Anda di halaman 1dari 64

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LABUANG BAJI MAKASSAR


(GELOMBANG I PERIODE 3 JULI 5 AGUSTUS 2017)

ASUHAN KEFARMASIAN DI RUANG KEPERAWATAN BAJI PAMAI II


DIABETES MELLITUS TIPE II + ABSESS COLLI

Oleh :

ANDI IKA ANDHINI PATIKKAI

N211 16 850

Disusun untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk


Menyelesaikan Program Studi Profesi Apoteker

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2017
BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Diabetes Mellitus (DM) adalah sekumpulan dari gangguan metabolik yang
ditandai oleh hiperglikemia dan abnormalitas metabolisme dari karbohidrat,
lemak, dan protein. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan
atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas
atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (1).
Saat ini diperkirakan 171 juta pasien menderita DM di seluruh dunia dan
diperkirakan tahun 2030 akan menjadi dua kali lipatnya. Hasil Riset kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007, diperoleh bahwa proporsi penyebab kematian
akibat DM pada kelompok usia 45-54 tahun di daerah perkotaan menduduki
ranking ke-2 yaitu 14,7% dan di daerah pedesaan, DM menduduki ranking ke-6
yaitu 5,8% (4,5) dan sektira beberapa persen dengan komlikasi DM menyebabkan
kematian.
Penyakit DM tipe 2 adalah penyakit gangguan hormonal yang dapat
menimbulkan berbagai mavam komplikasi sehingga pengobatannya sangat
komplek atau mendapatkan obat bermacam-macam, hal ini dapat menyebabkan
terjadinya Drug Related Problems (DRPs), sebuah penelitian di inggris yang
dilakukan pada satu unit perawatan umum menemukan 8,8% kejadian DRPs pada
93% pasien darurat. Dapat dilihat juga dari catatan sejarah bahawa di amerika
pada tahun 1997 terjai 140 ribu kematian dari 1 juta pasien yang dirawat di rumah
sakit adanya DRPs dari obat yang diberikan.
Kompikasi Diabetes Melitus dapat muncul secara akut atau timbul secara
mendadak seperti reaksi hipoglikemia dan koma diabetik. Komplikasi yang lain
muncul secara kronik atau secara perlahan, kadang tidak diketahui, tetapi akhirnya
berangsur menjadi makin berat dan membahayakan. Komplikasi ini meliputi:
makrovaskuler, mikrovaskuler dan Diabetik Retinopati, Nephropati,
Vakskulopati, Neuropathi (4)
Salah satu komplikasi vaskulopati yang terjadi pada pasien DM adalah
luka yang tak kunjung sembuh bahkan bisa menyebabkan infeksi gangguan kulit,
seperti bisul atau abses yang sifatnya berulang. Apabila tidak ditangani dengan
baik Diabets mellitus dapat menimbulkan lebih banyak lagi macam komplikasi
lainnya.(6)
Pada penderita penyakit Diabetes Mellitus (DM) banyak ditemui komplikasi
kronik berupa ulkus pada kulit di bagian ektermitas bawah seperti abses. Abses
merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di
sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau
parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan luka peluru atau jarum
suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran atau perluasan infeksi kebagian tubuh yang lain. Abses adalah infeksi
kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah (siregar,2004)
Pada pasien DM dapat terjadi penurunan fungsi respon imun yang
mengakibatkan lebih mudahnya terkena berbagai macam infeksi. Pada penderita
DM terjadi komplikasi pada semua tingkat sel, salah satunya timbul proses
angiopati dan penurunanan fungsi endotel. Keadaan ini sangat berperan pada
faktor terlambatnya proses penyembuhan luka.
Walaupun Diabetes mellitus merupakan penyakit kronik yang tidak
menyebabkan kematian secara langsung, tetapi dapat berakibat fatal bila
pengelolaannya tidak tepat. Pengelolaan DM memerlukan penanganan secara
multidisiplin yang mencakup terapi non-obat dan terapi obat (5). Penatalaksanaan
abses leher dalam pada penderita DM harus dilakukan dengan hati-hati, karena
tindakan invasif tanpa pengendalian gula darah dapat berakibat fatal. (8.10)
Penatalaksanaan pengobatan Diabetes Mellitus sudah tentu diperlukan suatu
pelayanan kesehatan yang terpadu. Dalam hal ini apoteker sebagai salah satu
profesi kesehatan sudah seharusnya berperan dari aspek pelayanan
kefarmasiannya dalam rangka menerapkan Pharmaceutical Care sebagaimana
mestinya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Diabetes Mellitus


II.1.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan
metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar
gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein
sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat
disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta
Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin (28).
Umumnya diabetes melitus disebabkan oleh rusaknya sebagian kecil atau
sebagian besar dari sel-sel betha dari pulau-pulau Langerhans pada pankreas yang
berfungsi menghasilkan insulin, akibatnya terjadi kekurangan insulin. Di samping
itu diabetes melittus juga dapat terjadi karena gangguan terhadap fungsi insulin
dalam memasukan glukosa ke dalam sel. Gangguan itu dapat terjadi karena
kegemukan atau sebab lain yang belum diketahui (2).
II.1.2 Klasifikasi
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari
waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan berdasarkan waktu munculnya
(time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut juvenile
diabetes, sedangkan yang baru muncul setelah seseorang berumur di atas 45
tahun disebut sebagai adult diabetes. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak
dipertahankan lagi, sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada
usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya
(8).
Secara ringkas, perbedaan DM Tipe 1 dengan DM Tipe 2 disajikan dalam
tabel berikut :
Tabel II.1 Perbandingan Perbedaan DM tipe 1 dan 2
Perbandingan DM Tipe 1 DM Tipe 2
Umumnya masa kanak- kanak
Pada usia tua,
Mula muncul dan remaja, walaupun ada juga
umumnya> 40 tahun
pada masa dewasa < 40 tahun
Keadaan klinis saat
Berat Ringan
diagnosis
Kadar insulin darah Rendah, tak ada Cukup tinggi, normal
Berat badan Biasanya kurus Gemuk atau normal
Pengelolaan yang Diet, olahraga,
Terapi insulin, diet, olahraga
disarankan hipoglikemik oral

Di samping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun
1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok diabetes lain yaitu
Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose
Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau Gestational Diabetes
Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan
satu tipe diabetes yang disebut Diabetes Melitus terkait Malnutrisi atau
Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM).Klasifkasi ini akhirnya juga
dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM yang
ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk
melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan etiologi penyakitnya.Klasifikasi
Diabetes Melitus berdasarkan etiologinya dapat dilihat pada tabel II.3 (1).
Tabel II.2. Klasifikasi Diabetes Mellitus Berdasarkan Etiologinya.
1. Diabetes Mellitus Tipe 1:
Destruksi sel umumnya menjurus ke arah defisiensi insulin absolut
A. Melalui proses imunologik (Otoimunologik)
B. Idiopatik
2. Diabetes Mellitus Tipe 2
Bervariasi, mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin
relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin
3. Cistic Fibrosis
Hemokromatosis
Pankreatopati fibro kalkulus
A. Endokrinopati:
1. Akromegali
2. Sindroma Cushing
3. Feokromositoma
4. Hipertiroidisme
B. Diabetes karena obat/zat kimia: Glukokortikoid, hormon tiroid, asam nikotinat,
pentamidin, vacor, tiazid, dilantin, interferon
C. Diabetes karena infeksi
D. Diabetes Imunologi (jarang)
Sidroma genetik lain: Sindroma Down, Klinefelter, Turner, Huntington,
Chorea, Prader Willi

4. Diabetes Mellitus Gestasional


Diabetes mellitus yang muncul pada masa kehamilan, umumnya bersifat sementara,
tetapi merupakan faktor risiko untuk DM Tipe 2
5. Pra-diabetes:
A. IFG (Impaired Fasting Glucose)= GPT (Glukosa Puasa Terganggu)
B. IGT (Impaired Glucose Tolerance)= TGT (Toleransi Glukosa Terganggu)

II.1.3 Patofisiologi
II.1.3.1 DM Tipe I
Pada Diabetes Tipe I terdapat ketidakmampuan pankreas menghasilkan
insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini
menimbulkan hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial. Dengan
tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul glukosuria
(glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan dan
elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus (polidipsia) (26).
II.1.3.2 DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor dan
meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat
masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa. Mekanisme inilah
yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk mengatasi resistensi insulin dan
mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang berlebihan maka harus terdapat
peningkatan jumlah insulin yang disekresikan. Namun demikian jika sel-sel beta
tidak mampu mengimbanginya maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadilah
DM tipe II (1).
DM tipe 2 memiliki hubungan genetik lebih besar dari tipe 1 DM. Satu studi
populasi kembar yang berbasis di Finlandia telah menunjukkan rate konkordansi
pada kembar yang setinggi 40%. Efek lingkungan dapat menjadi faktor yang
menyebabkan tingkat konkordansi diabetes tibe 2 lebih tinggi daripada tipe 1 DM.
Studi genetika molekular pada diabetes tipe 2, menunjukkan bahwa mutasi pada
gen insulin mengakibatkan sintesis dan sekresi insulin yang abnormal, keadaan ini
disebut sebagai insulinopati. Sebagian besar pasien dengan insulinopati menderita
hiperinsulinemia, dan bereaksi normal terhadap administrasi insulin eksogen. Gen
reseptor insulin terletak pada kromosom yang mengkodekan protein yang
memiliki alfa dan subunit beta, termasuk domain transmembran dan domain
tirosinkinase. Mutasi mempengaruhi gen reseptor insulin telah diidentifikasi dan
asosiasi mutasi dengan diabetes tipe 2 dan resistensi insulin tipe A telah
dipastikan (6).
Obesitas dapat disebabkan oleh faktor genetika bahkan faktor lingkungan.
Namun, ini memiliki efek yang kuat pada pengembangan diabetes tipe 2. DM
seperti yang ditemukan di negara-negara barat dan beberapa etnis seperti Pima
Indian. Evolusi obesitas sehingga menjadi diabetes tipe 2 adalah seperti berikut
(18) :
a. augmentasi dari massa jaringan adiposa, yang menyebabkan peningkatan
oksidasi lipid.
b. insulin resistensi pada awal obesitas, dinampakkan dari klem euglycemic,
sebagai resistent terhadap penyimpanan glukosa insulin mediated dan
oksidasi. Seterusnya memblokir fungsi siklus glikogen.
c. meskipun sekresi insulin dipertahankan, namun, glikogen yang tidak terpakai
mencegah penyimpanan glukosa yang lebih lanjut dan mengarah ke diabetes
tipe 2.
d. kelemahan sel beta yang menghasilkan insulin secara komplet. Dari proses-
proses ini, dapat dinyatakan bahwa obesitas lebih dari sekedar faktor risiko
saja, namun dapat memiliki efek kausal dalam pengembangan diabetes tipe 2.
II.1.4 Etiologi
Penyebab diabetes yang utama adalah kurangnya produksi insulin (DM tipe
I) atau kurang sensitifnya jaringan tubuh terhadap insulin (DM tipe II). Namun
jika dirunut lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menyebabkan DM sebagai
berikut (6):
1. Genetik atau faktor keturunan
DM sering diturunkan atau diwariskan, bukan ditularkan.Anggota keluarga
penderita DM memiliki kemungkinan lebih besar terserang penyakit ini
dibandingkan dengan anggota keluarga yang tidak menderita DM. Para ahli
kesehatan juga menyebutkan DM merupakan penyakit yang terpaut kromosom
seks atau kelamin. Biasanya kaum laki-laki menjadi penderita sesungguhnya,
sedangkan kaum perempuan sebagai pihak yang membawa gen untuk
diwariskan kepada anak-anaknya.
2. Sindrom ovarium polikistik (PCOS)
Menyebabkan peningkatan produksi androgen di ovarium dan resistensi insulin
serta merupakan salah satu kelainan endokrin tersering pada wanita, dan kira-
kira mengenai 6 persen dari semua wanita, selama masa reproduksinya.
3. Virus dan bakteri
Virus penyebab DM adalah rubella, mumps, dan human coxsackievirus B4.
Melalui mekanisme infeksi sitolitik dalam sel beta. Virus ini mengakibatkan
destruksi atau perusakan sel. Bisa juga, virus ini menyerang melalui reaksi
autoimunitas yang menyebabkan hilangnya autoimun dalam sel beta.
Sedangkan bakteri masih belum bisa dideteksi, tapi menurut ahli mengatakan
bahwa bakteri juga berperan penting menjadi penyebab timbulnya DM.
4. Bahan toksik atau beracun
Bahan beracun yang mampu merusak sel beta secara langsung adalah alloxan,
pyrineuron (rodentisida), dan streptozoctin (produk dari sejenis jamur)
a. Nutrisi
b. Kadar Kortikosteroid yang tinggi
c. Kehamilan diabetes gestational
d. Obat-obatan yang dapat merusak pankreas
e. Racun yang memengaruhi pembentukan atau efek dari insulin.
II.1.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan diabetes mempunyai tujuan akhir untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2
target utama, yaitu (2) :
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan beberapa
parameter yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan
diabetes (Tabel II.3).
Tabel II.3. Target Penatalaksanaan Diabetes (2)
Parameter Kadar Ideal yang Diharapkan
Kadar Glukosa Darah Puasa 80120mg/dl
Kadar Glukosa Plasma Puasa 90130mg/dl
Kadar Glukosa Darah Saat Tidur 100140mg/dl
(Bedtime blood glucose)
Kadar Glukosa Plasma Saat Tidur 110150mg/dl
(Bedtime plasma glucose)
Kadar Insulin <7 %
Kadar HbA1c <7mg/dl
Kadar Kolesterol HDL >45mg/dl (pria)
Kadar Kolesterol HDL >55mg/dl (wanita)
Kadar Trigliserida <200mg/dl
Tekanan Darah <130/80mmHg

Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang


pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat.
Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olah raga.Apabila dengan
langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan
dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik
oral, atau kombinasi keduanya (7).
II.1.5.1 Terapi Nonfarmakolgi
a. Pengaturan Diet
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes.
Diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi baik
sebagai berikut:
a. Karbohidrat : 60-70%
b. Protein : 10-15%
c. Lemak : 20-25% (24)
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stres
akut dan kegiatan fisik, yang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dan
mempertahankan berat badan ideal. Penurunan berat badan telah dibuktikan
dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki respons sel-sel
terhadap stimulus glukosa. Salah satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan
5% berat badan dapat mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c
adalah salah satu parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat
badan dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Selain
jumlah kalori, pilihan jenis bahan makanan juga sebaiknya diperhatikan.
Masukan kolesterol tetap diperlukan, namun jangan melebihi 300 mg per hari.
Sumber lemak diupayakan berasal dari bahan nabati yang mengandung lebih
banyak asam lemak tak jenuh dibandingkan asam lemak jenuh. Sebagai
sumber protein sebaiknya diperoleh dari ikan, ayam (terutama daging dada),
tahu dan tempe, karena tidak banyak mengandung lemak. Masukan serat
sangat penting bagi penderita diabetes, diusahakan paling tidak 25 gram/hari.
Di samping akan menolong menghambat penyerapan lemak, makanan berserat
yang tidak dapat dicerna oleh tubuh juga dapat membantu mengatasi rasa
lapar yang kerap dirasakan penderita DM tanpa risiko masukan kalori yang
berlebih. Di samping itu makanan sumber serat seperti sayur dan buah-buahan
segar umumnya kaya akan vitamin dan mineral (8).
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur,
stress akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan
jumlah kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%,
sehingga didapatkan Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal, berat badan
normal = 90-110% dari BB Ideal, berat badan lebih = 110-120% dari BB
Ideal, gemuk = > 120% dari BB Ideal
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan
kalori basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB,
kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja
berat). Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk
menghadapi stress akut sesuai dengan kebutuhan. Makanan sejumlah kalori
terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam beberapa porsi yaitu:
a. Makanan pagi sebanyak 20%
b. Makanan siang sebanyak 30%
c. Makanan sore sebanyak 25%
d. 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya (22).
b. Latihan Jasmani
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam
pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,
menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Latihan jasmani
selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa
darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat
aerobik seperti : jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan
jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani.
Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan,
sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan
kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan (22).
II.1.5.2 Terapi Farmakologi
a. Obat Hipoglikemik
Koda kimbal 2013, Lini pertama untuk pengobtan hipoglikemik oral iala
metformin 500 mg 2 kali sehari 1 tablet diberikan setelah makan, untuk
pasien yang memiliki gangguan ginjal lini pertama yang berikan ialah
golongan sulfonilurea yaitu glimepirid 1-2 mg perhari, pemberian metformin
dapat di kombinasikan dengan thiazodindiaon, lini kedua untuk pegobtan DM
dapat berikan dari golongan sulfoniurea, untuk pasien dengan penyakit arteri
koroner pemilihan golongan sulfonylurea generasi kedua yaitu glimepirid
sangat selektif.
1) Biguanid
Metformin adalah satu-satunya biguanida yang tersedia. Metformin
mengurangi produksi glukosa dan meningkatkan penggunaan glukosa di
perifer. Metformin juga bisa menyebabkan anoreksia ringan yang
membantu kontrol glikemik dengan memperkecil bertambahnya berat
atau merangsang pengurangan berat. Insulin harus ada agar metformin
bisa bekerja. Metformin sama efektifnya dengan sulfonilurea dalam
mengontrol glukosa darah. Metformin umumnya lebih mempengaruhi
lipid, mengurangi trigliserida puasa sekitar 16% dan low density
lipoprotein cholesterol (LDL-C) sekitar 8%, dan meningkatkan HDL-C
sekitar 2%. Metformin tidak menyebabkan hipoglikemia ketika
digunakan sendirian (14).
Efek samping paling umum adalah mual, muntah, diare, anoreksia
dan rasa logam. Efek ini bisa dikurangi dengan mentitrasi dosisnya
perlahan dan menggunakannya bersama makanan. Sediaan lepas lambat
(Glucophage XR) mengurangi efek samping saluran cerna dan bisa
digunakan sekali sehari, tapi mempunyai efek yang berbahaya pada lipid
dan bisa tidak mempunyai aktivitas glikemik yang setara dengan sediaan
metformin konvensional (14).
Kontraindikasi metformin adalah pasien yang memiliki penyakit
ginjal, hati, infeksi atau trauma berat, dehidrasi dan mereka yang minum
alkohol berlebihan. Selain itu, metformin juga tidak boleh diberikan
pada pasien dengan penyakit jantung kongestif dan wanita hamil (5).
2) Sulfonilurea
Gliburide, glipizide, dan sulfonilurea lainnya memberikan aksi
hipoglikemia dengan merangsang sekresi insulin pada pankreas,
menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan, menurunkan ambang
sekresi insulin, meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan
glukosa. Semua sulfonilurea sama efektifnya untuk menurunkan gula
darah ketika diberikan dalam dosis yang setara. Umumnya, HbA 1 C
akan turun 1,5-2,0% (15).
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal
dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit berlebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan
orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga
gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan
fungsi hati atau ginjal. (8)
Efek samping sulfonilurea adalah dapat menyebabkan gula darah
rendah, yang dikenal sebagai hipoglikemia. Namun, hal ini merupakan
masalah biasa dan tidak mungkin terjadi jika makan secara teratur, tidak
lewatkan makan, dan tidak minum alkohol terlalu banyak. Gejala gula
darah rendah dapat berupa berkeringat, goncangan, merasa lapar dan
cemas. Kontraindikasi sulfonilurea adalah pasien yang memiliki
gangguan hati atau fungsi ginjal, wanita hamil, pada pasien usia lanjut
karena resiko hipoglikemik akan meningkat, ketoasidosis (15).
3) Meglitinid
Repaglinide merupakan salah satu contoh dari golongan meglitinde.
Repaglinida adalah pilihan bagi orang yang tidak dapat menggunakan
sulfonilurea atau lebih memilih untuk menghindari suntikan. Meglitinide
bekerja untuk menurunkan kadar gula darah, mirip dengan sulfonilurea.
Meglitinid mempunyai efek puncak dan kadar puncak dalam serum
darah dalam waktu 1 jam. Karena masa kerjanya sangat cepat, obat ini
cocok untuk mengendalikan glukosa post-prandial (16).
4) Penghambat -glukosidase
Penghambat -glukosidase meliputi akarbose dan miglitol, bekerja
dengan mengganggu penyerapan karbohidrat dalam usus. Penghambat -
glukosidase membantu menurunkan kadar gula darah, tapi mekanisme
aksinya tidak seperti metformin atau sulfonilurea (17).
Efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan obat ini adalah
flatulensi, diare, dan nyeri abdominal. Pada penggunaan monoterapi tidak
terdapat masalah yang berarti, namun saat dikombinasikan dengan
sulfonilurea, dapat terjadi hipoglikemia. Golongan ini dikontraindikasikan
pada pasien dengan penyakit usus besar kronis atau peradangan usus
besar. Penggunaan akarbose pada penderita penyakit hati perlu diawasi
(17).
5) Thiazolidinedione (TZD)
Agen-agen ini mengaktifkan PPAR, suatu faktor transkripsi nuklear
yang penting pada diferensiasi sel lemak dan metabolisme asam lemak.
Agonis PPAR mengurangi resistensi insulin pada perifer (membuat otot
dan lemak sensitif terhadap insulin) dan kemungkinan di liver. Insulin
harus ada dalam jumlah yang signifikan sehingga aksi ini bisa terjadi.
Agen-agen ini umumnya menurunkan trigliserida dan meningkatkan
HDL-C, tapi LDL-C juga meningkat. Monoterapi adalah penurunan A1C
sebesar 0,5-1,4% (14).
Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah penambahan
berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan
peningkatan kejadian gagal jantung kongestif (14).
6) Dipeptidyl peptidase four inhibitor (DPP-4 Inhibitor)
DPP-4 merupakan protein membran yang diekspresikan pada
berbagai jaringan termasuk sel imun. DPP-4 Inhibitor adalah molekul
kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan
glucose-mediated insulin secretion dan mensupresi sekresi glukagon.
Penelitian klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C
sebesar 0,6-0,9 %. Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia
bila dipakai sebagai monoterapi (16).
b. Terapi Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
a. Semua penderita DM dari setiap umur dalam keadaan ketoasidosis atau
pernah masuk kedalam ketoasidosis.
b. DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet
(perencanaan makanan).
c. DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif
maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan
dinaikkan perlahan-lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien.
d. Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu
pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang
bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman
pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat
yang optimal.
Keuntungan yang mendasar dari penggunaan insulin dibandingkan
obat antidiabetik oral dalam pengobatan diabetes mellitus adalah insulin
terdapat di dalam tubuh secara alamiah. Selain itu, pengobatan dengan
insulin dapat diberikan sesuai dengan pola sekresi insulin endogen.
Sementara itu, kendala utama dalam penggunaan insulin adalah
pemakaiannya dengan cara menyuntik dan harganya yang relatif mahal.
Namun demikian, para ahli dan peneliti terus mengusahakan penemuan
sediaan insulin dalam bentuk bukan suntikan, seperti inhalan sampai bentuk
oral agar penggunaannya dapat lebih sederhana dan menyenangkan bagi
para pasien (18).
Berbagai sediaan insulin berbeda pada sumbernya (manusia atau
hewan), kemurnian, mula kerja, waktu untuk mencapai puncak efek, durasi
efek, dan tampilan. Insulin umum mempunyai mula kerja yang relatif lambat
ketika diberikan subkutan, memerlukan injeksi 30 menit sebelum makan
untuk mendapatkan kontrol glukosa post prandial yang optimal dan
mencegah hipoglikemia setelah makan yang tertunda (14).
Sediaan insulin untuk terapi dapat digolongkan menjadi 4
kelompok, yaitu (5):
a. Insulin masa kerja singkat (short-acting insulin), disebut juga insulin
reguler.
b. Insulin masa kerja sedang (intermediate-acting insulin).
c. Insulin masa kerja sedang dengan mula kerja cepat.
d. Insulin masa kerja panjang (long-acting insulin).
Berikut penggolongan sediaan insulin, yaitu :
Respon individual terhadap terapi insulin cukup beragam, oleh
sebab itu jenis sediaan insulin mana yang diberikan kepada seorang
penderita dan berapa frekuensi penyuntikannya ditentukan secara
individual, bahkan seringkali memerlukan penyesuaian dosis terlebih
dahulu. Umumnya, pada tahap awal diberikan sediaan insulin dengan kerja
sedang, kemudian ditambahkan insulin dengan kerja singkat untuk
mengatasi hiperglikemia setelah makan.Insulin kerja singkat diberikan
sebelum makan, sedangkan Insulin kerja sedang umumnya diberikan satu
atau dua kali sehari dalam bentuk suntikan subkutan .Namun, karena tidak
mudah bagi penderita untuk mencampurnya sendiri, maka tersedia sediaan
campuran tetap dari kedua jenis insulin regular (R) dan insulin kerja
sedang (NPH). Waktu paruh insulin pada orang normal sekitar 5-6 menit,
tetapi memanjang pada penderita diabetes yang membentuk antibodi
terhadap insulin. Insulin dimetabolisme terutama di hati, ginjal dan otot.
Gangguan fungsi ginjal yang berat akan mempengaruhi kadar insulin di
dalam darah (16,18).
Tabel II.4 Penggolongan Sediaan Insulin Berdasarkan Mula Dan Masa Kerja

Mula Masa
Puncak
kerja kerja
Jenis Sediaan Insulin Nama sediaan
(jam)
(jam) (jam)

1. Humulin R (generik)

Actripad (paten)

Masa kerja Singkat 1. Lispro (generik)


(Short acting insulin) Humalog (paten)
0,5 14 68
2. Aspart (generik)
Novorapid (paten)

3. glulisin (generik)
Apidra (paten)

Masa kerja Sedang


(Intermediate acting 1. NPH/ Human (generik)
insulin) 2. Humulin N (generik) 1-2 6-12 18-24
3. Insulatard (paten)
4. Penfil (paten)

1. Glarglin (generik)
Masa kerja panjang 2. Lantus (paten)
3. Insulin determir 4-6 14-20 24-36
(Long acting insulin)
(generik)
4. Levemir (Paten)

(Sumber : Petunjuk Praktis: Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus, 2015)

Gambar II.2 Perhitungan Dosis Penggunaan Insulin

(Sumber : Petunjuk Praktis: Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Mellitus, 2015)
II.2.1 Abeses
II.2.1.1 Definisi
Abses merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi(biasanya
oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan luka
peluru atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan
untuk mencegah penyebaran atau perluasan infeksi kebagian tubuh yang lain.
Abses adalah infeksi kulit dan subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah
(siregar,2004)
Abses juga dapat dikatakan sebagai rongga abnormal yang berada di bagian
tubuh, ketidak normalan di bagian tubuh, disebabkan karena pengumpulan nanah
di tempat rongga itu akibat proses radang dan kemudian membentuk nanah.
Dinding rongga abses biasanya terdiri dari sel yang telah cidera, tetapi masih
hidup. Isi abses yang berupa nanah tersebut terdiri atas sel darah putih dan
jaringan yang nekrotik dan mencair. Abses biasanya disebabkan oleh kuman
patogen misalnya bisul.
II.2.2 Etiologi
Menurut siregar 2004 suatu infeksi bisa menyebabkan abses melaluli
beberapa cara:
1. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka ynag berasal dari tusukan jaru yang
tidak seteril.
2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi dibagian tubuh yang lain
3. bakteri yang dalam keadaan normal hidup didalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya abses.
Peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika :
1. Terdapat kotoran atau benda asing didaerah tempat terjadinya infeksi.
2. Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang.
3. Terdapat gangguan sistem kekebalan.
II.2.3 Patofisiologi
Infeksi bakteri terjadi ketika terdapat inokulum bakteri yang jumlahnya
mencapai 100.000 organisme per ml eksudat, atau per gram jaringan, atau per
mm2 daerah permukaan. Itu kemudian ditunjang dengan lingkungan yang rentan
terhadap bakteri seperti air, elektrolit, karbohidrat, hasil pencernaan protein, dan
darah. Hilangnya resistensi pejamu terhadap infeksi (sawar fisik yang terganggu,
respon biokimiawi/humoral yang menurun, respon selular yang menurun).

Bakteri menimbulkan beberapa efek sakitnya dengan melepaskan senyawa


berikut:
1. Enzim : Hemolisin, Streptokinase, Hialuronidase
2. Eksotoksin : Tetanus, Difteri yang dilepaskan bakteri intak gram
positif
3. Endotoksin : Lipopolisakaridase (LPS) dilepaskan dari dinding sel saat
kematian bakteri
Setelah kulit terpapar bakteri, timbul respon inflamasi seperti rubor
(kemerahan), tumor (pembengkakan), dolor (nyeri), dan kalor (panas). Setelah itu
rekasi inflamasinya menetap, sedangkan infeksinya menghilang. Infeksi kemudian
menyebar melalui beberapa cara: (1) langsung ke jaringan sekitar; (2) sepanjang
daerah jaringan; (3) melalui sistem limfatik; dan (4) melalui aliran darah. Setelah
infeksi menyebar, muncul abses. Abses ini merupakan respon kekebalan tubuh
terhadap infeksi yang muncul. Jika dirawat dengan baik, akan muncul jaringan
granulasi, fibrosis, dan jaringan parut. Namun jika tidak ditangani secara baik,
akan menyebabkan infeksi kronis, yakni menetapnya organisme pada jaringan
yang menyebabkan respon inflamasi kronis (Pierce & Borley, 2007)
II.2.4 Manifestasi klinis
Abses bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh termasuk paru-
paru,mulut,rektum, dan otot. Abses yang sering ditemukan didalam kulit atau
tepat didalam kulit terutama jika timbul di wajah. Menurut smeltzer dan
bare,gejala dari abses tergantung pada lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi
suatu organ saraf. Gejala bisa berupa :
1. Nyeri
2. Nyeri tekan
3. Teraba hangat
4. Pembengkakan
5. Kemerahan
6. Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak seperti
benjolan. Adapun lokasi abses antara lain ketiak, telinga, dan tungkai bawah. Jika
abses akan pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit
diatasnya menipis. Suatu abses didalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala
seringkali tumbuh lebih besar. Abses dalam mungkin lebih menyebar ke seluruh
tubuh pada pemeriksaan fisik ditemukan:
1. Luka terbuka atau tertutup
2. Organ/ jaringan terinfeksi
3. Massa eksudat
4. Peradangan
5. Abses superfisial dengan ukuran bervariasi
6. Rasa sakit dan bila dipalpasi akan terasa flutuaktif
II.2.5 Pemeriksaan Penunjang
1. hasil pemeriksaan leukosit menunjukkan peningkatan sel darah putih
2. untuk menentukan ukuran dan lokasi akses dilakukan pemeriksaan rontgen,
USG, CT,Scan, atau MRI
II.2.6 Penatalaksanaan
Drainase abses dengan menggunkan pembedahan biasanya diindikasikan
apabila abses berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap pus
yang lebih lunak. Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area
yang kritis tindakan pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan
terakhir yang perlu dilakukan.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering
digunakan. Dengan adanya kemunculan bakteri staphylococcus aureus resisten
methicillin (MRSA) yang didapat melalui komunitas, antibiotik tersebut menjadi
tidak efektif. Untuk menangani MRSA yang didapat melalui komunitas,
digunakan antibiotik lain seperti clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole,
dan doxycycline.
Apabila telah terjadi supurasi dan fluktuasi, lakukan insisi. Tindakan dalam
melakukan insisi adalah sebagai berikut:
1. Perlengkapan ; cairan antiseptic, alat dan anestesi, scalpel bermata nomor 11,
kuret, kassa, tampo, pembalut.
2. Tindakan dilakukan sesuai prinsip asepsis dan antisepsis
3. Tindakan anastesis:
4. Pada abses yang dalam, lakukan infiltrasi tepat di atas abses.
5. Bila letak abses di permukaan lakukan anestesi dengan etil klorida yang
disemprotkansampai terbentuk lapisan putih mirip salju.
6. Tusukan dan buat insisi lurus dengan scalpel kedalam abses di tempat yang
mempunyai fluktuasi maksima, bila rongga abses cukup besa dan kulit
diatasnya mengalami nikrotik, lakukan insisi silan kemudian lakukan atap
abses dibuang dengan mengeksisi sudut-sudutnya. Jika tidak ingin melakukan
eksisi, sayatan harus cukup panjang agar luka terbuka lebar dan tidak terlalu
cepatmenutip kembali.
7. Keluarkan pus. Lokuli didalam abses dapat dirusak dengan jari, sedangkan
membrannya dapat dikeluarkandengan hati-hati dengan alat kuret.
8. Setelah pus dikeluarkan seluruhnya, rongga diisi tampondapat digunakan
tampon berbentuk pita yang bisa terbuat dari kasa yang telah dibasahi paraffin
atau potongan sarung tangan steril. Sisakan ujung pita diluar rongga. Tampon
tidak boleh dijajalkan terlalu padat karena akan menghalangi keluarnya
eksudat dan menghambat obliterasi luka.
9. Tutup luka denga balutan yang menyerap cairan sebagai kompres basah dan
memberikan tekanan yang lebih dibandingkan biasanya. Kompres dengan
larutan garam fisiologis atau antseptikringan. Balutan diganti minimal sehari 3
kali.
10. Periksa 24-48 jam kemudian dan angkat tampon. Bila eksudat masih mengalir
ulangi tindakan ini tiap 48-72 jam sampai tanda-tanda penyembuhan mulai
terlihat.
BAB III

STUDI KASUS

III.1 Profil Penderita


Nama : Ny. HJ. Norma Baba
Umur : 61 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Berat Badan : 53 kg
Alamat : Jl. Sulthan Abdullah 1
Masuk RS : 17 Juli 2017
Ruang Inap : Baji Pamai I
Cara Bayar : BPJS
No. RM : 35xxxx
KRS : 25 juli 2017
III.2 Profil Penyakit
Keluhan Utama : Bisul yang membengkak, dan nyeri pada leher
Anamnesa Terpimpin : Pasien datang dengan keluhan Lemas dan
kesakitan pada leher.
Riwayat Penyakit : Jantung, Hipertensi, DM Tipe II
Diagnosa awal : Absess colli
Diagnosa Utama : DM Tipe II + Absess colli
III.3 Data Hasil Pemeriksaan Klinik Pasien
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap pasien, maka diperoleh data fisik pasien selama menerima perawatan di rumah sakit
seperti pada
Tabel III.1 Data Hasil Pemeriksaan Klinik Pasien

No HasilPengamatan
Data Klinik Nilai Rujukan
17/7 18/7 19/7 20/7 21/7 22/7 23/7 24/7 25/7

1 Tekanan darah 140/90 mmHg 170/100 140/90 140/90 120/80 120/80 120/80 130/80 130/80 120/90

2 Pernapasan 16-24x/mnt 23 24 24 24 24 25 24 22 22

3 Denyut Nadi 70-90x/mnt 90 98 90 76 77 74 70 70 70

4 Suhu Badan 36.5oC 38 37,8 37 37,4 36 36 36 36 36

5 Demam + + - + - - - - -
6 Batuk - - - - - - - - -

7 Sesak nafas - - - - - - - - -

8 Mual - - - + - - - - -
9 Lemah + + + + + + + + +
10 Nyeri ++ ++ + + + + - - -

11 BAB Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa Biasa

Tidak Tidak
12 BAK Lancar Lancar Lancar Lancar Lancar Lancar Lancar
lancar lancar

Keterangan: (+) = Ada keluhan Cetak merah = diatas normal (-) = Tidak ada keluhan

25
III.4 Data Laboratorium
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium pasien, maka diperoleh data pada tabel III.2 :
Tabel III.2 Data Hasil Laboratorium
Tanggal Pemeriksaan
No Pemeriksaan Nilai Normal
18/7 19/7 20/7 21/7 22/7 23/7
1 WBC 4,0-10,0 x 103/ L 31,8 - - - - -
2 RBC 4,5-5,5 x 106/ L 4,88 - - - - -
3 HGB 14-18 g/Dl 13,6 - - - - -
4 HCT 40-50 % 38,0 - - - - -
5 MCV 80-96fl 79,8 - - - - -
6 MCH 27-31pg 281 - - - - -
7 MCHC 32-37 g/dL 35,2 - - - - -
8 PLT 150-400 x 103/ L 366 - - - - -
9 PDW 10-18 fl 12,3 - - - - -
10 MPV 6,1-8,9fl 9,8 - - - - -
11 NEUT 50-70 % 66 - - - - -
12 LYMPH 20-40 % 23 - - - - -
13 MONO 2-8 % - - - - - -
14 GDS 140 mg/dL 320 195 210 139 257 230
15 GDP 110 mg/dL 260 260 - - - -
16 Ureum darah 15-39 mg/dL 57 88,6 - - - -
17 Serum kreatinin 0,55-1,3 mg/dL - - - - - -
18 SGOT < 38 /L - - - - - -
19 SGPT < 41 /L - - - - - -
20 Albumin 3,4-5 g/dL - - - 2,27 - -
Keterangan : Cetak Merah = Hasil diatas Normal Cetak Biru = Hasil dibawah Normal
III.6 Profil Pengobatan
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap pasien tersebut, maka dilakukan intervensi pengobatan, sepertipada tabel III.3 :
Tabel III.3. Data Profil Pengobatan Pasien

Aturan Tanggal Pengamatan


No Nama obat
Dosis Pakai 17/7 18/7 19/7 20/7 21/7 22/7 23/7 24/7 25/7
1 Ringer Laktat infus 500 mL 16tpm - -
2 NaCl 500 ml 20tpm - - - - - - -
3 Cetapain infuse 1000mg 28tpm - - - - - -
4 Ranitidin Inj 25 mg/ml 12 j/IV - -
5 Ceftriazone 1000 mg 12j/IV -
6 Metronidazoone infuse 100 ml 8j/IV -
7 Lantus 100 UI/ml 0-0-12 UI
8 Novorapid 100 UI/ml 8-8-8 UI
9 Vip Albumin Kapsul 500 mg 3x2 kaps - - - - -
10 Ketorolak Inj 30 mg/ml 24j/IV - -
11 Asam Mefenamat 500 mg 3x1 tab - - - - - -
12 Paracetamol Tablet 500 mg 3x1 tab - - -
13 Amplodipin 10 mg 1x1 tab - - - - - -
14 Valesco 80 mg 1x1 tab - - - - - -
15 Dulcolax 5mg 1x1 tab - - - - - - - -
III.7 Analisa Rasionalitas
Berdasarkan profil pengobatan yang diberikan pada pasien, maka dibuat analisis rasionalitas seperti tabel III.4 :
Tabel III.4. Data Analisa Rasionalitas

Rasionalitas
No. NamaObat Cara Lama
Indikasi Obat Dosis AturanPakai Penderita
Pemberian Pemberian
1 Ringer Laktat infus IR IR IR IR IR IR IR
2 NaCl R R R R R R R
R Cetapain infuse R R R R R R IR
4 Ranitidin Inj IR IR IR IR IR IR IR
5 Ceftriazone R R R R R R R
6 Metronidazole infuse R R R R R R R
7 Lantus R R IR IR R R IR
8 Novorapid R R IR IR R R IR
9 Vip Albumin Kapsul IR IR IR IR IR IR IR
10 Ketorolak Inj R R R R R R IR
11 Asam Mefenamat IR IR IR IR IR IR IR
12 Paracetamol Tablet IR IR IR IR IR IR IR
13 Amplodipin R R R R R R R
14 Valesco R R R R R R R
15 Dulcolax R R R R R R IR
Keterangan : Cetak merah : IR (Irrasional)
Cetak hitam : R (Rasional)
III.8 Asessment and Plan

Berdasarkan analisis rasional pengobatan pasien selama dirawat di rumah sakit, maka dilakukan assessment dan plan seperti
pada tabel III.5
Tabel III.5 Data Assesment dan Plan terhadap profil pengobatan pasien

PROBLEM MEDIK TERAPI DRPs REKOMENDASI MONITORING


Nyeri Asam mefenamat Perlu diketahui derajat nyeri yang dialami pasien untuk menentukan
Tidak tepat obat terapi yang lebih tepat, sebaiknya asam mefenamat dihilangkan kerena Derajat nyeri
duplikasi indikasi dengan Ketorolac injeksi sama-sama golongan AINS
Hiperglikemik Novarapid Tidak tepat obat Sebaiknya dilakukan pemeriksaan HbA1C untuk menetukan
Levimir pengobatan yang lebih akurat menggunakan insulin dan menyesuaikan Kondisi pasien
dosis sesuai kg/BB pasein
Demam Cetapain Tidak tepat obat Pemberian Obat double, cetapain dan paracetamol dengan kompoisi
Suhu badan
Paracetamol yang sama seharusnya salah satu yang digunakan, dan kondisi pasien
yang demamnya sudah redah tetapi masih diberikan Cetapain dan pasien
Paracetamol, seharusnya bila demam saja.
BAB tidak lancar Dulcolax Tidak tepat Pemberian suppositorio tidak pada kondisi yang awal. Seharusnya
pemberian diberikan pada awal dimana pasien susah BAB Kondisi pasien

Hipoalbumin Vip Albumin Tidak tepat obat Terapi albumin oral tidak boleh diberikan pada pasien dengan kadar
albumin di bawah 3 g/dL, harus diganti dengan albumin infuse.
Kadar albumin
Lanjutan Tabel III.5 Data Assesment and Plan terhadap profil pengobatan pasien

PROBLEM MEDIK TERAPI DRPs REKOMENDASI MONITORING


Tidak ada problem medik RL Tidak tepat pemberian Cairan RL mengandung laktat dapat meyebabkan kontraindikasi Kondisi pasien
dengan pasien diabetes mellitus sehingga berisiko asidosis laktat.
Disarankan untuk mengganti cairan elektrolit seperti NaCL

Ranitidin Tidaka ada indikasi Pemberian injeksi ranitdin tidak sarankan, karena tidak ada kondisi
pasien yang mengarah pada indikasi ranitidine inj.

Ketorolac Lama pemberian Pemakaian ketorolac hanya maksimal 5 hari. Sebaiknya setelah Kondisi pasien
cukup 5 hari diganti dengan analgetik lain
III.9 Konseling
INSTALASI FARMASI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LABUANG BAJI MAKASSAR
PELAYANAN FARMASI KLINIK, PIO DAN MUTU
FORM KONSELING OBAT

Nama : Ny. Hj Norma Baba Cara Bayar : BPJS Mandiri


Umur : 60 Tahun No. RM : 35XXX
Jenis Kelamin : Perempuan Masuk RS : 17 Juli 2017
Alamat : Jl. Sultan Abdullah I Keluar RS : 25 juli 2017
Tabel III.7. Pelayanan Informasi Obat Kepada Pasien

No Tanggal Konseling Masalah/Keluhan Konseling yang Diberikan


- Memberikan informasi tentang waktu-waktu penggunaan obat
- Perkenalan awal sebagai mahasiswa Praktek Kerja yang diberikan oleh perawat kepada pasien.
1 Selasa, 20 Juli 2017 Profesi Apoteker kepada pasien dan keluarga pasien. - Menganjurkan pasien agar minum obat secara teratur.
- Pasien mengalami sesak, batuk, dan bengkak pada kaki - Memberikan informasi tentang indikasi obat-obat yang
digunakan pasien.
- Menganjurkan pasien agar minum obat secara teratur.
- Pasien dianjurkan untuk banyak istirahat
- Menganjurkan kepatuhan pasien mengkonsumsi obat pemberian
2. Sabtu 24 juli 2017 Pasien masih merasa lemah dan nyeri pada leher
dokter.
- Segera menghubungi ke dokter jika terjadi keluhan efek samping
obat.
III.10 Uraian Obat
1. Larutan Ringer Laktat
a. Komposisi
Setiap 500 mL mengandung Natrium Laktat 1,25 g, Natrium Klorida 3 g,
Kalium Klorida 0,2 g, Kalsium Klorida, 0,135 g.
b. Indikasi
Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi. (11)
Sebagai agen alkaliniser, pengganti cairan dan elektrolit. (23)
c. Dosis dan Aturan Pakai
Infus IV diberikan sesuai dengan kondisi penderita. (11)
Dosis diberikan tergantung umur dan keadaan klinis pasien. (23)
d. Efek Samping
Panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena atau flebitis yang
meluas dari tempat penyuntikan, ekstravasasi. (I1)
Reaksi alergi, urtikaria, pruritus, edema (periorbital, wajah, atau laring), batuk,
bersin atau kesulitan bernafas. (24)
e. Kontraindikasi
Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, laktat asidosis (11)
f. Perhatian dan Peringatan
Pasien dengan gagal jantung kongestif, hiperkalemia, insufisiensi ginjal berat
dan kondisi klinis dimana ada edema dengan retensi sodium atau potassium.
Perhatian pada alkalosis metabolik atau pernafasan. Penggunaan yang
berlebihan dapat menyebabkan alkalosis metabolik. Tidak diberikan bersamaan
dengan darah melalui pengaturan administrasi yang sama karena risiko
koagulasi. Pemberian intravena dapat menyebabkan overloading cairan. Tidak
digunakan dalam pengobatan asidosis laktat. Pantau keseimbangan cairan,
elektrolit dan keseimbangan asam basa selama perawatan yang berkepanjangan.
Kehamilan. (23)
Jangan digunakan bila botol rusak, larutan keruh atau berisi partikel. (11)
g. Bentuk Sediaan
Infus IV, 500 ml
2. Novorapid
a. Komposisi
Setiap 1 mL mengandung 100UI Insulin Aspart
b. Indikasi
Terapi diabetes melitus tipe 1 dan 2 (22, 11, 3)
c. Dosis dan Aturan Pakai
0,5-1 UI/kgBB/hari (22, 11)
d. Efek Samping
Hipoglikemia, edema, pucat, berkeringat, dan nafsu makan meningkat (20)
Hipoglikemik, urtikaria, ruam, reaksi anafilaksis, neuropatiperifer, gangguan
pembiasan, retinopati diabetes, edema (11)
e. Kontraindikasi
Hipoglikemia, hipersensitifitas (23, 12)
f. Perhatian dan Peringatan
Penyakit atau obat yang dapat memperlambat absorpsi makanan dan atau
meningkatkan kebutuhan insulin. Pengurangan jadwal makan, aktivitas fisik
yang berat. Preparat yang mengandung metacresol yang dapat menyebabkan
reaksi alergi. Dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau menjalankan
mesin. Hamil. (20)
Dosis yang tidak mencukupi atau pemberhentian khususnya pada pasien
diabetes mellitustipe 1 dapat menyebabkan hipoglikemik (11)
g. Interaksi Obat
Obat hipoglikemik oral, inhibitor ACE, alkohol, steroid anabolic, alcohol,
steroid anabolikdapat menurunkan kebutuhan insulin (11)
h. Bentuk Sediaan
FlexPen 300UI/mL
3. Vip Albumin (27)
a. Komposisi
Setiap kapsul mengandung ekstrak Ophiocephalus striatus
b. Indikasi
Meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan kadar albumin dan
haemoglobin, mempercepat penyembuhan luka pasca operasi, menghilangkan
edema, mempercepat proses penyembuhan penyakit, sebagai nutrisi tambahan
untuk lansia, ibu hamil, dan anak-anak
c. Dosis dan Aturan Pakai
2 kapsul 3x sehari
Mempercepat penyembuhan luka pasca operasi, hipoalbumin, dan luka bakar 4
kapsul 3x sehari
Suplemen nutrisi 1 kapsul 1x sehari
d. Kontraindikasi
Gagal jantung (3)
e. Bentuk Sediaan
Kapsul 500 mg
4. Asam Mefenamat
a. Komposisi
Setiap kapsul mengandung Asam mefenamat 500 mg
b. Indikasi
Meredakan nyeri ringan hingga sedang pada sakit kepala, sakit gigi, dismenore
primer, juga nyeri traumatik, otot dan pasca operasi (23)
Digunakan pada nyeri ringan sampai sedang termasuk sakit kepala, sakit gigi,
nyeri pasca operasi dan postpartum, dan dismenorea, gangguan muskuloskeletal
dan sendi seperti osteoarthritis dan rheumatoid arthritis, dan pada menorrhagia.
(20)
Nyeri ringan-sedang (4)
c. Mekanisme Kerja
Kerja Asam mefenamat yaitu menghambat sintesa Prostaglandin dengan
menghambat kerja enzim cyclooxygenase/PGHS (COX-1 & COX-2)
d. Dosis dan Aturan Pakai
Dosis awal 500 mg, dilanjutkan 250 mg tiap 6 jam (21)
Dosis oral biasa adalah 500 mg 3 kali sehari. Informasi produk berlisensi AS
merekomendasikan dosis awal 500 mg diikuti 250 mg setiap 6 jam sesuai
kebutuhan. Ketika asam mefenamat digunakan dalam pengobatan nyeri ringan
sampai sedang pada orang dewasa dan remaja yang berusia 14 tahun ke atas,
sebaiknya juga tidak diberikan lebih dari 7 hari pada satu waktu. (21)
Nyeri ringan-sedang: dosis oral : 500 mg, kemudian 250 mg setiap 4 jam sesuai
kebutuhan; Terapi maksimal: 1 minggu (4)
e. Efek Samping
Gangguan gastrointestinal, mengantuk, hipersensitifitas, diare, anafilaksis,
gelisah, agranulositosis, anemia aplastik, hipoplasia sumsum tulang,
leukopenia, hipotensi (22)
Diare, ruam, rasa kantuk, trombositopenia, anemia hemolitik, dan anemia
aplastik. Kejang-kejang mungkin terjadi pada overdosis. (22)
Diare, ruam, stomatitis (3)
f. Kontraindikasi
Tukak gastrointestinal dan inflamasi pada saluran cerna atas atau bawah.
Gagal hati atau ginjal, bronkospasme, rinitis alergi, urtikaria apabila diterapi
dengan aspirin atau AINS lain, bedah pintas coroner atau CABG (22)
Asam mefenamat kontraindikasikan pada pasien dengan penyakit radang
usus (22)
Perdarahan gastrointestinal aktif, ulserasi gastrointestinal aktif. Riwayat
perdarahan gastrointestinal terkait dengan terapi NSAID sebelumnya, riwayat
perforasi gastrointestinal yang terkait dengan terapi NSAID sebelumnya.
Sejarah perdarahan gastrointestinal berulang (dua atau lebih episode yang
berbeda), riwayat ulserasi gastrointestinal berulang (dua atau lebih episode yang
berbeda), penyakit radang usus besar dan gagal jantung berat (23)
g. Perhatian dan Peringatan
Hipertensi, reaksi kulit, efek pada ginjal, asama akibat penggunaan AINS
atau salisilat, hamil dan laktasi (21)
Jangan berikan pasien dengan asma yang peka terhadap aspirin, dapat
menyebabkan bronkospasme parah. Hati-hati penggunaanyanya pada pasien
dengan bentuk asma lainnya. (4)
Gangguan alergi, kerusakan jantung (NSAID dapat merusak fungsi ginjal),
penyakit serebrovaskular, defek koagulasi, gangguan hibridisasi, lanjut usia
(berisiko terkena efek samping dan kematian serius), epilepsi, gagal jantung,
penyakit jantung iskemik, penyakit arteri perifer, faktor risiko kardiovaskular,
kejadian, hipertensi yang tidak terkontrol (3)
h. Interaksi Obat
- Meningkatkan efek antikoagulan kumarin (21)
- Inhibitor ACE: Agen Anti-Inflamasi Nonsteroid dapat mengurangi efek
antihipertensi Inhibitor ACE.
Aminoglikosida: Agen Antiinflamasi Nonsteroid dapat menurunkan
ekskresi Aminoglikosida. Data hanya pada bayi prematur.
Pemblokir Reseptor Angiotensin II: Agen Anti-Inflamasi Nonsteroid dapat
mengurangi efek terapeutik dari Pemblokir Reseptor Angiotensin II.
Kombinasi kedua agen ini juga dapat secara signifikan menurunkan filtrasi
glomerulus dan fungsi ginjal.
Beta-Blocker: Agen Anti-Inflamasi Nonsteroid dapat mengurangi efek
antihipertensi Beta-Blocker. Pengecualian: Levobunolol; Metipranolol. (4)
- Interaksi yang melibatkan NSAID meliputi peningkatan efek antikoagulan
oral (terutama oleh azapropazone dan fenilbutazon) dan peningkatan
konsentrasi plasma lithium, metotreksat, dan glikosida jantung. Risiko
nefrotoksisitas dapat meningkat jika diberikan dengan inhibitor ACE,
ciclosporin, tacrolimus, atau diuretik. Efek pada fungsi ginjal dapat
menyebabkan berkurangnya ekskresi. Mungkin juga ada peningkatan risiko
hiperkalemia dengan penghambat ACE dan beberapa diuretik, termasuk
diuretik hemat kalium. Efek antihipertensi dari beberapa antihipertensi
termasuk penghambat ACE, beta blocker, dan diuretik dapat dikurangi.
Kejang-kejang mungkin terjadi karena adanya interaksi dengan kuinolon.
NSAID dapat meningkatkan efek antidiabetik fenitoin dan sulfonilurea.
(22)
i. Bentuk Sediaan
Kapsul : 250 mg
5. Paracetamol
a. Komposisi
Setiap tablet mengandung paracetamol 500 mg
b. Indikasi
Nyeri ringan sampai sedang (3)
Sebagai antipiretik, analgesik dan antiinflamasi (21)
Menghilangkan demam dan nyeri (24)
c. Mekanisme Kerja
Parasetamol adalah derivate p-aminofenol yang mempunyai sifat
antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzene
dan mekanismenya diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik
parasetamol dapat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang. Sifat
antiinflamasinya sangat lemah.
d. Dosis dan Aturan Pakai
- Nyeri ringan sampai sedang
Oral : 0,5-1 g setiap 4-6 jam; Maksimal 4 g perhari
Infus intrava (berat badan 10-50 kg) : 15 mg / kg setiap 4-6 jam, maksimum 60
mg / kg perhari, (berat badan 50 kg ke atas): 1 g setiap 4-6 jam, 4 g per hari (3)
- Dosis oral : 0,5-1 g setiap 4 sampai 6 jam, dosis maksimal 4 g/hari. Parasetamol
juga dapat diberikan sebagai supositoria dalam dosis rektal 0,5- 1 g setiap 4
sampai 6 jam, 4 kali sehari.
Parasetamol juga diberikan infus intravena selama 15 menit :
Pasien dengan berat di atas 50 kg, dosis tunggal 1 g setiap 4 jam atau lebih,
maksimal 4 g setiap hari
Pasien dengan berat 33 sampai 50 kg, dosis tunggal 15 mg / kg setiap 4 jam
atau lebih, sampai maksimum 60 mg / kg atau 3 g sehari (20)
- 1-2 tab 3-4 kali sehari (21)
e. Efek Samping
Malaise, reaksi kulit, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal
toksik, gangguan darah, leucopenia, neutropenia, trombositopenia. (3)
Efek samping parasetamol jarang terjadi dan biasanya ringan, termasuk
trombositopenia, leucopenia, pansitopenia, neutropenia, dan agranulositosis
telah dilaporkan. Ruam kulit dan reaksi hipersensitivitas lainnya kadang terjadi.
Overdosis dengan parasetamol dapat menyebabkan kerusakan hati yang parah
dan kadang-kadang nekrosis tubulus ginjal akut. (21)
Reaksi hematologi, erupsi kulit, mual, muntah, nekrosis tubulus ginjal,
hiperglikemia, hipoglikemia. Dosis besar dapat menyebabkan kerusakan ginjal
(22)
f. Kontraindikasi
Tidak boleh digunakan pada penderita dengan gangguan fungsi hati dan ginjal
(3, 22, 20)
g. Perhatian dan Peringatan
Ketergantungan alkohol. Sebelum pemberian, periksa kapan parasetamol
terakhir diberikan dan dosis parasetamol kumulatif selama 24 jam sebelumnya,
dehidrasi kronis, malnutrisi kronis, insufisiensi hepatoselular. (3)
Parasetamol harus diberikan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan
ginjal atau fungsi hati, dan pasien ketergantungan alkohol. (20)
Alkoholik (21)
h. Interaksi Obat
Risiko toksisitas parasetamol dapat meningkat pada pasien yang menerima
obat hepatotoksik atau obat yang menginduksi enzim mikrosomal hati.
Penyerapan parasetamol dapat dipercepat dengan obat-obatan seperti
metoclopramide. Ekskresi dapat terpengaruh dan konsentrasi plasma berubah
bila diberikan dengan probenesid. Colestyramine mengurangi penyerapan
parasetamol jika diberikan dalam 1 jam parasetamol. (20)
Antikoagulan, antihipertensi, aminopirin, vasopresin (21)
Anticonvulsants (Hydantoin): dapat meningkatkan metabolisme
parasetamol. Hal ini dapat mengurangi efek parasetamol dan meningkatkan
risiko kerusakan hati. Barbiturat: dapat meningkatkan metabolisme
parasetamol. Hal ini dapat mengurangi efek parasetamol dan meningkatkan
risiko kerusakan hati. CarBAMazepine: dapat meningkatkan metabolisme
parasetamol. Hal ini dapat mengurangi efek parasetamol dan meningkatkan
risiko kerusakan hati. Resin Cholestyramine: dapat menurunkan penyerapan
parasetamol. Efek minimal jika cholestyramine diberikan 1 jam setelah
parasetamol. Imatinib: Dapat meningkatkan konsentrasi serum parasetamol.
Isoniazid: dapat meningkatkan efek merugikan/toksik parasetamol. Antagonis
Vitamin K (misalnya warfarin): parasetamol dapat meningkatkan efek
antikoagulan dari antagonis vitamin K. Kemungkinan besar dengan dosis
parasetamol harian> 1,3 g selama> 1 minggu.
i. Bentuk Sediaan
Tablet 500 mg
6. Ranitidin Injeksi
a. Komposisi
Setiap mL mengandung 27,9 mg Ranitidin HCl setara dengan Ranitidin 25 mg.
b. Indikasi
Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk tukak lambung, tukak
duodenum, tukak ringan aktif, terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk
refluks gastroesofagus dan esofagitis erosive, terapi jangka pendek dan
pemeliharaan kondisi hipersekresi patologis, sebagai bagian regimen
multiterapi eradikasi H. Pylori untuk mengurangi risiko kekambuhan tukak,
meringankan heartburn, acid indigestion, dan lambung asam. (4)
Ulserasi saluran pencernaan bagian atas, profilaksis aspirasi asam selama
anestesi umum, infeksi h.pylori , ulserasi GI dan duodenum, penyakit refluks
gastroesofagus, dispepsia, ulserasi terkait NSAID. (20)
Ulserasi gaster dan ulserasi duodenum, dispesia kronis, ulserasi gaster
terkait NSAID, ulkus duodenum terkait NSAID, profilaksis ulkus duodenum
terkait NSAID, penyakit refluks gastroesofagus sedang sampai parah,
pengobatan jangka panjang untuk menyembuhkan penyakit refluks gastro
esophagus, penurunan asam lambung (profilaksis aspirasi asam) pada
kebidanan, pengurangan asam lambung (profilaksis aspirasi asam) dalam
prosedur pembedahan. (BNF)
c. Mekanisme Kerja
Ranitidine secara kompetitif menghambat histamin pada reseptor H2 dari
sel parietal lambung yang menghambat sekresi asam lambung. Ini tidak
mempengaruhi sekresi pepsin, pentagastri merangsang sekresi faktor intrinsik
atau serum gastrin. (mims online)
d. Dosis dan Aturan Pakai
Ulserasi saluran pencernaan bagian atas : 50 mg dengan dosis IV . Kondisi
hipersekresi: dosis awalnya, 1 mg/kg/jam, dapat meningkat dengan
penambahan 0,5 mg/kg/jam mulai setelah 4 jam jika perlu. (mims online)
Ulkus duodenum: IM : 50 mg setiap 6-8 jam. IV : bolus intermiten atau
infus: 50 mg setiap 6-8 jam. IV berkelanjutan Infus: 6,25 mg / jam (4)
Ulserasi gaster dan ulserasi duodenum: 150 mg dua kali sehari selama 4-8
minggu, atau 300 mg sekali sehari selama 4-8 minggu, dosisnya diminum pada
malam hari. Dispesia kronis: 150 mg dua kali sehari selama 6 minggu, atau
300 mg sekali sehari selama 6 minggu, dosis diminum pada malam hari.
Ulserasi gaster terkait NSAID: 150 mg dua kali sehari sampai 8 minggu, atau
300 mg sekali sehari hingga 8 minggu, dosisnya diminum pada malam hari.
Ulkus duodenum terkait NSAID: 300 mg dua kali sehari selama 4 minggu.
Profilaksis ulkus duodenum terkait NSAID: 300 mg dua kali sehari. Penyakit
refluks gastroesofagus: 150 mg dua kali sehari sampai 8 minggu atau jika perlu
12 minggu, atau 300 mg sekali sehari sampai 8 minggu atau jika perlu 12
minggu, dosisnya diminum pada malam hari. Penyakit refluks gastroesofagus
sedang sampai parah: 600 mg setiap hari dalam 2-4 dosis terbagi sampai 12
minggu. Pengobatan jangka panjang untuk menyembuhkan penyakit refluks
gastroesophagus:150 mg dua kali sehari. Penurunan asam lambung (profilaksis
aspirasi asam) pada kebidanan: 150 mg, dosis yang diberikan saat onset
persalinan, kemudian 150 mg setiap 6 jam. Pengurangan asam lambung
(profilaksis aspirasi asam) dalam prosedur pembedahan, injeksi intramuskuler
atau dengan lambat injeksi intravena: 50 mg, diberikan 45-60 menit sebelum
induksi anestesi, injeksi intravena diencerkan sampai 20 mL dan diberikan
paling sedikit 2 menit, alternatifnya (melalui mulut) 150 mg, diberikan 2 jam
sebelum induksi anestesi. Dan juga bila memungkinkan pada malam
sebelumnya. Profilaksis stres ulserasi dengan injeksi intravena: 50 mg setiap 8
jam, dosis diencerkan sampai 20 mL dan diberikan paling sedikit 2 menit, dapat
diulang setiap 6-8 jam. (3)
e. Efek Samping
Sakit kepala, mualise, pusing, mengantuk, insomnia, vertigo, agitasi,
depresi mental, halusinasi, konstipasi, mual, muntah, ketidaknyamanan perut
atau nyeri, ruam (urtikaria, makulopapular, danpruritus). Peningkatan kreatinin
serum dalam jumlah kecil, peningkatan serum aminotransferase (AST dan
ALT), alkaline phosphatase, LDH, total bilirubin, dan -glutamyl transferase.
Jarang terjadi : ruam ringan seperti eritema multiforme, gangguan motorik
reversibel, pankreatitis, alopesia, bronkospasme, demam, aritmia jantung,
eosinofilia, leukopenia, granulositopenia, agranulositosis, trombositopenia,
anemia aplastik, anemia hemolitik hemoglobin, dan pansitopenia. (33)
Bradikardia, denyut ventrikel prematur, takikardia, vaskulitis, agitasi,
pusing, depresi, halusinasi, sakit kepala, insomnia, malaise, kebingungan
mental, mengantuk, vertigo, eritema multiforme, ruam, ketidaknyamanan
perut/nyeri, sembelit, diare, mual, pankreatitis, muntah, anemia aplastik,
granulositopenia, leukopenia, pansitopenia, trombositopenia, serum kreatinin
meningkat. (4)
Penglihatan kabur, alopesia, gangguan pergerakan, nefritis interstisial,
pankreatitis (3)
f. Kontraindikasi
Riwayat porfiria akut (20)
Hipersensitivitas terhadap ranitidin atau komponen formulasi lainnya (4,
23)
g. Perhatian dan Peringatan
Gastric malignan. Gangguan hati: gunakan dengan hati-hati pada pasien
dengan gangguan hati. Porfiria: Hindari penggunaan pada pasien dengan
riwayat porfiria akut; bisa memicu serangan. Kerusakan ginjal: gunakan dengan
hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal; Penyesuaian dosis dianjurkan.
(4)
Gastric malignan harus dikecualikan sebelum terapi karena obat tersebut
dapat menutupi gejala dan menunda diagnosis keganasan gastrik. Pasien
mengalami kesulitan menelan. Renal dan gangguan hati. Kehamilan dan
menyusui.(23)
Gangguan hati, pemberian pada pasien dengan sirosis yang menunjukkan
peningkatan bioavailabilitas dan penurunan clearance ranitidine. Porfiria,
ranitidin dianggap tidak aman pada pasien porfiria. Gangguan ginjal, penurunan
clearance ranitidin pada pasien dengan gangguan ginjal. (20)
h. Interaksi Obat
Agen antijamur (Azole Derivatif Sistemik): H2-Antagonis dapat
menurunkan penyerapan Agen Antijamur (Azole Derivatif Sistemik).
Atazanavir: H2-Antagonis dapat menurunkan penyerapan Atazanavir.
Cefpodoxime: H2-Antagonis dapat menurunkan penyerapan cefpodoxime.
Cefuroxime: H2-Antagonis dapat menurunkan penyerapan cefuroxime. (4)
Ranitidine menghambat metabolisme hati dari antikoagulan cumarin,
teofilin, diazepam dan propanolol. Dapat mengubah penyerapan obat yang
bergantung pada pH (Ketoconazole, midazolam, glipizide). Dapat mengurangi
bioavailabilitas antasida. Meningkatkan efek/toksisitas siklosporin
(meningkatkan serum kreatinin). (27)
Pengaruhnya terhadap pH lambung dapat mengubah penyerapan beberapa
obat lain. (20)
i. Bentuk Sediaan
Ampul 25 mg
7. Ceftriaxon Vial (3, 23, 21)
a. Komposisi
Setiap vial mengandung 1 gram ceftriaxon

b. Indikasi
Infeksi saluran nafas bawah, ISK, infeksi tulang dan sendi, infeksi intra
abdomen, infeksi kulit, septikemia, bakteremia, dan profilaksis pra operasi.
c. Farmakologi
Ceftriaxon merupakan golongan sefalosporin. Ceftriaxon mempunyai
spektrum luas dan waktu paruh eliminasi 8 jam. Ceftriaxon efektif terhadap
mikroorganisme gram positif dan gram negatif. Ceftriaxon juga sangat stabil
terhadap enzim beta laktamase yang dihasilkan oleh bakteri. Ceftriaxon
didistribusikan secara luas pada jaringan dan cairan tubuh. Ceftriaxon
melewati lapisan meningen baik yang terkena inflamasi maupun non
inflamasi, umumnya dapat mencapai konsentrasi terapeutik dalam cairan
serebrospinalis.
d. Efek Samping
Peningkatan sementara SGOT/SGPT & BUN, gangguan GI, reaksi
hipersensitivitas, superinfeksi, leukopenia sementara, eosinofilia, neutropenia,
trombositosis.
e. Perhatian
Hipersensitivitas terhadap penisilin, hamil dan laktasi
f. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap sefalosporin
g. Interaksi Obat
Ceftriaxone memiliki rantai samping N-methylthiotriazine dan mungkin
memiliki potensi untuk meningkatkan efek dari antikoagulan dan
menyebabkan reaksi seperti disulfiram dengan alkohol. Tidak seperti banyak
sefalosporin, probenesid tidak berpengaruh ekskresi ginjal dari ceftriaxone.
h. Dosis
Dewasa dan anak > 12 tahun dan berat badan >50 kg : 1 -2 g 1 kali/hari,
Maksimal 4 gram. Profilaksis infeksi sebelum operasi : 1 g dosis tunggal,
diberikan -1 jam sebelum operasi. Bayi dan anak < 12 tahun 50-75 mg/kg
BB/hari dalam 2 dosis terbagi dengan maksimal 4 g/hari. Meningitis 100
mg/kg BB/har dalam 2 dosis terbagi. Ceftriaxone diberikan sebagai Garam
natrium dengan injeksi intravena lambat setidaknya 2 sampai 4 menit, dengan
infus intravena intermiten paling sedikit 30 menit, atau dengan injeksi
intramuskular yang dalam. Jika lebih dari 1 g disuntikkan secara
intramuskular maka dosisnya harus dibagi antara lebih dari Satu situs dosis
dinyatakan dalam istilah yang setara Jumlah ceftriaxone; 1,19 g natrium
ceftriaxone adalah Setara dengan sekitar 1 g ceftriaxone. Dosis biasa orang
dewasa adalah 1 sampai 2 g sehari sebagai dosis tunggal atau dua terbagi
Dosis; Pada infeksi berat sampai 4 g setiap hari dapat diberikan. Dosis untuk
bayi dan anak-anak (di bawah 50 kg) adalah 20 Sampai 50 mg / kg sekali
sehari; Untuk infeksi berat sampai 80 mg / kg sehari dapat diberikan. Pada
neonatus, maksimal dosis tidak boleh melebihi 50 mg / kg perhari; Intravena
dosis pada neonatus harus diberikan lebih dari 60 menit. Dosis di atas 50 mg /
kg harus diberikan oleh Infus intravena saja. Dosis intramuskular dosis
tunggal 250 mg dianjurkan untuk pengobatan gonorhea yang tidak rumit.
Untuk profilaksis infeksi bedah, dosis tunggal 1 g dapat diberikan 0,5 sampai
2 jam sebelum operasi; dosis 2 g disarankan sebelum operasi kolorektal.
Untuk pencegahan kasus sekunder meningokokus meningitis, satu dosis
intramuskular 250 mg untuk dewasa dan 125 mg untuk anak-anak.
8. Metronidazol Drips (3, 16, 23, 22)
a. Komposisi
Setiap 100 ml mengandung Metronidazol 500 mg
b. Mekanisme Kerja
Berinteraksi dengn DNA menyebabkan perubahan struktur helik DNA
dan putusnya rantai sehingga sintesa protein dihambat dan kematian sel.
c. Indikasi
Pencegahan dan pengobatan karena infeksi bakteri anaerob, bacteroides,
strep anaerob dan infeksi protozoa.
d. Kontraindikasi
Gangguan fungsi hati, gangguan hematopoietik.
e. Perhatian
Penyakit dan gangguan SSP, monitor darah dan fungsi lambung selama
penggunaan jangka lama, hamil trisemester 2 dan 3 serta laktasi. Reaksi
seperti disulfiran terjadi bila diberikan bersama alkohol, gangguan fungsi hati
dan hepatik ensephalopaty. Bila pengobatan melebihi 10 hari, dianjurkan
untuk melakukan pemeriksaan klinis dan laboratoris
f. Efek samping
Demam, ruam kulit, urtikaria, syok anafilaksis, eritema multiformis,
mual, muntah, gangguan pengecapan,lidah kasar, gangguan saluran cerna, dan
angiodem. Kadang-kadangtimbul rasa lesu, mengantuk, pusing, ataksia, urin
berwarna gelap dan anafilaksis. Neuritis perifer pada penggunaan jangka
panjang, serangan epilepsi transien, leukopenia.
g. Dosis
Pencegahan infeksi selama pasca operasi abdominal (terutama
kolorectal) , ginekologi. Dewasa : 500 mg secara infus IV sebelum operasi
dilanjutkan dengan 500 mg per oral tiap 8 jam, untuk mulai diberikan segera ;
anak < 12 tahun 7,5 mg/kg BB (1,5 mL/kg BB) tiap 8 jam.
h. Interaksi obat
Bila diberikan dengan alkohol, metronidazol bisa memicu sebuah reaksi
seperti disulfiram pada beberapa pasien. Psikosis akut Atau kebingungan telah
dikaitkan dengan penggunaan dari metronidazol dan disulfiram secara
bersamaan. Metronidazol dilaporkan mengganggu metabolisme atau Ekskresi
beberapa obat termasuk warfarin, Fenitoin , litium, Ciclosporin, dan
fluorouracil, dengan konsekuensi potensial untuk peningkatan kejadian efek
yang merugikan. Ada beberapa bukti bahwa fenitoin mungkin mempercepat
metabolisme metronidazol. Konsentrasi plasma metronidazol diturunkan oleh
fenobarbital, Dengan konsekuensi pengurangan efektivitas dari metronidazol.
Simetidin dapat meningkatkan konsentrasi plasma metronidazol dan mungkin
meningkatkan resiko efek samping neurologis.
9. Ketorolac Ampul (3, 23, 22)
a. Komposisi
Setiap ml mengandung ketorolac tromethamine 30 mg
b. Farmakologi
Ketorolac tromethamine merupakan suatu analgesic non-narkotik. Obat
ini merupakan obat anti-inflamasi nonsteroid yang menunjukkan aktivitas
antipiretik yang lemah dan anti-inflamasi. Ketorolac tromethamine
menghambat sintesis prostaglandin dan dapat dianggap sebagai analgesic yang
bekerja perifer karena tidak mempunyai efek terhadap reseptor opiate.
c. Indikasi
Ketorolac diindikasikan untuk penatalaksanaan jangka pendek terhadap
nyeri akut sedang sampai berat setelah prosedur bedah. Durasi total ketorolac
tidak boleh lebih dari lima hari. Ketorolac secara parenteral dianjurkan
diberikan segera setelah operasi. harus diganti ke analgesic alternative
sesegera mungkin, asalkan terapi ketorolac tidak melebihi 5 hari. Ketorolac
tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai obat prabedah obsteri atau untuk
analgesia obsteri karena belum diadakan penelitian yang adekuat mengenai
hal ini dan karena diketahui mempunyai efek menghambat biosintesis
prostaglandin atau kontraksi rahim dan sirkulasi fetus.
d. Kontraindikasi
a. Pasien yang sebelumnya pernah mengalami alergi dengan obat ini, karena
ada kemungkinan sensitivitas silang
b. Pasien yang menunjukkan manifestasi alergi serius akibat pemberian
asetosal atau obat anti-inflamasi nonsteroid lain
c. Pasien yang menderita ulkus peptikum aktif
d. Penyakit serebrovaskular yang dicurigai maupun yang sudah pasti
e. Diathesis hemoragik termasuk gangguan koagulasi
f. Sindrom polip nasal lengkap atau parsial, angioedema atau bronkospasme
g. Hypovolemia akibat dehidrasi atau sebab lain
h. Gangguan ginjal derajat sedang sampai berat (kreatinin serum >160
mmol/L)
i. Riwayat asma
j. Sindroma stevens-johnson atau ruam visikobulosa
k. Pasien pasca operasi dengan risiko tinggi terjadi perdarahan atau
hemostasis inkomplit, pasien dengan antikoagulan termasuk heparin dosis
rendah (2.500-5.000 unit setiap 12 jam)
l. Terapi konkomitan dengan anti koagulan
m. Administrasi neuraksial
n. Profilaksis sebelum bedah mayor atau intra operasi
o. Selama kehamilan dan laktasi
p. Anak < 16 tahun
e. Perhatian
Riwayat perdarahan GI, gangguan pembekuan darah, gagal jantung,
hipertensi.
f. Interaksi obat
a. Pemberian ketorolac bersama dengan methotrexate harus hati-hati karena
beberapa obat yang menghambat sintesis prostaglandin dilaporkan
mengurangi bersihan metotrexatae, sehingga memungkinkan peningkatan
toksisitas methotrexate.
b. Penggunaan bersama NSAID dengan warfarin dihubungkan dengan
perdarahan berat yang kadang-kadang fatal. Mekanisme interaksi pastinya
belum diketahui, namun mungkin meliputi peningkatan perdarahan dari
ulserasi gastrointestinal yang diinduksi NSAID atau efek tambahan
antikoagulan oleh warfarin dan penghambatan fungsi trombosit oleh
NSAID
c. ACE inhibitor karena ketorolac dapat meningkatkan risiko gangguan
ginjal yang dihubungkan dengan penggunaan ACE inhibitor, terutama
pada pasien yang telah mengalami deplesi volume
d. Ketorolac mengurangi respon diuretic terhadap furosemide kira-kira 20%
pada orang sehat normovolemik
e. Penggunaan obat dengan aktivitas nefrotoksik harus dihindari bila sedang
memakai ketorolac misalnya antibiotic aminoglikosida
f. Pernah dilaporkan adanya kasus kejang sporadic selama penggunaan
ketorolac bersama dengan obat-obat anti-epilepsi
g. Pernah dilaporkan adanya halusinasi bila ketorolac diberikan pada pasien
yang sedang menggunakan obat psikoaktif
g. Efek samping
Diare, dyspepsia, nyeri gastrointestinal, nausea, sakit kepala, pusing,
mengantuk, berkeringat, konstipasi, gangguan fungsi hati, melena, tukak
peptik, perdarahan rectal, stomatitis, vomitus, kembung, depresi, mulut
kering, eforia, haus, parestesia, vertigo, asma, dispnea, pruritus, urtikaria,
vasodilatasi, pucat, edema, astenia, mialgia, nyeri injeksi, purpura, gangguan
penglihatan, poliuria, oliguria.
h. Dosis
Ketorolac ampul ditujukan untuk pemberian injeksi dalam 15 detik
dengan durasi terapi maksimal 2 hari. Untuk dewasa 10 mg, dilanjutkan 10-30
mg 4-6 jam kemudian dengan dosis total harian maksimal 90 mg. Ketorolak
digunakan secara intramuskular, intravena, atau oral sebagai garam
trometamol dalam pengelolaan jangka pendek nyeri postoperatif sedang
sampai parah. Namun, perlu dicatat bahwa karena kekhawatiran atas tingginya
kejadian efek samping yang dilaporkan dengan dosis dan durasi pemakaian
maksimal ketorolac terbatas. Durasi maksimum yang disarankan untuk terapi
parenteral adalah 2 hari di Inggris, dan pasien harus dipindahkan ke terapi oral
sesegera mungkin; penggunaan oral dibatasi sampai 7 hari. Di Amerika
Serikat dianjurkan durasi gabungan maksimum penggunaan ketorolac
parenteral dan oral tidak boleh melebihi 5 hari.
Ampul : dosis awal ketorolac yang dianjurkan adalah 10 mg diikuti
dengan 10-30 mg tiap 4 sampai 6 jam bila diperlukan dan harus diberikan
dosis efektif terendah. Dosis harian total tidak boleh lebih dari 90 mg untuk
orang dewasa dan 60 mg untuk orang lanjut usia, pasien gangguan ginjal dan
pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg serta lamanya terapi tidak boleh
lebih dari 2 hari. Pada seluruh populasi, gunakan dosis efektif terendah dan
sesingkat mungkin. Untuk pasien yang diberi ketorolac ampul, dosis harian
total kombinasi tidak boleh lebih dari 90 mg (60 mg untuk pasien lanjut usia,
gangguan ginjal dan pasien yang berat badannya kurang dari 50 kg). Di
Amerika, anak dengan usia 2-16 tahun mungkin akan diberikan ketoroloac
dalam dosis tunggal intramuskular dengan dosis 1 mg/kg maksimal
ditingkatkan sampai 30 mg atau dosis tunggal intravena dengan dosis 0,5
mg/kg ditingkatkan sampai 15 mg.Di Inggris, ketorolac parental hanya
direkomendasikan pada anak 16 tahun atau lebih. Ketorolac oral tidak
direkomendasikan untuk anak-anak
10. Amlodipin Tablet (3, 23, 21)
a. Komposisi
Setiap tablet mengandung 5 mg amlodipin.
b. Indikasi
Amlodipin digunakan untuk pengobatan hipertensi, angina stabil kronik,
angina vasospastik (angina prinzmetal atau variant angina). Amlodipine dapat
diberikan sebagai terapi tunggal ataupun dikombinasikan dengan obat
antihipertensi dan antiangina lain.
c. Farmakologi
Amlodipin merupakan antagonis kalsium golongan dihidropiridin
(antagonis ion kalsium) yang menghambat influks (masuknya) ion kalsium
melalui membran ke dalam otot polos vaskular dan otot jantung sehingga
mempengaruhi kontraksi otot polos vaskular dan otot jantung. Amlodipin
menghambat influks ion kalsium secara selektif, di mana sebagian besar
mempunyai efek pada sel otot polos vaskular dibandingkan sel otot
jantung. Efek antihipertensi amlodipin adalah dengan bekerja langsung
sebagai vasodilator arteri perifer yang dapat menyebabkan penurunan
resistensi vaskular serta penurunan tekanan darah. Dosis satu kali sehari akan
menghasilkan penurunan tekanan darah yang berlangsung selama 24 jam.
Onset kerja amlodipin adalah perlahan-lahan, sehingga tidak menyebabkan
terjadinya hipotensi akut.Efek antiangina amlodipin adalah melalui dilatasi
arteriol perifer sehingga dapat menurunkan resistensi perifer total (afterload).
Karena amlodipin tidak mempengaruhi frekuensi denyut jantung,
pengurangan beban jantung akan menyebabkan penurunan kebutuhan oksigen
miokardial serta kebutuhan energi. Amlodipin menyebabkan dilatasi arteri dan
arteriol koroner baik pada keadaan oksigenisasi normal maupun keadaan
iskemia. Pada pasien angina, dosis amlodipin satu kali sehari dapat
meningkatkan waktu latihan, waktu timbulnya angina, waktu timbulnya
depresi segmen ST dan menurunkan frekuensi serangan angina serta
penggunaan tablet nitrogliserin. Amlodipin tidak menimbulkan perubahan
kadar lemak plasma dan dapat digunakan pada pasien asma, diabetes serta
gout.
d. Efek samping
Secara umum amlodipin dapat ditoleransi dengan baik, dengan derajat
efek samping yang timbul bervariasi dari ringan sampai sedang. Efek samping
yang sering timbul dalam uji klinik antara lain : edema, sakit kepala. Secara
umum : fatigue, nyeri, peningkatan atau penurunan berat badan.Pada keadaan
hamil dan menyusui : belum ada penelitian pemakaian amlodipin pada wanita
hamil, sehingga penggunaannya selama kehamilan hanya bila keuntungannya
lebih besar dibandingkan risikonya pada ibu dan janin. Belum diketahui
apakah amlodipin diekskresikan ke dalam air susu ibu. Karena keamanan
amlodipine pada bayi baru lahir belum jelas benar, maka sebaiknya amlodipin
tidak diberikan pada ibu menyusui. Efektivitas dan keamanan amlodipin pada
pasien anak belum jelas benar.
e. Perhatian
Gangguan fungsi hati dan ginjal, gagal jantung kongestif, hamil, laktasi,
hipotensi, lanjut usia, dan anak
f. Kontraindikasi
Amlodipin tidak boleh diberikan pada pasien yang hipersensitif terhadap
amlodipin dan golongan dihidropiridin lainnya atau salah satu komponen obat
ini. Syok kardiogenik, stenosis aorta berat, angina pectoris tidak stabil, infark
miokard akut, hipotensi berat, gangguan hati berat.
g. Interaksi Obat
Efek ditingkatkan oleh antihipertensi lain dan antidepresan trisiklik.
Nitrat, bloker, amiodaron, dan kuinidin. Penginduksi enzym ketika
diberikan bersamaan bamazepin, fenitoin dan rifampisin. Penghambat enzym
ketika diberikan bersamaan simetidin, erytromisin dan HIV protease inhibitor.
h. Dosis
Penggunaan dosis diberikan secara individual, bergantung pada toleransi
dan respon pasien. Dosis awal yang dianjurkan adalah 5 mg satu kali sehari,
dengan dosis maksimum 10 mg satu kali sehari untuk penggunaan
penanganan hpiertensi, angina stabil dan angina prinzmetal. Dosis yang
direkomendasikan untuk angina stabil kronik ataupun angina vasospastik
adalah 5-10 mg. Dosis awal yang lebih rendah diberikan untuk pasien yang
sudah lanjut usia dan yang mengalami gangguan hati yaitu 2,5 mg sekali
sehari sangat direkomendasikan.
11. Infus NaCl 0.9%
a. Komposisi
tiap 1000 mL mengandung 9 gram NaCl
b. Indikasi
Mengembalikan keseimbangan elektrolit pada dehidrasi.
c. Dosis dan Aturan Pakai
Infus IV 2,5 ml/kg/BB?jam atau 60 tetes/70 kgBB/menit atau disesuaikan
dengan kondisi penderita.
d. Efek Samping
Edema jaringan pada penggunaan volume besar (biasanya paru-paru),
penggunaan dalam jumlah besar menyebabkan alkumulasi natrium, infeksi
pada tempat penyuntikan.
e. Kontraindikasi
Asidosis, hipokalemia, hiponatremia, hipertonik uterus, retensi cairan.
f. Perhatian
Gagal jantung kongestif, gangguan fungsi ginjal, hipoproteinemia, udem
perifer, udem paru. Anak, usia lanjut, hipertensi dan toksemia pada
kehamilan.
12. Dulcolax (14)
a. Komposisi
Tiap suppositoria mengandung bisakodil 10 mg.
b. Indikasi
Sembelit, menghilangkan rasa nyeri pada buang air besar, seperti
hemoroid, sebelum dan sesudah operasi, persiapan sebelum barium enema,
persiapan usus besar untuk protosigmoidoskopi.
c. Dosis
Dewasa: sekali sehari 1 suppositoria atau sekali sehari 2 tablet, jika perlu
4 tablet. Untuk anak sekali sehari suppositoria anak atau sekali sehari 1 tablet,
diberikan pada malam hari sebelum tidur.
d. Kontra indikasi
Operasi perut akut
e. Kemasan
Tiap suppositoria dewasa mengandung 10 mg bisakodil, suppositoria
anak mengandung 5 mg biaskodil, dan tiap tablet mengandung 5 mg
bisakodil.
13. Cetapain infuse 1000 mg (Mims)
a. Komposisi
Setiang 10 mg/ml mengandung Paracetamol
b. Indikasi
Nyeri ringan hingga sedang ssdh op; demam, dimana rute pemberian IV
secara klinis dibenarkan krn adanya kebutuhan mendesak utk mengatasi rasa
nyeri atau hipertermia &/atau jika rute pemberian lainnya tdk mungkin atau
tdk efektif utk dilakukan.
c. Dosis
Dws & remaja dg BB >50 kg 1 g secara infus IV selama 15 mnt,
diberikan hingga 4 x/hr. Dosis maks: 4 g. Dws & remaja dg BB <50 kg,
anak >33 kg 15 mg/kg BB secara infus IV selama 15 mnt, diberikan hingga 4
x/hr. Dosis maks: 60 mg/kg BB. Minimal selang waktu (interval) antar
pemberian dosis: 4 jam.
d. Kontraindikasi
Hipersensitivitas. Insufisiensi hati berat, gagal hati atau peny hati aktif.
e. Perhatian
Insufisiensi hepatoseluler, insufisiensi ginjal berat (bersihan kreatinin <30
mL/mnt); alkoholisme kronik, malnutrisi (rendahnya cadangan glutation
hepatik), dehidrasi. Penggunaan bersama dg obat lain yg mgd parasetamol.
Hamil & laktasi.
f. Efek Samping
Mual, reaksi hipersensitivitas,, ruam kulit atau urtikaria, kurang enak
badan, hipotensi, trombositopenia, leukopenia, neutropenia, peningkatan
kadar transaminase hepatik.
g. Interaksi
Probenesid, salisilamid, preparat yg menginduksi enzim, antikoagulan oral.
14. Lantus (mims)
a. Komposisi
Insulin glargine
b. Indikasi
Pengobatan diabetes mellitus pada dewasa, remaja dan anak usia 2 tahun
keatas.
c. Dosis
Dosis bersifat individual. 1 x/hari, secara injeksi, diberikan padd waktu yang
sama tiap hari.
d. Kontraindikasi
Lantus tidak boleh digunakan pada pasien hipersensitif terhadap insulin
glargine atau eksipien.
e. Perhatian
Bukan untuk pengobatan diabetes karena ketoasidosis. Epidemi hiperaktif
atau hipoglikemik. Penyakit antarwaktu atau kondisi lain yang mengubah
kebutuhan insulin. Dapat mengganggu kemampuan mengemudi atau
mengoperasikan mesin akibat hipo- atau hiperglikemia. Kerusakan hati dan
ginjal. Ibu Hamil & laktasi, Anak, Lansia 65 tahun.

f. Efek samping
Hipoglikemia, gangguan visual temporer, lipodistrofi, reaksi atau alergi pd
tempat injeksi.
g. Interaksi
Peningkatan efek penurunan gula darah jika digunakan bersama
antidiabetik oral, ACE inhibitor, disopiramid, fibrat, fluoksetin, MAOI,
pentoksifilin, propoksifen, salisilat, antibiotik sulfonamid. Efek penurunan
gula darah akan berkurang jika digunakan bersama kortikosteroid, danazol,
diazoksid, diuretik, glukagon, isoniazid, estrogen & progestogen, derivat
fenotiazin, somatropin, simpatomimetik, hormon tiroid. bloker, klonidin,
garam litium atau alkohol dpt memperkuat atau memperlemah efek penurunan
gula darah. Pentamidin dpt menyebabkan hipoglikemia, kadang diikuti dg
hiperglikemia.
15. Valesco 80 mg
a. Komposis
Setiap tablet mengandung Valsartan 80 mg
b. Indikasi
Pengobatan hipertensi bisa digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan
agen antihipertensi lainnya. Pengobatan gagal jantung (NYHA kelas II-IV)
pada pasien yang tidak toleran terhadap inhibitor ACE.
c. Dosis
a. Hipertensi: Dosis yang Disarankan: 80 mg sekali sehari, terlepas dari ras,
usia atau jenis kelamin. Efek antihipertensi secara substansial ada dalam 2
minggu dan efek maksimal terlihat setelah 4 minggu. Pada pasien yang
tekanan darahnya tidak terkontrol dengan baik, dosis harian bisa
ditingkatkan menjadi 160 mg, atau diuretik dapat ditambahkan. Valsartan
juga dapat diberikan dengan agen antihipertensi lainnya.
b. Gagal Jantung : Dosis Awal yang Disarankan: 40 mg dua kali sehari.
c. Uptitrasi sampai 80 dan 160 mg dua kali sehari harus dilakukan dengan
dosis tertinggi, seperti yang ditoleransi oleh pasien. Pertimbangan harus
diberikan untuk mengurangi dosis diuretik bersamaan. Dosis harian
maksimum yang diberikan dalam uji klinis adalah 320 mg dalam dosis
terbagi. Penggunaan bersamaan dengan inhibitor ACE dan pemblokir
tidak dianjurkan.
d. Post-Myocardial Infarction: Terapi dapat dimulai sejak 12 jam setelah
infark miokard. Setelah dosis awal 20 mg dua kali sehari, terapi valsartan
harus dititrasi sampai 40, 80 dan 160 mg dua kali sehari selama beberapa
minggu ke depan. Dosis awal diberikan oleh tab 40 mg yang dapat dibagi.
Jika terjadi hipotensi simtomatik atau disfungsi ginjal, pertimbangan harus
diberikan pada pengurangan dosis. Valsartan dapat digunakan pada pasien
yang diobati dengan terapi infarksi post-miokard lainnya, misalnya
trombolitik, asam asetilsalisilat, -blocker atau statin. Anak-anak:
Keamanan dan kemanjuran valsartan belum terbentuk pada anak-anak.
e. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap valsartan, kerusakan hati parah; sirosis;
obstruksi empedu. Penggunaan pada kehamilan: Karena mekanisme aksi
antagonis Ang II, risiko janin tidak dapat dikesampingkan. Dalam paparan in
utero terhadap inhibitor ACE yang diberikan kepada wanita hamil selama
trimester kedua dan ketiga telah dilaporkan menyebabkan luka dan kematian
pada janin yang sedang berkembang. Sedangkan untuk obat apa pun yang juga
bekerja langsung di RAAS, valsartan sebaiknya tidak digunakan selama
kehamilan. Jika kehamilan terdeteksi selama terapi, valsartan harus dihentikan
sesegera mungkin.
f. Perhatian
Pasien dengan stenosis arteri ginjal, gagal jantung, stenosis aorta atau
mitral, Na dan / atau deplesi berat. Renal dan ringan sampai sedang gangguan
hati. Laktasi.
g. Efek samping
Pusing, hipotensi, hiperkalemia, neutropenia, infeksi virus, nyeri
punggung, artralgia, kelelahan, sakit perut, diare, batuk, penglihatan kabur.
Peningkatan BUN dan serum kreatinin.
h. Interaksi
Dapat memusuhi efek hipotensi dan meningkatkan risiko kerusakan ginjal
dengan OAINS. Meningkatnya risiko hiperkalemia dengan diuretik K-hemat,
suplemen K atau pengganti garam yang mengandung K. Berpotensi Fatal:
Peningkatan risiko hipotensi, hiperkalemia dan perubahan fungsi ginjal
(termasuk gagal ginjal akut) bila digunakan dengan aliskiren pada pasien
dengan diabetes dan gangguan ginjal (GFR <60 mL / menit).
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini paseien bernama Ny. Hj Norma usia 61 tahun alamat jl.
Sulthan Abdullah I Makassar. Masuk rumah sakit pada tanggal 17 juli 2017
dengan keluhan kesakitan dileher akibat bisul dan merasa lemas, bisul yang
dialamai lebih dari 10 hari. Pasien memiliki riwayat jantung, hipertensi, DM
Tipe II. Dari hasil pemeriksaan laboratorium didiagnosa DM Tipe II disertai
absess colli atau dibisul dileher.
Penanganan awal pasien saat masuk di UGD adalah infus ringer laktat
500 ml dengan dosis 16 tetes permenit. Ringer laktat digunakan untuk
mengatasi dehidrasi serta kehilangan dan ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit plasma. Pemberian RL merupakan cairan infuse yang biasa
digunakan pada pasien dewasa dan anak-anak sebagai sumber elektrolit dan
air untuk dehidrasi yang penting dalam pemeliharaan tekanan osmosis darah
dan jaringan. Ringer laktat mempunyai fungsi untuk mengendalikan
keseimbangab elektrolit pada waktu dehidrasi. Larutan ringer laktat adalah
larutan isotonis yang paling mirip dengan cairan ekstraseluler. Meskipun
demikian, pemberian ringer laktat dinilai tidak rasional mengingat kondisi
pasien yang mempunyai penyakit diabetes mellitus dikontraindikasikan untuk
pegunaan ringer laktat yang dapat meningkatkan resiko asidosis laktat pada
pasien serta tidak ada data laboratorium pasein, dalam hal ini data nalai
elektrolit pasien yang menunjung untuk pemberian infuse ringer laktat.
Sebaiknya pasien makan dengan teratur untuk menjaga keseimbangan cairan
elektrolitnya. (24)
Selain itu pasien juga diberikan insulin Novorapid. Novorapid berisi
insulin aspart yang merupakan insulin kerja cepat yang diberikan 3 kali sehari.
Penggunaan insulin untuk penangan diabetes mellitus yang dialami pasien.
Penggunaan insulin tidak rasional karena pada pasien diabetes mellitus tipe 2
dengan terapi insulin seharusnya dilakukan control kadar HbA1c, apabila
kadar HbA1c pasien < 8,5 9% disarankan menggunakan kombinasi terapi
oral (10). Dosis insulin novarapid yang diberikan tidak tepat dosis, seharusnya
dosis yang dibutuhkan pasien dihitung sesuai berat badan, pasien memiliki
berat badan 52 kg kebutuhan insulin yang perlukan 26 UI/hari sedangkan
dosis yang diberikan hanya 24 UI/hari, begitupun pemberian dosis insulin
lantus, pemeberian dosis insuli dengan berat badan 52 kg adalah 10,4 UI/hari
sedangkan pemeberian unit insulin perhari yang diberikan sebanyak 12
UI/hari, didapat dari beberapa berbagai referensi untuk menentukan
banyaknya insulin harian total (IHT) yang dipakai maka digunakan rumus 0,5
unit/BB yang dibagi dalam insulin prandial/aspart (60%xIHT) dan di bagi
dalam 3 dosis, dosis sarapan, dosis makan siang dan dosis makan malam.
Sedangkan untuk insulin basal/glargine (60%xIHT) dan diberikan pada
malam hari (12). Pada literatur lain dinyatakan bahwa kebutuhan insulin total
harian pada penderita Diabetes Melitus Tipe II dengan resistensi insulin
adalah 0,7-1,5 unit/kgBB. Perkiraan kebutuhan insulin basal sebaiknya
disesuaikan dengan hasil monitoring pemeriksaan glukosa darah yang tepat.
Kebutuhan basal berubah-ubah sepanjang hari, seringkali meningkat selama
jam-jam dini hari. Kebutuhan insulin basal juga dipengaruhi oleh adanya
insulin endogen, derajat resistensi insulin dan berat badan. Dosis insulin basal
sekitar 50% dari total insulin harian. Estimasi kebutuhan insulin premeal
menggunakan Aturan 500 yang memperkirakan jumlah gram karbohidrat
yang akan dicakup oleh 1 unit insulin kerja cepat. Rumusnya 500/insulin total
harian = jumlah gram karbohidrat yang dicakup. Persamaan ini bekerja sangat
baik pada pasien dengan diabetes tipe I dalam memperkirakan kebutuhan
insulin premeal-nya, sedangkan pada pasien diabetes dengan tipe II yang
resisten terhadap insulin, aturan ini mungkin dibawah perkiraan kebutuhan
insulinnya Dalam hal ini pasien tidak memeriksakan niai HbA1c, Sebaiknya
dilakukan pemeriksaan HbA1c terhadap pasien untuk menentukan
pemeriksaan terapi yang lebih tepat. (17)
Pada tanggal 19 juli 2017 Ny. Hj N di operasi karena absess dileher
telah membesar dan bernanah dokter mengambal tindakan operasi karena
konidis pasien yang terus menerus merasa kesakitan dan absess yang
dialaminya telah membesar dan bernanah, ditakutkan dapat menibulkan
infeksi dimana-mana. Pasien diberikan antibotik sebelum operasi dan sesudah
operasi. Pasien diberikan antibiotik ceftriaxone injeksi dan metronidazole
infuse. Cetriaxone merupakan golongan sefalosporin mempunyai spekturm
luas dan waktu paruh eliminasi 8 jam, cefetriaxone efektif terhadap
mikroorganisme gram positif fan gram negatif. Ceftriaxone juga stabil
terhadapp enzim beta laktamase yang dihasilkan oleh bakteri, metronidazol
adalaha antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadapp bakteri
anaeron dan protozoa. Metronidazol berinterkasi dengan DNA menyebabkan
perubahan srtuktur helik DNA dan putusnya rantai sehingga senitesa protein
dihambat dan menyebabkan kematian sel. (25).
Setelah pascaoperasi pasien diberikan ketorolac 30 mg/mL, ketorolak
diindikasi sebagai analgetik. Ketorolak merupakan AINS yang bekerja
melalui penghambatan enzim siklooksigenase dan secara langsung
menghambat biosintesis prostaglandin dan tromboksan dari asam arakhidonat
(26). Meskipun nyeri berangsur baik dan meredah setelah 6 hari pemberian
keterolac tidak rasional dalam hal lama pemberian, penggunaan keterolac
tidak dianjur lebih dari 5 hari mengingat efek samping dapat meningkatkan
sekresi asam lambung dan penyebabkan ulkus peptikum (25,27).
Untuk mengatasi efek samping dari penggunaan ketorolac diberikan
ranitidine injeksi, bertujuan agar sekresi asam lambung tidak berlebihan
ketika menggunaan ketorolac injeksi. Pada tanggal 17 juli 2017 ny Hj. N
diberikan ranitidine dimana tidak ada kondisi atau keluhan yang mengarah
pada indikasi ranitidine, sebaiknya penggunaan ranitidine disesuaikan dengan
indikasi atau kondisi pasien, pemberian ranitidine sebagai alternative untuk
mengatsi efek samping dari ketorolac bukanlah pilihan tepat, untuk mengatasi
ulkus akibta penggunaan obat NSAID seperti ketolorac, pilihan pertama
adalah obat golongan analog prostaglandin sepereti misoprostol. Dosis yang
biasa diberikan untuk penangan ulkus peptikum akibat NSAID adalah 200
mcg sampai 4 kali sehari jika dibutuhkan (29)
Pada tanggal 22 juli 2017 pasien juga mendapatkan obat Asam
mefenamat yang merupakan obat anti inflamasi nonsteroid, asama mefenamat
mempunyai khasiat sebagai anlagesik dapat digunakan untuk penangan nyeri
ringan hingga sedang, mekanisme kerja asam mefenamat dengan menghambat
kerja enzim sikloogsigenase, penggunaan asam mefenamat tidak rasional
karena terjadi duplikasi indikasi dengan ketorolac dengan golongan yang
sama-sama AINS pemberiannya juga pada hari yang sama selama 3 hari,
sebaiknya penggunaan obat diminimaliskan. (5, 26,28)
Ny. H. N juga diberikan paracetamol 500 mg 3 x 1 sehari, pada tanggal
17 juli 2017 penggunaan paracetamol sudah rasional untuk menurunkan suhu
badan pasien 38 C. Tetapi terjadi lagi duplikasi indikasi pada tanggal 17-19
juli 2017 dengan pemberian cetapain infuse 1000 mg yang komposisinya
paracetamol, dengan indikasi yang sama seharus pemberian obat
diminaliskan. Mekanisme paracetamol sebagai antipiretik dengan
menghambat biosintesis prostaglandin yang dibentuk sebagai reaksi terhadap
zat pirogen dari infeksi bakteri dihipotalamus (27,29)
Ny. Hj N memeliliki riwayat penyakit jantung, hipertensi sekaligus DM
Tipe II untuk itu, tekanan darah pasien harus dijaga agar tetap kurang dari
140/90 mmHg. Obat yang berikan pada tanggal 17 juli 2017 adalah
amlodipim 5 mg merupakan golongan CCB (calcium channel bloker) dan
valseco dengan komposisi valsartan 80 mg merupakan golongan ARB. Untuk
pasien yang memiliki riwayat penyakit hipertensi dan DM, lini pertama untuk
pengobatan adalah obat golongan angiotensin convertin enzyme inhibitor
(ACEi) seperti kaptopril atau obat golongan angiotensin reseptor bloker
(ARB) seperti valsartan. Apabila goal terapi belum didapatkan maka dapat
dikombinasikan dengan obat golongan thiazid atau CCB. Ketika telah
dikominasi dan belum mendapatkan goal terapi makan dapat ditambahkan
obat golongan bloker. Pada kebanyakan pasien membutuhkan 2 atau 3
kombinasi obat untuk menstabilkan tekanan darahnya. (12,16)
Hasil laboratorium nilai albumin 2,27 g/dL menandakan pasien
mengalami hipoalbumin dan diberikan VIP albumin tablet, pemeberian VIP
albumin tablet tidak rasiaonl, untuk nilai albumin dibawah 3 g/dL dianjurkan
untuk mengguanakan VIP albumin injeksi, dikarenakan penggunaan albumin
kapsul hanya sedikit diserap oleh tubuh, sehingga tidak terjadi peninggkatan
albumin atau penstabilan albumin. (5)
BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah
Sakit Umum Daerah Labuang Baji Makassar, dapat disimpulkan :
1. Dari DM tipe II dan Abses oleh Ny Hj N sudah rasional adalah penggunaan
antibiotik untuk absess Ceftriazone inj, metronidazole inj, amplodin, valseco,
Nacl 0,9%.
2. Dari penatalaksanaan pengobatan DM tipe II dan absess colli oleh Ny. Hj N
yang tidak rasional adalah ringer laktat infus, novorapid, lantus, ranitidin, vip
albumin, ketorolac, dulcolax, asam mefenamat, paracetamol, cetapain infuse.
V.2 Saran
1. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan elektrolit untuk memantau kebutuhan
cairan pasien.
2. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan HbA1C untuk menentukan penggunaan
insulin sebagai penanganan DM tipe II pasien, dan lakukan perhitungan dosis
insulin sesuai berat kg/BB pasien
3. Sebaiknya penggunaan vip albumin diganti dengan terapi parasintesis
(albumin infus) untuk penanganan hipoalbumin.
DAFTAR PUSTAKA

1. Agus Nurkhozin, et al. 2011. Klasifikasi Penyakit Diabetes Mellitus


Menggunakan Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation Dan Learning.
Universitas Negeri Yogyakarta : Yogyakarta.

2. American Diabetes Association. 2004. Standards of medical care in diabetes.


Diabetes Care: USA. Hal: 27.

3. Arif, M, Suproharta, Wahyu J.K. Wlewik S. 2000. Kapita Selekta Kedokteran,


Edisi 3 Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius FKUI

4. Black, Joyce M. & Hawks, Jane. 2015. Keperawatan Medikal Bedah:


Manajemen Klinis untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 Buku 2. Jakarta:
Elsevier.

5. BNF, 2016. British National Formulary , 70th edition. England. British


Medical Association Royal Pharmacetical of Great Britain

6. Charles F. L, Lora L. A dan Morton P. G. 2009. Drug Information Handbook.


17th ed. USA: Lexi Comp

7. Clement S, Braithwaite SS, Magee MF, Ahmann A, Smith EP, Schafer RG, X.
IB., 2004, Management of diabetes and hyperglycemia in hospitals. Diabetes
Care

8. Corwin, J. Elizabeth. 2001. Patofisiologi. EGC: Jakarta

9. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes


Mellitus. Depkes : Jakarta. Hal: 17, 24-25, 26.

10. Dipiro, J., Barbara G.W.,Terry L. S., and Cecili V. D., 2015, Pharmacotherapy
Handbook Ninth Edition, McGraw-Hill, United State.

11. Doenges, Marilyn E. dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien Edisi: 3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.

12. Gilman, A.G. 2007. Dasar Farmakologi Terapi. Volume 2. Jakarta Penerjemah:
Cucu Aisyah. Penerbit EGC
13. Gray, H.Huon, Dawkins, D.Keith, Morgan, M.Johny, Simpson, A.Iain. 2002.
Lecture Note Kardiologi Edisi Keempat. Erlangga. Jakarta

14. Guyton dan Hall. 1997. Fisiologi Kedokteran Edisi 9. EGC: Jakarta.

15. Huda, Amin. & Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC Edisi Revisi Jilid 1.
Jogjakarta: Penerbit Madiaction.

16. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia. 2016. ISO Indonesia. PT. ISFI Penerbitan.
Jakarta.

17. Koda Kimble, M.A., et all, 2013, Applied Therapeutics the Clinical Use of
Drugs, 10th ed, Lippicont Williams & Wilkin, New York

18. Nur S, Fatah. 2014. Asuhan Keperawatan infeksi pada kuit akibat bakteri. Dalam
http://nurs_farah-fkp11.web.unair.ac.id/artikel_detail-93836-Umum- (diakses
pada tangggal 20 agustus 2017 pada pukul 14.20)

19. M.F. Al Homsi dan ML Lukic. 1993. The Merck Manual of Medical
Information 2nd ed. Chapter 165. Hal: 873-881.

20. Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe C.C. 2001, Farmakologi Ulasan
Bergambar. Lippincottts Illustrated Reviews: Farmacology. Penerjemah Azwar
Agoes. Edisi II. Jakarta. Widya Medika.

21. PERKENI. 2002. Petunjuk Praktis Pengelolaan DM Tipe 2. Jakarta.

22. Price, Sylvia A, dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep- Konsep
Klinis Proses-Proses Penyakit Edisis 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

23. Purnamasari, Yunita. 2013. Varian Hipervariabel I (HVI) DNA Mitokondria


pada Empat Generasi dengan Riwayat Diabetes Melitus Tipe 2. Universitas
Pendidikan Indonesia. Bandung

24. Sherwood, L. (2009). Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. (Edisi 6). Jakarta :
Penerbit EGC.
25. Sukandar, Elin Yulinah, Retnosari Andrajati, Joseph I Sigit, I Ketut Adnyana,
Adji Prayitno Setiadi da Kusnandar, 2009, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI
Penerbitan, Jakarta.

26. Sweetman, S. C. 2009. Martindale : The Complete Drug Reference. Thirty-sixth


edition. London. Pharmaceutical Press.

27. Tim Editor. 2016. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi PT. Bhuana Ilmu
Populer, Jakarta

28. WHO Department of Noncommunicable Disease Surveillance Geneva. 1999.


Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its
Complications. WHO Consultation: Geneva

29. www.mims.com

Anda mungkin juga menyukai