Anda di halaman 1dari 63

TUGAS PHARMACARE

Peraturan Badan Pengawasan Obat dan Makanan RI


Nomor 4 Tahun 2018
Pengawasan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor
Farmasi Di Pelayanan Kefarmasian

Oleh:

KELOMPOK 5:

I Km Kurnia Putra Semadi (114218121) I Gusti Agung Made Shinta A. P (114218122)


Miftahul Jannah (114218123) Ade Kurniawan P. (114218124)
Maria Goreti Maubere (114218125) Gracia Juanita (114218126) Nur Aisiah
Fauziah (114218127) Yunita Amaluddin Andriani (114218128)
Rahmi Eka N. (114218 129) Putu Yunita Prasanthi S. (114218130)
I Gusti Ayu Agung Dyah W. P. (114218131) Sonny Edbert (114218132)
Alin Rahmadia (114218133) Nabilla Bintang Iswara (114218134)
Windy Rizky Ramadhan (114219135) Junaidah Munaimah (114218136)
Siti Maryamah (114218137) Marklyn Navasasya W (114218138)
Insani Imaniah (114218139) Ervina Maharani S. P (114218140)
Dayani Oktavia (114218141) Riza Aryani (114218142)
Intan Marta A (114218143) Dinda Lisa T (1144218144)
Sitti Suhartina (114218145) Dian Yustikasari (114218146)
Rahmi Firlia (114218147) Aulia Nira Sari (114218148)
Ni Kadek Sastra Dewi (114218149) Evelyn Shantania (114218150)

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SURABAYA


SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1. Pendahuluan

Praktek kefarmasian meliputi aspek hukum, ilmu kefarmasian dan etik. Hukum yang digunakan

dalam bentuk peraturan perundangan sangat penting dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum

bagi tenaga kesehatan dalam menjalankan tugas. Peraturan perundangan selalu diperbarui untuk

meningkatkan kewenangan dan kepastian hukum bagi tenaga kesehatan.

Peraturan yang diperbarui dapat memberikan dampak bagi yang menjalankannya sehingga

perubahan-perubahan ini perlu untuk telaah dan dipahami sehingga praktek kefarmasian dapat berjalan

sesuai aturan yang berlaku dan tidak menimbulkan kesenjangan pada penerapannya.

Banyak kejadian-kejadian yang dilaporkan akibat ketidak pahaman seseorang terkait perubahan

peraturan sebelumnya dan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh pemerintah hingga terjadinya

pelanggaran kode etik kefarmasian. Maka dari itu disusunlah makalah ini untuk mempermudah tenaga

kefarmasian dalam memahami perubahan dan perbedaan-perbedaan yang terdapat pada PKBPOM No 4

Tahun 2018 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor

Farmasi Di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dengan peraturan-peraturan yang lainnya.

2. Rumusan Masalah

2.1. Perubahan-perubahan apa saja yang terdapat dalam PKBPOM No 4 Tahun 2018 tentang

Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Di

Fasilitas Pelayanan Kefarmasian dengan peraturan-peraturan sebelumnya.


2.2. Bagaimana dampak perubahan PKBPOM No 4 Tahun 2018 tentang Pengawasan Pengelolaan

Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Di Fasilitas Pelayanan

Kefarmasian terhadap pekerjaan kefarmasian

3. Tujuan

3.1 Untuk mengetahui perubahan dalam PKBPOM No 4 Tahun 2018 tentang Pengawasan

Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Di Fasilitas

Pelayanan Kefarmasian

3.2 Untuk mengetahui dampak dari perubahan PKBPOM No 4 Tahun 2018 tentang Pengawasan

Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika dan Prekursor Farmasi Di Fasilitas

Pelayanan Kefarmasian

3.3 Untuk meningkatkan pengetahuan tenaga kefarmasian tentang perubahan yang ada pada

PKBPOM No 4 Tahun 2018 tentang Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika,

Psikotropika dan Prekursor Farmasi Di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1997 TENTANG


PSIKOTROPIKA

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:


1. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
aktivitas mental dan perilaku.
2. Pabrik obat adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk melakukan
kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk psikotropika.
3. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas,
dan/atau mengubah bentuk psikotropika.
4. Kemasan psikotropika adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus
psikotropika, baik yang bersentuhan langsung maupun tidak.
5. Peredaran adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan psikotropika,
baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan.

6. Perdagangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka pembelian dan/atau
penjualan, termasuk penawaran untuk menjual psikotropika, dan kegiatan lain berkenaan dengan
pemindahtanganan psikotropika dengan memperoleh imbalan.
7. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki izin dari Menteri untuk
melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi, termasuk psikotropika dan alat kesehatan.
8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka memindahkan
psikotropika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara, moda, atau sarana angkutan apa pun, dalam
rangka produksi dan peredaran.
9. Dokumen pengangkutan adalah surat jalan dan/atau faktur yang memuat keterangan tentang identitas
pengirim, dan penerima, bentuk, jenis, dan jumlah psikotropika yang diangkut.
10. Transito adalah pengangkutan psikotropika di wilayah Republik Indonesia dengan atau tanpa berganti
sarana angkutan antara dua negara lintas.
11. Penyerahan adalah setiap kegiatan memberikan psikotropika, baik antar penyerah maupun kepada
pengguna dalam rangka pelayanan kesehatan.
12. Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan adalah lembaga yang secara khusus atau yang salah
satu fungsinya melakukan kegiatan penelitian dan/atau menggunakan psikotropika dalam penelitian,
pengembangan, pendidikan, atau pengajaran dan telah mendapat persetujuan dari Menteri dalam
rangka kepentingan ilmu pengetahuan.
13. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum
maupun bukan.
14. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.

BAB II

RUANG LINGKUP DAN TUJUAN

Pasal 2
(1). Ruang lingkup pengaturan di bidang psikotropika dalam undang-undang ini adalah segala kegiatan
yang berhubungan dengan psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma
ketergantungan.
(2). Psikotropika yang mempunyai potensi mengakibatkan sindroma ketergantungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) digolongkan menjadi:
a. psikotropika golongan I;
b. psikotropika golongan II;
c. psikotropika golongan III;
d. psikotropika golongan IV.
(3). Jenis-jenis psikotropika golongan I, psikotropika golongan II, psikotropika golongan III, psikotropika
golongan IV sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk pertama kali ditetapkan dan dilampirkan
dalam undang-undang ini, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan.
(4). Ketentuan lebih lanjut untuk penetapan dan perubahan jenis-jenis psikotropika sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur oleh Menteri.

Pasal 3

Tujuan pengaturan di bidang psikotropika adalah:

a. menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. memberantas peredaran gelap psikotropika.

Pasal 4

(1). Psikotropika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau ilmu
pengetahuan.
(2). Psikotropika golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan.
(3). Selain penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), psikotropika golongan I dinyatakan sebagai
barang terlarang.

BAB III

PRODUKSI

Pasal 5
Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh pabrik obat yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 6

Psikotropika golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi.

Pasal 7

Psikotropika, yang diproduksi untuk diedarkan berupa obat, harus memenuhi standar dan/atau persyaratan
farmakope Indonesia atau buku standar lainnya.

BAB IV

PEREDARAN

Bagian Pertama

Umum

Pasal 8

Peredaran psikotropika terdiri dari penyaluran dan penyerahan.

Pasal 9

(1). Psikotropika yang berupa obat hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada departemen yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan.
(2). Menteri menetapkan persyaratan dan tata cara pendaftaran psikotropika yang berupa obat.

Pasal 10

Setiap pengangkutan dalam rangka peredaran psikotropika, wajib dilengkapi dengan dokumen pengangkutan
psikotropika.
Pasal 11

Tata cara peredaran psikotropika diatur lebih lanjut oleh Menteri.

Bagian Kedua

Penyaluran

Pasal 12

(1). Penyaluran psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat
dilakukan oleh pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah.
(2). Penyaluran psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh:
a. Pabrik obat kepada pedagang besar farmasi, apotek, sarana penyimpanan sediaan farmasi
Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
b. Pedagang besar farmasi kepada pedagang besar farmasi lainnya, apotek, sarana penyimpanan
sediaan farmasi Pemerintah, rumah sakit, dan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan.
c. Sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah kepada rumah sakit Pemerintah, puskesmas
dan balai pengobatan Pemerintah.
(3). Psikotropika golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat dan pedagang besar farmasi kepada
lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan guna kepentingan ilmu pengetahuan.

Pasal 13

Psikotropika yang digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat
dan pedagang besar farmasi kepada lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan atau diimpor secara
langsung oleh lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan yang bersangkutan.
Bagian Ketiga

Penyerahan

Pasal 14

(1). Penyerahan psikotropika dalam rangka peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 hanya dapat
dilakukan oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dan dokter.
(2). Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/pasien.
(3). Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dapat dilakukan kepada pengguna/pasien.
(4). Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan resep dokter.
(5). Penyerahan psikotropika oleh dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dalam hal:
a. menjalankan praktik terapi dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat;
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(6). Psikotropika yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat diperoleh dari
apotek.

Pasal 15

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan penyerahan psikotropika diatur oleh Menteri.
BAB V

EKSPOR DAN IMPOR

Bagian Pertama

Surat Persetujuan Ekspor dan Surat Persetujuan Impor

Pasal 16

(1). Ekspor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi yang telah
memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2). Impor psikotropika hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat atau pedagang besar farmasi yang telah
memiliki izin sebagai importir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
serta lembaga penelitian atau lembaga pendidikan.
(3). Lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang untuk
mengedarkan psikotropika yang diimpornya.

Pasal 17

(1). Eksportir psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) harus memiliki surat
persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan kegiatan ekspor psikotropika.
(2). Importir psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) harus memiliki surat persetujuan
impor untuk setiap kali melakukan kegiatan impor psikotropika.
(3). Surat persetujuan impor psikotropika golongan I hanya dapat diberikan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan.

Pasal 18
(1). Untuk dapat memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor psikotropika, eksportir
atau importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Menteri.
(2). Permohonan secara tertulis untuk memperoleh surat persetujuan ekspor psikotropika dilampiri dengan
surat persetujuan impor psikotropika yang telah mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh
pemerintah negara pengimpor psikotropika.
(3). Menteri menetapkan persyaratan yang wajib dicantumkan dalam permohonan tertulis untuk
memperoleh surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor psikotropika.

Pasal 19

Bagian Kedua Menteri menyampaikan salinan surat persetujuan impor psikotropika kepada pemerintah
negara pengekspor psikotropika

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan ekspor atau impor psikotropika diatur oleh Menteri.

Bagian Kedua

Pengangkutan

Pasal 21

(1). Setiap pengangkutan ekspor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor
psikotropika yang dikeluarkan oleh Menteri.
(2). Setiap pengangkutan impor psikotropika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor
psikotropika yang dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor.

Pasal 22
(1). Eksportir psikotropika wajib memberikan surat persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat
persetujuan impor psikotropika dari pemerintah negara pengimpor kepada orang yang bertanggung
jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2). Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat
persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor psikotropika dari pemerintah
negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3). Penanggung jawab pengangkut ekspor psikotropika wajib membawa dan bertanggung jawab atas
kelengkapan surat persetujuan ekspor psikotropika dari Menteri dan surat persetujuan impor
psikotropika dari pemerintah negara pengimpor.
(4). Penanggung jawab pengangkut impor psikotropika yang memasuki wilayah Republik Indonesia wajib
membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor psikotropika dari Menteri
dan surat persetujuan ekspor psikotropika dari pemerintah negara pengekspor.

Bagian Ketiga

Transito

Pasal 23

(1). Setiap transito psikotropika harus dilengkapi surat persetujuan ekspor psikotropika yang terlebih
dahulu telah mendapat persetujuan dari dan/atau dikeluarkan oleh pemerintah negara pengekspor
psikotropika.
(2). Surat persetujuan ekspor psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya
memuat keterangan tentang:
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor psikotropika;
b. jenis, bentuk dan jumlah psikotropika; dan
c. negara tujuan ekspor psikotropika.

Pasal 24

Setiap perubahan negara tujuan ekspor psikotropika pada transito psikotropika hanya dapat dilakukan setelah
adanya persetujuan dari:

a. pemerintah negara pengekspor psikotropika;


b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor psikotropika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor psikotropika.

Pasal 25
Pengemasan kembali psikotropika di dalam gudang penyimpanan atau sarana angkutan pada transito
psikotropika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli psikotropika yang mengalami kerusakan dan
harus dilakukan di bawah pengawasan dari pejabat yang berwenang.

Pasal 26

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi kegiatan transito psikotropika ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Bagian Keempat

Pemeriksaan

Pasal 27

Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen ekspor, impor, dan/atau transito
psikotropika.

Pasal 28

(1). Importir psikotropika memeriksa psikotropika yang diimpornya, dan wajib melaporkan hasilnya
kepada Menteri, yang dikirim selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya impor
psikotropika di perusahaan.
(2). Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menyampaikan hasil
penerimaan impor psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor.

BAB VI

LABEL DAN IKLAN

Pasal 29
(1). Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan psikotropika.
(2). Label psikotropika adalah setiap keterangan mengenai psikotropika yang dapat berbentuk tulisan,
kombinasi gambar dan tulisan, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam
kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.

Pasal 30

(1). Setiap tulisan berupa keterangan yang dicantumkan pada label psikotropika harus lengkap dan tidak
menyesatkan.
(2). Menteri menetapkan persyaratan dan/atau keterangan yang wajib atau dilarang dicantumkan pada label
psikotropika.

Pasal 31

(1). Psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran dan/atau media cetak ilmiah
farmasi.
(2). Persyaratan materi iklan psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.

BAB VII

KEBUTUHAN TAHUNAN DAN PELAPORAN

Pasal 32

Menteri menyusun rencana kebutuhan psikotropika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu
pengetahuan untuk setiap tahun.

Pasal 33

(1). Pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi Pemerintah, apotek, rumah
sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, wajib
membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan masing-masing yang berhubungan dengan
psikotropika.
(2). Menteri melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas pelaksanaan pembuatan dan penyimpanan
catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 34

Pabrik obat, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, puskesmas, lembaga penelitian dan/atau lembaga
pendidikan wajib melaporkan catatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) kepada Menteri secara
berkala.

Pasal 35

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi penyusunan rencana kebutuhan tahunan psikotropika dan
mengenai pelaporan kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika diatur oleh Menteri.

BAB VIII

PENGGUNA PSIKOTROPIKA DAN REHABILITASI

Pasal 36

(1). Pengguna psikotropika hanya dapat memiliki, menyimpan, dan/ atau membawa psikotropika untuk
digunakan dalam rangka pengobatan dan/atau perawatan.
(2). Pengguna psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa
psikotropika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5).

Pasal 37

(1). Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan berkewajiban untuk ikut serta dalam
pengobatan dan/atau perawatan.
(2). Pengobatan dan/atau perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada fasilitas
rehabilitasi.

Pasal 38

Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dimaksudkan untuk
memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosialnya.
Pasal 39

(1) Rehabilitasi bagi pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan dilaksanakan pada
fasilitas rehabilitasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau masyarakat.
(2) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(3) Penyelenggaraan fasilitas rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya
dapat dilakukan atas dasar izin dari Menteri.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan rehabilitasi dan perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 40

Pemilikan psikotropika dalam jumlah tertentu oleh wisatawan asing atau warga negara asing yang memasuki
wilayah negara Indonesia dapat dilakukan sepanjang digunakan hanya untuk pengobatan dan/atau
kepentingan pribadi dan yang bersangkutan harus mempunyai bukti bahwa psikotropika berupa obat
dimaksud diperoleh secara sah.

Pasal 41

Pengguna psikotropika yang menderita sindroma ketergantungan yang berkaitan dengan tindak pidana di
bidang psikotropika dapat diperintahkan oleh hakim yang memutus perkara tersebut untuk menjalani
pengobatan dan/ atau perawatan.

BAB IX

PEMANTAUAN PREKURSOR

Pasal 42

Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana psikotropika
ditetapkan sebagai barang di bawah pemantauan Pemerintah.

Pasal 43

Menteri menetapkan zat atau bahan prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
Pasal 44

Tata cara penggunaan dan pemantauan prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Bagian Pertama

Pembinaan

Pasal 45

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika.

Pasal 46

Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 diarahkan untuk:

a. terpenuhinya kebutuhan psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan dan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika;
c. melindungi masyarakat dari segala kemungkinan kejadian yang dapat menimbulkan gangguan
dan/atau bahaya atas terjadinya penyalahgunaan psikotropika;

d. memberantas peredaran gelap psikotropika;


e. mencegah pelibatan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dalam kegiatan
penyalahgunaan dan/atau peredaran gelap psikotropika; dan
f. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di bidang
psikotropika guna kepentingan pelayanan kesehatan.

Pasal 47

Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional di bidang psikotropika
sesuai dengan kepentingan nasional.
Pasal 48

Dalam rangka pembinaan, Pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada orang atau badan yang telah
berjasa dalam membantu pencegahan penyalahgunaan psikotropika dan/atau mengungkapkan peristiwa
tindak pidana di bidang psikotropika.

Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pembinaan segala kegiatan yang berhubungan dengan
psikotropika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua

Pengawasan

Pasal 50

(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika,
baik yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat.

(2) Dalam rangka pengawasan, Pemerintah berwenang:


a. melaksanakan pemeriksaan setempat dan/atau pengambilan contoh pada sarana produksi,
penyaluran, pengangkutan, penyimpanan, sarana pelayanan kesehatan dan fasilitas rehabilitasi;
b. memeriksa surat dan/atau dokumen yang berkaitan dengan kegiatan di bidang psikotropika;
c. melakukan pengamanan terhadap psikotropika yang tidak memenuhi standar dan persyaratan;
dan
d. melaksanakan evaluasi terhadap hasil pemeriksaan.
(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan surat tugas.

Pasal 51
(1). Dalam rangka pengawasan, Menteri berwenang mengambil tindakan administratif terhadap pabrik
obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan, dan fasilitas
rehabilitasi yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini.
(2). Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pencabutan izin praktik.

Pasal 52

(1). Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan, bentuk pelanggaran dan penerapan sanksinya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh
Menteri.
(2). Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI

PEMUSNAHAN

Pasal 53

(1) Pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal:


a. berhubungan dengan tindak pidana;
b. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat
digunakan dalam proses produksi psikotropika;
c. kadaluwarsa;
d. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan
ilmu pengetahuan.
(2) Pemusnahan psikotropika sebagaimana dimaksud:
a. pada ayat (1) butir a dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari pejabat yang mewakili
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, dan Kejaksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku, dan ditambah
pejabat dari instansi terkait dengan tempat terungkapnya tindak pidana tersebut, dalam waktu
tujuh hari setelah mendapat kekuatan hukum tetap;
b. pada ayat (1) butir a, khusus golongan I, wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah
dilakukan penyitaan; dan
c. pada ayat (1) butir b, butir c, dan butir d dilakukan oleh Pemerintah, orang, atau badan yang
bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran psikotropika, sarana kesehatan tertentu,
serta lembaga pendidikan dan/atau lembaga penelitian dengan disaksikan oleh pejabat
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah
mendapat kepastian sebagaimana dimaksud pada ayat tersebut.
(3) Setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan berita acara.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemusnahan psikotropika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII

PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 54
(1). Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu
mewujudkan upaya pencegahan penyalahgunaan psikotropika sesuai dengan undang-undang ini dan
peraturan pelaksanaannya.
(2). Masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang psikotropika
yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah.
(3). Pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlu mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan
dari pihak yang berwenang.
(4). Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII

PENYIDIKAN

Pasal 55

Selain yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209), penyidik polisi
negara Republik Indonesia dapat:

a. melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung;
b. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan lainnya yang
diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang dalam
penyidikan;
c. menyadap pembicaraan melalui telepon dan/atau alat telekomunikasi elektronika lainnya yang
dilakukan oleh orang yang dicurigai atau diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan
dengan tindak pidana psikotropika. Jangka waktu penyadapan berlangsung untuk paling lama 30 (tiga
puluh) hari.

Pasal 56

(1) Selain penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia, kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu
diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang
psikotropika;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
psikotropika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak
pidana di bidang psikotropika;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di
bidang psikotropika;
e. melakukan penyimpanan dan pengamanan terhadap barang bukti yang disita dalam perkara
tindak pidana di bidang psikotropika;
f. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang
psikotropika;
g. membuka atau memeriksa setiap barang kiriman melalui pos atau alat-alat perhubungan lainnya
yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang menyangkut psikotropika yang sedang
dalam penyidikan;
h. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang psikotropika;

menetapkan saat dimulainya dan dihentikannya penyidikan.

(3) Hal-hal yang belum diatur dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana diatur
dalam perundang-undangan yang berlaku, terutama mengenai tata cara penyidikan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 57

(1). Di depan pengadilan, saksi dan/atau orang lain dalam perkara psikotropika yang sedang dalam
pemeriksaan, dilarang menyebut nama, alamat, atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat
terungkapnya identitas pelapor.
(2). Pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan akan dimulai, hakim memberi peringatan terlebih dahulu
kepada saksi dan/atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana psikotropika, untuk
tidak menyebut identitas pelapor, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 58

Perkara psikotropika, termasuk perkara yang lebih didahulukan dari pada perkara lain untuk diajukan ke
pengadilan guna pemeriksaan dan penyelesaian secepatnya.

BAB XIV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 59

(1) Barangsiapa:
a. menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ; atau
b. memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika golongan I sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ke-tentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 ayat (3); atau
d. mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan; atau
e. secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan I.

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).

(2). Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun
dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3). Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping dipidananya pelaku
tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar
rupiah).

Pasal 60

(1). Barangsiapa:
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7; atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak terdaftar pada
departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
ayat (1);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
(3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat
(2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (3), Pasal
14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) bulan.

Pasal 61

(1). Barangsiapa:
a. mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16, atau
b. mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan
impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
c. melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi dengan surat
persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3)
atau Pasal 22 ayat (4);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

(2). Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang bertanggung jawab atas
pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).

Pasal 62

Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta
rupiah).

Pasal 63
(1). Barangsiapa:
a. melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10; atau
b. melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24; atau
c. melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25;
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2). Barangsiapa:
a. tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ; atau
b. mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); atau
c. mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1); atau
d. melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 64

Barangsiapa:

a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan dan/atau


perawatan pada fasilitas rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; atau
b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal
39 ayat (3);
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 65

Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika secara tidak sah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Pasal 66
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat terungkapnya identitas pelapor
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 67

(1). Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana psikotropika dan telah selesai menjalani
hukuman pidana dengan putusan pengadilan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini dilakukan pengusiran keluar wilayah negara Republik Indonesia.
(2). Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat kembali ke Indonesia setelah jangka
waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan.

Pasal 68

Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah kejahatan.

Pasal 69

Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-
undang ini dipidana sama dengan jika tindak pidana tersebut dilakukan.

Pasal 70

Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, dan
Pasal 64 dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi
dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang berlaku untuk tindak pidana tersebut dan
dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

Pasal 71

(1). Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan, membantu, menyuruh
turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal 63 dipidana sebagai permufakatan jahat.
(2). Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan ditambah sepertiga pidana
yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.

Pasal 72
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah atau orang yang di bawah pengampuan atau ketika melakukan tindak
pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana
tersebut.

BAB XV

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 73

Semua peraturan perundang-undangan yang mengatur psikotropika masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan undang-undang ini.

BAB XVI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 74

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

2.2 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR


889/MENKES/PER/V/2011 TENTANG REGISTRASI, IZIN PRAKTIK, DAN IZIN
KERJATENAGA KEFARMASIAN
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
(5) Sertifikat kompetensi profesi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi seorang Apoteker
untuk dapat menjalankan pekerjaan/praktik profesinya di seluruh Indonesia setelah lulus uji
kompetensi.
(8) Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah bukti tertulis yang
diberikan oleh Menteri kepada Apoteker yang telah diregistrasi.
(10) Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya disingkat STRTTK adalah
bukti tertulis yang diberikan oleh Menteri kepada Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah
diregistrasi.
(11) Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang diberikan
kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas pelayanan
kefarmasian.
(12) Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin praktik yang diberikan
kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas produksi atau
fasilitas distribusi atau penyaluran.
(13) Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian, yang selanjutnya disebut SIKTTK adalah surat izin
praktik yang diberikan kepada Tenaga Teknis Kefarmasian untuk dapat melaksanakan pekerjaan
kefarmasian pada fasilitas kefarmasian.
BAB II
REGISTRASI
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki surat tanda
registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. STRA bagi Apoteker; dan
b. STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian.

Pasal 3
(1) STRA dan STRTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dikeluarkan oleh Menteri.
(2) Menteri mendelegasikan pemberian:
a. STRA kepada KFN; dan
b. STRTTK kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi.

Pasal 6
STRA dan STRTTK berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi
persyaratan.

Bagian Kedua
Persyaratan Registrasi
Pasal 7
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
(2) Selain memenuhi pesyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Apoteker lulusan luar negeri
harus memenuhi :
a. memiliki surat keterangan telah melakukan adaptasi pendidikan Apoteker dari institusi pendidikan
yang terakreditasi; dan
b. memiliki surat izin tinggal tetap untuk bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang ketenagakerjaan dan keimigrasian bagi Apoteker Warga Negara asing.

Pasal 8
Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya;
b. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;
c. memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan
institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian.

Bagian Ketiga
Sertifikat Kompetensi Profesi
Pasal 9
(1) Sertifikat kompetensi profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b dikeluarkan oleh
organisasi profesi setelah lulus uji kompetensi.
(2) Sertifikat kompetensi profesi berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat dilakukan uji kompetensi kembali
setelah habis masa berlakunya.

Bagian Keempat
Tata Cara Memperoleh Surat Tanda Registrasi
Pasal 12
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker mengajukan permohonan kepada KFN dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 1 terlampir.
(2) Surat permohonan STRA harus melampirkan:
a. fotokopi ijazah Apoteker;
b. fotokopi surat sumpah/janji Apoteker;
c. fotokopi sertifikat kompetensi profesi yang masih berlaku;
d. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;
e. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi; dan
f. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan
ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Permohonan STRA dapat diajukan dengan menggunakan teknologi informatika atau secara online
melalui website KFN.
(4) KFN harus menerbitkan STRA paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan
dinyatakan lengkap menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 2 terlampir.
Pasal 13
(1) Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan dapat memperoleh STRA secara langsung.
(2) Permohonan STRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh perguruan tinggi secara kolektif
setelah memperoleh sertifikat kompetensi profesi 2 (dua) minggu sebelum pelantikan dan pengucapan
sumpah Apoteker baru dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 3 terlampir.

Pasal 14
(1) Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus mengajukan permohonan kepada
kepala dinas kesehatan provinsi dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 4
terlampir.
(2) Surat permohonan STRTTK harus melampirkan:
a. fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau Analis Farmasi atau Tenaga Menengah
Farmasi/Asisten Apoteker;
b. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;
c. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian;
d. surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan institusi
pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
e. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2
(dua) lembar.
(3) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi harus menerbitkan STRTTK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak
surat permohonan diterima dan dinyatakan lengka menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam
Formulir 5 terlampir.

Bagian Kelima
Registrasi Ulang
Pasal 15
(1) Registrasi ulang dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 atau Pasal 14 dengan
melampirkan surat tanda registrasi yang lama.
(2) Registrasi ulang harus dilakukan minimal 6 (enam) bulan sebelum STRA atau STRTTK habis masa
berlakunya.
Bagian Keenam
Pencabutan STRA dan STRTTK
Pasal 16
(1) STRA atau STRTTK dapat dicabut karena:
a. permohonan yang bersangkutan;
b. pemilik STRA atau STRTTK tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental untuk menjalankan
pekerjaan kefarmasian berdasarkan surat keterangan dokter;
c. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian; atau
d. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan dengan putusan pengadilan.
(2) Pencabutan STRA disampaikan kepada pemilik STRA dengan tembusan kepada Direktur Jenderal,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan organisasi profesi.
(3) Pencabutan STRTTK disampaikan kepada pemilik STRTTK dengan tembusan kepada Direktur Jenderal,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian.

BAB III
IZIN PRAKTIK DAN IZIN KERJA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 17
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib
memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja.
(2) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian;
b. SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;
c. SIKA bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas produksi atau fasilitas
distribusi/penyaluran; atau
d. SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas
kefarmasian.

Pasal 18
(1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian atau
SIKA hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian.
(2) Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian berupa puskesmas dapat menjadi
Apoteker pendamping di luar jam kerja.
(3) SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas pelayanan
kefarmasian.
(4) SIKTTK dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat fasilitas kefarmasian.

Pasal 19
SIPA, SIKA, atau SIKTTK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilakukan.

Pasal 20
SIPA, SIKA, atau SIKTTK masih tetap berlaku sepanjang:
a. STRA atau STRTTK masih berlaku; dan
b. tempat praktik/bekerja masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIPA, SIKA, atau SIKTTK.

Bagian Kedua
Tata Cara Memperoleh SIPA, SIKA, dan SIKTTK
Pasal 21
(1) Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan menggunakan contoh
sebagaimana tercantum dalam Formulir 6 terlampir.

(2) Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:


a. fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
b. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas
pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;
c. surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar;
(3) Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus dinyatakan secara tegas
permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga.
(4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau SIKA paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7 atau Formulir 8 terlampir.

Pasal 22
(1) Untuk memperoleh SIKTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian mengajukan permohonan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan menggunakan
contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 9 terlampir.
(2) Permohonan SIKTTK harus melampirkan:
a. fotokopi STRTTK;
b. surat pernyataan Apoteker atau pimpinan tempat pemohon melaksanakan pekerjaan kefarmasian;
c. surat rekomendasi dari organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar
(3) Dalam mengajukan permohonan SIKTTK harus dinyatakan secara tegas permintaan SIKTTK untuk
tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga.
(4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIKTTK paling lama 20 (dua puluh) hari
kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap dengan menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 10 terlampir.

Bagian Ketiga
Pencabutan
Pasal 23
(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIPA, SIKA atau SIKTTK karena:
a. atas permintaan yang bersangkutan;
b. STRA atau STRTTK tidak berlaku lagi;
c. yang bersangkutan tidak bekerja pada tempat yang tercantum dalam surat izin;
d. yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental untuk menjalankan pekerjaan
kefarmasian berdasarkan pembinaan dan pengawasan dan ditetapkan dengan surat keterangan dokter;
e. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian berdasarkan rekomendasi KFN; atau
f. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan dengan putusan pengadilan.
(2) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan kepada pemilik SIPA, SIKA, atau SIKTTK
dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan organisasi profesi
atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian.

2.3 PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2017 TENTANG


BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BAGIAN KEDUA
TUGAS
Pasal 2
(1) BPOM mempunyai tugas menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan
Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas obat, bahan obat, narkotika,
psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.

2.4 PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 26 TAHUN 2017
TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN

BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, DAN WEWENANG
Pasal 1
(3) BPOM dipimpin oleh Kepala.

BAB III
KEPALA
Pasal 6
Kepala mempunyai tugas memimpin dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas, fungsi, dan
kewenangan BPOM.

2.5 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG


PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
(16) Izin Edar adalah bentuk persetujuan registrasi obat untuk dapat diedarkan di wilayah Indonesia.
Pasal 57
(1) Pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan Narkotika dan Prekursor Narkotika
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf i dilakukan
melalui:
a. audit;
b. monitoring; dan
c. evaluasi.

Pasal 58
Pengawasan terhadap keamanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diedarkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 55 ayat (2) huruf c dilakukan melalui:
a. evaluasi keamanan, khasiat, dan mutu; dan
b. penerbitan Izin Edar untuk Narkotika dalam bentuk obat sesuai pendelegasian dari Menteri.

Pasal 61
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh Menteri berdasarkan
rekomendasi dari Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

2.6 PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK


INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PREKURSOR
FARMASI DAN OBAT MENGANDUNG PREKURSOR FARMASI
BAB III
PENGELOLAAN
Pasal 3
Pengelolaan Prekursor Farmasi dan/atau Obat mengandung Prekursor Farmasi
meliputi kegiatan:
a. pengadaan;
b. penyimpanan;
c. pembuatan;
d. penyaluran;
e. penyerahan;
f. penanganan obat kembalian;
g. penarikan kembali obat (recall);
h. pemusnahan;
i. pencatatan dan pelaporan; dan
j. inspeksi diri.

2.7 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2017


TENTANG APOTEK

Pasal 21
(1) Apoteker wajib melayani Resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi
pada kepentingan masyarakat.

(2) Dalam hal obat yang diresepkan terdapat obat merek dagang, maka Apoteker dapat mengganti obat
merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/atau pasien.

(3) Dalam hal obat yang diresepkan tidak tersedia di Apotek atau pasien tidak mampu menebus obat yang
tertulis di dalam Resep, Apoteker dapat mengganti obat setelah berkonsultasi dengan dokter penulis
Resep untuk pemilihan obat lain.
(4) Apabila Apoteker menganggap penulisan Resep terdapat kekeliruan atau tidak tepat, Apoteker harus
memberitahukan kepada dokter penulis Resep.
(5) Apabila dokter penulis Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap pada pendiriannya, maka
Apoteker tetap memberikan pelayanan sesuai dengan Resep dengan memberikan catatan dalam Resep
bahwa dokter sesuai dengan pendiriannya.

Pasal 22
(1) Pasien berhak meminta salinan Resep.

(2) Salinan Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disahkan oleh Apoteker.

(3) Salinan Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai aslinya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 23
(1) Resep bersifat rahasia.

(2) Resep harus disimpan di Apotek dengan baik paling singkat 5 (lima) tahun.

(3) Resep atau salinan Resep hanya dapat diperlihatkan kepada dokter penulis Resep, pasien yang
bersangkutan atau yang merawat pasien, petugas kesehatan atau petugas lain yang berwenang sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB 3

ISI DAN PEMBAHASAN

2018
PERATURAN BADAN
PENGAWAS OBAT DAN
PEMBANDING KETERANGAN
MAKANAN
NOMOR 4 TAHUN 2018
Pasal 1 ayat 1 : UNDANG-UNDANG
Obat adalah bahan atau REPUBLIK INDONESIA
paduan bahan, termasuk NOMOR 35 TAHUN 2009
produk biologi yang TENTANG
digunakan untuk NARKOTIKA Pada Peraturan BPOM No. 4
mempengaruhi atau Tahun 2018 tercantum
menyelidiki sistem fisiologi Pada UU nomor 35 tahun pengertian obat, sedangkan pada
atau keadaan patologi dalam 2009 ini tidak tercantum UU nomor 35 tahun 2009 tidak
rangka penetapan diagnosis, pengertian obat. dicantumkan pengertian obat.
pencegahan, penyembuhan,
pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi
untuk manusia

Pasal 1 ayat 2 : PER BPOM no 35 tahun Untuk melengkapi undang-


Bahan obat adalah bahan 2009 undang sebelumnya per BPOM
baik yang berkhasiat Pasal 1 ayat 3 no 35 tahun 2009. Maka pasal 1
maupun tidak berkhasiat Produksi merupakan ayat 2 pada UU No. 4 tahun
yang digunakan dalam kegiatan atau proses 2018 merupakan penambahan
pengolahan obat dengan menyiapan,mengolah, dari peraturan sebelumnya.
standart dan mutu sebagai membuat dan menghasilkan
bahan baku farmasi narkotika secara langsung Berdasarkan hal tersebut sudah
termasuk baku pembanding maupun tidak langsung seharusnya menjadi tanggung
melalui ekstraksi atau non- jawab serta pengawasan yang
ekstraksi dari sumber alami ketat sebagai seorang apoteker
atau sintesis kimia atau dalam pengelolaan obat dengan
gabungannya termasuk standart dan mutu sebagai bahan
mengemas dan atau baku yang layak untuk sebagai
mengubah bentuk narkotika obat jadi yang sesuai spesifikasi
CPOB.

Pasal 1 ayat 3: Undang – Undang • Pada Undang – Undang


Narkotika adalah obat yang Republik Indonesia No. Republik Indonesia No. 35
berasal dari tanaman atau 35 tahun 2009 tahun 2009 berada pada
bukan tanaman, baik
sintesis, yang dapat Pasal 1 ayat 1: pasal 1 ayat (3), sedangkan
menyebabkan penurunan Narkotika adalah zat atau pada Peraturan Badan
atau perubahan kesadaran, obat yang berasal dari Pengawas Obat dan
hilangnya rasa, mengurangi tanaman atau bukan Makanan No. 4 tahun 2018
sampai menghilangkan rasa tanaman, baik sintesis, yang terletak pada pasal 1 ayat (3)
nyeri dan dapat dapat menyebabkan • pada Peraturan Badan
menimbulkan penurunan atau perubahan Pengawas Obat dan
ketergantungan, yang kesadaran, hilangnya rasa, Makanan No. 4 tahun 2018
dibedakan ke dalam mengurangi sampai dijelaskan terlebih dahulu
Undang-Uandang tentag menghilangkan rasa nyeri tentang pengertian obat dan
Narkotika dan dapat menimbulkan bahan obat untuk
ketergantungan, yang memperjelas pengertian
dibedakan ke dalam narkotika. Sedangkan pada
Undang-Uandang ini. UU No 35 tahun 2009 tidak
dijelaskan pengertian obat
dan bahan obat terlebih
dahulu

Pasal 1 Ayat (4) Undang-Undang Republik Kedua peraturan perundang-


Psikotropika adalah obat, Indonesia No 5 Tahun undangan menjelaskan hal yang
baik alamiah maupun 1997 sama mengenai pengertian dari
sintetis bukan Narkotika, Pasal 1 Ayat (1) Psikotropika
yang berkhasiat psikoaktif Psikotropika adalah zat atau
melalui pengaruh selektif obat, baik alamiah maupun
pada susunan saraf pusat sintetis bukan Narkotika,
yang menyebabkan yang berkhasiat psikoaktif
perubahan khas pada melalui pengaruh selektif
aktivitas mental dan pada susunan saraf pusat
perilaku. yang menyebabkan
perubahan khas pada
aktivitas mental dan
perilaku.
Pasal 1 Ayat (5) Permenkes No.3 Tahun Dengan adanya perkembangan
Prekursor Farmasi adalah 2015 zat atau bahan pemula atau
zat atau bahan pemula atau Pasal 1 ayat 3: bahan kimia baru yang
bahan kimia yang dapat Prekursor Farmasi adalah bermunculan perlu dilakukan
digunakan sebagai bahan zat atau bahan pemula atau pemantauan agar tidak
baku/penolong untuk bahan kimia yang dapat disalahgunakan.
keperluan proses produksi digunakan sebagai bahan Dan tidak di perjaual bebaskan
industri farmasi atau produk baku/penolong untuk untuk masyarakan umum.
antara, produk ruahan dan keperluan proses produksi Perlunya adanya pengawasan
produk jadi yang industri farmasi atau produk pihak kefarmasian
mengandung ephedrine, antara, produk ruahan dan
pseudoephedrine, produk jadi yang
norephedrine/phenylpropan mengandung ephedrine,
olamine, ergotamin, pseudoephedrine,
ergometrine atau Potasium norephedrine/phenylpropan
Permanganat. olamine, ergotamin,
ergometrine atau Potasium
Permanganat.
Pasal 1 ayat (6) : UU nomor 35 tahun 2009 Pada peraturan BPOM no. 4
Fasilitas Pelayanan tahun 2018 disebutkan bahwa
Kefarmasian adalah sarana Pasal 43 ayat (1) : salah satu sarana yang
yang digunakan untuk Penyerahan Narkotika digunakan untuk
menyelenggarakan hanya dapat dilakukan oleh: menyelenggarakan pelayanan
pelayanan kefarmasian, a. apotek; kefarmasian adalah toko obat.
yaitu Apotek, Instalasi b. rumah sakit; Sedangkan pada UU no. 35
Farmasi Rumah Sakit, c. pusat kesehatan tahun 2009 Pasal 43 (1)
Instalasi Farmasi Klinik, masyarakat; Penyerahan Narkotika hanya
Puskesmas, dan Toko Obat. d. balai pengobatan; dan dapat dilakukan oleh:
e. dokter. a. apotek;
b. rumah sakit;
c. pusat kesehatan masyarakat;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
Toko obat tidak termasuk yang
dapat memiliki kewenangan
untuk tempat penyerahan
narkotik jadi menurut pendapat
kami Toko Obat tidak dapat
melakukan penyerahan narkotika
meskipun termasuk dalam
sarana pelayanan kefarmasian.
Pasal 1 ayat (7) : UU nomor 35 tahun 2009 Pada UU No. 35 tahun 2009
Apotek adalah sarana tidak menjelaskan apotek adalah
pelayanan kefarmasian - sarana pelayanan kefarmasian
tempat dilakukan praktik tempat dilakukan praktik
kefarmasian oleh Apoteker kefarmasian oleh Apoteker. Pada
pasal ini hendaknya seorang
Apoteker wajib untuk hadir di
Apotek sebab selain Apoteker
tidak boleh ada tenaga kesehatan
yang lain yang dapat melakukan
pelayanan kefarmasian selain
Apoteker.

Pasal 1 nomor 8: UU nomor 35 tahun 2009 Dalam Peraturan BPOM Nomor


Instalasi Farmasi Rumah 4 Tahun 2018 pasal 1 nomor 8,
Sakit adalah bagian dari Bagian Ketiga instalasi farmasi rumah sakit
rumah sakit yang -Pasal 43 ayat 3 adalah bagian dari rumah sakit
merupakan unit pelaksana Rumah sakit, apotek, pusat dimana mempunyai kewenangan
fungsional yang diberikan kesehatan masyarakat, dan yang salah satunya mengawasi
kewenangan untuk balai pengobatan hanya seluruh kegiatan pelayanan
menyelenggarakan, dapat menyerahkan farmasi. Pada UU 35 Tahun
mengkoordinasikan, Narkotika kepada pasien 2009, kebijakan yang ditetapkan
mengatur dan mengawasi berdasarkan resep dokter bahwa rumah sakit yang sudah
seluruh kegiatan pelayanan -Pasal 61 ayat 1 mempunyai instalasi farmasi
farmasi serta melaksanakan Pemerintah melakukan didalam rumah sakit tersebut
pembinaan teknis pengawasan terhadap segala maka dapat memperoleh
kefarmasian di rumah sakit kegiatan yang berkaitan narkotika dari industri farmasi
dengan Narkotika atau pedagang besar farmasi.
Bagian Penjelasan tentang Dalam hal ini apoteker di
narkotika instalasi farmasi rumah sakit
-Pasal 40 ayat 1 huruf d dapat memberikan pelayanan
Dalam ketentuan ini yang kefarmasian yang berhubungan
dimaksud dengan ”rumah dengan narkotika tetapi
sakit” adalah rumah sakit berdasarkan resep dokter supaya
yang telah memiliki tetap menjaga keamanan dan
instalasi farmasi tidak terjadi penyalagunaan.
memperoleh Narkotika dari
industri farmasi tertentu
atau pedagang besar farmasi
tertentu.
-Pasal 43 ayat 1 huruf b
Ketentuan ini menegaskan
bahwa rumah sakit yang
belum mempunyai instalasi
farmasi hanya dapat
memperoleh Narkotika dari
apotek

Pasal 1 ayat (9): PP no 72 tahun 2016 Pada PP no 72 tahun 2016 pasal


Instalasi Farmasi Klinik Pasal 1 ayat (9) : 1 ayat 9 dikatakan instalasi
adalah bagian dari klinik Instalasi Farmasi adalah unit farmasi hanya mencakup
atau balai pengobatan yang pelaksana fungsional yang kegiatan pelayanan kefarmasian
bertugas menyelenggarakan, menyelenggarakan seluruh di Rumah Sakit. Sementara pada
mengoordinasikan, kegiatan pelayanan PKBPOM no 4 tahun 2018 Pasal
mengatur dan mengawasi kefarmasian di Rumah Sakit 1 ayat 9 dijelaskan lebih detail
seluruh kegiatan pelayanan bahwa Instalasi farmasi klinik
kefarmasian serta tidak hanya dilakukan di Rumah
melaksanakan pembinaan sakit namun juga di klinik atau
teknis kefarmasian di klinik balai-balai pengobatan lainnya,
atau balai pengobatan seperti puskesmas, posyandu dan
lain-lain. Maka dari
penambahan-penambahan ini
dapat dilihat peran di lapangan
sebagai farmasis lebih luas dan
kompleks yang artinya peran
apoteker di masyarakat semakin
dibutuhkan.
Fungsi instalasi farmasi klinik
pun lebih detail pada PKBPOM
no 4 tahun 2018 seperti adanya
penambahan wadah pembinaan
teknis kefarmasian. Sehingga
diharapkan dari penambahan ini
saranan instalasi farmasi klinik
dapat dijadikan wadah untuk
mengasah kemampuan serta
menambah pengetahuan tenaga
teknis kefarmasian beserta
tenaga kefarmasian yang lain
untuk meningkatkan pelayanan
kefarmasian di Instalasi Farmasi
Klinik.

Pasal 1 ayat (10): UU nomor 35 tahun 2009 Dimana pada peraturan BPOM
Pusat Kesehatan no.4 tahun 2018 tidak dikatakan
Masyarakat yang Pasal 1 dan pasal 2 : bahwa puskesmas juga
selanjutnya disebut Dimana pecandu narkotika menerima rehabilitasi untuk
Puskesmas adalah fasilitas dibawah umur maupun yang pecandu narkotika. Yang
pelayanan kesehatan sudah cukup umur wajib tercantum hanya upaya promotif
masyarakat yang melaporkan diri atau dan preventif saja. Memang
menyelenggarakan upaya dilaporkan oleh keluarganya seharusnya dijelaskan sejelas
kesehatan masyarakat dan kepada Puskesmas, rumah mungkin tujuan puskesmas
upaya kesehatan sakit dan / lembaga untuk masyarakat. Karena
perseorangan tingkat rehabilitasi medis sosial puskesmas sekarang masuk
pertama, dengan lebih yang ditunjuk oleh dalam BPJS FasKes tingkat 1
mengutamakan upaya Pemerintah untuk yaitu adalah layanan pertama
promotif dan preventif, mendapatkan pengobatan yang akan pertama dituju oleh
untuk mencapai derajat dan/ atau perawatan melalui masyarakat.
kesehatan masyarakat yang rehabilitasi medis dan
setinggi-tingginya di rehabilitasi sosial.
wilayah kerjanya.

Pasal 1 ayat (11): Permenkes No.3 Tahun Tidak ada perubahan bermakna
Toko Obat/Pedagang 2015 pasal 1 ayat 12 mengenai Toko Obat
Eceran obat yang
selanjutnya disebut Toko Toko Obat adalah sarana
Obat adalah sarana yang yang memiliki izin untuk
memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas
menyimpan obat bebas dan dan obat-obat bebas terbatas
obat bebas terbatas untuk untuk dijual secara eceran.
dijual secara eceran

Pasal 1 ayat (13): UU 35 TAHUN 2009 Sebaiknya pada UU 35 tahun


Apoteker adalah sarjana 2009 juga dijelaskan mengenai
farmasi yang telah lulus Pasal 1 ayat 13 profesi tenaga kesehatan yang
sebagai apoteker dan telah Pecandu Narkotika adalah memiliki wewenang terhadap
mengucapkan sumpah orang yang menggunakan narkotika salah satunya adalah
jabatan apoteker atau menyalahgunakan apoteker
Narkotika dan dalam
keadaan ketergantungan
pada Narkotika, baik secara
fisik maupun psikis.

PERMENKES RI No 9
tahun 2017 tentang
Apotek
Pasal 1 ayat 4
Apoteker adalah sarjana
farmasi yang telah lulus
sebagai apoteker dan telah
mengucapkan sumpah
jabatan apoteker

Pasal 1 ayat 14 Permenkes No. 72 tahun Berdasarkan PMK 72 tahun


Tenaga Teknis Kefarmasian 2016 2016 Tenaga Menengah
adalah tenaga yang Farmasi/Asisten Apotekerr tidak
membantu Apoteker dalam Pasal 1 ayat 8 termasuk dalam Tenaga Teknis
menjalani Pekerjaan Tenaga Teknis Kefarmasian Kefarmasian
Kefarmasian yang terdiri adalah tenaga yang
atas Sarjana Farmasi, Ahli membantu apoteker dalam
Madya Farmasi, Analis menjalani Pekerjaan
Farmasi, dan Tenaga Kefarmasian, yang terdiri
Menengah Farmasi/Asisten atas Sarjana Farmasi, Ahli
Apoteker. Madya Farmasi, dan Analis
Farmasi.

Pasal 1 ayat 15 UU 35 TAHUN 2009 Dalam Peraturan BPOM No. 4


Surat Izin Praktik Apoteker tahun 2018 sudah lebih di
yang selanjutnya disingkat - detailkan yaitu apoteker yang
SIPA adalah surat izin yang menjalankan tugas harus sudah
diberikan kepada Apoteker memiliki SIPA yaitu sebagai
untuk dapat melaksanakan bukti izin praktek dari
praktik kefarmasian pada pemerintah sesuai dengan PP 51
fasilitas pelayanan tahun 2009 dan PERMENKES
kefarmasian no 31 tahun 2016 karena hanya
apoteker yang memiliki izin
praktek saja yang memiliki
kewenangan menjalankan
pelayanan kefarmasian termasuk
yang terkait dengan narkotika
maupun psikotropika dan
prekursor

Pasal 1 ayat 16 Peraturan Mentri Dalam Peraturan Mentri


Surat Ijin Praktik Tenaga Kesehatan Republik Kesehatan Republik Indonesia
Teknis Kefarmasian yang Indonesia Nomer 889 Nomer 889 Tahun 2011 lebih
selanjutnya disingkat Tahun 2011 Tetang dijelaskan secara detail
SIPTTK adalah surat izin Registrasi, Izin Praktik mengenai persyaratan registrasi
praktik yang diberikan Dan Izin Kerja Tenaga surat izin, tata cara pemberian
kepada tenaga teknis Kefarmasian surat izin maupun pencabutan
kefarmasian untuk dapat surat izin tenaga kefarmasian.
melaksanakan pekerjaan -
kefarmasian pada fasilitas
kefarmasiaan

Pasal 1 ayat (17): PerPres RI No. 80 tahun  Pada PerBPOM No. 4 tahun
Petugas adalah Pegawai di 2017 2018 lebih diperinci bahwa
lingkungan Badan Petugas adalah pegawai
Pengawas Obat dan Pasal 2 dilingkungan BPOM yang
Makanan yang diberi tugas (1) BPOM mempunyai diberi tugas melakukan
melakukan pengawasan tugas menyelenggarakan pengawasan pengelolaan
pengelolaan Obat, Bahan tugas pemerintahan di Obat, Bahan Obat,
Obat, Narkotika, bidang pengawasan Obat Narkotika, Psikotropika, dan
Psikotropika, dan Prekusor dan Makanan sesuai dengan Prekusor Farmasi, sedangkan
Farmasi berdasarkan surat ketentuan peraturan pada PerPres RI No. 80
perintah tugas. perundang-undangan. tahun 2017 menjelaskan
(2) Obat dan Makanan lebih umum tugas BPOM
sebagaimana dimaksud pada melakukan pengawasan Obat
ayat (1) terdiri atas obat, dan makanan yang terdiri
bahan obat, narkotika, dari obat, bahan obat,
psikotropika, prekursor, zat narkotika, psikotropika,
adiktif, obat tradisional, prekursor, zat adiktif, obat
suplemen kesehatan, tradisional, suplemen
kosmetik, dan pangan kesehatan, kosmetik, dan
olahan. pangan olahan.
 Obat dan Makanan yang
dimaksudkan pada PerPres
RI No. 80 tahun 2017
terdapat zat aditif, obat
tradisonal, suplemen
kesehatan, kosmetik, dan
pangan olahan, dimana
definisi dari Petugas tidak
disebutkan melakukan
pengawasan pengelolaan
tersebut pada PerBPOM No.
4 tahun 2018, jadi lebih
spesifik yg dimaksudkan
Petugas tersebut melakukan
tugas lebih pada pengawasan
pengelolaannya Obat, bahan
obat, Narkotik, Psikotropik
dan perkusor farmasi
Pasal 1 ayat 18: Peraturan Badan Jabatan kepala BPOM sebaiknya
Kepala Badan adalah Pengawas Obat dan dipegang oleh seorang apoteker,
Kepala Badan Pengawas Makanan No.26 tahun karena apoteker memiliki
Obat dan Makanan 2017 tentang Organisasi kompetensi-kompetensi yang
dan Tata Kerja BPOM dibutuhkan dan berkaitan
dengan tugas-tugas BPOM
Pasal 1 ayat (3) : dalam pengawasan obat dan
BPOM dipimpin oleh makanan.
kepala
Obat terdiri atas Obat, bahan
Pasal 6 : obat, narkotika, psikotropika,
Kepala mempunyai tugas prekursor, zat adiktif, obat
memimpin dan bertanggung tradisional, suplemen kesehatan,
jawab atas pelaksanaan kosmetik, dan pangan olahan
tugas, fungsi, dan (Perpres RI no.80 tahun 2017,
kewenangan BPOM tentang BPOM)

Pasal 2 Undang – Undang • Pada Peraturan Badan


Prekursor farmasi Republik Indonesia No. Pengawas Obat dan
sebagaimana diatur dalam 35 tahun 2009 Makanan No. 4 tahun 2018
Peraturan Badan ini dalam mempertegas bahwa
bentuk produk jadi / obat Prekursor farmasi yang
Pasal 1 ayat (2): diatur dalam peraturan ini
Prekursor Narkotika adalah adalah dalam bentuk produk
zat atau bahan pemula atau jadi/Obat
bahan kimia yang dapat • Pada Undang – Undang
digunakan dalam pembuatan Republik Indonesia No. 35
Narkotika yang dibedakan tahun 2009 Prekursor
dalam tabel sebagaimana farmasi yang diatur adalah
terlampir dalam Undang- semua zat atau bahan pemula
Undang ini. atau bahan kimia yang dapat
digunakan dalam pembuatan
Narkotika

Pasal 3  Dalam memberikan izin


(1) Obat, Narkotika, PP N0. 40 tahun 2013 edar, seharusnya tidak saja
Psikotropika dan disetuji oleh menteri
Prekursor Farmasi kesehatan. Tetapi perlu
yang diedarkan harus Pasal 1 ayat (16): dilakukan bersama Kepala
memiliki izin edar. Izin Edar adalah bentuk Badan Pengawasan Obat dan
(2) Obat, Narkotika, persetujuan registrasi obat Makanan.
Psikotropika dan untuk dapat diedarkan di  Dalam peraturan BPOM no.
Prekursor Farmasi wilayah Indonesia. 4 tahun 2018, tidak
yang diedarkan harus dijelaskan mengenai
memenuhi persyaratan Pasal 57 bagaimana pengawasan
keamanan, khasiat, dan (1) Pengawasan terhadap terkait Obat, Narkotika,
mutu. segala kegiatan yang Psikotropika dan Prekursor,
(3) Persyaratan keamanan, berkaitan dengan sehingga dapat dinyatakan
khasiat, dan mutu Narkotika dan memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud Prekursor Narkotika keamanan, khasiat, dan
pada ayat (2) sesuai sebagaimana dimaksud mutu.
dengan ketentuan dalam Pasal 55 ayat
peraturan perundang- (2) huruf b, huruf d,
undangan. huruf e, huruf f, dan
huruf i dilakukan
melalui: a. audit; b.
monitoring; dan c.
evaluasi.
(2) Pengawasan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai
dengan kegiatan yang
diawasi.

Pasal 58
Pengawasan terhadap
keamanan, khasiat, dan
mutu produk sebelum
diedarkan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55
ayat (2) huruf c dilakukan
melalui: a. evaluasi
keamanan, khasiat, dan
mutu; dan b. penerbitan Izin
Edar untuk Narkotika dalam
bentuk obat sesuai
pendelegasian dari Menteri

Pasal 61
(2) Pencabutan izin
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c dilakukan
oleh Menteri berdasarkan
rekomendasi dari Kepala
Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
Pasal 5 ayat: Permenkes No 3 Tahun Pada PKBPOM NO 4 Tahun
(1) Pengelolaan bahan obat 2015 Tentang Peredaran, 2018 Tentang Pengawasan,
sebagaimana dimaksud Penyimpanan, Pengelolaan Obat, Bahan Obat,
pasal 4 hanya dapat Pemusnahan dan Narkotika, Psikotropika dan
dilakukan di fasilitas Pelaporan Narkotika, Prekursor Farmasi di Fasilitas
pelayanan kefarmasian Psikotropika dan Pelayanan Kefarmasian telah
berupa apotek, instalasi Prekursor Farmasi dijelaskan secara terperinci
farmasi rumah sakit dan pedoman teknisnya pada
puskesmas. Pada Permenkes ini lampiran sehingga dalam
(2) Pengelolaan bahan obat pengelolaan sediaan farmasi pelaksanaanya menjadi lebih
oleh apotek dan diatur dalam beberapa pasal tertata, sedangkan pada
puskesmas sebagaimana diantaranya penyerahan Permenkes No 3 Tahun 2015
disebutkan pada ayat (1) pada pasal 18-23 Tentang Peredaran,
hanya dapat digunakan Penyimpanan pasal 24-36 Penyimpanan, Pemusnahan dan
untuk keperluan Pemusnahan Pasal 37-42 Pelaporan Narkotika,
peracikan (produksi Pelaporan pasal 43-47 Psikotropika dan Prekursor
sediaan secara terbatas). Farmasi masih dibahas secara
(3) Pengelolaan bahan obat umum.
instalasi farmasi rumah
sakit sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat digunakan
untuk keperluan
peracikan (produksi
sediaan secara terbatas)
dan untuk keperluan
memproduksi obat.

Pasal 6 PKBPOM No. 40 tahun Pada BPOM No.4 tahun 2018


(1) Seluruh kegiatan 2013 tentang Pengelolaan hanya dijelaskan secara khusus
pengelolaan Obat, Prekursor Farmasi dan mengenai apoteker sebagai
Bahan Obat, Narkotika, Obat mengandung penanggung jawab berbagai
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi pasal pengelolaan Obat, Bahan Obat,
Prekursor Farmasi di 4-5 dan lampiran Narkotika, Psikotropika, dan
Fasilitas Pelayanan pengelolaan obat yang Prekursor Farmasi di Fasilitas
Kefarmasian wajib mengandung prekursor Pelayanan Kefarmasian,
berada di bawah farmasi di apotek, instalasi sedangkan pada PKBPOM No.
tanggung jawab seorang farmasi di rumah sakit, dan 40 tahun 2013 menjelaskan
Apoteker penanggung toko obat berizin. mengenai pengelolaan Prekursor
jawab. Peraturan Menteri Farmasi dan Obat mengandung
(2) Dalam melaksanakan Kesehatan Nomor 9 prekursor farmasi .
kegiatan pengelolaan Tahun 2014 tentang Peraturan Menteri Kesehatan
Obat, Bahan Obat, Klinik (Berita Negara Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Narkotika, Psikotropika, Republik Indonesia Tahun Klinik menjelaskan mengenai
dan Prekursor Farmasi, 2014 Nomor 232) pasal 21- keberadaan Apoteker sebagai
Apoteker penanggung 23 mengenai Kefarmasian peranan penting Apoteker pada
jawab sebagaimana (terutama pasal 23 instalasi farmasi di klinik untuk
dimaksud pada ayat (1) mengenai pelayanan pelayanan rehabilitasi medis
dapat dibantu oleh rehabilitasi medis pecandu pecandu narkotika, psikotropika,
Apoteker lain dan/atau narkotika, psikotropika, dan dan zat adiktif
Tenaga Teknis zat adiktif); Permenkes No. 72,73 dan 74
Kefarmasian. Peraturan Menteri Tahun 2016 lebih menjelaskan
(3) Kegiatan pengelolaan Kesehatan Nomor 72 mengenai pengelolaan yang
Obat dan Prekursor Tahun 2016 tentang dilakukan oleh Apoteker dalam
Farmasi sebagaimana Standar Pelayanan pengelolaan sediaan farmasi, alat
dimaksud pada ayat (1) Kefarmasian di Rumah kesehatan dan bahan medis habis
oleh Toko Obat wajib Sakit (Berita Negara pakai pada Pelayanan
berada di bawah Republik Indonesia Tahun Kefarmasian di Rumah Sakit,
tanggung jawab seorang 2017 Nomor 49) pasal 3 Apotek dan Puskesmas.
Tenaga Teknis dan lampiran Bab II
Kefarmasian mengenai Pengelolaan
penanggung jawab. Sediaan Farmasi, Alat
(4) Apoteker penanggung Kesehatan dan Bahan Medis
jawab sebagaimana Habis Pakai ;
dimaksud pada ayat (1) Peraturan Menteri
dan Apoteker lain Kesehatan Nomor 73
sebagaimana dimaksud Tahun 2016 tentang
pada ayat (2) wajib Standar Pelayanan
memiliki SIPA di Kefarmasian di Apotek
Fasilitas Pelayanan (Berita Negara Republik
Kefarmasian tersebut. Indonesia Tahun 2017
(5) Tenaga Teknis Nomor 50) pada lampiran
Kefarmasian Bab II mengenai
sebagaimana dimaksud Pengelolaan Sediaan
pada ayat (2) dan ayat Farmasi, Alat Kesehatan
(3) wajib memiliki dan Bahan Medis Habis
SIPTTK di Fasilitas Pakai ;
Pelayanan Kefarmasian Peraturan Menteri
tersebut. Kesehatan Nomor 74
Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan
Kefarmasian di
Puskesmas (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 206) pasal 7
dan 12 dan lampiran Bab II
mengenai Pengelolaan
Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan dan Bahan Medis
Habis Pakai
Pasal 7 Peraturan Menteri BPOM No. 4 Tahun 2018
Tenaga Kefarmasian dalam Kesehatan Nomor 72 menjelaskan bahwa pengelolaan
melakukan pengelolaan Tahun 2016 tentang obat, bahan obat, narkotika,
obat, bahan obat, narkotika, Standar Pelayanan psikotropika dan prekursor
psikotropika dan prekursor Kefarmasian di Rumah farmasi harus sesuai standar
farmasi di fasilitas Sakit (Berita Negara pelayanan kefarmasian
pelayanan kefarmasian Republik Indonesia Tahun Permenkes No. 72,73 dan 74
harus sesuai dengan standar 2017 Nomor 49) pasal 3-7 ; Tahun 2016 menjelaskan
pelayanan kefarmasian. mengenai pengelolaan secara
Peraturan Menteri umum yang dilakukan oleh
Kesehatan Nomor 73 Apoteker dalam pengelolaan
Tahun 2016 tentang sediaan farmasi, alat kesehatan
Standar Pelayanan dan bahan medis habis pakai
Kefarmasian di Apotek pada Pelayanan Kefarmasian di
(Berita Negara Republik Rumah Sakit, Apotek dan
Indonesia Tahun 2017 Puskesmas.
Nomor 50) pasal 3-7;

Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 74
Tahun 2016 tentang
Standar Pelayanan
Kefarmasian di
Puskesmas (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun
2017 Nomor 206) pasal
4,7,12;

Pasal 8 UU NO. 35 TAHUN 2009 Berdasarkan pasal 8 UU No. 4


Kegiatan pengelolahan tahun 2018, kegiatan pengolahan
Obat, Bahan Obat, obat, bahan obat, narkotika,
Narkotika, Psikotropika, psikotropika dan prekursor
dan Prekursor Farmasi farmasi telah ditegaskan bahwa
sebagaimana dimaksud dengan dibentuknya Badan
dalam pasal 4 wajib Pasal 64 ayat (1): Narkotika Nasional telah
dilaksanakan sesuai dengan Dalam rangka pencegahan bertanggungjawab langsung
Pedoman Teknis dan pemberantasan kepada Presiden untuk
Pengelolahan Obat, Bahan penyalahgunaan dan mengkoordinasi dan operasional
Obat, Narkotika, peredaran gelap Narkotika dalam pengelolaan narkotika dan
Psikotropika dan Prekursor dan Prekursor Narkotika, prekursor narkotika, pencegahan
Farmasi di Fasilitas dengan Undang-Undang ini dan pemberantasan
Pelayanan Kefarmasian dibentuk Badan Narkotika penyalahgunaan, serta perederan
tercantum dalam lampiran Nasional, yang selanjutnya gelap narkotika. Dan sesuai
yang merupakan bagian disingkat dengan pedoman sebagaimana
tidak terpisahkan dari BNN. dimaksud dalam pasal 4 UU No,
peraturan ini. Pasal 9 4 tahun 2018.
ayat (2), Untuk keperluan
ketersediaan Narkotika Rencana kebutuhan tahunan
sebagaimana dimaksud pada telah disusun berdasarkan data
ayat (1), disusun rencana pencatatan dan pelaporan
kebutuhan tahunan rencana dan realisasi produksi
Narkotika. ayat (3), tahunan yang diaudit secara
Rencana kebutuhan tahunan komperhensif menjadi pedoman
Narkotika sebagaimana pengadaan, pengendalian, dan
dimaksud pada ayat (2) pengawasan narkotika secara
disusun berdasarkan data nasional.
pencatatan dan pelaporan
rencana dan realisasi
produksi tahunan yang
diaudit secara komprehensif
dan menjadi pedoman
pengadaan, pengendalian,
dan pengawasan
Narkotika secara nasional.

Pasal 9 : UU NO. 35 TAHUN 2009 Pada Peraturan BPOM no.4 thn


Dalam rangka pengelolaan 2018 pembinaan yang di lakukan
Obat, Bahan Obat, Pasal 60 ayat (1): meliputi fasilitas pelayanan
Narkotika, Psikotropika, Pemerintah melakukan kefarmasian sedangkan pada UU
dan Prekursor Farmasi, pembinaan terhadap segala no. 35 tahun 2009 pemerintah
Badan Pengawasan Obat kegiatan yang berhubungan memberikan pembinaan terkait
dan Makanan melakukan dengan Narkotika. narkotika di pelayanan
pemantauan, pemberian (2) Pembinaan yang kesehatan dan pendidikan serta
bimbingan teknis, dan dimaksud pada ayat (1) lembaga rehabilitas.
pembinaan terhadap fasilitas meliputi upaya:
pelayanan kefarmasian a. Memenuhi sediaan
narkotika untuk
kepentigan pelayanan
kesehatan dan ilmu
pengetahuan
b. Pencegahan
penyalahgunaan narkoba
c. Memasukkan
pendidikan narkotika
dalam kurikulum
sekolah dasar sampai
lanjutan atas
d. Menunjang penelitian
ilmu pengetahuan
dibidang narkotika
untuk kepentigan
pelayanan kesehatan.
e. Meningkatkan
kemampuan lembaga
rehabilitasi medis bagi
pecandu narkotika, baik
yang diselengarakan
pemerintah maupun
masyarakat.

Pasal 10 ayat 1 UU NO. 35 Tahun 2009 Pada PKBPOM No.4 tahun


Pengawasan terhadap Pasal 61 ayat 1 tentang 2018, disebutkan bahwa bpom
pengelolaan obat, bahan Narkotika melakukan pengawasan dengan
obat, narkotika, Pemerintah melakukan menunjuk petugas sebagai
psikotropika dan prekursor pengawasan terhadap segala pemeriksaan. Sedangkan pada
farmasi di fasilitas kegiatan yang berkaitan peraturan sebelumnya UU NO. 5
pelayanan kesehatan dengan Narkotika TAHUN 1997 dan UU NO. 35
dilaksanakan melalui UU NO. 5 TAHUN 1997 Tahun 2009 pengawasan
pemeriksaan oleh petugas. Tentang Psikotropika dilakukan oleh pemerintah.
Pasal 50 ayat 1
Pemerintah melakukan
pengawasan terhadap segala
yang berhubungan dengan
psikotropika, baik yang
dilakukan oleh Pemerintah
maupun oleh masyarakat.

Pasal 10 ayat 2 UU NO. 5 TAHUN 1997 Pada PKBPOM No.4 tahun


Petugas dalam Tentang Psikotropika 2018, disebutkan untuk
melaksanakan pemeriksaan , pelaksanaan pemeriksaan
berwenang untuk Pasal 50 ayat (2) : dilakukan dengan membuka
a. Memasuki tempat yang Dalam rangka pengawasan, kemasan, maka akan merugikan
diduga digunakan dalam Pemerintah berwenang : apotek atau instalasi farmasi
kegiatan pengelolaan a. melaksanakan karena obat sudah tidak dapat di
obat, bahan obat, pemeriksaan setempat jual kembali.
narkotika, psikotropika dan/atau pengambilan Sedangkan pada UU NO. 5
dan prekursor farmasi contoh TAHUN 1997 dan UU NO. 35
untuk memeriksa, pada sarana produksi, Tahun 2009 tidak disebutkan
meneliti, dan mengambil penyaluran, pengangkutan, untuk membuka kemasan obat
contoh segala sesuatu penyimpanan, sarana
yang digunakan dalam pelayanan kesehatan dan Terdapat perbedaan pada
kegiatan pengelolaan fasilitas rehabilitasi; BPOM nomor 4 tahun 2018
obat, bahan obat, b. memeriksa surat dan/atau pemeriksaan dokumen terkait
narkotika, psikotropika dokumen berkaitan dengan narkotika dilakukan oleh
dan prekursor farmasi kegiatan di bidang Petugas, sedangkan pada UU
b. Membuka dan meneliti psikotropika; nomor 35 tahun 2009 dilakukan
kemasan obat, bahan c. melakukan pengamanan oleh Pemerintah.
obat narkotika, terhadap psikotropika yang
psikotropika dan tidak memenuhi
prekursor farmasi standar dan persayaratan;
c. memeriksa dokumen dan
atau catatan lain yang d. melaksanakan evaluasi
diduga memuat terhadap hasil pemeriksaan.
keterangan mengenai (3) Pelaksanaan pengawasan
kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada
Obat, Bahan Obat, ayat (2) dilengkapi
Narkotika, Psikotropika dengan surat tugas
dan Prekursor Farmasi,
termasuk menggandakan Pasal 33
atau mengutip Pemerintah melakukan
keterangan tersebut; pemeriksaan atas
dan/atau kelengkapan
d. mengambil gambar dokumen impor, ekspor,
dan/atau foto seluruh dan/atau Transito Narkotika.
atau sebagian fasilitas
dan peralatan yang
digunakan dalam
pengelolaan Obat,
Bahan Obat, Narkotika,
Psikotropika dan
Prekursor Farmasi.
Pasal 11 UU Nomor 5 Tahun 1997 Pada peraturan BPOM hanya
Dalam hal hasil tentang Psikotropika dijelaskan bahwa penyidikan
pemeriksaan menunjukkan dilakukan oleh penyidik pegawai
adanya dugaan atau patut negeri sipil saja, sedangkan pada
diduga adanya pelanggaran peraturan sebelumnya dijelaskan
pidana di bidang Obat dan lebih rinci terkait penyidik
Bahan Obat termasuk Pasal 56 ayat 1 pegawai negeri sipil
pidana di bidang Narkotika, Selain penyidik pejabat sebagaimana yg dimaksud.
Psikotropika, dan/atau polisi negara Republik
Prekursor Farmasi, Indonesia, kepada pejabat Adanya kolaborasi antara
dilakukan penyidikan oleh pegawai negeri sipil tertentu penyidik pegawai negeri sipil
penyidik pegawai negeri diberi wewenang khusus dengan penyidik BNN atau
sipil sesuai dengan sebagai penyidik untuk penyidik kepolisian Negara RI
ketentuan per-UU. melakukan penyidikan
tindak pidana sebagaimana
diatur dalam undang-undang
ini.

Penyidik Pegawai Negeri


Sipil sebagaimana dimaksud
meliputi :
• Penyidik Pegawai
Negeri Sipil departemen
yang bertanggung jawab
di bidang kesehatan;
• Penyidik Pegawai
Negeri Sipil Departemen
Keuangan, dalam hal ini
Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai;
• Penyidik Pegawai
Negeri Sipil departemen
terkait lainnya.

UU Nomor 35 Tahun 2009


tentang Narkotika
Pasal 85
Dalam melakukan
penyidikan terhadap
penyalahgunaan Narkotika
dan Prekursor Narkotika,
penyidik pegawai negeri
sipil tertentu berkoordinasi
dengan penyidik BNN atau
penyidik Kepolisian Negara
Republik Indonesia sesuai
dengan UU tentang Hukum
Acara Pidana.

Pasal 12 UU no. 35 tahun 2009 Pada per BPOM No. 4 tahun


(1) Pelanggaran terhadap 2018 dapat dilihat bahwa sanksi
ketentuan sebagaimana administratif pada ayat (1) huruf
diatur dalam Pasal 7 dan c merupakan rekomendasi dari
Pasal 8 dikenai sanksi Pasal 14 Dinkes Provinsi, DinKes
administratif berupa: Ketentuan lebih lanjut Kabupaten/Kota atau Organisasi
a. peringatan tertulis; mengenai tata cara Perangkat Daerah penerbit izin,
b. penghentian sementara penyimpanan secara khusus sedangkan pada UU no. 35
kegiatan; atau sebagaimana dimaksud pada tahun 2009 sanksi administratif
c. pencabutan izin. ayat (1) dan jangka waktu, oleh Menteri atas rekomendasi
(2) Sanksi administratif bentuk, isi, dan tata cara dari Kepala Badan Pengawas
berupa sanksi peringatan pelaporan sebagaimana Obat dan Makanan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pada per BPOM No. 4 Tahun
huruf a dapat berupa Menteri. 2018 dapat dilihat bahwa sanksi
peringatan atau peringatan administratif yaitu berupa:
keras. (4) Pelanggaran terhadap a. peringatan tertulis;
(3) Sanksi administratif ketentuan mengenai b. penghentian sementara
berupa sanksi pencabutan penyimpanan sebagaimana kegiatan; atau
izin sebagaimana dimaksud dimaksud pada ayat (1) c. pencabutan izin.,
pada ayat (1) huruf c berupa dan/atau ketentuan sedangkan pada UU no. 35 tahun
rekomendasi kepada Dinas mengenai pelaporan 2009 sanksi administratif yaitu
Kesehatan Provinsi, Dinas sebagaimana dimaksud pada berupa:
Kesehatan Kabupaten/Kota ayat (2) dikenai sanksi a. teguran; PRESIDEN RI
atau Organisasi Perangkat administratif oleh Menteri b. peringatan;
Daerah penerbit izin. atas rekomendasi dari c. denda administratif;
Kepala Badan Pengawas d. penghentian sementara
Obat dan Makanan berupa: kegiatan; atau
a. teguran; PRESIDEN RI e. pencabutan izin.
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara
kegiatan; atau
e. pencabutan izin.

Pasal 13 UU No. 35 Tahun 2009 Pada UU No. 35 Tahun 2009


(1) Pada saat Peraturan Tentang NARKOTIKA Tentang NARKOTIKA
Badan mulai berlaku, Didalam UU lebih penanggung jawab
bagi puskesmas yang menjelaskan pasal-pasal penyelenggaraan pengelolaan
belum memiliki Pengaturan Narkotika Obat, Narkotika, Psikotropika,
Apoteker sebagai meliputi segala bentuk dan Prekursor Farmasi masih
penanggung jawab maka kegiatan dan/atau perbuatan belum jelas. Sehingga pada
penyelenggaraan yang berhubungan dengan Peraturan Badan Pengawasan
pengelolaan Obat, Narkotika dan Prekursor Obat dan Makanan RI Nomor
Narkotika, Psikotropika, Narkotika. 4 Tahun 2018 disebutkan
dan Prekursor Farmasi bahwasanya Puskesmas yang
dilakukan oleh Tenaga belum ada Apoteker penanggung
Teknis Kefarmasian jawabnya adalah TTK/Tenaga
atau Tenaga kesehatan Kesehatan yang ditugaskan oleh
lain yang ditugaskan Kepala Dinas Kesehatan
oleh Kepala Dinas Kabupaten/Kota. Jika di
Kesehatan Puskesmasnya tersebut memiliki
Kabupaten/Kota. seorang Apoteker maka
(2) Penyelenggaraan Apoteker tersebut sebagai
pengelolaan Obat, Penanggung Jawab
Narkotika, Psikotropika, penyelenggaraan pengelolaan
dan Prekursor Farmasi Obat, Narkotika, Psikotropika,
sebagaimana dimaksud dan Prekursor Farmasi dan
pada ayat (1) berada diharapkan regulasinya menjadi
dibawah pembinaan dan lebih aman.
pengawasan Apoteker
yang ditunjuk oleh
Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota

Pasal 14 UU No.35 Tahun 2009 1. Peran apoteker dalam


Pada saat Peraturan Badan Tentang Narkotika penyimpanan dan
ini mulai berlaku maka pengelolaan obat narkotika
Peraturan Kepala Badan 1. Narkotika yang berada di Industri Farmasi,
Pengawas Obat dan dalam penguasaan pedagang besar farmasi,
Makanan Nomor 40 Tahun Industri Farmasi, sarana penyimpanan sediaan
2013 tentang Pedoman pedagang besar farmasi, farmasi pemerintah, apotek,
Pengelolaan Prekursor sarana penyimpanan rumah sakit, pusat kesehatan
Farmasi dan Obat sediaan farmasi masyarakat, balai
Mengandung Prekursor pemerintah, apotek, pengobatan, dokter, dan
Farmasi (Berita Negara rumah sakit, pusat lembaga ilmu pengetahuan
Republik Indonesia Tahun kesehatan masyarakat, wajib disimpan secara
2013 Nomor 1104) balai pengobatan, khusus agar tidak terjadi
sepanjang mengatur dokter, dan lembaga penyalahgunaa terhadap obat
mengenai pengelolaan ilmu pengetahuan wajib narkotika dan obat prekursor
Prekursor Farmasi di disimpan secara khusus. khususnya.
Apotek, Instalasi Farmasi 2. Industri Farmasi, 2. Peran apoteker dalam sarana
Rumah Sakit, dan Toko pedagang besar farmasi, penyimpanan sediaan
Obat, dicabut dan sarana penyimpanan farmasi yang dilakukan
dinyatakan tidak berlaku.
sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah
pemerintah, apotek, sakit, pusat kesehatan
rumah sakit, pusat masyarakat, balai
kesehatan masyarakat, pengobatan, dokter, dan
balai pengobatan, lembaga ilmu pengetahuan
dokter, dan lembaga wajib membuat laporan
ilmu pengetahuan wajib berkala meliputi pengeluaran
membuat, dan pemasukan narkotika
menyampaikan, dan agar terorganisir dengan baik
menyimpan laporan sehingga penyalahguaan
berkala mengenai dapat diminimalisir.
pemasukan dan/atau
4. Peran apoteker menjalankan
pengeluaran Narkotika
tugas pengawasan, pelaporan
yang berada dalam hingga melakukan pengarahan
penguasaannya bila terjadi pelanggaran sangat
3. Ketentuan lebih lanjut dibutuhkan agar obat narkotika
mengenai tata cara yang beredar secara ilegal dapat
penyimpanan secara dicegah dan seseorang yang
khusus sebagaimana melakukan pelanggaran tersebut
dapat diberi sanksi sesuai
dimaksud pada ayat (1)
dengan perundangan yang
dan jangka waktu, berlaku.
bentuk, isi, dan tata cara
pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan
Menteri.
4. Pelanggaran terhadap
ketentuan mengenai
penyimpanan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan/atau
ketentuan mengenai
pelaporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
dikenai sanksi
administratif oleh
Menteri atas
rekomendasi dari Kepala
Badan Pengawas Obat
dan Makanan berupa:
 teguran;
 peringatan;
 denda
administratif;
 penghentian
sementara
kegiatan; atau
 pencabutan izin.
BAB IV

KESIMPULAN

Pada PKBPOM No.4 tahun 2018 tentang Pengawasan pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika,
Psikotropika, dan Prekursor Farmasi Di Pelayanan Kefarmasian terdapat perubahan berupa
melengkapi, mengurangi, serta keterangan tambahan dari peraturan-peraturan sebelumnya.

Perubahan-perubahan meliputi :

Pembinaan yang di lakukan meliputi fasilitas pelayanan kefarmasian saja dan bpom melakukan pengawasan,
pemeriksaan dokumen dengan menunjuk petugas sebagai pemeriksaan. Sedangkan pada peraturan
sebelumnya UU NO. 5 TAHUN 1997 dan UU NO. 35 Tahun 2009 pengawasan dilakukan oleh pemerintah,
untuk pelaksanaan pemeriksaan dilakukan dengan membuka kemasan, maka akan merugikan apotek atau
instalasi farmasi.

Sanksi administratif rekomendasi diberikan oleh Dinkes Provinsi, DinKes Kabupaten/Kota atau Organisasi
Perangkat Daerah penerbit izin bukan dari BPOM. Serta penanggung jawab penyelenggaraan pengelolaan
Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi disebutkan bahwasanya Puskesmas yang belum ada
Apoteker maka penanggung jawabnya adalah TTK/Tenaga Kesehatan yang ditugaskan oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota

Perubahan berupa melengkapi meliputi :

1. Penyidikan dilakukan dengan kolaborasi antara penyidik pegawai negeri sipil dengan penyidik BNN
atau penyidik kepolisian Negara RI.
2. Tenaga menegah farmasi/asisten apoteker tidak termasuk dalam teknis kefarmasian. Apoteker yang
menjalankan tugas harus memiliki SIPA, hal ini dikarenakan hanya apoteker yang memiliki izin
praktek saja yang mempunyai kewenangan untuk menjalankan pelayanan kefarmasian. Apoteker
yang bertugas di Instalansi Farmasi di Klinik memiliki peran untuk pelayanan rehabilitasi medis,
pecandu narkotika, psikotropika dan zat adiktif.
Keterangan tambahan berupa:

1. Penambahan definisi obat dan bahan obat yang dijelaskan secara mendetail agar peraturan tidak
bersifat rancu dan dijelaskan secara detail mengenai pengertian farmasi klinik. Terdapat penjelasan
mengenai profesi kesehatan apa saja yang memiliki kewenangan terhadap narkotika, salah satunya
adalah apoteker. Apotek merupakan sarana pelayanan kerfarmasian yang merupakan tempat
dilaksanakannya praktik kerfarmasian oleh apoteker. Rumah sakit, apotek, pusat KesMas, dan balai
pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter. Rumah
sakit yang telah memiliki instalasi farmasi dapat memperoleh narkotika dari industry farmasi tertentu
atau PBF tertentu serta puskesmas tidak melayani rehabilitasi bagi pengguna narkoba.
2. Petugas di lingkungan BPOM melakukan tugas lebih pada pengawasan pengelolaannya obat, bahan
obat, narkotik, psikotropik dan prekursor farmasi. Jabatan kepala BPOM dipegang oleh seorang
apoteker, karena apoteker memiliki kompetensi yang dibutuhkan dan berkaitan dengan tugas-tugas
BPOM dalam pengawasan obat dan makanan
3. Prekursor farmasi yang diatur dalam peraturan pengawas obat dan makanan no 4 tahun 2018
menyatakan bahwa prekursor farmasi dalam bentuk obat jadi/ obat, sedangkan pada undang-undang
no 35 tahun 2009 prekursor farmasi adalah semua zat atau bahan pemula/bahan kimia yang
digunakan dalam permbuatan narkotika.
4. Pengawasan, pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi di fasilitas
pelayanan kefarmasian telah dijelaskan secara terperinci sehingga pelaksanaannya lebih tertata.
Pengelolaan obat, bahan obat, narkotika, psikotropika dan prekursor farmasi harus sesuai dengan
standar pelayanan kefarmasian.
5. Perencanaan kebutuhan tahunan telah disusun berdasarkan data pencatatan dan pelaporan rencana
dan realisasi produksi tahunan yang diaudit secara komperhensif.
6. peran apoteker dalam penyimpanan dan pengelolaan obat narkotika di Industri Farmasi, pedagang
besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib disimpan secara khusus
agar tidak terjadi penyalahgunaa terhadap obat narkotika dan obat prekursor khususnya.
Perubahan berupa mengurangi dari peraturan sebelumnya meliputi:

1. Toko obat tidak memiliki kewenangan untuk melayani atau menyerahkan narkotika.
2. Sanksi adminstratif pada peraturan ini tidak menyebutkan adanya teguran langsung dari Presiden RI
Serta denda administrative yang harus dibayar.

Anda mungkin juga menyukai