Dosen Pengampu
Apt.Adi Wibisono,M.Kes
Oleh
FAKULTAS FAKAR
2020
STUDI KASUS
KASUS 1
Apotek swasta X berada dijalan yang strategis berada dipusat kota B dan berdekatan dengan
pertokoan. Buka pelayanan tiap hari (kecuali hari minggu) jam 08 – 22.00 WIB. Pasien dan
masyarakat yang membutuhkan obat dan pelayanan resep dalan jumlah yang cukup banyak,
terjadi sekitar jam 17.00 - 21.00. Apoteker penanggung jawab adalah seorang ASN yang praktek
di IFRS dan masuk kerja siff siang. Oleh karena itu Penyerahan obat dan KIE dilakukan oleh
seorah tenaga teknis kefarmasian dan kadang dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang belum
memahami pelayanan kefarmasian.
PEMBAHASAN
Analisis kasus di atas berdasar pelanggaran kode etik tentang profesi kefarmasian :
1. Analis kasus
a. Apotek tersebut tidak memilik apoteker, yang terlihat di apotek tersebut hanya ada TTK
dan tenaga kefarmasian yang belum memahami pelayanan kefarmasian.
b. Apoteker tidak ada pada jam 17.00-21.00 pada saat pasien dan masyarakat membutuhkan
obat dan pelayanan resep dalam jumlah yang banyak.
c. Penyerahan obat dan KIE dilakukan oleh seorang tenaga teknis kefarmasian dan kadang
dilakukan oleh tenaga kefarmasian yang belum memahami pelayanan kefarmasian.
2. Analisis pasal terkait pelanggaran tersebut :
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 5
(1) “Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang aman,bermutu, dan terjangkau”.
Pasal 8
“ Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan
dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah dan akan diterimanya dari
tenaga kesehatan”.
Pasal 108
d. (1) “ Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat
serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh
tenaga kesehatan yang m e m p u n y a i keahlian dan kewenangan
s e s u a i d e n g a n k e t e n t u a n p e r a t u r a n perundang-undangan”
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 4
(1) “ Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa”.
3. Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 1
(13)“ A p o t e k a d a l a h s a r a n a p e l a y a n a n k e f a r m a s i a n t e m p a t
d i l a k u k a n p r a k t e k kefarmasian oleh Apoteker”.
Pasal 20
“Dalam menjalankan Pekerjaan kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/ atau
Tenaga Teknis Kefarmasian”
Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian”.
(2) “ Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter
d i l a k s a n a k a n o l e h Apoteker”.
Pasal 51
(1) “ Pelayanan Kefarmasian di Apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah
sakit hanya dapat dilakukan oleh Apoteker”
4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1332/MENKES/PER/SK/X/2002Tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemebrian Izin Apotek
Pasal 19.
( 1 ) “ Apabila Apoteker Pengelola Apotik berhalangan melakukan tugasnya
pada jam buka Apotik, Apoteker Pengelola Apotik harus menunjuk Apoteker
pendamping.”
(2) “ Apabila Apoteker Pengelola Apotik dan Apoteker
Pendamping karena h a l - h a l tertentu berhalangan melakukan
tugasnya, Apoteker Pengelola Apotik menunjuk .Apoteker Pengganti ”
Saran
KASUS II
- Apoteker R, seorang apoteker baru yang belum lama disumpah menjadi apoteker di salah
satu perguruan tinggi terkenal di kota X. Ia sudah ditawari beberapa pemilik sarana apotek
(bukan Apoteker) untuk mendirikan apotek di suatu tempat yang strategis namun berdekatan
dengan beberapa apotek yang sudah ada.
- Apoteker R segera menerima tawaran tersebut tanpa berkonsultasi dengan sejawat lainnya
ataupun berkonsultasi dengan organisasi profesi (Ikatan Apoteker Indonesia).
PEMBAHASAN
BAB I
pasal 5
“ Didalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari
keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian ”.
BAB II Tentang kewajiban apoteker terhadap teman sejawat
Pasal 10:
“ Seorang apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagai mana dia sendiri ingin
diperlakukan ”.
Pasal 11:
“ Sesama apoteker harus saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi
ketentuan-ketentuan kode etik ”.
Pasal 12:
“ Seorang apoteker harus mempergunakan setiap kesempatan untuk meningkatkan kerja
sama yang baik sesama apoteker didalam memelihara keluhuran martabat, jabatan
kefarmasian, serta mempertebal rasa saling mempercayai didalam menunaikan tugasnya ”.
Permenkes No.184 thn 1995
pasal 18:
“ Apoteker dilarang melakukan perbuatan yang melanggar kode etik apoteker”.
KESIMPULAN
Sebaiknya apoteker R tidak langsung menerima tawaran tersebut dan harus berkonsultasi terlebih
dahulu kepada IAI karena mengingat peraturan yang telah ditetapkan.
Salah satu hal yang harus dipikirkan dengan baik dalam membangun atau mendirikan sebuah
apotek adalah lokasi-nya. Bagi seorang apoteker yang ingin mendirikan sebuah apotek mungkin
akan berpikir berkali-kali untuk mendirikan di dekat atau jarak yang tidak jauh dari apotek lain.
Mendirikan apotek harus memikirkan dan mempertimbangkan beberapa hal yaitu segi
pemerataan dan penyebaran layanan kesehatan, kemampuan daya beli masyarakat menurut
lokasi, jumlah penduduk, keamanan serta apakah apotek tersebut mudah dijangkau dengan
kendaraan.
SARAN
1. Jarak apotek (biasa diatur perda/IAI kecuali apotek yang dibuka dirumah pribadi, karna
UU sekarang tidak lagi mengatur jarak, dulu jalan lurus 500 m) agar tidak konflik.
2. Apoteker harus menghindarkan diri dari konflik yang dapat merusak pekerjaan profesi.
3. Perjanjian APA-PSA ttd perjanjian PSA-APA di depan IAI.
4. Hubungan antara Apoteker Junior vs Senior.
5. Pergantian Apoteker jangan ditawari langsung masuk aja. Pastikan dulu siapa APA
sebelumnya . Biasanya pindah APA karna sepihak. Terus bagi APA yang diapoteknya tidak
enak jangan bilang disini ‘enak’ biar dia cepat pindah. Kan kasian juniornya kejebak ntar.
6. Persaingan harga.
KASUS III
- Untuk meningkatkan omzet penjualan devisinya, seorang Manajer Marketing divisi OTC
(bukan Apoteker) pada suatu pabrik farmasi merencanakan untuk melakukan promosi
aktif kepada outlet apotek.
- Apotek X dapat menjual produk A dan B dengan target tertentu akan mendapatkan reward
berupa bonus/marketing fee/diskon yang cukup besar.
PEMBAHASAN
1. Analisis kasus di atas berdasar pelanggaran kode etik tentang profesi kefarmasian :
3. Promosi produk A dan B sebaiknya dilakukan sendiri oleh pabrik tanpa melibatkan
apotek mencegah persaingan yang tidak sehat antara pabrik farmasi di apotek.
1. Kode Etik
Pasal 3
“ Seorang Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi
Apoteker Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip
kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya “
Pasal 5
” Di dalam menjalankan tugasnya Seorang Apoteker harus menjauhkan diri dari
usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian “
Pasal 6
“ Seorang Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang
lain “
2. UU Kesehatan no. 36 tahun 2009
Pasal 24
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi
ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan,
standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
3. Kesepakatan Bersama Etika Promosi Obat antara GP Farmasi Indonesia dan
Ikatan Dokter Indonesia
Bahwa untuk mewujudkan upaya promosi obat yang beretika dengan tujuan
mengingatkan kembali pelaksanaan etika profesi kedokteran dan etika para
pengusaha farmasi dalam rangka ketersediaan dan keterjangkauan sediaan obat yang
merupakan salah satu komponen penting untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia bersama-sama dengan Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia dan disaksikan oleh Pemerintah dengan ini
meneguhkan kembali tentang:
“ KESEPAKATAN BERSAMA ETIKA PROMOSI OBAT ”
Sebagai berikut:
BAB VI
Kegiatan Yang Dilarang
Pasal 9
Industri Farmasi dan/atau Pedagang Besar Farmasi dilarang :
a. Kerjasama dengan Apotik dan Penulis Resep.
b. Kerjasama dalam peresepan obat dengan Apotik dan/atau Penulis Resep dalam
suatu program khusus untuk meningkatkan penjualan obat tertentu.
c. Memberikan bonus/hadiah berupa uang (tunai, bank-draft, pinjaman voucher,
ticket), dan/atau barang kepada Penulis Resep yang meresepkan obat
produksinya dan/atau yang didistribusikannya.
Kesimpulan
Pada kasus ini hubungan kerjasama seperti ini yang dikenal sebagai kolusi, menyebabkan
harga obat merek/paten yang selama ini dikonsumsi konsumen Indonesia menjadi sangat mahal
melebihi harga obat diluar negeri, dan secara tidak langsung akan merugikan pasien sebagai
pihak konsumen. Oleh karena itu, secara de facto, dokterlah yang menjadi konsumen obat. Yang
boleh : Akomodasi, Transportasi, Registrasi.
Pelangaran yang terjadi:
1. Apoteker
Etika Profesi Apoteker Pasal 3, 5, dan 6
Undang – undang Kesehatan no 36 Tahun 2009 pasal 24
2. Perusahaan Farmasi
Kesepakatan bersama etika promosi obat
Kode etik IPMG (Internasional Pharmaceutical Manufacturers Group)
Keputusan Kepala BPOM Nomor Hk.00.05.3.02706 Tahun 2002 Tentang Promosi
Obat.
Saran