Anda di halaman 1dari 12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Definisi Apotek
Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan
kefarmasian. Menurut Permenkes RI No. 51 Tahun 2009 yang termasuk fasilitas pelayanan
kefarmasian adalah Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik, Toko Obat
dan Praktek bersama. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek
kefarmasian oleh Apoteker ( Permenkes RI No.9 Tahun 2017 ).

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 9 Tahun 2017 tentang
Apotek :

1. Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian


oleh Apoteker.
2. Fasilitas Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan
kefarmasian.
3. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang
terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
4. Apoteker adalah Sarjana Farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah
mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
5. Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi dan Analis Farmasi.
6. Surat Tanda Registrasi Apoteker yang selanjutnya disingkat STRA adalah bukti
tertulis yang diberikan oleh Konsil Tenaga Kefarmasian kepada Apoteker yang telah
diregistrasi.
7. Surat Izin Apotek yang selanjutnya disingkat SIA adalah bukti tertulis yang diberikan
oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Apoteker sebagai izin untuk
menyelenggarakan Apotek.
8. Surat Izin Praktik Apoteker yang selanjutnya disingkat SIPA adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada Apoteker sebagai
pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik Kefarmasian.
9. Surat Izin Praktik Tenaga Teknis Kefarmasian yang selanjutnya disingkat SIPTTK
adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota kepada
Tenaga Teknis Kefarmasian sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan
praktik Kefarmasian.

Menurut Permenkes RI No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek, pelaksanaan pelayanan


Kefarmasian dilakukan oleh Tenaga Kefarmasian yang terdiri dari Apoteker dan Tenaga
Teknis Kefarmasian (TTK). Pelayanan kefarmasian meliputi Pelayanan Resep, Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai.
Menurut Permenkes No. 9 Tahun 2017, Apotek dapat bekerja sama dengan Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS. Fungsi Apotek terkait BPJS JKN adalah
memberikan kepada peserta PRB untuk kebutuhan maksimal setiap 30 hari setiap kali
peresepan (BPJS KESEHATAN 2014).

B. Tujuan Apotek

Tujuan Apotek Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun


2017, Tujuan Apotek adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kualitas pelayanan Kefarmasian di Apotek.


2. Memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam mempeloreh pelayanan
Kefarmasian di Apotek.
3. Menjamin kepastian hukum bagi Tenaga Kefarmasian dalam memberikan pelayanan
Kefarmasian di Apotek.

C. Tugas dan Fungsi Apotek

Tugas dan Fungsi Apotek Berdasarkan PP No. 51 Tahun 2009, tugas dan fungsi Apotek
adalah:

1. Sebagai tempat pengabdian profesi Apoteker yang telah megucapkan sumpah jabatan.
2. Sebagai sarana yang digunakan untuk melakukan pekerjaan Kefarmasian.
3. Sarana yang digunakan untuk memproduksi dan distribusi sediaan Farmasi antara lain
Obat, Bahan Obat, Obat Tradisional, dan Kosmetika.
4. Sebagai sarana pembuatan dan pengendalian mutu sediaan Farmasi, pengamanan,
penyimpanan dan pendistribusian penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan
obat tradisional.
5. Sebagai sarana pelayanan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya kepada
Tenaga Kesehatan lain dan masyarakat, termasuk pengamatan dan pelaporan
mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan mutu obat.

D. Pengelolaan Apotek

Pengelolaan yang ada di Apotek atau disebut manajemen Apotek secara umum adalah
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian (5P).

1. Perencanaan

Perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi perlu diperhatikan pola penyakit, pola


konsumsi, budaya dan kemampuan masyarakat. Perencanaan pengadaan obat didasarkan
pada jumlah kebutuhan obat bisa disusun berdasarkan rencana kebutuhan dalam jangka
waktu tertentu misalkan satu minggu atau satu bulan.
2. Pengadaan

Pengadaan obat-obatan pada Apotek menggunakan sistem Pedagang Besar Farmasi


(PBF) yang datang langsung ke Apotek atau melakukan pemesanan melalui telepon untuk
memenuhi pengadaan barang. keterlambatan obat yang disebakan oleh kekosongan obat dari
pabrik merupakan masalah yang sering di jumpai Apotek dalam pengadaan barang dan cara
untuk mengatasi hal tersebut yaitu melakukan pemesanan saat persediaan di Apotek mulai
menipis tidak sampai stok obat benar-benar habis.

3. Penerimaan

Penerimaan obat dengan prosedur pengecekan jumlah barang datang sesuai dengan
jumlah pesanan, ED obat, kondisi barang datang dipastikan tidak terjadi kerusakan, barang
diterima dan divalidasi oleh Apoteker Pengelola Apotek (APA) sebagai legalitas dibuktikan
dengan tanda terima barang berupa tanda tangan, cap Apotek dan penulisan Surat Ijin Apotek
(SIA) Apoteker di Faktur penerimaan barang.

4. Penyimpanan

Penyimpanan obat yang diterapkan oleh Apotek yaitu penyusunan berdasarkan abjad,
bentuk sediaan atau stabilitas atau kesesuaian suhu pada tempat penyimpanan obat.
Penyimpanan obat yang biasa dilakukan di Apotek yakni berdasarkan golongan obat di
terapkan pada obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, obat psikotropika dan obat
narkotika. Penyimpanan berdasarkan abjad diterapkan pada obat-obat yang bisa di jual secara
bebas dan obat yang harus disertai dengan resep dokter. tidak mengalami masalah yang
berarti dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

penyimpanan berdasarkan bentuk sediaan diterapkan pada obat berupa sirup bebas, salep,
injeksi, cairan dan lain-lain. tidak mengalami masalah yang berarti dan sesuai dengan standar
yang telah di tetapkan. penyimpanan berdasarkan suhu yang dilakukan dengan tujuan agar
obat tersebut tidak rusak seperti suppositoria, ovula dan insulin yang di simpan dalam lemari
es supaya tidak merusak bentuk dan khasiatnya.

5. Pendistribusian

Pendistribusian obat atau penyaluran obat dibagi menjadi dua yaitu penyaluran
menggunakan resep dokter dan non resep dokter. Resep dokter diterima oleh apotek secara
umum dan diterima atas dasar kerja sama Apotek dengan pihak lain misalkan BPJS.
Pembelian obat tanpa menggunakan resep atau penjualan obat bebas, obat bebas terbatas
harus terpantau oleh Apoteker. Masalah yang sering di jumpai yaitu adanya penyaluran obat
psikotropika secara bebas tanpa menggunakan resep dokter sehingga penyaluran tersebut
tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
E. Perlengkapan Apotek

Menurut keputusan menteri kesehatan no 1332/menkes/sk/x/2002 perbekalan kesehatan


adalah semua alat yang digunakan untuk melaksanakan pengelolaan apotek.

Menurut peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 9 tahun 2017 tentang apotek
pasal 9. Peralatan Apotek meliputi semua peralatan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan
pelayanan kefarmasian. antara lain meliputi rak obat, alat peracikan, bahan pengemas obat,
lemari pendingin, meja, kursi, komputer, sistem pencatatan mutasi obat, formulir catatan
pengobatan pasien dan peralatan lain sesuai dengan kebutuhan. Formulir catatan pengobatan
pasien merupakan catatan mengenai riwayat penggunaan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan atas permintaan tenaga medis dan catatan pelayanan apoteker yang diberikan
kepada pasien. Semua sarana, prasarana dan peralatan di apotek harus dalam keadaan
terpelihara dan berfungsi dengan baik.

Beberapa perlengkapan apotek yang ada di apotek kimia farma:


 Alat peracikan
1.Pengaduk kaca
2.Lumpang dan Alu
3.Sudip
4.Blender

 Perlengkapan dan alat perbekalan farmasi


1.Etalase produk suplemen
2.Rak medicine tablet,dan medicine syrup (obat bebas dan bebas terbatas)
3.Rak traditional medicine( fitofarmaka,jamu,oht)
4.Rak produk perlengkapan bayi
5.Rak alkes
6.Rak produk body care
7.Gudang obat narkotik dan psikotropika
8.Gudang obat bpjs
9.Gudang obat generik
10.Gudang obat keras

 Wadah pengemasan dan pembungkusan


1.Pembungkus puyer
2.Etiket
3.Wadah penyerahan obat

 Alat administrasi
1.Kasir
2.Komputer
3.Blanko salinan resep
4.Blanko faktur dan nota penjualan
5.Blanko pencatatan narkotika dan psikotropika
6.Blanko pemesanan narkotika dan psikotropika
7.Blanko pemesanan prekursor dan OOT
8.Blanko pemesanan obat reguler
9.kertas bon
10.kwintansi

F. Perbekalan Farmasi

Perbekalan farmasi adalah bahan atau alat yang digunakan untuk menunjang kegiatan terapi,
baik tindakan maupun perawatan terhadap pasien.

Berdasarkan keputusan menteri kesehatan nomor 1197/menkes/sk/x/2004 tentang standar


pelayanan farmasi dirumah sakit, perbekalan farmasi adalah sediaan farmasi yang terdiri dari
obat, alat kesehatan, reagensia, radiofarmasi, dan gas medis. Perbekalan farmasi meliputi :

1. Obat
a. Obat narkotika
b. Obat daftar G, obat keras tertentu (OKT), dan psikotropika
c. Obat daftar W (obat bebas terbatas)
d. Obat bebas
2. Bahan baku obat
3. Obat tradisional (asli indonesia) dan bahan obat tradisional
4. Alat kesehatan
5. kosmetika

Pengelolaan Perbekalan Farmasi adalah suatu proses yang merupakan siklus kegiatan,
dimulai dari pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,
pengendalian, penghapusan, administrasi, dan pelaporan serta evaluasi yang diperlukan bagi
kesehatan pelayanan.

SIKLUS PENGELOLAAN PERBEKALAN FARMASI

1. Perencanaan
- menetapkan jenis dan jumlah perbekalan farmasi yang dibutuhkan di apotek
- disesuaikan dengan pola penyakit/epiemiologi, pola konsumsi serta budaya
dan kemampuan masyarakat
2. Pengadaan
- mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga layak dengan mutu yang baik,
pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak
memerlukan tenaga serta waktu berlebih
- melalui jalur resmi untuk menjamin kualitas
3. Penerimaan
- menerima perbekalan farmasi yang telah di adakan sesuai dengan aturan
kefarmasian
- diperiksa dan disesuaikan dengan spesifikasi pada saat order
4. Penyimpanan
- disimpan pada kondisi yang sesuain agar terjamin keamanan dan stabilitasnya
- tujuan
a. memelihara mutu sediaan farmasi
b. menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab
c. menjaga ketersediaan
d. memudahkan pencarian dan pengawasan
5. Pengendalian
- menghindari kekosongan dan penumpukan perbekalan farmasi serta berupaya
mempertahankan mutu perbekalan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusiannya.
6. Penghapusan
- Merupakan kegiatan penyelesaian terhadap perbekalan farmasi yang tiak
terpakai karena kadaluarsa, rusak, mutu tidak memenuhi standar
- Tujuannya menjamin perbekalan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat
dikelola sesuai dengan standar yang berlaku
- Penghapusan akan mengurangi beban penyimpanan maupun mengurangi
resiko terjadinya pengunaan obat yang tidak memenuhi standar
7. Unit produksi dan distribusi perbekalan farmasi
a. Unit produksi
Industri farmasi, industri kosmetik, dan industri obat tradisional. Industri
farmasi meliputi industri obat paten dan generik. Serta industri bahan baku
obat.
b. Unit distribusi
Pedagang besar farmasi (PBF) sebagai agen, pedagang besar farmasi, apotek
dan toko obat berizin.

Pencatatan dan pelaporan

1. Pencatatn
- Pencatatan bertujuan memonitor transaksi perbekalan farmasi yang masuk dan
keluar
- Pencatatan secara manual (buku dan kartu stok) dan komputerisasi
2. Pelaporan
Kumpulan catatan dan pendataan kegiatan administrasi perbekalan farmasi
Tujuan
- Tersedianya data yang akurat untuk bahan evaluasi
- Tersedianya informasi yang akurat
- Tersedianya data yang lengkap untuk membuat perencanaan

Monitoring dan evaluasi

- Merupakan salah satu upaya untuk terus mempertahankan mutu pengelolaan


perbekalan farmasi
- Sebagai masukkan dalam penyusunan perencanaan dan pengambilan
keputusan
- Kolekting data untuk bahan evaluasi

Penyusunan Stok Perbekalan Farmasi

Perbekalan farmasi disusun menurut bentuk sediaan dan alfabetis. Untuk memudahkan
pengendalian stok maka dilakukan langkah-langkah berikut:

1. Gunakan prinsip FEFO (First Expired First Out) dan FIFO (First In First Out) dalam
penyusunan perbekalan farmasi yaitu perbekalan farmasi yang masa kadaluwarsanya lebih
awal atau yang dietrima lebih awal harus digunakan lebih awal sebab umumnya perbekalan
farmasi yang datang lebih awal biasanya juga diproduksi lebih awal dan umumnya relatif
lebih tua dan masa kadaluwarsanya lebih awal.

2. Susun perbekalan farmasi dalam kemasan besar di atas pallet secara rapi dan teratur.

3. Gunakan lemari khusus untuk penyimpanan narkotika.

4. Simpan perbekalan farmasi yang dapat dipengaruhi oleh temperatur , udara, cahaya dan
kontaminasi bakteri pada tempat yang sesuai.

5. Simpan perbekalan farmasi dalam rak dan berikan nomor kode, pisahkan perbekalan
farmasi dalam dengan perbekalan farmasi perbekalan farmasi untuk penggunaan luar.

6. Cantumkan nama masing-masing perbekalan farmasi pada rak dengan rapi.

7. Apabila persediaan perbekalan farmasi cukup banyak, maka biarkan perbekalan farmasi
tetap dalam boks masing-masing.

8. Perbekalan farmasi yang mempunyai batas waktu penggunaan perlu dilakukan rotasi
stok,agar perbekalan farmasi tersebut tidak selalu berada di belakang sehingga dapat
dimanfaatkan sebelum masa kadaluwarsa habis.

9. Item perbekalan farmasi yang sama ditempatkan pada satu lokasi walaupun dari sumber
anggaran yang berbeda.

G. Penggolongan obat
Sesuai Permenkes No. 917/MENKES/PER/X/1993 tentang Wajib Daftar Obat Jadi pada
Pasal 1 Bagian 3 bahwa yang dimaksud dengan GOLONGAN OBAT adalah penggolongan
yang tersedia untuk peningkatan Keamanan dan ketetapan penggunaan serta distribusi yang
terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat wajib apotik, obat keras, psikotropika dan
narkotika. Yang termasuk dalam kelompok tersebut di atas adalah obat yang dibuat dengan
bahan-bahan kimia dan/atau dengan bahan-bahan dari tumbuhan dan hewan yang
dikelompokkan sebagai bahan obat atau campuran keduanya, sehingga berupa obat sintetik
dan obat semi-sintetik.

1. Obat Bebas

Obat bebas dapat dibeli bebas tanpa resep dokter dan dapat dibeli di apotek dan toko obat
berizin untuk mengatasi masalah ringan (penyakit ringan) yang bersifat nonspesifik. Obat
bebas relatif paling aman, dapat digunakan untuk menangani penyakit-penyakit simptomatis
ringan yang banyak diderita masyarakat luas yang penanganannya dapat dilakukan sendiri
oleh penderita atau swamedikasi (penanganan sendiri atau swamedikasi). Obat ini telah
digunakan dalam pengobatan secara ilmiah (modern) dan terbukti tidak memiliki risiko
bahaya yang mengkhawatirkan.

Penandaan pada kemasan: lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh: Oralit
beberapa analgetik atau painkiller (obat krim rasa nyeri) dan beberapa antipiretik (obat
penurun panas) seperti parasetamol, ibuprofen, asetosal (aspirin), beberapa suplemen vitamin
dan mineral multivitamin seperti vitamin C, dan vitamin B kompleks, antasida DOEN,
minyak kayu putih, OBH, obat gosok, obat luka luar, dll.

2. Obat Bebas Terbatas (OBT)

Obat bebas terbatas disebut juga obat daftar W (W: Waarschuwing peringatan/waspada)
adalah obat keras yang dapat dibeli tanpa resep dokter namun biayanya harus memperhatikan
informasi obat pada kemasan. Pada penjualannya memiliki batasan jumlah dan kadar isi
berhasiat harus disertai tanda peringatan. peringatan P1 P6. Dibatasi hanya dapat dibeli di
apotek atau toko obat berijin. Obat Bebas terbatas relatif aman selama aturan pakai.
Penandaan pada kemasan: titik lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam dan kotak
peringatan berwarna hitam berisi pemberitahuan berwarna putih. Contoh: Obat flu kombinasi
(tablet), antihistamin (CTM, difenhidramin, dimenhidrinat), bromheksin, antiemetik (antimo),
piperazin, prometazon, mebendazol, klorokuin, kaliikloras, suppositoria, obat tetes mata
untuk iritasi ringan, dll.SK Menkes No. 2380/A/SK/VI/1983 tentang tanda khusus obat bebas
dan obat bebas terbatas dan Sesuai dengan SK MenKesRI No.6355/Dirjen/SK/1969, pada
kemasan OBT harus tertera peringatan berupa kotak kecil berukuran 5 x 2 cm berdasarkan
warna hitam atau kotak putih bergaris tepi hitam, dengan tulisan sebagai berikut:

3. Obat Keras

Obat keras (Obat daftar G atau "Gevaarlijk", berbahaya) termasuk juga psikotropika untuk
memperolehnya harus dengan resep dokter dan dapat dibeli di apotek atau rumah sakit.

Penandaan pada kemasan: dot lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K
di tengah yang menyentuh garis tepi. Contoh: semua obat dalam bentuk injeksi, adrenalin,
infus asering, antibiotik (seperti amoksilin, tetrasiklin), obat jantung, obat mengandung
hormone, obat diabetes, obat penenang, asam mefenamat, piroksikam, antihipertensi seperti
captopril, antihistamin, deksametason, prednison, diazepam, INH, dll.

4. Obat Wajib Apotek (OWA)

Obat wajib apotek adalah obat keras yang dapat diserahkan oleh apoteker di apotek tanpa
resep dokter. OWA merupakan obat keras yang dapat diberikan oleh Apoteker Pengelola
Apotek (APA) kepada pasien. Walaupun APA boleh memberikan obat keras, namun ada
persyaratan yang harus dilakukan dalam penyerahan OWA. Penyerahan OWA oleh apoteker
kepada pasien harus memenuhi ketentuan:
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap Obat Wajib Apotek (misal kekuatan,
maksimal jumlah obat yang diserahkan, dan pasien sudah pernah menggunakannya
dengan resep)
2. Membuat catatan informasi pasien dan obat yang diserahkan
3. Memberikan informasi kepada pasien agar aman digunakan (misal dosis dan aturan
pakainya, kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh
pasien)
Berdasarkan Kepmenkes No. 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek
tujuan adanya OWA adalah:
a. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam membantu dirinya sendiri
guna mengatasi masalah kesehatan,
b. Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional,
c. Meningkatkan peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi
Informasi dan Edukasi) serta pelayanan obat kepada masyarakat.

Penandaan pada kemasan: dot lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K
di tengah yang menyentuh garis tepi. seperti linestrenol, antasid, salbutamol, basitrasin krim,
ranitidin, dll.

5. Psikotropika

Psikotropika digolongkan tersendiri dari obat keras lainnya. Psikotropika (dahulu disebut
juga OKT) Psikotropika golongan I tidak untuk pengobatan. Psikotropika diatur dalam UU
No.5 tahun 1997. Psikotropik adalah zat atau obat baik alami maupun sintetis bukan obat
keras, tetapi bedanya dapat berkhasiat psikoaktif dengan mempengaruhi Susunan Saraf Pusat
yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku/mempengaruhi
aktivitas psikis.

Penandaan pada kemasan: dot lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K
di tengah yang menyentuh garis tepi. Contoh: LisergidAcidDiathylamine (LSD), psilosibina,
metilendioksimetamfetamin, amfetamin, diazepam, fenobarbital, klorpromazin, lorasepam,
klordiazepoksid, dll.
Psikotropika dibagi menjadi 4 golongan:

a. Golongan I:
Psikotropika golongan 1 ini sampai sekarang kegunaannya hanya ditujukan untuk ilmu
pengetahuan, dilarang diproduksi, dan tidak digunakan untuk pengobatan/terapi serta
memiliki potensi sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh: Ekstasi,
shabu, metilendioksimetamfetamin, LisergidAcidDiathylamine (LSD), b rolamfetamine,
DMA, MDMA (ekstasi), meskalin, dll

b. Golongan II (kuat), III (sedang), IV (ringan)


Dapat digunakan untuk PENGOBATAN asalkan sudah tersedia. Namun, sebenarnya saat ini
hanya sebagian dari golongan IV saja yang tercatat dan digunakan, seperti: amfetamin (11):
fenobarbital (III), pentobarbital (III); flunitrazepam (III), diazepam (IV), bromazepam (IV),
lorasepam (IV), nitrazepam (IV), dan klordiazepoksid (CPZ).

c. Golongan III
Merupakan psikotropik yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki potensi yang berpotensi menciptakan
potensi. Contoh: Flunitrazepam pentobarbital, amobarbital, fenobarbital, flunitrazepam,
pentazosine.

d. Golongan IV
Merupakan psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi
dan/atau tujuan ilmu pengetahuan serta memiliki potensi yang berpotensi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: Apprazolam, diazepam, klobazam, klorazepam

6. Obat Narkotika

Secara awam obat narkoba disebut sebagai "obat bius". Hal ini karena dalam bidang
kedokteran, obat-obat narkotika umum digunakan sebagai anestesi/obat bius dan
analgetik/obat penghilang rasa nyeri. Seperti halnya psikotropika, obat-obatan narkotika
sangat ketat dalam hal pengawasan mulai dari pembuatannya, pengemasan, distribusi, hingga
penggunaannya.Narkotika (Daftar O atau "Opium atau opiat") hanya boleh diperjualbelikan
di apotek atau rumah sakit dengan resep dokter, dengan menunjukkan resep asli dan resep
tidak dapat dicopy. Tiap bulan apotek wajib melaporkan pembelian dan penggunannya
kepada pemerintah.

Narkotika diatur dalam UU 22 tahun 1997 dan dengan UU No. 35 tahun 2009 tentang
Narkotika bahwa Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan, baik
sintetis atau semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan tingkat
kesadaran (fungsi anastesi/bius), menghilangkan rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri (sedatif), munculnya (euphoria), halusinasi atau kebangkitan khayalan, dan dapat
menimbulkan efek ketergantungan bagi penggunanya. Oleh karenanya, dibatasi secara ketat
untuk membatasi (penyalahgunaan narkoba).
Narkotika merupakan kelompok obat paling berbahaya karena dapat menimbulkan
kecanduan dan toleransi sehingga obat ini hanya dapat diperoleh dari resep dokter dan apotek
wajib melaporkan jumlah dan macamnya, karena berbahaya, dalam peredaran, produksi, dan
pemakaiannya terkait dengan ketat.

Penandaan pada kemasan: palang berwarna merah di dalam lingkaran bergaris tepi merah.
Contoh: Tanaman Papaversomniferum (opium), Erythroxyloncoca, dan tanaman
Cannabissativa (ganja), heroin, kokain, morfin, petidin, kodein, doveri, kodipron, dll.
Narkotika golongan I tidak untuk pengobatan.
Narkotika dibagi menjadi 3 golongan:
a. Golongan I
Narkotika yang hanya digunakan untuk penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan
teknologi, reagensia diagnostik, dan reagensia laboratorium, serta tidak diproduksi atau tidak
digunakan untuk pengobatan atau terapi, memiliki potensi yang sangat tinggi mengakibatkan
produksi. Contoh: Tanaman Papaversomniferum L. (opium), dan tanaman Cannabissativa
(ganja/marijuana), heroin, kokain.

b. Golongan II
Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat
digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.. Contoh: Fentanil, morfin, petidin,
metadon.

c. Golongan III
Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: Kodein, etil morfin, dll.

Anda mungkin juga menyukai