Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


DI PUSKESMAS SEYEGAN
Margokaton, Seyegan, Sleman, Jogjakarta
PERIODE 29 Juni – 4 Juli 2014

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat


Memperoleh Gelar Apoteker (Apt.)
Program Studi Profesi Apoteker

Disusun oleh:
Forid Morison, S. Farm 148115

Lenny Aftalina Letlora, S. Farm 148115

Lorentius Imus Ventora, S. Farm. 148115

Meta Kartika Sari, S. Farm 148115

Paramita Liong, S. Farm 148115

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA

2014
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Praktek Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) Angkatan XXX Universitas Sanata Dharma di
Puskesmas Seyegan dengan baik pada periode 29 Juni – 4 Juli 2015. Laporan
Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini disusun sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi Profesi Apoteker Fakultas
Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis telah mendapatkan dukungan, sarana, bimbingan, nasihat, kritik,
dan saran dari banyak pihak dalam pelaksanaan PKPA maupun penyusunan
laporan PKPA ini. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Aris Widayati, M. Si., P.hd., Apt, selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Dra. Th. B. Titien Siwi Hartayu, M.Kes., Apt., Ph.D., selaku Kepala
Program Studi Profesi Apoteker (PSPA) Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
3. Ibu Beti Pudyastuti, Apt., M.Si., selaku dosen pembimbing Praktek Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) atas dukungan dan bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis.
4. drg. Fitri Winarni Handayani , selaku kepala Puskesmas Seyegan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melaksanakan Praktek Kerja
Profesi Apoteker.
5. Ibu Noer Hidayati selaku Asisten Apoteker Puskesmas Seyegan dan
pembimbing PKPA di Puskesmas Seyegan yang telah banyak memberikan
bimbingan, pengetahuan, dan saran.
6. Ibu Susilawati selaku Asisten Apoteker Puskesmas Seyegan yang telah banyak
membantu selama PKPA.
7. Orang tua dan saudara penulis atas cinta kasih, semangat, dukungan, dan doa
yang telah diberikan kepada penulis selama pelaksanaan dan penyusunan
laporan PKPA.
8. Teman-teman mahasiswa Profesi Apoteker Angkatan XXX, atas dukungan dan
kerja sama selama pelaksanaan PKPA.
9. Semua pihak yang telah membantu kami dalam pelaksanaan PKPA di
Puskesmas Seyegan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan PKPA ini masih jauh dari
sempurna, sehingga kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan.
Semoga laporan ini bermanfaat bagi Puskesmas Seyegan, Almamater, Mahasiswa
seprofesi, sejawat serta pembaca pada umumnya. Akhir kata, penulis berharap
kerja sama antara Puskesmas Seyegan dan Universitas Sanata Dharma dapat terus
berlanjut dan berkembang ke arah yang lebih baik.

Yogyakarta, 4 Juli 2015

Tim Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………….......

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….

PRAKATA……………………………………………………………………...

DAFTAR ISI……………………………………………………………………

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………...

BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………...

A. Latar Belakang………………………………………………………….
B. Tujuan…………………………………………………………………..
C. Manfaat…………………………………………………………………
BAB II. TINJAUAN UMUM TENTANG PUSKESMAS…………………….

A. Aspek Umum…………………………………………………………...
B. Pengelolaan Obat dan Pembekalan Kesehatan di Puskesmas…………..
C. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas………………………………….
BAB III. PEMBAHASAN PRAKTEK KERJA…………..

A. Aspek Umum…………………………………………………………...
B. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas…………..
C. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas………………………………….
BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………

A. Kesimpulan……………………………………………………………..
B. Saran……………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..

LAMPIRAN…………………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Puskesmas
1. Pengertian Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota
yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu
wilayah kerja.
a. Unit Pelaksana Teknis
Sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (UPTD),
puskesmas berperan menyelenggarakan sebagian dari tugas teknis operasional
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan merupakan unit pelaksana tingkat
pertama serta ujung tombak pembangunan kesehatan di Indonesia.
b. Pembangunan Kesehatan
Pembangunan kesehatan adalah penyelenggaraan upaya kesehatan oleh
bangsa Indonesia untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang optimal.
c. Penanggungjawab Penyelenggaraan
Penanggungjawab utama penyelenggaraan seluruh upaya pembangunan
kesehatan di wilayah kabupaten/kota adalah Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, sedangkan puskesmas bertanggungjawab hanya sebagian
upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh dinas kesehatan
kabupaten/kota sesuai dengan kemampuannya.
d. Wilayah Kerja
Secara nasional, standar wilayah kerja puskesmas adalah satu kecamatan,
tetapi apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari dari satu puskesmas, maka
tanggungjawab wilayah kerja dibagi antar puskesmas, dengan memperhatikan
keutuhan konsep wilayah (desa/kelurahan atau RW). Masing-masing
puskesmas tersebut secara operasional bertanggungjawab langsung kepada
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
2. Fungsi Puskesmas
Puskesmas berfungsi sebagai :
a. Pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan.
Puskesmas selalu berupaya menggerakkan dan memantau
penyelenggaraan pembangunan lintas sektor termasuk oleh masyarakat
dan dunia usaha di wilayah kerjanya, sehingga berwawasan serta
mendukung pembangunan kesehatan. Di samping itu puskesmas aktif
memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari penyelenggaraan
setiap program pembangunan di wilayah kerjanya. Khusus untuk
pembangunan kesehatan, upaya yang dilakukan puskesmas adalah
mengutamakan pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
b. Pusat pemberdayaan masyarakat.
Puskesmas selalu berupaya agar perorangan terutama pemuka
masyarakat, keluarga dan masyarakat termasuk dunia usaha memiliki
kesadaran, kemauan, dan kemampuan melayani diri sendiri dan
masyarakat untuk hidup sehat, berperan aktif dalam memperjuangkan
kepentingan kesehatan termasuk pembiayaannya, serta ikut menetapkan,
menyelenggarakan dan memantau pelaksanaan program kesehatan.
Pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat ini diselenggarakan
dengan memperhatikan kondisi dan situasi, khususnya sosial budaya
masyarakat setempat.
c. Pusat pelayanan kesehatan strata pertama.
Puskesmas bertanggungjawab menyelenggarakan pelayanan
kesehatan tingkat pertama secara menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan. Pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menjadi
tanggungjawab puskesmas meliputi:
 Pelayanan kesehatan perorangan
Pelayanan kesehatan perorangan adalah pelayanan yang bersifat
pribadi (private goods) dengan tujuan utama menyembuhkan
penyakit dan pemulihan kesehatan perorangan, tanpa mengabaikan
pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit. Pelayanan
perorangan tersebut adalah rawat jalan dan untuk puskesmas tertentu
ditambah dengan rawat inap.
 Pelayanan kesehatan masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat adalah pelayanan yang bersifat
publik (public goods) dengan tujuan utama memelihara dan
meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit tanpa
mengabaikan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pelayanan kesehatan masyarakat tersebut antara lain promosi
kesehatan, pemberantasan penyakit, penyehatan lingkungan,
perbaikan gizi, peningkatan kesehatan keluarga, keluarga berencana,
kesehatan jiwa serta berbagai program kesehatan masyarakat
lainnya.
3. Struktur Organisasi
Struktur organisasi puskesmas tergantung dari kegiatan dan beban tugas
masing-masing puskesmas. Penyusunan struktur organisasi puskesmas di satu
kabupaten/kota dilakukan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota, sedangkan
penetapannya dilakukan dengan Peraturan Daerah.
Berdasarkan KepMenKes RI No. 128/MENKES/SK/II/2004 tentang
Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, struktur organisasi puskesmas
tergantung berdasarkan kegiatan dan beban tugas masing-masing puskesmas.
Sebagai acuan dapat dipergunakan pola struktur organisasi puskesmas sebagai
berikut:
a. Kepala Puskesmas
b. Unit Tata Usaha yang bertanggungjawab membantu Kepala Puskesmas dalam
pengelolaan:
 Data dan informasi
 Perencanaan dan penilaian
 Keuangan
 Umum dan pengawasan
c. Unit Pelaksana Teknis Fungsional Puskesmas
 Upaya kesehatn masyarakat, termasuk pembinaan terhadap UKBM
 Upaya kesehatan perorangan
d. Jaringan pelayanan puskesmas
 Unit puskesmas pembantu
 Unit puskesmas keliling
 Unit bidan di desa/komunitas
(Depkes RI, 2004c)
Kriteria personalia yang mengisi struktur organisasi puskesmas
disesuaikan dengan tugas dan tanggungjawab masing-masing unit puskesmas.
Khusus untuk Kepala Puskesmas kriteria tersebut dipersyaratkan harus seorang
sarjana di bidang kesehatan yang kurikulum pendidikannya mencakup kesehatan
masyarakat (Depkes RI, 2004c).
Kepala Puskesmas adalah penanggungjawab pembangunan kesehatan di
tingkat kecamatan. Sesuai dengan tanggungjawab tersebut dan besarnya peran
Kepala Puskesmas dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan di tingkat
kecamatan, maka jabatan Kepala Puskesmas setingkat dengan eselon III-B. Dalam
keadaan tidak tersedia tenaga yang memenuhi syarat untuk menjabat jabatan
eselon III-B, ditunjuk pejabat sementara yang sesuai dengan kriteria Kepala
Puskesmas yakni seorang sarjana di bidang kesehatan kesehatan yang kurikulum
pendidikannya mencakup bidang kesehatan masyarakat, dengan kewenangan yang
setara dengan pejabat tetap (Depkes RI, 2004c).

B. Pengelolaan Obat dan Perbekalan Kesehatan di Puskesmas


Pengelolaan perbekalan farmasi adalah suatu proses yang merupakan
siklus kegiatan, dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pengendalian, penghapusan, administrasi dan
pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi kegiatan pelayanan. Perbekalan
farmasi adalah sediaan farmasi yang terdiri dari obat, bahan obat, alat kesehatan,
reagensia, radio farmasi, dan gas medik (Depkes RI, 2004b).
Proses pengelolaan obat perbekalan farmasi bertujuan untuk mengelola
obat dan perbekalan farmasi yang efektif dan efisien dan melaksanakan
pengendalian mutu pelayanan. Berikut adalah siklus manajemen pengelolaan
perbekalan farmasi di puskesmas:
1. Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat dan
perbekalan kesehatan untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka
pemenuhan kebutuhan obat di puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat untuk
puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh pengelola obat dan perbekalan
kesehatan di puskesmas (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2010). Rencana tahunan puskesmas dibedakan atas dua macam,
yaitu rencana tahunan upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan
pengembangan (Depkes RI, 2004a).
Tujuan perencanaan obat adalah untuk :
a. Mendapatkan perkiraan jenis dan jumlah obat dan perbekalan kesehatan
yang sesuai kebutuhan
b. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat
c. Meningkatkan penggunaan obat secara rasional (Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
Dalam proses perencanaan kebutuhan obat per tahun, puskesmas
diminta menyediakan data pemakaian obat dengan menggunakan Laporan
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Selanjutnya instalasi
farmasi kabupaten/kota yang akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap
kebutuhan obat puskesmas di wilayah kerjanya. Ketepatan dan kebenaran
data di puskesmas akan berpengaruh terhadap ketersediaan obat dan
perbekalan kesehatan secara keseluruhan di kabupaten/kota (Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
2. Permintaan
Obat yang diperkenankan untuk disediakan di puskesmas baik jenis
maupun macamnya ditentukan setiap tahun oleh Menteri Kesehatan yang
merujuk kepada Kepmenkes No.328/MENKES/SK/VIII/2013 mengenai
Formularium Nasional yang merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan
dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sebagai acuan dalam
pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Apabila obat yang
dibutuhkan tidak tercantum dalam Formularium Nasional, dapat digunakan
obat lain secara terbatas berdasarkan persetujuan komite medik dan
Kepala/Direktur Rumah Sakit setempat (Kementrian Kesehatan RI, 2013c).
Menurut PerMenKes RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/ 2010 tentang
Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Pemerintah, maka hanya obat generik saja yang diperkenankan tersedia di
puskesmas. Dasar pertimbangan dari PerMenKes tersebut adalah:
a. Obat generik menjadi kesepakatan global untuk digunakan di seluruh
dunia bagi pelayanan kesehatan publik.
b. Obat generik mempunyai mutu dan efikasi memenuhi standar pengobatan.
c. Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan publik.
d. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi alokasi dana obat di pelayanan
kesehatan publik (Direktorat Bina Kefarmasian dan Perbekalan Kesehatan,
2010).
Permintaan obat untuk mendukung pelayanan obat di masing-masing
puskesmas diajukan oleh kepala puskesmas kepada kepala dinas kesehatan
kabupaten/kota menggunakan format LPLPO, sedangkan permintaan dari sub
unit ke kepala puskesmas dilakukan secara periodik menggunakan LPLPO
sub unit (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
Dalam pelaksanaan praktek kefarmasian di puskesmas, dilakukan kegiatan
permintaan obat sebagai berikut:
a. Permintaan rutin
Permintaan obat dilakukan sesuai dengan jadwal yang disusun oleh dinas
kesehatan kabupaten/kota untuk masing-masing puskesmas.
b. Permintaan khusus
Permintaan obat dilakukan di luar jadwal distribusi rutin apabila
kebutuhan meningkat, terjadi kekosongan, penanganan Kejadian Luar
Biasa (KLB/Bencana), obat rusak dan kadaluarsa.
Jumlah permintaan obat dapat ditentukan berdasarkan data pemakaian
obat pada periode sebelumnya, jumlah kunjungan resep, jadwal distribusi
obat dari instalasi farmasi kabupaten/kota dan sisa stok (Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
Kebutuhan obat dihitung dengan cara sebagai berikut:
SO = SK + SWK + SWT + SP
dengan catatan jumlah untuk periode yang akan datang diperkirakan sama
dengan pemakaian pada periode sebelumnya.
Perhitungan permintaan obat dapat dilakukan dengan rumus berikut:
Permintaan = SO – SS
Keterangan :
SO = stok optimum
SK = stok kerja (stok pada periode berjalan)
SWK = jumlah yang dibutuhkan pada waktu kekosongan obat
SWT = jumlah yang dibutuhkan pada waktu tunggu (lead time)
SP = stok penyangga
SS = sisa stok (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2010).
3. Penerimaan
Penerimaan adalah suatu kegiatan dalam menerima obat-obatan yang
diserahkan dari unit pengelola yang lebih tinggi kepada unit pengelola di
bawahnya. Penerimaan obat harus dilaksanakan oleh petugas pengelola obat
atau petugas lain yang diberi kuasa oleh kepala puskesmas. Penerimaan obat
bertujuan agar obat yang diterima sesuai dengan kebutuhan berdasarkan
permintaan yang diajukan oleh puskesmas (Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
Setiap penyerahan obat oleh instalasi farmasi kabupaten/kota kepada
puskesmas dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari kepala dinas
kesehatan kabupaten/kota atau pejabat yang diberi wewenang. Petugas
penerima obat bertanggung jawab atas pemeriksaan fisik, penyimpanan,
pemindahan, pemeliharaan dan penggunaan obat berikut kelengkapan catatan
yang menyertainya. Pelaksanaan fungsi pengendalian distribusi obat kepada
puskesmas pembantu dan sub unit pelayanan kesehatan lainnya merupakan
tanggung jawab kepala puskesmas. Petugas penerima obat wajib melakukan
pengecekan terhadap obat yang diserahterimakan, meliputi kemasan, jenis
dan jumlah obat, bentuk sediaan obat sesuai dengan isi dokumen LPLPO, dan
ditanda tangani oleh petugas penerima serta diketahui oleh kepala puskesmas.
Petugas penerima dapat menolak apabila terdapat kekurangan dan kerusakan
obat. Setiap penambahan obat, dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan
obat dan kartu stok (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2010).
4. Penyimpanan
Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai merupakan suatu
kegiatan pengaturan terhadap obat yang diterima agar aman (tidak hilang),
terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap terjamin,
sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Kegiatan ini bertujuan agar obat
yang tersedia di puskesmas terjamin mutu dan keamanannya (Direktorat Bina
Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010).
Penyimpanan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dengan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. bentuk dan jenis sediaan;
b. stabilitas (suhu, cahaya, kelembaban);
c. mudah atau tidaknya meledak/terbakar; dan
d. narkotika dan psikotropika disimpan dalam lemari khusus (Departemen
Kesehatan RI, 2014a).
Persyaratan gudang penyimpanan antara lain:
a. luas minimal 3 x 4 m2 dan atau disesuaikan dengan jumlah obat yang
disimpan;
b. ruangan kering dan tidak lembab;
c. memiliki ventilasi yang cukup;
d. memiliki cahaya yang cukup, namun jendela harus mempunyai pelindung
untuk menghindarkan adanya cahaya langsung dan berteralis;
e. lantai dibuat dari semen/ tegel/ keramik/ papan (bahan lain) yang tidak
memungkinkan bertumpuknya debu dan kotoran lain, bila perlu beralas
papan (palet);
f. dinding dibuat licin dan dicat warna cerah;
g. hindari pembuatan sudut lantai dan dinding yang tajam;
h. gudang digunakan khusus untuk penyimpanan obat;
i. mempunyai pintu yang dilengkapi kunci ganda;
j. tersedia lemari khusus untuk narkotika dan psikotropika yang selalu
terkunci dan terjamin keamanannya;
k. harus ada pengukur suhu dan higrometer ruangan (Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
Penyimpanan obat diatur sebagai berikut:
a. obat disusun secara alfabetis untuk setiap bentuk sediaan;
b. obat dirotasi dengan sistem FEFO (First Expired First Out) dan FIFO
(First In First Out);
c. obat disimpan pada rak;
d. obat yang disimpan pada lantai harus diletakan di atas palet;
e. tumpukan dus sebaiknya harus sesuai dengan petunjuk;
f. sediaan obat cairan dipisahkan dari sediaan padatan;
g. sera, vaksin dan supositoria disimpan dalam lemari pendingin;
h. lisol dan desinfektan diletakkan terpisah dari obat lainnya (Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
Kondisi yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan terkait mutu obat
adalah sebagai berikut:
a. Kelembaban
Kelembaban dapat mempengaruhi obat-obatan sehingga
mempercepat kerusakan. Upaya yang dilakukan untuk menghindari udara
lembab sebagai berikut :
1) ventilasi harus baik, jendela dibuka;
2) simpan obat ditempat yang kering;
3) wadah harus selalu tertutup rapat, jangan dibiarkan terbuka;
4) bila memungkinkan pasang kipas angin atau AC, semakin panas
udara di dalam ruangan maka udara semakin lembab;
5) biarkan pengering (silica gel) tetap dalam wadah tablet dan kapsul;
6) Apabila ada atap yang bocor harus segera diperbaiki (Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
b. Sinar Matahari
Obat berupa cairan, larutan dan injeksi mudah rusak karena
pengaruh sinar matahari, seperti injeksi klorpromazin yang belum
melewati tanggal kadaluarsa terpapar sinar matahari akan berubah warna
menjadi kuning terang. Pencegahan terhadap kerusakan akibat sinar
matahari dapat dilakukan upaya sebagai berikut:
1) Jendela-jendela diberi gorden,
2) Kaca jendela dicat putih (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, 2010).
c. Temperatur/Panas
Obat seperti salep, krim dan supositoria harus dihindarkan dari
udara panas karena sangat sensitif terhadap pengaruh panas dan dapat
meleleh. Sebagai contoh, salep oksitetrasiklin tinggi akan lumer pada
suhu penyimpanan sehingga mempengaruhi kualitas salep. Temperatur
perlu diperhatikan dengan kondisi ruangan obat harus sejuk, dan beberapa
jenis obat harus disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 4-8°C,
seperti vaksin, sera dan produk darah, antitoksin, insulin, injeksi
antibiotika yang sudah dipakai (sisa), injeksi oksitosin, dan injeksi metil
ergometrin (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan,
2010).
Untuk DPT, DT, TT, vaksin atau kontrasepsi tidak boleh dibekukan
karena akan menjadi rusak. Upaya pencegahan yang dilakukan sebagai
berikut :
1) Bangunan harus memiliki ventilasi/sirkulasi udara yang memadai;
2) Hindari atap gedung dari bahan metal;
3) Apabila memungkinkan dipasang Exhaust Fan atau AC (Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
d. Kerusakan Fisik
Untuk menghindari kerusakan fisik dapat dilakukan sebagai
berikut:
1) Penumpukan kerdus obat harus sesuai dengan petunjuk pada karton.
Jika tidak ada petunjuk, maka maksimal ketinggian tumpukan delapan
kerdus karena obat yang ada di dalam kerdus bagian tengah ke bawah
dapat pecah dan rusak, serta penumpukan berlebihan akan menyulitkan
pengambilan obat.
2) Hindari kontak dengan benda - benda yang tajam (Direktorat Jenderal
Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
e. Kontaminasi
Wadah obat harus selalu tertutup rapat, untuk menghindari obat
tercemar oleh bakteri atau jamur (Direktorat Bina Obat Publik dan
Perbekalan Kesehatan, 2010).
f. Pengotor
Ruangan penyimpanan harus dalam kondisi yang bersih. Apabila
ruangan penyimpanan kotor dapat mengundang tikus dan serangga lain
yang kemudian merusak obat. Selain itu etiket pada obat menjadi kotor
dan sulit terbaca (Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan, 2010).
Berikut ini merupakan kriteria pengamatan mutu obat, antara lain:
1) Tablet
a) Terjadi perubahan warna, bau dan rasa, serta lembab.
b) Kerusakan fisik seperti pecah, retak, sumbing, gripis dan rapuh.
c) Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu
obat.
d) Untuk tablet salut, disamping informasi di atas, juga basah dan
lengket satu dengan lainnya.
e) Wadah yang rusak.
2) Kapsul
a) Cangkangnya terbuka, kosong, rusak atau melekat satu dengan
lainnya.
b) Wadah rusak.
c) Terjadi perubahan warna baik cangkang ataupun lainnya.
3) Cairan
a) Cairan jernih menjadi keruh, timbul endapan.
b) Cairan suspensi tidak bisa dikocok.
c) Cairan emulsi memisah dan tidak tercampur kembali.
4) Salep
a) Konsistensi warna dan bau berubah (tengik).
b) Pot/tube rusak.
5) Injeksi
a) Kebocoran.
b) Terdapat partikel untuk sediaan injeksi yang seharusnya jernih
sehingga keruh atau partikel asing dalam serbuk untuk injeksi.
c) Wadah rusak atau terjadi perubahan warna (Direktorat Bina Obat
Publik dan Perbekalan Kesehatan, 2010).
5. Distribusi
Distribusi atau penyaluran merupakan kegiatan pengeluaran dan
penyerahan obat secara merata dan teratur untuk memenuhi kebutuhan sub-
sub unit pelayanan kesehatan. Tujuan dari kegiatan distribusi adalah untuk
memenuhi kebutuhan obat sub unit pelayanan kesehatan yang ada di wilayah
kerja puskesmas dengan jenis, jumlah dan waktu yang tepat serta mutu
terjamin. Sub-sub unit di puskesmas dan jaringannya, antara lain:
a. Sub unit pelayanan kesehatan di lingkungan Puskesmas:
b. Puskesmas pembantu;
c. Puskesmas keliling;
d. Posyandu; dan
e. Pondok bersalin desa / Polindes (Departemen Kesehatan RI, 2014a).
Pendistribusian ke sub unit (ruang rawat inap, UGD, dan lain-lain)
dilakukan dengan cara pemberian Obat sesuai resep yang diterima (floor
stock), pemberian Obat per sekali minum (dispensing dosis unit) atau
kombinasi, sedangkan pendistribusian ke jaringan Puskesmas dilakukan
dengan cara penyerahan Obat sesuai dengan kebutuhan (floor stock)
(Departemen Kesehatan RI, 2014a)
Kegiatan yang dilakukan pada saat pendistribusian obat yaitu:
a. Menentukan frekuensi distribusi.
Hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan frekuensi distribusi
obat yaitu jarak sub unit pelayanan dan biaya distribusi yang tersedia.
b. Menentukan jumlah dan jenis obat yang diberikan.
Dalam menentukan jumlah obat perlu dipertimbangkan :
1) Pemakaian rata-rata per periode untuk setiap jenis obat.
2) Sisa stok.
3) Pola penyakit yang ada, dan
4) Jumlah kunjungan di masing-masing sub unit pelayanan kesehatan.
c. Melaksanakan penyerahan obat dan menerima sisa obat dari sub-sub unit.
Penyerahan obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Puskesmas menyerahkan / mengirimkan obat dan diterima di sub unit
pelayanan.
2) Obat diambil sendiri oleh sub-sub unit pelayanan. Obat diserahkan
bersama-sama dengan formulir LPLPO sub unit yang ditandatangani
oleh penanggung jawab sub unit pelayanan puskesmas dan kepala
puskesmas sebagai penanggung jawab pemberi obat dan lembar
pertama disimpan sebagai tanda bukti penerimaan obat (Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
6. Pengendalian
Pengendalian persediaan obat merupakan kegiatan untuk memastikan
tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang
telah ditetapkan. Tujuan dari pengendalian obat yaitu agar tidak terjadi
kelebihan dan kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar (Latarrisa,
2013). Pengendalian obat terdiri dari pengendalian persediaan, pengendalian
penggunaan, dan penanganan obat hilang, rusak serta kadaluarsa.
a. Pengendalian Persediaan
Pengendalian persediaan merupakan kegiatan untuk memastikan
tercapainya sasaran yang diinginkan sesuai dengan strategi dan program
yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi kelebihan dan kekurangan atau
kekosongan obat di unit pelayanan kesehatan dasar (Latarrisa, 2013).
Dalam melakukan pengendalian persediaan diperlukan pengamatan
terhadap stok kerja, stok pengaman, waktu tunggu dan sisa stok. Untuk
mencapai kebutuhan, perlu diperhitungkan keadaan stok yang seharusnya
ada pada waktu kedatangan obat dalam persediaan, maka perlu
diperhatikan hal-hal berikut:
1) Mencantumkan jumlah stok optimum pada kartu stok.
2) Melaporkan segera kepada UPOPPK, jika terdapat pemakaian yang
melebihi rencana karena keadaaan yang tidak terduga.
3) Membuat laporan sederhana secara berkala kepada kepala puskesmas
tentang pemakaian obat tertentu yang banyak dan obat lainya yang
masih mempunyai persediaan yang banyak (Latarrisa, 2013).
Pemeriksaan besar dimaksudkan untuk mengetahui kecocokan
antara kartu stok obat dengan fisik obat, yaitu jumlah setiap jenis obat.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan setiap bulan, triwulan, semester atau
setahun sekali. Semakin sering pemeriksaan dilakukan, semakin kecil
kemungkinan terjadi perbedaan antara fisik obat dan kartu stok (Latarrisa,
2013).
b. Pengendalian Penggunaan
Pengendalian penggunaan bertujuan untuk menjaga kualitas
pelayanan obat dan meningkatkan efisiensi pemanfaatan dana.
Pengendalian penggunaan meliputi presentase penggunaan antibiotik,
presentase penggunaan injeksi, presentase rata-rata jumlah resep,
presentase penggunaan obat generik, dan kesesuaian dengan pedoman
(Latarrisa, 2013).
c. Penanganan Obat Hilang, Obat Rusak, dan Obat Kadaluarsa
Penanganan obat hilang bertujuan untuk dijadikan sebagai bukti
pertanggungjawaban kepala puskesmas sehingga diketahui persediaan obat
saat itu. Penanganan obat rusak dan kadaluarsa perlu dilakukan untuk
melindungi pasien dari efek samping penggunaan obat rusak dan
kadaluwarsa (Latarrisa, 2013).
7. Pencatatan, Pelaporan, dan Pengarsipan
Pencatatan, pelaporan, dan pengarsipan merupakan rangkaian kegiatan
dalam rangka penatalaksanaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai secara
tertib, baik Obat dan Bahan Medis Habis Pakai yang diterima, disimpan,
didistribusikan dan digunakan di Puskesmas atau unit pelayanan lainnya.
Tujuan dilakukannya pencatatan dan pelaporan yaitu sebagai bukti bahwa
kegiatan pengelolaan telah dilakukan, sebagai sumber data untuk melakukan
pengaturan dan pengendalian, dan sebagai sumber data untuk pembuat
laporan (Departemen Kesehatan RI, 2014a).
Sarana yang digunakan untuk pencatatan dan pelaporan obat di
Puskesmas adalah Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO) dan kartu stok. LPLPO yang dibuat oleh petugas Puskesmas harus
tepat data, tepat isi dan dikirim tepat waktu serta disimpan dan diarsipkan
dengan baik. LPLPO juga dimanfaatkan untuk analisis penggunaan,
perencanaan kebutuhan obat, pengendalian persediaan, dan pembuatan
laporan pengelolaan obat. Data LPLPO merupakan kompilasi dari data
LPLPO sub unit. LPLPO dibuat 3 (tiga) rangkap, diberikan ke Dinkes
Kabupaten/Kota melalui instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, untuk diisi
jumlah yang diserahkan. Setelah ditandatangani oleh kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota, satu rangkap untuk Kepala Dinas Kesehatan, satu rangkap
untuk Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, dan satu rangkap dikembalikan ke
puskesmas. LPLPO sudah harus diterima oleh Instalasi Farmasi
Kabupaten/Kota paling lambat tanggal 10 setiap bulannya (Direktorat
Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010).
8. Pemantauan dan Evaluasi
Menurut Permenkes No. 30 tahun 2014, pemantauan dan evaluasi
pengelolaan Obat dan Bahan Medis Habis Pakai dilakukan secara periodik
dengan tujuan untuk:
a) Mengendalikan dan menghindari terjadinya kesalahan dalam pengelolaan
Obat dan Bahan Medis Habis Pakai sehingga dapat menjaga kualitas
maupun pemerataan pelayanan;
b) Memperbaiki secara terus-menerus pengelolaan Obat dan Bahan Medis
Habis Pakai;
c) Memberikan penilaian terhadap capaian kinerja pengelolaan.

B. Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No 30 tahun 2014 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Pelayanan Kefarmasian
merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan untuk mengidentifikasi,
mencegah dan menyelesaikan masalah Obat dan masalah yang berhubungan
dengan kesehatan. Tuntutan pasien dan masyarakat akan peningkatan mutu
Pelayanan Kefarmasian, mengharuskan adanya perluasan dari paradigma lama
yang berorientasi kepada produk (drug oriented) menjadi paradigma baru yang
berorientasi pada pasien (patient oriented) dengan filosofi Pelayanan Kefarmasian
(pharmaceutical care). Salah satu ruang lingkup pelayanan kefarmasian di
Puskesmas yaitu pelayanan farmasi klinik.
Pelayanan farmasi klinik merupakan bagian dari Pelayanan Kefarmasian
yang langsung dan bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan Obat dan
Bahan Medis Habis Pakai dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik bertujuan untuk:
1. Meningkatkan mutu dan memperluas cakupan Pelayanan Kefarmasian di
Puskesmas.
2. Memberikan Pelayanan Kefarmasian yang dapat menjamin efektivitas,
keamanan dan efisiensi Obat dan Bahan Medis Habis Pakai.
3. Meningkatkan kerjasama dengan profesi kesehatan lain dan kepatuhan pasien
yang terkait dalam Pelayanan Kefarmasian.
4. Melaksanakan kebijakan Obat di Puskesmas dalam rangka meningkatkan
penggunaan Obat secara rasional (Departemen Kesehatan RI, 2014a).
Dalam melakukan kegiatan pelayanan kefarmasian di Puskesmas
dibutuhkan adanya standar tertentu. Standar yang digunakan adalah Standar
Kompetensi apoteker di puskesmas, yaitu :
1. mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu,
2. mampu mengambil keputusan secara profesional,
3. mampu berkomunikasi yang baik dengan pasien maupun profesi kesehatan
lainnya dengan menggunakan bahasa verbal, nonverbal maupun bahasa lokal,
4. selalu belajar sepanjang karier baik pada jalur formal maupun informal,
sehingga ilmu dan keterampilan yang dimiliki selalu baru (up to date).
Apoteker dalam melakukan pelayanan kefarmasian di Puskesmas dibantu
oleh seorang asisten apoteker (AA) (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2008).
Sarana prasarana yang dibutuhkan dalam pelayanan di Puskesmas
disesuaikan dengan kebutuhan tiap puskesmas. Kebutuhan sarana dan prasarana
tersebut berdasarkan pada luas cakupan, ketersediaan ruang rawat inap, jumlah
karyawan, angka kunjungan dan kepuasan pasien. Sarana merupakan suatu
tempat, fasilitas dan peralatan yang secara langsung terkait dengan pelayanan
kefarmasian, sedangkan prasarana merupakan tempat, fasilitas dan peralatan yang
secara tidak langsung mendukung pelayanan kefarmasian (Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinis (2006), untuk
peningkatan kualitas pelayanan kefarmasian, Puskesmas harus memiliki sarana
dan prasarana sebagai berikut:
1. Papan nama “apotek” atau “kamar obat” yang dapat terlihat jelas oleh pasien.
2. Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien.
3. Peralatan penunjang pelayanan kefarmasian, antara lain timbangan gram dan
miligram, mortir-stamper, gelas ukur, corong, rak alat-alat, dan lain-lain.
4. Tersedia tempat dan alat untuk mendisplai informasi obat bebas dalam upaya
penyuluhan pasien, misalnya untuk memasang poster, tempat brosur, leaflet,
booklet dan majalah kesehatan.
5. Tersedia sumber informasi dan literatur obat yang memadai untuk pelayanan
informasi obat antara lain Farmakope Indonesia edisi terakhir, Informasi
Spesialite Obat Indonesia (ISO) dan Informasi Obat Nasional Indonesia
(IONI).
6. Tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai.
7. Tempat penyimpanan obat khusus seperti lemari es untuk supositoria, serum
dan vaksin, dan lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan
peraturan perundangan yang berlaku.
8. Tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau komputer agar
pemasukan dan pengeluaran obat, termasuk tanggal kadaluarsa obat, dapat
dipantau dengan baik.
9. Tempat penyerahan obat yang memadai, yang memungkinkan untuk
melakukan pelayanan informasi obat.
Pelayanan kefarmasian klinik di Puskesmas meliputi Pengkajian Resep,
Penyerahan Obat, dan Pemberian Informasi Obat, Pelayanan Informasi Obat
(PIO), Konseling, Ronde/Visite Pasien (khusus Puskesmas rawat inap),
Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat (ESO) , Pemantauan Terapi Obat
(PTO), Evaluasi Penggunaan Obat (Departemen Kesehatan RI, 2014a).
1. Pengkajian Resep, Penyerahan Obat dan Pemberian Informasi Obat
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
Apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan
dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku
(Departemen Kesehatan RI, 2014b). Pelayanan resep dilakukan mulai dari
penerimaan resep oleh Apoteker dari pasien hingga penyerahan obat disertai
dengan pemberian informasi. Pelayanan resep dilakukan sebagai berikut:
a. Penerimaan Resep
Setelah menerima resep dari pasien, dilakukan kegiatan pengkajian resep
yaitu :
1) Pemeriksaan kelengkapan administratif resep, yaitu :
a) Nama, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien.
b) Nama, dan paraf dokter.
c) Tanggal resep.
d) Ruangan/unit asal resep (Derpartemen Kesehatan RI, 2014a)
2) Pemeriksaan kesesuaian farmasetik, yaitu :
a) Bentuk dan kekuatan sediaan.
b) Dosis dan jumlah Obat
c) Stabilitas dan ketersediaan
d) Aturan dan cara penggunaan
e) Inkompatibilitas (ketidakcampuran Obat) (Derpartemen Kesehatan
RI, 2014a)
3) Pertimbangkan klinik, yaitu :
a) Ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat.
b) Duplikasi pengobatan.
c) Alergi, interaksi dan efek samping Obat
d) Kontra indikasi.
e) Efek adiktif (Derpartemen Kesehatan RI, 2014a)
4) Konsultasikan dengan dokter apabila ditemukan keraguan pada resep
atau obatnya tidak tersedia (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan
Klinik, 2006).
b. Peracikan Obat
Setelah memeriksa resep, dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1) Pengambilan obat yang dibutuhkan pada rak penyimpanan
menggunakan alat, dengan memperhatikan nama obat, tanggal
kadaluwarsa dan keadaan fisik obat.
2) Peracikan obat.
3) Pemberian etiket warna putih untuk obat dalam/oral dan etiket warna
biru untuk obat luar, serta menempelkan label “kocok dahulu” pada
sediaan obat dalam bentuk larutan.
4) Memasukkan obat ke dalam wadah yang sesuai dan terpisah untuk obat
yang berbeda untuk menjaga mutu obat dan penggunaan yang salah
(Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
c. Penyerahan Obat
Setelah peracikan obat, dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1) Sebelum obat diserahkan kepada pasien harus dilakukan pemeriksaan
kembali mengenai penulisan nama pasien pada etiket, cara penggunaan
serta jenis dan jumlah obat.
2) Penyerahan obat kepada pasien hendaklah dilakukan dengan cara yang
baik dan sopan, mengingat pasien dalam kondisi tidak sehat mungkin
emosinya kurang stabil.
3) Memastikan bahwa yang menerima obat adalah pasien atau keluarga
pasien.
4) Memberikan informasi cara penggunaan obat dan hal-hal lain yang
terkait dengan obat tersebut, antara lain manfaat obat, makanan dan
minuman yang harus dihindari, kemungkinan efek samping, cara
penyimpanan obat, dan lain-lain (Direktorat Bina Farmasi Komunitas
dan Klinik, 2006).
2. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan pelayanan yang
dilakukan oleh Apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, jelas dan
terkini kepada dokter, apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya dan
pasien. Tujuan dilakukannya PIO yaitu :
a. Menyediakan informasi mengenai Obat kepada tenaga kesehatan lain di
lingkungan Puskesmas, pasien dan masyarakat.
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan
dengan Obat (contoh: kebijakan permintaan Obat oleh jaringan dengan
mempertimbangkan stabilitas, harus memiliki alat penyimpanan yang
memadai).
c. Menunjang penggunaan Obat yang rasional (Departemen Kesehatan RI,
2014a).
Kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan PIO antara lain :
a. Memberikan dan menyebarkan informasi kepada konsumen secara pro
aktif dan pasif.
b. Menjawab pertanyaan dari pasien maupun tenaga kesehatan melalui
telepon, surat atau tatap muka.
c. Membuat buletin, leaflet, label Obat, poster, majalah dinding dan lain-lain.
d. Melakukan kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap,
serta masyarakat.
e. Melakukan pendidikan dan/atau pelatihan bagi tenaga kefarmasian dan
tenaga kesehatan lainnya terkait dengan Obat dan Bahan Medis Habis
Pakai.
f. Mengoordinasikan penelitian terkait Obat dan kegiatan Pelayanan
Kefarmasian (Departemen Kesehatan RI, 2014a).
Pelayanan informasi obat (PIO) harus benar, jelas, mudah dimengerti,
akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini sangat diperlukan dalam upaya
penggunaan obat yang rasional oleh pasien. Sumber informasi obat adalah
Buku Farmakope Indonesia, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO),
Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI), Farmakologi dan Terapi, serta
buku-buku lainnya (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2006).
3. Konseling
Konseling merupakan suatu proses untuk mengidentifikasi dan
penyelesaian masalah pasien yang berkaitan dengan penggunaan Obat pasien
rawat jalan dan rawat inap, serta keluarga pasien. Tujuan dilakukannya
konseling adalah memberikan pemahaman yang benar mengenai Obat kepada
pasien/keluarga pasien antara lain tujuan pengobatan, jadwal pengobatan,
cara dan lama penggunaan Obat, efek samping, tanda-tanda toksisitas, cara
penyimpanan dan penggunaan Obat. Pasien yang mendapat konseling yaitu
pasien dengan kriteria rujukan dokter, pasien dengan penyakit kronis, pasien
dengan obat yang berindeks terapetik sempit dan poli farmasi, pasien geriatri,
pasien pediatri, pasien pulang sesuai dengan lima kriteria yang telah
disebutkan sebelumnya (Departemen Kesehatan RI, 2014a).
Kegiatan yang dilakukan dalam konseling yaitu :
a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan pasien.
b. Menanyakan hal-hal yang menyangkut Obat yang dikatakan oleh dokter
kepada pasien dengan metode pertanyaan terbuka (open-ended question),
misalnya apa yang dikatakan dokter mengenai Obat, bagaimana cara
pemakaian, apa efek yang diharapkan dari Obat tersebut, dan lain-lain.
c. Memperagakan dan menjelaskan mengenai cara penggunaan Obat
d. Verifikasi akhir, yaitu mengecek pemahaman pasien, mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan cara penggunaan Obat
untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
4. Ronde / Visite Pasien
Ronde/ visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap
yang dilakukan secara mandiri atau bersama tim profesi kesehatan lainnya
terdiri dari dokter, perawat, ahli gizi, dan lain-lain. Tujuan kegiatan ronde /
visite yaitu :
a. Memeriksa obat pasien.
b. Memberikan rekomendasi kepada dokter dalam pemilihan Obat dengan
mempertimbangkan diagnosis dan kondisi klinis pasien.
c. Memantau perkembangan klinis pasien yang terkait dengan penggunaan
Obat.
d. Berperan aktif dalam pengambilan keputusan tim profesi kesehatan dalam
terapi pasien.
Dalam melakukan visite, Apoteker dapat melakukan visite mandiri
atau visite bersama tim (dokter dan perawat). Berikut hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam melakukan kegiatan visite.
a. Kegiatan visite mandiri:
1) Untuk Pasien Baru
a) Apoteker memperkenalkan diri dan menerangkan tujuan dari
kunjungan.
b) Memberikan informasi mengenai sistem pelayanan farmasi dan
jadwal pemberian Obat.
c) Menanyakan Obat yang sedang digunakan atau dibawa dari rumah,
mencatat jenisnya dan melihat instruksi dokter pada catatan
pengobatan pasien.
d) Mengkaji terapi Obat lama dan baru untuk memperkirakan masalah
terkait Obat yang mungkin terjadi.
2) Untuk pasien lama dengan instruksi baru
a) Menjelaskan indikasi dan cara penggunaan Obat baru
b) Mengajukan pertanyaan apakah ada keluhan setelah pemberian Obat.
3) Untuk semua pasien
a) Memberikan keterangan pada catatan pengobatan pasien.
b) Membuat catatan mengenai permasalahan dan penyelesaian masalah
dalam satu buku yang akan digunakan dalam setiap kunjungan.
b. Kegiatan visite bersama tim:
1) Melakukan persiapan yang dibutuhkan seperti memeriksa catatan
pegobatan pasien dan menyiapkan pustaka penunjang.
2) Mengamati dan mencatat komunikasi dokter dengan pasien dan/atau
keluarga pasien terutama tentang Obat.
3) Menjawab pertanyaan dokter tentang Obat.
4) Mencatat semua instruksi atau perubahan instruksi pengobatan, seperti
Obat yang dihentikan, Obat baru, perubahan dosis dan lain-lain.
5. Pelayanan Kefarmasian di Rumah (Home Pharmacy Care)
Apoteker sebagai pemberi layanan diharapkan juga dapat melakukan
Pelayanan Kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk
kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya.
(Departemen Kesehtan RI, 2014b). Untuk aktivitas ini harus dibuat catatan
berupa catatan pengobatan pasien atau patient medication record (Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2008).
Setelah dilakukan konseling, pasien yang memiliki kemungkinan
mendapat risiko masalah terkait Obat misalnya komorbiditas, lanjut usia,
lingkungan sosial, karateristik Obat, kompleksitas pengobatan, kompleksitas
penggunaan Obat, kebingungan atau kurangnya pengetahuan dan
keterampilan tentang bagaimana menggunakan Obat dan/atau alat kesehatan
perlu dilakukan pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care)
yang bertujuan tercapainya keberhasilan terapi Obat. Pasien rawat inap yang
telah pulang ke rumah ada kemungkinan terputusnya kelanjutan terapi dan
kurangnya kepatuhan penggunaan Obat. Untuk itu, perlu juga dilakukan
pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care) agar terwujud
komitmen, keterlibatan, dan kemandirian pasien dalam penggunaan Obat
sehingga tercapai keberhasilan terapi Obat (Departemen Kesehatan RI,
2014a).
6. Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat (ESO)
Pemantauan dan Pelaporan Efek Samping Obat merupakan kegiatan
pemantauan setiap respon terhadap obat yang merugikan atau tidak
diharapkan yang terjadi pada dosis normal yang digunakan pada manusia
untuk tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi fungsi
fisiologis. Tujuan dilakukan pemantauan efek samping obat yaitu :
a. Menemukan efek samping Obat sedini mungkin terutama yang berat, tidak
dikenal dan frekuensinya jarang.
b. Menentukan frekuensi dan insidensi efek samping Obat yang sudah sangat
dikenal atau yang baru saja ditemukan (Departemen Kesehatan RI, 2014a).
Kegiatan yang dilakukan antara lain
a. Menganalisis laporan efek samping Obat.
b. Mengidentifikasi Obat dan pasien yang mempunyai resiko tinggi
mengalami efek samping Obat.
c. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
d. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
(Departemen Kesehatan RI, 2014a).
7. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Pemantauan Terapi Obat merupakan proses yang memastikan bahwa
seorang pasien mendapatkan terapi Obat yang efektif, terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping. Tujuan dilakukan
pemantauan terapi obat yaitu :
a. Mendeteksi masalah yang terkait dengan Obat.
b. Memberikan rekomendasi penyelesaian masalah yang terkait dengan Obat
(Departemen Kesehatan RI, 2014a).
Pemantauan terapi obat dilakukan pada pasien dengan kriteria sebagai
berikut :
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima Obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multidiagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima Obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima Obat yang sering diketahui menyebabkan reaksi Obat yang
merugikan(Departemen Kesehatan RI, 2014a).
Kegiatan yang dilakukan antara lain :
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
b. Membuat catatan awal.
c. Memperkenalkan diri pada pasien.
d. Memberikan penjelasan pada pasien.
e. Mengambil data yang dibutuhkan.
f. Melakukan evaluasi.
g. Memberikan rekomendasi (Departemen Kesehatan RI, 2014a).
8. Evaluasi Penggunaan Obat
Evaluasi penggunaan obat merupakan kegiatan untuk mengevaluasi
penggunaan Obat secara terstruktur dan berkesinambungan untuk menjamin
Obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman dan terjangkau (rasional).
Tujuan dilakukan evaluasi penggunaan obat yaitu:
a. Mendapatkan gambaran pola penggunaan Obat pada kasus tertentu.
b. Melakukan evaluasi secara berkala untuk penggunaan Obat tertentu
(Departemen Kesehatan RI, 2014a).
Daftar Pustaka

Departemen Kesehatan RI, 2004a, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40


tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2004b, Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan
Farmasi di Rumah Sakit, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2004c, Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 tentang Kebijakan Dasar
Pusat Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2006, Pedoman Pelayanan


Kefarmasian di Puskesmas, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, 2008, Modul TOT Pelayanan
Kefarmasian di Puskesmas, Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2010, Materi


Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Puskesmas, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI, 2013a, Buku Pegangan Sosialisasi Jaminan


Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI, 2013b, Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 71/MENKES/SK/II/2013 tentang Pelayanan Kesehatan
Pada Jaminan Kesehatan Nasional, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI, 2013c, Keputusan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 328/MENKES/SK/VIII/2013 tentang Formularium
Nasional, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
Departemen Kesehatan RI, 2014a, Peraturan Menteri Kesehatan RI No 30 tahun
2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Departemen Kesehatan RI, 2014b, Peraturan Menteri Kesehatan RI No 35 tahun


2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Latarrisa, A. Y., 2013, Kegiatan Kefarmasian Puskesmas, Stikes Panakukkang,


Makasar.

Anda mungkin juga menyukai