Anda di halaman 1dari 22

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek
2.1.1 Definisi Apotek
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek,
definisi apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian,
penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada
masyarakat. Pekerjaan kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun
2009 tentang pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengelolaan obat, pelayanan obat atau resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat, obat asli
Indonesia (obat tradisional), bahan baku obat asli Indonesia (bahan baku obat
tradisional), alat kesehatan dan kosmetika.
Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan perlu
mengutamakan kepentingan masyarakat dan berkewajiban menyediakan,
menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan
keabsahannya terjamin. Apotek dapat diusahakan oleh lembaga atau instansi
pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di pusat dan daerah, perusahaan
milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah dan apoteker yang telah
mengucapkan sumpah serta memperoleh izin dari Suku Dinas Kesehatan
setempat. (Umar, 2007)

2.1.2 Tugas dan Fungsi Apotek


Apotek adalah suatu tempat atau terminal distribusi obat dan perbekalan
farmasi yang dikelola oleh apoteker dan menjadi tempat pengabdian profesi
apoteker sesuai dengan standar dan etika kefarmasian.
Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009, tugas dan fungsi apotek adalah:
1) Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan
sumpah jabatan Apoteker.
5
6

2) Sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian


3) Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan farmasi
antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan kosmetika.
4) Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,
pengadaan, penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat,
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional

2.1.3 Landasan Hukum Apotek


BerdasarkanPetunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian
di Apotek tahun 2008.Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan
masyarakat yang diatur dalam:
1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
2) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
3) Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika
4) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
5) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
6) Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 1980 tentang perubahan atas Peraturan
7) Pemerintah Nomor 26 tahun 1965 tentang Apotek
8) Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan
9) Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2000 tentang Pembagian Kewenangan
Pusat dan Daerah
10) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 102 tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan
11) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
922/Menkes/Per/X/1993tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Apotek
7

12) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
13) Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan
14) Keputusan Menteri Kesehatan No.189/Menkes/SK/III/2006 tentang
Kebijakan Obat Nasional
15) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/Menkes/Per/V/2011 tentang
Registrasi, Izin Praktek dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian
16) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35/Menkes/Per/X/2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek

2.1.4 Persyaratan Apotek


Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apotek
(SIA). Surat Izin Apotek (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia kepada apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan
pemilik sarana apotek untuk menyelenggarakan pelayanan apotek di suatu
tempattertentu. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.922/MENKES/SK/X/1993, disebutkan bahwa persyaratan-persyaratan apotek
adalah sebagai berikut:
1) Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker yang bekerja sama dengan pemilik
sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat,
perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan farmasi yang lain
yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
2) Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan pelayanan
komoditi yang lain di luar sediaan farmasi.
3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi yang lain di luar
sediaan farmasi.
Beberapa persyaratan yang harus diperhatikan dalam pendirian sebuah
apotek adalah:
1) Tempat/Lokasi
8

Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan
komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Persyaratan jarak minimum antar
apotek tidak dipermasalahkan lagi, dengan mempertimbangkan segi
pemerataan dan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk, jumlah praktek
dokter, sarana dan pelayanan kesehatan lain, sanitasi dan faktor lainnya.
2) Bangunan
Apotek harus mempunyai luas bangunan yang cukup dan memenuhi
persyaratan teknis, sehingga dapat menjamin kelancaran pelaksanaan tugas
dan fungsinya. Bangunan apotek sekurang-kurangnya terdiri dari ruang
tunggu, ruang peracikan, ruang administrasi dan kamar kerja apoteker serta
ruang tempat pencucian alat dan kamar kecil. Bangunan apotek harus
dilengkapi dengan sumber air yang memenuhi syarat kesehatan, penerangan
yang memadai, alat pemadam kebakaran, ventilasi dan sanitasi yang baik serta
papan nama apotek.
3) Perlengkapan Apotek
Perlengkapan apotek yang harus dimiliki antara lain: alat pembuatan,
pengolahan dan peracikan seperti timbangan, mortir, alu dan lain-lain.
Perlengkapan dan tempat penyimpanan alat perbekalan farmasi seperti lemari
obat, lemari es dan lemari khusus untuk narkotika dan psikotropika.
a. Wadah pengemas dan pembungkus.
b. Alat administrasi seperti blanko pesanan, salinan resep dan kwitansi.
c. Buku standar yang diwajibkan dan kumpulan perundang-undangan yang
berhubungan dengan apotek.
4) Tenaga Kerja/Personalia Apotek
Berdasarkan Permenkes RI No. 922/MENKES/PER/X/1993, personil
apotek terdiri dari:
a. Apoteker Pengelola Apotek (APA), yaitu apoteker yang telah memiliki
Surat Izin Apotek (SIA).
b. Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping
Apoteker Pengelola Apotek dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu
pada hari buka apotek.
9

c. Apoteker Pengganti adalah apoteker yang menggantikan Apoteker


Pengelola Apotek selama Apoteker Pengelola Apotek tersebut tidak
berada ditempat lebih dari 3 (tiga bulan) secara terus menerus, telah
memiliki Surat Izin Kerja dan tidak bertindak sebagai Apoteker Pengelola
Apotek di apotek lain.
d. Asisten apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten
apoteker.
5) Perbekalan Farmasi/Komoditi
Sesuai dengan Permenkes RI No. 922/MENKES/PER/X/1993, pasal 6
tentang persyaratan apotek, apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan
komoditi lainnya di luar sediaan farmasi farmasi.

2.1.5 Tata Cara Perizinan Apotek


Dalam mendirikan apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek
(SIA) yaitu surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada
apoteker atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk
mendirikan apotek di suatu tempat tertentu. Wewenang pemberian SIA
dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes).
Selanjutnya Kepala Dinkes wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin,
pembekuan izin dan pencabutan izin apotek kepada Badan Pengawasan Obat dan
Makanan.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/Menkes/PER/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Apotek adalah sebagai berikut:
1) Permohonan izin apotek diajukan kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota dengan menggunakan contoh formulir model APT-1.
2) Dengan menggunakan Formulir APT-2 Kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima
permohonan dapat meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk
melakukan pemeriksaan terhadap kesiapan apotek melakukan kegiatan.
10

3) Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau kepala Balai POM selambat-


lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat
dengan menggunakan contoh formulir APT-3.
4) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam (2) dan (3) tidak
dilaksanakan, apoteker pemohon dapat membuat surat pernyataan siap
melakukan kegiatan kepada kepala dinas kesehatan Kabupaten/Kota setempat
dengan tembusan kepada kepala dinas propinsi dengan menggunakan contoh
formulir model APT-4.
5) Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (3) atau pernyataan ayat (4) Kepala
dinas kesehatan kabupaten/kota setempat mengeluarkan SIA dengan
menggunakan contoh formulir model APT-5.
6) Dalam hal hasil pemeriksaan tim dinas kesehatan kabupaten/kota atau kepala
Balai POM dimaksud ayat (3) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja
mengeluarkan surat penundaan dengan menggunakan contoh formulir model
APT-6.
7) Terhadap surat penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6), apoteker
diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi
selambat-lambatnya dalam jangka waktu satu bulan sejak tanggal surat
penundaan.
8) Apabila apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka pengunaan sarana
dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian kerja sama antara apoteker dan
pemilik sarana.
9) Pemilik sarana yang dimaksud harus memenuhi persyaratan tidak pernah
terlibat dalam pelanggaran peraturan perudang-undangan di bidang obat
sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang bersangkutan.
10) Terhadap permohonan izin apotek dan APA atau lokasi yang tidak sesuai
dengan pemohon, maka kepala dinas kesehatan kabupaten/kota dalam jangka
waktu selambat-lambatnya dua belas hari kerja wajib mengeluarkan surat
11

penolakan disertai dengan alasannya dengan menggunakan formulir model


APT-7.

2.2 Peranan, Fungsi, dan Tugas Apoteker


Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tentang Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Dalam
mengelola apotek, seorang Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping
dan/atau tenaga teknis kefarmasian. Apoteker pendamping adalah Apoteker yang
bekerja di samping Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan/atau menggantikannya
pada jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apoteker pendamping bertanggung
jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan
bertugas menggantikan Apoteker Pengelola Apotek. Tenaga teknis kefarmasian
adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian,
yang terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analis farmasi, dan tenaga
menengah farmasi/asisten Apoteker.
Apoteker yang telah diregistrasi akan diberikan Surat Tanda Registrasi
Apoteker (STRA) sebagai bukti tertulis yang dikeluarkan oleh menteri yang
berlaku selama 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 tahun
apabila memenuhi syarat, sedangkan untuk tenaga teknis kefarmasian yang telah
diregistrasi diberikan Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian
(STRTTK). Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) adalah surat yang diberikan
kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada apotek
atau instalasi farmasi rumah sakit. Untuk melaksanakan pekerjaan kefarmasian
pada fasilitas produksi dan distribusi atau penyaluran Apoteker dan tenaga teknis
kefarmasian harus memiliki Surat Izin Kerja (SIK). Persyaratan untuk
memperoleh STRA:
1) Memiliki ijazah Apoteker;
2) Memiliki sertifikat kompetensi profesi;
3) Memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
12

4) Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang
memiliki surat izin praktek;
5) Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Beberapa dasar hukum peraturan perundang-undangan mengenai adanya
peran tenaga kefarmasian antara lain :
1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian.
2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan.
3) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
4) SK Menkes No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan di
Apotek.
5) SK Menkes No.1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan Permenkes
No.922/Menkes/Per/X/1993 tentang Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut, peran Apoteker di
apotek khususnya yang berkaitan langsung dengan pasien adalah (Umar, 2007) :
1) Sebagai penanggung jawab teknis pelayanan kefarmasian di apotek sesuai
dengan keilmuannya tentang pekerjaan kefarmasian yang meliputi
pengendalian mutu Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat,
bahan obat, dan obat tradisional.
2) Sebagai manajer di apotek yang harus dapat mengelola apotek dengan baik,
yaitu keahlian menjalankan prinsip-prinsip manajemen.

2.2.1 Apoteker sebagai Tenaga Profesional


Pelayanan kefarmasian saat ini telah bergeser orientasinya dari obat (drug
oriented) kepada pasien yang berasaskan kepada asuhan kefarmasian
(pharmaceutical care). Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut,
13

Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku


agar dapat melakukan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut
antara lain dengan melaksanakan pelayanan resep, pelayanan obat bebas, obat
bebas terbatas, obat wajib apotek, dan perbekalan kesehatan lainnya, juga
pelayanan informasi obat dan monitoring penggunaan obat agar tujuan
pengobatan sesuai harapan dan terdokumentasi dengan baik. Apoteker harus
memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error) dalam proses pelayanan kefarmasian. Oleh karena itu,
Apoteker harus berupaya mencegah dan meminimalkan masalah terkait obat
(drug related problem) dengan membuat keputusan profesional untuk tercapainya
pengobatan yang rasional.
Dalam mewujudkan pelayanan yang prima dalam apotek, perlu ditetapkan
standar pelayanan farmasi di apotek. Adapun standar pelayanan kefarmasian di
apotek telah diatur di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek. Tujuan dari standar pelayanan ini adalah:
a. Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak profesional.
b. Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar.
c. Pedoman dalam pengawasan praktek Apoteker.
d. Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009, pasal 24, dalam
melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian,
Apoteker dapat:
a. Mengangkat seorang Apoteker pendamping yang memiliki Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA);
b. Mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen
aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien;
c. Menyerahkan obat keras, narkotika, dan psikotropika kepada masyarakat atas
resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan standar pelayanan tersebut, dijelaskan bahwa pelayanan
kefarmasian meliputi:
14

(1) Pelayanan Resep


a. Skrining Resep
Apoteker melakukan skrining resep yang meliputi:
1) Kelengkapan administratif :
- Nama, SIP, dan alamat dokter
- Tanggal penulisan resep
- Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
- Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien
- Cara pemakaian yang jelas
- Informasi lainnya
2) Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian obat.
3) Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, dan jumlah obat). Jika ada keraguan
terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep
dengan memberikan pertimbangan dan alternatif yang diperlukan.
b. Penyiapan Obat
1) Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,
mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan
peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan
memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket
yang benar.
2) Etiket
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
3) Kemasan obat yang diserahkan
Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok
sehingga terjaga kualitasnya.
4) Penyerahan obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat
15

dilakukan oleh Apoteker disertai pemberian informasi obat dan


konseling kepada pasien.
5) Informasi obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas, mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi
obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat,
cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta
makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.
6) Konseling
Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi,
pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar
dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk
penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC,
asma, dan penyakit kronis lainnya, Apoteker harus memberikan
konseling secara berkelanjutan.
7) Monitoring Penggunaan Obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan
pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.
(2) Promosi dan Edukasi
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus memberikan
edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri (swamedikasi) untuk
penyakit ringan dengan memilihkan obat yang sesuai dan Apoteker harus
berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu
diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster,
penyuluhan, dan lain lainnya (Departemen Kesehatan RI, 2004).
(3) Pelayanan Residensial (Home Care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia
dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini
16

Apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record)


(Departemen Kesehatan RI, 2004).
2.2.2 Apoteker sebagai Manajer di Apotek
Dalam melakukan pelayanan kefarmasian di apotek, Apoteker sebagai
pemimpin atau manajer harus mampu bersikap profesional.Adapun sebagai
seorang manajer apoteker diharapkan dapat melakukan hal-hal berikut secara
seimbang, yaitu:
1) Perencanaan (planning)
Merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pemilihan alternatif-alternatif,
kebijaksanaan-kebijaksanaan, prosedur-prosedur, dan program-program
sebagai bentuk usaha untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai.
2) Pengorganisasian (organizing)
Merupakan suatu tindakan atau kegiatan menggabungkan seluruh potensi yang
ada dari seluruh bagian dalam suatu kelompok orang atau badan atau organisasi
untuk bekerja secara bersama-sama guna mencapai tujuan yang telah
ditentukan bersama, baik untuk tujuan pribadi atau tujuan kelompok dan
organisasi
3) Pelaksanaan atau penerapan (actuating)
Merupakan implementasi dari perencanaan dan pengorganisasian, dimana
seluruh komponen yang berada dalam satu sistem dan satu organisasi tersebut
bekerja secara bersama-sama sesuai dengan bidang masing-masing untuk dapat
mewujudkan tujuan.
4) Pengawasan (controlling)
Merupakan pengendalian semua kegiatan dari proses perencanaan,
pengorganisasian dan pelaksanaan, apakah semua kegiatan tersebut
memberikan hasil yang efektif dan efisien serta bernilai guna dan berhasil
guna.

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang


Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, peran Apoteker di apotek, dalam
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek, yaitu berkaitan pengelolaan
sumber daya, yang meliputi:
17

1) Pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM)


Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh
seorang Apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker
senantiasa harus memiliki kemampuan:
a. Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik
b. Mengambil keputusan yang tepat
c. Kemampuan berkomunikasi antar profesi
d. Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner
e. Kemampuan mengelola SDM secara efektif
f. Selalu belajar sepanjang karier
g. Membantu memberi pendidikan
h. Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan
2) Pengelolaan Sarana dan Prasarana
Apoteker di apotek berperan dalam mengelola dan menjamin bahwa:
a. Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh
masyarakat.
b. Pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis
kata ”Apotek”.
c. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat.
d. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari
aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya. Hal ini berguna untuk
menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko
kesalahan penyerahan.
e. Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh Apoteker untuk
memperoleh informasi dan konseling.
f. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari
hewan pengerat dan serangga/pest. Apotek memiliki suplai listrik yang
konstan, terutama untuk lemari pendingin.
g. Apotek memiliki :
1) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
18

2) Tempat untuk mendisplay informasi bagi pasien, termasuk


penempatan brosur/materi informasi.
3) Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi
dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan
medikasi pasien.
4) Ruang racikan.
5) Keranjang sampah yang tersedia untuk karyawan maupun pasien.
h. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan
obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari
debu, kelembaban, dan cahaya yang berlebihan, serta diletakkan pada
kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.
3) Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya.
Apoteker berperan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya untuk menjamin agar pengelolaan persediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang
berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan.
a. Perencanaan
Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu
diperhatikan:
1) Pola penyakit
2) Kemampuan masyarakat
3) Budaya masyarakat
b. Pengadaan
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian, maka pengadaan
sediaan farmasi harus melalui jalur resmi (legal).
c. Penyimpanan
1) Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.
Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada
wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus
ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang-
kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluarsa.
19

2) Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak,
dan menjamin kestabilan bahan.
d. Administrasi
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan
kegiatan administrasi yang meliputi:
1) Administrasi Umum
Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika, dan
dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2) Administrasi Pelayanan
Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan
pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

2.2.3 Apoteker Sebagai Retailer di Apotek


Apotek merupakan tempat pengabdian profesi apoteker, namun di sisi lain,
apotek adalah suatu badan usaha retail yang tidak jauh berbeda dengan badan
usaha retail lainnya. Apotek sebagai badan usaha retail bertujuan untuk
penyaluran sediaan farmasi berupa obat dan alat kesehatan, serta perbekalan
kesehatan untuk mendapatkan profit. Profit memang bukan tujuan utama dari
tugas keprofesian seorang apoteker, tetapi tanpa profit, apotek sebagai badan
usaha retail tidak dapat bertahan dan berkembang. Oleh karena itu, segala usaha
untuk meningkatkan profit perlu dilaksanakan.
Mencapai kepuasan pelangan merupakan salah satu cara untuk
meningkatkan profit karena pelanggan merupakan sumber profit. Oleh karena itu,
sebagai seorang retailer, apoteker harus mengidentifikasi apa yang menjadi
kebutuhan pelanggan, menstimulasi kebutuhan pelanggan agar menjadi
permintaan, dan memenuhi permintaan tersebut sesuai atau bahkan melebihi
harapan pelanggan.
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang
perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 992/Menkes/Per/X/1993,
tentangKetentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek Menteri Kesehatan, pasal
6, dinyatakan bahwa:
20

1) Untuk mendapatkan izin Apotek, Apoteker atau Apoteker yang bekerjasama


dengan pemilik sarana yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan
tempat, perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang
merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
2) Sarana Apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan
pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi.
3) Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan
farmasi.
Berdasarkan peraturan tersebut, terutama ayat 2 dan 3, membuka peluang
bagi apotek untuk melakukan kegiatan usaha di luar sediaan farmasi. Oleh karena
begitu besarnya peluang, dan kelonggaran regulasi yang ada, apotek memiliki
keleluasan dalam menjalankan perannya sebagai salah satu badan usaha retail.
Apoteker pengelola apotek menjalankan perannya sebagai retailer dituntut
untuk dapat meningkatkan profit apotek melalui kepuasan pelanggan.
Kompetensi minimal mengenai marketing dan strateginya akan menjadi nilai
tambah bagi apoteker pengelola apotek dalam memimpin apotek. Pengaturan
sarana dan prasarana yang menunjang juga sangat menentukan keputusan
pelanggan untuk datang ke apotek dan membeli barang, seperti display yang
menarik, lay out apotek, merchandising, pelayanan yang hangat dan ramah, dan
sebagainya.
2.2.4 Tugas & Fungsi Apoteker
Sesuai dengan yang telah digariskan oleh WHO tentang "Eight Stars of
Pharmacist", tugas dan fungsi apoteker diantaranya meliputi (South African
Pharmacy Council, 2007):
1) Kemampuan memberikan pelayanan yang baik (Care giver)
Apoteker sebagai pengelola apotek harus dapat memberikan pelayanan
kefarmasian yang profesional. Dalam memberikan pelayanan, Apoteker harus
dapat mengintegrasikan pelayanannya dalam sistem pelayanan kesehatan
secara keseluruhan sehingga dihasilkan sistem pelayanan kesehatan yang
berkesinambungan.
21

2) Kemampuan untuk mengambil keputusan profesional (Decision maker)


Apoteker harus mampu mengambil keputusan yang tepat, berdasarkan pada
efikasi, efektifitas, dan efisiensi terhadap penggunaan obat dan perbekalan
kesehatan.
3) Kemampuan berkomunikasi dengan baik (Communicator)
Apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik dengan
pasien maupun dengan profesi kesehatan lainnya secara verbal atau non
verbal, dan menggunakan bahasa yang sesuai dengan pendengarnya.
4) Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner (Leader)
Apoteker harus mampu menjadi pemimpin, yaitu mampu mengambil
keputusan yang tepat dan efektif, mampu mengkomunikasikannya, dan
mengelola hasil keputusan tersebut.
5) Kemampuan dalam mengelola sumber daya (Manager)
Apoteker harus mempunyai kemampuan mengelola sumber daya (manusia,
fisik, dan anggaran) secara efektif dan informatif, juga harus dapat dipimpin
dan memimpin orang lain dalam tim kesehatan.
6) Selalu belajar sepanjang karier (Life-long learner)
Apoteker harus selalu belajar, baik pada jalur formal maupun informal
sepanjang kariernya, sehingga ilmu dan keterampilan yang dimiliki selalu
baru (up to date).
7) Membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
pengetahuan (Teacher)
Apoteker mempunyai tanggung jawab untuk mendidik dan melatih sumber
daya yang ada, serta memberi kesempatan untuk memperoleh pengalaman
untuk meningkatkan keterampilan.
8) Kemampuan untuk meneliti (Researcher)
Apoteker harus dapat menggunakan sesuatu yang berdasarkan bukti (ilmiah,
praktek farmasi, dan sistem kesehatan) yang efektif dalam memberikan
nasehat pada pengguna obat secara rasional dalam tim pelayanan kesehatan.
22

2.3 Kompetensi Apoteker


Kompetensi adalah kemampuan manusia yang merupakan sejumlah
karakteristik, baik berupa bakat, motif, sikap, keterampilan, pengetahuan, perilaku
yang membuat seorang pegawai berhasil dalam pekerjaannya. Dengan kata lain,
yang dapat membedakan pegawai yang memiliki kinerja rata-rata dengan pegawai
yang memiliki kinerja unggul (kinerja lebih baik) dengan secara efektif membantu
dan membedakan kinerja dalam melakukan pekerjaan sehari-hari.Kompetensi
farmasis terdiri dari asuhan kefarmasian, akuntabilitas praktek farmasi,
manajamen praktis farmasi, komunikasi farmasi, pendidikan dan pelatihan
farmasi,penelitian dan pengembangan farmasi.
2.3.1 Asuhan Kefarmasian
1) Memberikan pelayanan obat kepada pasien atas permintaan dari dokter,
dokter gigi atau dokter hewan.
2) Memberikan pelayanan kepada pasien atas permintaan pasien sendiri
dalam rangka ingin melakukan pengobatan mandiri.
3) Memberikan pelayanan informasi obat.
4) Memberikan pelayanan konsultasi obat.
5) Melakukan monitoring efek samping obat.
6) Melakukan pelayanan evaluasi penggunaan obat.
2.3.2 Akuntabilitas Praktek Farmasi
1) Menjamin pelayanan kefarmasian berbasis bukti ilmiah dan etika profesi
2) Merancang, melaksanakan, mengevaluasi dan mengembangkan standar
kerja.
3) Bertanggung jawab terhadap setiap keputusan profesional yang diambil
4) Melakukan kerjasama dengan pihak lain yang terkait atau bertindak
mandiri dalam mencegah kerusakan lingkungan akibat obat.
5) Melakukan perbaikan mutu pelayanan secara terus-menerus dan
berkelanjutan untuk memenuhi kepuasan stake holder.
2.3.3 Manajemen Praktis Farmasi
1) Merancang, membuat, mengetahui, mengetahui, memahami dan
melaksanakan regulasi di bidang farmasi.
23

2) Merancang, membuat, melakukan pengelolaan organisasi yang efektif


dan efisien.
3) Merancang, membuat, melakukan pengelolaan obat yang efektif dan
efisien.
4) Merancang organisasi kerja yang meliputi: arah dan kerangka organisasi,
sumber daya manusia, fasilitas, keuangan, termasuk sistem informasi
manajemen.
5) Merancang, melaksanakan, memantau dan menyesuaikan struktur harga
berdasarkan kemampuan bayar dan kembalian modal serta imbalan jasa
praktek kefarmasian.
6) Memonitor dan evaluasi penyelenggaraan seluruh kegiatan operasional
mencakup aspek manajemen maupun asuhan kefarmasian yang
mengarah kepada kepuasan konsumen.
2.3.4 Komunikasi Farmasi
1) Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan pasien dan
keluarganya dalam suasana kemitraan untuk menyelesaikan masalah
terapi obat pasien
2) Memantapkan hubungan profesional antara farmasis dengan tenaga
kesehatan lainnya dalam rangka mencapai keluaran terapi yang optimal
khususnya dalam aspek obat.
3) Memantapkan hubungan dengan semua tingkat/lapisan manajemen
dengan bahasa manajemen berdasarkan atas semamgat asuhan
kefarmasian.
4) Memantapkan hubungan dengan sesama farmasis berdasarkan semangat
kerjasama, saling menghormati dan mengakui kemampuan masing-
masing demi tegaknya profesi.
2.3.5 Pendidikan dan Pelatihan Farmasi
1) Memotivasi, mendidik dan melatih farmasis lain dan mahasiswa farmasi
dalam penerapan asuhan kefarmasian.
2) Merencanakan dan melakukan aktivitas pengembangan staf, bagi ahli
madya farmasi, asisten apoteker, pekarya dan juru resep dalam rangka
24

peningkatan efisiensi dan kualitas pelayanan kefarmasian yang


diberikan.
3) Berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan berkelanjutan untuk
meningkatkan kualitas diri dan kualitas pelayanan kefarmasian.
4) Mengembangkan dan melaksanakan program pendidikan dalam bidang
kesehatan umum, penyakit dan manajemen terapi, kepada pasien, profesi
kesehatan dan masyarakat.
2.3.6 Penelitian dan Pengembangan Farmasi
1) Melakukan penelitian dan pengembangan farmasi, mempresentasikan
dan mempublikasikan hasil penelitian kepada masyarakat dan profesi
kesehatan lainnya
2) Melakukan hasil penelitian sebagai dasar dalam pengambilan keputusan
dan peningkatan mutu pelayanan kefarmasian.
7

7
8

Anda mungkin juga menyukai