1. Pengkajian dan Pelayanan Resep
Pelayanan resep merupakan suatu rangkaian kegiatan yang
dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, pengkajian resep,
35

penyiapan sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP, termasuk


peracikan dan penyerahan obat disertai dengan pemberian informasi
terkait obat. Pengkajian dan pelayanan resep dilakukan pada semua
resep yang diterima tanpa kriteria pasien khusus. Tujuan dari kegiatan
pengkajian dan pelayanan resep adalah untuk menganalisis apabila
terdapat masalah terkait obat dan sebagai upaya untuk mencegah
terjadinya kesalahan pemberian obat (medication error). Pengkajian dan
pelayanan resep dilakukan oleh Apoteker dan dibantu oleh TTK, dimana
TTK hanya dapat membantu dengan kewenangan terbatas dalam
persyaratan administratif dan farmasetik saja. Dengan melakukan
pengkajian dan pelayanan resep dapat meminimalisir aspek resiko
klinis, finansial dan legal atau hukum (Kemenkes RI, 2019). Kegiatan
pengkajian resep, meliputi (Kemenkes RI, 2019):
a. Persyaratan administratif, diantaranya: nama pasien, umur atau
tanggal lahir, jenis kelamin, berat badan (harus diketahui untuk
pasien pediatri, geriatri, kemoterapi, gangguan ginjal, epilepsi,
gangguan hati dan pasien bedah) dan tinggi badan pasien (harus
diketahui untuk pasien pediatri dan kemoterapi); nama dokter,
nomor Surat Izin Praktek (SIP), alamat, paraf, kewenangan klinis
dokter dan akses lain; tanggal resep; dan ada atau tidaknya alergi.
b. Persyaratan farmasetik, diantaranya: nama obat, bentuk dan
kekuatan sediaan obat, serta jumlah obat; stabilitas dan
ketercampuran obat; aturan pakai dan cara penggunaan obat; dan
tidak menuliskan singkatan yang tidak baku apabila ditemukan
singkatan yang tidak baku dan tidak dimengerti maka klarifikasikan
kepada dokter penulis resep.
c. Persyaratan klinis, diantaranya: ketepatan indikasi, obat, dosis dan
waktu penggunaan obat; duplikasi penggunaan obat; alergi dan
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD); kontraindikasi; dan
interaksi obat.
2. Dispensing
36

Dispensing merupakan kegiatan yang terdiri dari penyiapan,


penyerahan dan pemberian informasi obat kepada pasien, dimana
kegiatan dispensing dilakukan setelah persyaratan administratif,
farmasetik dan klinis memenuhi syarat. Manfaat dari kegiatan
dispensing, yaitu: menyiapkan obat sesuai dengan tata cara dispensing
yang baik, mencegah terjadinya dispensing error, dan memastikan
tercapainya Penggunaan Obat yang Rasional (POR) (Kemenkes RI,
2019). Berikut ini adalah pelaksanaan dari kegiatan dispensing
(Kemenkes RI, 2019):
a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep dimulai dari
menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep, kemudian
mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan dengan
memperhatikan nama obat, tanggal kadaluarsa dan keadaan fisik
obat. Lakukan double check kebenaran identitas obat yang diracik,
terutama apabila obat termasuk high alert atau LASA.
b. Melakukan peracikan obat apabila diperlukan lalu memberikan
etiket yang berisi tentang informasi tanggal, nama pasien dan aturan
pakai obat. Kemudian, memberikan keterangan “kocok dahulu”
pada sediaan bentuk suspensi atau emulsi dan memberikan
keterangan “habiskan” pada obat antibiotik.
c. Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah untuk
obat yang berbeda sehingga dapat menjaga mutu obat dan
menghindari penggunaan yang salah.
d. Melakukan pemeriksaan kembali terkait penulisan nama pasien pada
etiket, cara penggunaan, serta jenis dan jumlah obat (kesesuaian
antara penulisan etiket dengan resep) sebelum obat diserahkan
kepada pasien.
e. Memanggil nama dan nomor tunggu pasien sambil memeriksa ulang
identitas dan alamat pasien.
f. Memastikan 5T, yaitu: tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, tepat rute
pemberian obat, dan tepat waktu pemberian obat.
37

g. Memberikan informasi obat yang meliputi: nama obat, dosis, cara


pakai, indikasi, kontraindikasi, efek samping, cara penyimpanan
obat, stabilitas, dan interaksi obat yang diserahkan kepada pasien
dan meminta nomor kontak pasien. Jika diperlukan, pasien dapat
diberikan konseling obat pada ruang konseling. Apabila penyerahan
obat dilakukan melalui pengantaran oleh Apotek, maka Apoteker
harus menjamin keamanan dan mutu obat serta memberikan
informasi obat secara tertulis kepada pasien. Selain itu jika
pengantaran dilakukan oleh jasa pengantaran, kemasan sediaan
farmasi harus dalam keadaan tertutup dan menjaga kerahasiaan
pasien.
h. Melakukan penyimpanan dan pengarsipan resep sesuai dengan
ketentuan.
i. Apoteker membuat catatan pengobatan pasien, diutamakan untuk
pasien yang diprioritaskan mendapatkan pelayanan farmasi klinik
(konseling dan PTO), seperti pasien-pasien dengan penyakit kronis.
Apoteker di Apotek juga dapat melayani obat non resep atau pelayanan
swamedikasi, dimana Apoteker harus memberikan edukasi kepada
pasien yang memerlukan obat non resep untuk penyakit ringan dengan
memilihkan obat bebas atau bebas terbatas yang sesuai (Kemenkes RI,
2019).
3. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang dilakukan
oleh Apoteker dalam menyediakan dan memberikan informasi terkait
obat yang tidak memihak, serta dilakukan evaluasi secara kritis dengan
bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi
kesehatan lain, pasien ataupun masyarakat. Informasi yang diberikan
terkait obat, termasuk obat resep, obat bebas atau bebas terbatas dan
obat herbal. Informasi tersebut meliputi dosis obat, bentuk sediaan, rute
dan metode pemberian, stabilitas, efek samping, interaksi, formulasi
khusus, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,
38

keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, ketersediaan,


harga, sifat fisika atau kimia dari obat, serta informasi lainnya. Kegiatan
PIO bertujuan untuk menyediakan informasi terkait obat kepada pasien
dan di lingkungan Apotek; menyediakan informasi untuk membuat
kebijakan yang berhubungan dengan obat atau sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP; serta menunjang POR (Kemenkes RI, 2019).
Kegiatan PIO di Apotek meliputi (Menkes RI, 2016):
a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan.
b. Membuat dan menyebarkan buletin atau brosur atau leaflet, serta
melakukan penyuluhan (pemberdayaan masyarakat).
c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien.
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa
farmasi yang sedang praktik profesi.
e. Melakukan penelitian terkait penggunaan obat.
f. Membuat atau menyampaikan makalah dalam forum ilmiah.
g. Melakukan program jaminan mutu.
PIO harus didokumentasikan untuk membantu penelusuran
kembali dalam waktu yang relatif singkat. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam dokumentasi PIO adalah sebagai berikut (Menkes
RI, 2016):
a. Topik Pertanyaan.
b. Tanggal dan waktu pemberian PIO.
c. Metode PIO seperti lisan, tertulis, atapun lewat telepon.
d. Data pasien, diantaranya: umur, jenis kelamin, berat badan,
informasi lainnya seperti riwayat alergi, pasien sedang hamil atau
menyusui dan data laboratorium.
e. Uraian pertanyaan.
f. Jawaban pertanyaan.
g. Referensi.
h. Metode pemberian jawaban seperti lisan, tertulis, atapun lewat
telepon.
39

i. Data Apoteker yang memberikan PIO.


4. Konseling
Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan
pasien atau keluarga pasien untuk meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan
perilaku dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang
dihadapi pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan
Three Prime Questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai
rendah, maka perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model.
Selain itu, Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan. Pemberian
konseling bertujuan untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan
resiko terjadinya ROTD dan meningkatkan cost-effectiveness sehingga
keamanan penggunaan obat bagi pasien (patient safety) juga akan
meningkat (Kemenkes RI, 2019). Kriteria pasien atau keluarga pasien
yang perlu diberikan konseling, antara lain (Menkes RI, 2016):
a. Pasien dengan kondisi khusus, diantaranya: pediatri, geriatri,
gangguan fungsi hati dan atau ginjal, serta ibu hamil dan menyusui.
b. Pasien dengan terapi jangka panjang atau dengan penyakit kronis,
misalnya: Tuberkulosis, Diabetes Melitus, AIDS, dan epilepsi.
c. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus, seperti:
penggunaan kortikosteroid dengan tappering down atau off.
d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit seperti
digoksin, fenitoin dan teofilin.
e. Pasien dengan polifarmasi, dimana pasien tersebut menerima
beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama, termasuk
pemberian lebih dari satu jenis obat untuk penyakit yang diketahui
dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
f. Pasien dengan tingkat kepatuhan yang rendah.
Berikut ini adalah tahapan dari kegiatan konseling (Menkes RI, 2016):
a. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.
40

b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three


Prime Questions, yaitu:
1) Apa yang disampaikan oleh dokter tentang obat anda?
2) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat
anda?
3) Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan
setelah anda menerima terapi obat tersebut?
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberikan kesempatan
kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat.
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan
masalah penggunaan obat.
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman pasien
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta tanda tangan
pasien sebagai bukti bahwa pasien telah memahami informasi yang
diberikan dalam konseling (Menkes RI, 2016).
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker dapat melakukan pelayanan kefarmasian di rumah atau
kunjungan pasien dengan persetujuan pasien atau keluarga pasien,
terutama pada pasien dengan perhatian khusus seperti pasien dengan
pengobatan penyakit kronis, pasien dengan terapi jangka panjang,
pasien geriatri yang setiap hari minum 6 macam obat atau lebih dan
pasien dengan diagnosis 6 macam atau lebih (Menkes RI 2016;
Kemenkes RI, 2019). Tujuan dari home pharmacy care adalah
tercapainya keberhasilan terapi pasien; terlaksananya pendampingan
pasien oleh Apoteker untuk mendukung efektivitas, keamanan dan
kesinambungan pengobatan pasien; terwujudnya komitmen,
keterlibatan, serta kemandirian pasien dan keluarga pasien dalam
penggunaan obat atau alat kesehatan yang tepat; serta terwujudnya
kerjasama antara profesi kesehatan, pasien dan keluarga pasien
(Kemenkes RI, 2019). Jenis home pharmacy care yang dapat dilakukan
oleh Apoteker, yaitu (Menkes RI, 2016):
41

a. Penilaian atau pencarian (assessment) masalah yang berhubungan


dengan pengobatan.
b. Identifikasi kepatuhan pasien.
c. Pendampingan pengelolaan obat atau alat kesehatan di rumah,
misalnya cara pemakaian obat asma, penyimpanan insulin dan lain
sebagainya.
d. Konsultasi masalah obat atau pengobatan secara umum.
e. Monitoring pelaksanaan, efektifitas dan keamanan penggunaan
obat berdasarkan catatan pengobatan pasien.
f. Dokumentasi pelaksanaan home pharmacy care.
6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan terapi obat merupakan proses yang dilakukan oleh
Apoteker untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi obat
yang efektif dan terjangkau dengan memaksimalkan efikasi dan
meminimalkan efek samping. Tujuan dari PTO adalah untuk
meningkatkan efektivitas terapi obat, meminimalkan resiko terjadinya
ROTD, meminimalkan biaya pengobatan, dan menghormati pilihan
pasien (Kemenkes RI, 2019). Kriteria pasien yang perlu dilakukan PTO,
yaitu: pasien pediatri, geriatri, serta ibu hamil dan menyusui; pasien
yang menerima obat lebih dari 5 jenis (polifarmasi); pasien dengan
multi diagnosis; pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati; pasien
yang menerima obat yang diketahui sering menyebabkan ROTD
(Menkes RI, 2016). Tahapan dari pelaksanaan PTO adalah sebagai
berikut (Menkes RI, 2016):
a. Memilih pasien yang sesuai dengan kriteria.
b. Mengambil data yang dibutuhkan, yaitu riwayat pengobatan pasien
yang terdiri dari riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat dan
riwayat alergi. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara
dengan pasien atau keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain.
c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat, diantaranya: adanya
indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa indikasi,
42

pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu
rendah, terjadinya ROTD, dan adanya interaksi obat.
d. Menentukan prioritas masalah sesuai kondisi pasien dan
menentukan apakah masalah tersebut sudah atau berpotensi akan
terjadi.
e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak lanjut yang berisi
rencana pemantauan dengan tujuan memastikan tercapainya efek
terapi dan meminimalkan efek yang tidak diinginkan.
f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan rekomendasi yang telah
dibuat oleh Apoteker harus dikomunikasikan dengan tenaga
kesehatan lain yang terkait untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
g. Melakukan dokumentasi dari pelaksanaan PTO.
7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Monitoring efek samping obat merupakan kegiatan pemantauan
setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak diharapkan
terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan
profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis.
Faktor yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan MESO, yaitu
kerjasama dengan tenaga kesehatan lain dan ketersediaan formulir
MESO (Kemenkes RI, 2019). Tujuan dari MESO, diantaranya
(Kemenkes RI, 2019):
a. Menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin,
terutama yang berat, tidak dikenal dan frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan
yang baru saja ditemukan.
c. Mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan
atau mempengaruhi angka kejadian dan hebatnya ESO.
d. Meminimalisir dan mencegah terulangnya kejadian ROTD.
Kegiatan dari pelaksanaan MESO, antara lain (Menkes RI, 2016):
a. Mengidentifikasi obat dan pasien dengan resiko tinggi mengalami
ESO.
43

b. Mengisi formulir MESO dan melaporkannya ke Pusat MESO


Nasional.

2.1.9 Administrasi keuangan dan perpajakan Apotek


Pajak merupakan kewajiban dari setiap warga negara untuk
menyerahkan sebagian penghasilan atau kekayaannya kepada negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh
pemerintah untuk kepentingan masyarakat. Pajak adalah kontribusi wajib
kepada negara, baik oleh pribadi maupun badan yang bersifat memaksa
berdasarkan undang-undang. Dasar hukum yang mengatur tentang pajak,
diantaranya: Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan
Menteri Keuangan, dan Dirjen Pajak. Identitas dalam perpajakan, meliputi:
1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) merupakan syarat subjektif dan
objektif untuk wajib pajak.
2. Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) merupakan wajib
pajak untuk pengusaha dengan omzet tertentu.
3. Alamat NPWP/NPPKP merupakan tempat tinggal atau tempat kegiatan
usaha. Apotek merupakan sebuah badan usaha yang tidak luput dari pajak,
dimana pajak terkait Apotek yang dipungut oleh daerah, yaitu izin
mendirikan Apotek, pajak reklame dan retribusi sampah (Dirjen Pajak,
2013).
Pajak reklame merupakan pajak yang dikenakan karena adanya
penyelenggaraan atau pemasangan reklame. Reklame merupakan benda,
alat perbuatan atau media yang menurut bentuk, susunan dan atau corak
ragamnya digunakan untuk tujuan komersil yang memperkenalkan,
menganjurkan atau memuji suatu barang, jasa ataupun untuk menarik
perhatian umum kepada suatu barang, jasa, seseorang atau badan. Reklame
biasanya diselenggarakan atau ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca
maupun didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan
oleh pemerintah. Dalam hal ini, reklame yang dimaksud seperti papan plang
Apotek. Tarif pajak reklame adalah 25% dari nilai sewa reklame.
44

Sedangkan, retribusi sampah merupakan retribusi pelayanan kebersihan


yang digolongkan dalam retribusi jasa umum, dimana tarif retribusi sampah
berbeda pada setiap daerah. Aspek perpajakan Apotek yang dipungut oleh
negara, antara lain (Dirjen Pajak, 2013):
1. Pajak Penghasilan (PPh)
Pajak Penghasilan merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan dan pembayaran lain yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan atau jabatan, jasa dan kegiatan. Tarif PPh berdasarkan pasal
17 UU Pajak Penghasilan adalah penghasilan sampai dengan Rp.
50.000.000 (PPh = 5%), penghasilan diatas 41 Rp. 50.000.000 sampai
dengan Rp. 250.000.000 (PPh = 15%), penghasilan diatas Rp.
250.000.000 sampai dengan Rp. 500.000.000 (PPh = 25%) dan diatas
Rp. 500.000.000 (PPh = 30%).
2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak negara yang dikenakan
terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan UU Nomor 12 Tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. PBB adalah pajak yang
bersifat kebendaan, dimana pajak terhutang ditentukan oleh keadaan
objek yaitu bumi atau tanah atau bangunan, sedangkan keadaan subjek
(siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak. Tarif
PBB adalah 0,5 % dari nilai jual kena pajak.
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas
konsumsi barang atau jasa kena pajak pada Daerah Pabean. Daerah
Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,
perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu pada
Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya
berlaku Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Tarif PPN adalah 10%. Jenis dan sistem PPN, yaitu:
a. PPN Pajak Masukan (PM) merupakan pajak yang dibayar oleh
45

Pengusaha Kena Pajak (PKP), baik secara kredit maupun non kredit.
b. PPN Pajak Keluaran merupakan pajak yang dipungut oleh PKP.

Anda mungkin juga menyukai