Anda di halaman 1dari 88

BAB II PERANAN, FUNGSI, DAN TUGAS APOTEKER DI APOTEK KIMIA FARMA

2.1

Apotek

2.1.1 Pengertian Apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332 tahun 2002 tentang Perubahan Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek pada Bab I pasal 1, apotek adalah suatu suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran Sediaan farmasi, Perbekalan Kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan kefarmasian pada Bab I pasal 1, Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Dengan demikian, apotek berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang bermutu baik dan keabsahan terjamin. Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yang dimaksud dengan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

2.1.2 Landasan Hukum Apotek Apotek merupakan satu diantara sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang diatur dalam: a. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, b. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. c. Undang-Undang no. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

d. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.

184/MENKES/PER/II/1995. e. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/MENKES/PER/V/2011 f. Peraturan Pemerintah No. 25 taun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 mengenai apotek. g. Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. h. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. i. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

2.1.3 Tugas dan Fungsi Apotek Tugas dan fungsi apotek berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Apotek adalah sebagai berikut: a. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. b. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya kegiatan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat. c. Sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata. d. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat.

2.1.4 Persyaratan Apotek

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, pada pasal 6 disebutkan persyaratan apotek adalah sebagai berikut: a. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker yang telah memenuhi persyaratan baik yang bekerjasama dengan pemilik sarana atau tidak, harus siap dengan tempat (lokasi dan bangunan), perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. b. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi. c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1332/MENKES/SK/X/2002. Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apotek (SIA). SIA adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri Kesehatan kepada apoteker atau apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu. Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan sebuah apotek yaitu: a. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) Sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 yang disempurnakan dengan tentang Peraturan Pekerjaan Menteri Kefarmasian, Kesehatan apoteker No. yang

889/MENKES/PER/V/2011

melaksanakan pekerjaan kefarmasian di apotek wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). STRA ini dapat diperoleh jika seorang apoteker memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Memiliki ijasah apoteker, bagi peserta pendidikan profesi apoteker yang telah lulus pendidikan profesi apoteker. 2) Memiliki sertifikat kompetensi apoteker yang berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk setiap 5 (lima) tahun melalui uji kompetensi profesi apabila apoteker tetap akan menjalankan pekerjaan kefarmasian. 3) Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji apoteker. 4) Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktek.

5) Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Alur untuk memperoleh SIPA secara skematis dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Alur seorang apoteker mendapatkan SIPA/SIKA. SIPA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila memenuhi persyaratan agar Apoteker dapat memperoleh SIPA untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Apotek. SIPA dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. b. Persyaratan Lokasi dan Tempat Berdasarkan PerMenkes No. 992/MENKES/PER/X/1993, lokasi apotek tidak lagi ditentukan harus memiliki jarak minimal dari apoyek lain dan sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi, namun sebaiknya harus mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan, jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, lingkungan yang higienis dan factor-faktor lainnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat dan harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. c. Persyaratan Bangunan dan Kelengkapan. Selanjutnya berdasarkan PerMenkes No. 922/MENKES/PER/X/1993 luas apotek tidak diatur lagi, namun harus memenuhi persyaratan teknis, sehingga kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi serta kegiatan pemeliharaan perbekalan farmasi dapat terjamin. Bangunan apotek setidaknya terdiri dari: 1) Ruang tunggu pasien

2) Ruang peracikan dan penyerahan obat 3) Ruang kerja apoteker pengelola apotek (APA) 4) Ruang penyimpanan obat 5) Ruang tempat pencucian alat 6) Kamar kecil (WC) Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan: 1) Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan 2) Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi apotek 3) Alat pemadam kebakaran yang berfungsi dengan baik 4) Ventilasi dan system sanitasi yang baik 5) Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor Surat Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telepon apotek (bila ada) d. Persyaratan Perlengkapan Apotek 1) Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan a) Timbangan milligram dengan anak timbangan yang sudah ditara b) Timbangan gram dengan anak timbangan yang sudah ditara c) Perlengkapan lain disesuaikan dengan kebutuhan 2) Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi a) Lemari dan rak untuk menyimpan obat b) Lemari pendingin c) Lemari untuk menyimpan narkotika dan psikotropika 3) Wadah pengemas dan pembungkus a) Etiket b) Wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat 4) Alat dan perlengkapan laboratorium untuk pengujian sederhana seperti Erlenmeyer, gelas ukur, batang pengaduk dan sebagainya. 5) Alat administrasi a) Blanko pesanan obat b) Blanko kartu stok obat c) Blanko salinan resep

d) Blanko faktur dan blanko nota penjualan e) Buku pesanan narkotika f) Buku pesanan obat psikotropika g) Form laporan obat narkotika 6) Buku-buku standar yang diwajibkan a) Farmakope Indonesia edisi terbaru 1 buah b) Kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek

2.1.5 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1332/MENKES/SK/X/2002, dijelaskan bahwa APA adalah Apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Sesuai dengan PerMenkes No. 922/MENKES/PER/X/1993, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek maka seorang Apoteker Pengelola Apotek harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Ijazahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan b. Telah mengucapkan sumah/janji sebagai apoteker c. Memiliki Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) dari Menteri Kesehatan d. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai apoteker e. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di apotek lain Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1332/MENKES/SK/X/2002 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 juga disebutkan beberapa ketentuan mengenai Apoteker Pengelola Apotek, antara lain: a. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker Pendamping, dan apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotek menunjuk Apoteker Pengganti. Penunjukan tersebut harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.

b. Apoteker pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. c. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus-menerus, Surat Izin Apotek atas nama apoteker yang bersangkutan dicabut. d. Apoteker Pengelola Apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping maupun Apoteker Pengganti di dalam pengelolaan apotek. e. Apoteker Pendamping bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas menggantikan Apoteker Pengelola Apotek. f. Dalam melaksanakan pengelolaan apotek, APA dapat dibantu oleh Asisten Apoteker yang bekerja melakukan pekerjaan kefarmasian di bawah pengawasan apoteker.

2.1.6 Tata Cara Perizinan Apotek Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu: a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh formulir model APT-1. b. Dengan manggunakan Formulir APT-2, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis Kepada Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai POM) untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan. c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh formulir APT-3. d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (b) dan (c) tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan menggunakan contoh formulir model APT-4.

e. Dalam jangka waktu 12 hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (c) atau pernyataan ayat (d), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan SIA dengan menggunakan contoh formulir model APT-5. f. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (c) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-6. g. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (f), apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 bulan sejak tanggal Surat Penundaan. h. Dalam hal apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka penggunaan sarana yang dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana. i. Pemilik sarana yang dimaksud ayat (h) harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam Surat pernyataan yang bersangkutan. j. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan Apoteker Pengelola Apotek dan/atau persyaratan apotek, atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya, dengan menggunakan contoh formulir model APT-7. Wewnang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas kesehatan Kabupaten/Kota. Selanjutnya, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.

2.2

Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek merupakan segala kegiatan yang dilakukan oleh seorang apoteker untuk memenuhi tugas dan fungsi dari apotek. Seorang apoteker, dalam menjalankan profesi apotekernya di apotek, tidak hanya pandai sebagai penanggung jawab teknis kefarmasian;

melainkan juga dapat mengelola apotek sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan tanpa harus menghilangkan fungsi sosialnya di masyarakat. Pengelolaan apotek dibedakan atas pengelolaan teknis farmasi dan pengelolaan non teknis farmasi. A. Pengelolaan Teknis Farmasi

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/Menkes/SK/2002, Bab VI pasal 10, di bidang kefarmasian pengelolaan apotek meliputi : a. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, perubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. c. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi: 1. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. 2. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya, mutu obat dan perbekalan lainnya. Hal lainnya yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek adalah : a. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. b. Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat digunakan atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang telah ditetapkan. B. Pengelolaan Non Teknis Farmasi

Pengelolaan ini meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan, personalia, kegiatan material (arus barang) dan bidang lainnya yang berhubungan dengan apotek.

2.2.1 Pelayanan Apotek

Agar Phamaceutical Care tercapai, pelayanan yang optimal terhadap pasien perlu dilakukan. Pelayanan adalah suatu upaya penjual untuk memenuhi ekspektasi yang menjadi kepuasan konsumen, sehingga kita harus mampu memberikan hal hal yang menjadi ekspektasi utama setiap konsumennya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 992/Menkes/Per/X/1993 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek pada Bab VII pasal 14 sampai 22 dijelaskan bahwa pelayanan apotek adalah sebagai berikut : a. Pasal 14 1) Apoteker wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan. 2) Pelayanan resep tersebut sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek. b. Pasal 15 1) Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang melandasi pada kepentingan masyarakat. 2) Apoteker tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat paten. 3) Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tetulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat. 4) Apoteker wajib memberikan informasi : Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. Penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat.

c. Pasal 16 1) Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. 2) Apabila karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.

d. Pasal 17 1) Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.

2) Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun. 3) Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwewenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. e. Pasal 18 1) Apoteker pengelola apotek, apoteker pendamping atau apoteker pengganti diizinkan untuk menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebgai daftar obat wajib apotik (DOWA). 2) DOWA tersebut ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. f. Pasal 19 1) Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek dapat menunjuk apoteker pendamping. 2) Apabila apoteker pengelola apotek dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, apoteker pengelola apotek dapat menunjuk apoteker pengganti. 3) Penunjukan yang dimaksud di atas harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dengan menggunakan formulir model ATP-9. 4) Apoteker pendamping dan apoteker pengganti wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. g. Pasal 20 Apoteker pengelola apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker pendamping dan apoteker pengganti dalam pengelolaan apotek. h. Pasal 21 Apoteker pendamping bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas menggantikan apoteker pengelola apotek. i. Pasal 22 1) Dalam melaksanakan pengelolaan apotek, apoteker pengelola apotek dapat dibantu oleh asisten apoteker.

2) Asisten apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek dibawah pengawasan apoteker.

Dengan semakin meningkatnya persaingan pasar banyak perusahaan mengembangkan strategi jitu dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan, salah satunya adalah dengan memberikan pelayanan prima yaitu jika perlakuan yang diterima oleh pelanggan lebih baik daripada yang diharapkan, maka hal tersebut dianggap merupakan pelayanan yang bermutu tinggi. Dalam mewujudkan pelayanan yang prima maka suatu perusahaan dalam hal ini adalah apotek, maka perlu ditetapkan standar pelayanan farmasi di apotek. Tujuan dari standar pelayanan ini adalah: a. Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak professional b. Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar. c. Pedoman dalam pengawasan praktek apoteker d. Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI NO. 1027/MENKES/K/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, maka apoteker yang bertugas di apotek juga berperan dalam pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek yang meliputi : A. Pengelolaan Sumber Daya Manusia Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan: a. b. c. d. e. f. g. h. B. Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik Mengambil keputusan yang tepat Kemampuan berkomunikasi antar profesi Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner Kemampuan mengelola SDM secara efektif Selalu belajar sepanjang karier Membantu memberi pendidikan Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan Pengelolaan Sarana dan Prasarana
Apoteker di apotek berperan dalam mengelola dan menjamin bahwa :

a. b. c. d.

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata Apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan.

e.

Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling.

f.

Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.

g.

Apotek memiliki : 1) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. 2) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. 3) Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien 4) Ruang racikan. 5) Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.

h.

Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

2.2.2 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya Apoteker berperan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya untuk menjamin agar pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out). a. Perencanaan.

Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan : a. Pola penyakit. b. Kemampuan masyarakat. c. Budaya masyarakat. b. Pengadaan. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. c. Penyimpanan. 1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, kontaminasi harus dicegah dan informasi (sekurang-kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa) yang jelas pada wadah baru harus ditulis. 2. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan.

2.2.3 Pengelolaan Administrasi Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi : 1. Administrasi umum. Pencatatan, pengarsipan, pelaporan, narkotika, psikotropika, dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Administrasi pelayanan. Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

2.2.4 Pelaksanaan Pelayanan di Apotek a) Skrining resep Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1) Persyaratan Administratif : a. Nama, SIP dan alamat dokter. b. Tanggal penulisan resep.

c. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep. d. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. e. Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang minta. f. Cara pemakaian yang jelas. g. Informasi lainnya. 2) Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. 3) Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. b) Penyiapan obat 1) Peracikan Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. 2) Etiket Etiket harus jelas dan dapat dibaca 3) Kemasan obat yang diserahkan Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. 4) Penyerahan Obat Sebelum obat diserahkan pada pasien, harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. 5) Informasi Obat Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.

Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. 6) Konseling Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya,. 7) Monitoring Penggunaan Obat Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya. c) Promosi dan Edukasi Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet /brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya. d) Pelayanan residensial (Home Care) Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanankefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan pengobatan penyakit kronis lainnya. Apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record) untuk aktivitas ini. Berdasarkan PerMenkes No. 992/MENKES/PER/X/1993 Tentag Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, disebutkan beberapa ketentuan tentang pelayanan apotek antara lain sebagai berikut: a. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan. Pelayanan resep tersebut sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek. b. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

c. Apoteker tidak diizinkan mengganti obat generic yang tertulis di dalam resep dengan obat paten. d. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis di dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat. e. Apoteker wajib memberikan informasi: 1) Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. 2) Penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat. f. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atas penulisan resep tang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep. g. h. Salinan resep harus ditanda tangani oleh apoteker. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun. i. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwewenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. j. Apoteker pengelor pengelola apotek, apoteker pendamping atau apoteker pengganti diizinkan untuk menjual obat keras yang dinyatakan sebagai daftar obat wajib apotek (DOWA) tanpa resep. DOWA tersebut ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

2.2.5 Pencabutan Surat Izin Apotek Apotek harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut Surat Izin Apotek apabila: a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan atau persyaratan sebagai apoteker pengelola apotek. b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam pengelolaan apotek dan pelayanan kefarmasian.

c.

Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus-menerus.

d.

Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Obat Keras No. St. 1937 N. 541, UndangUndang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.

e. f.

Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) Apoteker Pengelola Apotek dicabut. Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang obat.

g.

Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan apotek. Pelaksanaan pencabutan izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan:

a.

Peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak 3 kali berturutturut dengan tenggang waktu masing-masing 2 bulan.

b.

Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin kegiatan apotek. Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan

memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Keputusan pencabutan Surat Izin Apotek dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota disampaikan langsung kepada APoteker Pengelola Apotek dengan

menggunakan contoh formulir model APT-15,dengan tembusan disampaikan kepada Menteri dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat serta kepada Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Apabila Surat Izin Apotek dicabut, APA atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai dengan tata cara sebagai berikut: a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, psikotropika, obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia di apotek. b. Narkotika, psikotropika, dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci.

c.

Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud di atas.

2.3

Pengelolaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud

narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu: a. Narkotika Golongan I, yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: opium, heroin dan kokain. b. Narkotika Golongan II, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dala terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: morfin dan petidin. c. Narkotika Golongan III, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein. Undang-undang tentang narkotika bertujuan untuk: a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. b. Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika. c. d. Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, maka diadakan pengawasan terhadap penggunaan narkotika yang meliputi pembelian, penyimpana, penjualan, administrasi serta penyampaian laporannya. Untuk mempermudah pengawasannya tersebut maka pemerintah

menetapkan PT. Kimia Farma sebagai satu-satunya perusahaan yang diizinkan untuk memproduksi, mengimpor dan mendistribusikan narkotika di wilayah Indonesia. Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan-kegiatan: a. Pemesanan narkotika Pengadaan narkotika di apotek dilakukan dengan pesanan tertulis melalui Surat Pesanan Narkotika kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Surat Pesanan narkotika harus ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK, SIA dan stempel apotek. Satu Surat pesanan terdiri dari rangkap empat dan hanya dapat digunakan untuk memesan satu jenis obat narkotika. b. Penyimpanan narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa narkotika yang berada dalam penguasaan industry farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehata masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus. Adapun Tata Cara Penyimpanan Narkotika diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/MENKES/PER/1978, pada pasal 5 disebutkan bahwa apotek harus mempunyai tempat khusus untuk penyimpanan narkotika yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. 2) Harus mempunyai kunci yang kuat. 3) Lemari dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika; bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari. 4) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40x80x100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat menempel pada tembok atau lantai. Selain itu pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/MENKES/PER/I/1978 juga disebutkan bahwa: 1) Apotek dan rumah sakit harus menyimpan narkotika dalam tempat khusus sebagaimana tang dimaksud dalam pasal 5 dan harus dikunci dengan baik.

2) Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika. 3) Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan. 4) Lemari khusus harus ditaruh pada tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum. c. Pelayanan resep yang mengandung narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa: 1) Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 2) Narkotika hanya dapat diserahkan pada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter. 3) Apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar salinan resep dokter. Selain itu berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jendral Pengawasa Obat dan Makanan No. 336/E/SE/1997 disebutkan bahwa: 1) Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun esep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali 2) Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep aslinya. 3) Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika. d. Pelaporan narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa industry farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan dan menyimpan laoran berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya. Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan penggunaan narkotika setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Dalam laporan tersebut diuraikan mengenai pembelian/pemasukan dan penjualan/ pengeluaran narkotika yang ada dalam tanggung jawabnya

dan ditandatangani oleh APA. Laporan tersebut ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada: 1) Balai besar POM DKI Jakarta 2) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. 3) Arsip Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari: 1) Laporan pemakaian bahan baku narkotika 2) Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika. 3) Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin e. Pemusnahan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/MENKES/PER/I/1978, pada pasal 9 disebutkan bahwa pemegang izin khusus dan atau APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan bahwa pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal: 1) Diproduksi tanpa memenuhi standard an persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi. 2) Kadaluarsa 3) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan. 4) Berkaitan dengan tindak pidana. Pemusnahan narkotika dilaksanakan oleh pemerintah, orang atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Pelaksanaan pemusnahan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi persyaratan pada apotek adalah sebagai berikut: 1) Bagi apotek di tingkat propinsi, pelaksanaan pemusnahan disaksikan oleh petugas dari Balai POM setempat. 2) Bagi apotek ditingkat Kabupaten/Kota pemusnahan disaksikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II.

Pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan paling sedikit tiga rangkap. Berita acara pemusnahan itu memuat: 1) Hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan. 2) Nama pemegang izin khusus atau Apoteker Pengelola Apotek. 3) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut. 4) Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan. 5) Cara pemusnahan. 6) Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi. Kemudian berita acara tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas Pelayanan Kesehatan, dengan tembusan: 1) Balai besar POM DKI Jakarta 2) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. 3) Arsip f. Pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan narkotika. Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 14 ayat (4) disebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan/atau pelaporan narkotika dikenai sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa: teguran, peringatan, denda administratif, penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin.

2.4

Pengelolaan psikotropika Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, yang dimaksud

psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah atau sintesis bukan narkotika, yang berhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan yaitu: a. Psokotropika golongan I, yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: lisergida dan meskalina.

b.

Psikotropika golongan II, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin dan metamfitamin.

c.

Psikotropika golongan III, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital, pentobarbital dan pentazosina.

d.

Psikotropika golongan IV, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: barbital, alprazolam dan diazepam. Ruang lingkup pengaturan psikotropika dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1997 ini

adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Tujuan pengaturan di bidang psikotropika yaitu: a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. b. c. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika. Memberantas peredaran gelap psikotropika. Pengelolaan psikotropika meliputi kegiatan-kegiatan: a. Pemesanan psikotropika Tata cara pemesanan obat-obat psikotropika sama dengan pemesanan obat lainnya yakni dengan surat pemesanan yang sudah ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK yang dikirim ke Pedagang Besar Farmasi (PBF). Surat pemesanan tersebut dibuat rangkap dua dan setiap surat pesanan dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika. b. Penyimpanan psikotropika Obat golongan psikotropika disimpan terpisah dengan obat-obat lain dalam suatu rak atau lemari khusus. Pemasukan dan pengeluaran psikotropika dicatat dalam kartu stok psikotropika. c. Peyerahan psikotropika

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, pada pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien berdasarkan resep dokter. d. Pelaporan psikotropila Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, disebutkan bahwa pabrik obat, PBF, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan wajib melaporkannya kepada Menteri Kesehatan secara berkala. e. Pemusnahan psikotropika Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, pada pasal 53 disebutkan bahwa pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal: 1) Berhubungan dengan tindak pidana 2) Diproduksi tanpa memenuhi standard an persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika. 3) Kadaluarsa 4) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Setiap pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara. Berita acara pemusnahan tersebut memuat: 1) Hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan. 2) Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek. 3) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut. 4) Nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan. 5) Cara pemusnahan. 6) Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi.

2.5

Pengertian Apoteker Pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009, apotek didefinisikan sebagai

sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker, dimana

apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Presiden RI1, 2009). Apoteker yang mengabdikan diri di apotek terdiri dari Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan Apoteker Pendamping. Apoteker Pengelola Apotek adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA), sedangkan Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping APA dan/atau menggantikannya di jam-jam tertentu pada hari buka apotek. APA memegang peranan penting terhadap kelangsungan izin apotek, karena izin suatu apotek dapat digunakan selama apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan dan APA-nya dapat melaksanakan tugasnya dan masih memenuhi persyaratan. Untuk menjadi APA, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Ijazahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan. 2. Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai apoteker. 3. Memiliki Surat Izin dari Menteri. 4. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai apoteker. 5. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di apotek lain. Apoteker Pengelola Apotek (APA) harus berada di apotek selama apotek beroperasi karena ia bertanggung jawab terhadap segala hal yang terjadi di apotek. Jika APA berhalangan hadir pada waktu tertentu, maka tugasnya dapat digantikan oleh Apoteker Pendamping. Jika APA dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melaksanakan tugasnya, maka harus ditunjuk Apoteker Pengganti untuk menggantikannya sebagai penanggung jawab apotek. Apoteker Pengganti harus telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak sebagai APA di apotek lain (Menkes RI, 2002).

2.5.1 Peranan Apoteker di Apotek Ada tiga peranan yang harus dijalankan oleh apoteker di apotek (Hartono, 1998), yaitu: 1. Sebagai profesional di bidang kefarmasian (penanggung jawab teknis kefarmasian) sesuai dengan keilmuan tentang pekerjaan kefarmasian. Apoteker harus memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap masalah kesehatan yang sedang dihadapi oleh pasien (caring), kompeten di bidang kefarmasian (competent), dan memiliki komitmen (commited). Selain itu,

apoteker berkewajiban untuk menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin kepada masyarakat. 2. Sebagai manajer yang harus mampu mengelola apotek dengan baik sehingga semua kegiatan yang berjalan di apotek berlangsung secara efektif dan efisien. Apoteker harus mempunyai kemampuan manajerial yang baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen, yang meliputi: a. Kepemimpinan (leading), merupakan kemampuan untuk mengarahkan orang lain, dalam hal ini anggota atau bawahan, untuk bekerja dengan rela sesuai dengan apa yang diinginkannya, dalam mencapai tujuan tertentu. Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan dengan adanya sasaran dan program yang jelas, bekerja sistematis dan efektif, mempunyai kepekaan terhadap hubungan antar manusia, dapat membentuk tim dengan kinerja tinggi, dan dapat mengerjakan tugas-tugas dengan efektif dan efisien. Untuk dapat memimpin apotek dengan baik maka seorang apoteker harus mempunyai pengetahuan tentang pembukuan, administrasi, personalia, dan lain-lain. b. Perencanaan (planning), sebagai pengelola apotek, apoteker harus mampu menyusun perencanaan dari suatu pekerjaan, cara dan waktu pengerjaan, serta siapa yang mengerjakannya. Apoteker harus mampu menyusun rencana agar tujuan apotek tercapai. c. Pengorganisasian (organizing), apoteker harus mampu mengatur dan menentukan perkerjaan yang akan dilaksanakan oleh karyawan dengan efektif dan efisien, sesuai dengan pendidikan dan pengalaman. Pengaturan ini dapat dilakukan dengan mengelompokkan pekerjaan sesuai keahlian karyawan, menentukan tanggung jawab dan wewenang untuk tiap pekerjaan dan hasil yang hendak dicapai, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan karyawan. d. Pelaksanaan (actuating), apoteker harus dapat menjadi pemimpin yang menjadi panutan karyawan, yaitu mengetahui permasalahan, dapat menunjukkan jalan keluar terhadap masalah yang sedang dihadapi, dan turut berperan aktif dalam kegiatan. e. Pengawasan (controlling), apoteker harus selalu melakukan evaluasi setiap kegiatan dan mengambil tindakan demi perbaikan dan peningkatan kualitas, apakah semua sudah berjalan dengan baik ke arah tercapainya tujuan, dengan membandingkan hasilnya dengan suatu standar tertentu. Dengan adanya pengawasan maka penyimpangan-

penyimpangan dari sasaran yang telah ditetapkan dapat dicegah dan memperbaikinya apabila penyimpangan telah terjadi. 3. Retailer, bahwa seorang apoteker harus mempunyai kemampuan dalam menyusun suatu rencana mengenai pemasaran obat sehingga obat yang diterima ataupun yang dikeluarkan ke pasaran berada dalam jumlah yang tepat.

2.5.2 Fungsi Apoteker di Apotek Fungsi apoteker secara umum yang digariskan oleh WHO yang semula dikenal dengan Seven Stars of Pharmacist, kini telah lebih disempurnakan dengan menambahkan fungsi researcher sehingga menjadi Seven Stars Plus One of Pharmacist, meliputi: 1. Care giver, pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, dan sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan harus bermutu tinggi. 2. Decision maker, pengambil keputusan yang tepat untuk mengefisienkan dan mengefektifkan sumber daya yang ada di apotek. 3. Communicator, mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi komunikasi lisan dan tulisan. 4. Leader, memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin, memiliki keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan. 5. Manager, kemampuan mengelola sumber daya dan informasi secara efektif. Tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. 6. Long life learner, belajar terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. 7. Teacher, bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan pelatihan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan apotek. 8. Researcher, berperan serta dalam berbagai penelitian guna mengembangkan ilmu kefarmasian.

2.5.3 Tugas Apoteker di Apotek Tugas apoteker di apotek adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027 Tahun 2004, yaitu: 1. Melakukan pengelolaan sumber daya. 2. Melakukan pelayanan di apotek. 3. Melakukan evaluasi mutu pelayanan. 2.5.3.1Pengelolaan Sumber Daya 1. Pengelolaan Sumber Daya Manusia Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan: a. Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik. b. Mengambil keputusan yang tepat. c. Kemampuan berkomunikasi antar profesi. d. Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner. e. Kemampuan mengelola SDM secara efektif. f. Selalu belajar sepanjang karier. g. Membantu memberi pendidikan. h. Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. 2. Pengelolaan Sarana dan Prasarana Apoteker di apotek berperan dalam mengelola dan menjamin bahwa: a. Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. b. Pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata Apotek. c. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. d. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya. Hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. e. Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. f. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat dan serangga. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin.

g. Apotek memiliki: Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur atau materi informasi. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien, yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. Ruang racikan. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. h. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban, dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan. 3. Pengelolaan Bidang Administrasi Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi: a. Administrasi Umum Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika, dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. b. Administrasi Pelayanan Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. 4. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya Apoteker berperan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya untuk menjamin agar pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan. Pengadaan obat yang berasal dari pabrik diperlukan untuk mendukung pengelolaan perbekalan farmasi ini. Adapun perantara pabrik farmasi dalam menyediakan perbekalan farmasi adalah Pedagang Besar Farmasi (PBF). Penyimpanan perbekalan farmasi harus di tempat yang aman, tidak terkena sinar matahari langsung, bersih, dan disusun secara sistematis. Sedangkan pengeluaran obat memakai sistem First In First

Out, artinya obat yang masuk terlebih dahulu ke gudang maka akan terlebih dahulu dikeluarkan. Selain itu, digunakan juga sistem First Expire First Out, artinya obat yang memiliki tanggal kadaluarsa terlebih dahulu maka akan terlebih dahulu dikeluarkan.

2.6

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang

mengacu kepada pharmaceutical care. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keteramilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah dengan melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pasien mengenai pemakaian obat yang tepat sehingga kepatuhan pasien dapat ditingkatkan dan pengobatan rasional dapat tercapai. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dapat diartikan sebagai strategi dan metode yang memungkinkan seorang apoteker untuk melakukan pencegahan dan emeliharaan kesehatan dari setiap pasien. KIE merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker lain, perawat, profesi kesehatan lain, dan terutama pada pasien. Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran-pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang lain tersebut mengerti dan mamu memahami apa yang dimaksud oleh penyampaian pikiran-pikiran atau informasi tersebut. Komunikasi merupakan pembentukan pesan dari pemikiran, perasaan, perilaku pengirim (sender) atau penyampaian pesan kepada penerima (receiver) kemudian ada reaksi dari penerima. Komunikasi yang sempurna dapat terjadi bila pesan yang disampaikan oleh pengirim dapat diterima dan dipahami dengan jelas oleh penerima. Dalam proses komunikasi diperlukan suatu media untuk mempermudah proses penyampaian dan penerimaan pesan. Media yang tepat diperlukan untuk menyampaikan informasi dan pesan secara sempurna. Berikut digambarkan proses terjadinya komunikasi:

Dalam komunikasi terdapat berbagai macam hambatan, yang meliputi: 1. Barrier fisik a. Fisik pasien, contohnya gangguan pendengaran/penglihatan, keadaan sakit/lemah, kesukaran berbicara. b. Ruangan, contohnya kurang leluasa, counter terlalu tinggi, terdapat penghalang kaca, suara berisik, gangguan telepon. 2. Barrier Psikologis a. b. c. d. e. d. Bias Prasangka Wawasan sempit Takut/khawatir Emosi Tidak ada saluran komunikasi

3. Barrier non-verbal Kurang kontak mata dengan pasien 4. Barrier waktu dan komunikasi a. b. c. Apoteker tidak dibayar untuk melakukan konsultasi Pasien sudah lelah menunggu dokter Segan berkomunikasi Hambatan lain dalam berkomunikasi adalah faktor lingkungan (seorang apoteker yang sibuk, kekurangan dalam hal privasi, kegaduhan); faktor pasien (keterbatasan fisik, kesulitan memahami, pasien yang buta huruf); faktor apoteker (kurang percaya diri, kurang menarik perhatian, kemalasan, mendelegasikan tanggung jawab pada staf yang tidak terlatih); faktor waktu (pasien terburu-buru, adanya pasien lain yang sedang menunggu, kerjaan lain yang menanti). Salah satu implementasi dari KIE adalah kegiatan konseling. Konseling merupakan suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dengan pasien untuk mengidentifikasikan dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan.

Tujuan dilakukannya konseling yaitu untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan, diantaranya mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tandatanda toksisitas, cara penyimpanan obat, dan penggunaan obat-obat lain. Konseling diberikan kepada pasien dengan criteria: 1. Penggunaan obat 4 macam atau lebih 2. Mendapatkan lebih dari 2 pengobatan 3. Obat dengan indeks terapi sempit (digoxin, warfarin) 4. Obat dengan penggunaan yang khusus (suppositoria, insulin, inhaler) 5. Obat dengan efek samping dan perhatian khusus 6. Pasien lanjut usia dan bayi 7. Pasien penyakit kronis/menahun 8. Ibu hamil dan menyusui. Dalam hal menangani pasien, apoteker harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik, antara lain: 1. Menyediakan perhatian penuh kepada pasien 2. Tidak bersikap kasar dan merendahkan pasien 3. Berkomunikasi secara aktif dan efektif dengan memperhatikan respon pasien untuk meyakinkan bahwa pasien mengerti informasi yang disampaikan. 4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan menggali berbagai informasi yang diperlukan 5. Meminta pasien untuk mengulang informasi yang sudah disampaikan dan lakukan koreksi jika ada yang tidak sesuai 6. Melakukan kontak mata ketika berkomunikasi. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk pelayanan KIE yaitu metode Three Prime Questions dan metode WWHAM. Untuk metode Three Prime Questions berisi pertanyaan: 1. Apa yang dokter katakana tentang kegunaan obat ini 2. Apa yang dokter katakan tentang tata cara penggunaan obat ini? 3. Apa yang dokter katakan tentang harapan setelah menggunakan obat ini? Untuk metode WWHAM berisi; W W = Who: untuk siapa obat tersebut? = What: gejala apa yang dirasakan?

H A M

= How long: sudah berapa lama gejala berlangsung? =Action: tindakan apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi gejala berlangsung? = Medicine: obat apa yang sedang digunakan?

Pelayanan farmasi yang baik dilakukan untuk mencegah terjadinya Drug Related Problem (DRP) dan Medication Error (ME). DRP adalah suatu keadaan dimana seorang professional menilai ketidaksesuaian dalam mencapai terapi obat yang sesungguhnya. Kategori DRP tersebut adalah indikasi yang tidak ditangani, pilihan obat yang kurang tepat, penggunaan obat tanpa indikasi, dosis terlalu kecil, dosis terlalu besar, reaksi obat yang tidak dikehendaki interaksi obat, dan gagal menerima obat. Sedangkan ME merupakan kejadian yang sebenarnya dapat dicegah, pemakaian obat yang tidak tepat atau obat yang dapat menyebabkan kerugian pasien. Penyebab ME dapat terdi karena prescribing (misalnya instruksi keliru, kontra indikasi dan peritungan dosis tidak tepat), transcribing (misalnya pembacaan instruksi yang keliru), dispensing (misalnya salah mengambil obat, salah menghitung dosis, dan salah dalam menuliskan etiket), serta administration (misalnya salah menuliskan copy resep, tidak mengecek identitas pasien).

2.7

Swamedikasi Swamedikasi mempunyai pengertian upaya pengobatan segala keluhan pada diri sendiri

dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau took obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi berkembangnya swamedikasi dikalangan masyarakat saat ini, diantaranya adalah harga obat yang melambung tinggi diikuti dengan biaya pelayanan kesehatan yang makin mahal hingga menyebabkan sebagian masyarakat berinisiatif mengobati dirinya sendiri dengan obat-obat yang tersedia dipasar tanpa melalui konsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Selain itu sebagian masyarakat ada yang mulai sadar dan memposisikan dirinya kedalam golongan masyarakat yang memiliki paradigm baru dalam dunia pengobatan dengan mengikuti pergeseran pola pengobatan diri dari kuratif-rehabilitatif kea rah preventif-promotif. Dalam kasus ini upaya yang dilakukan adalah pencegahan terhadap kemungkinan terserang suatu penyakit dan obat yang dicari adalah food supplement atau vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

Umumnya swamedikasi hanya dilakukan untuk mengatasi gangguan kesehatan ringan mulai dari batuk pilek, demam, sakit kepala, nyeri otot, maag, gatal-gatal hingga iritasi ringan pada mata. Sedangkan penyakit-penyakit yang lebih serius contohnya gangguan jantung dan pembuluh darah, diabetes mellitus, gangguan jiwa, kanker dan sebagainya tidak boleh ditangani sendiri. Banyaknya jenis obat yang beredar hingga mencapai ribuan jenis tentunya membingungkan masyarakat dalam memilih obat dan alat kesehatan yang tepat dan aman bagi dirinya. Oleh karena itu adalah suatu kewajiban bagi apoteker untuk membantu masyarakat dengan cara memberikan pelayanan swamedikasi yang tepat. Peran apoteker dalam pelayanan swamedikasi yaitu: 1. Memberikan informasi, edukasi dan pelayanan berdasarkan bukti akurat, terkini dan dapat dipercaya. 2. Memberikan pengarahan dan pendekatan terhadap kondisi pasien. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan konsultasi terlebih dahulu dengan pasien untuk menentukan obat yang tepat dan sesuai bagi kondisi pasien tersebut. 3. Memahami masalah yag dialami pasien apakah memerlukan pemeriksaan dokter atau tidak. 4. Memberikan informasi yang cukup serta memastikan agar pasien benar-benar mengerti akan pengobatan akan yang akan dijalani serta efek samping yang mungkin timbul. Dan bila terjadi efek samping, pasien dapat melakukan tindakan untuk mengatasinya dengan tepat. 5. Membuat dan memelihara catatan pengobatan pasien dari setiap kegiatan konsultasi yang dilakukan. 6. Menjaga kerahasiaan penyakit pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan swamedikasi adalah: 1. Baca dan cermati secara teliti informasi yang tertera pada kemasan atau brosur yang disisipkan dalam kemasan. Informasi yang dapat diberikan antara lain mengenai komposisi zat aktif, indikasi, kontra indikasi, efek samping, interaksi obat, dosis dan cara penggunaannya.

2. Pilih obat dengan kandungan zat aktif sesuai keperluan, misalnya jika gejala penyakitnya hanya batuk saja, maka pilih obat yang hanya untuk batuk saja tidak perlu obat penurun panas atau demam. 3. Penggunaan obat swamedikasi hanya untuk penggunaan jangka pendek saja (seminggu), jika gejala menetap atau bahkan makin memburuk maka pasien harus segera ke dokter. 4. Perhatikan aturan pemakaian, seperti bagaimana cara memakainya, berapa jumlahnya, berapa kali sehari, digunakan sebelum atau sesudah makan, dan sebagainya. 5. Penting juga untuk memperhatikan masalah kontra indikasi, makanan dan minuman atau obat lain yang harus dihindari ketika mengkonsumsi obat tersebut serta bagaimana menyimpannya. Layanan swamedikasi merupakan lahan yang cukup potensial untuk dikembangkan secara profesional. Namun bila dilakukan secara tidak profesional dapat menimbulkan resiko seperti: 1. Tidak dikenalinya keseriusan gangguan, sehingga pengobatan sendiri bisa dilakukan terlalu lama. Gangguan-gangguan tersebut dapat bertambah serius, sehingga kemudian dokter perlu menggunakan obat-obat yang lebih keras atau bahkan pasien datang ke dokter sudah dalam kondisi terlambat. 2. Penggunaan yang kurang tepat, seperti obat digunakan salah, terlalu lama atau dalam takaran yang terlalu besar. Contohnya, adalah penggunaan tetes hidung dan obat-obat sembelit yang bila digunakan terlampau lama, malah dapat memperburuk keluhan. Oleh karena itu peran apoteker sangat penting untuk mengarahkan masyarakat supaya dapat memilih obat yang tepat sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Dalam menanggapi gejala yang dikeluhkan pasien, dapat digunakan metode WWHAM. Dari sini peran apoteker sangatlah penting karena berperan dalam menentukan apakah gejala yang dikeluhkan tadi akan dirujuk ke dokter ataukah cukup dengan direkomendasikan suatu produk obat non resep.

2.8

Pelayanan/Service Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau

bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga,

kelompok dan masyarakat. Apotek berperan sebagai Penyedia Layanan Kesehatan (Health Care Provider), baik obat maupun non obat yang memberikan layanan kesehatan terpadu dan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh seorang apoteker harus sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di apotek yang mengacu pada pharmaceutical care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam menetapkan, menerapkan dan memantau pemanfaatan obat agar dapat memberikan efek terapi yang optimal dan dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Dengan adanya pharmaceutical care ini maka peran apoteker lebih terfokus pada kebutuhan pasien akan efek terapi yang optimal, meminimalkan efek sampai pada kepatuhan dan pemahaman pasien tentang pengobatan yang diberikan sehingga pasien mendapatkan pengobatan yang efektif, efisien, aman, rasional, bermutu dan terjangkau. Pelayanan Pharmaceutical Care dilaksanakan dengan menggunakan lima langkah sebagai berikut: 1. Mengumpulkan, mencatat dan mengevaluasi informasi medis pasien. 2. Mengembangkan rencana terapi obat dan menetapkan tujuan terapi. 3. Mengidentifikasi dan mencegah masalah terapi obat. 4. Memberikan informasi dan pengetahuan yang diperlukan dalam menjalankan rencana terapi obat. 5. Mengevaluasi dan memonitor rencana terapi.

BAB II PERANAN, FUNGSI, DAN TUGAS APOTEKER DI APOTEK KIMIA FARMA

2.1

Apotek

2.1.1 Pengertian Apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1332 tahun 2002 tentang Perubahan Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek pada Bab I pasal 1, apotek adalah suatu suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran Sediaan farmasi, Perbekalan Kesehatan lainnya kepada masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan kefarmasian pada Bab I pasal 1, Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau masyarakat yang berkaitan dengan sediaan farmasi yang memenuhi

standar dan persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan. Dengan demikian, apotek berkewajiban menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan yang bermutu baik dan keabsahan terjamin. Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, yang dimaksud dengan perbekalan kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan.

2.1.2 Landasan Hukum Apotek Apotek merupakan satu diantara sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang diatur dalam: j. Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, k. Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. l. Undang-Undang no. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. m. Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1990 tentang Masa Bakti dan Izin Kerja Apoteker, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.

184/MENKES/PER/II/1995. n. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, yang disempurnakan dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 889/MENKES/PER/V/2011 o. Peraturan Pemerintah No. 25 taun 1980 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965 mengenai apotek. p. Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. q. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek. r. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek

2.1.3 Tugas dan Fungsi Apotek Tugas dan fungsi apotek berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 25 tahun 1980 tentang Apotek adalah sebagai berikut:

e. Sebagai tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. f. Sebagai sarana farmasi tempat dilakukannya kegiatan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan obat. g. Sebagai sarana penyaluran perbekalan farmasi yang harus menyebarkan obat yang diperlukan masyarakat secara luas dan merata. h. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada tenaga kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat.

2.1.4 Persyaratan Apotek Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, pada pasal 6 disebutkan persyaratan apotek adalah sebagai berikut: d. Untuk mendapatkan izin apotek, apoteker yang telah memenuhi persyaratan baik yang bekerjasama dengan pemilik sarana atau tidak, harus siap dengan tempat (lokasi dan bangunan), perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan perbekalan lainnya yang merupakan milik sendiri atau milik pihak lain. e. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi. f. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1332/MENKES/SK/X/2002. Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apotek (SIA). SIA adalah surat izin yang diberikan oleh Menteri Kesehatan kepada apoteker atau apoteker yang bekerjasama dengan pemilik sarana untuk menyelenggarakan apotek di suatu tempat tertentu. Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan sebuah apotek yaitu: e. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA) Sesuai dengan ketentuan yang tertera dalam Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 yang disempurnakan dengan tentang Peraturan Pekerjaan Menteri Kefarmasian, Kesehatan apoteker No. yang

889/MENKES/PER/V/2011

melaksanakan pekerjaan kefarmasian di apotek wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). STRA ini dapat diperoleh jika seorang apoteker memenuhi persyaratan sebagai berikut: 6) Memiliki ijasah apoteker, bagi peserta pendidikan profesi apoteker yang telah lulus pendidikan profesi apoteker. 7) Memiliki sertifikat kompetensi apoteker yang berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk setiap 5 (lima) tahun melalui uji kompetensi profesi apabila apoteker tetap akan menjalankan pekerjaan kefarmasian. 8) Mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji apoteker. 9) Mempunyai surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktek. 10) Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi. Alur untuk memperoleh SIPA secara skematis dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Alur seorang apoteker mendapatkan SIPA/SIKA. SIPA berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 5 (lima) tahun apabila memenuhi persyaratan agar Apoteker dapat memperoleh SIPA untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Apotek. SIPA dikeluarkan oleh pejabat kesehatan yang berwenang di Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan. f. Persyaratan Lokasi dan Tempat Berdasarkan PerMenkes No. 992/MENKES/PER/X/1993, lokasi apotek tidak lagi ditentukan harus memiliki jarak minimal dari apoyek lain dan sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi, namun sebaiknya harus mempertimbangkan segi penyebaran dan

pemerataan pelayanan, jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, lingkungan yang higienis dan factor-faktor lainnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1027/MENKES/SK/IX/2004 disebutkan bahwa apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat dan harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat. g. Persyaratan Bangunan dan Kelengkapan. Selanjutnya berdasarkan PerMenkes No. 922/MENKES/PER/X/1993 luas apotek tidak diatur lagi, namun harus memenuhi persyaratan teknis, sehingga kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi serta kegiatan pemeliharaan perbekalan farmasi dapat terjamin. Bangunan apotek setidaknya terdiri dari: 7) Ruang tunggu pasien 8) Ruang peracikan dan penyerahan obat 9) Ruang kerja apoteker pengelola apotek (APA) 10) Ruang penyimpanan obat 11) Ruang tempat pencucian alat 12) Kamar kecil (WC) Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan: 6) Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan 7) Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi apotek 8) Alat pemadam kebakaran yang berfungsi dengan baik 9) Ventilasi dan system sanitasi yang baik 10) Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor Surat Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telepon apotek (bila ada) h. Persyaratan Perlengkapan Apotek 7) Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan d) Timbangan milligram dengan anak timbangan yang sudah ditara e) Timbangan gram dengan anak timbangan yang sudah ditara f) Perlengkapan lain disesuaikan dengan kebutuhan 8) Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi

d) Lemari dan rak untuk menyimpan obat e) Lemari pendingin f) Lemari untuk menyimpan narkotika dan psikotropika 9) Wadah pengemas dan pembungkus c) Etiket d) Wadah pengemas dan pembungkus untuk penyerahan obat 10) Alat dan perlengkapan laboratorium untuk pengujian sederhana seperti Erlenmeyer, gelas ukur, batang pengaduk dan sebagainya. 11) Alat administrasi h) Blanko pesanan obat i) Blanko kartu stok obat j) Blanko salinan resep k) Blanko faktur dan blanko nota penjualan l) Buku pesanan narkotika m) Buku pesanan obat psikotropika n) Form laporan obat narkotika 12) Buku-buku standar yang diwajibkan c) Farmakope Indonesia edisi terbaru 1 buah d) Kumpulan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek

2.1.5 Persyaratan Apoteker Pengelola Apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1332/MENKES/SK/X/2002, dijelaskan bahwa APA adalah Apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA). Sesuai dengan PerMenkes No. 922/MENKES/PER/X/1993, tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek maka seorang Apoteker Pengelola Apotek harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: f. Ijazahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan g. Telah mengucapkan sumah/janji sebagai apoteker h. Memiliki Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) dari Menteri Kesehatan

i. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai apoteker j. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di apotek lain Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1332/MENKES/SK/X/2002 dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 juga disebutkan beberapa ketentuan mengenai Apoteker Pengelola Apotek, antara lain: g. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk Apoteker Pendamping, dan apabila Apoteker Pengelola Apotek dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotek menunjuk Apoteker Pengganti. Penunjukan tersebut harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat. h. Apoteker pendamping dan Apoteker Pengganti wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. i. Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari dua tahun secara terus-menerus, Surat Izin Apotek atas nama apoteker yang bersangkutan dicabut. j. Apoteker Pengelola Apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh Apoteker Pendamping maupun Apoteker Pengganti di dalam pengelolaan apotek. k. Apoteker Pendamping bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas menggantikan Apoteker Pengelola Apotek. l. Dalam melaksanakan pengelolaan apotek, APA dapat dibantu oleh Asisten Apoteker yang bekerja melakukan pekerjaan kefarmasian di bawah pengawasan apoteker.

2.1.6 Tata Cara Perizinan Apotek Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 yaitu: k. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan menggunakan contoh formulir model APT-1.

l. Dengan manggunakan Formulir APT-2, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah menerima permohonan dapat meminta bantuan teknis Kepada Kepala Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai POM) untuk melakukan pemeriksaan setempat terhadap kesiapan apotek untuk melakukan kegiatan. m. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-lambatnya 6 hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat dengan menggunakan contoh formulir APT-3. n. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (b) dan (c) tidak dilaksanakan, Apoteker Pemohon dapat membuat surat pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan menggunakan contoh formulir model APT-4. o. Dalam jangka waktu 12 hari kerja setelah diterima laporan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud ayat (c) atau pernyataan ayat (d), Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan SIA dengan menggunakan contoh formulir model APT-5. p. Dalam hal hasil pemeriksaan Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM dimaksud ayat (c) masih belum memenuhi syarat, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam waktu 12 hari kerja mengeluarkan Surat Penundaan dengan menggunakan contoh Formulir Model APT-6. q. Terhadap Surat Penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (f), apoteker diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 bulan sejak tanggal Surat Penundaan. r. Dalam hal apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka penggunaan sarana yang dimaksud wajib didasarkan atas perjanjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana. s. Pemilik sarana yang dimaksud ayat (h) harus memenuhi persyaratan tidak pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat sebagaimana dinyatakan dalam Surat pernyataan yang bersangkutan. t. Terhadap permohonan izin apotek yang ternyata tidak memenuhi persyaratan Apoteker Pengelola Apotek dan/atau persyaratan apotek, atau lokasi apotek tidak sesuai dengan permohonan, maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dalam jangka

waktu selambat-lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan Surat Penolakan disertai dengan alasan-alasannya, dengan menggunakan contoh formulir model APT-7. Wewnang pemberian SIA dilimpahkan oleh Menteri Kesehatan kepada Kepala Dinas kesehatan Kabupaten/Kota. Selanjutnya, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian izin, pembekuan izin, pencairan izin dan tembusan disampaikan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi.

2.2

Pengelolaan Apotek

Pengelolaan apotek merupakan segala kegiatan yang dilakukan oleh seorang apoteker untuk memenuhi tugas dan fungsi dari apotek. Seorang apoteker, dalam menjalankan profesi apotekernya di apotek, tidak hanya pandai sebagai penanggung jawab teknis kefarmasian; melainkan juga dapat mengelola apotek sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis yang dapat memberikan keuntungan kepada pihak-pihak yang memiliki kepentingan tanpa harus menghilangkan fungsi sosialnya di masyarakat. Pengelolaan apotek dibedakan atas pengelolaan teknis farmasi dan pengelolaan non teknis farmasi. A. Pengelolaan Teknis Farmasi

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/Menkes/SK/2002, Bab VI pasal 10, di bidang kefarmasian pengelolaan apotek meliputi : d. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, perubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat atau bahan obat. e. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan perbekalan farmasi lainnya. f. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi: 1. Pelayanan informasi tentang obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter atau tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat. 2. Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya, mutu obat dan perbekalan lainnya. Hal lainnya yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek adalah :

c. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin. d. Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat digunakan atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang telah ditetapkan. B. Pengelolaan Non Teknis Farmasi

Pengelolaan ini meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan, personalia, kegiatan material (arus barang) dan bidang lainnya yang berhubungan dengan apotek.

2.2.1 Pelayanan Apotek Agar Phamaceutical Care tercapai, pelayanan yang optimal terhadap pasien perlu dilakukan. Pelayanan adalah suatu upaya penjual untuk memenuhi ekspektasi yang menjadi kepuasan konsumen, sehingga kita harus mampu memberikan hal hal yang menjadi ekspektasi utama setiap konsumennya. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/SK/X/2002 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan No. 992/Menkes/Per/X/1993 tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek pada Bab VII pasal 14 sampai 22 dijelaskan bahwa pelayanan apotek adalah sebagai berikut : j. Pasal 14 1) Apoteker wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan. 2) Pelayanan resep tersebut sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek. k. Pasal 15 5) Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang melandasi pada kepentingan masyarakat. 6) Apoteker tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat paten. 7) Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tetulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat. 8) Apoteker wajib memberikan informasi :

Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. Penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat.

l. Pasal 16 1) Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. 2) Apabila karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.

m. Pasal 17 4) Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker. 5) Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun. 6) Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwewenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. n. Pasal 18 3) Apoteker pengelola apotek, apoteker pendamping atau apoteker pengganti diizinkan untuk menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebgai daftar obat wajib apotik (DOWA). 4) DOWA tersebut ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. o. Pasal 19 5) Apabila apoteker pengelola apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam buka apotek, apoteker pengelola apotek dapat menunjuk apoteker pendamping. 6) Apabila apoteker pengelola apotek dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melakukan tugasnya, apoteker pengelola apotek dapat menunjuk apoteker pengganti. 7) Penunjukan yang dimaksud di atas harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dengan menggunakan formulir model ATP-9.

8) Apoteker pendamping dan apoteker pengganti wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. p. Pasal 20 Apoteker pengelola apotek turut bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh apoteker pendamping dan apoteker pengganti dalam pengelolaan apotek. q. Pasal 21 Apoteker pendamping bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas pelayanan kefarmasian selama yang bersangkutan bertugas menggantikan apoteker pengelola apotek. r. Pasal 22 3) Dalam melaksanakan pengelolaan apotek, apoteker pengelola apotek dapat dibantu oleh asisten apoteker. 4) Asisten apoteker melakukan pekerjaan kefarmasian di apotek dibawah pengawasan apoteker.

Dengan semakin meningkatnya persaingan pasar banyak perusahaan mengembangkan strategi jitu dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan, salah satunya adalah dengan memberikan pelayanan prima yaitu jika perlakuan yang diterima oleh pelanggan lebih baik daripada yang diharapkan, maka hal tersebut dianggap merupakan pelayanan yang bermutu tinggi. Dalam mewujudkan pelayanan yang prima maka suatu perusahaan dalam hal ini adalah apotek, maka perlu ditetapkan standar pelayanan farmasi di apotek. Tujuan dari standar pelayanan ini adalah: a. Melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak professional b. Melindungi profesi dari tuntutan masyarakat yang tidak wajar. c. Pedoman dalam pengawasan praktek apoteker d. Pembinaan serta meningkatkan mutu pelayanan farmasi di apotek Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI NO. 1027/MENKES/K/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, maka apoteker yang bertugas di apotek juga berperan dalam pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek yang meliputi : C. Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan: i. j. k. l. Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik Mengambil keputusan yang tepat Kemampuan berkomunikasi antar profesi Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner

m. Kemampuan mengelola SDM secara efektif n. o. p. D. i. j. k. l. Selalu belajar sepanjang karier Membantu memberi pendidikan Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan Pengelolaan Sarana dan Prasarana
Apoteker di apotek berperan dalam mengelola dan menjamin bahwa :

Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. Pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata Apotek. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan.

m. Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. n. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga/pest. apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin. o. Apotek memiliki : 1) Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. 2) Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur/materi informasi. 3) Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien 4) Ruang racikan. 5) Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien.

p.

Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

2.2.2 Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya Apoteker berperan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya untuk menjamin agar pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out). a. Perencanaan. Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan : d. Pola penyakit. e. Kemampuan masyarakat. f. Budaya masyarakat. b. Pengadaan. Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi. c. Penyimpanan. 1. Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana isi dipindahkan pada wadah lain, kontaminasi harus dicegah dan informasi (sekurang-kurangnya memuat nomor batch dan tanggal kadaluwarsa) yang jelas pada wadah baru harus ditulis. 2. Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan.

2.2.3 Pengelolaan Administrasi Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi : 1. Administrasi umum.

Pencatatan, pengarsipan, pelaporan, narkotika, psikotropika, dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2. Administrasi pelayanan. Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

2.2.4 Pelaksanaan Pelayanan di Apotek e) Skrining resep Apoteker melakukan skrining resep meliputi : 1) Persyaratan Administratif : h. Nama, SIP dan alamat dokter. i. Tanggal penulisan resep. j. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep. k. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. l. Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang minta. m. Cara pemakaian yang jelas. n. Informasi lainnya. 4) Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. 5) Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan. f) Penyiapan obat 1) Peracikan Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. 2) Etiket Etiket harus jelas dan dapat dibaca

3) Kemasan obat yang diserahkan Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. 4) Penyerahan Obat Sebelum obat diserahkan pada pasien, harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan. 5) Informasi Obat Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. 6) Konseling Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan untuk penderita penyakit tertentu seperti cardiovascular, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya,. 7) Monitoring Penggunaan Obat Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskuler, diabetes, TBC, asthma, dan penyakit kronis lainnya. g) Promosi dan Edukasi Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet /brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya. h) Pelayanan residensial (Home Care) Apoteker sebagai care giver diharapkan juga dapat melakukan pelayanankefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia dan pasien dengan

pengobatan penyakit kronis lainnya. Apoteker harus membuat catatan berupa catatan pengobatan (medication record) untuk aktivitas ini. Berdasarkan PerMenkes No. 992/MENKES/PER/X/1993 Tentag Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, disebutkan beberapa ketentuan tentang pelayanan apotek antara lain sebagai berikut: a. Apotek wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan. Pelayanan resep tersebut sepenuhnya atas tanggung jawab Apoteker Pengelola Apotek. b. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat. c. Apoteker tidak diizinkan mengganti obat generic yang tertulis di dalam resep dengan obat paten. d. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis di dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat. e. Apoteker wajib memberikan informasi: 1) Yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. 2) Penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat. f. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atas penulisan resep tang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila karena pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakannya secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep. g. h. Salinan resep harus ditanda tangani oleh apoteker. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu 3 tahun. i. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwewenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. j. Apoteker pengelor pengelola apotek, apoteker pendamping atau apoteker pengganti diizinkan untuk menjual obat keras yang dinyatakan sebagai daftar obat wajib apotek (DOWA) tanpa resep. DOWA tersebut ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

2.2.5 Pencabutan Surat Izin Apotek Apotek harus berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut Surat Izin Apotek apabila: a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan atau persyaratan sebagai apoteker pengelola apotek. b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dalam pengelolaan apotek dan pelayanan kefarmasian. c. Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus-menerus. d. Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Obat Keras No. St. 1937 N. 541, UndangUndang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika serta ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. e. f. Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA) Apoteker Pengelola Apotek dicabut. Pemilik sarana apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan di bidang obat. g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan apotek. Pelaksanaan pencabutan izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan: a. Peringatan secara tertulis kepada Apoteker Pengelola Apotek sebanyak 3 kali berturutturut dengan tenggang waktu masing-masing 2 bulan. b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 bulan sejak dikeluarkannya penetapan pembekuan izin kegiatan apotek. Pembekuan izin apotek dapat dicairkan kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Keputusan pencabutan Surat Izin Apotek dilakukan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota disampaikan langsung kepada APoteker Pengelola Apotek dengan

menggunakan contoh formulir model APT-15,dengan tembusan disampaikan kepada Menteri

dan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat serta kepada Kepala Balai Pemeriksaan Obat dan Makanan setempat. Apabila Surat Izin Apotek dicabut, APA atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi sesuai dengan tata cara sebagai berikut: a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, psikotropika, obat keras tertentu dan obat lainnya serta seluruh resep yang tersedia di apotek. b. Narkotika, psikotropika, dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan terkunci. c. Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tentang penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud di atas.

2.3

Pengelolaan Narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud

narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika digolongkan ke dalam tiga golongan yaitu: a. Narkotika Golongan I, yaitu narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: opium, heroin dan kokain. b. Narkotika Golongan II, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dala terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: morfin dan petidin. c. Narkotika Golongan III, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein. Undang-undang tentang narkotika bertujuan untuk: a. Menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

b.

Mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika.

c. d.

Memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan social bagi penyalahguna dan pecandu narkotika. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, maka diadakan pengawasan

terhadap penggunaan narkotika yang meliputi pembelian, penyimpana, penjualan, administrasi serta penyampaian laporannya. Untuk mempermudah pengawasannya tersebut maka pemerintah menetapkan PT. Kimia Farma sebagai satu-satunya perusahaan yang diizinkan untuk memproduksi, mengimpor dan mendistribusikan narkotika di wilayah Indonesia. Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan-kegiatan: a. Pemesanan narkotika Pengadaan narkotika di apotek dilakukan dengan pesanan tertulis melalui Surat Pesanan Narkotika kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Surat Pesanan narkotika harus ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK, SIA dan stempel apotek. Satu Surat pesanan terdiri dari rangkap empat dan hanya dapat digunakan untuk memesan satu jenis obat narkotika. b. Penyimpanan narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa narkotika yang berada dalam penguasaan industry farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehata masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus. Adapun Tata Cara Penyimpanan Narkotika diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/MENKES/PER/1978, pada pasal 5 disebutkan bahwa apotek harus mempunyai tempat khusus untuk penyimpanan narkotika yang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 5) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat. 6) Harus mempunyai kunci yang kuat. 7) Lemari dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta

persediaan narkotika; bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari. 8) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari 40x80x100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat menempel pada tembok atau lantai. Selain itu pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/MENKES/PER/I/1978 juga disebutkan bahwa: 5) Apotek dan rumah sakit harus menyimpan narkotika dalam tempat khusus sebagaimana tang dimaksud dalam pasal 5 dan harus dikunci dengan baik. 6) Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika. 7) Anak kunci lemari khusus harus dikuasai oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan. 8) Lemari khusus harus ditaruh pada tempat yang aman dan tidak terlihat oleh umum. c. Pelayanan resep yang mengandung narkotika Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan bahwa: 4) Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 5) Narkotika hanya dapat diserahkan pada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter. 6) Apotek dilarang mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar salinan resep dokter. Selain itu berdasarkan Surat Edaran Direktorat Jendral Pengawasa Obat dan Makanan No. 336/E/SE/1997 disebutkan bahwa: 4) Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun esep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali 5) Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep aslinya. 6) Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika. d. Pelaporan narkotika

Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa industry farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan dan menyimpan laoran berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaannya. Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan penggunaan narkotika setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Dalam laporan tersebut diuraikan mengenai pembelian/pemasukan dan penjualan/ pengeluaran narkotika yang ada dalam tanggung jawabnya dan ditandatangani oleh APA. Laporan tersebut ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada: 4) Balai besar POM DKI Jakarta 5) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. 6) Arsip Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari: 4) Laporan pemakaian bahan baku narkotika 5) Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika. 6) Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin e. Pemusnahan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/MENKES/PER/I/1978, pada pasal 9 disebutkan bahwa pemegang izin khusus dan atau APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat. Berdasarkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan bahwa pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal: 5) Diproduksi tanpa memenuhi standard an persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi. 6) Kadaluarsa 7) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan. 8) Berkaitan dengan tindak pidana.

Pemusnahan narkotika dilaksanakan oleh pemerintah, orang atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Pelaksanaan pemusnahan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi persyaratan pada apotek adalah sebagai berikut: 3) Bagi apotek di tingkat propinsi, pelaksanaan pemusnahan disaksikan oleh petugas dari Balai POM setempat. 4) Bagi apotek ditingkat Kabupaten/Kota pemusnahan disaksikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Tingkat II. Pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan paling sedikit tiga rangkap. Berita acara pemusnahan itu memuat: 7) Hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan. 8) Nama pemegang izin khusus atau Apoteker Pengelola Apotek. 9) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut. 10) Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan. 11) Cara pemusnahan. 12) Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi. Kemudian berita acara tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas Pelayanan Kesehatan, dengan tembusan: 4) Balai besar POM DKI Jakarta 5) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. 6) Arsip f. Pelanggaran terhadap ketentuan pengelolaan narkotika. Berdasarkan Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, pasal 14 ayat (4) disebutkan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan dan/atau pelaporan narkotika dikenai sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan atas rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa: teguran, peringatan, denda administratif, penghentian sementara kegiatan atau pencabutan izin.

2.4

Pengelolaan psikotropika

Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, yang dimaksud psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah atau sintesis bukan narkotika, yang berhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan yaitu: a. Psokotropika golongan I, yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: lisergida dan meskalina. b. Psikotropika golongan II, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amfetamin dan metamfitamin. c. Psikotropika golongan III, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: amobarbital, pentobarbital dan pentazosina. d. Psikotropika golongan IV, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: barbital, alprazolam dan diazepam. Ruang lingkup pengaturan psikotropika dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1997 ini adalah segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan. Tujuan pengaturan di bidang psikotropika yaitu: a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan. b. c. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika. Memberantas peredaran gelap psikotropika. Pengelolaan psikotropika meliputi kegiatan-kegiatan: a. Pemesanan psikotropika Tata cara pemesanan obat-obat psikotropika sama dengan pemesanan obat lainnya yakni dengan surat pemesanan yang sudah ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK yang dikirim ke Pedagang Besar Farmasi (PBF). Surat pemesanan tersebut

dibuat rangkap dua dan setiap surat pesanan dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika. b. Penyimpanan psikotropika Obat golongan psikotropika disimpan terpisah dengan obat-obat lain dalam suatu rak atau lemari khusus. Pemasukan dan pengeluaran psikotropika dicatat dalam kartu stok psikotropika. c. Peyerahan psikotropika Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, pada pasal 14 ayat (2) disebutkan bahwa penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien berdasarkan resep dokter. d. Pelaporan psikotropila Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, disebutkan bahwa pabrik obat, PBF, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan wajib melaporkannya kepada Menteri Kesehatan secara berkala. e. Pemusnahan psikotropika Berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika, pada pasal 53 disebutkan bahwa pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal: 5) Berhubungan dengan tindak pidana 6) Diproduksi tanpa memenuhi standard an persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi psikotropika. 7) Kadaluarsa 8) Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Setiap pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara. Berita acara pemusnahan tersebut memuat: 7) Hari, tanggal, bulan dan tahun dilakukan pemusnahan. 8) Nama pemegang izin khusus atau apoteker pengelola apotek. 9) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut.

10) Nama dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan. 11) Cara pemusnahan. 12) Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi.

2.5

Pengertian Apoteker Pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 Tahun 2009, apotek didefinisikan sebagai

sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker, dimana apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker (Presiden RI1, 2009). Apoteker yang mengabdikan diri di apotek terdiri dari Apoteker Pengelola Apotek (APA) dan Apoteker Pendamping. Apoteker Pengelola Apotek adalah apoteker yang telah diberi Surat Izin Apotek (SIA), sedangkan Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping APA dan/atau menggantikannya di jam-jam tertentu pada hari buka apotek. APA memegang peranan penting terhadap kelangsungan izin apotek, karena izin suatu apotek dapat digunakan selama apotek yang bersangkutan masih aktif melakukan kegiatan dan APA-nya dapat melaksanakan tugasnya dan masih memenuhi persyaratan. Untuk menjadi APA, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 6. Ijazahnya telah terdaftar pada Departemen Kesehatan. 7. Telah mengucapkan sumpah/janji sebagai apoteker. 8. Memiliki Surat Izin dari Menteri. 9. Memenuhi syarat-syarat kesehatan fisik dan mental untuk melaksanakan tugasnya sebagai apoteker. 10. Tidak bekerja di suatu perusahaan farmasi dan tidak menjadi APA di apotek lain. Apoteker Pengelola Apotek (APA) harus berada di apotek selama apotek beroperasi karena ia bertanggung jawab terhadap segala hal yang terjadi di apotek. Jika APA berhalangan hadir pada waktu tertentu, maka tugasnya dapat digantikan oleh Apoteker Pendamping. Jika APA dan Apoteker Pendamping karena hal-hal tertentu berhalangan melaksanakan tugasnya, maka harus ditunjuk Apoteker Pengganti untuk menggantikannya sebagai penanggung jawab apotek. Apoteker Pengganti harus telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak sebagai APA di apotek lain (Menkes RI, 2002).

2.5.1 Peranan Apoteker di Apotek Ada tiga peranan yang harus dijalankan oleh apoteker di apotek (Hartono, 1998), yaitu: 3. Sebagai profesional di bidang kefarmasian (penanggung jawab teknis kefarmasian) sesuai dengan keilmuan tentang pekerjaan kefarmasian. Apoteker harus memiliki rasa kepedulian yang tinggi terhadap masalah kesehatan yang sedang dihadapi oleh pasien (caring), kompeten di bidang kefarmasian (competent), dan memiliki komitmen (commited). Selain itu, apoteker berkewajiban untuk menyediakan, menyimpan, dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin kepada masyarakat. 4. Sebagai manajer yang harus mampu mengelola apotek dengan baik sehingga semua kegiatan yang berjalan di apotek berlangsung secara efektif dan efisien. Apoteker harus mempunyai kemampuan manajerial yang baik, yaitu keahlian dalam menjalankan prinsip-prinsip ilmu manajemen, yang meliputi: f. Kepemimpinan (leading), merupakan kemampuan untuk mengarahkan orang lain, dalam hal ini anggota atau bawahan, untuk bekerja dengan rela sesuai dengan apa yang diinginkannya, dalam mencapai tujuan tertentu. Kualitas kepemimpinan seorang pemimpin ditentukan dengan adanya sasaran dan program yang jelas, bekerja sistematis dan efektif, mempunyai kepekaan terhadap hubungan antar manusia, dapat membentuk tim dengan kinerja tinggi, dan dapat mengerjakan tugas-tugas dengan efektif dan efisien. Untuk dapat memimpin apotek dengan baik maka seorang apoteker harus mempunyai pengetahuan tentang pembukuan, administrasi, personalia, dan lain-lain. g. Perencanaan (planning), sebagai pengelola apotek, apoteker harus mampu menyusun perencanaan dari suatu pekerjaan, cara dan waktu pengerjaan, serta siapa yang mengerjakannya. Apoteker harus mampu menyusun rencana agar tujuan apotek tercapai. h. Pengorganisasian (organizing), apoteker harus mampu mengatur dan menentukan perkerjaan yang akan dilaksanakan oleh karyawan dengan efektif dan efisien, sesuai dengan pendidikan dan pengalaman. Pengaturan ini dapat dilakukan dengan mengelompokkan pekerjaan sesuai keahlian karyawan, menentukan tanggung jawab dan wewenang untuk tiap pekerjaan dan hasil yang hendak dicapai, serta menjalin hubungan yang harmonis dengan karyawan.

i. Pelaksanaan (actuating), apoteker harus dapat menjadi pemimpin yang menjadi panutan karyawan, yaitu mengetahui permasalahan, dapat menunjukkan jalan keluar terhadap masalah yang sedang dihadapi, dan turut berperan aktif dalam kegiatan. j. Pengawasan (controlling), apoteker harus selalu melakukan evaluasi setiap kegiatan dan mengambil tindakan demi perbaikan dan peningkatan kualitas, apakah semua sudah berjalan dengan baik ke arah tercapainya tujuan, dengan membandingkan hasilnya dengan suatu standar tertentu. Dengan adanya pengawasan maka penyimpanganpenyimpangan dari sasaran yang telah ditetapkan dapat dicegah dan memperbaikinya apabila penyimpangan telah terjadi. 3. Retailer, bahwa seorang apoteker harus mempunyai kemampuan dalam menyusun suatu rencana mengenai pemasaran obat sehingga obat yang diterima ataupun yang dikeluarkan ke pasaran berada dalam jumlah yang tepat.

2.5.2 Fungsi Apoteker di Apotek Fungsi apoteker secara umum yang digariskan oleh WHO yang semula dikenal dengan Seven Stars of Pharmacist, kini telah lebih disempurnakan dengan menambahkan fungsi researcher sehingga menjadi Seven Stars Plus One of Pharmacist, meliputi: 9. Care giver, pemberi pelayanan dalam bentuk pelayanan klinis, analitis, teknis, dan sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam memberikan pelayanan, apoteker harus berinteraksi dengan pasien secara individu maupun kelompok. Apoteker harus mengintegrasikan pelayanannya pada sistem pelayanan kesehatan secara berkesinambungan dan pelayanan farmasi yang dihasilkan harus bermutu tinggi. 10. Decision maker, pengambil keputusan yang tepat untuk mengefisienkan dan mengefektifkan sumber daya yang ada di apotek. 11. Communicator, mempunyai kemampuan berkomunikasi yang cukup baik. Komunikasi tersebut meliputi komunikasi lisan dan tulisan. 12. Leader, memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin, memiliki keberanian mengambil keputusan yang empati dan efektif, serta kemampuan mengkomunikasikan dan mengelola hasil keputusan.

13. Manager, kemampuan mengelola sumber daya dan informasi secara efektif. Tanggap terhadap kemajuan teknologi informasi dan bersedia berbagi informasi mengenai obat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan obat. 14. Long life learner, belajar terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan. 15. Teacher, bertanggung jawab untuk memberikan pendidikan pelatihan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan apotek. 16. Researcher, berperan serta dalam berbagai penelitian guna mengembangkan ilmu kefarmasian.

2.5.3 Tugas Apoteker di Apotek Tugas apoteker di apotek adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1027 Tahun 2004, yaitu: 4. Melakukan pengelolaan sumber daya. 5. Melakukan pelayanan di apotek. 6. Melakukan evaluasi mutu pelayanan. 2.5.3.1Pengelolaan Sumber Daya 2. Pengelolaan Sumber Daya Manusia Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus memiliki kemampuan: i. Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik. j. Mengambil keputusan yang tepat. k. Kemampuan berkomunikasi antar profesi. l. Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner. m. Kemampuan mengelola SDM secara efektif. n. Selalu belajar sepanjang karier. o. Membantu memberi pendidikan. p. Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan. 2. Pengelolaan Sarana dan Prasarana Apoteker di apotek berperan dalam mengelola dan menjamin bahwa: i. Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat. j. Pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata Apotek.

k. Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh anggota masyarakat. l. Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya. Hal ini berguna untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko kesalahan penyerahan. m. Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi dan konseling. n. Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari hewan pengerat dan serangga. Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama untuk lemari pendingin. o. Apotek memiliki: Ruang tunggu yang nyaman bagi pasien. Tempat untuk mendisplai informasi bagi pasien, termasuk penempatan brosur atau materi informasi. Ruangan tertutup untuk konseling bagi pasien, yang dilengkapi dengan meja dan kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien. Ruang racikan. Keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien. p. Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu, kelembaban, dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan. 3. Pengelolaan Bidang Administrasi Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan kegiatan administrasi yang meliputi: c. Administrasi Umum Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika, dan dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. d. Administrasi Pelayanan Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat. 4. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya

Apoteker berperan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya untuk menjamin agar pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan. Pengadaan obat yang berasal dari pabrik diperlukan untuk mendukung pengelolaan perbekalan farmasi ini. Adapun perantara pabrik farmasi dalam menyediakan perbekalan farmasi adalah Pedagang Besar Farmasi (PBF). Penyimpanan perbekalan farmasi harus di tempat yang aman, tidak terkena sinar matahari langsung, bersih, dan disusun secara sistematis. Sedangkan pengeluaran obat memakai sistem First In First Out, artinya obat yang masuk terlebih dahulu ke gudang maka akan terlebih dahulu dikeluarkan. Selain itu, digunakan juga sistem First Expire First Out, artinya obat yang memiliki tanggal kadaluarsa terlebih dahulu maka akan terlebih dahulu dikeluarkan.

2.6

Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang

mengacu kepada pharmaceutical care. Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keteramilan dan perilaku untuk dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Salah satu bentuk interaksi tersebut adalah dengan melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi dan edukasi yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pasien mengenai pemakaian obat yang tepat sehingga kepatuhan pasien dapat ditingkatkan dan pengobatan rasional dapat tercapai. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dapat diartikan sebagai strategi dan metode yang memungkinkan seorang apoteker untuk melakukan pencegahan dan emeliharaan kesehatan dari setiap pasien. KIE merupakan kegiatan pelayanan yang dilakukan oleh apoteker untuk memberikan informasi secara akurat, tidak bias dan terkini kepada dokter, apoteker lain, perawat, profesi kesehatan lain, dan terutama pada pasien. Komunikasi adalah proses penyampaian pikiran-pikiran atau informasi dari seseorang kepada orang lain melalui suatu cara tertentu sehingga orang lain tersebut mengerti dan mamu memahami apa yang dimaksud oleh penyampaian pikiran-pikiran atau informasi tersebut. Komunikasi merupakan pembentukan pesan dari pemikiran, perasaan, perilaku pengirim

(sender) atau penyampaian pesan kepada penerima (receiver) kemudian ada reaksi dari penerima. Komunikasi yang sempurna dapat terjadi bila pesan yang disampaikan oleh pengirim dapat diterima dan dipahami dengan jelas oleh penerima. Dalam proses komunikasi diperlukan suatu media untuk mempermudah proses penyampaian dan penerimaan pesan. Media yang tepat diperlukan untuk menyampaikan informasi dan pesan secara sempurna. Berikut digambarkan proses terjadinya komunikasi:

Dalam komunikasi terdapat berbagai macam hambatan, yang meliputi: 1. Barrier fisik a. Fisik pasien, contohnya gangguan pendengaran/penglihatan, keadaan sakit/lemah, kesukaran berbicara. b. Ruangan, contohnya kurang leluasa, counter terlalu tinggi, terdapat penghalang kaca, suara berisik, gangguan telepon. 2. Barrier Psikologis a. b. c. d. e. d. Bias Prasangka Wawasan sempit Takut/khawatir Emosi Tidak ada saluran komunikasi

3. Barrier non-verbal Kurang kontak mata dengan pasien 4. Barrier waktu dan komunikasi a. b. c. Apoteker tidak dibayar untuk melakukan konsultasi Pasien sudah lelah menunggu dokter Segan berkomunikasi

Hambatan lain dalam berkomunikasi adalah faktor lingkungan (seorang apoteker yang sibuk, kekurangan dalam hal privasi, kegaduhan); faktor pasien (keterbatasan fisik, kesulitan memahami, pasien yang buta huruf); faktor apoteker (kurang percaya diri, kurang menarik perhatian, kemalasan, mendelegasikan tanggung jawab pada staf yang tidak terlatih); faktor waktu (pasien terburu-buru, adanya pasien lain yang sedang menunggu, kerjaan lain yang menanti). Salah satu implementasi dari KIE adalah kegiatan konseling. Konseling merupakan suatu proses komunikasi dua arah yang sistematik antara apoteker dengan pasien untuk mengidentifikasikan dan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan obat dan pengobatan. Tujuan dilakukannya konseling yaitu untuk memberikan pemahaman yang benar mengenai obat kepada pasien dan tenaga kesehatan, diantaranya mengenai nama obat, tujuan pengobatan, jadwal pengobatan, cara menggunakan obat, lama penggunaan obat, efek samping obat, tandatanda toksisitas, cara penyimpanan obat, dan penggunaan obat-obat lain. Konseling diberikan kepada pasien dengan criteria: 1. Penggunaan obat 4 macam atau lebih 2. Mendapatkan lebih dari 2 pengobatan 3. Obat dengan indeks terapi sempit (digoxin, warfarin) 4. Obat dengan penggunaan yang khusus (suppositoria, insulin, inhaler) 5. Obat dengan efek samping dan perhatian khusus 6. Pasien lanjut usia dan bayi 7. Pasien penyakit kronis/menahun 8. Ibu hamil dan menyusui. Dalam hal menangani pasien, apoteker harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik, antara lain: 1. Menyediakan perhatian penuh kepada pasien 2. Tidak bersikap kasar dan merendahkan pasien 3. Berkomunikasi secara aktif dan efektif dengan memperhatikan respon pasien untuk meyakinkan bahwa pasien mengerti informasi yang disampaikan. 4. Menggunakan pertanyaan terbuka dan menggali berbagai informasi yang diperlukan 5. Meminta pasien untuk mengulang informasi yang sudah disampaikan dan lakukan koreksi jika ada yang tidak sesuai

6. Melakukan kontak mata ketika berkomunikasi. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk pelayanan KIE yaitu metode Three Prime Questions dan metode WWHAM. Untuk metode Three Prime Questions berisi pertanyaan: 4. Apa yang dokter katakana tentang kegunaan obat ini 5. Apa yang dokter katakan tentang tata cara penggunaan obat ini? 6. Apa yang dokter katakan tentang harapan setelah menggunakan obat ini? Untuk metode WWHAM berisi; W W H A M = Who: untuk siapa obat tersebut? = What: gejala apa yang dirasakan? = How long: sudah berapa lama gejala berlangsung? =Action: tindakan apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi gejala berlangsung? = Medicine: obat apa yang sedang digunakan?

Pelayanan farmasi yang baik dilakukan untuk mencegah terjadinya Drug Related Problem (DRP) dan Medication Error (ME). DRP adalah suatu keadaan dimana seorang professional menilai ketidaksesuaian dalam mencapai terapi obat yang sesungguhnya. Kategori DRP tersebut adalah indikasi yang tidak ditangani, pilihan obat yang kurang tepat, penggunaan obat tanpa indikasi, dosis terlalu kecil, dosis terlalu besar, reaksi obat yang tidak dikehendaki interaksi obat, dan gagal menerima obat. Sedangkan ME merupakan kejadian yang sebenarnya dapat dicegah, pemakaian obat yang tidak tepat atau obat yang dapat menyebabkan kerugian pasien. Penyebab ME dapat terdi karena prescribing (misalnya instruksi keliru, kontra indikasi dan peritungan dosis tidak tepat), transcribing (misalnya pembacaan instruksi yang keliru), dispensing (misalnya salah mengambil obat, salah menghitung dosis, dan salah dalam menuliskan etiket), serta administration (misalnya salah menuliskan copy resep, tidak mengecek identitas pasien).

2.7

Swamedikasi Swamedikasi mempunyai pengertian upaya pengobatan segala keluhan pada diri sendiri

dengan obat-obatan yang dibeli bebas di apotek atau took obat atas inisiatif sendiri tanpa nasehat dokter. Ada beberapa hal yang melatarbelakangi berkembangnya swamedikasi dikalangan masyarakat saat ini, diantaranya adalah harga obat yang melambung tinggi diikuti dengan biaya pelayanan kesehatan yang makin mahal hingga menyebabkan sebagian masyarakat berinisiatif

mengobati dirinya sendiri dengan obat-obat yang tersedia dipasar tanpa melalui konsultasi dengan dokter terlebih dahulu. Selain itu sebagian masyarakat ada yang mulai sadar dan memposisikan dirinya kedalam golongan masyarakat yang memiliki paradigm baru dalam dunia pengobatan dengan mengikuti pergeseran pola pengobatan diri dari kuratif-rehabilitatif kea rah preventif-promotif. Dalam kasus ini upaya yang dilakukan adalah pencegahan terhadap kemungkinan terserang suatu penyakit dan obat yang dicari adalah food supplement atau vitamin untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Umumnya swamedikasi hanya dilakukan untuk mengatasi gangguan kesehatan ringan mulai dari batuk pilek, demam, sakit kepala, nyeri otot, maag, gatal-gatal hingga iritasi ringan pada mata. Sedangkan penyakit-penyakit yang lebih serius contohnya gangguan jantung dan pembuluh darah, diabetes mellitus, gangguan jiwa, kanker dan sebagainya tidak boleh ditangani sendiri. Banyaknya jenis obat yang beredar hingga mencapai ribuan jenis tentunya membingungkan masyarakat dalam memilih obat dan alat kesehatan yang tepat dan aman bagi dirinya. Oleh karena itu adalah suatu kewajiban bagi apoteker untuk membantu masyarakat dengan cara memberikan pelayanan swamedikasi yang tepat. Peran apoteker dalam pelayanan swamedikasi yaitu: 7. Memberikan informasi, edukasi dan pelayanan berdasarkan bukti akurat, terkini dan dapat dipercaya. 8. Memberikan pengarahan dan pendekatan terhadap kondisi pasien. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan konsultasi terlebih dahulu dengan pasien untuk menentukan obat yang tepat dan sesuai bagi kondisi pasien tersebut. 9. Memahami masalah yag dialami pasien apakah memerlukan pemeriksaan dokter atau tidak. 10. Memberikan informasi yang cukup serta memastikan agar pasien benar-benar mengerti akan pengobatan akan yang akan dijalani serta efek samping yang mungkin timbul. Dan bila terjadi efek samping, pasien dapat melakukan tindakan untuk mengatasinya dengan tepat. 11. Membuat dan memelihara catatan pengobatan pasien dari setiap kegiatan konsultasi yang dilakukan.

12. Menjaga kerahasiaan penyakit pasien. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan swamedikasi adalah: 6. Baca dan cermati secara teliti informasi yang tertera pada kemasan atau brosur yang disisipkan dalam kemasan. Informasi yang dapat diberikan antara lain mengenai komposisi zat aktif, indikasi, kontra indikasi, efek samping, interaksi obat, dosis dan cara penggunaannya. 7. Pilih obat dengan kandungan zat aktif sesuai keperluan, misalnya jika gejala penyakitnya hanya batuk saja, maka pilih obat yang hanya untuk batuk saja tidak perlu obat penurun panas atau demam. 8. Penggunaan obat swamedikasi hanya untuk penggunaan jangka pendek saja (seminggu), jika gejala menetap atau bahkan makin memburuk maka pasien harus segera ke dokter. 9. Perhatikan aturan pemakaian, seperti bagaimana cara memakainya, berapa jumlahnya, berapa kali sehari, digunakan sebelum atau sesudah makan, dan sebagainya. 10. Penting juga untuk memperhatikan masalah kontra indikasi, makanan dan minuman atau obat lain yang harus dihindari ketika mengkonsumsi obat tersebut serta bagaimana menyimpannya. Layanan swamedikasi merupakan lahan yang cukup potensial untuk dikembangkan secara profesional. Namun bila dilakukan secara tidak profesional dapat menimbulkan resiko seperti: 3. Tidak dikenalinya keseriusan gangguan, sehingga pengobatan sendiri bisa dilakukan terlalu lama. Gangguan-gangguan tersebut dapat bertambah serius, sehingga kemudian dokter perlu menggunakan obat-obat yang lebih keras atau bahkan pasien datang ke dokter sudah dalam kondisi terlambat. 4. Penggunaan yang kurang tepat, seperti obat digunakan salah, terlalu lama atau dalam takaran yang terlalu besar. Contohnya, adalah penggunaan tetes hidung dan obat-obat sembelit yang bila digunakan terlampau lama, malah dapat memperburuk keluhan. Oleh karena itu peran apoteker sangat penting untuk mengarahkan masyarakat supaya dapat memilih obat yang tepat sesuai dengan kondisi yang dialaminya. Dalam menanggapi gejala yang dikeluhkan pasien, dapat digunakan metode WWHAM.

Dari sini peran apoteker sangatlah penting karena berperan dalam menentukan apakah gejala yang dikeluhkan tadi akan dirujuk ke dokter ataukah cukup dengan direkomendasikan suatu produk obat non resep.

2.8

Pelayanan/Service Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan secara sendiri atau

bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah, menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok dan masyarakat. Apotek berperan sebagai Penyedia Layanan Kesehatan (Health Care Provider), baik obat maupun non obat yang memberikan layanan kesehatan terpadu dan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pelayanan kefarmasian yang diberikan oleh seorang apoteker harus sesuai dengan standar pelayanan kefarmasian di apotek yang mengacu pada pharmaceutical care adalah bentuk pelayanan dan tanggung jawab langsung profesi apoteker dalam menetapkan, menerapkan dan memantau pemanfaatan obat agar dapat memberikan efek terapi yang optimal dan dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Dengan adanya pharmaceutical care ini maka peran apoteker lebih terfokus pada kebutuhan pasien akan efek terapi yang optimal, meminimalkan efek sampai pada kepatuhan dan pemahaman pasien tentang pengobatan yang diberikan sehingga pasien mendapatkan pengobatan yang efektif, efisien, aman, rasional, bermutu dan terjangkau. Pelayanan Pharmaceutical Care dilaksanakan dengan menggunakan lima langkah sebagai berikut: 6. Mengumpulkan, mencatat dan mengevaluasi informasi medis pasien. 7. Mengembangkan rencana terapi obat dan menetapkan tujuan terapi. 8. Mengidentifikasi dan mencegah masalah terapi obat. 9. Memberikan informasi dan pengetahuan yang diperlukan dalam menjalankan rencana terapi obat. 10. Mengevaluasi dan memonitor rencana terapi.

BAB IV TUGAS KHUSUS ENDOKARDITIS

A. Pendahuluan a. Latar Belakang Endokarditis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme pada endokard atau katub jantung. Infeksi endokarditis biasanya terjadi pada jantung yang telah mengalami kerusakan. Penyakit ini didahului dengan endokarditis, biasanya berupa penyakit jantung bawaan, maupun penyakit jantung yang didapat. Dahulu Infeksi pada endokard banyak

disebabkan oleh bakteri sehingga disebut endokariditis bakterial. Sekarang infeksi bukan disebabkan oleh bakteri saja, tetapi bisa disebabkan oleh mikroorganisme lain, seperti jamur, virus, dan lain-lain. Endokarditis tidak hanya terjadi pada endokard dan katub yang telah mengalami kerusakan, tetapi juga pada endokard dan katub yang sehat, misalnya penyalahgunaan narkotik perintravena atau penyakit kronik. Perjalanan penyakit ini bisa; akut, sub akut, dan kronik, tergantung pada virulensi mikroorganisme dan daya tahan penderita. Infeksi subakut hampir selalu berakibat fatal, sedangkan hiperakut/akut secara klinis tidak pernah ada, karena penderita meninggal terlebih dahulu yang disebabkan karena sepsis. Endokarditis kronik hampir tidak dapat dibuat diagnosanya, karena gejalanya tidak khas. Endokarditis paling banyak disebabkan oleh streptokokus viridans yaitu mikroorganisme yang hidup dalam saluran napas bagian atas. Sebelum ditemuklan antibiotik, maka 90 - 95 % endokarditis infeksi disebabkan oleh strptokokus viridans, tetapi sejak adanya antibiotik streptokokus viridans 50 % penyebab infeksi endokarditis yang merupakan 1/3 dari sumber infeksi. Penyebab lain dari infeksi endokarditis yang lebih patogen yaitu stapilokokus aureus yang menyebabkan infeksi endokarditis subakut. Penyebab lainnya adalah stertokokus fekalis, stapilokokus, bakteri gram negatif aerob/anaerob, jamur, virus, ragi, dan kandida.

b. Tujuan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan pengobatan penyakit endokarditis dan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya medication error dan DRP dalam pengobatan penyakit endokarditis.

B. Definisi Endokarditis Endokarditis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme pada endokard atau katub jantung. Infeksi endokarditid biasanya terjadi pada jantung yang telah mengalami kerusakan. Penyakit ini didahului dengan endokarditis, biasanya berupa penyakit jantung bawaan, maupun penyakit jantung yang didapat. Dahulu Infeksi pada endokard banyak disebabkan oleh bakteri sehingga disebut endokariditis bakterial. Sekarang infeksi bukan disebabkan oleh bakteri saja, tetapi bisa disebabkan oleh mikroorganisme lain, seperti jamur, virus, dan lain-lain. Endokarditis tidak hanya terjadi pada endokard dan katub yang telah mengalami kerusakan, tetapi juga pada endokar dan katub yang sehat, misalnya penyalahgunaan narkotik perintravena atau penyakit kronik. Perjalanan penyakit ini bisa; akut, sub akut, dan kronik, tergantung pada virulensi mikroorganisme dan daya tahan penderita. Infeksi subakut hampir selalu berakibat fatal, sedangkan hiperakut/akut secara klinis tidak pernah ada, karena penderita meninggal terlebih dahulu yang disebabkan karena sepsis. Endokarditis kronik hampir tidak dapat dibuat diagnosanya, karena gejalanya tidak khas. Endokarditi infeksi sering timbul pada penyakit jantung rematik dengan fibrilasi dan gagal jantung. Infeksi sering pada katub mitral dan katub aorta. Penyakit jantung bawaan yang terkena endokarditis adalah penyakit jantung. Bila ada kelainan organik pada jantung, maka sebagai faktor predisposisi endokarditis infeksi adalah akibat pemakaian obat imunosupresif atau sitostatik, sirosis hepatis, diabetes militus, penyakit paru obstruktif menahun, penyakit ginjal dan penyalahan narkotik intravena. Penyakit ini biasanya sering terjadi pada lansia mungkin akibat menerunnya respon imunologis terhadap infeksi dan perubahan metabolisme akibat penuaan. Efek akibat infeksi intrakardiak asalah timbulnya koloni kuman pada katub jantung dan jaringan sekitar dapat

mengakibatkan kerusakan dan kebocoran katub. Koloni-koloni mikroorganisme yang tumbuh disekitar jantung akan melepaskan bakteri secara terus menerus ke dalam sirkulasi yang akan menimbulkan bakterimia persisten yang mengakibatkan gejala konstitusional seperti demam, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, dll. Bakterimia yang terjadi akan merangsang sistem imun seluler dan humoral pejamu, sehingga terbentuk kompleks imun dalam sirkulasi yang muncul dalam manifestasi klinis Endokarditis Infektif.

C. Patofisiologi Endokarditis Kuman paling sering masuk melalui saluran napas bagian atas selain itu juga melalui alat genital dan saluran pencernaan, serta pembuluh darah dan kulit. Endokard yang rusak dengan permukaannya tidak rata mudah sekali terinfeksi dan menimbulkan vegetasi yang terdiri atas trombosis dan fibrin. Vaskularisasi jaringan tersebut biasanya tidak baik, sehingga memudahkan mikroorganisme berkembang biak dan akibatnya akan menambah kerusakan katub dan endokard, kuman yang sangat patogen dapat menyebabkan robeknya katub hingga terjadi kebocoran. Infeksi dengan mudah meluas ke jaringan sekitarnya, menimbulkan abses miokard atau aneurisme nekrotik. Bila infeksi bertambah parah maka dapat mengakibatkan terjadinya kebocoran katub. Pembentukan trombus yang mengandung kuman dan kemudian lepas dari endokard merupakan gambaran yang khas pada endokarditis infeksi. Besarnya emboli bermacam- macam. Emboli yang disebabkan jamur biasanya lebih besar, umumnya menyumbat pembuluh darah yang besar pula. Tromboemboli yang terinfeksi dapat teranggkut sampai di otak, limpa, ginjal, saluran cerna, jantung, anggota gerak, kulit, dan paru. Bila emboli menyangkut di ginjal. akan meyebabkan infark ginjal, glomerulonepritis. Bila emboli pada kulit akan menimbulkan rasa sakit dan nyeri tekan.

D. Penyebab Endokarditis Bakteri (atau jamur) yang terdapat di dalam aliran darah atau yang mencemari jantung selama pembedahan jantung, dapat tersangkut pada katub jantung dan menginfeksi endokardium. Yang paling mudah terkena infeksi adalah katup yang abnormal atau katup yang rusak; tetapi katup yang normalpun dapat terinfeksi oleh bakteri yang agresif, terutama jika jumlahnya sangat banyak.

Timbunan bakteri dan bekuan darah pada katup (vegetasi) dapat terlepas dan berpindah ke organ vital, dimana mereka menyebabkan penyumbatan pada aliran darah arteri. Penyumbatan seperti ini sangat serius, karena bisa menyebabkan stroke, serangan jantung dan infeksi, juga merusak daerah tempat terbentuknya penyumbatan.

Gambar 1 Katup pada penderita endocarditis

Gambar 2 Ruang jantung pada penderita endocarditid

Faktor resiko terjadinya endokarditis infektif: Cedera pada kulit, lapisan mulut atau gusi (karena mengunyah atau menggosok gigi), yang memungkinkan masuknya sejumlah kecil bakteri ke dalam aliran darah Gingivitis (infeksi dan peradangan pada gusi), infeksi kecil pada kulit dan infeksi pada bagian tubuh lainnya, bisa bertindak sebagai jalan masuk bakteri ke dalam aliran darah.

Pembedahan tertentu, prosedur gigi dan beberapa prosedur medik juga dapat mempermudah bakteri untuk masuk ke dalam aliran darah. Contohnya adalah penggunaan infus intravena untuk memasukkan cairan, makanan atau obat-obatan; sitoskopi (memasukkan selang untuk memeriksa kandung kemih) dan kolonoskopi (memasukkan selang untuk memeriksa usus besar).

Katup jantung yang telah mengalami kerusakan. Pada orang yang memiliki katup jantung normal, sel darah putih pada tubuh akan menghancurkan bakteri-bakteri ini. Tetapi katup jantung yang telah mengalami kerusakan bisa menyebabkan bakteri tersangkut dan berkembangbiak disana.

Katup jantung buatan, Pada katup jantung buatan, bakteri juga bisa masuk dan bakteri ini lebih kebal terhadap pemberian antibiotik. Kelainan bawaan atau kelainan yang memungkinkan terjadinya kebocoran darah dari satu bagian jantung ke bagian jantung lainnya Septikemia Bakteremia (adanya bakteri di dalam darah) yang sifatnya ringan mungkin tidak segera menimbulkan gejala, tetapi bakteremia bisa berkembang menjadi septikemia. Septikemia adalah infeksi berat pada darah, yang sering menyebabkan demam tinggi, menggigil, gemetar dan menurunnya tekanan darah.

Pemakai obat-obat suntik, karena mereka sering menggunakan jarum atau larutan yang kotor. Pada pemakai obat suntik dan penderita endokarditis karena penggunaan kateter berkepanjangan, katup yang sering terinfeksi adalah katup yang menuju ke ventrikel kanan (katup trikuspidalis). Pada sebagian besar kasus lainnya, yang terinfeksi adalah katup yang menuju ke ventrikel kiri (katup mitralis) atau katup yang keluar dari ventrikel kiri (katup aorta). Pada pengguna katup buatan, resiko terbesar terjadinya endokarditis adalah selama 1 tahun setelah pembedahan; setelah itu resikonya berkurang, tetapi tetap lebih tinggi dari normal.

E. Gejala Endokarditis Sering penderita tidak mengetahui dengan jelas. Sejak kapan penyakitnya mulai timbul , misalnya sesudah cabut gigi, mulai kapan demam, letih-lesu, keringat malam banyak, nafsu

makan berkurang, berat badan menurun, sakit sendi, sakit dada, sakit perut, hematuria, buta mendadak, sakit pada ekstremitas (jari tangan dan kaki), dan sakit pada kulit. Gejala umum Demam dapat berlangsung terus-menerus retermiten / intermiten atau tidak teratur sama sekali. Suhu 38 - 40 C terjadi pada sore dan malam hari, kadang disertai menggigil dan keringat banyak. Anemia ditemukan bila infeksi telah berlangsung lama. pada sebagian penderita ditemukan pembesaran hati dan limpha. Gejala Emboli dan Vaskuler Ptekia timbul pada mukosa tenggorok, muka dan kulit (bagian dada). umumya sukar dibedakan dengan angioma. Ptekia di kulit akan berubah menjadi kecoklatan dan kemudian hilang, ada juga yang berlanjut sampai pada masa penyembuhan. Emboli yang timbul di bawah kuku jari tangan (splinter hemorrhagic). Gejala Jantung Tanda-tanda kelainan jantung penting sekali untuk menentukan adanya kelainan katub atau kelainan bawaan. Sebagian besar endocarditis didahului oleh penyakit jantung, tanda-tanda yang ditemukan ialah sesak napas, takikardi, palpasi, sianosis, atau jari tabuh (clubbing of the finger). Gagal jantung terjadi pada stadium akhir endokarditis infeksi, dan lebih sering terjadi pada insufisiensi aorta dan insufisiensi mitral, jarang pada kelainan katub pulmonal dan trikuspid serta penyakit jantung bawaan non valvular . Endokardiris akut Endokarditis bakterialis akut biasanya dimulai secara tiba-tiba dengan demam tinggi (38,9-40,9 Celsius), denyut jantung yang cepat, kelelahan dan kerusakan katup jantung yang cepat dan luas. Vegetasi endokardial (emboli) yang terlepas bisa berpindah dan menyebabkan infeksi tambahan di tempat lain. Penimbunan nanah (abses) dapat terjadi di dasar katup jantung yang terinfeksi atau di tempat tersangkutnya emboli yang terinfeksi.Katup jantung bisa mengalami perforasi (perlubangan) dan dalam waktu beberapa hari bisa terjadi kebocoran besar. Beberapa penderita mengalami syok; ginjal dan organ lainnya berhenti berfungsi (sindroma sepsis). Infeksi arteri dapat memperlemah dinding pembuluh darah dan meyebabkan robeknya pembuluh darah.Robekan ini dapat berakibat fatal, terutama bila terjadi di otak atau dekat dengan jantung.

Endokarditis subakut Endokarditis bakterialis subakut bisa menimbulkan gejala beberapa bulan sebelum katup jantung rusak atau sebelum terbentuknya emboli. Gejalanya berupa kelelahan, demam ringan (37,2-39,2 Celsius), penurunan berat badan, berkeringat dan anemia. Diduga suatu endokarditis jika seseorang mengalami demam tanpa sumber infeksi yang jelas, jika ditemukan murmur jantung yang baru atau jika murmur yang lama telah mengalami perubahan, Limpa bisa membesar. Pada kulit timbul binti-bintik yang sangat kecil, juga di bagian putih mata atau dibawah kuku jari tangan. Bintik-bintik ini merupakan perdarahan yang sangat kecil yang disebabkan oleh emboli kecil yang lepas dari katup jantung. Emboli yang lebih besar dapat menyebabkan nyeri perut, penyumbatan mendadak pada arteri lengan atau tungkai, serangan jantung atau stroke. Gejala lainnya : - menggigil - nyeri sendi - kulit pucat - denyut jantung yang cepat - kebingungan - adanya darah dalam air kemih. Endokarditis pada katup jantung buatan dapat bersifat akut maupun subakut. Dibandingkan dengan infeksi pada katup yang asli, infeksi pada katup buatan lebih mudah menyebar ke otot jantung di dasar katup dan melonggarkan katup. Perlu segera dilakukan pembedahan untuk mengganti katup karena gagal jantung yang disebabkan oleh kebocoran katup yang berat bisa berakibat fatal. Atau bisa terjadi gangguan pada sistem konduksi listrik jantung yang mengakibatkan melambatnya denyut jantung dan menyebabkan penurunan kesadaran secara mendadak atau bahkan kematian.

F. Pengobatan dan Pencegahan Endokarditis Penderita dirawat di rumah sakit dan mendapatkan antibiotik intravena dosis tinggi selama minimal 2 minggu. Pemberian antibiotik saja tidak cukup pada infeksi katup buatan. Mungkin perlu dilakukan pembedahan jantung untuk memperbaiki atau mengganti katub yang

rusak dan membuang mikroorganisme. Sebagai tindakan pencegahan, kepada penderita kelainan katup jantung, setiap akan menjalani tindakan gigi maupun pembedahan sebaiknya diberikan antibiotik.

G. Penggolongan obat Endokarditis Penggolongan antimikroba yaitu : - Penisilin G + Gentamisin yang disebabkan oleh infeksi bakteri streptokokus - Kloksasilin + gentamisin yang disebabkan oleh infeksi bakteri stafilokokus - Vankomisin yang disebabkan oleh infeksi bakteri stafilokokus yang toleran terhadap metisilin (MRSA) - Sefotaksim+ gentamisin yang disebabkan kuman gram negatif PENGGUNAAN OBAT I Penisilin G (benzilpenicilin)Terapi utama terhadap infeksi yang disebabkan oleh sejumlah kokus gram-positif dan gram negatif, basil gram-positif. Distribusi : Obat bebas masuk ke seluruh tubuh, semua penisilin melewati sawar plasenta tetapi tidak satupun menimbulkan efek teratogenik. Efek samping : hipersentivitas, diare, nefritis, neurotoksisitas, gangguan fungsi pembekuan darah. PENGGUNAAN OBAT II Vankomisin indikasi utama adalah endokarditis yang disebabkan oleh stafilokokukus, streptokokus,atau entrokokokus bila penderita alergi terhadap penisilin dan sefalosforin. Penggunaannya dapat dikombinasikan dengan gentamisin. Pemberian vankomisin diberikan melalui IV untuk mendapatkan efek sistemik karena pada pemberian IM menimbulkan nekrosis setempat. PENGGUNAAN OBAT III Metilisilin penggunaannya dibatasi karena penggunaannya untuk infeksi yang

disebabkan stafilokokus penghasil penisilin karena toksisitasnya, metilisilin jarang digunakan.

G. Interaksi Obat-Obatan Endokarditis Penyakit yang menyertai endokarditis kemungkinan besar adalah penyakit jantung dan hipertensi. Adapun obat jantung yang sering digunakan adalah: - Golongan vasodilator - Golongan Diuretik - Golongan inotropik : lisinopril, captopril, : furosemid, hidroklortiazid : digoksin

Perlu diperhatikan adanya interaksi antara obat jantung dengan obat-obatan endokarditis. Dari golongan obat jantung diatas furosemid (gol. Diuretik) berinteraksi dengan aminoglikosida sebagai pilihan terapi untuk endokarditis. Penggunaan furosemid tidak boleh bersamaan dengan penggunaan gentamisin (gol. Aminoglikosida). Sebagai alternatif furosemid dapat diganti dengan HCT. Gentamisin sendiri tidak dapat diganti karena pengobatan endokarditis spesifik untuk setiap bakteri penyebabnya.

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1

Simpulan Dari hasil pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker selama di Apotek Kimia Farma 51

dapat disimpulkan bahwa: 1. Fungsi dan tugas Apoteker dalam apotek diantaranya peran profesional dimana seorang apoteker melaksanakan kegiatan Pharmaceutical Care atau asuhan kefarmasian, peran manager mampu mengelola resources yang ia miliki seperti barang, uang, orang, waktu dan tempat. Serta peran retailer dimana seorang apoteker dapat melakukan identifying, stimulating dan satisfying demans. 2. Apoteker Pengelola Apotek beserta personel-personel yang terlibat di dalamnya telah menjalankan wewenang dan tugasnya dengan cukup baik dalam upaya peningkatan kualitas kehidupan pasien. 3. Selama Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Apoteker Kimia Farma No. 345 Rahmat, mahasiswa mendapatkan pengetahuan dalam kegiatan seperti pengadaan barang, pengaturan stok barang, keuangan, dan pengelolaan karyawan. 4. Dapat memahami dan menganalisa tentang penyakit endokarditis seperti definisi, penyebab dan terapi pengobatan endokarditis.

5.2

Saran Untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di Apotek Kimia Farma 345, maka

perlu dilakukan: 1. Dari segi pengelolaan barang, diperlukan adanya peningkatan dalam pengendalian persediaan barang terutama yang berkaitan dengan pencatatan kartu stok. 2. Dari segi pelayanan, Apotek Kimia Farma 345 dapat menyempurnakan pelayanannya dengan melakukan pelayanan residensial, sehingga kualitas pelayanan yang diberikan oleh Apotek Kimia Farma 345 akan menjadi semakin baik. Selain itu, perlu dilakukan peningkatan program Pelayanan Informasi Obat (PIO) dengan cara melakukan penambahan Apoteker PIO. Dengan adanya tiga orang Apoteker, diharapkan PIO dapat berlangsung mulai dari pagi hingga malam hari. Sehingga pelayanan kepada masyarakat menjadi lebih maksimal.

3. Perlu disediakannya ruangan konseling untuk menunjang pelayanan konsultasi, informasi, dan edukasi (KIE) kepada pasien. 4. Perlu di lakukan peningkatan pelayanan awal yaitu, senyum, sapa, dan salam.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, Jakarta: 2009.

2.

Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

1027/Menkes/SK/IX2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan; 2004. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 889/MENKES/V/2011. 4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Jakart:2009. 5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah No. 25 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1965. Jakarta: 1980. 6. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. No. 992/MENKES/PER/X/1993. Jakarta;1993 7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Ijin Apotek. Jakarta: 2009. 8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Undang-Undang No. 35 tentang Narkotika. Jakarta: 2009. 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 28/MENKES/PER/I/1978. 10. 11. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Undang-Undang No. 5 tentang psikotropika. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Undang-Undang No. 5 tentang Narkotika. Jakarta:1997. 12. Tim Penyelenggara dan Pengajar PKPA. Panduan dan Materi PKPA di Apotek Kimia Farma. Jakarta: PT. Kimia Farma Apotek; 2007. 13. Anonim. 2011. Endocarditis. Di akses dari :

[http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:gXrLHFh_7jgJ:www.scribd.com/

doc/37629603/Macam-Antibiotik+sefalosporin+bakterinya %3F&cd = 7&hl=id&ct = clnk&gl = id&client=firefox-a&source=www.google.co.id]. 14. 15. Yulinar, Elin Sukandar, dkk. 2009. ISO Farmakoterapi. ISFI Penerbitan. Jakarta. Ganiswara,S.G., dkk., 1945. Farmakologi dan Terapi. Edisi Empat, Bagian Farmakologi FK-UI. Jakarta. 16. Goodman and Gilman. Dasar Farmakologi dan Terapi Volume 2. Edisi 10.

Anda mungkin juga menyukai