Anda di halaman 1dari 49

PELANGGARAN KODE

ETIK PADA FASILITAS


KEFARMASIAN
Hanipah 41211097000001
Istiqomatun Nisa 41211097000002
Nurapni Hidayanti 41211097000003
Putri Annafi 41211097000004
Rahmanita Novita Sari41211097000005
Amalia Nur Khalifah 41211097000006
Ari Dewiyanti 41211097000007
Rizky Nasikha 41211097000008
DAFTAR ISI
Pendahuluan Kasus Pelanggaran
01. 02. Kode Etik di RS

Kasus Pelanggaran Kasus Pelanggaran


Kode Etik di Rumah
03. Sakit 04. Kode Etik di Industri

Kasus Pelanggaran
05. Kode Etik di PBF

2
01 Pendahuluan

3
PENDAHULUAN
• Etika dipakai sebagai pedoman berperilaku di masyarakat. Etika dibuat dalam bentuk
tertulis yang secara sistematis dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada pada
saat dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam
tindakan yang secara logika dan rasional dinilai menyimpang dari kode etik.
• Kode etik Apoteker menjadi pedoman dan rambu-rambu moral yang sistematis bagi
perilaku etis seorang Apoteker.
• Dalam kode etik Apoteker, dijelaskan bahwa seorang Apoteker di dalam menjalankan
tugas kewajibannya, serta dalam mengamalkan keahliannya harus senantiasa
mengharapkan bimbingan dan keridaan Tuhan Yang Maha Esa. Apoteker dalam
pengabdiannya serta dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada
sumpah/janji Apoteker (Ikatan Apoteker Indonesia, 2009).
• Dalam aplikasinya, tidak jarang terjadi kasus-kasus pelanggaran etika di tempat praktik
Apoteker. Pelanggaran tersebut tidak hanya merugikan pasien, tetapi juga merugikan
nama baik profesi Apoteker. Untuk itu, perlu ada tindakan untuk menangani pelanggaran
etika Apoteker di lingkungan praktik Apoteker.
Kasus Pelanggaran
02 Kode Etik di Rumah
Sakit

5
Kasus Pelanggaran Kode Etik di
Rumah Sakit

Kasus Pemberian Kasus Pengadaan


obat yang harganya Vaksin Palsu
lebih mahal

6
Kasus Pemberian Obat yang Memiliki
Harga yang Mahal
Seorang pasien mendapat resep obat ibuprofen generik, sedangkan
obat ibuprofen merek dagang M masih banyak di gudang dan
mendekati Expired Date, maka obat ibuprofen generic dalam resep
diganti dengan obat M yang memiliki kandungan zat aktif sama.
Berdasarkan harga, obat M lebih mahal dibandingkan obat generik,
tetapi apoteker memberikan informasi kepada keluarga pasien bahwa
efek obat M lebih cepat dibandingkan dengan obat generik, maka
keluarga pasien menyetujuinya.
Identifikasi Masalah
• Apoteker di rumah sakit mengganti obat dalam resep dengan obat
yang lebih mahal;
• Apoteker melakukan informasi yang tidak benar kepada pasien;
• Kemungkinan apoteker melakukakan kesalahan dalam pengadaan
sehingga stok obat Y masih banyak walaupun mendekati expired date
atau memiliki kerjasama dengan produsen obat M;
• Apoteker hanya memperhatikan kepentingan apotek (stok obat)
dibandingkan kondisi pasien (ekonomi pasien).
Dasar Hukum yang digunakan Apoteker tersebut
(Peraturan Perundangan 51/2009)
• Pasal 24
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian, Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat
generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasien
• Diskusi:
Apoteker tidak salah dalam pemberian obat, tetapi menjadi salah karena
landasan dalam mengganti obat yang digunakan bukan karena stok kosong
tapi karena jumalh obat M berlebih di gudang dan mendekati expired date
serta terdapat kemungkinan kerja sama atara apoteker dengan produsen obat
tersebut.
Solusi
• Apoteker tidak seharusnya melakukan kebohongan kepada pasien
dengan mengganti obat dalam resep dengan alasan efek obat lebih
cepat, padahal hanya karena stok obat pengganti berlebih dan
mendekati expired date.
• Seharusnya masalah stok obat tersebut diselesaikan dengan
melakukan investigasi terkait penyebab jumlah obat yang masih
banyak di gudang dan melaporkannya dalam rapat Komite Farmasi
dan Terapi (KFT)
Kasus Pengadaan Vaksin Palsu
Kasus penggunaan vaksin palsu terjadi di Rumah Sakit (RS) Permata, Kota
Bekasi, Jawa Barat. Pihak Rumah Sakit mengakui ada kelemahan saat
melakukan verifikasi pembelian vaksin dari CV Azka Medical.

Vaksin jenis Pediacel disuntikkan kepada pasien untuk keperluan antisipasi


penyakit DPT, HiB dan polio dalam rentang waktu penggunaan Oktober
2015 hingga Juni 2016. Pihaknya mengklaim jumlah vaksin tersebut dalam
rentang waktu Oktober 2015 hingga Mei 2016 sudah digunakan sebanyak 45
vial

Manajer Pelayanan Medis RS Permata Bekasi Siti Yunita menambahkan telah


terjadi kelalaian pada bagian farmasi rumah sakit tersebut. "Obat-obatan
yang kita beli, kemudian diverifikasi di bagian farmasi. Namun kami akui
terjadi kelemahan, sehingga produk tersebut lolos dan digunakan pasien,"
Analisis Kasus
Analisis kasus yang terjadi ialah bahwa terjadi kelalaian pada bagian farmasi rumah sakit
yang membeli vaksin palsu dari distributor yang tidak resmi dan vaksin yang dibeli ialah
vaksin palsu serta instalasi sudah menggunakannya sebanyak 45 vial. Dari kasus
tersebut, terdapat hukum yang dilanggar, diantaranya :

a) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

c) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

d) Kode etik Apoteker

e) Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Obat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum dan
Pidana
Analisis Kasus
a) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

o Pasal 5 ayat 2

•(2) Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau
o Pasak 98 ayat 3

• (3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat
kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
o Pasal 196
• Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat (2) dan (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Analisis Kasus
b) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
o Pasal 4 (Hak konsumen)
(a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
(b) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa

c) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian

d) Kode etik Apoteker

o Pasal 9
Apoteker tersebut juga melanggar Kode Etik Apoteker Pasal 9, yang berbunyi “Seorang apoteker dalam melakukan
praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi
makhluk hidup insani”.
Analisis Kasus
e) Pengaturan Tindak Pidana Pemalsuan Obat Menurut Kitab Undang-Undang Hukum dan
Pidana

Ketentuan pidana yang dapat dikaitkan dengan akibat hukum peredaran obat palsu dapat tersirat dalam
ketentuan-ketentuan kitab Undang-undang Hukum Pidana berikut ini:

o Pasal 205 KUHP


(1) Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan barang-barang yang berbahaya bagi nyawa
atau kesehatan orang, dijual, diserahkan atau di bagi-bagikan tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang
membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
o Pasal 386 KUHP
(2) Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan, minuman atau obat-obatan yang
diketahuinya bahwa itu dipalsu, dan menyembunyikan hal itu, diancan dengan pidana penjara paling lama
empat tahun.
Solusi
1. Pihak Rumah Sakit harus betanggung jawab mendata seluruh pasien yang
mendapatkan obat palsu tersebut, mengajukan permohonan maaf dan
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian yang
diterima oleh pasien sesuai dengan kesepakatan bersama.
2. Apoteker yang telah bekerja di sebuah Rumah Sakit harus mengutamakan
kepentingan masyarakat, menghormati hak azasi pasien dan melindungi
makhluk hidup insani serta menjamin bahwa obat yang digunakan pasien
ialah obat yang baik mutunya. Sehingga untuk mencapai itu semua dan
menghindari kasus ini terulang kembali, Apoteker harus teliti terutama
dalam hal pengelolaan sediaan farmasi di Rumah Sakit yaitu memastikan
bahwa obat yang diadakan di Rumah Sakit dan diserahkan kepada pasien
adalah obat yang terjamin mutu, keamanan dan khasiatnya
Kasus Pelanggaran
03 Kode Etik di Apotek

18
Kasus Pelanggaran Kode Etik di
Apotek

Kasus Kesalahan Kasus Peredaran Obat


pemberian Obat Ilegal

19
Kasus Kesalahan pemberian Obat
• 21 Oktober 2020
• Apotek : Apotek Istana 1 di
Jalan Iskandar Muda, Medan
• Kesalahan pemberian obat
(Methylprednisolone tetapi
malah diberikan antidiabetes
Amaryl M2)

Pihak Keluarga meminta


Kasus ini dikutip dari
pertanggungjawaban pemilik
https://hmstimes.com/2020/pekerja-apotek-di-medan-salah-beri-obat/ pada Sabtu,
apotek (sekaligus apoteker
11 September 2021 pukul 13.45 WIB.
penanggung jawab).
ANALISIS KASUS :
1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
• Pasal 5
Setiap orang memiliki hak dalam memperoleh pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu dan
terjangkau.
• Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data Kesehatan dirinya termasuk Tindakan dan
pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga Kesehatan
• Pasal 24
Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 memenuhi ketentuan kode etik, standar
profesi, hak pengguna pelayanan Kesehatan, standar pelayanan dan standar prosedur operasional.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian
• Pasal 21
Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
ANALISIS KASUS :
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
• Pasal 4 (Hak Konsumen)

(1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa

(3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa
• Pasal 7 (Kewajiban Pelaku Usaha)

(b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

(d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan.
ANALISIS KASUS :
4. Kode Etik Apoteker
• Pada Pasal 7 Kode Etik Apoteker berbunyi bahwa “Seorang apoteker harus menjadi sumber
informasi sesuai dengan profesinya”.
• Apoteker tersebut juga melanggar Kode Etik Apoteker Pasal 9, yang berbunyi “Seorang apoteker
dalam melakukan praktik kefarmasian harus mengutamakan kepentingan masyarakat,
menghormati hak azasi pasien dan melindungi makhluk hidup insani”.

Dimana dapat dikatakan berdasarkan kode etik tersebut, seorang apoteker harus yakin bahwa obat yang
diserahkan kepada pasien adalah obat yang terjamin mutu, keamanan, khasiat, dengan cara pakai yang
tepat. Berdasarkan kedua pasal tersebut, apoteker sebagai mitra pasien harus mampu menyampaikan
informasi obat dan lebih teliti dan bertanggung jawab terhadap keselamatan pasien.
ANALISIS KASUS :
5. Kelalaian dalam pemberian obat kepada pasien juga melanggar UU No. 36 Tahun 2009, dimana
kelalaian pemberian obat tersebut menggambarkan pelayanan kesehatan yang tidak bertanggung
jawab, tidak aman dan tidak bermutu untuk pasien karena dapat menimbulkan efek yang tidak
diinginkan atau merugikan bagi pasien.
Kasus Peredaran Obat Ilegal
Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi
Tenggara berhasil menangkap delapan orang
pengedar obat jenis PCC (Paracetamol Caffeine
Carisoprodol). Dua di antara pelaku adalah
oknum apoteker dan asisten apoteker.
Penangkapan dilakukan menyusul peristiwa luar
biasa yang terjadi di Kota Kendari, Sulawesi
Tenggara, dimana puluhan remaja mendadak
berperilaku seperti zombie (mayat hidup) usai
mengonsumsi obat-obatan yang diduga PCC.
Dua dari delapan orang tersangka merupakan
oknum apoteker dan asisten apoteker salah satu
apotek di Kendari. Selain menyita pil PCC, polisi
juga menyita ribuan pil Somadril dan Tramadol
dari tangan para pelaku. Kini, delapan orang
pelaku telah ditahan di Polda Sulawesi Tenggara
dan Polres Kendari.
Analisis Kasus
Permasalahan
Apoteker menjual PCC (Paracetamol, Carisoprodol, dan Cafein) yang merupakan obat keras yang harus
dengan resep dokter. Dapat disebut juga sebagai obat illegal karena salah satu kandungannya, yaitu
Karisoprodol membahayakan Kesehatan hingga izin edar obat yang mengandungnya ditarik pada tahun 2013
bahkan ditetapkan sebagai narkortika golongan I pada tahun 2018 lalu.

Analisis pasal terkait pelanggaran

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan


Pasal 196
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima
ratus juta rupiah).
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
Pasal 114 ayat (1)

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi
perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen


Pasal 7 Kewajiban Pelaku Usaha

(a) Beritikad baik baik dalam melakukan usahanya

(d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku
Pasal 8

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : a. tidak memenuhi atau
tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian

Pasal 21

(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker harus
menerapkan standar pelayanan kefarmasian

Kode Etik Apoteker

Pasal 1
Seorang Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah/Janji Apoteker
Pasal 2
Seorang Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode
Etik Apoteker Indonesia
Pasal 3
Seorang Apoteker harus selalu senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam
melaksanakan kewajibannya
Sanksi
Sanksi Menjual Obat Ilegal dan Berbahaya Sanksi Bagi Apotek

• Tenaga kefarmasian yang menjual obat illegal


Dalam pasal 16 PMK Nomor 9 Tahun 2017 tentang Apotek,
(tanpa izin edar) dalam hal ini adalah PCC dapat
dijerat dengan Pasal 197 Undang-undang Apotek menyelenggarakan fungsi :
Kesehatan, yaitu pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling banyak a) Pengelolaan sediaan farmasi, alat Kesehatan dan bahan
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta medis habis pakai; dan
rupiah).
b) Pelayanan farmasi klinik, termasuk di komunitas
• Selain itu, oleh karena Karisoprodol termasuk
narkotika golongan I, maka tenaga kefarmasian Pelanggaran terhadap ketentuan dalam PMK Nomor 9 Tahun
juga dapat dijerat berdasarkan Pasal 114 ayat (1)
UU Narkotika dengan pidana penjara seumur 2017 dapat dikenakan sanksi administrative berupa :
hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan c) Peringatan tertulis
pidana denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00
d) Penghentian sementara kegiatan; dan
(satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). e) Pencabutan SIA
Solusi
 Setiap apoteker dan tenaga teknis kefarmasian harus bekerja
sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional,
standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien dan
mengutamakan kepentingan pasien

 Penyelenggaran pelayanan kefarmasian di Apotek harus


menjamin ketersediaan sediaan farmasi yang aman, bermutu,
bermanfaat dan terjangkau
Kasus Pelanggaran
03 Kode Etik di Industri
Farmasi

31
Berdasarkan hasil pengujian Balai Besar BPOM
Surabaya terhadap sampel obat tradisional berikut :
• Nama Obat : Pil Zhui Feng Tan
• Indikasi obat : Menghilangkan nyeri, rematik
• (Tidak dicantumkan nomor registrasi dan tanggal
kadaluarsa obat)

• Nama Produsen : PT. HM


• Alamat : Surabaya
• Hasil Uji : Positif mengandung dexametason

• https://www.republika.co.id/berita/mvxkzn/bpom-temukan-59-obat-tradisional-mengandung-bko
Diakses pada tanggal 16 September 2021 Pukul 12:47
• https://www.beritasatu.com/kesehatan/149026/bpom-keluarkan-public-warning-terhadap-59-oba
t-tradisional-berbahaya
Analisis Permasalahan
Industri Obat Tradisional
Evaluasi kasus tersebut dan
tersebut tidak jujur/tidak
bagaimana tindak lanjut yang Dasar hukum apa yang
memberikan kandungan asli zat
dilakukan terhadap dilanggar pada kasus ini? aktif obat tersebut. Yang ternyata
permasalahan tersebut di atas? dicampurkan dengan BKO
 Evaluasi dan Tindak Lanjut
• Produsen obat tersebut (PT. HM) melakukan tindak pelanggaran karena pada produk tidak dicantumkan nomer registrasi,
tanggal kadarluarsa obat, dan produk terbukti mengandung bahan kimia obat (BKO). Dari pelanggaran tersebut, tindak lanjut
berikutnya adalah dilakukan proses proyustisia

 Dasar Hukum yang dilanggar


Pada kasus di atas, dasar hukum yang dilanggar antara lain :
• Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 1(4):”Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat,
obat tradisional, dan kosmetika”. Pasal 106 (1) :”Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat
ijin edar”.
• Undang-undang Republik Indonesia No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 8 (1) :”Pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan /atau jasa yang : a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar
yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 8 (4) : “Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
pada ayat(1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menarikya dari peredaran
• Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Ijin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat
Tradisional (OT) pasal 39 (1) : a. Industri Obat Tradisional (IOT) atau Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) dilarang memproduksi
segala jenis OT yang mengandung bahan kimia hasil isolasi atau sintetik yang berkhasiat obat.
Informasi mengenai produk obat tradisional dalam iklan harus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan
dalam pasal 41 ayat (2) Undang-Undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai berikut;
Lengkap
Tidak meny : esatkan
harus mencantumkan tidak
: informasi obat tradisional
Obyektif
harus jujur,
hanya :akurat,
harusibertang
informas memberi
tentang gung kan
jawab
khas i nformasi
iat serta
dan tidak
boleh memanfaatkan
sesuai
kegunaan dengan k ekuatiran
obat kenyataan
tradis ional,yang masy
tetapiada arak at
dan
j uga
akan suatu masalah kesehatan. Disamping itu,
memberikan
tidak inform as i tentang
boleh menyimpang daridansihal-hal
fat
cara penyajian informasi harus baik pantas
yang harus
kemanfaatan
serta tidak di dan
boleh perhatikan,
keamanan
menimbulkan mis al nyakhusus di
obat
persepsi
adanyaarakkontra
masy sonal
tradi angi ndi
at yyang mengakkasdi
telah i,ibatk
efekanspeng
setujui amping,
. gunaan
pantangan
obat tradisionaldan lainnya.
y ang berlebihan dan tidak benar

 Sanksi Administratif
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Ijin Usaha Industri Obat Tradisional
dan Pendaftaran Obat Tradisional (OT) : Pasal 20 (c) : “Ijin Usaha IOT atau IKOT dicabut dalam hal ini
melanggar ketentuan pasal 3, 4, 39, atau 41”.
1. Industri obat tradisional yang termasuk ke
dalam sektor farmasi wajib mencamtukan
kandungan/zat aktif bahan yang digunakan
2. Harus mendapatkan No Izin Edar dari
BPOM untuk menjamin masyarakat dalam
Solusi penggunaan obat dan menjamin mutu
juga khasiat obat
3. Wajib mencamtukan tanggal kadaluarsa
suatu obat
4. Tidak mencampurkan bahan kimia hasil
isolasi/sintetik ke dalam Obat Tradisional
Kasus Pelanggaran
05 Kode Etik di PBF

37
Kasus 1
Apoteker Y menjadi penanggungjawab apotek B yang sekaligus sebagai PSA. Suatu saat ia mendapatkan

tawaran untuk menjadi penanggungjawab PBF C dan ia menerima tawaran tersebut. Tanpa melepas

status sebagai APA, ia menjadi penanggungjawab PBF C. Untuk mencapai target yang telah ditetapkan

perusahaan (PBF C), apoteker Y melakukan kerjasama dengan apotek miliknya untuk mendistribusikan obat ke

klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit-rumah sakit. Apotek akan mendapatkan fee dari vertical ini

sebesar 2% faktur penjualan. Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur

pengiriman, faktur pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek,

pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua disiapkan dengan rapi sehingga setiap ada pemeriksaan

Badan POM tidak terlihat adanya penyimpangan secara administrasi


•Analisa Permasalahan :
Ada dua hal yang menjadi pokok permasalahan dalam kasus tersebut.
1. Masalah penanggung jawab, dimana Apoteker Y menjadi APA di Apotek B dan juga sekaligus menjadi PJ di
Pedagang Besar Farmasi C.
2. Masalah kesepakatan yang dilakukan oleh pihak Apotek & PBF, dimana keduanya mengadakan perjanjian
kerjasama agar mendapatkan keuntungan lebih dibanding melalui prosedur normal.

•Pembahasan Pelanggaran Pertama :


Diketahui bahwa seorang apoteker harus memiliki izin Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), yang mana
merupakan tanda bukti bahwa yang bersangkutan telah resmi teregistrasi sebagai salah seorang tenaga
kefarmasian yaitu apoteker. Disamping STRA, apoteker juga harus memiliki izin lain ketika hendak
melakukan pekerjaan kefarmasian di tempat tertentu. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA), diperlukan apabila
bekerja di tempat fasilitas pelayanan kefarmasian. Sedangkan Surat Izin Kerja Apoteker (SIKA), wajib
dimiliki Ketika melakukan praktek di fasilitas produksi ataupun distribusi / penyaluran kefarmasian
Dalam kasus ini Apoteker A tidak hanya praktek di Apotek tetapi juga di PBF, sehingga memiliki tidak
hanya SIPA APA Apotek tetapi juga memiliki SIKA PJ PBF. Perbuatan ini disebut pelanggaran karena
bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang dalam hal ini diatur dalam Pasal 18
Permenkes No 889 Tahun 2011. Diatur dalam peraturan tersebut bahwa SIPA atau SIKA hanya boleh untuk
satu fasilitas kefarmasian, artinya satu apoteker hanya boleh memiliki SIPA atau SIKA untuk satu tempat
saja.
•Pembahasan Pelanggaran Kedua

Masalah yang kedua adalah perjanjian kerjasama antara Apotek dan PBF. Dasar dari pelanggaran tindakan ini adalah
Pasal 14 Undang-Undang N0 5 Tahun 1999. Pasal tersebut melarang perbuatan integrasi vertical, yaitu perbuatan
pelaku usaha yang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain dengan tujuan menguasai produksi sejumlah
produk dalam suatu rangkaian produksi baik berupa barang ataupun jasa yang mana rangkaian produksi tersebut
adalah hasil dari pengolahan atau proses berkelanjutan, baik langsung atau tidak langsung, sehingga membuat
terjadinya persaingan usaha tidak sehat ataupun juga merugikan masyarakat.

Ada perjanjian antara apotek dan pbf berupa fee bagi apoteker, dimana apotek dan PBF merupakan
bagian dari proses penyaluran / distribusi kefarmasian yang berkelanjutan hingga ke klinik atau rumah sakit sebagai
tujuan akhir maksud perjanjian tersebut. Secara jelas hal tersebut dapat menimbulkan persaingan usaha tidak sehat,
tergantung bagaimana fee tersebut digunakan untuk menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pelanggaran yang terjadi adalah tindak pidana berupa integrasi ertical. Namun tentunya akan
lebih jelas bila keseluruhan dokumen diketahui, sehingga kemungkinan pelanggaran bisa dianalisis dengan lebih
tepat. Misalnya saja mungkin bisa dikaitkan dengan perjanjian tertutup yang diatur dalam pasal 15 ayat (3).
SOLUSI
 Apoteker A harus bisa memilih salah satu, APA di Apotek B atau APJ di PBF C sesuai dengan Pasal 18
Permenkes No 889 Tahun 2011.
 Jika ingin melaporkan adanya tindakan yang merugikan seperti kasus diatas, maka dapat melaporkan ke media
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Berupa pelaporan saja. Selanjutnya KPPU akan
menindaklanjuti laporan tersebut, mulai dari memanggil para saksi; meminta dokumen; memutuskan perbuatan
tersebut benar atau salah; hingga melanjutkan berkas ke kepolisian sebagai bahan penyelidikan tindakan pidana.
Pelanggaran integrasi vertikal ini mengacu pada Undang-Undang No 5 tahun 1999 (Pasal 14) dapat dikenakan
sanksi administratif berupa :
a. Penghentian kegiatan yang tebrukti menimbulkan praktek monopoli atau menyebabkan persaingan usaha tidak
sehat dan atau merugikan masyarakat
b. Penetapan pembayaran ganti rugi
c. Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (1 Milyar) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (25
Milyar)
PBF Melanggar Aturan

Pada tahun 2017 BPOM menemukan 754 pedagang


besar farmasi (PBF) melakukan pelanggaran atau tidak
memenuhi ketentuan. Bentuk pelanggarannya antara
lain mengelola administrasi secara tidak tertib, gudang
tidak memenuhi persyaratan, dan menyalurkan obat
secara panel atau penanggung jawab tidak bekerja
secara penuh. Pelanggaran berikutnya adalah
melakukan pengadaan obat dari jalur tidak resmi,
menyalurkan obat keras ke sarana tidak berwenang,
tidak bertanggung jawab atas penyaluran obat keras
Kasus ini dikutip dari
https://bisnis.tempo.co/read/1094148/bpom-754-pedag dalam jumlah besar dan beroperasi dialamat yang
ang-obat-besar-melanggar-aturan-pada-2017/full&view=
ok tidak sesuai dengan izin.
yang diakses tanggal 16 September 2021
Permasalahan :
BPOM menemukan 754 pedagang besar farmasi
(PBF) melakukan pelanggaran atau tidak memenuhi
ketentuan.

Analisis pasal terkait pelanggaran tersebut:


Berdasarkan peraturan menteri kesehatan RI Nomor 1148 tahun 2011:
• Pasal 1 ayat 1 “Pedagang besar farmasi (PBF) adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang
memiliki izin untuk pengadaan, penyimpanan, penyaluran obat, dan atau bahan obat dalam
jumlah besar sesuai ketentuan perundang-undangan.
• Pasal 1 ayat 5 “ Cara distribusi obat yang baik (CDOB) adalah cara distribusi / penyaluran obat dan
atau bahan obat yang bertujuan untuk memastikan mutu sepanjang jalur distribusi / penyaluran
sesuai persyartan dan tujuan penggunaannya.
• Pasal 1 ayat 6 “ Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya disebut kepala balai
POM adalah kepala unit pelaksana teknis dilingkungan badan pengawas obat dan makanan.
• Pasal 13 ayat 1 “PBF dan PBF Cabang hanya dapat mengadakan, menyimpan dan menyalurkan
obat dan/atau bahan obat yang memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan oleh Menteri.
• Pasal 13 ayat 2 PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dari industri farmasi dan/atau
sesama PBF.
• Pasal 13 ayat 3 PBF hanya dapat melaksanakan pengadaan bahan obat dari industri farmasi,
sesama PBF dan/atau melalui importasi.
• Pasal 13 ayat 4 Pengadaan bahan obat melalui importasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
• Pasal 13 ayat 5 PBF Cabang hanya dapat melaksanakan pengadaan obat dan/atau bahan obat
dari PBF pusat.
Pasal 14 ayat 1 Setiap PBF dan PBF Cabang harus memiliki apoteker penanggung jawab yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan ketentuan pengadaan, penyimpanan dan penyaluran
obat dan/atau bahan obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
Sanksi
Berdasarkan undang-undang NO 23 Tahun1992:
• Pasal 82 ayat 2 barang siapa dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi berupa obat yang tidak memenuhi
standar atau persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 tahun atau pidana denda paling banyak 100.000.000 (seratus juta
rupiah)
Solusi
Berdasarkan peraturan menteri kesehatan RI Nomor 1148 tahun 2011:
• Pasal 15 (1) PBF dan PBF Cabang harus melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan
penyaluran obat dan/atau bahan obat sesuai dengan CDOB yang ditetapkan oleh Menteri.
• Pasal 15 (2) Penerapan CDOB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai
pedoman teknis CDOB yang ditetapkan oleh Kepala Badan.
• Pasal (3) PBF dan PBF Cabang yang telah menerapkan CDOB diberikan sertifikat CDOB
oleh Kepala Badan.
• Pasal 16 (1) Setiap PBF atau PBF Cabang wajib melaksanakan dokumentasi pengadaan,
penyimpanan, dan penyaluran di tempat usahanya dengan mengikuti pedoman CDOB.
• Pasal 16 (2) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara
elektronik. (3) Dokumentasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) setiap saat
harus dapat diperiksa oleh petugas yang berwenang.
DAFTAR PUSTAKA
• https://www.republika.co.id/berita/mvxkzn/bpom-temukan-59-obat-tradisional-mengandung-bko Diakses
pada tanggal 16 September 2021 Pukul 12:47
• https://www.beritasatu.com/kesehatan/149026/bpom-keluarkan-public-warning-terhadap-59-obat-tradisi
onal-berbahaya
Diakses pada tanggal 16 September 2021 Pukul 12:47
• https://farmasetika.com/2020/08/04/bolehkah-izin-bpom-sebagai-obat-tradisional-berkhasiat-untuk-covid
-19/
diakses pada tanggal 16 September 2021 jam 14:57
• Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Ijin Usaha Industri Obat Tradisional
dan Pendaftaran Obat Tradisional
• Permenkes No 889 Tahun 2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian
• Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
• Undang-undang Republik Indonesia No. 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
• Undang-Undang No 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
• Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan
DAFTAR PUSTAKA
• Simangunsong. (2021). Pekerja Apotek di Medan Salah Beri Obat : 22 Oktober 2020 (Minggu, 12 September
2021). Diakses melalui https://hmstimes.com/2020/pekerja-apotek-di-medan-salah-beri-obat/ pada Sabtu,
11 September 2021 pukul 13.45 WIB.
• DD. (2018). Apotek Salah Berikan Obat "Sakit Mata Diberikan Obat Tetes Telingga" : Kamis, 23 Agustus 2018.
Diakses melalui https://www.suarasanggau.co.id/2018/08/apotek-salah-berikan-obat-sakit-mata.html pada
Sabtu, 11 September 2021 pukul 13.45 WIB.
• UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN.
• UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN
• IAI. (2009). KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN IMPLEMENTASI – JABARAN KODE ETIK.
• UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
• PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN
KEFARMASIAN

Anda mungkin juga menyukai