Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ketentuan Umum Apotek


Pengertian Apotek menurut (Kepmenkes RI) No.
1332/MENKES/SK/X/2002, Apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat
dilakukan pekerjaan kefarmasian penyaluran perbekalan farmasi kepada
masyarakat. Yang dimaksud pekerjaan kefarmasian diantaranya pengadaan
obat, penyimpanan obat, pembuatan sediaan obat, peracikan, penyaluran, dan
penyerahan perbekalan farmasi serta memberikan informasi kepada
masyarakat mengenai perbekalan kefarmasian yang terdiri dari obat, bahan
obat, obat tradisional, alat kesehatan dan kosmetik. Tidak hanya menjalankan
pekerjaan kefarmasian tetapi tugas pokok dan fungsi Apotek juga harus
dijalankan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan standard prosedur yang telah
ditetapkan (Kepmenkes RI, 2002)
Pekerjaan kefarmasian menurut UU kesehatan No. 36 Tahun 2009
yaitu meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan
obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
Perundang-Udangan (Silanas, 2011)
Apotek sebagai salah satu sarana pelayanan kesehatan perlu
mengutamakan kepentingan masyarakat dan berkewajiban menyediakan,
menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan
keabsahannya terjamin. Apotek dapat diusahakan oleh lembaga atau instalasi
pemerintah dengan tugas pelayanan kesehatan di pusat dan daerah,
perusahaan milik negara yang ditunjuk oleh pemerintah dan Apoteker yang
telah mengucapkan sumpah serta memperoleh izin dari Suku Dinas
Kesehatan setempat (Silanas, 2011).
2.2. Landasan Hukum Pendirian Apotek
Apotek merupakan satu diantara sarana pelayanan kesehatan masyarakat
yang diatur dalam :
1. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
2. Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
3. Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Psikotropika.
4. Undang-undang No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
5.Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/MEBKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, izin Praktek, dan izin Kerja
Tenaga Kefarmasian.
6.Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1990 tentang Masa Bakti Apoteker,
yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.
184/MENKES/PER/II/1995.
7.Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980 tentang Perubahan atas PP No. 26
Tahun 1965 mengenai Apotek.
8.Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
Kesehatan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
9.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
10.Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek (Sutan, 2014).

2.3. Tugas dan Fungsi Apotek


2.3.1. Tugas Apotek
Pengelolaan Apotek menurut Permenkes No. 889/
MENKES/PER/V/ 2001, Meliputi pekerjaan kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan,pengadaan,penyimpanan dan pendistribusian atau
penyaluran obat, pengelolaan obat,pelayanan obat atas resep
Dokter,pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,bahan obat
dan obat tradisional (Pakpahan,2014)
2.3.2. Fungsi Apotek

Font nya samakan semua pake Times New Roman


Ditinjau dan tujuannya, Apotek mempunyai dan fungsi, yakni
fungsi sosial dan ekonomi.
a. Fungsi Sosial
Adalah untuk pemerataan distribusi obat dan salah satu tempat
pelayanan informasi, Apotek merupakan sarana pelayanan kesehatan
yang berkewajiban untuk menyediakan dan menyalurkan obat dan
perbekalan farmasi lainnya yang dibutuhkan oleh masyarakat. Apotek
merupakan salah sarana kesehatan penjunjungan sehingga dalam
penyelenggaraan kegiatannya tetap mempertahankan fungsi
sosialnya, Misalnya, mempertahankan kebutuhan pelayanan
kesehatan golongan masyarakat yang kurang mampu dan tidak
semata-mata mencari keuntungan (Pakpahan, 2014).
b. Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi Apotek juga perlu dilaksanakan agar dapat
memperoleh laba demi menjaga kelangsungan usaha. Tetapi fungsi
ekonomi dengan fungsi sosial harus sejajar tidak akan terlihat sebuah
usaha itu hanya mencari keuntungan saja (Pakpahan, 2014).

2.4. Pencabutan Izin Apotek

Atur lagi font dan formatnya, harus rata kiri-kanan dan dirapikan
Pencabutan Izin Apotek dapat dilakukan apabila sesuai dengan hal-hal
di bawah ini yaitu :
a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan
seperti ijazah yang terdaftar pada Departemen Kesehatan, melanggar
sumpah atau janji sebagai apotek, tidak lagi memenuhi persyaratan fisik
dan mental dalam menjalankan tugasnya, bekerja sebagai penanggung
jawab pada apotek atau industri Farmasi lainnya.
b. Apoteker tidak menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan
farmasi yaitu bermutu dan terjamin keabsahannya.
c. Apoteker tidak menjalankan tugasnya dengan baik seperti dalam hal
melayani resep, memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan
obat secara tepat, aman dan rasional.
d. Apabila Apoteker berhalangan melakukan tugasnya lebih 2 tahun berturut-
turut.
e. Apoteker melanggar perundang-undangan obat keras, psikotropika,
Narkotika atau ketentuan lainnya.
f. Apabila Surat Izin Apotek (SIA) dicabut, APA atau apoteker pengganti
wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan berlaku PSA terbukti terlibat dalam pelanggaran
perundang-undangan dibidang obat.
g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan yang ditetapkan narkotika (Yasa,
2010).
Berdasarkan Kepmenkes No. 1332/MENKES/SK/X/2002 pengganti
Permenkes No. 992/MENKES/PER/1993. Pelaksanaan pencabutan izin
dilakukan dengan cara:

a. Pemberian peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek


sebanyak tiga kali berturut-turut dan tanggung jawab waktu masing-
masing dua bulan.
b. Pembekuan Izin Apotek dilakukan untuk jangka waktu selama-lamanya
enam bulan sejak dikeluarkan surat penetapan pembekuan kegiatan apotek.
Pembekuan izin apotek dapat dicairkan apabila apotek telah memenuhi
segala persyaratan sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Pencairan izin Apotek dilakukan setelah menerima hasil laporan
pemeriksaan dari Kepala Balai POM setempat, atau Tim Pemeriksaan
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota Keputusan untuk pencabutan SIA oleh
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat, serta Kepala Balai POM
setempat (Yasa, 2010).
Apabila surat izin Apotek (SIA) dicabut. APA atau apoteker pengganti
wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Pengamanan dimaksud wajib mengikuti Tata cara
sebagai berikut:

a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan obat-obat narkotika,


obat keras tertentu dan obat lainnya, serta seluruh resep yang ada di
apotek.
b. Obat-obat narkotika, psikotropika dan Resep-resep harus dimasukkan
dalam satu tempat yang tertutup serta terkunci.
c. APA wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota. tentang kegiatan yang disertai laporan inventarisasi (Yasa,
2010).

2.5. Pengelolaan Apotek


2.5.1. Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus
dikelola oleh seorang Apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan
apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan
dan memberikan pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat,
mampu berkomunikasi antar profesi, menetapkan diri sebagai pemimpin
dalam situasi multidisiplin, kemampuan mengelola SDM efektif, selalu
belajar sepanjang karier dan membantu memberi pendidikan dan
memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Lestari, 2017).
2.5.2. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan
a. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan merupakan proses kegiatan seleksi sediaan farmasi
dan perbekalan farmasi untuk menentukan jenis jumlah sediaan
farmasi dalam rangka pemenuhan kebutuhan apotek (Buku Pelayanan
Farmasi).
Perencanaan ini berdasarkan atas pertimbangan beberapa hal,
yaitu:
1. Kunjungan pasien
2. Jumlah Keperluan obat
3. Pola jumlah penyakit
4. Keadaan stok obat

b. Pengadaan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1027/Menkes/SK/2004 untuk menjamin kualitas pelayanan
kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur
resmi. Pengadaan barang dapat melalui 2 cara yaitu pembelian dsn
koniyasi. Pembelian barang di apotek sebaiknya disesuaikan dengan
kebutuhan pelayanan setempat (Kepmenkes RI, 2004).
1. Persiapan
Pengumpulan data obat dan perbekalan farmasi yang akan
dipesan berdasarkan buku dafecta (buku barang habis) baik dari
bagian penerimaan resep, obat bebas maupun dari gudang (Hartini
& Sulasmono, 2007).

2. Pemesanan
Pemesanan dilakukan dengan menggunakan Surat
Pemesanan (SP) untuk setiap supplier. Surat pemesanan di apotek
ada tiga macam yaitu surat pesanan narkotika, surat pesanan
psikotropika, dan surat pesanan untuk obat selain narkotika dan
psikotropika, SP minimal dibuat 2 rangkap (untuk supplier dan
arsip apotek) dan ditanda tangani oleh APA dengan mencantumkan
nama dan nomor SP serta cap apotek. SP pembelian Narkotika
dibuat 5 rangkap, 1 lembar merupakan arsip untuk administrasi
apotek dan 4 lembar dikirim ke PBF Kimia Farma menyalurkan
kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, BPOM dan
penanggung jawab Narkotika Depot Kimia Farma Pusat. Satu
lembar surat pesanan untuk memesan satu jenis narkotika SP untuk
psikotropika, format telah ditetapkan oleh Dinas Kesehatan, dibuat
rangkap 3, satu lembar (asli) untuk PBF dan dua lembar (tembusan)
untuk arsip apotek dan pengecekan barang datang. Dalam satu SP
Dapat memuat lebih dari satu item obat,pemesanan bisa dilakukan
selain PT. Kimia Farma (Hartini & Sulasmono, 2007).

3. Barang yang datang dicocokkan dengan faktur dan SP (Surat


Pesanan)
Faktur tersebut rangkap 4-5 lembar, dimana untuk apotek
diberikan 1 lembar sebagai arsip, sedangkan yang lainnya
termasuk yang asli dikembalikan ke PBF yang akan digunakan
untuk penagihan dan arsip PBF. Faktur tersebut berisikan nama
obat, jumlah obat, harga obat, bonus atau potongan harga, tanggal
kadaluwarsa, dan tanggal jatuh tempo. Faktur ini dibuat sebagai
bukti yang sah dari pihak kreditur mengenai transaksi penjualan
(Hartini & Sulasmono, 2007).
SP digunakan untuk mencocokkan barang yang dipesan
dengan barang yang dikirim. Selain itu dicek apakah barang
dalam keadaan utuh, jumlah sama dengan permintaan dan sesuai
pada faktur tanggal kadaluwarsa sesuai dengan faktur atau tidak.
Setelah sesuai dengan pesanan. APA atau AA yang menerima
dsn menandatangani sebagai bukti permintaan barang. Barang
yang telah diterima kemudian dimasukkan ke gudang dan dicatat
dalam kartu stok (Hartini & Sulasmono, 2007).
Untuk obat-obat yang memiliki waktu kadaluwarsa, dalam
pembeliannya perjanjian ke PBF bersangkutan jika sudah
mendekati waktu kadaluwarsa obat. Jika tidak cocok atau tidak
sesuai maka barang akan dikembalikan melalui petugas pengantar
barang.
Kebijaksanaan pengelola Apotek terutama dalam hal
pembelian barang sangat menentukan keberhasilan usah.
Beberapa cara pembelian barang yaitu:
1. Pembelian dalam jumlah terbatas _(Hand to mouth
buying_)
Pembelian dilakukan sesuai dengan kebutuhan dalam
jangka waktu yang pendek, misal satu mmingg. pembelian ini
dilakukan bila modal terbatas dan PBF berada tidak jauh dari
apotek, misalnya berada dalam satu kota dan selalu siap
melayani kebutuhan obat sehingga obat dapat dikirim (Anief,
2008).
2. Pembelian secara spekulasi
Cara pembelian itu dilakukan dalam jumlah yang lebih
besar dari kebutuhan, dengan harapan ada kenaikan harga
dalam waktu dekat atau dikarenakan adanya diskon atau bonus.
Meskipun pembelian secara spekulasi memungkinkan
mendapatkan keuntungan yang besar tetapi cara ini
mengandung resiko yang besar untuk obat-obatan dengan
waktu kadaluwarsa yang relatif dan yang bersifat _slow
moving_ (Anief, 2008).
3. Pembelian terencana
Cara pembelian ini erat hubungannya dengan
pengendalian persediaan barang. Pengawasan stok obat/barang
mana yang laku keras dan mana yang kurang laku. Hak ini
dapat dilakukan dengan menggunakan kartu stok. Selanjutnya
dilakukan perencanaan pembelian sesuai dengan kebutuhan per
item (Anief, 2008).
Selain itu juga pembelian _Cash On Deliver_ (COD)
yaitu barang-barang narkotika dari PBF Kimia Farma. Ketika
barang datang, pembayaran tunai langsung dilakukan
pemesanan narkotika hanya dapat dilakukan pada suatu
distributor, yaitu pada PBF Kimia (Anief. 2008).
c. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian
jenis spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang
tertera dalam surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima (PMK
RI, 2016).
d. Penyimpanan
Suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima
agar aman, terhindar dari kerusakan fisik maupun Kimia dan mutunya
tetap terjamin. Tujuannya agar obat tersedia di UPK (Unit pelayanan
Kesehatan) dan mutunya dapat dipertahankan. Persyaratan farmasetik
(suhu dan cahaya):
1. Ruangan kering tidak lembab.
2. Mempunyai ventilasi, agar ada aliran udara dan tidak
lembab/panas.
3. Perlu cahaya yang cukup, namun jendela harus mempunyai
pelindung untuk menghindari adanya cahaya langsung dan
berteralis.
Cara penataan/pengaturan:
1. Pengaturan dikelompokkan berdasarkan bentuk sediaan dan
disusun secara alfabetis dan berdasarkan nama generiknya.
2. Penerapan sistem FIFO _(First In First Out)_ dan FEFO _(First
Expired First On)_.
3. Obat yang sudah diterima disusun sesuai dengan
pengelompokkannya.
4. Pemindahan harus hati-hati untuk menghindari terjadinya
kerusakan/obat pecah.
5. Golongan antibiotik disimpan dalam wadah tertutup rapat, ditempat
kering, terhindar dari cahaya matahari (PMK RI, 2016).
e. Pemusnahan dan penarikan
1. bat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai dengan jenis
dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat kadaluwarsa atau rusak yang
mengandung narkotika atau psikotropika dilakukan oleh Apoteker
dan disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pemusnahan
obat selain narkotika dan psikotropika dilakukan oleh Apoteker dan
disaksikan oleh tenaga kefarmasian lain yang memiliki surat izin
praktik atau surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan resep. Resep yang telah disimpan melebihi
jangka waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan
Resep dilakukan oleh Apoteker disaksikan oleh sekurang-kurangnya
petugas lain di Apotek dengan cara dibakar atau cara pemusnahan
lain yang dibuktikan dengan Berita Acar Pemusnahan Resep dan
selanjutnya dilaporkan kepada dinas kesehatan kabupaten/kota.
2. Pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi dan Bahan Medis
Habis Pakai Yang Tidak Dapat digunakan harus dilaksanakan
dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standard/ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan oleh
pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM
_(mandatory recall)_ atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik
izin edar _(voluntary recall)_ dengan tetap memberikan laporan
kepada Kepala BPOM.
4. Penarikan Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan
terhadap produk yang izin edernya dicabut oleh Menteri(PMK RI,
2016).
f. Pengendalian
Pengendalian dilakukan untuk mempertahankan jenis dan
jumlah persediaan sesuai kebutuhan pelayanan, melalui pengaturan
sistem pesanan atau pengadaan, penyimpanan dan pengeluaran. Hal
ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kelebihan, kekurangan,
kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, kehilangan serta
pengembalian pesanan. Pengendalian persediaan dilakukan
menggunakan kartu stok baik dengan cara manual atau elektronik.
Kartu stok sekarang kurangnya memuat nama obat, tanggal
kadaluwarsa, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran dan sisa
persediaan (PMK RI, 2016).
g. Pencatatan dam pelaporan
Pencatatan dilakukan pada setiap proses pengelolaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai meliputi
pengadaan (surat pesanan, faktur), penyimpanan (kartu stok),
penyerahan (nota atau struk penjualan) dan pencatatan lainnya
disesuaikan dengan kebutuhan. Pelaporan terdiri dari pelaporan
internal dsn eksternal. Pelaporan internal merupakan pelaporan yang
digunakan untuk kebutuhan manajemen Apotek, meliputi keuangan.
barang dan laporan lainnya. Pelaporan eksternal merupakan
pelaporan yang dibuat untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi pelaporan
narkotika, psikotropika dan pelaporan lainnya. Petunjuk teknis
mengenai pencatatan dan pelaporan akan diatur lebih lanjut oleh
Direktur Jenderal (PMK RI, 2016).

2.6.Pelayanan Kefarmasian di Apotek


2.6.1.Pelayanan Resep

Resep adalah permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, kepada


apoteker untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelayanan resep adalah proses kegiatan yang meliputi aspek teknis dan
non teknis yang harus dikerjakan Mulai dari penerimaan resep, peracikan
obat sampai dengan penyerahan obat kepada pasien.
Dalam resep harus memuat:
a. Nama, alamat, telpon, dokter, tempat tanggal penulisan dan simbol R
(inscriptio)
b. Nama bahan/obat dan kuantitas, bentuk sediaan yang diminta dan
jumlahnya tersebut (praescriptio)
c. Petujuj aturan pemakaian obat yang tertulis (signatura)
d. Tanda tangan atau paraf dokter penulis resep atau sesuai dengan
perundang undangan yang berlaku, nama, umur, dan serta alamat
pasien _(Subscriptio)_
e. Tanda seru atau paraf dokter untuk resep yang mengandung obat
melebihi dosis maksimal (Anief, 1994).
Untuk penulis yang segera memerlukan obatnya, dokter menulis
bagian kanan atau resep _Cito, Statim, Urgent, P.I.M (Periculum In
Mora)_ = berbahaya bila ditunda Resep ini harus dilayani terlebih dahulu
(Anief, 1994).
Pengelolaan resep meliputi:
a. Pelayanan Resep
Pelayanan resep dilakukan dengan cara:
1. Mengidentifikasi resep
2. Melakukan konsultasi
3. Memastikan resep dapat dilayani
4. Menghitung harga resep
5. Menginformasikan harga resep
6. Menyiapkan atau meracik Sediaan farmasi
7. Memeriksa hasil akhir
8. Menyerahkan sediaan farmasi sesuai resep disertai informasi yang
diperlukan (Anief, 1994).
b. Penyimpanan Resep
Penyimpanan resep dilakukan dengan cara:
1. Resep yang telah dibuat dan disimpan menurut urutan tanggal dan
nomor penerimaan/pembuatan.
2. Resep yang mengandung narkotika harus dipisah dari resep lainnya
dan diberi tanda garis merah dibawah nama obatnya.
3. Resep yang mengandung psikotropika dipisah dari resep lainnya
dan diberi tanda garis hijau dibawah nama obatnya.
4. Resep yang telah disimpan 3 tahun dapat dimusnahkan dengan cara
dibakar atau dengan cara lain yang memadai.
5. Pemusnahan resep dilakukan oleh APA bersama sekurang-
kurangnya seorang petugas apotek (Anief, 994).
2.6.2. Pelayanan Obat Tanpa Resep
Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan kepada
pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri atau swamedikasi.
Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan
tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas
terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Obat wajib apotek terdiri dari
kelas terapi oral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta
tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem
neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal.
Pelayanan obat non resep merupakan pelayanan yang
penting di apotek sehubungan dengan perkembangan pelayanan
farmasi komunikasi yang berorientasi pada asuhan kefarmasian.
Pasien mengemukakan keluhan atau gejala penyakit, apoteker
hendaknya mampu menginterpretasikan penyakitnya kemudian
menjadi memulihkan alternatif obat atau merujuk ke pelayanan
kesehatan lain.
Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
menolong dirinya sendiri dan untuk mengatasi masalah kesehatan
perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan
sendiri secara tepat. Aman dan rasional. Sarana penunjang berupa
obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri dan peningkatan
peran apoteker di apotek dalam pelayanan komunikasi, informasi
dan edukasi, Apoteker dalam melayani OWA diwajibkan memenuhi
ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang tercantum
dalam daftar OWA 1 dan OWA 2 serta wajib pula membuat catatan
pasien serta obat yang diserahkan Apoteker hendaknya memberikan
informasi penting tentang dosis, cara pakai, kontra indikasi, efek
samping obat lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien (Anief,
2007).
2.6.3. Pelayanan Obat Narkotika
Narkotika hanya dapat diserahkan menggunakan resep tidak boleh
penyerahan tanpa resep dokter. Dalam penyerahan narkotika
mempunyai beberapa ketentuan yaitu:
a. Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh apotek, rumah
sakit, puskesmas, bwkwi pengobatan dan dokter.
b. Apoteker hanya dapat menyerahkan narkotika kepada rumah sakit,
puskesmas, apotek lainnya, balai pengobatan, dokter dan pasien.
c. Rumah sakit, apotek, puskesmas dan balai pengobatan lainnya dapat
menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter
(Yasa, 2010).
Penyerahan narkotika oleh dokter dapat dilakukan dalam hal:
a. Menjalankan praktek dokter dan diberikan melalui suntikan.
b. Menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan.
c. Menjalankan tugas didaerah terpencil yang tidak ada apotek.
d. Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang
diserahkan dokter hanya dapat diperoleh dari apotek (Yasa, 2010).
2.6.4. Promosi dan Edukasi

Dalam ranga pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus


memberikan edukasi apabila masyarakat ingin mengobati diri sendiri
(swamedikasi) untuk penyakit ringan dengan memilihkan obat yang
sesuai dengan apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi
dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain
dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya
(Kepmenkes RI, 2004).

2.6.5. Pelayanan Residensial _(Home Care)_


Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.
102/Menkes/SK/IX/2004. Pelayanan residensial _(home care)_ adalah
pelayanan apoteker sebagai _care giver_ dalam pelayanan kefarmasian
dirumah-rumah Khususnya untuk kelompok lansia dan pesien dengan
pengobatan terapi kronis lainnya. Apoteker sebagai _care giver_
diharapkan juga dapat melakukan pelayanan kefarmasian yang bersifat
kunjungan rumah, Khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan
pengobatan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivasi ini, apoteker harus
membuat catatan berupa catatan pengobatan (Kepmenkes RI, 2004).
Pelayanan yang harus diberikan oleh apotek adalah sebagai berikut:
1. Apotek wajib dibuka untuk melayani masyarakat
2. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.
Pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker
pengelolaan m apotek.
3. Apoteker melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian
profesional yang ditandai kepada kepentingan masyarakat. Apoteker
tidak diijinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis diresep
dengan obat pasien. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat
yang tertulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan
dokter untuk memilih obat yang lebih tepat.
4. Apoteker wajib memberi informasi yaitu berkaitan dengan
penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien dan penggunaan
obat secara tepat, aman, rasional untuk masyarakat.
5. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep ada kekeliruan atau
penulisan resep tidak tepat, apoteker harus memberitahu kepada
dokter penulis resep. Bila dokter penulis resep pada pendiriannya
dokter wajib membutuhkan tanda tangan yang lazim diatas resep
atau dinyatakan tertulis.
6. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.
7. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik selama
3 tahun. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada
dokter penulis resep atau yang merawat penderita, pen derita yang
bersangkutan, kesehatan atau petugas lain yang berwenang menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku (PMK RI, 1993).

Anda mungkin juga menyukai