Anda di halaman 1dari 2

B_281_Summary_1

SUMMARY BLOK 1
SKENARIO 1
SEARCH FOR PROFESSSIONALISM
Tujun belajar:
1. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami kode etik apoteker, peraturan pemerintah no 51
tahun 2009, dan permenkes no 73 tahun 2016 terkait skenario 1
2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami syarat menjadi apoteker yang profesional
berlandaskan hukum islam pada skenario 1.
3. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami peraturan terkait OWA pada skenario 1.

Kode etik merupakan norma dan asas yang diterima oleh kelompok tertentu sebagai landasan
tingkah laku. Setiap profesi memiliki kode etik masing-masing, begitupun dengan profesi apoteker.
Dalam menjalankan tugasnya apoteker wajib berpegang teguh terhadap kode etik apoteker yang telah
ditetapkan oleh Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI). Pada skenario terdapat beberapa pelanggaran
kode etik apoteker. Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA) tersebut telah melanggar pasal 1,2, dan
15 mengenai cara mengamalkan sumpah/janji apoteker dan kode etik apoteker, pasal 3 mengenai
kompetensinya sebagai apoteker, pasal 5 mengenai mencari keuntungan diri, pasal 6 menganai
contoh yang baik bagi orang lain, pasal 7 mengenai menjadi sumber informasi, dan pasal 9 mengenai
mengutamakan kepentingan masyarakat(1).
Menurut Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 pasal 1 ayat 1 dijelaskan bahwa Apoteker
dapat melakukan pekerjaan kefarmasian berupa pengendalian mutu sediaan farmasi, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusi atau penyaluranan obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, dan pelayanan informasi obat. Pekerjaan kefarmasian di apotek dilaksanakan oleh Apoteker
Penanggung Jawab Apotek (APA) dapat dibantu oleh Apoteker pendamping (Aping) dan/atau Tenaga
Teknis Kefarmasian seperti Asisten Apoteker (AA). Pada skenario APA, APING, atau tenaga teknis
kefarmasian tidak berada di apotek sehingga pekerjaan kefarmasian seperti pelayanan informasi obat
tidak dapat dilaksanakan(2).
Dalam melakukan pelayanan kefarmasian telah diatur dalam permenkes no 73 tahun 2016.
Pada pasal 3 dijelaskan standar pelayanan kefarmasian di apotek berupa pengelolaan sediaan farmasi,
alkes, dan BMHP, serta pelayanan farmasi klinis. Pelayanan klinis meliputi pengkajian resep,
dispensing, PIO, konseling, homecare,PTO dan MESO. APA, APING, atau tenaga teknis kefarmasian
tidak berada di apotek sehingga pelayanan farmasi klinis seperti konseling tidak dapat dilaksanakan.
Pada pasal 4 dijelaskan standar pelayanan kefarmasian di apotek harus didukung oleh ketersediaan
sumber daya kefarmasian. Sumber daya kefarmasian yang dimaksud yaitu sumber daya manusia serta
sarana dan prasarana. Namun pada skenario di apotek hanya terdapat karyawan bukan tenaga teknis
kefarmasian. Pada pasal 12 dijelaskan apabila melakukan pelanggaran akan mendapatkan sanksi
administratif. Sanksi admistratif yang dimaksud yaitu: 1) peringatan tertulis, 2) penghentian
sementara kegiatan, 3) mencabut izin(3).
Terciptanya apoteker yang profesional tidak hanya berpegang teguh terhadap kode etik dan
standar kompetensi apoteker saja, namun harus berpegang teguh terhadap Al-Quran dan hadits. Allah
berfirman dalam Al Qur'an terkait keharusan berperilaku dan bersifat amanah dalam surat Al-Anfal
(8) ayat 27 yang artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul, dan (juga) janganlah juga kamu mengkhianati amanat atau amanah yang telah dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui". Sebagai orang yang beriman kita harus menjaga atau
mengamalkan dengan baik amanat yang telah diberikan kepada kita. Rasulullah bersabda
“sesungguhnya Allah mencintai seorang hamba yang apabila bekerja, ia menyempurnakan
pekerjaannya”(HR.Thabrani dan Baihaqi). Sebaiknya dalam melakukan suatu pekerjaan harus
dilakukan dengan professional berdasarkan kode etik yang berlaku supaya hasil yang didapat sesuai
tujuan(4).
Pada skenario terdapat obat melanox. Seperti yang diketahui bahwa melanox mengandung
hidroquinon yang masuk dalam kategori OWA. OWA merupakan obat wajib apotek yaitu obat keras
yang dapat diserahkan oleh Apoteker kepada pasien di Apotek tanpa resep dokter. Hidroquinon
masuk dalam kategori OWA no. 1. Tujuan OWA adalah memperluas keterjangkauan obat untuk
masyarakat, maka obat-obat yang digolongkan dalam OWA adalah obat yang diperlukan bagi
kebanyakan penyakit yang diderita pasien. Penyerahan OWA oleh apoteker kepada pasien harus
memenuhi ketentuan:
1. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap OWA (misal kekuatan, maksimal jumlah obat yang
diserahkan, dan pasien sudah pernah menggunakannya dengan resep)
2. Membuat catatan informasi pasien dan obat yang diserahkan
3. Memberikan informasi kepada pasien agar aman digunakan (misal dosis dan aturan pakainya,
kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien)(5)

Daftar Pustaka:
1. Anonim, 2009, Keputusan Kongres Nasional XVIII/2009 Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Tentang
Kode Etik Apoteker Indonesia.
2. Anonim, 2009, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
3. Anonim, 2016,Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016 Tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian Di Apotek, Menkes RI, Jakarta.
4. Al-Quran dan Hadits.
5. Anonim, 1990, Keputusan Menteri Kesehatan No 347 Tahun 1990 Tentang Obat wajib Apotek,
menkes RI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai