Kasus Pelanggaran
05. Kode Etik di PBF
2
01 Pendahuluan
3
PENDAHULUAN
• Etika dipakai sebagai pedoman berperilaku di masyarakat. Etika dibuat dalam bentuk
tertulis yang secara sistematis dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada pada
saat dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam
tindakan yang secara logika dan rasional dinilai menyimpang dari kode etik.
• Kode etik Apoteker menjadi pedoman dan rambu-rambu moral yang sistematis bagi
perilaku etis seorang Apoteker.
• Dalam kode etik Apoteker, dijelaskan bahwa seorang Apoteker di dalam menjalankan
tugas kewajibannya, serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa
mengharapkan bimbingan dan keridaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker dalam
pengabdiannya serta dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada
sumpah/janji Apoteker (Ikatan Apoteker Indonesia, 2009).
• Dalam aplikasinya, tidak jarang terjadi kasus-kasus pelanggaran etika di tempat praktik
Apoteker. Pelanggaran tersebut tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga merugikan
nama baik profesi Apoteker. Untuk itu, perlu ada tindakan untuk menangani pelanggaran
etika Apoteker di lingkungan praktik Apoteker.
Kasus Pelanggaran
02 Kode Etik di Rumah
Sakit
5
Kasus Pelanggaran Kode Etik di
Rumah Sakit
6
Kasus Pemberian Obat yang Memiliki
Harga yang Mahal
Seorang pasien mendapat resep obat ibuprofen generik, sedangkan
obat ibuprofen merek dagang M masih banyak di gudang dan
mendekati Expired Date, maka obat ibuprofen generic dalam resep
diganti dengan obat M yang memiliki kandungan zat aktif sama.
Berdasarkan harga, obat M lebih mahal dibandingkan obat generik,
tetapi apoteker memberikan informasi kepada keluarga pasien bahwa
efek obat M lebih cepat dibandingkan dengan obat generik, maka
keluarga pasien menyetujuinya.
Identifikasi Masalah
• Apoteker di rumah sakit mengganti obat dalam resep dengan obat
yang lebih mahal;
• Apoteker melakukan informasi yang tidak benar kepada pasien;
• Kemungkinan apoteker melakukakan kesalahan dalam pengadaan
sehingga stok obat Y masih banyak walaupun mendekati expired date
atau memiliki kerjasama dengan produsen obat M;
• Apoteker hanya memperhatikan kepentingan apotek (stok obat)
dibandingkan kondisi pasien (ekonomi pasien).
Dasar Hukum yang digunakan Apoteker tersebut
(Peraturan Perundangan 51/2009)
• Pasal 24
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasien
• Diskusi:
Apoteker tidak salah dalam pemberian obat, tetapi menjadi salah karena
landasan dalam mengganti obat yang digunakan bukan karena stok kosong
tapi karena jumalh obat M berlebih di gudang dan mendekati expired date
serta terdapat kemungkinan kerja sama atara apoteker dengan produsen obat
tersebut.
Solusi
• Apoteker tidak seharusnya melakukan kebohongan kepada pasien
dengan mengganti obat dalam resep dengan alasan efek obat lebih
cepat, padahal hanya karena stok obat pengganti berlebih dan
mendekati expired date.
• Seharusnya masalah stok obat tersebut diselesaikan dengan
melakukan investigasi terkait penyebab jumlah obat yang masih
banyak di gudang dan melaporkannya dalam rapat Komite Farmasi
dan Terapi (KFT)
Kasus Pengadaan Vaksin Palsu
Kasus penggunaan vaksin palsu terjadi di Rumah Sakit (RS) Permata, Kota
Bekasi, Jawa Barat. Pihak Rumah Sakit mengakui ada kelemahan saat
melakukan verifikasi pembelian vaksin dari CV Azka Medical.
e) Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Obat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum dan
Pidana
Analisis Kasus
a) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
o Pasal 5 ayat 2
•(2) Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau
o Pasak 98 ayat 3
• (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
o Pasal 196
• Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Analisis Kasus
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
o Pasal 4 (Hak konsumen)
(a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
(b) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian
o Pasal 9
Apoteker tersebut juga melanggar Kode Etik Apoteker Pasal 9, yang berbunyi “Seorang apoteker dalam melakukan
praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi
makhluk hidup insani”.
Analisis Kasus
e) Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Obat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum dan
Pidana
Ketentuan pidana yang dapat dikaitkan dengan akibat hukum peredaran obat palsu dapat tersirat dalam
ketentuan-ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana berikut ini:
18
Kasus Pelanggaran Kode Etik di
Apotek
19
Kasus Kesalahan pemberian Obat
• 21 Oktober 2020
• Apotek : Apotek Istana 1 di
Jalan Iskandar Muda, Medan
• Kesalahan pemberian obat
(Methylprednisolone tetapi
malah diberikan antidiabetes
Amaryl M2)
(1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
(3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa
• Pasal 7 (Kewajiban Pelaku Usaha)
(b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
(d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan.
ANALISIS KASUS :
4. Kode Etik Apoteker
• Pada Pasal 7 Kode Etik Apoteker berbunyi bahwa “Seorang apoteker harus menjadi sumber
informasi sesuai dengan profesinya”.
• Apoteker tersebut juga melanggar Kode Etik Apoteker Pasal 9, yang berbunyi “Seorang apoteker
dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat,
menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insani”.
Dimana dapat dikatakan berdasarkan kode etik tersebut, seorang apoteker harus yakin bahwa obat yang
diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, khasiat, dengan cara pakai yang
tepat. Berdasarkan kedua pasal tersebut, apoteker sebagai mitra pasien harus mampu menyampaikan
informasi obat dan lebih teliti dan bertanggung jawab terhadap keselamatan pasien.
ANALISIS KASUS :
5. Kelalaian dalam pemberian obat kepada pasien juga melanggar UU No. 36 Tahun 2009, dimana
kelalaian pemberian obat tersebut menggambarkan pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung
jawab, tidak aman dan tidak bermutu untuk pasien karena dapat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan atau merugikan bagi pasien.
Kasus Peredaran Obat Ilegal
Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi
Tenggara berhasil menangkap delapan orang
pengedar obat jenis PCC (Paracetamol Caffeine
Carisoprodol). Dua di antara pelaku adalah
oknum apoteker dan asisten apoteker.
Penangkapan dilakukan menyusul peristiwa luar
biasa yang terjadi di Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara, dimana puluhan remaja mendadak
berperilaku seperti zombie (mayat hidup) usai
mengonsumsi obat-obatan yang diduga PCC.
Dua dari delapan orang tersangka merupakan
oknum apoteker dan asisten apoteker salah satu
apotek di Kendari. Selain menyita pil PCC, polisi
juga menyita ribuan pil Somadril dan Tramadol
dari tangan para pelaku. Kini, delapan orang
pelaku telah ditahan di Polda Sulawesi Tenggara
dan Polres Kendari.
Analisis Kasus
Permasalahan
Apoteker menjual PCC (Paracetamol, Carisoprodol, dan Cafein) yang merupakan obat keras yang harus
dengan resep dokter. Dapat disebut juga sebagai obat illegal karena salah satu kandungannya, yaitu
Karisoprodol membahayakan Kesehatan hingga izin edar obat yang mengandungnya ditarik pada tahun 2013
bahkan ditetapkan sebagai narkortika golongan I pada tahun 2018 lalu.
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. tidak memenuhi atau
tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian
Pasal 1
Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah/Janji Apoteker
Pasal 2
Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode
Etik Apoteker Indonesia
Pasal 3
Seorang Apoteker harus selalu senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam
melaksanakan kewajibannya
Sanksi
Sanksi Menjual Obat Ilegal dan Berbahaya Sanksi Bagi Apotek
31
Berdasarkan hasil pengujian Balai Besar BPOM
Surabaya terhadap sampel obat tradisional berikut :
• Nama Obat : Pil Zhui Feng Tan
• Indikasi obat : Menghilangkan nyeri, rematik
• (Tidak dicantumkan nomor registrasi dan tanggal
kadaluarsa obat)
• https://www.republika.co.id/berita/mvxkzn/bpom-temukan-59-obat-tradisional-mengandung-bko
Diakses pada tanggal 16 September 2021 Pukul 12:47
• https://www.beritasatu.com/kesehatan/149026/bpom-keluarkan-public-warning-terhadap-59-oba
t-tradisional-berbahaya
Analisis Permasalahan
Industri Obat Tradisional
Evaluasi kasus tersebut dan
tersebut tidak jujur/tidak
bagaimana tindak lanjut yang Dasar hukum apa yang
memberikan kandungan asli zat
dilakukan terhadap dilanggar pada kasus ini? aktif obat tersebut. Yang ternyata
permasalahan tersebut di atas? dicampurkan dengan BKO
Evaluasi dan Tindak Lanjut
• Produsen obat tersebut (PT. HM) melakukan tindak pelanggaran karena pada produk tidak dicantumkan nomer registrasi,
tanggal kadarluarsa obat, dan produk terbukti mengandung bahan kimia obat (BKO). Dari pelanggaran tersebut, tindak lanjut
berikutnya adalah dilakukan proses proyustisia
Sanksi Administratif
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Ijin Usaha Industri Obat Tradisional
dan Pendaftaran Obat Tradisional (OT) : Pasal 20 (c) : “Ijin Usaha IOT atau IKOT dicabut dalam hal ini
melanggar ketentuan pasal 3, 4, 39, atau 41”.
1. Industri obat tradisional yang termasuk ke
dalam sektor farmasi wajib mencamtukan
kandungan/zat aktif bahan yang digunakan
2. Harus mendapatkan No Izin Edar dari
BPOM untuk menjamin masyarakat dalam
Solusi penggunaan obat dan menjamin mutu
juga khasiat obat
3. Wajib mencamtukan tanggal kadaluarsa
suatu obat
4. Tidak mencampurkan bahan kimia hasil
isolasi/sintetik ke dalam Obat Tradisional
Kasus Pelanggaran
05 Kode Etik di PBF
37
Kasus 1
Apoteker Y menjadi penanggungjawab apotek B yang sekaligus sebagai PSA. Suatu saat ia mendapatkan
tawaran untuk menjadi penanggungjawab PBF C dan ia menerima tawaran tersebut. Tanpa melepas
status sebagai APA, ia menjadi penanggungjawab PBF C. Untuk mencapai target yang telah ditetapkan
perusahaan (PBF C), apoteker Y melakukan kerjasama dengan apotek miliknya untuk mendistribusikan obat ke
klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit-rumah sakit. Apotek akan mendapatkan fee dari vertical ini
sebesar 2% faktur penjualan. Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur
pengiriman, faktur pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek,
pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua disiapkan dengan rapi sehingga setiap ada pemeriksaan
Masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan PBF. Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah
Pasal 14 Undang-Undang N0 5 Tahun 1999. Pasal tersebut melarang perbuatan integrasi vertical, yaitu perbuatan
pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai produksi sejumlah
produk dalam suatu rangkaian produksi baik berupa barang ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut
adalah hasil dari pengolahan atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga membuat
terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga merugikan masyarakat.
Ada perjanjian antara apotek dan pbf berupa fee bagi apoteker, dimana apotek dan PBF merupakan
bagian dari proses penyaluran / distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah sakit sebagai
tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat,
tergantung bagaimana fee tersebut digunakan untuk menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi adalah tindak pidana berupa integrasi ertical. Namun tentunya akan
lebih jelas bila keseluruhan dokumen diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih
tepat. Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam pasal 15 ayat (3).
SOLUSI
Apoteker A harus bisa memilih salah satu, APA di Apotek B atau APJ di PBF C sesuai dengan Pasal 18
Permenkes No 889 Tahun 2011.
Jika ingin melaporkan adanya tindakan yang merugikan seperti kasus diatas, maka dapat melaporkan ke media
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Berupa pelaporan saja. Selanjutnya KPPU akan
menindaklanjuti laporan tersebut, mulai dari memanggil para saksi; meminta dokumen; memutuskan perbuatan
tersebut benar atau salah; hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan penyelidikan tindakan pidana.
Pelanggaran integrasi vertikal ini mengacu pada Undang-Undang No 5 tahun 1999 (Pasal 14) dapat dikenakan
sanksi administratif berupa :
a. Penghentian kegiatan yang tebrukti menimbulkan praktek monopoli atau menyebabkan persaingan usaha tidak
sehat dan atau merugikan masyarakat
b. Penetapan pembayaran ganti rugi
c. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (1 Milyar) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (25
Milyar)
PBF Melanggar Aturan