Anda di halaman 1dari 50

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apotek

2.1.1 Definisi Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9

Tahun 2017, apotek merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat

dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker.4

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51

tahun 2009, Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,

penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat,

pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta

pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Sedangkan

Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan

kosmetika. Sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan, maka dalam

pelayanannya apotek harus mengutamakan kepentingan masyarakat

yaitu menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi

yang bermutu baik. Dalam pengelolaannya, apotek harus dikelola oleh

apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker.3

4
5

2.2 Landasan Hukum

Beberapa landasan hukum dalam peraturan perundang-undangan

mengenai apotek adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan.

2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 2 Tahun 2017

tentang perubahan penggolongan narkotika.

3. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 3 Tahun 2017

tentang perubahan penggolongan psikotropika.

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 44 Tahun 2010 Tentang

Prekursor.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2015 tentang

peredaran, penyimpanan, pemusnahan, dan pelaporan narkotika,

psikotropika, dan prekursor farmasi.

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 Tahun 2009 tentang

Pekerjaan Kefarmasian.

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2017 tentang

Apotek.

8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 73 Tahun 2016

tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 31 Tahun 2016

tentang perubahan atas peraturan menteri kesehatan


6

No.889/Menkes/Per/V/2011 tentang registrasi, izin praktik, dan izin kerja

tenaga kefarmasian.

10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

314/Menkes/Sk/V/2006 tentang perubahan atas keputusan menteri

kesehatan nomor 068/Menkes/SK/II/2006 tentang Pedoman pelaksanaan

Pencantuman Nama Generik Pada Label Obat.

11. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 98 Tahun 2015

tentang pemberian informasi Harga Eceran Tertinggi obat.

12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.1332/MENKES/

SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 Ketentuan dan Tata

Cara Pemberian Izin Apotek.

13. Peraturan Daerah Kota Depok No.5 Tahun 2011 Tentang Perizinan dan

Sertifikasi Bidang Kesehatan.

14. Peraturan Wali Kota Depok No.65 Tahun 2012 Tentang Tata Cara

Perizinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.

2.3 Tugas dan Fungsi Apotek

Tugas dan fungsi apotek diantaranya sebagai berikut:

1. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan

sumpah jabatan Apoteker

2. Sarana yang digunakan untuk melakukan Pekerjaan Kefarmasian


7

3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan

farmasi antara lain obat, bahan baku obat, obat tradisional, dan

kosmetika

4. Sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan farmasi,

pengamanan, pengadaan,penyimpanan dan pendistribusian atau

penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,

pelayanan informasiobat, serta pengembangan obat, bahan obat dan

obat tradisional.

Tugas dan fungsi apotek sangat jelas mengacu pada kewajiban apotek

kepada setiap orang sehingga tercipta kenyamanan dalam pelayanan

obat. Melalui adanya peraturan ini diharapkan fungsi apotek dapat menjadi

lebih maksimal dalam meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.3

2.4 Persyaratan Pendirian Apotek

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 2017 tentang

Apotek, seorang apoteker dapat mendirikan Apotek dengan modal sendiri

dan/atau modal dari pemilik modal baik perorangan maupun perusahaan. Apabila

seorang apoteker yang mendirikan Apotek bekerjasama dengan pemilik modal

maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker

yang bersangkutan. Adapun pendirian apotek harus memenuhi persyaratan,

meliputi :
8

a. Lokasi

Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat mengatur persebaran Apotek di

wilayahnya dengan memperhatikan akses masyarakat dalam mendapatkan

pelayanan kefarmasian.

b. Bangunan

Bangunan Apotek harus memiliki fungsi keamanan, kenyamanan, dan

kemudahan dalam pemberian pelayanan kepada pasien serta perlindungan

dan keselamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak - anak,

dan orang lanjut usia, bersifat permanen dapat merupakan bagian dan/atau

terpisah dari pusat perbelanjaan, apartemen, rumah toko, rumah kantor,

rumah susun, dan bangunan yang sejenis.

c. Sarana, prasarana, dan peralatan

Bangunan apotek harus memiliki sarana ruang yang berfungsi :

 Penerimaan resep

 Pelayanan resep dan peracikan (produksi sediaan secara terbatas)

 Penyerahan sediaan farmasi dan alat kesehatan

 Konseling

 Penyimpanan sediaan farmasi dan alat kesehatan

 Arsip.

Untuk prasarana Apotek paling sedikit terdiri atas :

 instalasi air bersih

 instalasi listrik
9

 sistem tata udara

 sistem proteksi kebakaran.

d. Ketenagaan

Dalam melakukan pelayanan apoteker pemegang SIA dapat dibantu oleh

Apoteker lain, Tenaga Teknis Kefarmasian dan/atau tenaga administrasi.4

Dalam mendirikan Apotek, apoteker harus memiliki Surat Izin Apotek (SIA)

yaitu surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia kepada apoteker

atau apoteker yang bekerja sama dengan pemilik modal apotek untuk mendirikan

apotek di suatu tempat tertentu. Wewenang pemberian SIA dilimpahkan oleh

Menteri Kesehatan kepada kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Dinkes

Kabupaten/Kota). Selanjutnya Kepala Dinkes Kabupaten/Kota wajib melaporkan

pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin dan pencabutan izin

apotek sekali setahun kepada Menteri Kesehatan dan tembusan kepada Kepala

Dinas Kesehatan Provinsi. Selanjutnya Kepala Dinas Kesehatan wajib melaporkan

kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan.5

Untuk memperoleh SIA, Apoteker harus mengajukan permohonan tertulis

kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dengan menggunakan Formulir 1 dan

harus ditandatangani oleh Apoteker disertai dengan kelengkapan dokumen

administratif meliputi:

a. Fotokopi STRA dengan menunjukan STRA asli

b. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)

c. Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Apoteker


10

d. Fotokopi peta lokasi dan denah bangunan

e. Daftar prasarana, sarana, dan peralatan.

Dalam waktu 6 (enam) hari kerja sejak menerima permohonan dan

dinyatakan telah memenuhi kelengkapan dokumen administratif, Pemerintah

Daerah Kabupaten/Kota menugaskan tim pemeriksa untuk melakukan

pemeriksaan setempat terhadap kesiapan Apotekda n hasil pemeriksaan

dilaporkan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang dilengkapi dengan

Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja apabila

memenuhi persyaratan maka Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menerbitkan

SIA dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan

Provinsi, Kepala Balai POM, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan

Organisasi Profesi dan apabila dinyatakan belum memenuhi persyaratan, maka

akan dikeluarkan surat penundaan, kemudian persyaratan dapat dilengkapi

kembali dalam waktu 1 (satu) bulan sejak surat penundaan diterima. Jika setelah

satu bulan tersebut persyaratan belum terpenuhi juga maka akan dikeluarkan surat

penolakan. SIA diterbitkan bersamaan dengan penerbitan SIPA untuk apoteker

pemegang SIA dan masa berlaku SIA mengikuti masa berlaku SIPA.5

2.5 Perubahan Izin Apotek

Perubahan Surat Izin Apotek (SIA) diperlukan apabila 6 :

a. Terjadi penggantian nama apotek

b. Terjadi perubahan nama jalan dan nomor bangunan pada alamat

apotek tanpa pemindahan lokasi apotek

c. Surat Izin Apotek (SIA) rusak atau hilang


11

d. Terjadi penggantian Apoteker Pengelola Apotek (APA)

e. Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) APA dicabut dalam hal APA

bukan sebagai Pemilik Modal

f. Terjadi pemindahan lokasi apotek

g. Apoteker Pengelolah Apotik meninggal dunia;

h. Masa berlaku SIA telah habis.

2.6 Perpajakan Apotek

Pajak adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang

dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontra prestasi).

Apotek merupakan suatu jenis bisnis eceran yang melakukan transaksi jual beli

perbekalan farmasi (obat dan alat kesehatan) secara langsung kepada konsumen

akhir. Mengingat dalam transaksi jual beli tersebut bertujuan memperoleh laba,

menggaji karyawan, menggunakan gedung, sarana transportasi, memasang papan

nama, maka di apotek terdapat beberapa jenis pajak yang harus disetor ke kas

Negara. Adapun jenis pajak yang harus disetor ke kas Negara yaitu :

1. Pajak yang dipungut oleh pusat seperti :

a. PPn (Pajak Pertambahan nilai)

b. PPh (Pajak Penghasilan untuk orang dan badan)

c. PBB (Pajak Bumi dan Bangunan)

2. Pajak yang dipungut oleh daerah seperti :

a. Pajak kendaraan roda 4/2

b. Pajak reklame
12

Dasar hukum penetapan PPn dan PPh yaitu UU RI No.18 Tahun 2000

Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak Penjualan atas Barang

Mewah, dan UU RI No.36 Tahun 2008 Tetang Pajak penghasilan.

2.7 Pencabutan Izin Apotek

Apotek harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut Surat Izin

Apotek apabila 5 :

a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Apoteker

Pengelola Apotek;

b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam menyediakan,

menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik

dan terjamin keabsahannya serta tidak memenuhi kewajiban dalam

memusnahkan perbekalan farmasi yang tidak dapat digunakan lagi

atau dilarang dan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep

dengan obat paten.

c. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih

dari 2 tahun secara terus-menerus.

d. Terjadi pelanggaran terhadap undang-undang tentang narkotika,

kesehatan, psikotropika, serta ketentuan peraturan perundang-

undangan lain yang berlaku.

e. Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) untuk Apoteker Pengelola Apotek

tersebut dicabut.
13

f. Pemilik modal apotek terbukti dalam pelanggarana perundang –

undangan dibidang obat.

g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai apotek.

Pelaksanaan pencabutan Surat Izin Apotek dilakukan setelah dikeluarkan

Peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak 3 (tiga)

kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan.

Kemudian pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam)

bulan sejak dikeluarkan penetapan pembekuan kegiatan apotek dan pembekuan

Izin Apotek tersebut dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan

memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan.

Pencairan Izin Apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim

Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Keputusan Pencabutan

Surat Izin Apotek oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota disampaikan

langsung kepada yang bersangkutan dan tembusan disampaikan kepada Menteri

dan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, serta Kepala Balai POM setempat. Apabila

apotek melakukan pelanggaran berat yang membahayakan jiwa maka SIA dapat

dicabut tanpa peringatan terlebih dahulu dan jika Surat Izin Apotek dicabut APA

atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasinya.

Pengamanan dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika,

psikotropika, obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep

yang tersedia di apotek;


14

b. Narkotika, psikotropika dan resep harus dimasukkan dalam tempat

yang tertutup dan terkunci.

Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, tentang penghentian kegiatan disertai

laporan inventarisasi yang dimaksud di atas.

2.8 Sumber Daya Kefarmasian

Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib

memiliki surat tanda registrasi. Pelayanan kefarmasian di Apotek diselenggarakan

oleh Apoteker, dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau Tenaga Teknis

Kefarmasian yang memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), Surat Izin

Praktik Apoteker (SIPA) atau Surat Izin Kerja (SIK). Dalam melakukan

Pelayanan Kefarmasian apoteker harus memenuhi kriteria 2 :

1. Persyaratan administrasi;

a. Memiliki ijazah dari institusi pendidikan farmasi yang terakreditasi.

b. Memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA).

c. Memiliki sertifikat kompetensi yang masih berlaku.

d. Memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA).

2. Menggunakan atribut praktik antara lain baju praktik dan tanda pengenal

3. Wajib mengikuti pendidikan berkelanjutan/Continuing Professional

Development (CPD) dan mampu memberikan pelatihan yang

berkesinambungan;
15

4. Apoteker harus mampu mengidentifikasi kebutuhan akan pengembangan

diri, baik melalui pelatihan, seminar, workshop, pendidikan berkelanjutan

atau mandiri.

5. Harus memahami dan melaksanakan serta patuh terhadap peraturan

perundang undangan, sumpah Apoteker, standar profesi (standar

pendidikan, standar pelayanan, standar kompetensi dan kode etik) yang

berlaku.

Dalam melakukan pelayanan kefarmasian seorang apoteker harus

menjalankan “nine star pharmacist” sebagai berikut :

a. Care giver

Apoteker sebagai pemberi pelayanan harus berinteraksi dengan pasien.

Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan

kesehatan secara berkesinambungan.

b. Decision maker

Apoteker harus mempunyai kemampuan dalam mengambil keputusan

dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ada secara efektif dan

efisien.

c. Comunicator

Apoteker harus mampu berkomunikasi dengan pasien maupun profesi

kesehatan lainnya sehubungan dengan terapi pasien. Oleh karena itu harus

mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik.

d. Leader
16

Apoteker diharapkan memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin.

Kepemimpinan yang diharapkan meliputi keberanian mengambil keputusan

yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan

mengelola hasil keputusan.

e. Manager

Apoteker harus mampu mengelola sumber daya manusia, fisik, anggaran

dan informasi secara efektif. Apoteker harus mengikuti kemajuan teknologi

informasi dan bersedia berbagi informasi tentang obat dan hal-hal lain yang

berhubungan dengan obat.

f. Life long learner

Apoteker harus terus meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan

profesi melalui pendidikan berkelanjutan (Continuing Professional

Development/CPD)

g. Researcher

Apoteker harus selalu menerapkan prinsip/kaidah ilmiah dalam

mengumpulkan informasi Sediaan Farmasi dan Pelayanan Kefarmasian dan

memanfaatkannya dalam pengembangan dan pelaksanaan Pelayanan

Kefarmasian.

h. Teacher

Apoteker juga dapat berperan sebagai guru atau pengajar yang dapat

mengajari atau memberikan ilmu pengetahuan yang diperolehnya kepada

sesama rekan apoteker, tenaga teknis kefarmasian, dan juga kepada pasien

dalam pelaksanaan pelayanan kefarmasian.


17

i. Entrepreneur

Seorang apoteker diharapkan dapat terjun dalam wirausaha untuk

mengembangkan kemandirian serta membantu mensejahterakan masyarakat.

2.9 Kode Etik Apoteker

Dalam menjalankan tugas kewajibannya serta dalam mengamalkan

keahliannya seorang apoteker harus senantiasa mengharapkan bimbingan dan

keridhaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker di dalam pengabdiannya serta dalam

mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada sumpah/janji Apoteker

dan di dalam pengabdian profesinya berpedoman pada satu ikatan moral dalam

kode etik apoteker, yaitu 7 :

1. Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan

mengamalkan Sumpah / Janji Apoteker;

2. Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh

menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia;

3. Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai

kompetensi Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan

berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan

kewajibannya;

4. Seorang Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan di

bidang kesehatan pada umumnya dan di bidang farmasi pada

khususnya;
18

5. Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan

diri dari usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan

dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian;

6. Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik

bagi orang lain;

7. Seorang Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan

profesinya;

8. Seorang Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan

perundang-undangan di bidang kesehatan pada umumnya dan di

bidang farmasi pada khususnya;

9. Seorang Apoteker dalam melakukan praktik kefarmasian harus

mengutamakan kepentingan masyarakat. menghormati hak azasi

pasien dan melindungi makhluk hidup insani;

10. Seorang Apoteker harus memperlakukan teman Sejawatnya

sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan;

11. Sesama Apoteker harus selalu saling mengingatkan dan saling

menasehati untuk mematuhi ketentuan-ketentuan kode Etik;

12. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap

kesempatan untuk meningkatkan kerjasama yang baik sesama

Apoteker di dalam memelihara keluhuran martabat jabatan

kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai di dalam

menunaikan tugasnya;
19

13. Seorang Apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk

membangun dan meningkatkan hubungan profesi, saling mempercayai,

menghargai dan menghormati sejawat petugas kesehatan lain;

14. Seorang Apoteker hendaknya menjauhkan diri dari tindakan atau

perbuatan yang dapat mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya

kepercayaan masyarakat kepada sejawat petugas kesehatan lain.

2.10 Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu

kegiatan yang besifat manajerial dan Pelayanan farmasi klinik.2

2.10.1 Manajerial

Kegiatan yang terkait manajerial antara lain pengelolaan sediaan farmasi,

alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang meliputi :

a. Perencanaan

Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat

Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu diperhatikan pola

penyakit, pola konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat.

b. Pengadaan

Untuk menjamin kualitas Pelayanan Kefarmasian maka pengadaan

Sediaan Farmasi harus melalui jalur resmi sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan.

c. Penerimaan
20

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis

spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam

surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

d. Penyimpanan

 Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik.

Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada

wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus

ditulis informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah

sekurangkurangnya memuat nama obat, No. batch dan tanggal

kadaluwarsa;

 Semua obat/bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai

sehingga terjamin keamanan dan stabilitasnya;

 Sistem penyimpanan dilakukan dengan memperhatikan bentuk

sediaan dan kelas terapi obat serta disusun secara alfabetis;

 Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire First Out)

dan FIFO (First In First Out).

e. Pemusnahan

 Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan

jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak

yang mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh

Apoteker dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh

Apoteker dan disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang


21

memiliki surat izin praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan

dibuktikan dengan berita acara pemusnahan;

 Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu 5 (lima) tahun

dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh Apoteker

disaksikan oleh sekurang-kurangnya petugas lain di apotek dengan

cara dibakar atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan

berita acara pemusnahan resep menggunakan Formulir 2 dan

selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.

f. Pengendalian

Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan jumlah

persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan sistem

pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran.Hal ini bertujuan

untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan, kekosongan,

kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta pengembalian pesanan.

Pengendalian persediaan dilakukan menggunakan kartu stok baik dengan

cara manual atau elektronik. Kartu stok sekurang-kurangnya memuat

nama obat, tanggal kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran

dan sisa persediaan.

g. Pencatatan dan Pelaporan

Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan sediaan farmasi,

Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi pengadaan (surat

pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stock), penyerahan (nota atau struk

penjualan) dan pencatatan lainnya disesuaikan dengan kebutuhan.


22

Pelaporan terdiri dari pelaporan internal dan eksternal.Pelaporan internal

merupakan pelaporan yang digunakan untuk kebutuhan manajemen

apotek, meliputi keuangan, barang dan laporan lainnya. Pelaporan

eksternal merupakan pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan meliputi

pelaporan narkotika, psikotropika menggunakan dan pelaporan lainnya.

2.10.2 Pelayanan Farmasi Klinik

1. Pengkajian Resep

Kegiatan pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian

farmasetik dan pertimbangan klinis.

a. Kajian administratif meliputi :

 Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan;

 Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA),

alamat, nomor telepon dan paraf;

 Tanggal penulisan resep.

b. Kajian kesesuaian farmasetik meliputi :

 Bentuk dan kekuatan sediaan;

 Stabilitas;

 Kompatibilitas (ketercampuran obat).

c. Pertimbangan klinis meliputi :

 Ketepatan indikasi dan dosis obat;

 Aturan, cara dan lama penggunaan obat;

 Duplikasi dan/atau polifarmasi;


23

 Reaksi obat yang tidak diinginkan (alergi, efek

sampingobat, manifestasi klinis lain);

 Kontra indikasi;

 Interaksi.

Jika ditemukan adanya ketidaksesuaian dari hasil

pengkajian maka Apoteker harus menghubungi dokter penulis

resep.

2. Dispensing

Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian

informasi obat. Setelah melakukan pengkajian resep dilakukan hal

sebagai berikut:

a. Menyiapkan obat sesuai dengan permintaan resep :

 Menghitung kebutuhan jumlah obat sesuai dengan resep;

 Mengambil obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan

dengan memperhatikan nama obat, tanggal kadaluwarsa

dan keadaan fisik obat.

b. Melakukan peracikan obat bila diperlukan;

c. Memberikan etiket sekurang-kurangnya meliputi:

 Warna putih untuk obat dalam/oral;

 Warna biru untuk obat luar dan suntik;

 Menempelkan label “kocok dahulu” pada sediaan bentuk

suspensi atau emulsi;


24

 Memasukkan obat ke dalam wadah yang tepat dan terpisah

untuk obat yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan

menghindari penggunaan yang salah.

Setelah penyiapan obat, dilakukan hal sebagai berikut:

 Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan

pemeriksaan kembali mengenai penulisan nama pasien

pada etiket, cara penggunaan serta jenis dan jumlah obat

(kesesuaian antara penulisan etiket dengan Resep);

 Memanggil nama dan nomor tunggu pasien;

 Memeriksa ulang identitas dan alamat pasien;

 Menyerahkan obat yang disertai pemberian informasi

obat;

 Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal

yang terkait dengan obat antara lain manfaat obat,

makanan dan minuman yang harus dihindari,

kemungkinan efek samping, cara penyimpanan obat dan

lain-lain;

 Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan

dengan cara yang baik, mengingat pasien dalam kondisi

tidak sehat mungkin emosinya tidak stabil;

 Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien

atau keluarganya;
25

 Membuat salinan resep sesuai dengan resep asli dan

diparaf oleh Apoteker (apabila diperlukan);

 Menyimpan resep pada tempatnya.

3. Pelayanan Informasi Obat ( PIO )

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan yang

dilakukan oleh Apoteker dalam pemberian informasi mengenai

obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan kritis dan dengan

bukti terbaik dalam segala aspek penggunaan obat kepada profesi

kesehatan lain, pasien atau masyarakat. Informasi mengenai obat

termasuk obat resep, obat bebas dan herbal. Informasi obat

meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus, rute dan metoda

pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif,

efikasi, keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek

samping, interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau

kimia dari obat dan lain-lain. Pelayanan Informasi Obat harus

didokumentasikan untuk membantu penelusuran kembali dalam

waktu yang relatif singkat.

4. Konseling

Konseling merupakan proses interaktif antara Apoteker dengan

pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman,

kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku

dalam penggunaan obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi

pasien. Untuk mengawali konseling, Apoteker menggunakan three


26

prime questions (ada dihalaman 26). Apabila tingkat kepatuhan

pasien dinilai rendah, perlu dilanjutkan dengan metode Health

Belief Model. Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien

atau keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan.

Kriteria pasien / keluarga pasien yang perlu diberi konseling:

a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati

dan/atau ginjal, ibu hamil dan menyusui);

b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya:

TB, DM, AIDS, epilepsi);

c. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi khusus

(penggunaan kortikosteroid dengan tappering down/off);

d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks terapi sempit

(digoksin, fenitoin, teofilin);

e. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima beberapa obat

untuk indikasi penyakit yang sama. Dalam kelompok ini juga

termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang

diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat;

f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah;

Tahap kegiatan konseling, meliputi :

a. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;

b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan obat melalui

Three Prime Questions, yaitu:

 Apa yang disampaikan dokter tentang obat anda?


27

 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian obat

anda?

 Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang

diharapkan setelah anda menerima terapi obat tersebut?

c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan

kepada pasien untuk mengeksplorasi masalah penggunaan obat;

d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan

masalah penggunaan obat;

e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan pemahaman

pasien. Apoteker mendokumentasikan konseling dengan

meminta tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien

memahami informasi yang diberikan dalam konseling.

5. Pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care)

Apoteker sebagai pemberi pelayanan diharapkan juga dapat

melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat kunjungan ke

rumah, khususnya untuk pasien lansia dan pasien dengan

pengobatan penyakit kronis lainnya. Jenis pelayanan kefarmasian

di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker, meliput :

a. Dilakukan penilaian/pencarian (Assesment) masalah yang

berhubungan dengan pengobatan;

b. Dilakukan identifikasi kepatuhan pasien;


28

c. Dilakukan pendampingan pengelolaan obat dan atau alat

kesehatan di rumah sakit, misalnya cara pemakaian obat asma

dan penyimpanan insulin;

d. Dilakukan konsultasi masalah obat atau kesehatan secara

umum;

e. Dilakukan monitoring pelaksanaan, efektifitas, dan keamanan

penggunaan obat berdasarkan catatan pengobatan pasien;

f. Dokumentasi pelaksanaan Pelayanan Kefarmasian di rumah;

6. Pemantauan Terapi Obat (PTO)

Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien

mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan

memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Kriteria

pasien:

a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui;

b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis;

c. Adanya multi diagnosis;

d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati;

e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit;

f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi

Obat yang merugikan.

7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap obat

yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi pada dosis


29

normal yang digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis,

diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi fisiologis. Kegiatan

MESO antara lain:

a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai resiko

tinggi mengalami efek samping obat;

b. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO);

c. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat

Nasional.

Faktor yang perlu diperhatikan dalam kegiatan MESO antara lain:

a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain;

b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat.

2.11 Pengendalian Persediaan Barang di Apotek

Pengelolaan persediaan (Managing Drug Supply) dikelompokkan menjadi 3

(tiga) fungsi dasar yaitu seleksi penyediaan, distribusi dan pemakain. Hal ini

sebenarnya sederhana tetapi tanpa sistem manajemen persediaan yang baik, sistem

distribusi atau penyaluran obat tidak akan dapat berjalan dengan baik. Pengaturan

persediaan obat dilakukan melalui pemesanan, penerimaan dan penyimpanan.

Pengelolaan dan pengendalian persedian obat di apotek berfungsi untuk 8 :

a. Memastikan pasien memperoleh obat yang dibutuhkan;

b. Menyiapkan bahan baku/obat yang berhubungan dengan penyakit

musiman dan mewabah;

c. Mencegah resiko kualitas barang yang dipesan tidak baik sehingga

harus dikembalikan;
30

d. Mendapatkan keuntungan dari pembelian dengan memilih distribusi obat

yang memberikan harga obat bersaing, pengiriman cepat dan kualitas obat

yang baik.

Metode pengendalian persediaan dapat dilakukan dengan cara menyusun

prioritas berdasarkan 9 :

1. Analisis VEN (Vital, Essensial, and Non Essensial)

Umumnya disusun dengan memperlihatkan kepentingan dan vitalitas

persediaan farmasi yang harus selalu tersedia untuk melayani permintaan

untuk pengobatan atau penyelamatan hidup manusia atau untuk

pengobatan karena penyakit yang mengakibatkan kematian.

a. V (Vital)
Merupakan persediaan yang harus selalu tersedia untuk melayani

permintaan guna pengobatan atau penyelamatan hidup manusia,

atau untuk pengobatan karena penyakit yang menyebabkan

kematian.

b. E (Essensial)

Merupakan perbekalan yang banyak diminta untuk digunakan

dalam tindakan atau pengobatan penyakit ada dalam suatu daerah

atau Rumah Sakit.

c. N (Non Essensial)

Perbekalan pelengkapan agar tindakan atau pengobatan menjadi

lebih baik.
31

Sistem VEN ini memprioritaskan suatu pembelian ketika tidak

cukup dana untuk semua jenis yang dikehendaki. Sistem ini juga

menetukan jenis obat yang akan dipertahankan dalam sediaan dan jenis

obat yang hanya akan dipesan ketika dibutuhkan.

2. Analisis PARETO (ABC)

Analisis ini disusun berdasarkan atas penggolongan persediaan yang

mempunyai nilai harga yang paling banyak. Analisis ini memerlukan

perhitungan matematika sederhana dan penyusunan urutan berdasarkan

persentase harga atau biaya yang harus dibayar atau item yang dibeli atau

dipakai dengan urutan nilai tersebut dapat diperoleh kontribusi tertentu

terhadap total anggaran atau harga perbekalan.

a. Kelas A : Persediaan yang memiliki nilai volume rupiah yang

tinggi. Kelas ini mewakili sekitar 75-80% dari total nilai

persediaan, jumlahnya hanya sekitar 20% dari seluruh item,

mewakili dampak biaya yang tinggi.

b. Kelas B : Persediaan yang memiliki nilai volume rupiah yang

menengah. Kelas ini mewakili sekitar 20% dari total nilai

persediaan dan jumlahnya sekitar 30% dari seluruh item.

c. Kelas C : Persediaan yang memiliki nilai volume rupiah yang

rendah. Kelas ini mewakili sekitar 10% dari total nilai persediaan

dan jumlahnya sekitar 50% dari seluruh item.


32

3. Analisis VEN ABC

Analisis VEN ABC mengkategorikan item berdasarkan volume dan

nilai penggunaanya selama periode waktu tertentu, biasanya satu

tahun.Analisis VEN ABC menggabungkan analisis PARETO dan VEN

dalam suatu matrik sehingga menjadi lebih tajam.

Table 1. Analisis VEN ABC dalam Matrik

V E N

A VA EA NA

B VB EB NB

C VC EC NC

Matrik di atas dapat dijadikan dasar dalam menetapkan prioritas

dalam rangkap penyesuaian anggaran tahunan dalam pengelolaan

persediaan. Jenis barang yang bersifat vital (VA, VB, VC) merupakan

pilihan utama untuk dibeli atau memerlukan perhatian khusus. Sebaiknya

barang yang non essensial tetapi menyerap banyak anggaran (NA)

dijadikan prioritas untuk dikeluarkan dari daftar belanja. Parameter-

parameter dalam pengendalian persediaan, yaitu:

1. Konsumsi rata-rata

Konsumsi rata-rata sering juga disebut sebagai permintaan

(demand) yang diharapkan pada pemesanan selanjutnya merupakan

variable kunci yang menentukan berapa banyak stock barang yang

harus dipesan. Walaupun banyaknya permintaan sudah dapat


33

diprediksi, barang yang stock mati bisa juga terjadi apabila salah

memperkirakan lead time barang tersebut.

2. Lead time (waktu tenggang)

Lead time merupakan waktu tenggang yang dibutuhkan mulai dari

pemesanan sampai dengan penerimaan barang digudang dari

pemasok yang telah ditentukan.

3. Buffer stock (safety stock/obat dapar pengaman)

Merupakan persediaan barang yang harus ada untuk menghadapi

suatu keadaan yang diakibatkan karena perubahan pada perimntaan,

misalkan karena adanya permintaan barang yang meningkat secara

tiba-tiba (karena adanya wabah penyakit) atau untuk mengatasi

pemesanan barang yang terlambat datang.

4. Persediaan maksimum

Merupakan jumlah persediaan terbesar yang telah tersedia. Jika

telah mencapai nilai persediaan maksimum ini maka tidak perlu lagi

melakukan pemesanan untuk menghindari terjadinya stock mati yang

dapat menyebabkan kerugian.

5. Persediaan minimum

Merupakan jumlah persediaan terendah yang masih tersedia.

Apabila penjualan telah mencapai nilai persediaan minimum ini,

maka langsung dilakukan pemesanan agar kontinuitas usaha dapat

berlanjut.
34

6. Reorder point (ROP/titik pemesanan)

Merupakan suatu titik yang mana dilakukan pemesanan lagi

sehingga penerimaan barang yang dipesan tepat pada waktunya.

Dengan demikian, waktu datangnya barang yang telah dipesan tidak

melewati waktu pesan, sehingga tidak akan melanggar buffer stock

yang telah ditentukan.

2.12 Startegi Pemasaran di Apotek

Dalam proses rencana strategi pemasaran inilah akan dihasilkan alternatif

strategi yang baru dan memerlukan analisa situasi total sebagai persyaratan

mutlak. Dalam analisa situasi total harus di analisa secara komprehensif, yaitu :

1. Keadaan perusahaan, terutama analisa produk;

2. Keadaan pasar, terdiri atas :

a. Analisa kompetisi;

b. Analisa pelanggan;

c. Analisa pasar.

3. Keadaan lingkungan;

4. Strategi pemasaran berdasarkan analisa situasi , yaitu :

 Analisa SWOT

Analisa SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan

untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses),

peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam suatu proyek atau

suatu spekulasi bisnis. Analisa SWOT dapat diterapkan dengan cara

menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat


35

faktornya, kemudian menerapkan dalam gambar matrik SWOT, dimana

aplikasinya adalah bagaimana kekuatan mampu mengambil keuntungan

dari peluang yang ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan yang

mencegah keuntungan dari peluang yang ada, selanjutnya bagaimana

kekuatan mampu menghadapi ancaman yang ada dan bagaimana cara

mengatasi kelemahan yang mampu membuat ancaman menjadi nyata

atau menciptakan sebuah ancaman baru.

Tahap awal dalam menjalankan SWOT adalah membaca dan

menginterpretasi latar belakang dan membaca situasi dan kondisi

sekarang. Komponen-komponen SWOT terdiri dari internal organisasi,

obyek atau sasaran, lingkungan lokal, dan lingkungan regional. Adapun

langkah-langkah SWOT yaitu mengidentifikasi masalah, menentukan

faktor penghambat dan pendukung, menentukan alternatif-alternatif

kegiatan, merumuskan tujuan kegiatan, dan mengambil keputusan yang

paling diprioritaskan.10

2.13 Sediaan Farmasi di Apotek

Obat dapat digolongkan menjadi :

a. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa

resep dokter atau sering disebut juga OTC (Over The Counter). Tanda

khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan

garis tepi hitam11. Contohnya : Sanmol, Promag, Bodrexin.


36

Logo Obat Bebas dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Logo obat bebas

b. Obat Bebas Terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa

dengan resep dokter, tapi disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus

untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam. Logo

Obat Bebas Terbatas dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2. Logo obat bebas terbatas

Bagi obat bebas terbatas harus mencantumkan tanda peringatan P. No 1

sampai P. No 6 .12
37

Tanda khusus obat bebas terbatas dapat dilihat pada Gambar 2.3.

P. No.1 P. No. 2

Awas! Obat Keras Awas! Obat Keras

Hanya untuk kumur, jangan


Bacalah aturan memakainya ditelan

P. No. 3 P. No. 4

Awas! Obat Keras Awas! Obat Keras

Hanya untuk bagian luar badan Hanya untuk dibakar

P. No. 5 P. No. 6

Awas! Obat Keras Awas! Obat Keras

Tidak boleh ditelan Obat wasir jangan ditelan

Gambar 2.3 Macam-macam tanda peringatan pada Obat Bebas Terbatas

c. Obat Keras

Obat keras adalah obat yang hanya boleh diserahkan dengan resep dokter.

Tandanya berupa lingkaran warna merah dengan garis tepi berwarna hitam

dengan huruf “K” yang menyentuh garis tepi. Logo obat keras dapat dilihat

pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4. Logo Obat Keras

Obat keras harus mencantumkan kalimat “Harus Dengan Resep Dokter”.

Semua obat yang dibungkus sedemikian rupa yang nyata-nyata untuk


38

dipergunakan secara parenteral, baik dengan cara suntikan maupun dengan

cara pemakaian lain dengan jalan merobek jaringan.

d. Obat Narkotika

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai

menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang

dibedakan ke dalam golongan-golongan. Logo Obat Narkotika dapat dilihat

pada Gambar 2.5.13

Gambar 2.5. Logo Obat Narkotika

Penggolongan Narkotika dibedakan sebagai berikut :

1. Narkotika golongan I

Adalah narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan pengembangan

ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai

potensi yang sangat tinggi dalam mengakibatkan ketergantungan.

Contohnya : kokain, opium, heroin, desomorfina, ganja, metilfenidat,

sekobarbital, MDMA, katinon, amfetamin, metamfetamin,

Deksamfetamin, dan meklokualon.

2. Narkotika golongan II

Adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak

digunakan sebagai pilihan terakhir dalam terapi dan atau untuk tujuan
39

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi untuk

menimbulkan ketergantungan. Contohnya : alfasetilmetadol,

betametadol, diampromida, morfin, benzilmorfin, difenoksin, petidin,

normetadon, metadona, tebaina, difenoksin, dan fentanil.

3. Narkotika golongan III

Adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan, banyak digunakan

dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi ringan untuk menimbulkan ketergantungan.

Contohnya : kodein, asetildihirokodein, norkodein, etilmorfin, polkadin,

dan propiram.

Penggolongan Narkotika yang terbaru pada Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika. Pada saat

Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9

Tahun 2014 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (Berita Negara Republik

Indonesia Tahun 2015 Nomor 415), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Daftar

Narkotika golongan I, II dan golongan III tercantum dalam Lampiran yang

merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri.

e. Obat Psikotropika

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan

narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada

susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas,

mental dan perilaku.15 Logo obat psikotropika dapat dilihat pada Gambar

2.6
40

Gambar 2.6 Penandaan Obat Psikotropika

Penggolongan dari psikotropika adalah sebagai berikut :

1. Psikotropika golongan I

Adalah psikotropika yang hanya digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan

dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat

mengakibatkan sindroma ketergantungan.

2. Psikotropika golongan II

Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat

digunakandalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contohnya : metilfenidat dan sekobarbital

3. Psikotropika golongan III

Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan

dalam terapi dan/atau untuk ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi

sedang mengakibatkan ketergantungan. Contohnya : amobarbital,

pentobarbital, fenobarbital, siklobarbital.

4. Psikotropika golongan IV

Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobataan dan sangat luas

digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan.

Contohnya : diazepam, estazolam, alprazolam.


41

Penggolongan Psikotropika yang terbaru pada Peraturan Menteri

Kesehatan Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Kesehatan

Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Penggolongan Psikotropika (Berita

Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 324), dicabut dan dinyatakan

tidak berlaku. Daftar psikotropika golongan II dan golongan IV tercantum dalam

Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

f. Prekursor

Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat

digunakan dalam pembuatan narkotik dan psikotropik.

Gambar 2.7 Logo Obat Prekursor

Prekursor digolongkan kedalam prekursor tabel I dan prekursor Tabel II

 Prekursor Tabel I : acetic anhydride, ephedrin, ergotamine,

pseudoephedrin.

 Prekursor Tabel II : acetone, ethyl ether, hydrocloride achide, sulfuric

acid.

Tujuan pengaturan prekursor adalah melindungi masyarakat dari bahaya

penyalahgunaan prekursor, mencegah dan memberantas peredaran gelap

prekursor, serta menjamin ketersediaan prekursor untuk industri farmasi,

industri non farmasi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


42

Pengelolaan obat prekursor sama halnya dengan pengelolaan obat narkotik

dan psikotropik yang terdiri dari : pemesanan, penyimpanan, penyerahan,

pemusnahan, dan pelaporan.20

g. Obat Generik

Obat Generik (Unbranded Drug) adalah obat dengan nama generik, nama

resmi yang telah ditetapkan dalam Farmakope Indonesia dan INN

(International Non-propietary Names) dari WHO (World Health

Organization) untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Nama generik ini

ditempatkan sebagai judul dari monografi sediaan obat yang mengandung

nama generik tersebut sebagai zat tunggal. Obat generik berlogo yaitu obat

yang diprogram oleh pemerintah dengan nama generik yang dibuat secara

CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Harga obat disubsidi oleh

pemerintah. Logo generik menunjukkan persyaratan mutu yang ditetapkan

oleh Mentri Kesehatan RI. Logo obat generik dapat dilihat pada gambar 2.8

Gambar 2.8 Logo obat generik

Dari segi ekonomis obat generik dapat dijangkau masyarakat golongan

ekonomi menengah kebawah. Dari segi kualitas obat generik memiliki mutu

atau khasiat yang sama dengan obat yang bermerek dagang (obat paten).

Mutu obat generik tidak perlu diragukan mengingat setiap obat generik

juga mendapatkan perlakuan yang sama dalam hal evaluasi terhadap

pemenuhan kriteria khasiat, keamanan dan mutu obat.19

h. Obat Bahan Alam Indonesia


43

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.4.2411 Tentang Ketentuan Pokok

Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia bahwa yang

dimaksud dengan Obat Bahan Alam Indonesia adalah Obat Bahan Alam

yang diproduksi di Indonesia. Berdasarkan cara pembuatan serta jenis

klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat, Obat Bahan Alam

Indonesia dikelompokkan menjadi 14 :

 Jamu

Gambar 2.9 Logo Untuk Kelompok Jamu

Jamu harus aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan, klaim

khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memenuhi persyaratan

mutu yang berlaku.

 Obat Herbal Terstandar

Gambar 2.10 Logo Untuk Kelompok Obat Herbal Terstandar

Obat Herbal Terstandar harus aman sesuai dengan persyaratan yang

ditetapkan, klaim kasiat dibuktikan secara ilmiah/pra klinik, telah

dilakukan standardisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam

produk jadi dan memenuhi persyaratan


44

 Fitofarmaka

Gambar 2.11 Logo Untuk Kelompok Fitofarmaka

Fitofarmaka harus aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan,

klaim khasiat harus dibuktikan berdasarkan uji klinik, telah dilakukan

standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan dalam produk jadi,

memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.

2.13 Kegiatan dan Pengelolaan Narkotika dan psikotropika

Kegiatan-kegiatan pengelolaan dari Narkotika dan Psikotropika adalah

sebagai berikut16 :

a. Peredaran

Peredaran Narkotika dan Psikotropika terdiri dari :

1. Penyaluran Narkotika dan Psikotropika hanya dapat dilakukan

berdasarkan surat pesanan atau laporan Pemakaian dan Lembar

Permintaan Obat (LPLPO) untuk pesanan dari Puskesmas

2. Surat pesanan Narkotika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) jenis

Narkotika

3. Surat pesanan Psikotropika hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) atau

beberapa jenis Psikotropika.


45

Pengiriman Narkotika dan Psikotropika yang dilakukan oleh Industri

Farmasi, PBF, atau Instalasi Farmasi Pemerintah harus dilengkapi

dengan:

a. Surat pesanans

b. Faktur dan/atau surat pengantar barang, paling sedikit memuat:

 Nama Narkotika dan Psikotropika

 Bentuk sediaan

 Kekuatan

 Kemasan

 Jumlah

 Tanggal kadaluarsa

 Nomor batch.

Pengiriman Narkotika dan Psikotropika yang dilakukan melalui jasa

pengangkutan hanya dapat membawa Narkotika, dan Psikotropika sesuai

dengan jumlah yang tecantum dalam surat pesanan, faktur, dan/atau surat

pengantar barang yang dibawa pada saat pengiriman.

b. Penyerahan

Penyerahan Narkotika dan Psikotropika hanya dapat dilakukan dalam

bentuk obat jadi.

1. Penyerahan obat kepada pasien, harus dilakukankan oleh Apoteker

di fasilitas pelayanan kefarmasian


46

2. Penyerahan dilakukan secara langsung sesuai dengan standar

pelayanan kefarmasian.

3. Penyerahan Narkotika dan/atau Psikotropika hanya dapat dilakukan

oleh:

a) Apotek

b) Puskesmas

c) Instalasi Farmasi Rumah Sakit

d) Instalasi Farmasi Klinik

e) Dokter.

Penyerahan harus berdasarkan surat permintaan tertulis yang

ditandatangani oleh Apoteker penanggung jawab. Apotek, Puskesmas,

Instalasi Farmasi Rumah Sakit, dan Instalasi Farmasi Klinik hanya dapat

menyerahkan Narkotika dan/atau Psikotropika kepada pasien

berdasarkan resep dokter.

c. Penyimpanan

Tempat penyimpanan Narkotika dan Psikotropika di fasilitas produksi,

fasilitas distribusi, dan fasilitas pelayanan kefarmasian harus mampu

menjaga keamanan, khasiat, dan mutu Narkotika dan Psikotropika.

Tempat penyimpanan Narkotika dan Psikotropika dapat berupa gudang,

ruangan, atau lemari khusus.

Lemari khusus harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a) Terbuat dari bahan yang kuat


47

b) Tidak mudah dipindahkan dan mempunyai 2 (dua) buah kunci yang

berbeda

c) Harus diletakkan dalam ruang khusus di sudut gudang, untuk

Instalasi Farmasi Pemerintah

d) Diletakkan di tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum, untuk

Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Instalasi

Farmasi Klinik, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan ; dan

e) Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggung

jawab/Apoteker yang ditunjuk dan pegawai lain yang dikuasakan.

d. Pemusnahan

Pemusnahan Narkotika dan Psikotropika dilakukan dalam hal:

a) Diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku

dan/atau tidak dapat diolah kembali;

b) Telah kadaluarsa;

c) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan

dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk sisa

penggunaan;

d) Dibatalkan izin edarnya; atau

e) Berhubungan dengan tindak pidana.

Pemusnahan Narkotika dan Psikotropika harus dilakukan dengan tidak

mencemari lingkungan dan tidak membahayakan kesehatan masyarakat.

Pemusnahan Narkotika dan Psikotropika dilakukan dengan tahapan sebagai

berikut:
48

a. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi/fasilitas

pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik perorangan

menyampaikan surat pemberitahuan dan permohonan saksi kepada:

 Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan,

bagi Instalasi Farmasi Pemerintah Pusat;

 Dinas Kesehatan Provinsi dan/atau Balai Besar/Balai Pengawas

Obat dan Makanan setempat, bagi Importir, Industri Farmasi, PBF,

Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau Instalasi Farmasi Pemerintah

Provinsi; atau

 Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Balai Besar/Balai

Pengawas Obat dan Makanan setempat, bagi Apotek, Instalasi

Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik, Instalasi Farmasi

Pemerintah Kabupaten/Kota, Dokter, atau Toko Obat.

 Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan,

Dinas Kesehatan Provinsi, Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan

Makanan setempat, dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

menetapkan petugas di lingkungannya menjadi saksi pemusnahan

sesuai dengan surat permohonan sebagai saksi.

b. Pemusnahan disaksikan oleh petugas yang telah ditetapkan;

c. Narkotika dan Psikotropika dalam bentuk bahan baku, produk antara,

dan produk ruahan harus dilakukan sampling untuk kepentingan

pengujian oleh petugas yang berwenang sebelum dilakukan

pemusnahan;
49

d. Narkotika dan psikotropika dalam bentuk obat jadi harus dilakukan

pemastian kebenaran secara organoleptis oleh saksi sebelum dilakukan

pemusnahan.

Dalam hal Pemusnahan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor

Farmasi dilakukan oleh pihak ketiga, wajib disaksikan oleh pemilik

Narkotika dan Psikotropika. Penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas,

distribusi/fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga/dokter praktik

perorangan yang melaksanakan pemusnahan Narkotika dan Psikotropika

harus membuat berita acara pemusnahan. Berita acara pemusnahan paling

sedikit memuat:

 Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan;

 Tempat pemusnahan;

 Nama penanggung jawab fasilitas produksi atau fasilitas distribusi

atau fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga atau dokter

praktik perorangan;

 Nama petugas kesehatan yang menjadi saksi dan saksi lain badan

atau sarana tersebut;

 Nama dan jumlah Narkotika dan Psikotropika yang dimusnahkan;

 Cara pemusnahan; dan

 Tanda tangan penanggung jawab fasilitas produksi/fasilitas distribusi

atau fasilitas pelayanan kefarmasian/pimpinan lembaga atau dokter

praktik perorangan dan saksi.


50

Berita acara pemusnahan dibuat dalam rangkap 3 (tiga) dan

tembusannya disampaikan kepada Direktur Jenderal dan Kepala

Badan/Kepala Balai .

e. Pencatatan dan Pelaporan

1. Pencatatan

Industri Farmasi, PBF, Instalasi Farmasi Pemerintah, Apotek,

Puskesmas, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi

Klinik, Lembaga Ilmu Pengetahuan, atau dokter praktik

perorangan yang melakukan produksi, penyaluran, atau

penyerahan narkotika dan psikotropika wajib membuat pencatatan

mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika dan

psikotropika. Pencatatan paling sedikit terdiri atas:

a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika dan

Psikotropika

b) Jumlah persediaan

c) Tanggal, nomor dokumen, dan sumber penerimaan

d) Jumlah yang diterima

e) Tanggal, nomor dokumen, dan tujuan penyaluran/penyerahan

f) Jumlah yang disalurkan/diserahkan

g) Nomor batch dan kadaluarsa setiap penerimaan atau

penyaluran/penyerahan

h) Paraf atau identitas petugas yang ditunjuk.


51

Pencatatan yang dilakukan harus dibuat sesuai dengan

dokumen penerimaan dan dokumen penyaluran termasuk

dokumen impor, dokumen ekspor dan/atau dokumen penyerahan.

Seluruh dokumen pencatatan, dokumen penerimaan, dokumen

penyaluran, dan/atau dokumen penyerahan termasuk surat

pesanan Narkotika dan Psikotropika wajib disimpan secara

terpisah paling singkat 3 (tiga) tahun.

2. Pelaporan

Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Instalasi Farmasi Klinik,

Lembaga Ilmu Pengetahuan, dan dokter praktik perorangan wajib

membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan pemasukan

dan penyerahan/penggunaan Narkotika dan Psikotropika, setiap

bulan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan

tembusan Kepala Balai setempat. Pelaporan paling sedikit terdiri

atas:

a) Nama, bentuk sediaan, dan kekuatan Narkotika dan

Psikotropika

b) Jumlah persediaan awal dan akhir bulan

c) Jumlah yang diterima

d) Jumlah yang diserahkan.

Laporan dapat menggunakan sistem pelaporan Narkotika dan

Psikotropika secara elektronik (SIPNAP). Laporan disampaikan

paling lambat setiap tanggal 10 bulan berikutnya. Ketentuan lebih


52

lanjut mengenai tata cara pelaporan Narkotika dan Psikotropika

diatur oleh Direktur Jenderal.

2.14 Obat Wajib Apotek (OWA)

Obat wajib apotek adalah beberapa obat keras yang dapat diserahkan tanpa

resep dokter, namun harus diserahkan oleh apoteker di apotek. Pemilihan dan

penggunaan obat OWA harus dengan bimbingan apoteker.17

Daftar obat wajib apotek yang dikeluarkan berdasarkan keputusan menteri

kesehatan. Sampai saat ini sudah ada 3 daftar obat yang diperbolehkan diserahkan

tanpa resep dokter. Peraturan mengenai daftar obat wajib apotek tercantum dalam:

1. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 347/MENKES/SK/VII/1990

tentang Obat Wajib Apotek berisi daftar obat wajib apotek No.1;

2. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 924/MENKES/PER/X/1993

tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.2;

3. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1176/MENKES/SK/X/1999

tentang Daftar Obat Wajib Apotek No 3;

Kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter adalah sebagai

berikut18 :

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di

bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberi resiko pada

kelanjutan penyakit

c. Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus

dilakukan oleh tenaga kesehatan


53

d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang pravalensinya tinggi di

Indonesia;

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat

dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri;

f. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan Obat

Wajib Apotek diwajibkan :

 Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang

disebutkan dalam Obat Wajib Apotek yang bersangkutan;

 Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan;

 Memberi informasi meliputi dosis dan aturan pakainya,

kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan

oleh pasien.

Obat Wajib Apotek terdiri dari kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran

cerna, obat mulut untuk tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang

mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal.

Anda mungkin juga menyukai